• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. tokoh utama dalam novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari sehingga akan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. tokoh utama dalam novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari sehingga akan"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

10

Penelitian ini menggunakan teori psikologi sastra untuk menganalis karakter tokoh utama dalam novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari sehingga akan ditemukan suatu gejala psikologis tokoh untuk mendiagnosis termasuk ke dalam bentuk apakah gangguan yang dialami tokoh tersebut. Setelah didapatkan bentuk psikologis yang ada pada tokoh utama, yaitu dalam penelitian ini ditemukan penyebab-penyebab psikologis yang mengacu pada diagnosa klinis penderita gangguan identitas disosiatif, maka digunakanlah teori gangguan identitas disosiatif untuk menganalis hal tersebut.

2.1 Unsur Pembangun Novel

Sebuah karya fiksi merupakan sebuah bangun cerita yang menampilkan sebuah dunia yang sengaja dikreasikan pengarang. Wujud formal fiksi itu sendiri hanya berupa kata, dan kata-kata. Karya fiksi dengan demikian, menampilkan dunia dalam kata, bahasa. Sebuah novel merupakan sebuah totalitas, suatu keme-nyeluruhan yang bersifat artistik. Sebagai sebuah totalitas, novel mempunyai bagian-bagian unsur-unsur, yang paling berkaitan satu dengan yang lain secara erat dan saling menggantungkan.

Unsur-unsur pembangun sebuah novel yang kemudian secara bersama membentuk sebuah totalitas disamping unsur formal bahasa, masih banyak lagi macamnya. Menurut Nurgiyantoro (2009: 23) pembagian unsur yang dimaksud adalah unsur intrinsik dan ekstrinsik, kedua unsur inilah yang sering banyak disebut para kritikus dalam rangka mengkaji dan atau membicarakan novel atau karya sastra pada umumnya.

(2)

Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra. Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang secara langsung turut serta membangun cerita. Unsur yang dimaksud misalnya tokoh, alur, tema dan latar belakang.

1) Tokoh

Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2009: 165) mengemukakan bahwa penggunaan istilah karakter dalam berbagai literatur bahasa Inggris menyaran pada dua pengertian yang berbeda, yaitu sebagai tokoh-tokoh cerita yang ditampilkan, dan sebagai sikap, ketertarikan, keinginan, emosi, dan prinsip moral yang dimiliki tokoh-tokoh tersebut. Dengan demikian, karakter dapat berarti tokoh-tokoh yang ditampilkan atau pelaku cerita dan perwatakan atau lebih cenderung kepada sifat.

Para tokoh dalam suatu cerita memiliki peranan yang berbeda-beda. Tokoh yang memiliki peranan penting dalam suatu cerita, atau tokoh yang sering diberi komentar dan dibicarakan oleh pengarangnya disebut tokoh utama atau tokoh inti (Aminudin, 2011: 79). Selain itu dalam menentukan tokoh utama juga dapat dilihat dari keseringan munculnya tokoh dalam suatu cerita. Dalam suatu cerita tokoh inti juga dibedakan menjadi dua, yaitu tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang membawakan perwatakan positif, sedangkan tokoh antagonis adalah tokoh yang sifatnya berlawanan dari tokoh protagonis. Tokoh antagonis adalah tokoh yang membawa nilai-nilai negatif.

Tokoh merupakan orang atau pelaku cerita yang dihadirkan dalam suatu cerita. Tokoh memiliki kecenderungan tertentu yang digambarkan melalui ucapan

(3)

dan apa yang dilakukan dalam sebuah tindakan. Berdasarkan tindakan atau ucapan yang dilakukan tokoh tersebut akan tergambar bagaimana watak atau karakter dari tokoh. Watak atau karakter pada tokoh sering disebut dengan istilah penokohan.

Hal serupa juga diutarakan Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2009: 166), menurut Abrams tokoh cerita adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Hubungan seorang tokoh dengan kualitas pribadinya berkaitan dalam penerimaan pembaca. Dalam teori resepsi, pembaca memberikan penilaian penuh terhadap tokoh cerita tersebut.

Tokoh adalah figur yang dikenai dan sekaligus mengenai tindakan psikologi. Dia adalah eksekutor dalam sastra. Jutaan rasa akan hadir lewat tokoh. Dalam sebuah novel tokoh memegang peranan yang sangat penting, namun tak lepas dari itu, tokoh dalam novel memegang peranan yang berbeda-beda. Ada tokoh yang penting ada pula tokoh tambahan (Anurkarina, 2015: 35).

Pandangan akan tokoh dalam sebuah cerita juga diutarakan Nurgiyantoro (2009: 166), hanya saja Nurgiyantoro menjelaskan istilah penokohan lebih luas pengertiannya daripada tokoh dan perwatakan sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas. Penokohan ini sekaligus menyaran pada teknik pewujudan dan pengembangan tokoh dalam cerita.

Fiksi mengandung dan menawarkan model kehidupan seperti yang disikapi dan dialami tokoh-tokoh cerita sesuai dengan pandangan pengarang terhadap

(4)

kehidupan itu sendiri. Karena pengarang yang sengaja menciptakan dunia dalam fiksi, ia mempunyai kebebasan penuh untuk menampilkan tokoh-tokoh cerita sesuai dengan seleranya, siapapun orangnya, apapun status sosialnya, bagaimana perwatakannya dan permasalahan apapun yang dihadapinya.

