BAB II
KERANGKA KONSEPTUAL
II.1. Konstruktivisme sebagai Paradigma Penelitian
Dalam Guba dan Lincoln (1994:107) dikemukakan bahwa paradigma adalah basic belief system atau sistem keyakinan dasar. Sistem keyakinan, dalam “Encyclopedia of Cultural Anthropology” (Levinson dan Ember, 1996:125) merupakan segala sesuatu yang tertanam secara dalam, meliputi kepercayaan, gagasan, pemahaman, dan harapan yang mendasari dan memotivasi beroperasinya suatu budaya. Sistem keyakinan ini memiliki kekuatan yang luar biasa dalam mengarahkan perilaku.
Sebagai sistem keyakinan dasar, paradigma memiliki implikasi metodologis atas penelitian. Selain itu paradigma berperan sebagai representasi world view atau pandangan dunia peneliti. Asumsi yang tumbuh dalam sebuah paradigma mengandung kualitas yang menentukan dan mampu beroperasi dengan kekuatan moral. Adapun asumsi-asumsi yang ada dalam paradigma meliputi asumsi-asumsi ontologis, epistemologis, dan metodologis (Guba dan Lincoln, 1994:105).
Mencermati hal ini, maka paradigma penelitian bermafaat bagi peneliti dalam tiga aspek, pertama, sebagai perangkat keyakinan dasar dalam melakukan kegiatan penelitian.
Kedua, untuk merepresentasikan pandangan dunia peneliti. Ketiga, untuk menjelaskan posisi metodologis peneliti.
Studi tentang ini berlandas pada paradigma konstruktivisme. Denzin dan Lincoln (1994:109), mengemukakan bahwa konstruktivisme adalah salah satu dari paradigma- paradigma dalam ilmu-ilmu sosial. Paradigma-paradigma lainnya adalah positivisme,
postpositivisme, dan kritis. Masing-masing paradigma berbeda dalam asumsi ontologis (asumsi tentang realitas), asumsi epistemologis (asumsi tentang relasi antara peneliti dan yang diteliti), dan asumsi metodologis (asumsi tentang cara/proses peneliti memperoleh pengetahuan).
Adapun asumsi-asumsi paradigma konstruktivisme yang akan digunakan dalam penelitian adalah sebagaimana tampak dalam Tabel II.1.
Tabel II.1. Asumsi-asumsi Ontologis, Epistemologis, dan Metodologis dari Paradigma Konstruktivisme
ASUMSI KARAKTERISTIK
Ontologis Mengenal relativisme, yakni realitas yang dikonstruksi secara spesifik dan bersifat lokal
Epistemologis Penelitian bersifat transaksional, peneliti berperan sebagai subjektivis yang menciptakan temuan-temuan Metodologis Hermeneutik/dialektik
Sumber: Guba dan Lincoln (1994:109)
Paradigma ini memiliki tujuan inkuiri untuk melakukan rekonstruksi pemahaman.
Pengetahuan yang diperoleh berupa rekonstruksi pemikiran individual yang menyatu dengan lingkungan sosialnya. Nilai-nilai diperlakukan menyatu dalam proses penelitian, yakni dibentuk bersama dalam interaksi antara peneliti dan yang diteliti. Sementara itu kriteria kualitas penelitian bersifat terpercaya dan asli (trustworthiness dan authenticity) (Guba dan Lincoln, 1994:112).
Pemikiran konstruktivis sendiri mengacu pada konstruktivisme, yakni filsafat pengetahuan yang meyakini bahwa pengetahuan manusia merupakan hasil konstruksi
dari manusia itu sendiri (von Glasersfeld dalam Bettencourt, 1989 dan Matthews, 1994, seperti dikutip oleh Suparno, 1997:18). Selain itu, konstruktivisme merupakan filosofi pembelajaran dengan premis manusia mengkonstruksi pemahamannya sendiri atas dunia tempat ia hidup dan tinggal (Anonim, 2004).
Realitas bagi konstruktivis tidak pernah terpisah dari pengamat. Kebenaran dalam pemikiran ini dipandang dalam kerangka kemampuan beroperasinya suatu konsep atau pengetahuan. Artinya sebuah pengetahuan dipandang benar apabila pengetahuan itu dapat digunakan untuk menghadapi berbagai fenomena atau persoalan yang terkait dengan pengetahuan tersebut (Suparno, 1997:21).
Sebagai sebuah pemikiran, konstruktivisme sudah dimulai sejak Giambatista Vico, seorang epistemolog Italia pada tahun 1710. Vico mengungkapkan bahwa “mengetahui”
berarti mengetahui bagaimana mengkonstruksi sesuatu. Bagi Vico, pengetahuan akan mengacu pada struktur konsep yang dibentuk. Pengetahuan juga tak dapat dipisahkan dari subjek yang memiliki pengetahuan itu (Suparno, 1997:24).
Ada dua tradisi utama konstruktivisme, yaitu psikologis dan sosiologis (Matthews seperti dikutip oleh Suparno, 1997:43). Konstruktivisme psikologis memiliki pandangan bahwa pengetahuan dibangun dalam kerangka perkembangan psikologis, sedangkan konstruktivisme sosiologis memandang bahwa pengetahuan dibangun oleh masyarakat.
Terdapat dua cabang konstruktivisme psikologis, yaitu konstruktivisme psikologis personal yang dikembangkan Piaget dan konstruktivisme sosiokultural dari Vigotsky.
Sementara konstruktivisme sosiologi berdiri sendiri. Berdasar pembedaan tersebut dapat
dikelompokkan konstruktivisme psikologis personal, konstruktivisme sosiokultural, dan konstruktivisme sosiologis.
Konstruktivisme psikologis personal menekankan aktivitas individual dalam pembentukan pengetahuan. Konstruktivisme sosiokultural berfokus pada hubungan dialektik individu dengan masyarakat dalam membentuk pengetahuan. Sementara itu, konstruktivisme sosiologis merupakan konstruktivisme yang tergolong personal sekaligus sosial. Dalam pandangan ini, realitas dikonstruksi dan ditentukan secara sosial (Suparno, 1997:43-47).
Realitas atau situasi sosial dikonstruksi oleh para partisipan kehidupan sosial secara intersubjektif. Dalam kerangka ini, kehidupan sehari-hari menampilkan dirinya sendiri sebagai sebuah realitas. Realitas ini diinterpretasikan oleh manusia yang secara subjektif memiliki makna baginya dan menjadi dasar pengetahuan dalam kehidupan keseharian (Berger dan Luckmann, 1990).
Dalam Littlejohn (2005:118) dikemukakan konstruktivisme kognitif personal yang dikembangkan oleh Jesse Delia, dkk. Tidak jelas apakah pemikiran ini dipengaruhi oleh Piaget, namun dapat dicermati bahwa pemikiran Delia dkk. sejalan dengan pemikiran Piaget, yaitu bahwa individu dipandang aktif menginterpretasikan realitas sesuai dengan kategori konseptual pemikirannya. Realitas tersebut tidak hadir dalam bentuk kasar, tetapi perlu disaring secara kognitif.
Littlejohn (2005:118) mengemukakan pula pemikiran konstruktivisme personal dari George Kelly. Dalam pemikiran tersebut dikemukakan, individu memahami realitas dengan mengelompokkan peristiwa-peristiwa menurut kesamaan dan perbedaan yang
terdapat dalam peristiwa-peristiwa tersebut. Kesamaan dan perbedaan dipandang sesuai dengan seperangkat hal-hal yang berlawanan yang ada di dalam sistem kognitif individu.
Ketika memberikan makna pada realitas, individu akan mengelompokkan ke skema- skema interpretif.
Applegate (1988:44) mengemukakan bahwa konstruktivisme merupakan suatu pendekatan dalam studi komunikasi. Konstruktivisme ini memberi tekanan pada dampak perbedaan individu yang tetap dalam proses-proses persepsi sosial atas pengembangan perilaku komunikasi. Selain itu juga menggunakan perilaku komunikasi yang berpusat pada manusia. Adapun studi tentang persepsi sosial ini didasarkan pada teori konstruk personal dari George Kelly. Tokoh konstruktivis lain yang berbasis pada aspek kognitif adalah Bruner.
Menurut Bruner, belajar merupakan suatu proses yang aktif yang memungkinkan warga belajar mengkonstruksi gagasan-gagasan baru atau konsep-konsep berbasis pada pengetahuan sebelumnya atau saat ini. Oleh karena itu dapat dikemukakan bahwa teori konstruktivis Bruner merupakan kerangka kerja untuk tujuan instruksional berdasar pada studi kognisi. Penelitian ini berlandas pada konstruktivisme sosiologis, sehingga asumsi epistemologisnya adalah bahwa realitas sosial merupakan produk intersubjektif (Bruner,2004).
Dalam Denzin dan Lincoln (1994:13) dikemukakan bahwa konstruktivis termasuk interpretif. Adapun teori-teori interpretif adalah interaksionisme simbolik, fenomenologi, etnometodologi, hermeneutik, psikoanalisis, etnologi, etnografi, dan sosiolinguistik (Sarantakos, 1993:31).
Interpretivisme memiliki fokus studi pada makna simbolik, yakni jalinan makna yang menunjukkan eksistensi manusia. Dalam pandangan interpretif, makna sangatlah interpretif. Oleh karena itu dalam pandangan ini dikenal realitas ganda atau makna ganda.
