1
AKIBAT HUKUM KEPAILITAN PT. MITRA SAFIR SEJAHTERA ERHADAP TRANSAKSI JUAL BELI APARTEMEN KEMANGGISAN RESIDENCE
(STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 28/PKPU/PN.NIAGA.Jkt.Pst)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
OLEH:
NATASYA AISYAH SITOMPUL NIM : 140200428
DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2018
Universitas Sumatera Utara
2
Universitas Sumatera Utara
i
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur Penulis ucapkan kepada kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan hidayahNya kepada Penulis, sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini untuk menyelesaikan studinya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini disusun untuk melengkapi tugas dan syarat dalam memperoleh gelar sarjana hukum di Universitas Sumatera Utara, yang merupakan kewajiban bagi setiap mahasiswa/i yang akan menyelesaikan perkuliahannya.
Adapun judul skripsi yang Penulis kemukakan adalah : “AKIBAT HUKUM KEPAILITAN PT. MITRA SAFIR SEJAHTERA TERHADAP TRANSAKSI JUAL BELI APARTEMEN KEMANGGISAN RESIDENCE (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 28/PKPU/PN.NIAGA.Jkt.Pst)”.
Penulis telah bekerja semaksimal mungkin dalam penyelesaian skripsi ini.
Namun, penulis menyadari masih banyak kekurangan, baik dari segi isi maupun dalam penulisannya.
Melalui kesempatan ini Penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian penulisan skripsi ini.
1. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Dr. Oka Saidin, SH., M.Hum, Bapak Dr. Jelly Leviza, SH., M.Hum, yang masing-masing selaku Pembantu Dekan I, Pembantu Dekan II, Pembantu Dekan III pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Universitas Sumatera Utara
ii
3. Bapak Mulhadi, SH., M.Hum selaku Dosen Penasehat Akademik dari Penulis yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada Penulis.
4. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., MH selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada Penulis.
5. Ibu Tri Murti Lubis, SH., MH, selaku Sekretaris Departemen Hukum Ekonomi dan selaku Dosen Pembimbing II Penulis yang telah memberikan bimbingan ataupun arahan kepada Penulis dan memeriksa skripsi ini agar menjadi lebih sempurna.
6. Ibu Prof. Dr. Sunarmi, SH., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I Penulis, yang telah meluangkan waktu untuk membimbing, mengarahkan, dan memeriksa skripsi ini agar menjadi lebih baik.
7. Kepada Ayahanda Erbin Sitompul dan Ibunda Lidya Sasando Parapat, yang dengan penuh semangat dan kasih sayang telah memberikan dukungan kepada Penulis.
8. Kepada sahabat saya Junita Sari, Nelli Ayunda Putri, Widya Sujud Nadia, terima kasih atas kebersamaan dan semangatnya dalam membantu penulis menyelesaikan skripsi ini.
9. Kepada seluruh Stambuk 2014 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, terima kasih atas kebersamaannya dan dukungannya.
Universitas Sumatera Utara
iii
10. Kepada seluruh pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan dalam penulisan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa hasil akhir penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Medan, Juni 2018
Penulis
Natasya Aisyah Sitompul 140200428
Universitas Sumatera Utara
iv DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iv
ABSTRAK ... vi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 9
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 10
D. Keaslian Penulisan ... 11
E. Tinjauan Kepustakaan ... 12
F. Metode penelitian... 17
G. Sistematika Penulisan ... 20
BAB II PENGATURAN KEPAILITAN DI INDONESIA A. Dasar Hukum Kepailitan di Indonesia ... 22
B. Pengertian Kepailitan ... 27
C. Syarat-syarat Pailit ... 33
D. Proses Kepailitan 1. Pemeriksaan Permohonan Pailit ... 42
2. Pengurusan dan Pemberean Proses Kepailitan ... 46
BAB III AKIBAT HUKUM KEPAILITAN PT. MITRA SAFIR SEJAHTERA A. Proses Putusan Pailit PT. Mitra Safir Sejahtera ... 54
Universitas Sumatera Utara
v
B. Akibat Hukum Putusan Pailit... 56 C. Akibat Hukum Putusan Pailit PT. Mitra Safir Sejahtera
1. Akibat Hukum Putusan Pailit PT. Mitra Safir Sejahtera Terhadap Apartemen Kemanggisan Residence ... 62 2. Akibat Hukum Putusan Pailit PT. Mitra Safir Sejahtera
Terhadap Pembeli Apartemen ... 63 D. Perlindungan Hukum Pembeli Apartemen Kemanggisan Residence 65 BAB IV ANALISIS PROSES KEPAILITAN PT. MITRA SAFIR
SEJAHTERA
A. Kasus Posisi ... 68 B. Pertimbangan Hukum dalam Putusan No.
28/PKPU/2011/PN.Niaga.Jkt.Pst ... 81 C. Analisis Putusan No. 28/PKPU/2011/PN.Niaga.Jkt.Pst ... 88 BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 95 B. Saran ... 97 DAFTAR PUSTAKA ... 99
Universitas Sumatera Utara
vi ABSTRAK
Natasya Aisyah Sitompul * Sunarmi**
Tri Murti Lubis***
Indonesia merupakan negara berkembang yang terus melakukan pembangunan secara berkala terutama dibidang infrastrukrur dan property, seperti rumah susun, apartemen,dll. Pembangunan tersebut merupakan solusi bagi tingginya jumlah penduduk Indonesia, sedangkan tanah di Indonesia terbatas.
Perusahaan berlomba-lomba untuk bersaing melakukan pembangunan rumah susun serta apartemen yang diminati masyarakat, namun masalah pasti akan terjadi ketika Pihak Perusahaan tidak dapat menjaga kepercayaan dari masyarakat, seperti halnya yang terjadi pada PT. Mitra Safir Sejahtera yang tidak sanggup menyelesaikan pembangunan Apartemen, sehingga Kreditur mengajukan gugatan ke Pengadilan, dan PT Mitra Safir Sejahtera dinyatakan pailit. Adapun permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini yaitu mengenai bagaimana pengaturan mengenai kepailitan yang ada di Indonesia, kepailitqan PT. Mitra Safir Sejahtera dan apa saja akibat dari kepailitan tersebut terhadap para Pembeli. Oleh sebab itu, mengenai kepailitan menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Hutang, akibat hukum kepailitan PT. Mitra Safir Sejahtera terhadap transaksi jual beli apartemen, penting unntuk diteliti.
Penulisan ini menggunakan jenis penelitian hukum yuridis normatif yaitu menitikberatkan pada data sekunder yaitu dengan memaparkan tentang peraturan yang berlaku dalam mengatur kepailitan dalam penyelesaian transaksi jual beli apartemenyang dilakukan PT. Mitra Safir Sejahtera. Jenis data yang digunakan adalah jenis data primer dan data sekunder. Analisis data yang digunakan adalah dengan cara kualitatif.
Dalam hal kepailitan PT. Mitra Safir Sejahtera, maka para Pembeli Apartemen Kemanggisan Residence kehilangan haknya terhadap unit apartemen yang sudah mereka beli.dan perjanian jual beli menjadi hapus. Kendatipun demikian, kepailitan tersebut tidak menutup kemungkinan para Pembeli untuk mengajukan gugatan sesuai dengan yang telah diatur dalam undang-undang kepailitan apabila para Pembeli merasa dirugikan.