2) Tema

Tema menurut Stanton dan Kenny (dalam Nurgiyantoro, 2009: 67) adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sabagai struktur semantik dan yang menyangkut persamaan atau perbedaan-perbedaan. Tema disaring dari motif-motif yang terdapat dalam karya yang bersangkutan yang menentukan hadirnya peristiwa-peristiwa, konflik dan situasi tertentu.

Seorang pengarang memahami tema cerita yang akan dipaparkan sebelum melaksanakan proses kreatif penciptaan, sementara pembaca baru dapat memahami tema apabila mereka telah selesai memahami unsur-unsur yang menjadi media untuk mendeskripsikan tema tersebut, menyimpulkan makna yang dikandungnya serta mampu menghubungkan dengan tujuan penciptaan pengarang (Aminuddin dalam Siswanto, 2008: 161).

Pada hakikatnya, tema merupakan suatu ide pokok atau pokok pikiran. Dalam tema tersirat suatu tujuan cerita. Seperti apa tujuan cerita yang akan disampaikan maka tergantung pada tema yang diangkat oleh pengarang. Perlu diketahui bahwa tema semata-mata bukan sekedar apa yang ditentukan oleh pengarang dalam menceritakan sebuah persoalan semata, penentuan tema juga dapat ditafsirkan oleh pembaca sebagai penelaah cerita.

(5)

Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka ia pun bersifat menjiwai seluruh bagian cerita itu. Tema mempunyai generalisasi yang umum, lebih luas, dan abstrak. Eksistensi atau kehadiran tema adalah terimplisit dan merasuki keseluruhan cerita, dan inilah yang menyebabkan kecilnya kemungkinan pelukisan secara langsung tersebut. Penafsiran tema utama diprasyarati oleh pemahaman cerita secara keseluruhan (Nurgiyantoro, 2009: 69).

Masalah hidup dan kehidupan yang dihadapi dan dialami manusia amat luas dan kompleks, seluas dan sekompleks permasalahan kehidupan yang ada. Walau permasalahan yang dihadapi manusia tidak sama, ada masalah-masalah kehidupan tertentu yang bersifat universal. Artinya, hal itu akan dialami oleh setiap orang dimanapun dan kapanpun walau dengan itensitas yang tidak sama.

Novel mengangkat dan mengungkapkan kembali berbagai permasalahan hidup dan kehidupan tersebut setelah melewati penghayatan yang intens, seleksi subjektif dan diolah dengan daya imajinatif, kreatif oleh pengarang ke dalam bentuk dunia rekaan. Pengarang memilih dan mengangkat berbagai masalah hidup dan kehidupan itu menjadi tema kedalam karya fiksi sesuai dengan pengalaman, pengamatan dan aksi interaksinaya dengan lingkungan.

3) Alur

Plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain. Hal ini dikemukan oleh Kenny (dalam Nurgiyantoro, 2009: 113) bahwa plot adalah peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam cerita yang tidak bersifat sederhana, karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu berdasarkan kaitan sebab akibat.

(6)

Plot sebuah karya fiksi merupakan struktur peristiwa-peristiwa, yaitu sebagaimana yang terlibat dalam pengurutan dan penyajian berbagai peristiwa tersebut untuk mencapai efek emosional dan efek artistik tertentu. Penyajian peristiwa-peristiwa itu dalam sebuah karya sastra bersifat linear. Namun antara peristiwa-peristiwa yang dikemukakan sebelumnya dan sesudahnya belum tentu berhubungan langsung secara logis bersebab-akibat.

Hal serupa juga dikemukakan Nurgiyantoro (2009: 114), yang mana pertimbangan dalam pengolahan struktur cerita, penataan peristiwa-peristiwa, selalu dalam kaitannya pencarian efek tertentu. Misalnya, ia dimaksudkan untuk menjaga kesinambungan cerita, untuk mencari kejutan, atau komplesitas struktur. Struktur karya naratif yang kompleks, misalnya yang memiliki hubungan yang saling mengait antar peristiwa dan tokoh, namun tak diceritakan secara eksplsit, biasanya menawarkan lebih banyak kemungkinan dan karenanya lebih menantang.

Penampilan peristiwa demi peristiwa yang hanya mendasarkan diri pada urutan waktu saja belum merupakan plot, agar menjadi suatu plot maka peristiwa-peristiwa tadi harus diolah dan disiasati secara kreatif. Sehingga hasil pengolahan dan penyiasatan itu sendiri merupakan sesuatu yang indah dan menarik, khususnya dalam kaitannya dengan karya fiksi yang bersangkutan secara keseluruhan.

4) Latar

Latar sebuah karya fiksi barangkali hanya berupa latar yang sekedar latar, berhubung sebuah cerita memang membutuhkan landas tumpu dan pijakan. Latar netral tak memiliki dan tak mendeskripsikan sifat khas tertentu yang menonjol

(7)

yang terdapat dalam sebuah latar, sesuatu yang justru dapat membedakannya dengan latar-latar lain. Unsur latar yang ditekankan perannya dalam sebuah novel, langsung ataupun tak langsung, akan berpengaruh terhadap elemen fiksi yang lain, khususnya alur dan tokoh.