Realitas sosial itu sendiri diciptakan dan dilestarikan melalui pengalaman subjektif dan intersubjektif dari para aktor sosial.
II.2. Perspektif Fenomenologi untuk Memahami Pengalaman Komunikasi
Sebagai suatu studi yang berupaya untuk mengkonstruksi pengalaman komunikasi antar budaya, studi ini menggunakan perspektif fenomenologi. Seperti yang dikemukakan Littlejohn (2005), fenomenologi adalah suatu tradisi untuk mengeksplorasi pengalaman manusia.
Apabila dirunut dari aspek historis kemunculannya, fenomenologi terkait dengan tradisi filsafat di Jerman pada abad XVIII dalam konteks filsafat hermeneutik. Filsafat ini memiliki fokus pada konsep verstehen dalam melakukan kajiannya tentang manusia.
Menurut Kockelmans, istilah fenomenologi digunakan pertamakali pada tahun 1765 dalam ilmu filsafat. Selain itu istilah ini kadangkala termuat pula dalam tulisan- tulisan Immanuel Kant. Dalam perspektif Kant, istilah fenomenologi bertolak dari kata phenomenon yang berkaitan dengan sesuatu yang tampak dalam kesadaran manusia dan noumenon, yakni sesuatu yang ada dalam dirinya. Namun menurut Moustakas, istilah ini
baru didefinisikan secara khusus oleh Hegel. Hegel mengemukakan bahwa fenomenologi mengacu pada pengetahuan yang muncul dari kesadaran, yakni pengetahuan yang menggambarkan sesuatu yang dialami oleh manusia (Moustakas, 1994:26).
Asumsi pokok fenomenologi adalah manusia secara aktif menginterpretasikan pengalamannya dengan memberikan makna atas sesuatu yang dialaminya. Oleh karena itu interpretasi atau verstehen merupakan proses yang aktif untuk memberikan makna atas sesuatu yang dialami manusia. Dengan kata lain pemahaman adalah suatu tindakan kreatif, yakni tindakan menuju pemaknaan (Littlejohn, 2005:38).
Satu hal yang penting ditekankan dalam fenomenologi adalah bahwa objek dan peristiwa tersebut akan dilihat dalam perspektif manusia itu sendiri. dikemukakan bahwa fenomenologi melakukan analisis atas kehidupan sehari-hari dari sudut pandang orang yang hidup dalam kehidupannya sendiri (Griffin, 2003:32).
Menurut Littlejohn (2005:39), ada tiga aliran dalam fenomenologi. Aliran-aliran itu adalah fenomenologi klasik, fenomenologi persepsi, dan fenomenologi hermeneutik.
Fenomenologi klasik terkait dengan Edmund Husserl yang merupakan seorang tokoh fenomenologi modern. Pemikiran Husserl dipengaruhi oleh Descartes. Penjelasan Husserl tentang pertalian antara pengetahuan subjektif dan objektif menunjukkan adanya pengaruh Descartes dalam pemikiran Husserl. Descartes berbicara tentang pembentukan realitas objektif. Obyek dikatakan memiliki realitas obyektif sepanjang realitas itu eksis melalui representasi di dalam pemikiran. Jadi realitas obyektif berada dalam kebenaran suatu realitas subyektif (Moustakas, 1994:27).
Dalam pandangan dua tokoh tersebut, hanya ada satu kepastian dalam membangun suatu pengetahuan ilmiah yang obyekif, yakni melalui konstruksi atas segala sesuatu yang dialami atau dipikirkan dan dirasakan oleh manusia. Sesuatu yang dialami dalam
kesadaran merupakan fenomenon. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani “phaenesthai”.
Fenomenon kemudian memiliki arti sebagai sesuatu yang membawa pada kecerahan.
Menurut Moustakas (1994:25), Husserl mengembangkan suatu sistem filosofis yang memiliki akarnya pada keterbukaan yang sifatnya subjektif. Husserl menyatakan bahwa fenomenologi dapat digunakan untuk mengungkap pengetahuan, sekaligus untuk menciptakan teori dan untuk menerapkan ilmu-ilmu humaniora. Dalam kaitannya dengan fenomena, maka fenomena merupakan blok-blok bangunan dari ilmu humaniora yang menjadi dasar semua pengetahuan yang kemudian berkembang menjadi fenomenologi.
Pengetahuan berfokus pada pengalaman dan kekuatan-kekuatan reflektif yang ada pada diri manusia. Oleh karena itu Moustakas kemudian menyebut fenomenologi Husserl sebagai fenomenologi transendental. Fenomenologi transendental berkaitan erat dengan konsep intensionalitas. Dari konsep ini tersirat adanya orientasi pemikiran pada obyek, yakni obyek yang berada di dalam pemikiran manusia (Moustakas, 1994:28).
Dalam pada itu fenomenologi persepsi dapat dikaitkan dengan Maurice Merleau- Ponty. Sebagai seorang tokoh dalam fenomenologi, Merleau-Ponty memiliki pandangan yang berbeda dengan Edmund Husserl. Meskipun besar pengaruh Husserl atas pemikiran Merleau-Ponty, ia merupakan tokoh yang menolak pandangan Husserl. Dalam pandangan fenomenologi Merleau-Ponty, semua pengetahuan manusia tentang dunia yang berasal dari sudut pandangnya sendiri (Littlejohn, 2005:38).
Manusia pada hakekatnya adalah makhluk yang mampu menciptakan makna bagi dunianya. Kemampuan ini dimiliki manusia karena adanya kesatuan fisik dan mental di dalam dirinya. Dengan kemampuannya itu manusia menempati posisi sebagai subjek atau
orang yang mengetahui dunianya. Dalam posisinya tersebut, manusia memiliki hubungan dengan benda-benda yang terdapat di dunia. Manusia mendefinisikan dan memberikan makna pada dunia. Pada gilirannya pengalaman hidup manusia itupun akan dipengaruhi oleh dunianya itu. Dengan demikian pengalaman adalah subjektif. Pandangan ini berbeda dengan Edmund Husserl yang secara tajam memisahkan subjek dengan objek. Manusia terpisah dari objek. Untuk mengetahui objek, manusia perlu mengeliminasi bias-bias yang menyertai pengamatan yang dilakukannya (Littlejohn, 2002:185).
Dalam tradisi fenomenologipun kemudian tetap dikenal bahwa pengalaman adalah subjektif. Dalam kerangka ini terdapat penekanan yang besar terhadap persepsi dan interpretasi orang atas pengalaman subjektifnya sendiri. Alfred Schutz adalah tokoh yang menerapkan idealisme Merleau-Ponty dalam kehidupan sosial.
Pemikiran fenomenologis Schutz adalah kritik atas fenomenologi Husserl. Schutz menolak pemikiran Husserl yang menekankan pada fenomena kehidupan manusia tanpa mempersoalkan kausalitas dari realitas obyektif. Pemaknaan manusia terhadap realitas obyektif tidak akan terlepas dari latar belakangnya. Oleh karena itu tampak bahwa Schutz mempertimbangkan aspek kausalitas dalam proses pemberian makna oleh manusia.
Adalah fenomenologi hermeneutik yang konsisten dengan tradisi fenomenologi persepsi. Fenomenologi hermeneutik dikaitkan dengan Martin Heideggers. Ia memiliki kerangka kerja dalam hermeneutik filosofis. Filsafat ini disebut juga sebagai hermeneutik dasein yang berarti “interpretation of being”. Dalam kerangka ini realitas tentang sesuatu merupakan pengalaman dari penggunaan bahasa yang berada dalam konteksnya.
Dalam pada itu Deetz (Liitlejohn, 2005:38) mengemukakan tiga prinsip dasar fenomenologi, yaitu pertama, pengetahuan adalah sadar. Pengetahuan tidak disimpulkan dari pengalaman, namun diperoleh secara langsung di dalam pengalaman yang sadar.
Kedua, makna sebuah benda mengandung potensi benda itu dalam kehidupan seseorang.
Dengan kata lain, bagaimana seseorang mengaitkan makna tersebut dengan sebuah objek akan menentukan makna tersebut bagi orang itu. Ketiga, bahasa merupakan wahana bagi makna. Hal ini menunjukkan bahwa dunia dialami oleh manusia melalui bahasa yang digunakan untuk mengungkapkan dan untuk mendefinisikan dunia itu.
Bertolak dari idealisme tersebut dapat dikemukakan bahwa untuk membangun sebuah pengetahuan atau untuk memahami suatu realitas, pengalaman hidup nyata yang secara sadar dialami manusia dapat diperlakukan sebagai data dasar. Pengalaman hidup tersebut mencakup pengalaman berkomunikasi, termasuk komunikasi antar pihak-pihak yang memiliki perbedaan dalam latar belakang budaya. Pengalaman komunikasi tersebut kemudian dikaji hingga terbangunnya sebuah pengetahuan atau dapat dipahaminya suatu realitas tentang komunikasi antar budaya.
II.3. Adaptasi dalam Kawasan Studi Komunikasi Antar Budaya
Ada berbagai topik kajian dalam kawasan studi komunikasi antar budaya. Topik- topik itu menyangkut aspek identitas kultural, adaptasi dalam proses komunikasi antar budaya, konflik antar budaya, dan sebagainya. Sebagai salah satu topik kajian dalam komunikasi antar budaya, adaptasi adalah suatu problema yang perlu dipecahkan ketika seseorang atau kelompok orang berkomunikasi dengan pihak lain yang berbeda budaya.