Kata Kunci :Kepailitan, Perusahaan
*Mahasiswa Depatemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum USU Medan
**Dosen Pembimbing I
***Dosen Pembimbing II
Universitas Sumatera Utara
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum Kepailitan di Indonesia sudah ada sejak pemerintahan kolonial Belanda, dimana pengaturan mengenai kepailitan tersebut diatur dalam Wetboek Van Koophandel atau yang biasa disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) pada bab III mengenai peraturan tentang ketidakmampuan pedagang dan Reglement op de Rechtsvoordering (RV) pada buku ketiga bab ketujuh tentang keadaan nyata tidak mampu. 1
Pengaturan mengenai kepailitan tersebut kemudian diganti dengan Faillisements Verordening yang berlaku berdasarkan Staatblaads No. 276 Tahun 1905 dan Staatsblaad No. 348 Tahun 1906. Namun Faillisements Verordening tersebut hanya berlaku bagi golongan Eropa saja.2
Setelah kemerdekaan Indonesia, pengaturan mengenai kepailitan di Indonesia masih tetap diatur dalam Faillisements Verordening yang merupakan warisan dari pemerintahan kolonial Belanda. Hal ini sesuai dengan ketentuan UUD 1945 pasal 2 peraturan peralihan yang menyatakan bahwa setiap peraturan yang ada masih berlaku selama belum ada yang mengggantikannya.
Namun dalam praktiknya, Faillisements Verordening jarang digunakan.
Hal ini disebabkan karena peraturan tersebut kurang dikenal oleh masyarakat.
Selain itu dalam pelaksaannya sulit untuk diterapkan, dimana hal ini dapat dilihat
1 Syamsudin M. Sinaga, Hukum Kepailitan Indonesia, Jakarta: PT. Tatanusa, 2012, hlm.
20.
2 Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan, Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan, Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 2010, hlm. 18-19.
.
Universitas Sumatera Utara
2
dari banyaknya masalah kepailitan yang tidak dapat diselesaikan atau pun memerlukan waktu yang lama dalam penyelesaiannya serta masih kurangnya pengaturan mengenai perlindungan terhadap debitor maupun kreditor pailit.
Pada tahun 1997 Thailand mengalami goncangan terhadap perekonomiannya yang disebabkan oleh menurunnya nilai tukar bath yang merupakan mata uang Thailand terhadap dolar Amerika. Dalam usahanya untuk mempertahankan nilai tukar mata uangnya, Thailand pun menanggung beban utang luar negeri yang besar sampai pada akhirnya Negara tersebut dinyatakan bangkrut.3
Krisis yang dialami Thailand tersebut kemudian berdampak pada negara- negara lain, yang menyebabkan terjadinya krisis moneter diberbagai negara di Asia. Krisis moneter berdampak pada hampir seluruh negara di dunia termasuk Indonesia, dimana hal tersebut mengakibatkan nepresiasi nilai rupiah melebihi 300% membuat nilai rupiah dari bunga dan utang pokok yang harus dibayar meningkat drastis. Meningkatnya beban bunga dan utang tersebut menimbulkan kesulitan pada perusahaan-perusahaan yang mempunyai utang luar negeri dalam jumlah yang besar. Kondisi tersebut menyebabkan laba perusahaan menurun, kemudian modal kerja berkurang yang berakibat kemampuan investasinya juga menurun.4
Akibat dari krisis moneter ini menbuat banyak perusahaan yang melakukan peminjaman uang agar dapat bisa bertahan dalam keadaan krisis tersebut. Namun hal tersebut menimbulkan masalah baru karena banyak dari
3 http://ekonomiemas.hol.es/content/krisis-moneter-98-1-beginning, diakses tanggal 20 Juni 2018.
4 Y. Sri Susilo, “Dampak Krisis Ekonomi Terhadap Kinerja Sektor Industri: Pendekatan Model Keseimbangan UmumTerapan Indorani”, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Vol. 17, No. 3, 2002, hlm. 242.
Universitas Sumatera Utara
3
perusahaan tersebut tidak dapat memenuhi kewajibannya untuk membayar utang tersebut sehingga banyak dari perusahaaan tersebut yang pailit.
Suatu perusahaan yang dinyatakan pailit pada saat ini akan mempunyai imbas dan pengaruh buruk bukan hanya kepada perusahaan itu saja melainkan berakibat global.5 Dalam kondisi seperti ini, hukum kepailitan diperlukan guna mengatur penyelesaian sengketa utang piutang antara debitor dan para kreditornya.
Untuk mengantisipasi adanya kecenderungan dunia usaha yang bangkrut yang akan berakibat pula pada tidak dapat dipenuhinya kewajiban-kewajiban yang sudah jatuh tempo, maka pemerintah melakukan perubahan-perubahan yang cukup signifikan dalam peraturan perundang-undangan, salah satunya adalah dengan merevisi Undang-Undang Kepailitan yang ada.6
Sistem yang dipergunakan dalam perubahan Undang-Undang Kepailitan adalah tidak melakukan perubahan secara total, tetapi hanya mengubah pasal- pasal tertentu yang perlu diubah dan menambah berbagai ketentuan baru kedalam Undang-undang yang sudah ada.7
Inisiatif pemerintah untuk merevisi Undang-Undang Kepailitan juga tidak lepas dari adanya tekanan yang dilakukan oleh International Monetary Fund (IMF) yang mendesak agar Indonesia merevisi serta menyempurnakan peraturan hukum yang mengatur mengenai masalah pemenuhan kewajiban oleh debitor kepada kreditor. Hal ini dikarenakan IMF merasa peraturan kepailitan di
5 Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan, Cetakan Pertama, Semarang: Bayu Media, 2003, hlm. 3.
6 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, 1999, Seri Hukum Bisnis Kepailitan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm. 1.
7 Imran Nating, Peranan Dan Tanggung Jawab Kurator Dalam Pengurusan Dan Pemberesan Kepailitan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 7-8.
Universitas Sumatera Utara
4
Indonesia yang merupakan warisan dari pemerintahan kolonial Belanda sudah tidak memadai dan sudah tidak sesuai dengan perkembangan yang ada.
Selain itu perubahan Undang-Undang Kepailitan tersebut merupakan salah satu syarat yang diberikan oleh International Monetary Fund (IMF) agar Indonesia dapat pinjaman karena hukum yang berlaku tersebut dianggap tidak dapat melindunggi pemberi pinjaman asing.
Untuk memenuhi tuntutan dari International Monetary Fund (IMF), pemerintah merevisi Faillisements Verordening Undang-Undang Kepailitan yang sebelumnya diatur dalam Staatsblaad No. 276 Tahun 1905 dan Staatsblaad No.
348 Tahun 1906 yang merupakan warisan dari pemerintah kolonial Belanda tersebut menjadi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Kepailitan yang dikeluarkan pada tanggal 22 April 1998. Dengan Perpu No. 1 tahun 1998 maka Faillisements Verordening dinyatakan tidak berlaku lagi.
Perpu No. 1 Tahun 1998 tersebut selanjutnya dikuatkan dan disahkan menjadi Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Kepailitan Menjadi Undang-Undang.8 Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tersebut akhirnya diganti dengan keluarnya Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.9
8 Munir Fuady, Hukum Kepailitan 1998 Dalam Teori dan Praktek, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999, hlm. 6.
9 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Op. Cit., hlm. 3.
Universitas Sumatera Utara
5
Ada beberapa faktor perlunya pengaturan mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang yaitu untuk menghindari adanya:10
1. Perebutan harta debitur apabila dalam waktu yang sama ada beberapa kreditor yang mengih piutangnya dari debitor.
2. Kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitor tanpa memperhatiakan kepentingan debitor atau para kreditor.
3. kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah satu kreditor atau debitor sendiri.