Hal ini juga disampaikan Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2009: 216), Abrams menjelaskan latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.

Pembicaraan tersebut sebenarnya telah menunjukkan betapa eratnya kaitan antara latar dan unsur-unsur fiksi yang lain. Latar sebuah karya yang sekedar berupa penyebutan tempat, waktu, dan hubungan sosial tertentu secara umum, artinya bersifat netral, pada umumnya tak banyak berperanan dalam pengembangan cerita secara keseluruhan.

Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial (Nurgiyantoro, 2009: 216). Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. Latar waktu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi masalah kapan tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan.

(8)

2.2 Psikologi Sastra

Atkinson (dalam Minderop, 2011: 3) mengutarakan bahwa psikologi berasal dari kata Yunani psyhe, yang berarti jiwa, dan logos yang berarti ilmu. Jadi psikologi berarti ilmu jiwa atau ilmu yang menyelidiki dan mempelajari tingkah laku manusia. Sastra merupakan pencerminan dari segi kehidupan manusia yang di dalamnya tersurat sikap, tingkah laku, pemikiran, pengetahuan, tanggapan, perasaan, imajinasi, serta spekulasi manusia itu sendiri. Oleh karena itu, psikologi merupakan salah satu aspek yang berkaitan langsung dengan karya sastra.

Psikologi sastra adalah kajian sastra yang memandang karya sastra sebagai aktivitas kejiwaan. Pengarang akan menggunakan cipta, rasa dan karsa dalam karyanya. Begitu pula dengan pembaca, dalam menanggapi karya juga tak akan lepas dari kejiwaan masing-masing. Bahkan sebagaimana sosiologi refleksi, psikologi sastra juga mengenal karya sastra sebagai pantulan kejiwaan. Pengarang akan menangkap gejala jiwa kemudian diolah kedalam teks dan dilengkapi dengan kejiwaannya. Proyeksi pengalaman sendiri imajiner kedalam teks sastra (Endrasswara, 2003: 96).

Ratna (2013: 342) mengutarakan jika psikologi sastra tidak bermaksud untuk memecahkan masalah-masalah psikologis praktis, akan tetapi lebih pada memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam karya sastra. Sesuai dengan hakikatnya, karya sastra memberikan pemahaman terhadap masyarakat secara tidak langsung. Melalui pemahaman terhadap tokoh-tokohnya, misalnya masyarakat dapat memahami perubahan, kontradiksi, dan penyimpangan-penyimpangan lain yang terjadi dalam masyarakat, khususnya dalam kaitannya dengan psikis.

(9)

Sastra tidak mampu melepaskan diri dari aspek psikis. Jiwa pula yang berkecamuk dalam sastra. Memasuki sastra akan terkait dengan psikologi karya itu. Inilah awal kehadiran psikologi sastra dalam penelitian sastra. Hal ini yang menjadikan penelitian pada novel Pasung Jiwa ini mengarah pada pendekatan psikologi sebagai studi tipe dan hukum-hukum yang diterapkan pada karya sastra. Secara spesifik dapat dijelaskan bahwa analisis yang akan dilakukan terutama diarahkan pada kondisi kejiwaan tokoh utama yang berperan dalam cerita, untuk mengungkap kepribadian secara menyeluruh.

2.3 Kepribadian

Kepribadian merupakan kajian psikologi yang lahir berdasarkan pemikiran, kajian atau temuan-temuan hasil praktik penanganan para kasus para ahli. Objek kajian kepribadian adalah perilaku manusia, yang pembahasannya terkait dengan apa, mengapa, dan bagaimana perilaku manusia.

Adapun kepribadian menurut Yusuf dan Juntika (2008: 3) merupakan terjemahan dari bahasa inggris personality. Kata personality berasal dari bahasa latin persona yang berarti topeng yang digunakan para aktor dalam suatu permainan atau pertunjukan. Disini para aktor menyembunyikan kepribadian yang asli, dan menampilkan dirinya sesuai dengan topeng yang digunakan.

Pendapat serupa juga dikemukakan Hall & Lindzey (dalam Yusuf dan Juntika, 2008: 3) yang menyebut bahwa secara popular, kepribadian dapat diartikan sebagai keterampilan atau kecakapan sosial, dan kesan yang paling menonjol yang ditunjukkan seseorang terhadap orang lain (seperti seseorang yang dikesankan sebagai orang yang agresif atau pendiam).

(10)

Berdasarkan beberapa pengertian mengenai kebudayaan menurut para ahli, istilah teori kepribadian dapat diartikan sebagai seperangkat asumsi tentang kualitas tingkah laku manusia beserta definisi empirisnya. Hal yang kita ketahui tentang manusia ialah makhluk hidup yang unik dibandingkan dengan makhluk lain seperti hewan. Dibandingkan dengan hewan, manusia lebih bergantung pada faktor psikologis, dan kurang bergantung kepada faktor biologis. Berkomunikasi dengan menggunakan simbol-simbol, sedangkan hewan tidak memiliknya. Namun dalam hal kematangan, manusia lebih lambat dibandingkan hewan.

Berbicara tentang kepribadian, Kartono (1990: 22) berpendapat bahwasanya segenap kepribadian itu diperengaruhi dari dalam, yaitu oleh dorongan-dorongan dan insting tertentu guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Kebutuhan yang dimaksudkan disini ialah kebutuhan biologis dan kebutuhan sosial. Jika kebutuhan-kebutuhan itu tidak terpenuhi, maka akan ada ketegangan dan frustasi.