Adaptasi dalam kawasan studi komunikasi antar budaya pada umumnya dikaitkan dengan sebuah perubahan dari suatu masyarakat atau bagian dari masyarakat. Perubahan ini terjadi karena adanya kesenjangan budaya sebagai akibat perpindahan strangers dari satu budaya ke budaya lain atau karena adanya perubahan dalam lingkungan sosialnya.
Komunikasi antar budaya sendiri, apabila mengacu dari pengertian Kim, Samovar dkk., dan Ting-Toomey, adalah komunikasi yang mengacu pada fenomena perbedaan dalam latar belakang budaya di antara para partisipannya. Tekanan tersebut dapat disimak dari pengertian komunikasi antar budaya yang dikemukakan oleh Kim (1984:16), yaitu komunikasi yang mengacu pada fenomena latar belakang budaya yang berbeda dari para partisipannya. Tekanan yang sama terdapat pula dalam pengertian yang dikemukakan oleh Samovar dkk. (1981:27), komunikasi antar budaya adalah komunikasi dengan karakteristik sumber dan penerima pesan berasal dari budaya yang berbeda. Sementara itu, Ting-Toomey (1999:16) memandang komunikasi antar budaya sebagai istilah yang mengacu pada proses komunikasi di antara para anggota komunitas budaya yang berbeda.
Ada dua aspek utama yang membedakan komunikasi antar budaya dengan kajian komunikasi lainnya serta bidang-bidang ilmu, seperti antropologi dan psikologi silang budaya. Aspek-aspek itu adalah pertama, komunikasi antar budaya ditandai oleh adanya tingkat perbedaan yang relatif tinggi dalam latar belakang pengalaman para partisipannya yang disebabkan oleh perbedaan budaya di antara mereka. Kedua, dalam komunikasi antar budaya, terdapat dua unsur, yakni interaksi dan komunikasi. Adanya interaksi dan komunikasi ini yang membedakan kajian komunikasi antar budaya dari kajian-kajian antropologi atau psikologi silang budaya (Kim, 1984:16).
Sebagai sebuah kawasan kajian dalam ilmu komunikasi, komunikasi antar budaya memiliki dua konsep pokok, yakni budaya dan komunikasi. Dalam Koentjaraningrat (1985:9) dikemukakan bahwa pengertian kebudayaan mencakup keseluruhan gagasan dan karya manusia. Oleh karena itu secara luas budaya memiliki pengertian sebagai keseluruhan pikiran, karya, dan hasil karya manusia. Ada tiga wujud kebudayaan, yaitu (1) ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya; (2) aktivitas perilaku manusia berpola; (3) benda-benda hasil karya manusia.
Dari sisi kemunculannya, budaya dapat dipandang sebagai produk konvensi dan produk konsensus masyarakat. Sebagai produk konsensus, budaya adalah sesuatu yang berasal dari konvensi sosial masyarakat. Menurut Durkheim (Barnett dan Lee, 2002:276), kognisi yang dimiliki dan digunakan bersama dalam menghasilkan budaya merupakan representasi kolektif yang tidak bersifat individual, namun merupakan asosiasi pemikiran.
Dalam berasosiasi, setiap individu memiliki kontribusinya. Oleh karena itu dapat terjadi, dalam asosiasi itu masuk perasaan (sentimen-sentimen) pribadi, sehingga memberikan kombinasi dalam asosiasi, tetapi hasilnya tetap tidak bersifat individual. Oleh karena itu dalam memahami budaya, tetaplah akan dipandang sebagai agregat.
Sebagaimana pemikiran yang memandang budaya sebagai properti kelompok, maka budaya itu merupakan sistem makna kolektif yang dimiliki dan digunakan bersama oleh para anggota kelompok budaya. Di dalam sistem makna terdapat nilai-nilai, sikap- sikap, keyakinan-keyakinan, kebiasaan-kebiasaan, dan pemikiran-pemikiran kolektif.
Dalam kerangka ini, budaya adalah properti yang muncul dari interaksi sosial para anggota. Budaya ini menjadi penentu cara-cara para anggota budaya berkomunikasi. Pada
akhirnya makna yang diatribusikan ke dalam simbol-simbol verbal dan perilaku-perilaku nonverbal ditentukan oleh masyarakat sebagai suatu agregat (Barnett dan Lee, 2002:277).
Sebagai produk konsensus, budaya terkait dengan makna simbol. Budaya dengan demikian merupakan konsensus atas makna simbol, baik verbal maupun nonverbal yang dibangun oleh para anggota kelompok budaya sendiri. Konsensus ini diperlukan untuk komunikasi yang memungkinkan terjadinya interaksi sosial dalam sebuah kelompok budaya (Barnett dan Lee, 2002:277).
Beberapa kawasan studi komunikasi antar budaya adalah ekonomi, demografi dan perdamaian. Di bidang ekonomi, ada dua alasan diperlukannya studi tentang komunikasi antar budaya, yaitu lingkungan kerja dan ekonomi global. Di dalam lingkungan kerja, bisnis perlu memberi perhatian pada aspek-aspek keragaman atau diversitas, di antaranya adalah keragaman tenaga kerja. Kemampuan komunikasi antar budaya dalam konteks ini diperlukan untuk menjembatani kesenjangan antar budaya di antara para pekerja.
Dalam ekonomi global, komunikasi antar budaya diperlukan untuk meningkatkan kemampuan tenaga kerja agar dapat berkomunikasi secara efektif guna dapat menunjang keberhasilan usaha atau bisnis dalam melakukan ekspansi ke pasar global. Oleh karena itu diperlukan kemampuan berkomunikasi yang baik. Dalam bidang demografi dapat dikemukakan bahwa perubahan pola demografik memerlukan kompetensi komunikasi antar budaya yang memadai pula. Pemusatan industri di kota-kota besar akan menarik tenaga kerja dari berbagai etnis dan ras. Keragaman ini membawa implikasi dalam aspek komunikasi antarbudaya.
Dalam kerangka memelihara perdamaian, komunikasi antar budaya diperlukan untuk menjaga agar individu-individu yang berbeda dalam jenis kelamin, usia, etnisitas, ras, bahasa, dan budaya dapat hidup berdampingan secara damai. Hal ini karena kontak antar kelompok budaya yang berbeda dapat membawa situasi tidak harmonis dalam berbagai tataran, baik lokal, nasional, maupun internasional.
Untuk memahami komunikasi antar budaya, Kim (1984:17) mengemukakan tiga dimensi pemahaman, yaitu (1) tataran keanggotaan komunikator dalam sebuah kelompok budaya, (2) konteks sosial terjadinya komunikasi, dan (3) saluran komunikasi. Tataran keanggotaan, konteks sosial, dan saluran komunikasi tersebut berpengaruh terhadap keseluruhan proses dan keluaran komunikasi antar budaya.
Dimensi tingkat keanggotaan kelompok mengacu pada tingkatan yang berbeda dalam cakupan dan kompleksitas sebuah organisasi sosial. Tingkatan ini meliputi world regions (misalnya budaya Timur dan Budaya budaya Barat), world subregions (misalnya
budaya Amerika Utara dan budaya Asia Tenggara), bangsa/nasional (misalnya budaya Perancis dan budaya Jepang), kelompok etnik/rasial (misalnya budaya orang Amerika berkulit hitam dan budaya orang Amerika berkulit putih), dan berbagai kelompok sosiologis (subkelompok-subkelompok yang dikategorikan menurut jenis kelamin, kelas sosial, wilayah geografis, dan kelompok countercultural), seperti budaya Hippi, budaya penjara, dan budaya jalanan. Selain itu mencakup pula komunikasi di antara individu yang berbeda budaya.
Dalam Kim (1984:17) dikemukakan bahwa perhatian utama dari para ilmuwan dan peneliti komunikasi antar budaya adalah pada komunikasi di antara para individu
yang berasal dari budaya bangsa yang berbeda, seperti komunikasi antara pebisnis dari Jepang dan pebisnis dari Amerika Utara. Selain itu para pakar dan peneliti juga berfokus pada komunikasi antar budaya yang terjadi antara individu dari ras atau etnik yang berbeda, seperti komunikasi antara seorang mahasiswa asli Amerika dan dosen yang dari Amerika Utara. Istilah-istilah komunikasi internasional atau komunikasi antar ras atau antar etnik digunakan untuk merujuk semua fenomena komunikasi antar budaya dengan para komunikatornya yang berbeda budaya. Tataran keanggotaan kelompok budaya dari komunikator adalah seperti tampak pada Gambar II.1.
Gambar II.1. Tingkatan Keanggotaan Komunikator dalam Kelompok Budaya Sumber: Kim (1984:18).
world regions
nations
Ethnic/racial groups
Sosiological groups
individuals
Kedua, dimensi konteks sosial. Dimensi ini mengacu pada konteks sosial spesifik tempat terjadinya komunikasi. Dalam sebuah konteks sosial, terjadi share kebersamaan berlandaskan elemen-elemen dan proses-proses komunikasi antar manusia, seperti pengiriman, penerimaan, dan pemrosesan pesan. Beberapa konteks sosial adalah seperti konteks pendidikan, konteks pembangunan, konteks konseling/teraputik, konteks organisasional/bisnis, konteks politik, konteks akulturasi imigran, konteks sojourner adjustment, dan sebagainya. Hal ini seperti tampak dalam Gambar II.2. Konteks sosial
tersebut dapat memberi pemahaman tentang hal-hal yang spesifik dalam hubungan antar peranan, harapan-harapan, serta norma-norma dan aturan-aturan berperilaku.