Namun dalam Undang-undang tersebut hanya mengatur berapa banyak jumlah kreditor yang utangnya belum dibayar agar dapat mengajukan pailit namun, tidak ada pengaturan mengenai batas minimal jumlah utang terhadap kreditor yang tidak dibayarkan agar dapat mempailitkan debitor. Hal tersebut mengakibat terjadinya suatu tren dimana banyaknya perusahaan yang dipailitkan oleh kreditor dimana, banyak dari debitor yang hanya memiliki hutang dalam jumlah kecil namun dipailitkan oleh kreditor.
Pemilihan untuk mempailitkan seseorang ataupun suatu badan usaha dianggap sebagai jalan yang paling mudah untuk kreditor agar debitor membayar utang-utangnya kepada kreditor. Hal ini dikarenakan biaya yang diperlukan lebih sedikit dan tidak memerlukan waktu yang lama dibandingkan dengan menggunakan jalur perdata. Syarat yang diperlukan pun sangat mudah untuk dipenuhi yaitu adanya dua kreditor atau lebih dan adanya hutang yang telah jatuh tempo yang belum dibayarkan.
10 Penjelasan Umum UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan PKPU, dikutip dari Rahayu Hartini, Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia: Dualisme Kewenangan Pengadilan Niaga dan Lembaga arbitrase, Jakarta: Kencana, 2009, hlm. 69
Universitas Sumatera Utara
6
Seiring berjalannya waktu banyak perusahaan yang bergarak di bidang property rumah susun, dimana salah satu jenis dari rumah susun tersebut adalah apartemen. Hal ini diawali oleh banyaknya permintaan akan kebutuhan tempat tinggal oleh masyarakat namun lahan yang tersedia sangat terbatas sehingga pembanggunan pemukiman harus dilakukan secara vertikal. Dengan adanya alasan tersebut banyak perusahaan yang tertarik untuk membangun rumah susun atau apartemen karena dianggap sangat menguntungkan.
Hal tersebut juga dipengaruhi oleh keterbatasan lahan yang ada, sehingga pembangunan tidak lagi dimungkinkan secara horizontal, tetapi harus secara vertikal sehingga pembangunan tersebut tidak memerlukan lahan yang cukup luas.
Hal ini menjadikan rumah susun/apartemen menjadi salah satu alternatif dalam pemecahan masalah pengadaan lahan yang sangat sulit didapat di wilayah-wilayah Kota-Kota besar seperti Jakarta, Bandung dan Medan.
Banyaknya permintaan masyarakat akan kebutuhan tempat tinggal berupa apartemen juga menjadi salah satu alasan mengapa banyaknya perusahaan yan bergerak dibidang properti. Selain itu masyarakat lebih untuk memilih tinggal di apartemen karena lebih praktis, efektif dan efisien. Selain itu masalah kemacetan juga menjadi salah satu alasan utama mengapa orang lebih memilih tinggal di apartemen, karena mereka dapat memilih apartemen yang dekat dengan lokasi tempat mereka bekerja sehingga memudahkan mereka untuk menuju tempat kerjanya.
Namun dalam praktik jual beli dari apartemen tersebut, pihak pengembang sering kali menawarkan apartemen kepada para pembeli dimana para pembeli tersebut harus membayar apartemen itu terlebih dahulu, baik sebagian ataupun
Universitas Sumatera Utara
7
secara lunas. Namun, bangunan fisik dari apartemen tersebut belum ada dan baru akan dibangun setelah dipenuhinya target penjualan unit apartemen tersebut.
Ketertarikan perusahaan untuk bergerak dibidang properti juga di ikuti oleh banyaknya masalah yang ditimbulkan. Dalam prakteknya banyak perusahaan yang bergerak dibidang properti tersebut yang mengalami masalah sehingga dipailitkan dan mengakibatkan kerugian bagi para pembelinya. Selain itu banyak perusahaan dibidang properti tersebut yang melakukan hal nakal seperti menjadikan tanah tempat apartemen yang akan dibangun tersebut sebagai jaminan di bank, yang pada dasar merupakan hal yang tidak boleh dilakukan.
Selain itu dengan adanya sistem untuk membayar terlebih dahulu terhadap apartemen yang akan dibeli walaupun bangunan fisiknya belum ada juga dapat merugikan masyarakat yang membeli apartemen tersebut karena secara hukum hak kepemilikan masih di tangan pengembang. Dengan demikian apabila perusahaan pengembang apartemen tersebut dipailitkan maka yang dirugikan adalah para pembeli.
Salah satu perusahaan yang bergerak di bidang property adalah PT. Mitra Safir Sejahtera yang merupakan pengembang dari Apartemen Kemanggisan Residence. Dalam hal ini PT. Mitra Safir Sejahtera sebagai pengembang tidak dapat menyelesaikan pembangunan Apartemen Kemanggisan Residence sedangkan hampir seluruh gedung apartemen tersebut telah terjual. Pembeli akhirnya membatalkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang telah dibuat dengan pengembang dan meminta pihak pengembang untuk mengembalikan uang yang telah mereka bayarkan, namun pihak pengembang juga tidak dapat mengembalikan uang tersebut. Hal tersebut mengakibatkan beberapa pembelinya
Universitas Sumatera Utara
8
mengajukan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang terhadap PT.
Mitra Safir Sejahtera yang diajukan melalui Pengadilan Negeri Niaga Jakarta Pusat. Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tersebut dikabulkan dengan Putusan Nomor 28/PKPU/PN.NIAGA.Jkt.Pst. Tujuan PKPU adalah memberi kesempatan kepada Debitor untuk mengajukan usulan Perdamaian dalam rapat-rapat Kreditor. Berdasarkan usulan Perdamaian yang disampaikan Debitor PKPU yaitu PT. Mitra Safir Sejahtera, usulan perdamaian tersebut disetujui oleh sebagian besar Kreditor, namun ketika diajukan kepada Majelis Hakim untuk disahkan perdamaiannya, ternyata Majelis Hakim menolak mengesahkan usulan perdamaian tersebut, sehingga mengakibatkan Debitor PT.
Mitra Safir Sejahtera secara sah dinyatakan pailit berdasarkan putusan no.
28/PKPU/PN.NIAGA.Jkt.Pst.
Berdasarkan putusan tersebut, maka ditunjuk Kurator (yang semula juga sebagai Pengurus dalam proses PKPU) untuk melakukan pengurusan dan pemberesan terhadap harta pailit. Para konsumen Pembeli Apartemen Kemanggisan Residence oleh Kurator dikatagorikan sebagai Kreditor Konkuren, karena belum terjadi peralihan hak secara hukum atas unit apartemen Kemanggisan Residence dari Pengembang kepada para pembeli tersebut, meskipun sebagian besar dari pembeli tersebut sudah membayar lunas harga beli unit apartemennya.
Hal tersebut disebabkan dalam proses jual beli apartemen, ada tiga tahap yang harus dilalui yaitu tahap pertama Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) atas unit apartemen antara Pengembang dan Pembeli, yang sifatnya sudah standard dan baku, pada tahap ini bangunan apartemen sedang dibangun. Apabila bangunan
Universitas Sumatera Utara
9
sudah selesai, bangunan diserahkan oleh pengembang kepada Pembeli. Setelah itu apabila pembayaran sudah lunas, akan masuk pada tahap kedua yaitu pembuatan Akta Jual Beli, dan selanjutnya tahap ketiga balik nama Sertifikat dari Pengembang kepada Pembeli. Jual Beli apartemen Kemanggisan Residence baru sampai tahap pertama yaitu Perjanjian Pengikatan Jual Beli, akibatnya ketika terjadi kepailitan terhadap PT. Mitra Safir Sejahtera sebagai Pengembang apartemen Kemanggisan residence, status Pembeli belum sebagai pemilik sah unit apartemen yang bersangkutan. Para Pembeli yang dikatagorikan sebagai Kreditor Konkuren tersebut jumlahnya kurang lebih 200 Pembeli / konsumen.