Pengkajian tentang motif utama dalam kehidupan manusia ini seperti sebelum-sebelumnya, sebenernya hanya berotasikan pada usaha menghilangkan ketegangan dan frustasi untuk mencapai keseimbangan pada manusia itu sendiri. Disini keluarga berperan penting sebagai penentu utama dalam pembentukan kepribadian anak. Melalui perlakuan dan perwatakan yang baik, anak dapat dengan mudah memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, baik kebutuhan biologis maupun kebutuhan sosial. Apabila anak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya, maka anak akan cendrung berkembang menjadi pribadi yang baik.

2.4 Gangguan Disosiatif

Gangguan disosiatif menurut Nevid, Rathus dan Greene (2005: 202) adalah masalah kejiwaan pelaku yang ditandai dengan adanya perubahan perasaan

(11)

tentang kepribadian, memori, atau kesadaran. Pelaku yang mengalami gangguan ini memperoleh kesulitan untuk mengingat kembali peristiwa-peristiwa penting yang pernah terjadi pada dirinya, melupakan kepribadian yang dalam keadaan normal membuat diri kita menjadi satu kesatuan.

Gangguan disosiatif dibagi atas empat macam gangguan, yaitu amnesia disosiatif, fugue disosiatif, gangguan depersonalia dan gangguan identitas disosiatif atau kepribadian ganda. Berdasarkan pandangan Nevid, Rathus dan Greene, di bawah ini akan dijelaskan secara singkat mengenai keempat macam gangguan disosiatif.

1) Amnesia Disosiatif (Dissociative Amnesia)

Menurut Maldonado, Butler, dan Speigel (dalam Nevid, Rathus dan Greene, 2005: 206) amnesia disosiatif dipercaya sebagai tipe yang paling umum dari gangguan disosiatif. Amnesia diambil dari akar kata Yunani a-, berarti ‘tanpa’, dan mnasthai, yang berarti ‘untuk mengingat’. Amnesia bukanlah lupa yang biasa, seperti lupa akan nama sesorang atau dimana seseorang meletakkan kunci mobilnya. Kehilangan ingatan dalam amnesia lebih jauh atau luas cangkupannya.

Gejala amnesia merupakan gejalah yang umum terjadi pada amnesia disosiatif, fugue disosiatif, dan gangguan identitas disosiatif. Diagnosa amnesia disosiatif tepat apabila diberikan pada gangguan disosiatif yang hanya menunjukkan gejala amnesia saja. Individu yang mengalami amnesia disosiatif dapat secara mendadak kehilangan kemampuan untuk mengingat kembali informasi tentang dirinya sendiri ataupun berbagai informasi yang sebelumnya telah ada dalam memori pelaku. Biasanya hal ini terjadi setelah peristiwa yang menekan misalnya menyaksikan kematian seseorang yang dicintai.

(12)

Nevid, Rathus dan Greene (2005: 206) berpendapat bahwasanya kebanyakan kasus dari amnesia disosiatif mengambil bentuk dari amnesia terlokalisasi dimana peristiwa yang terjadi dalam suatu periode waktu tertentu hilang dari ingatan. Misalnya, orang tersebut tidak mampu mengingat kembali untuk beberapa jam atau hari setelah suatu kejadian yang menekan atau traumatis, seperti perang atau pengeboman.

Bentuk lain dari amnesia disosiatif menurut Nevid, Rathus dan Greene (2005: 206) mencangkup amnesia selektif dan amnesia keseluruhan. Dalam amnesia selektif, pelaku hanya lupa pada hal-hal khusus yang mengganggu yang terdapat pada suatu periode waktu. Misalnya, pelaku dapat mengingat suatu periode hidup yang dimana pelaku melakukan perselingkuhan, akan tetapi pelaku tidak ingat peristiwa perselingkuhan itu yang membuat pelaku merasa bersalah. Bentuk terakhir dari amnesia disositif ialah amnesia menyeluruh, pelaku lupa akan semua kehidupannya seperti siapa dirinya, apa pekerjaannya, dimana tempat tinggalnya dan dengan siapa dia tinggal.

Gangguan amnesia disosiatif mengakibatkan pelaku mendadak kehilangan kemampuan untuk mengingat kembali informasi tentang dirinya. Bentuk-bentuk dari amnesia ini berorentasikan pada kelemahan daya ingat pelaku dalam mengingat kembali memori yang pernah ada, baik pada hal-hal tertentu bahkan pada ingatan keseluruhan.

2) Gangguan Identitas Disosiatif

Menurut Kartono (1981: 93) gangguan identitas disosiatif adalah masalah kejiwaan yang ditandai dengan adanya perubahan perasaan pelaku tentang kepribadian, memori, atau kesadaran. Pelaku yang mengalami gangguan disosiatif

(13)

memperoleh kesulitan untuk mengingat peristiwa-peristiwa penting yang pernah terjadi pada diri pelaku, melupakan kepribadian diri bahkan membentuk kepribadian baru.