Gambar II.2. Beberapa Konteks Sosial Komunikasi Antar Budaya
KAB
konteks pendidikan
konteks adjusment
sojourner konteks
pembangu nan
konteks konseling/
teraputik
konteks bisnis/orga-
nisasional
konteks politik
konteks akulturasi
imigran
Ketiga, dimensi saluran komunikasi. Dimensi ini mengacu pada saluran terjadinya komunikasi. Komunikasi antar budaya dapat terjadi dalam berbagai saluran komunikasi.
Berbagai saluran tersebut dapat dikategorikan ke dalam dua saluran, yaitu saluran interpersonal dan saluran media massa. (radio, TV, suratkabar, bioskop, majalah, dan sebagainya). Dua saluran tersebut memiliki dampak yang berbeda bagi komunikatornya.
Kim (1984:20) mengemukakan, pengalaman komunikasi interpersonal bagi komunikator dipandang lebih mendalam daripada komunikasi yang dialami komunikator melalui media massa.
Kim (1984:20) mengemukakan bahwa komunikasi antar budaya dapat dipelajari dalam tingkatan kelompok maupun tingkatan individu. Di tingkatan kelompok, penelitian dilakukan dalam studi-studi antropologi dan sosiologi. Studi-studi tersebut mempelajari komunitas budaya sebagai kesatuan kolektif yang pemahamannya adalah secara holistik.
Sementara di tingkatan individu, penelitian dilakukan pada studi-studi yang menjelaskan perbedaan individual dalam pertemuan antar budaya. Sebagai contoh, penelitian tentang penyesuaian diri kaum pendatang di masyarakat pribumi. Variabel-variabel komunikasi yang terkait adalah seperti pola-pola hubungan antar pribadi, kompetensi bahasa host, sikap, persepsi, dan sebagainya. Studi ini pada umumnya dilakukan di kawasan psikologi.
Penelitian ini dilakukan terhadap para partisipan komunikasi yang berasal dari dua kelompok budaya. Dalam pengertian Kim sebagai studi dalam dimensi tataran kelompok sosiologis. Menurut Goodman (1992:45), kelompok adalah sekumpulan dua atau lebih individu yang memiliki perasaan identitas yang digunakan bersama dan yang berinteraksi
dalam cara-cara yang terstruktur berdasar seperangkat harapan bersama tentang perilaku orang lain. Kelompok-kelompok itu adalah perusahaan inti dan petani plasma. Konteks sosial studi adalah penyuluhan pembangunan, yaitu pembangunan yang melibatkan perusahaan inti dan petani plasma. Kelompok-kelompok ini adalah dua kelompok yang berbeda budaya. Sementara itu dari dimensi saluran komunikasi, studi dilakukan dalam saluran interpersonal.
II.4. Teori Adaptasi Antar Budaya
Adaptasi antar budaya merupakan suatu proses panjang untuk menyesuaikan diri untuk memperoleh kenyamanan berada dalam suatu lingkungan yang baru. Ada beberapa teori yang menjelaskan tentang proses tersebut. Dalam “Intercultural Communication Theories”, Gudykunst (2002:183) memaparkan bahwa teori adaptasi budaya termasuk ke dalam kelompok teori akomodasi dan adaptasi. Di dalam paparan itu, ia mengemukakan teori adaptasi antar budaya dari Ellingsworth dan teori ko-kultural Orbe.
Teori ko-kultural dikembangkan dari perspektif fenomenologi dan didasarkan pada muted group theory dan standpoint theory. Dua teori ini mengasumsikan adanya kelompok underrepresented. Dalam muted group theory, kelompok ini merupakan muted group, sementara dalam standpoint theory, kelompok underrepresented adalah kelompok
yang termarjinalkan. Sebagai teori yang berdasar pada muted group theory dan standpoint theory, teori ko-kultural mengacu pada komunikasi di antara kelompok underrepresented dan kelompok dominan. Ada dua premis teori, yaitu pertama, para anggota kelompok ko- kultural termarjinalkan di dalam struktur masyarakat dominan. Kedua, para anggota
kelompok ko-kultural memakai gaya komunikasi tertentu untuk mencapai keberhasilan ketika dihadapkan pada struktur masyarakat dominan yang opresif.
Dengan mencermati asumsi dan premis teori, dapat dikemukakan meskipun teori ini dikembangkan dalam perspektif fenomenologis, namun teori ko-kultural tidak sesuai untuk mendekati fenomena komunikasi antar budaya yang diangkat dalam tulisan ini.
Baik perusahaan inti maupun petani plasma tidak ada yang berperan sebagai kelompok underrepresented (ko-kultural) atau kelompok dominan. Masing-masing kelompok setara
sebagai mitra usaha berdasar paradigma komunikasi negosiasi.
Dalam paradigma tersebut, adaptasi yang terjadi berupa saling menyesuaikan diri di antara keduanya guna melangsungkan kemitraan. Ada tujuan fungsional ketika mereka beradaptasi antar budaya. Sesuai dengan proposisi- proposisi teori adaptasi antar budaya, maka komunikasi yang beradaptasi secara fungsional dan setara dalam adaptasi dapat memberi fasilitas pada penyelesaian tugas. Sementara, komunikasi yang tidak adaptif fungsional membawa pada invokasi perbedaan kultural dan memperlambat penyelesaian tugas. Ketika para komunikator harus bekerjasama, ada kesetaraan dalam mengadaptasi komunikasi. Penggunaan strategi persuasif dapat membawa pada adaptasi komunikasi.
Ketika situasi mendukung salah satu komunikator atau satu komunikator lebih berkuasa, makakomunikator lainnya akan memiliki beban untuk beradaptasi. Sementara itu, ketika lebih banyak perilaku adaptif para komunikator, maka lebih banyak keyakinan kultural (Gudykunst, 2002:190).
Penjelasan tersebut bertolak dari asumsi Ellingsworth. Dalam asumsinya, setiap komunikasi meliputi derajat perbedaan kultural, sehingga dalam menjelaskan komunikasi
antar budaya diperlukan keterlibatan faktor-faktor kultural. Adapun teorinya sendiri dirancang untuk menjelaskan cara para komunikator beradaptasi untuk mencapai suatu tujuan dalam komunikasi yang bersifat diadik (pasangan).
Dalam tulisannya tentang “A Theory of Adaptation in Intercultural Dyads”, Ellingsworth (1988: 271) mengemukakan, perilaku adaptasi dalam interkultural diadik terkait dengan unsur-unsur status atau kekuasaan, perilaku teritorial, adaptasi dalam gaya komunikasi, invokasi budaya berdasar keyakinan, tujuan diadik, tujan individual, tujuan yang berhubungan dengan keluaran, dan partisipan yang berhubungan dengan keluaran.
Unsur-unsur tersebut dipertautkan menjadi tujuh hukum. Hukum-hukum itu menyatakan bahwa:
(1) Adaptasi dalam gaya komunikasi dikaitkan dengan pencapaian tujuan, misalnya dalam tawar-menawar atau negosiasi.
(2) Adaptasi gaya komunikasi dikaitkan dengan invokasi budaya berdasar keyakinan.
(3) Kesesuaian tujuan terkait dengan pertukaran tanggungjawab adaptif.
(4) Ketika salah satu partisipan diadik menghendaki sesuatu yang dilihat pasangan lain tidak menguntungkan, maka beban adaptif terletak pada partisipan yang memiliki inisiatif komunikasi.
(5) Ketika salah satu partisipan memegang manfaat teritorial, maka pihak lain akan memiliki beban adaptasi.
(6) Ketika salah satu dari pasangan merupakan pihak yang superior dalam status atau kekuasaan, maka beban adaptasi akan terletak pada pihak yang inferior.
(7) Adaptasi gaya komunikasi terkait dengan perubahan kognisi, citra diri, persepsi lebih lanjut dari partisipan.
Proposisi-proposisi yang muncul dari unsur-unsur dan hukum-hukum itu adalah:
(1) Peningkatan perilaku adaptif dilakukan dengan cara mempercepat kemajuan ke arah penyelesaian tugas.
(2) Ketika perilaku adaptif terjadi dan terbukti tidak fungsional, maka pihak lain akan menanggapinya dengan menginvokasi budaya berbasis perbedaan dalam keyakinan.
(3) Munculnya pernyataan keyakinan dari satu pihak akan diikuti dengan percepatan perilaku adaptif pihak lain.
(4) Pergeseran dari ketidaksetaraan ke arah kesetaraan di dalam perilaku adaptif akan mempercepat kemajuan menuju penyelesaian tugas.
(5) Ketika para partisipan komunikasi mempertukarkan suatu tujuan, mereka bergerak menuju kesetaraan dalam adaptasi.
(6) Ketika dari interaksi terbukti bahwa hanya satu pihak yang akan mengambil manfaat dari penyelesaian tugas, maka orang itu akan mempercepat perilaku adaptif.
(7) Ketika salah satu pihak memiliki keuntungan teritorial, maka pihak lain akan menunjukkan peningkatan dalam adaptasi.