Para Konsumen Pembeli tersebut telah melakukan berbagai upaya hukum, agar mereka tetap dapat memiliki atas atas apartemen tersebut, akan tetapi tidak berhasil. Pada waktu pemberesan harta pailit, para Konsumen Pembeli unit apartemen Kemanggisan tersebut hanya memperoleh sebagian kecil pengembalian uang pembelian atas unit apartemen yang telah disetorkan kepada Debitor.
Berdasarkan uraian diatas, Penulis merasa tertarik untuk melakukan suatu penelitian terhadap kasus tersebut diatas, dengan judul :
“AKIBAT HUKUM KEPAILITAN PT. MITRA SAFIR SEJAHTERA TERHADAP TRANSAKSI JUAL BELI APARTEMEN KEMANGGISAN
RESIDENCE (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR
28/PKPU/PN.NIAGA.Jkt.Pst)”
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uarain latar belakang tersebut maka dapat dirumuskan yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini, sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
10
1. Bagaimana pengaturan kepailitan di Indonesia ?
2. Apakah kepailitan PT. Mitra Safir Sejahtera telah memenuhi ketentuan undang-undang Kepailitan di Indonesia?
3. Bagaimana akibat hukum kepailitan PT. Mitra Safir Sejahtera terhadap kepentingan pembeli Apartemen Kemanggisan Residence?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Berdasarkan perumusan masalah yang telah diuraikan tersebut, maka dapat disimpulkan yang menjadi tujuan dalam penulisan skripsin ini yaitu:
1. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan mengenai kepailitan di Indonesia.
2. Untuk mengetahui bagaimana akibat hukum dari dipailitkannya PT. Mitra Safir Sejahtera terhadap kepentingan para pembeli Apartemen Kemanggisan Residence.
3. Untuk mengetahui apakah kepailitan PT. Mitra Safir Sejahtera telah memenuhi ketentuan undang-undang atau pun peraturan lainnya yang ada di Indonesia.
Berdasarkan permasalahan-permasalah di atas, adapaun manfaat yang diharapkan dari penulisan skripsi ini, yaitu:
1. Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman mengenai kasus kepailitan terhadap rumah susun/apartemen yang sering terjadi, serta dapat memberikan pengetahuan mengenai kedudukan para pembeli rumah susun/apartemen dalam kepailitan tersebut.
Universitas Sumatera Utara
11
2. Secara Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukkan bagi bara pembaca terutama bagi para pembeli rumah susun/apartemen yang terlibat dalam kepailitan sehingga dapat memberikan gambaran yang jelas tentang akibat yang ditimbulkan dari dipailitkannya suatu pengembang rumah susun/apartemen terhadap para pembeli tersebut dan transaksi jual beli yang telah terjadi.
D. Keaslian Penulisan
Pembahasan skripsi dengan judul: “AKIBAT HUKUM KEPAILITAN PT.
MITRA SAFIR SEJAHTERA TERHADAP TRANSAKSI JUAL BELI APARTEMEN KEMANGGISAN RESIDENCE (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 28/PKPU/PN.NIAGA.Jkt.Pst)”, merupakan karya ilmiah yang belum pernah diangkat menjadi judul skripsi di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang telah dilakukan di Perpustakan Pusat dan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sudah pernah ada penelitian tentang kepailitan yang dilakukan oleh:
1. Agus Zainal, NIM 000222006, dengan judul Perlindungan Hak Jaminan Benda Tidak Bergerak Dalam Kepailitan (Studi Kasus Putusan No.
100/Pailit/2001/PN.Pst Antara Bank Shinta Melawan Harry Susanto).
2. Yarma Sari, NIM 000200191, dengan judul Hukum Kepailitan dalam Kontroversi Kasus Pemailitan (Studi Kasus PT. Manulife Indonesia).
Universitas Sumatera Utara
12
3. Julianto, NIM 010200036, dengan judul Hak Separatis Kreditor Pemegang Hak Jaminan Di Dalam Hukum Kepailitan.
Berdasarkan uraian di atas, penulisan penelitian ini memiliki rumusan masalah yang berdeda dengan penelitian sebelumnya. Dengan demikian, penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan.
E. Tinjauan Kepustakaan 1. Kepailitan
Istilah “kepailitan” secara etimologis berasal dari kata “pailit”. Dalam bahasa Belanda, kata pailit berasal dari istilah “failliet”. Dalam bahasa Prancis, pailit berasal dari kata “failliet” yang berarti pemogokan atau kemacetan pembayaran, sedangkan orang yang mogok dan berhenti membayar dalam bahasa Perancis disebut “Le Faili”. Sedangkan dalam bahasa Inggris dikenal kata “to fail” dengan arti yang sama, dan dalam bahasa Latin istilah pailit disebut dengan
“faillure”. Dalam bahasa Inggris istilah “pailit” disebut dengan “bankrupt” dan istilah “kepailitan” disebut dengan “bankruptcy”.11 Sedangkan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, istilah pailit dapat diartikan sebagai bangkrut, sedangkan bangkrut itu sendiri berarti menderita kerugian besar.
Dalam Kamus Hukum Ekonomi, istilah bangkrut dan pailit diartikan sebagai suatu keadaan debitor yang dinyatakan dengan putusan hakim bahwa ia dalam keadaan tidak mempu membayar utang-utangnya. Prosedur hukum untuk
11 Victor M. Situmorang dan Hendri Soekarso, 1994, Pengantar Hukum Kepailitan Di Indonesia, Rineka Cipta: Jakarta, hlm. 18.
Universitas Sumatera Utara
13
menyelesaikan utang-utang debitor yang dinyatakan dengan pailit dikenal dengan istilah bankruptcy proceeding atau prosedur kepailitan.12
Menurut Hendry Campbell Black:
“Bankrupt is the state or condition of a person (individual, partnership,corporation, municipality) who is unable to pay its debt as they are, or became due.”13
2. Debitor
Debitor adalah pihak (perorangan, organisasi atau perusahaan) yang memiliki hutang/kewajiban kepada pihak lain (kreditor) yang mana hutang/kewajiban tersebut timbul karena adanya sebuah transaksi baik dari penjuala barang/jasa maupun pinjaman secara tunai yang akan di bayarkan di masa yang akan datang berdasarkan perjanjian kedua belah pihak.
Menurut UU Kepailitan dan PKPU Pasal 1 angka 3, orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan. Sedangkan yang dimaksud dengan debitor pailit adalah debitor yang sudah dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, dengan demikian debitor tersebut kehilangan haknya untuk mengurus dan membereskan hartanya.
Debitor dalam hukum kepailitan Indonesia dapat berupa perorangan ataupun badan usaha serta badan hukum lainnya, dimana pengaturan mengenai debitor tersebut tidak dibedakan seperti dalam hukum kepailitan Amerika Serikat.
12 A. F. Elly Erawaty dan J. S. Badudu, Kamus Hukum Ekonomi, Jakarta: Elips, 1996, hlm. 9.
13 Hendry Camphell Black, Law Dictionary Whith Pronunciations, Sixth Edition, St. Paul Minesota: West Publishing Co, 1990, hml. 147.
Universitas Sumatera Utara
14
3. Kreditor
Istilah kreditor memiliki padanan kata dengan creditor di mana istilah creditor ini berasal dari kata credit (kredit) dari Bahasa Latin yaitu credo yang berarti “saya percaya”, dikombinasi dengan Bahasa Sanskerta yaitu cred yang berarti “kepercayaan”. Kata creditor juga dikombinasi dengan akhiran or yang berasal dari Bahasa Inggris yang berarti menyebutkan pada orangnya atau pihak atau lembaga yang memberikan kepercayaan.14
Menurut UU Kepailitan dan PKPU Pasal 1 angka 2, kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan.