Menurut DSM-IV-TR (The Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, 4th edition text revision) (dalam Davison, Gerald dkk, 2006: 258) gangguan identitas disosiatif yang sebelumnya disebut gangguan kepribadian ganda yang merupakan pembentukan dua atau lebih kepribadian berbeda. Gangguan identitas disosiatif mengakibatkan ketidakmampuan pelaku dalam mengingat informasi penting yang dimiliki.

Gangguan identitas disosiatif merupakan salah satu dari beberapa macam gangguan disosiatif yang ada. Berbeda dengan gangguan amnesia disosiatif yang berorintasikan pada hilanganya ingatan pada hal-hal khusus ataupun keseluruhan, gangguan identitas disosiatif ini berorientasikan pada pembetukan kepribadian baru pada diri pelaku untuk menyikapi tekanan-tekanan maupun keinginan yang dipendam. Berhubungan dengan adanya kepribadian yang baru, si pelaku akan merasa nyaman dengan hilangnya memori-memori yang membuat dirinya tertekan.

3) Fugue Disosiatif (Dissociative Fugue)

Bentuk ketiga dari gangguan disosiatif ialah fugue disosiatif. Nevid, Rathus dan Greene (2005: 207) menyatakan bahwa Fugue berasal dari bahasa latin Fugere, yang berati melarikan diri. Kata fugitive (pelarian/buronan) memiliki asal kata yang sama. Pada fugue disosiatif, memori yang hilang jauh lebih luas daripada amnesia disosiatif. Pelaku tidak hanya kehilangan seluruh ingatannya (misalnya nama, keluarga, atau pekerjaanya), mereka juga secara mendadak

(14)

meninggalkan rumah dan pekerjan mereka serta memiliki kepribadian yang baru. Pelaku dengan gangguan ini secara tiba-tiba dapat memiliki nama yang baru, rumah serta pekerjaan baru, bahkan membentuk karakteristik kepribadian yang baru.

Menurut Maldonado dalam (Nevid, Rathus dan Greene, 2005: 207) selain perilaku yang aneh ini, pelaku tersebut dapat terkesan normal dan tidak menunjukkan tanda-tanda lain dari gangguan mental. Pelaku tidak lagi memikirkan tentang masa lalu, atau melaporkan masa lalu yang penuh dengan ingatan kesalahan tanpa menyadari bahwa ingatan ini salah.

Bila orang dengan amnesia disosiatif tampak berjalan-jalan tanpa tujuan, orang dalam tahap fugue bertindak lebih terarah. Mereka tetap berada dekat dengan tempat tinggal mereka. Mereka menghabiskan waktu siangnya di taman atau menonton bioskop, atau mereka menghabiskan malam harinya di hotel menggunakan nama dari kepribadian yang baru, biasanya hanya dengan sedikit atau tanpa kontak dengan orang lain saat berada dalam tahap fugue. Namun identitas baru ini tidaklah lengkap serta mengambang, dan kesadaran dirinya akan masa lalu dapat muncul dalam waktu beberapa jam atau beberapa hari.

4) Gangguan Depersonalisasi

Bentuk terakhir dari gangguan disosiatif adalah gangguan depersonalisasi Nevid, Rathus dan Greene (2005: 209) menyebutkan jika gangguan ini ditandai dengan adanya perubahan persepsi yang terjadi secara berulang atau menetap tentang diri sendiri, mereka untuk sementara waktu merasakan hilangnya keyakinan bahwa mereka merupakan individu yang nyata.

(15)

Davison dkk (2006: 257) juga menjelaskan jika derealisasi suatu perasaan tidak nyata mengenai dunia luar yang mencangkup perubahan-perubahan yang aneh dalam persepsi mengenai lingkungan sekitar, atau dalam perasaan mengenai periode waktu juga dapat muncul. Pelaku dan objek juga dapat tampak berubah ukuran atau bentuk dan dapat pula mengeluarkan suara yang berbeda. Semua perasaan ini dapat diasosiasikan dengan kecemasan, termasuk pusing dan ketakutan akan menjadi gila atau dengan depresi.

Pada gangguan disositif yang terakhir ini, memori atau daya ingat individu tidak mengalami gangguan, berbeda dengan gangguan-gangguan disosiatif lain yang berorientasikan pada kelemahan daya ingat. Hanya saja pelaku dengan gangguan depersonalisasi biasanya berpikir bahwa dirinya adalah robot, merasa bahwa dirinya sedang bermimpi atau terpisah dari tubuh mereka, merasa melihat diri mereka dari kejauhan atau menonton diri mereka sendiri seolah bergerak di dunia yang tidak nyata.

2.5 Gangguan Identitas Disosiatif

Gangguan identitas disosiatif ialah masalah kejiwaan yang dihadapi seseorang dengan memiliki dua atau lebih kepribadian yang berbeda. Wade (2007: 356) berpendapat bahwasanya para ahli meyakini bahwa gangguan tersebut bermula sejak masa kanak-kanak, sebagai suatu cara untuk mengatasi trauma, seperti tindakan kekerasan. Berdasarkan pandangan ini, trauma menyebabkan suatu pemisahan mental, dimana satu kepribadian akan muncul untuk menangani pengalaman sehari-hari, dan kepribadian lainnya akan muncul untuk menghadapi pengalaman-pengalaman yang buruk.

(16)

Dalam Wade (2007: 356), terdapat kelompok yang meyakini bahwa sebagian besar kasus gangguan kepribadian ganda secara tidak langsung muncul akibat dari interaksi yang terjadi di antara para praktisi klinis dengan klien mereka yang memiliki kerentanan yang disebabkan oleh masalah-masalah psikologis yang mereka miliki.