(8) Ketika pihak yang mengambil inisiatif komunikasi memiliki status atau kekuasaan yang lebih daripada pihak lainnya, maka ia akan memulai memanfaatkannya sebagai pengganti bagi perilaku adaptif di dalam interaksinya.
( 9) Lebih banyak adaptasi yang ditunjukkan oleh seorang partisipan, maka lebih banyak perubahan yang akan terjadi dalam sikap dan persepsi yang berpusat pada budaya yang ditampilkan pihak lain.
(10) Lebih banyak adaptasi yang ditunjukkan oleh seorang partisipan, maka lebih banyak perubahan terjadi dalam persepsi diri seseorang dan budaya yang ditampilkannya.
Dari hukum-hukum itu tampak bahwa pusat perhatian teori adalah adaptasi dalam gaya komunikasi. Gaya adalah tingkah-laku atau merupakan suatu perilaku komunikasi.
Menurut Gudykunst dan Kim (1997:337), adaptasi dapat terjadi dalam dimensi kognitif.
Dalam dimensi kognitif, terjadi penyesuaian bahasa verbal dan nonverbal. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa adaptasi dapat terjadi dalam dimensi-dimensi perseptual, kognitif, dan perilaku.
Teori yang berfokus pada akomodasi dan adaptasi lainnya dikemukakan Gile.
Teorinya disebut teori akomodasi komunikasi atau communication accomodation theory (CAT). Teori ini bertolak dari teori akomodasi percakapan. Menurut teori ini, pembicara menggunakan strategi linguistik untuk mencapai persetujuan atau untuk menunjukkan perbedaan dalam interaksinya dengan orang lain. Strategi komunikator yang utama adalah dengan divergensi dan konvergensi. Strategi ini digunakan untuk meningkatkan dan untuk mengurangi jarak komunikasi (Gudykunst dalam Gudykunst dan Bella Mody 2002:1987). Sementara itu menurut Abrams dkk (Gudykunst dan Blla Mody, 2002:225), divergensi dan konvergensi meliputi bahasa verbal dan nonverbal.
Penyuluhan adalah suatu pendidikan, yaitu pendidikan nonformal untuk merubah perilaku masyarakat. Shaules (2007:74) dalam “Assesing Intercultural Learning Strategies with Personal Intercultural Change Orientation Profiles” mengemukakan bahwa adaptasi adalah salah satu orientasi pembelajaran interkultural. Orientasi adaptif terdiri dari mencari dan memberi perhatian pada lingkungan. Seseorang yang memilih strategi adaptif cenderung memiliki kesadaran yang tinggi terhadap harapan dan tuntutan dari lingkungannya, sehingga siap untuk merubah perilaku. Orientasi ini menyebabkan seseorang untul fleksibel dan diplomatis.
II.5. Dimensi-dimensi Keragaman Kultural untuk Mengkaji Perbedaan Budaya Perbedaan budaya di antara komunitas perusahaan inti dan komunitas petani
plasma dapat dijelaskan dengan bertolak dari adanya pergulatan di antara dua prinsip yang disebut sebagai perekonomian dualistik. Pergulatan ini berakar dari pertentangan antara kapitalisme barat yang modern dan tradisi pra-kapitalis. Kapitalisme barat yang modern, muda, dan agresif yang dibangun di kota besar berhadapan dengan tradisi pra- kapitalis yang tua yang berada di pedesaan (Boeke, 1983:11)
. Menurut Boeke (1983:11), dalam situasi dualistik terdapat dua karakteristik yang berbeda dalam konteks sosial ekonomi. Satu sisi merupakan golongan masyarakat yang memiliki ikatan-ikatan sosial asli dan organis, sistem kesukuan tradisional kebutuhan- kebutuhan yang sifatnya terbatas dan bersahaja, serta prinsip produksi pertanian yang sifatnya subsisten. Sisi lainnya adalah masyarakat yang berorientasi keuntungan, bersaing usaha yang terorganisasikan, profesional, bertumpu pada kapitalisasi dan industri
mekanis, serta memandang rendah dorongan atau motif ekonomi yang dikaitkan dengan motif sosial, etika, adat, tradisi, suku, agama, dan sebagainya.
Dalam kehidupan pertanian, kapitalisme diasosikan dengan farmer yang berciri kota. Sementara itu prakapitalisme diasosiasikan dengan peasant yang ciri desa. Kalau mengacu pada Redfield; Kroeber; dan Steward, Marzali (1998:85) mengemukakan bahwa dari sisi perkembangan tingkat sosiokultural, petani peasant dipandang sebagai suatu masyarakat yang berada di antara, atau transisi antara, bentuk masyarakat primitif dan bentuk masyarakat modern. Posisi tersebut dalam bentuk diagram dapat dilihat pada Gambar II.3.
Masyarakat Primitif Masyarakat antara Masyarakat Modern Berburu
meramu
Petani primitif
Petani peasant Petani farmer Industri
Nomaden Menetap di pedesaan Urban
Gambar II.3. Posisi Masyarakat Peasant dalam Evolusi Masyarakat Manusia Sumber: Marzali, 1998:85.
II.5.1. Karakter Peasant-Farmer
Dalam kerangka ini peasant merupakan masyarakat yang (1) hidup dari mengolah tanah, (2) hidup menetap dalam komunitas pedesaan, (3) menggunakan teknologi pertanian, seperti pacul, bajak, dan garu untuk melakukan produksi pertanian, (4) memiliki hubungan dengan kota, (5) mengolah tanah dengan bantuan keluarga sendiri untuk menghasilkan bahan makanan guna keperluan hidup sehari-hari keluarga petani,
Kroeber dalam Foster (1967:2) mengemukakan bahwa peasant merupakan bagian masyarakat dari suatu bagian budaya yang hidup dalam kaitannya dengan pasar dan pusat-pusat kota. Golongan masyarakat ini tidak lagi terisolasi, namun masih memegang nilai-nilai tradisional. Selain itu merupakan golongan orang yang menempati jenjang yang lebih tinggi daripada suku (tribe) dan juga lebih tinggi daripada petani pimitif. Suku yang paling primitif hanya melakukan aktivitas berburu dan meramu, sementara petani primitif hanya melakukan perladangan berpindah dan tidak memiliki hubungan dengan pusat kota (pasar). Dalam kerangka ini dapat dikemukakan bahwa peasant merupakan suatu tipe masyarakat yang terletak antara masyarakat tribal dan urban.
Sementara itu dari sisi pandang sistem ekonomi peasant, Firth (Marzali, 1998:85), sistem ekonomi peasant adalah sistem ekonomi yang menggunakan ketrampilan dan sistem pembagian kerja yang sederhana. Selain itu juga memiliki keterbatasan akses ke pasar. Alat produksi dikuasai dan diorganisasikan secara nonkapitalistik. Skala produsen tergolong kecil dengan hubungan produksi bersifat lebih personal, sementara perhatian terhadap aspek sosial dan keagamaan lebih diutamakan darpada aspek materi.
Berbeda dengan Firth yang mengacu pada sistem ekonomi yang khas, maka Wolf mengacu pada jenis mata pencaharian yang khas. Menurut Wolf (1983:2), peasant merupakan orang desa yang bercocok tanam dan berternak di daerah pedesaan. Usahatani tersebut tidak dilakukannya sebagai petani farmer atau pengusaha pertanian (agricultural enterpreneur) karena tidak dilakukan sebagai kegiatan bisnis untuk meraih keuntungan ekonomis, namun dilakukan dalam kerangka pengelolaan rumahtangga.
Dalam melakukan produksi pertanian, peasant harus mengarahkan kegiatannya untuk melayani keluarga dan masyarakat. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Diaz (1967:50), yaitu bahwa peasant sebagai man economic harus mengarahkan aktivitasnya dalam dua ruang, yakni ruang keluarga dan ruang masyarakat. Keluarga petani dapat terdiri dari keluarga inti, yakni suami, isteri, dan anak, dapat pula terdiri dari keluarga luas yang mencakup orang-orang dari generasi yang sama atau berbeda, misalnya orangtua atau sepupu petani (Wolf, 1983:103). Perhatian peasant terhadap keluarga dan masyarakatnya dikemukakan pula oleh Popkins (1979:28), yaitu bahwa pihak-pihak yang menjadi perhatian utama peasant adalah diri sendiri, keluarga, tetangga, dan komunitas desanya.
Di dalam ruang keluarga maupun ruang masyarakat, peasant memberi dukungan dengan produksi usahatani. Dukungan peasant dengan usahataninya tersebut cenderung dilakukan dalam kondisi kesederhanaannya sebagai produsen pertanian berskala kecil yang menerapkan teknologi non industri dan bertumpu pada rumahtangga (household based), serta produksi pertanian berorientasi subsistensi (Elson, 1997:xix). Menurut Scott
(1981:7), usaha subsistensi adalah usahatani yang mengutamakan keamanan (safety first).
Dalam kehidupan tertib sosial masyarakat, peasant perlu selalu menjaga relasi antar rumahtangga. Selain itu juga harus senantiasa memelihara keseimbangan antara kepentingan-kepentingan keluarga dan masyarakat yang dapat mengikat peasant dengan masyarakat yang lebih luas. Menurut Wolf (1983:170), dalam kerangka ini upacara atau ritual memiliki suatu fungsi melegetimasi unit-unit sosial dan relasi di antara sesama
warga desa. Selain itu dari sudut komunikasi sosial, hal ini dapat mengukuhkan eksistensi peasant dalam komunitasnya.