Dalam penjelasan Pasal 2 Ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU , mengatakan bahwa dalam hukum kepailitan dikenal 3 (tiga) jenis kreditor. Kreditor tersebut antara lain:
a. Kreditor separatis
Kreditor separatis adalah kreditor yang memegang hak jaminan yang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebut dengan nama gadai dan hipotik.
b. Kreditor konkuren
Kreditor konkuren adalah kreditor yang mempunyai hak mendapatkan pelunasan secara bersama-sama tanpa hak yang didahulukan, dihitung
14 Iswi Hariyani, Restruktirisasi dan Penghapusan Kredit Macet, Kenapa Perbankan Memanjakan Debutur Besar Sedangkan Usaha/Debitur Kecil Dipaksa, Jakarta: Alex Media Komputindo, 2010, hml. 9.
Universitas Sumatera Utara
15
besarnya piutang masing-masing terhadap piutang secara keseluruhan dari seluruh harta kekayaan debitor.15
c. Kreditor preferen
Kreditor preferen adalah kreditor yang diistimewakan, dimana kreditor tersebut mendapatkan pembayaran terlebih dahulu atas semua harta pailit daripada kreditor yang lain.
4. Utang
Dalam kepailitan Amerika Serikat, istilah utang dikenal dengan istilah
“claim”. Claim dalam Bankrupcy Code Amerika Serikat didefinisikan sebagai berikut:16
a. Right to payment, whether or not such right is reduced to judgment, liquidated, unliquidated, fixid, contingent, matured, unmatured, disputed, undisputed, legal, euitable, secured or unsecured;
b. Right to an equitable remedy for breach of performance if such gives rise to a right to payment, whether or not such right to an equitable remedy is reduced to judgment, fixed, contingent, matured, unmatured, disputed, undiputed, secured or unsecured.
Menurut UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU Pasal 1 angka 6, utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul dikemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau Undang-Undang dan wajib dipenuhi oleh
15 Lilik Mulyadi, Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Teori dan Praktik, Dilengkapi Putusan-Putusan Pengadilan, Bandung: Alumni, 2010, hlm. 98.
16 Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit., hlm. 85.
Universitas Sumatera Utara
16
debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta debitor.
5. Kurator
Dalam kepailitan Amerika Serikat, istilah kurator dikenal dengan istilah
“trustee”. Dalam undang-undang kepailitan Amerika Serikat Chapter 7 bankruptcy mengatakan bahwa:
“the bankruptcy estate is administered by a trustee in bankruptcy who can be either an invidual or a corporation.”17
Menurut UU Kepailitan dan PKPU Pasal 1 angka 5, Kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh Pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta Debitor Pailit di bawah pengawasan Hakim Pengawas sesuai dengan Undang-Undang ini.
Adapun tugas dari kurator berdasarkan Undang-Undang Kepailitan dan PKPU Pasal 69 Ayat (1) yaitu adalah untuk melakukan pengurusan dan atau pemberesan harta pailit. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi seorang kurator menurut Pasal 15 Ayat (3) yaitu harus independen, tidak mempunyai benturan kepentingan dengan debitor atau kreditor dan tidak sedang menangani perkara kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang lebih dari 3 (tiga) perkara.
6. Rumah susun
Menurut UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah susun Pasal 1 angka 1, rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara
17 Robert L. Jordan dan William D. Warren, Bankruptcy third edition, Westbury, N.Y:
The Foundation Press, Inc., 1993, hlm. 27.
Universitas Sumatera Utara
17
fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan- satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama.
Berdasarkan UU No 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, terdapat 4 (empat) jenis rumah susun yang dikenal di Indonesia, yaitu:18
a. Rumah susun umum adalah rumah susun yang diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah;
b. Rumah susun khusus adalah rumah susun yang diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan khusus;
c. Rumah susun negara adalah rumah susun yang dimiliki negara dan berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian, sarana pembinaan keluarga, serta penunjang pelaksanaan tugas pejabat dan/atau pegawai negeri.;
d. Rumah susun komersial adalah rumah susun yang diselenggarakan untuk mendapatkan keuntungan.
Pemilikan terhadap satuan rumah susun disebut dangan strata title. Starata title adalah hak lapisan, yaitu hak seseorang atau suatu pihak untuk dapat memiliki suatu ruang bangunan yang berada diatas tanah atau bangunan orang lain.19 Sedangkan konsep dari strata title tersebut merujuk pada pemisahan akan hak seseorang terhadap beberapa strata atau tingkatan yakni terhadap ha katas pemukiman tanah atas bumi dibawah tanah dan udara diatasnya.20
18 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Sususn.
19 Ridwan Halim, Hukum Pemukiman, Perumahan dan Rumah Susun (Suatu Humpunan Tanya Jawab), Jakarta: Doa dan Karma, 2006, hlm. 154.
20 Erwin Kallo, Panduan Hukum Untuk Pemilik/Penghuni Rumah Susun (Kondominium, Apartemen dan Rusunami), Jakarta: Minerva Athena Pressindo, 2009, hlm. 14.
Universitas Sumatera Utara
18
F. Metode Penulisan 1. Jenis dan Sifat Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif, yaitu dengan mengkaji/menganalisis data sekunder yang merupa bahan-bahan primer dan bahan-bahan sekunder dengan memahami hukum sebagai seperangkat peraturan atau norma-norma positif di dalam sistem Perundang- undangan yang mengatur mengenai kehidupan manusia.21.
Menurut Soerjono Soekanto, penelitian hukum normatif atau kepustakaan mencangkup:22
a. Penelitian terhadap asas-asas hukum.
b. Penelitian terhadap sistematika hukum.
c. Penelitian taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal.
d. Perbandingan hukum.
e. Sejarah hukum.
Sifat dari penelitian ini adalah penelitian deskrptif analitis dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach).
2. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder tersebut terdiri dari:
a. Bahan hukum primer, meliputi seluruh peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan penelitian. Bahan hukum primer antara lain:
21 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009, hlm. 14.
22Ibid.
Universitas Sumatera Utara
19
1) Putusan Nomor 28/PKPU/PN.NIAGA.Jkt.Pst.
2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
4) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan hukum lainnya yang memiliki kaitan dan dapat membantu menganalisa dan memahami bahan hukum primer seperti buku-buku, jurnal, artikel serta tulisan lainnya yang memiliki hubungan dengan permasalahan yan dibahas dalam penelitian ini.
c. Bahan hukum tertier, yaitu berupa bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum dan ensiklopedia.23
3. Teknik pengumpulan data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik pengumpulan data dengan studi kepustakaan (library research) yaitu data yang dikumpulkan bersumber dari buku, jurnal, dan juga perundang-undangan yang berkaitan dengan penelitian.
M. Nazil dalam bukunya mengemukakan bahwa studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku- buku, literature-literatur, catatan- catatan dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan.24
4. Analisis data
23 Bambang Sunggono, Metologi Penelitian Hukum, Jakarta: Rajawali Pers, 2010, hlm.
114.
24 M. Nazil, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2010, hlm. 111.
Universitas Sumatera Utara
20
Data yang telah dikumpulkan tersebut kemudian dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif, yakni dengan melakukan pengamatan terhadap data maupun informasi yang telah diperoleh. Data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk menemukan suatu kesimpulan dan hasilnya dituangkan dalam skripsi ini.
G. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pemahaman terhadap pembahasan skripsi ini, maka penulis menguraikan skripsi ini kedalam beberapa bab yang disusun secara sistematis. Bab-bab tersebut antara lain:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisikan hal-hal yang bersifat umum dan menyeluruh yang terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II PENGATURAN KEPAILITAN DI INDOESIA
Bab ini membahas mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pengaturan dan pengertian hukum kepailitan di Indonesia, syarat- syarat yang harus dipenuhi untuk mengajukan pailit dan prosedur kepailitan.
BAB III AKIBAT HUKUM KEPAILITAN PT.MITRA SAFIR SEJAHTERA
Bab ini berisikan pembahasan mengenai proses putusan pailit PT.
Mitra Safir Sejahtera, akibat hukum dari putusan pailit, akibat dari
Universitas Sumatera Utara
21
putusan pailit PT. Mitra Safir Sejahtera terhadap Apartemen Kemanggisan Ressidence dan pembali ddari apartemen tersebut dan perlindungan hukum yang dapat dilakukan terhadap pembeli Apartemen Kemanggisan Ressidence.
BAB IV ANALISIS PROSES KEPAILITAN PT.MITRA SAFIR SEJAHTERA
Bab ini merupakan analisis terhadap kasus posisi kepailitan PT.
Mitra Safir Sejahtera, analisis terhadap pertimbangan didalam putusan PKPU, analisis terhadap pertimbangan Putusan Pailit dan analisis terhadap proses pengurusan dan pemberesan harta pailit.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini, dimana bab ini berisikan kesimpulan dari pembahasan-pembahasan dari permasalahan-pemasalahan dalam skripsi ini dan saran penulis terhadap permasalahan tersebut.
Universitas Sumatera Utara
22 BAB II
PENGATURAN KEPAILITAN DI INDONESIA
A. Dasar Hukum Kepailitan di Indonesia
Sebelum kemerdekaan Indonesia, Hukum Kepailitan diatur dalam Wetboek Van Koophandel atau yang biasa disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). WvK (Wetboek Van Koophandel) terdiri dari 3 (tiga) buku, yaitu:25
1. Buku ke-I (satu) tentang Van Den Koophandel in Het Algemeen yang terdiri 10 (sepuluh) bab;
2. Buku ke-II (dua) tentang Van Den Regten en Verpligtingen uit Scheepvaart Voortsprutende yangterdiri dari 13 (tiga belas) bab, yang kemudian bab ke -7 (tujuh) dihapuskan;
3. Buku ke-III (tiga) yang berjudul Van de Vorzieningen in geval van Onvermorgen, yang diatur dari Pasal 749 sampai dengan Pasal 910.
Pada masa itu yang mengatur mengenai kepailitan adalah buku ke-III (tiga) WvK dimana buku tersebut hanya mengatur mengenai kepailitan untuk para pedagang. Sedangkan pengaturan mengenai kepailitan bukan pedagang di atur dalam buku III (tiga) titel 8 (delapan) Wetboek van Burgerlijke Rechtvordering (BRV).
Dikarenakan pada masa itu pemerintah kolonial Belanda menerapkan asas konkordansi, maka kedua peraturan tersebut diberlakukan di Indonesia sehingga
25 Man s. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Bandung: Alumni, 2010, hlm. 5.
Universitas Sumatera Utara
23
pada masa itu terjadi dualisme hukum kepailitan. Namun, dalam pelaksanaannya ternyata kedua peraturan tersebut banyak menimbulkan kesulitan, antara lain:26
1. Banyaknya formalitas sehingga sulit dalam pelaksanaannya.
2. Biaya tinggi.
3. Pengaruh kreditor terlalu sedikit terhadap jalannya kepailitan.
4. Memakan waktu lama.
Karena banyaknya kesulitan yang di timbulkan dalam pelaksanaan peraturan tersebut maka dibuatlah peraturan yang baru untuk menggantian 2 (dua) peraturan kepailitan tersebut yang disebut dengan Faillisements Verordening yang berlaku berdasarkan Staatblaads No. 217 Tahun 1905 dan Staatsblaad No. 348 Tahun 1906 pada tanggal 1 November 1906.
Faillissementsverordening ini hanya berlaku bagi orang yang termasuk golongan Eropa. Hal ini sesuai dengan asas diskriminasi hukum yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu terhadap penduduk Hindia Belanda.27 Namun dalam prakteknya, peraturan tersebut juga dapat diberlakukan bagi golongan Bumiputra dan golongan Timur Asing. Golongan Bumiputra dan golonganTimur Asing bukan Cina dapat menggunakannya dengan menerapkan lembaga penundukan diri secara sukarela (Vrijwillige onderwerping)28 baik secara tegas ataupun secara diam-diam terhadap peraturan Eropa tersebut.
Setelah kemerdekaan bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, pengaturan mengenai kepailitan masih menggunaka peraturan yang di buat pada masa Hindia Belanda. Hal ini sesuai dengan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945
26 H.M.N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia: Jilid 8, Perwasiatan, Keapilitan dan Penundaan Pembayaran, Jakarta: Djambatan, 1992, hlm. 29.
27 Sutan Remy Sjahdeini, Op. cit., hlm. 19.
28 Ibid, hlm. 20.
Universitas Sumatera Utara
24
yang mengataka bahwa segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini. Dengan demikian setiap peraturan ada pada masa Hindia Belanda tetap berlaku selama belum ada yang menggantikannya kecuali apabila peraturan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
Dalam periode tahun 1945 hingga tahun 1998, segala perkara kepailitan yang terjadi di Indonesia tetap diselesaikan dan diputuskan di pengadilan dengan merujuk pada peraturan Faillissementsverordening (FV) dikarenakan belum adanya peraturan baru yang menggantikan pertaruan tersebut. Namun penggunaan Faillissementsverordening (FV) ini sangat sedikit karena kurangnya sosialisasi mengenai peraturan ini sehingga keberadaanya kurang di kenal dan dipahami oleh masyarakat.
Pada tanggal 22 April 1998 Pemerintah Indonesia mengeluarkan Perpu Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Kepailitan.
Dengan keluarnya peraturan tersebut maka secara otomatis Faillissementsverordening (FV) dinyatakan tidak berlaku lagi. Perpu No. 1 Tahun 1998 tersebut kemudian disahkan menjadi Undang-Undang yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Kepailitan pada tanggal 9 September 1998.
Pada tanggal 18 Oktober 2004 Undang-Undang No. 1 Tahun 1998 digantikan dengan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU. Dengan diundangkannya Undang-undang tersebut maka, peraturan yang mengatur mengenai kepailitan yang ada sebelum Undang-undang tersebut
Universitas Sumatera Utara
25
dinyatakan tidak berlaku lagi. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945.
Undang-Undang Kepailitan dan PKPU ini didasarkan pada beberapa asas.
Asas-asas tersebut antara lain:29 1. Asas Keseimbangan
Undang-undang ini mengatur beberapa ketentuan yang merupakan perwujudan dari asa keseibangan, yaitu di satu pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh debitor yang tidak jujur, dilain pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh kreditor yang tidak beritikad baik.
2. Asas Kelangsungan Usaha
Dalam undang-undang ini terdapat ketentuan yang memungkinkan perusahaan debitor yang prospektif tetap dilangsungkan.
3. Asas Keadilan
Dalam kepailitan, asa keadilan mengandung pengertian bahwa ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Asas keadilan ini untuk mencegah terjadinya kesewenang- wenanganpihak penagih yang tidak memedulikan kreditor lainnya.
4. Asas Integrasi
Asas integrasi dalam kepailitan mengandung pengertian bahwa sistem hukum formal dan hukum materielnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional.