Data menunjukkan bahwa pada sebelum tahun 1980-an, hanya sedikit kasus akan gangguan kepribadian ganda yang terdiagnosis di seluruh dunia, namun pada tahun 1990-an jumlah kasus gangguan kepribadian ganda dilaporkan meningkat menjadi puluhan ribu (Greene, Rathus dan Nevid, 2005: 204). Hal ini membuat sejumlah praktisi mengatakan bahwa kepribadian ganda lebih umum terjadi daripada yang diyakini sebelumnya. Namun, ahli-ahli yang lain tidak terlalu yakin akan gangguan ini. Sejumlah ahli percaya bahwa gangguan tersebut terlalu cepat didiagnosis pada orang-orang yang sangat mudah tersugesti yang bisa saja hanya mengikuti sugesti bahwa mereka mungkin memiliki gangguan tersebut. Meskipun masih menjadi pertanyaan apakah kepribadian ganda adalah fenomena nyata atau suatu bentuk bermain peran, tidak ada keraguan bahwa pelaku yang menampilkan tingkah laku tersebut memiliki kesulitan emosional dan perilaku yang serius.

Manusia pada umumnya pasti pernah mengalami hari-hari dimana bertindak tidak seperti diri sendiri. Hal ini dianggap normal dan bukan yang dimaksud dengan kepribadian ganda. Menurut DSM-IV-TR (dalam Davison dkk, 2006: 258), diagnosis gangguan identitas disosiatif dapat ditegakkan bila seseorang setidaknya memiliki dua kepribadian yang terpisah, atau berubah-ubah dalam keberadaan, perasaan dan tindakan yang satu sama lain tidak saling mempengaruhi dan muncul serta memegang kendali pada waktu yang berbeda.

(17)

Boonn & Draijer (dalam Davison dkk, 2006: 258) mengemukakan jika gangguan identitas disosiatif biasanya terjadi pada masa kanak-kanak, namun jarang terdiagnosis hingga usia dewasa. Gangguan seperti ini dinilai Boon dan Draijer lebih luas dibandingkan dengan gangguan disositif yang lain, dan penyembuhannya pun kurang menyeluruh. Boon juga menyatakan gangguan ini jauh lebih sering terjadi pada perempuan dari pada laki-laki. Penegakan diagnosis lain khusunya depresi, gangguan kepribadian ambang, dan gangguan somatisasi. Gangguan identitas disosiatif umumnya disertai sakit kepala, penyalahgunaan zat, fobia, hanusinasi, upaya bunuh diri, disfungsi seksual, perilaku melukai diri sendiri dan juga simtom-simtom disosiatif lain seperti amnesia dan depersonalisasi.

Kasus Eve White pada masanya merupakan laporan kasus GID yang didokumentasikan secara teliti dalam literarur klinis. Namun, banyak kasus lain yang diungkapkan. Salah satu kasus dimuat di Journal of Abnormal Psychology pada tahun 1976 (Davison dkk, 2006: 261). Tiga Wajah Evelyn merupakan riwayat rinci yang ditulis oleh Robert F. Jeans, psikiater yang menangani pasien tersebut. Hasil terapeutiknya berupa integrasi atau frusi beberapa kepribadian pasien, bukan menghilangkan semua kepribadian dan menyisakan satu kepribadian.

Ross (dalam Davison dkk, 2006: 261) mengatakan bahwa sebagian ahli kontemporer menganggap berbagai kepribadian tersebut sebagai aspek-aspek penting dari orang tersebut secara keseluruhan, sehingga tujuan terapeutik yang secara umum diterima adalah upaya untuk menyatukan seluruh kepribadian menjadi satu kepribadian tunggal.

(18)

2.6 Bentuk Gangguan Identitas Disosiatif

DSM-IV-TR (The Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, 4th edition text revision) (dalam Davison, dkk, 2006: 258) diagnosis gangguan identitas disosiatif (GID) dapat ditegakkan apabila seseorang memiliki sekurang-kurangnya dua kondisi kepribadian yang terpisah. Menurut Nevid dkk (2005: 203) ada empat bentuk gangguan identitas disosiatif berdasarkan beberapa kasus pasien yang mengalami gangguan identitas disosiatif. Bentuk yang pertama ialah kepribadian utama yang tidak menyadari hadirnya kepribadian pengganti, kepribadian yang muncul setelah kepribadian yang melekat pada diri pelaku. Bentuk yang kedua ialah ada satu kepribadian yang dominan dengan adanya beberapa kepribadian yang tersisihkan. Bentuk ketiga dari gangguan identitas disosiatif ialah kedua kepribadian yang berada dalam diri pelaku tidak saling menyadari satu sama lain. Bentuk terakhir dari gangguan identitas disosiatif ialah kedua kepribadian yang berada dalam diri pelaku saling bertentangan dan bersaing untuk mendapat kontrol diri pelaku.