Sebagai produsen pertanian berskala kecil, tindakan-tindakan dan pilihan-pilihan petani selalu dikaitkan dengan sumberdaya alam, seperti tanah, air, iklim, dan matahari.
Hal ini seperti dikemukakan oleh Weizt (1971:19), yaitu bahwa kehidupan peasant erat berdekatan dengan tanah. Dengan demikian peasant memiliki hubungan yang kuat dengan sistem ekologis. Dongeng, kebiasaan kalender, tanda-tanda iklim, peribahasa, dan ritual-ritual yang terdapat di dalam masyarakat ini menunjukkan kesadarannya atas sebuah ekologi yang bertalian dengannya.
Sesuai dengan kuatnya pertalian peasant dengan kondisi ekologis, Wolf (1983:32) mengemukakan beberapa ekotipe petani yang berkaitan dengan cara-cara petani memperoleh makanan dan surplus-surplus dari tanah. Ada dua ekotipe petani, yaitu tipe paleoteknik yang mengandalkan organisme-organisme manusia dan hewan serta tipe neoteknik yang bergantung pada energi yang berasal dari bahan bakar dan ketrampilan- ketrampilan yang berasal dari pengetahuan. Tipe paleoteknik terdiri dari (1) sistem yang memperlakukan tanah yang sudah tandus dibiarkan untuk tidak ditanami dalam jangka waktu lama, (2) sistem tanam sebagian, (3) sistem tanam bergilir dengan siklus singkat, (4) sistem tanam permanen, dan (5) penanaman permanen lahan-lahan pilihan. Sementara tipe neoteknik terdiri dari (1) penanaman hortikultura yang dispesialisasikan, dengan ciri produksi hasil kebun yang dipelihara secara permanen, (2) perusahaan susu yang merupakan cabang sistem pertanian dengan bajak dan siklus rotasi lahan yang tergolong pendek, (3) pertanian campuran yang dilakukan petani dengan memelihara ternak dan
bercocoktanam, dan (4) perkebunan yang menghasilkan sebagian hasil kebun daerah tropis, seperti kopi, tebu, atau coklat.
Kuatnya pertalian peasant dengan kondisi ekologis menciptakan pula posedur dalam melakukan usahatani. Keadaan ini menyebabkan petani akan sangat berhati-hati dalam menerima introduksi teknologi baru. Sulitnya menembus pertahanan peasant ketika mengintroduksi teknologi baru menunjukkan ketakutan peasant atas perubahan prosedur yang dapat meningkatkan risiko berusahatani. Hal ini seperti dikemukakan oleh Scott (1981:4), yaitu bahwa nilai-nilai dalam praktek pertanian yang sudah teruji telah membuat para petani itu bersikap keras terhadap para ahli agronomi dan pekerja sosial yang hendak mengadakan perbaikan-perbaikan. Dalam pandangan peasant, perubahan- perubahan teknologis sekecil apapun akan membawa pada konsekuensi-konsekuensi yang tidak terantisipasi yang dapat mengancam sistem produksi pertanian. Oleh karena itu dapat dikemukakan bahwa introduksi teknologi baru tidak hanya akan diadaptasi secara ekologis, tetapi juga akan diadaptasi dalam nilai-nilai, sikap, dan kemampuan petani (Weitz, 1971:9).
Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian pendahuluan, bahwa ada perbedaan antara budaya perkebunan dataran rendah (lowland plantation) dan budaya perkebunan dataran tinggi (upland plantation). Perkebunan dataran rendah mengusahakan tanaman semusim, seperti tembakau dan tebu, sementara perkebunan dataran tinggi mengusahakan tanaman tahunan, seperti teh dan kopi. Penelitian ini dilakukan di kawasan perkebunan teh yang memiliki budaya upland.
Menurut de los Angeles (1986:170), petani upland pada umumnya dihadapkan pada masalah kekurangan waktu untuk produksi pertanian. Petani mengandalkan tenaga kerja keluarga dengan kendala musim, modal yang terbatas, dan uang tunai. Sementara itu dengan teknologi pertanian yang terbatas, petani mengalami masalah menurunnya produktivitas lahan yang tidak bisa dipecahkan dengan keterbatasan tenaga kerja. Untuk mengatasi permasalahannya, ada beberapa kombinasi upaya petani upland, yaitu (1) mengembangkan teknologi pertanian untuk pengamanan lahan, (2) melakukan diversifikasi sumber-sumber pendapatan, (3) menggeser harapan yang hanya bertumpu pada produksi upland, dan (4) memantapkan sistem atas hak-hak atas tanah untuk menjaga harmonisasi hubungan di antara para petani.
Dalam menerima teknologi baru yang berimplikasi adanya prosedur yang berbeda dengan kebiasaan bertani, petani menggunakan pola pikir safety first demi keamanan subsistensinya. Analisis Scott (1981:3) dalam studi tentang pergolakan dan subsistensi di Asia Tenggara menemukan bahwa etika subsistensi di kalangan petani Asia Tenggara, Perancis, Rusia, dan Italia merupakan akibat dari kehidupan petani yang dekat dengan garis batas. Garis batas itu merupakan garis antara keamanan dan risiko yang ditanggung oleh petani beserta keluarganya. Faktor-faktor pembentuknya adalah sangat kecilnya pemilikan lahan, cara-cara bertani tradisional, ketergantungan pada kondisi alam, dan pajak yang berupa uang tunai serta hasil tanaman yang dipungut oleh negara. Adapun risiko yang dimaksud adalah datangnya bencana kelaparan bagi peasant dan keluarganya.
Menurut Popkins (1979:28), moral ekonomi petani memiliki asumsi bahwa hanya petani kaya yang mampu untuk mengikuti perkembangan inovasi dan keuntungan yang
akan diperoleh dengan mengadopsi inovasi itu. Dalam pandangan peasant, inovasi atau teknologi baru tidak akan menguntungkan bagi petani pemilik lahan sempit atau petani penyewa. Oleh karena itu dapat dikemukakan bahwa dalam perspektif moral ekonomi petani peasant merupakan golongan petani yang selalu menentang risiko.
Dalam pada itu, Soekartawi (2003:173) dikemukakan bahwa agribisnis akan terdiri dari petani yang selalu melakukan upaya memaksimalkan pendapatan dengan penguasaan sumberdaya yang terbatas. Petani demikian akan selalu memaksimalkan keuntungan pada setiap usahataninya. Adapun ciri-cirinya, pertama, cepat mengadopsi inovasi sehingga digolongkan sebagai pengadopsi awal (early adopters). Kedua, memiliki derajat kosmolitan yang tinggi. Ketiga, memiliki keberanian menanggung risiko dalam berusahatani. Keempat, memiliki sikap mau dan kemampuan mencoba teknologi baru yang ditunjang oleh sumberdaya yang memadai untuk melakukan percobaan tersebut.
Slamet (2003:16) mengemukakan bahwa untuk peningkatan produksi dalam pembangunan pertanian diperlukan teknologi maju. Oleh karena itu petani sebagai pelaku pembangunan pertanian perlu mengadopsi teknologi maju. Dalam perspektif penyuluhan pembangunan, petani maju adalah petani yang memiliki kemampuan untuk memerankan diri sebagai warga negara yang baik sesuai dengan profesinya, dan sanggup berswadaya untuk meningkatkan kesejahteraannya sendiri dan masyarakatnya (Slamet, 2003:18).
Dengan mengambil dari indikator perubahan perilaku dalam memajukan petani, maka petani maju memiliki ciri-ciri sebagai berikut, pertama, memiliki perbendaharaan yang tinggi tentang informasi pertanian, kedua, memiliki keterampilan, kemampuan, dan kebiasaan baru yang sesuai dengan bidang yang digelutinya, serta ketiga, memiliki sikap
mental dan motivasi yang kuat dalam memajukan usahataninya. Adapun sumber motivasi itu adalah terpenuhinya kebutuhan akan (1) kepastian atau keamanan (security) dalam bidang ekonomi, sosial, psikologi, dan spiritual, (2) pengalaman, minat, gagasan, dan cara-cara baru berusahatani, (3) keakraban, yang terdiri dari persahabatan, kebersamaan, keramahtamahan, dan perasaan ikut memiliki, serta (4) pengakuan, yang meliputi status, gengsi, prestasi, dan penghargaan (Slamet, 2003:21).
Pambudy (2003:235) mengemukakan bahwa modal manusia yang diperlukan dalam membangun agribisnis adalah wirausahawan. Wirausahawan agribisnis merupakan orang yang pertama, menjadi pusat pertumbuhan pekerjaan dan ekonomi dan kedua, memberikan mekanisme pembagian yang bergantung pada inovasi, kerja keras, dan pengambilan risiko. Konkritnya adalah bahwa seorang usahawan agribisnis merupakan orang yang mampu untuk menyelesaikan proses dari menghasilkan ide-ide kreatif, inovasi, hingga menghasilkan produk barang atau jasa untuk dapat dipasarkan dengan keuntungan yang memadai.