29 Penjelasan Umum UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan PKPU
Universitas Sumatera Utara
26
Selain itu ada juga peraturan perundang-undangan di luar UU No. 37 Tahun 2004 yang mengatur secara parsial mengenai kepailitan badanhukm juga merupakan sumberhukum kepailitan. Peraturan perundang-undangan tersebut sebagai lex specialis dari Undang-Undang No. 37 Tahun 2004, antara lain:
1. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan terbatas30
Pengaturan mengenai kepailitan dalam undang-undang ini di atur pada Bab VII direksi dan komisaris yaitu pada pasal 104 yang mengatur mengenai kepailitan yang disebabkan oleh kesalahan direksi, Pasal 115 yang mengatur mengenai kepailitan karena kesalahan dewan komisaris dan pada Bab X pembubaran, likuidasi dan berakhirnya badan hukum perseroan. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 142 Ayat (1) huruf d dan huruf e, Pasal 142 Ayat (2), Pasal 142 Ayat (3), Pasal 142 Ayat (4) dan Pasal 149 Ayat (2)
2. Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Perasuransian
Pengaturan kepailitan dalam undang-undang ini diatur pada Bab X pembubaran, likuidasi dankepailitan. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 50, Pasal 51, Pasal 52 dan Bab XVIII ketentuan penutup pada Pasal 90.
3. Undang-Undang No. 28 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang- Undang No. 16 Tahun 2001 tentang yayasan31
Pengaturan kepailitan dalam undang-undang ini diatur pada Bab III perubahan anggaran dasar pada Pasal 23, Bab VI organ yayasan pada Pasal 39, Pasal 47 dan Bab X pembubaran pada Pasal 62 huruf c angka 2 dan angka 3 danPasal 64 Ayat (2)
30 Syamsudin M. Sinaga, Op.Cit., hlm. 163.
31 Ibid, hlm. 167.
Universitas Sumatera Utara
27
4. Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 1994 tentang pembubaan koperasi oleh pemerintah32
Pengaturan kepailitan mengenai koperasi tidak ada diatur dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang perkoperasian, namun diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 1994 yang dapat dilihat pada Pasal 3 Ayat (1) huruf c.
B. Pengertian Kepailitan
Pailit dapat diartikan sebagai keadaan dimana debitor dalam keadaan berhenti membayar utang karena keadaanya yang tidak mampu membayar utang tersebut sehingga kemudian dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan.
Menurut UU Kepailitan dan PKPU Pasal 1 Ayat (1), kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor yang pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas, sebagaimana diatur dalam Undang-undang.
Dalam hukum kepailitan terdapat prinsip-prinsip yang digunakan sebagai dasar menemukan dan membentuk suatu aturan hukum. Prinsip-prinsip tersebut antara lain:
1. Prinsip Paritas Creditorium
Prinsip ini mengatakan bahwa setiap kreditor, baik itu kreditor separatis, preferen maupun konkuren memiliki hak yang sama terhadap semua harta benda debitor.
32 Ibid, hlm. 170.
Universitas Sumatera Utara
28
Prinsip Paritas Creditorium artinya prinsip kesetaraan kedudukan para kreditor yaitu secara bersama-sama memperoleh pelunasan tanpa ada yang didahulukan. Berdasarkan prinsip ini apabila Debitor tidak dapat membayar utangnya pada para kreditornya, maka para Kreditor tersebut mempunyai hak yang sama terhadap harta Debitor, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, harta yang sekarang telah dimiliki Debitor dan barang-barang yang akan diperoleh Debitor dikemudian hari, sebagai pelunasannya. Semua harta Debitor tersebut terikat pada penyelesaian kewajiban Debitor terhadap para Kreditornya yang mempunyai tagihan terhadap Debitor atas harta yang dimiliki Debitor, apabila Debitor tidak dapat membayar utangnya terhadap para Kreditor.33
2. Prinsip Pari Passu Pro Rata Parte
Berdasarkan Prinsip Pari Passu Prorata, harta kekayaan Debitor yang menjadi jaminan bersama bagi piutang para Kreditornya, hasilnya harus dibagi secara proporsional sesuai jumlah piutang para Kreditornya.34
Prinsip ini diterapkan apabila jumlah harta kekayaan Debitor lebih kecil daripada jumlah utangnya pada para Kreditornya, agar adil maka dibagi sesuai persentase jumlah piutang para kreditor masing-masing terhadap jumlah hasil penjualan harta kekayaan Debitor.
33 Kartini Mulyadi, Kepailitan dan Penyelesaian Utang Piutang, dalam : Rudy A. Lontoh (ed), Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit danPeunudaan Kewajiban Pembayaran Utang, Bandung: Alumni, 2001, hlm. 168.
34 Kartini Muljadi, Actio Pauliana dan Pokok-pokok tentang Pengadilan Niaga, dalam Rudy Lontoh et.al, Penyelesaian Utang Piutang melalui Pailit dan Penundaan Pembayaran Utang, Bandung: Alumni, 2001, hlm. 300.
Universitas Sumatera Utara
29
3. Prinsip Structured Pro Rata
Prinsip structured pro rata disebut juga dengan prinsip structured creditors adalah suatu prinsip yang mengklasifikasikan serta mengkelompokkan berbagai macam kreditor kedalam beberapa kelas. Dalam hukum perdata pembagian kelas kreditor dapat dibadakan menjadi 2 (dua) yaitu kreditor preferen dan kreditor konkuren. Sedangkan dalam hukum kepailitan Indonesia pembagian kelompok kreditor ini dapat dikelompokkan menjadi:
a. Kreditor separatis b. Kreditor preferen c. Kreditor konkuren
Menurut Jerry Hoff, pembagian kreditor di dalam hukum kepailitan adalah sebagai berikut:
a. Secured Creditor
Right of secured creditor, security interests are in ren right that vest in the creditor by agreement and subsequent performance of certain formalities. A creditor whose interests are secured by in rem right is usually entitled to cause the foreclosure of the collateral without ajudgement, to satisfy his claim from the proceeds with priority over the other creditors. This right to foreclosure without a judgement is called the right of immediate enforcement.35
35 Jerry Hoff, Indonesia Bankruptcy Law, Jakarta: Tatanusa, 1999, hlm. 96.
Universitas Sumatera Utara
30
b. Preferred Creditor
The preferred creditors have a preference to their claim. Obviously, the preference issue is only relevant if there is more than one creditor and if the assets of the debitor are not sufficient to pay of all the creditors (there is a concursus creditorium). Preferred creditor are required to present their claims to the receiver for verification and are thereby charged a pro rta parte shre of costs of the bankruptcy. There are several categories of preferred creditors: creditors who have statutory priority, creditors who have non-statutory priority and estate creditors.36
c. Unsecured Creditor
The unsecured creditors do not have priority and will therefore be paid, if any proceeds of the bankruptcy estate remain, after all the other creditors have received payment. Unsecured creditors are required to present their claims for verification to their receiver and they are charged a pro rata parte share of the costs of the bankruptcy.37
Dalam kepailitan Indonesia secured creditors dikenal dengan sebutan Kreditor Separatis yaitu Kreditor yang memiliki jaminan kebendaan, preferred creditors dikenal dengan sebutan Kreditor Preferen yaitu Kreditor yang memiliki keistimewaan untuk didahulukan dalam pembayarannya, sedangkan unsecured creditors dikenal dengan sebutan Kreditor Konkuren yaitu kreditor yang tidak memiliki prioritas dalam pembayarannya, sehingga kreditor
36 Ibid, hlm. 111-112.
37 Ibid, hlm.117.
Universitas Sumatera Utara
31
tersebut baru dapat dibayar apabila kreditor lain telah menerima bayarannya dan masih ada harta pailit yang tersisa.