Pada bentuk pertama yang berupa kepribadian utama tidak menyadari hadirnya kepribadian pengganti, kepribadian yang hadir setelah kepribadian yang melekat pada diri pelaku. Nevid dkk (2005: 204) dan Durand (2006: 253) menyatakan bahwasanya bentuk ini ditandai dengan adanya kegagalan dalam diri pelaku untuk mengingat kembali informasi pribadi yang terlalu penting untuk dianggap sebagai lupa biasa. Kegagalan dalam mengingat informasi penting dalam diri pelaku menjadikan pelaku berkeyakinan bahwa dirinya merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak menyadari pergantian antar kepribadian. Pada bentuk pertama ini hanya kepribadian pengganti yang menyadari hadirnya kepribadian utama.

(19)

Pada bentuk kedua yang berupa adanya salah satu kepribadian yang dominan dalam diri pelaku. Nevid (2005: 203) menyatakan bahwasanya hal ini ditandai dengan adanya kecendrungan salah satu kepribadian yang menunjukkan diri, dan sebaliknya ada kepribadian yang tersisihkan dan jarang muncul menampakkan diri. Melihat kedua penanda tersebut, pada bentuk ini bisa disimpulkan bahwa salah satu kepribadian mempunyai kemampuan untuk menyisihkan kepribadian yang lain. Kepribadian dominan atau inti dan pengganti, tentunya tetap ada penanda yang menunjukkan bahwa kepribadian yang seringkali muncul sudah dapat diketahui bahwa kepribadian tersebut ialah kepribadian dominan. Sedangkan kepribadian yang jarang sekali muncul merupakan kepribadian tersisih yang dimiliki pelaku dan jarang tampak untuk memperlihatkan diri.

Pada bentuk ketiga yang berupa kedua kepribadian tidak saling menyadari satu sama lain. Davison (2006: 258) dan Nevid dkk (2005: 203) menyatakan bahwasanya bentuk ini dapat ditandai dengan adanya kesenjangan ingatan atas apa yang telah diperbuat oleh pelaku. Kemudian terjadi karena sekurang-kurangnya semua kepribadian hanya memiliki sedikit kontak dengan kepribadian yang lain. Pada bentuk ini semua kepribadian hanya memiliki sedikit ingatan mengenai seperti apa kepribadian yang lain, bahkan tidak mengenali sama sekali bahwa ia memiliki kepribadian yang berbeda. Bentuk ini tentunya melihat bahwa tidak adanya kaitan antara kepribadian satu dengan kepribadian lainnya, sehingga apapun pergantian setiap kepribadian tetap tidak disadari oleh diri pelaku.

Pada bentuk terakhir yang berupa kedua kepribadian bersaing untuk mendapatkan kontrol diri pelaku. Davison (2006: 258), Nevid (2005: 204) dan

(20)

Durand (2006: 253) menyatakan bahwasanya bentuk ini ditandai dengan setiap kepribadian yang bersifat cukup kompleks, memiliki pola perilaku, ingatan, dan hubungan tersendiri. Masing-masing kepribadian menentukan tindakan pelaku bila sedang memegang kendali. Biasanya masing-masing kepribadian tersebut cukup berbeda, bahkan saling bertentangan. Bentuk kepribadian ini akan menjadi sebuah pengendali dalam setiap memunculkan salah satu kepribadian. Oleh karena itu, kepribadian ini akan tampak untuk memperlihatkan diri bahwa kepribadian tersebut menarik bagi diri pelaku.

Beberapa kepribadian pengganti umumnya mencakup anak-anak dari berbagai usia, remaja dengan jenis kelamin yang berbeda, pekerja seks komersial, serta laki-laki homoseksual dan wanita lesbian. Menurut Nevid dkk (2005: 203) Beberapa kepribadian dapat menunjukkan sindrom-sindrom psikis putus dari realitas yang diekspresikan dalam bentuk halusinasi dan berpikir yang tidak sewajarnya.

2.7 Penyebab Gangguan Identitas Disosiatif

Boonn & Draijer dalam Davison dkk (2006: 258) mengemukakan jika gangguan identitas disosiatif biasanya terjadi pada masa kanak-kanak, namun jarang terdiagnosis hingga usia dewasa. Gangguan seperti ini dinilai Boon dan Draijer lebih luas dibandingkan dengan gangguan disositif yang lain, dan penyembuhannya pun kurang menyeluruh. Kartono (1981: 93) menyatakan bahwasanya ada empat penyebab gangguan identitas disosiatif. Penyebab yang pertama ialah adanya kelemahan sistem saraf dalam diri pelaku. Penyebab yang kedua ialah pelaku pernah mengalami kesusahan berat. Selanjutnya, penyebab ketiga dari gangguan identitas disosiatif ialah adanya usaha meredam keinginan

(21)

pada diri pelaku. Penyebab terakhir gangguan identitas disosiatif ialah adanya dorongan dari kemauan yang ingin berdiri sendiri dalam diri pelaku.