Dalam pada itu menurut Soetrisno (1995:160), sebagai petani komersial yang berbudaya industri, memiliki ciri-ciri pertama, rasional dan kreatif dalam memandang berbagai fenomena yang ada di alam sekitarnya. Kedua, memiliki komitmen yang tinggi dalam menyelesaikan masalah dengan tuntas, dan ketiga, memiliki ketaatan yang tinggi pada hukum (Soetrisno, 1995:160).
Selain sebagai petani komersial berbudaya industri, farmer juga dapat digolongkan sebagai petani modern. Menurut Suriasumantri (2000:384), masyarakat modern yang urban memiliki indikator-indikator sebagai berikut, pertama, bersifat analitik. Di samping
itu, sebagian besar aspek kehidupannya dilandaskan pada asas efisiensi secara teknis maupun ekonomis. Indikator ini menempatkan nilai teori dan nilai ekonomi pada posisi penting. Nilai teori terkait dengan aspek penalaran, ilmu, dan teknologi, sedangkan nilai ekonomi berpusat pada penggunaan sumber dan benda ekonomi secara efektif dan efisien berlandaskan perhitungan yang bertanggungjawab. Sementara itu pengambilan keputusan berlandas pada argumentasi kuat. Kekuatan berpikir bersifat dominan yang mengabaikan penarikan kesimpulan dari intuisi, perasaan, dan tradisi. Kedua, bersifat individual. Nilai sosial dan kekuasaan dalam kerangka ini harus berorientasi pada kepercayaan diri sendiri serta keberanian untuk mengambil keputusan sendiri. Hubungan antar manusia bersifat individual, sementara untuk mempertahankan hidup seseorang harus mampu bersaing secara produktif.
Petani farmer dapat disebut pula sebagai petani maju yang memiliki mentalitas pembangunan. Menurut Koentjaraningrat (1985:73), mental pembangunan memiliki ciri (1) orientasi ke masa depan, (2) sifat hemat, (3) keinginan untuk eksplorasi dan inovasi, (4) nilai tinggi atas pencapaian atas karya, (5) kepercayaan pada kemampuan diri, (6) disiplin, dan (7) rasa tanggungjawab. Uraian tersebut dirangkum dalam Tabel II.2.
Tabel II.2. Karakteristik Peasant-Farmer
Karakteristik Peasant Farmer 1.Orientasi Usahatani Memandang pentingnya
dukungan usahatani untuk keluarga dan komunitasnya dalam etika subsistensi
Memandang pentingnya pemaksimalan keuntungan dari bisnis usahatani yang ditunjang oleh jiwa wiraswasta
2. Penggunaan teknologi dalam berusahatani
Menggunakan teknologi sederhana dan nonindustri, memiliki pertalian kuat dengan kondisi ekologis
Menggunakan teknologi maju untuk kepentingan industri, kurang bergantung pada kondisi ekologis
3. Perilaku kosmopolitan
Berderajat rendah Berderajat tinggi 4. Sikap terhadap
inovasi dan teknologi baru pertanian
Kurang mau mencoba dan menerima inovasi dan teknologi baru karena ketidakberanian dalam menanggung risiko yang mengancam subsistensinya
Mau dan berani mencoba inovasi dan teknologi baru
5. Pandangan terhadap pentingnya informasi pertanian
Rendah Tinggi
6. Karakteristik masyarakat secara umum
Merupakan masyarakat praindustri dan tradisional
- Merupakan masyarakat industri yang (1) rasional dan kreatif dalam
memandang berbagai fenomena, (2) memiliki komitmen yang tinggi untuk memecahkan masalah secara tuntas, (3) memiliki ketaatan pada hukum
- Merupakan masyarakat modern yang
mengutamakan berpikir secara analitik, efisien, dan individual
Sumber: Foster (1967); Marzali (1998); Diaz (1967); Wolf (1983); Popkins (1979); Scott (1981); Weizt (1971); de los Angeles (1986); Sukartawi (2003); Slamet (2003);
Pambudi (2003), Soetrisno (1995); Suriasumantri (2000); Koentjaraningrat (1985).
Perbedaan budaya lainnya dari peasant dan farmer lainnya dapat dikaitkan dengan dikotomi budaya yang dapat dijelaskan dengan konsep orientasi nilai dari Kluckhohn dan Strodtbeck, individualisme-kolektisme, variabilitas budaya Hofstede, Pola-pola Parsons, dan keketatan Struktral.
II.5.2. Orientasi Nilai dari Kluckhohn-Strodtbeck
Kluckhohn-Strodtbeck memunculkan dimensi orientasi nilai. Dimensi ini terdiri dari orientasi sifat manusia, orientasi sifat orang, oientasi waktu, aktivitas, dan orientasi relasional (Gudykunst dan Kim, 1997:78).
Dimensi pertama adalah orientasi sifat manusia. Orientasi ini terkait dengan sifat bawaan manusia. Dalam dimensi ini, manusia dipandang baik atau jahat atau campuran antara baik dan jahat yang merupakan pembawaan sejak lahir. Dalam kerangka ini kemudian dimunculkan enam penilaian atas sifat manusia, yaitu (1) manusia jahat namun tidak selamanya jahat, (2) manusia adalah jahat dan selamanya jahat, (3) manusia netral namun tetap terkait dengan kebaikan dan kejahatan, (4) manusia merupakan campuran antara unsur kebaikan dan kejahatan, (5) manusia adalah insan baik, namun tak selamanya demikian, (6) manusia adalah insan yang baik dan selamanya akan demikian.
Dimensi kedua, orientasi relasi manusia dan alam. Ada tiga jenis relasi, yaitu takluk, menyelaraskan, dan mengendalikan. Gudykunst dan Kim (1997:76) memberi contoh bahwa masyarakat industrialis seperti Amerika Serikat memiliki kecenderungan sifat menguasai, termasuk penguasaan atas sumberdaya alam. Selain kecenderungan sifat penguasaan, terdapat pula kecenderungan untuk mengendalikan.
Dimensi ketiga, orientasi waktu. Dalam dimensi ini, kehidupan manusia dapat berfokus pada masa lalu, masa kini, atau, masa depan. Orientasi yang kuat terhadap masa lalu cenderung menonjol pada kelompok budaya yang menempatkan tradisi dalam posisi yang utama, seperti pemujaan pada leluhur atau yang memberi tekanan lebih pada kohesivitas keluarga. Selain itu orientasi masa lalu menonjol pada budaya aristokrasi.
Dalam pada itu orientasi pada masa kini menonjolkan perhatian keadaan kekinian dan meminggirkan peristiwa-peristiwa yang telah berlalu, serta sesuatu yang bisa terjadi di masa depan, sementara orang-orang yang berorientasi pada masa depan akan memandang masa lalu tidak penting, masa kini dipandang sudah tampak jelas, sedangkan masa depan dapat terprediksi.
Dimensi keempat, orientasi aktivitas. Menurut Kluckhon-Strodtbeck, orientasi aktivitas dapat dipandang sebagai doing, being, dan being-in-becoming. Orientasi doing berfokus pada jenis-jenis aktivitas yang memiliki keluaran eksternal yang dapat diukur.
Oleh karena itu aktivitas ini harus nyata. Dalam kerangka ini terdapat pula orientasi pada capaian hasil. Orientasi being merupakan ungkapan tentang sesuatu yang ada di dalam kepribadian manusia, sedangkan orientasi being-in-becoming menyatakan bahwa fokus aktivitas manusia adalah pada pencapaian yang terintegrasi dalam pengembangan diri.
Gudykunst dan Kim memberi contoh untuk orientasi ini adalah aktivitas yang dilakukan oleh kaum biarawan Zen Buddis. Mereka menghabiskan hidupnya untuk kontemplasi dan meditasi guna pengembangan diri secara penuh (Gudykunts dan Kim, 1997:75-77).
Dimensi kelima, orientasi relasional. Orientasi relasional terkait dengan dimensi individualisme-kolektivisme. Keterkaitan itu adalah karena cara-cara orang berinteraksi
memiliki fokus yang berbeda, yaitu ke arah individualisme atau kolektivisme. Cara-cara itu adalah individualisme, linealitas, dan kolateralitas. Cara individualisme berciri adanya otonomi individu. Dalam orientasi ini tujuan dan sasaran individu menjadi prioritas utama di atas tujuan dan sasaran kelompok. Berbeda dengan cara yang memiliki orientasi individualisme, linealitas berfokus pada kelompok. Dalam konteks ini, tujuan dan sasaran kelompok memiliki tempat yang lebih utama daripada tujuan dan sasaran individu.
Menurut Kluckhohn-Strodtbeck, orientasi linealitas berupa kontinuitas kelompok melalui waktu. Individu-individu adalah penting ketika terkait dalam keanggotaannya pada suatu kelompok. Orientasi kolateral berfokus pula pada kelompok, perbedaannya dengan linealitas adalah bahwa individu-individu akan diperhatikan ketika mereka berada dalam kelompok secara vis-a-vis (Gudykunst dan Kim, 1997:77).
Dengan mengacu pada paparan tersebut, orientasi nilai Kluckhohn-Strodtbeck dapat dikemukakan dalam Tabel II.3.
Tabel II.3. Orientasi Nilai Kluckhohn-Strodtbeck
Dimensi Orientasi Nilai
Sifat Manusia Jahat Campuran jahat-
baik
Baik
Sifat Orang Menguasai Menyelaraskan Mengendalikan
Waktu Masa lalu Masa kini Masa depan
Aktivitas Doing Being being-in-becoming
Relasional individualisme Linealitas Kolateralitas Sumber: Gudykunst dan Kim (1997).