4. Prinsip Debt Collection
Prinsip Debt Collection adalah suatu prinsip penagihan utang oleh para Kreditor yang dilakukan secara kolektif atau bersama-sama terhadap Debitor melalui likuidasi asset.38
Prinsip ini dapat dilakukan melalui proses kepailitan, sebab apabila tanpa proses kepailitan, prinsip ini sulilt diterapkan karena para Kreditor akan berlomba-lomba secara sendiri-sendiri menuntut harta Debitor untuk kepentingannya masing-masing.
5. Prinsip utang
Dalam hukum kepailitan konsep utang merupakan hal yang sangat penting, karena syarat utama dari kepailitan adalah adanya utang. Tanpa adanya utang maka perkara kepailitan tidak akan ada.
Dalam hukum kepailitan, prinsip utang ini juga mencangkup konsep batasan nilai minimum utang yang dapat diajukan sebagai syarat permohonan pailit. Dalam hukum kepailitan Indonesia konsep batasan nilai minimal utang ini sama sekali tidak diatur dalam undang-undang, sehingga jumlah kreditor dengan jumlah utang sekecil apapun apabila telah memnuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang maka dapat mengajukan permohonan pailit.
Dalam hukum kepailitan negara lain seperti Singapura, konsep minimal jumlah utang ini juga dapat di temukan dalam syarat-syarat untuk
38 Emmy Yuhassarie, Pemikiran Kembali Hukum Kepailitan Indonesia, dalam Emmy Yuhassarie (ed), Undang-undang Kepailitan dan Perkembangannya, Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2005, hlm. xix.
Universitas Sumatera Utara
32
mengajukan permohonan pailit. Konsep menimal jumlah utang ini dapat dilihat dalam salah satu syarat pengajuan permohonan pailit yaitu utang yang dijadikan dasar pengajuan permohonan harus memenuhi minimum utang yang telah ditentukan. Dalam hukum kepailitan Singapura pengaturan mengenai minimum utang ini dapat dilihat pengaturan kepailitan Singapura yang mengatakan bahwa:
“The minimum sum of debt which would entitle a creditor to present a bankruptct petition is S$10,000 or such other sum as may be prescribed by the minister.”39
Tujuan dari pembatasan nilai minimum utang untuk mengajukan permohonan pailit adalah untuk memberikan perlindungan hukum terhadap Kreditor mayoritas dari kesewenang-wenangan Kreditor minoritas.
Pembatasan ini hanya berkaitan dengan legal Standing in Judicio (kewenangan untuk mengajukan perkara), sedangkan hak untuk mendapat pembayaran sama dengan Kreditor lainnya sesuai proporsional.
6. Prinsip Debt Pooling
Prinsip debt pooling merupakan prinsip penyatuan utang. Prinsip ini mengatur cara pembagian harta debitor untuk membayar utang debitor pada para kreditornya, yang dikelola oleh Kurator, berdasarkan prinsip-prinsip yang telah diuraikan diatas.40
Dalam perkembangannya prinsip Debt Pooling tidak hanya sekedar melakukan pendistribusian hasil penjualan harta pailit terhadap para
39 Kala Anandarajah, et al., Law and Practice of Bankkruptcy in Singapore and Malaysia, Singapore: Butterworths Asia, 1999, hlm. 78.
40 M. Hadi Subhan, Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma dan Praktek di Peradilan, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2008, hlm. 41.
Universitas Sumatera Utara
33
Kreditornya, tapi juga mencakup pengaturan sistem kepailitan terutama yang berkaitan dengan sistem pembagian harta pailit yang juga akan berkaitan dengan kelembagaan yang terlibat dalam proses kepailitan, seperti lembaga peradilan yang berwenang mengadilinya, hukum acara yang digunakan, Hakim Pengawas yang diberi tugas mengawasi kinerja Kurator dan Kurator dalam pelaksanaan kepailitan.41
C. Syarat-syarat Pailit
Untuk mengajukan suatu permohonan pernyataan pailit terhadap suatu debitor, maka sebelumnya ada syarat-syarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu.
Pemenuhan syarat-syarat ini bersifat wajib, dimana bila salah satu syarat tidak dipenuhi maka debitor tidak dapat dinyatakan pailit. Syarat-syarat pailit tersebut diatur dalam Pasal 2 Ayat (1) yang mengatakan bahwa debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya. Dilihat dari ketentuan pasal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa permohonan pernyataan pailit terhadap debitor hanya dapat dilakukan apabila telah memnuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Debitor memiliki 2 (dua) atau lebih kreditor;
2. Debitor tidak membayar lunas sedikitnya 1 (satu) utang yang telah jatuh tempo;
3. Utang tersebut telah jatuh tempo dan dapat ditagih.
41 Ibid, hlm. 42.
Universitas Sumatera Utara
34
Syarat-syarat tersebut diatas harus dapat dibuktikan secara sederhana sesuai dengan ketentuan Pasal 8 Ayat (4) UU Kepailitan dan PKPU yang mengatakan bahwa permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi.
(1) Debitor memiliki 2 (dua) atau lebih kreditor
Dalam hukum kepailitan dikenal prinsip paritas creditorium, artinya bahwa semua kreditor, baik itu kreditor separatis, preferen maupun konkuren memiliki hak yang sama terhadap semua harta benda debitor.
Berdasarkan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, salah satu syarat agar debitor dapat dipailitkan adalah debitor harus mempunyai 2 (dua) lebih kreditor. Syarat mengenai keharusan adanya 2 (dua) atau lebih kreditor tersebut dikenal sebagai concursus creditorium.42
Apabila unsur ini tidak dipenuhi, maka permohonan pailit yang diajukan dapat ditolak. Degnan demikian apabila debitor hanya memiliki 1 (satu) kreditor , maka debitor tersebut tidak dapat dituntut pailit.
Secara umum terdapat 3 (tiga) macam kreditor yang dikenal dalam hukum kepailitan di Indonesia, yaitu:
a. Kreditor konkuren
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, kreditor konkuren diatur dalam Pasal 1132
42 Sutan Remy Sjahdeini, Op. cit., hlm 53.
Universitas Sumatera Utara
35
Kreditor konkuren adalah kreditor yang mempunyai hak mendapatkan pelunasan secara bersama-sama tanpa hak yang didahulukan, dihitung besarnya piutang masing-masing terhadap piutang secara keseluruhan dari seluruh harta kekayaan debitor.43
b. Kreditor preferen
Kreditor preferem adalah kreditor yang diistimewakan, dimana kreditor tersebut mendapatkan pembayaran terlebih dahulu atas semua harta pailit daripada kreditor yang lain.
c. Kreditor separatis
Kreditor separatis adalah kreditor yang memegang hak jaminan yang dalam KUHPerdata disebut dengan nama gadai dan hipotik. Saat ini di Indonesia mengenal 4 (empat) macam jaminan, yaitu:
1) Hipotik
Menurut Pasal 1162 KUHPerdata, hipotik adalah suatu hak kebendaan atas suatu benda yang tak bergerak, bertujuan untuk mengambil pelunasan suatu hutang dari (pendapatan penjualan) benda itu. Hipotik diatur dalam Bab XXI Buku III KUHPerdata pada Pasal 1162-1165. Sedangkan pengaturan hipotik untuk kapal laut yang berukuran paling sedikit 20m3 diatur dalam Pasal 314 KUHD.
2) Gadai
Menurut Pasal 1150 KUHPerdata, gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang yang berutang atau oleh seorang
43 Lilik Mulyadi, Op. cit., hlm. 98.
Universitas Sumatera Utara