Pada penyebab gangguan identitas disosiatif yang pertama yaitu kelemahan sistem syaraf. Smeltzer dan Bare (2002: 68) menyatakan kelemahan dalam sistem terjadi aneurisma intracranial (serebral) yang merupakan dinding arteri serebral yang berkembang sebagai hasil dari kelemahan dinding arteri. Pecahnya aneurisma selalu terjadi tiba-tiba, tidak selalu disertai dengan sakit kepala yang berat dan sering kehilangan kesadaran untuk periode yang bervariasi. Baihaqi (2005: 25) menyatakan bahwasanya kelemahan pada sistem saraf ini dapat mempengaruhi seluruh aspek yang berhubungan dengan tingkah laku dan daya tahan terhadap stres. Kriteria kelemahan sistem saraf ditandai dengan kurangnya gizi pada diri pelaku, misalnya penurunan pada glukosa darah yang menyebabkan pelaku mudah emosi. Selanjutnya penanda pada kelemahan sistem saraf ini ialah adanya kelainan pada gen pelaku. Penanda selanjutnya ialah pelaku pernah mengalami penyakit semisal Parkinson yang biasanya disertai dengan gejala depresi. Kelemahan dalam sistem saraf ini juga bisa berupa lobus occipital yang menyebabkan seseorang mendadak kasar, berilusi dan mengalami halusinasi visual. Selain itu menurut Wade (2016: 143-144) kelemahan pada sistem saraf juga ditandai dengan ketidakselarasan antar hemisfer kiri dan kanan, menjadikan pelaku tidak lagi bisa berpikir rasional dan sering berhalusinasi dengan apa yang tidak dia alami.

Penyebab gangguan identitas disosiatif yang kedua yaitu mengalami kesusahan berat. Menurut Davison (2006: 258-262) kesusahan ini diakibatkan oleh penyiksaan berat secara fisik atau seksual di masa kanak-kanak. Penyiksaan

(22)

tersebut mengakibatkan dissosiasi dan terbentuknya berbagai kepribadian lain sebagai suatu cara untuk mengatasi trauma. Selain itu Baihaqi (2005: 30) juga menjelaskan jika kesusahan ini juga ditandai dengan adanya tekanan-tekanan dengan apa yang tidak disukai oleh pelaku. Tekanan ini membuat pelaku menjadi sengsara dan terkekang seperti hubungan orangtua dan anak yang tidak harmonis, stress berat yang datang berturut-turut dan kurangnya perhatian ibu kepada anaknya. Sedangkan menurut Durand (2006: 257) kesusahan itu tidak semata-mata disebab oleh penyiksaan yang didapatkan pelaku. Kesusahan itu bisa berupa kenangan pahit yang pernah dialami pelaku, seperti melihat melihat ibu dan bapaknya meninggal saat menginjak ranjau di medan perang. Kejadian yang menyayat hati diyakini Durand sebagai penanda penyebab gangguan identitas disosiatif berupa mengalami kesusahan besar.

Penyebab gangguan identitas disosiatif yang ketiga ialah usaha pelaku dalam meredam keinginan meredam keinginan. Hal ini menurut Kartono (1981: 93) ditandai dengan kegagalan pelaku untuk mewujudkan apa yang diinginkan sebab terhalang oleh keadaan, si pelaku pun tidak mempunyai kesempatan untuk mencapai apa yang diinginkannya. Keadaan itu membuat pelaku selalu berandai-andai bisa memiliki sesuatu yang dinginkan tersebut. Pada akhirnya kecendrungan-kecendurungan tersebut dimasukkan ke dalam sifat beberapa kepribadian dan tidak terkendali.

Penyebab gangguan disosiatif terakhir ialah dorongan untuk berdiri sendiri secara liar. Kartono (1981: 93) menyatakan bahwasanya hal ini ditandai dengan fungsi kemauan itu yang merupakan keinginan dari kepribadian berbeda, kemudian dia berkonflik dengan fungsi-fungsi bagian kemauan yang tadi.

(23)

Sehingga dorongan-dorongan kemauan ini masing-masing sudah berdiri sendiri. Maka terjadilah perpecahan pribadi, pribadi majemuk atau kepribadian ganda. Teori ini juga diutarakan Spanos (dalam Davison dkk, 2006: 264) yang menyatakan bahwa orang dengan gangguan identitas disosiatuf ini memiliki kemampuan dalam berfantasi kehidupan dan sering membayangkan bahwa mereka adalah orang lain bukan dirinya sendiri.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan semua uraian di atas maka dapat didefenisikan bahwa Interpretasi Citra untuk Survei Geologi adalah perbuatan mendeteksi,

U knjizi se saznaje puno više o Petru Panu, njegovom ţivotu prije dolaska u Nigdjezemsku gdje se objašnjava kako je Petar pobjegao nakon što je čuo svoje

Basis data terdiri atas semua fakta yang diperlukan, dimana fakta tersebut digunakan untuk memenuhi kondisi kaidah-kaidah dalam sistem.. Basis data menyimpan semua fakta, baik

menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang berjudul: ”Analisis Penilaian Kinerja Organisasi Dengan Konsep Balance Scorecard (Studi Kasus Pada PT. Forum Agro

PFNGARUH KONSENTRASI ASAM SITRAT TEfuIADAI KAR,{KTENSTIK PIGMEN ANTOSIANIN BAYAM MnRr\]:l (A otMthB

Diantara karakteristik pribadi yang lebih relevan mempengaruhi perilaku persepsi adalah sikap, motif, kepentingan atauminat, pengalaman masa lalu, dan pengharapan

Pengetahuan yang dimiliki penghuni rumah II mengenai PSN tinggi.Persepsi terhadao PSN sudah cukup, serta penghuni rumah dapat mengpalikasikan tindakan PSN dengan baik.Namun,

For the 2006 income tax year all persons conducting business activities are required to complete and lodge a 2006 income tax form unless all income received by that person has