II.5.3. Individualisme-Kolektivisme
Dalam Gudykunst dan Kim (1997:56) dikemukakan, dimensi utama variabilitas budaya adalah individualisme-kolektivisme. Dimensi ini digunakan untuk menjelaskan persamaan dan perbedaan budaya.
Menurut Hui dan Triandis (Triandis, 1995:31), dalam budaya kolektivistik, para anggota kelompok budaya sangat rentan terhadap pengaruh sosial karena adanya gagasan interdependensi, memberi perhatian pada penyelamatan muka dan integritas keluarga, serta menggunakan bersama hasil-hasil yang mereka raih di dalam kelompoknya. Selain itu juga menekankan ide pentingnya pengembangan kemampuan berhubungan sosial.
Gudykunst dan Lee (2002:27) mengemukakan bahwa di dalam individualisme terdapat kecenderungan-kecenderungan untuk menempatkan identitas individu di atas identitas kelompok. Dalam kerangka ini, tujuan-tujuan dan hak-hak individu memiliki tempat di atas tujuan-tujuan dan hak-hak kelompok. Demikian pula dengan kebutuhan- kebutuhan individu yang menempati posisi diatas kebutuhan-kebutuhan kelompok.
Hofstede (1994:50) berpendapat bahwa dalam masyarakat kolektivis, kepentingan kelompok berlaku di atas kepentingan individu. Kelompok (in-group) merupakan sumber identitas seseorang dan para anggota kelompok akan memandang diri sebagai ‘kami’.
Kelompok menjadi tempat berlindung bagi anggota pada saat menghadapi kesulitan hidup. Oleh karena itu para anggota akan senantiasa setia pada kelompok. Ketidaksetiaan dengan demikian adalah suatu perilaku yang dipandang buruk. Di sisi lain, masyarakat individualis akan menempatkan kepentingan individu di atas kepentingan kelompok.
Anggota kelompok memandang diri sebagai “aku”.
Karakteristik lain dari individualisme adalah adanya efisiensi diri, tanggungjawab individu, dan otonomi personal. Masyarakat individualistik memiliki tekanan pula pada inisiatif dan capaian prestasi yang muaranya adalah pada realisasi individu. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh para filsuf individualis, yaitu bahwa yang utama dalam individualisme adalah realisasi diri, karena setiap orang dipandang memiliki seperangkat talenta dan potensi diri yang berbeda satu sama lain. Sebaliknya, kolektivisme mengacu pada kecenderungan-kecenderungan budaya yang memiliki tekanan pada pentingnya identitas kelompok di atas identitas individu. Oleh karena itu hak-hak kelompok berada di atas hak-hak individu, sedangkan kebutuhan-kebutuhan in-group akan mendahului kemauan dan keinginan individu. Sementara hal-hal lain dari kolektivisme adalah interdependensi relasional, keselarasan in-group, dan semangat kolaboratif in-group.
Pada masyarakat kolektivistik, individu-individu dilahirkan dalam integrasinya dengan in-group, disertai dengan kohesi sosial yang kuat, antara lain ditunjukkan dengan adanya saling perlindungan di antara anggota in-group, serta adanya pertukaran kesetiaan yang bersifat taken for granted. Berbeda dengan individualisme yang memandang bahwa keunikan masing-masing individu menempati posisi utama, maka dalam kolektivisme, keunikan tersebut sifatnya sekunder (Gudykunst dan Kim, 1997:56).
Dalam masyarakat kolektivistik, aktivitas-aktivitas kolektif menjadi sesuatu yang dominan, sedangkan tanggungjawab atas aktivitas-aktivitas tersebut dimiliki dan menjadi
tanggungjawab bersama. Tekanannya adalah kolektivitas, keselarasan, dan kerjasama.
Pentingnya in-group dalam budaya individualistik dan kolektivistik dikemukakan oleh Triandis. Menurut Triandis, ada perbedaan dalam memandang pentingnya in-group
dalam budaya individualistik dan kolektivistik. Ruang pengaruh in-group dalam budaya individualistik sangat spesifik, sedangkan ruang pengaruh in-group dalam budaya kolektivistik bersifat umum. Oleh karena itu para anggota budaya individualistik cenderung untuk bersikap universalistik dan cenderung menggunakan standar nilai yang sama bagi setiap orang. Sebaliknya, para anggota budaya kolektivistik cenderung untuk partikularistik serta menggunakan standar nilai yang berbeda untuk para anggota in- group dan out-group (Gudykunst dan Lee, 2002:27).
Menurut Triandis, terdapat perbedaan antara budaya individualistik dan budaya kolektivistik. Pada masyarakat individualistik, secara horisontal, individu diharapkan berperilaku sebagai individu. Selain itu kesetaraan dan kebebasan memiliki nilai yang tinggi. Sementara secara vertikal, individu diharapkan untuk bertindak sebagai individu dan mencoba untuk berbeda dengan individu lainnya (Gudykunts dan Lee, 2002:29).
Adapun perbedaan itu dapat dicermati di Tabel II.4.
Tabel II.4. Budaya Individualistik dan Budaya Kolektivistik Budaya Individualistik Budaya Kolektivistik 1. Penekanan identitas “I”
2. Penekanan tujuan-tujuan individu 3. Penekanan diri
4. Hubungan timbal balik yang bersifat sukarela
5. Manajemen individu:
pengembangan/peningkatan diri, kepercayaan diri, pembedaan diri sesuai dengan keunikan masing- masing individu, otonomi personal, kompetisi, kompetensi, kesetaraan, keterbukaan,
kemandirian/independensi, efisiensi diri, tanggungjawab individu 6. Kepemilikan secara individual 7. Rasionalitas atau kesadaran
individu
8. Kebebasan pribadi
9. Realisasi individu: inisiatif dan capaian prestasi dengan
mengembangkan seperangkat talenta dan potensi yang berbeda antar individu
10. Menggunakan standar nilai yang sama untuk in-group dan out-group
1. Penekanan identitas “We”
2. Penekanan tujuan-tujuan kelompok 3. Penekanan in-group dan kehidupan
kolektif sebagai unit untuk mempertahankan hidup
4. Hubungan timbal balik yang bersifat wajib
5. Manajemen kelompok: bergantung pada orang lain di dalam
kelompoknya, interdependensi relasional, mementingkan identitas kelompok, keselarasan in-group, semangat kolaboratif in-group, semangat kerjasama yang kuat 6. Penekanan yang tinggi pada nilai
tanah dengan kegiatan pertanian 7. Penghormatan kepada leluhur 8. Rentan terhadap pengaruh sosial 9. Penekanan pada penyelamatan
muka dan intergritas keluarga 10. Kohesi sosial yang kuat
11. Menggunakan standar nilai yang berbeda untuk in-group dan out- group
Sumber: Gudykunst dan Kim (1997); Ting-Toomey (1999); Triandis (1995); Gudykunst dan Lee (2002); Hofstede (1994).
II.5.4. Variabilitas Budaya Hofstede
Dimensi variabilitas kultural yang lainnya adalah yang dikemukakan oleh Hofstede (1994). Ada empat dimensi, yaitu (1) individualisme, (2) penghindaran ketidakpastian, (3) jarak kekuasaan, dan (4) maskulinitas-femininitas.
Dalam studinya, dimensi individualisme dipisahkan Hofstede, yakni diintegrasikan
dan kolektivitas yang ada dalam suatu masyarakat. Hubungan tersebut tidak terbatas pada persoalan cara hidup bersama, namun terkait juga dengan norma-norma kemasyarakatan.
Oleh karena dalam suatu masyarakat dan masyarakat lainnya terdapat variasi hubungan individu dengan kolektivitas, maka dimensi ini dapat digunakan untuk melihat perbedaan antara satu masyarakat dan masyarakat lainnya.
Penghindaran ketidakpastian adalah dimensi yang memaparkan derajat upaya anggota kelompok dalam menghindari ketidakpastian. Menurut Hofstede (1994:109), ketidakpastian dirasakan dan dipelajari oleh seorang anggota budaya dari warisan budaya yang dipindahkan serta digerakkan melalui institusi dasar, seperti keluarga dan sekolah.
Perasaan itu direfleksikan ke dalam nilai-nilai yang dipegang secara kolektif oleh anggota masyarakat, serta kemudian menuntun pola-pola perilaku kolektif suatu masyarakat yang tidak mudah dipahami oleh masyarakat lainnya.
Para anggota budaya yang berderajat tinggi dalam menghindari ketidakpastian memiliki toleransi yang rendah pada ketidakpastian dan sesuatu yang sifatnya ambigu.
Para anggota dari kelompok budaya ini juga memiliki kebutuhan yang besar akan adanya peraturan formal dan kebenaran mutlak. Selain itu juga kurang memberi toleransi pada ide-ide atau perilaku-perilaku yang menyimpang dari peraturan formal. Sementara itu, orang-orang dari kelompok budaya yang memiliki derajat rendah dalam menghindari ketidakpastian akan memiliki karakteristik yang berlawanan dengan orang-orang yang memiliki derajat tinggi dalam menghindari ketidakpastian.
Hofstede (1994:27) menjelaskan jarak kekuasaan dengan mengambil dari paparan yang berasal dari skor power distance index. Dalam paparan itu dikemukakan bahwa