• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP PENDIDIKAN AKHLAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KONSEP PENDIDIKAN AKHLAK"

Copied!
183
0
0

Teks penuh

(1)

KONSEP PENDIDIKAN AKHLAK

(STUDI KOMPARATIF IBNU MISKAWAIH DAN IMAM AL-GHAZALI)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I) pada jurusan

Pendidikan Agama Islam Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Makassar

MUHAIMIN 105 1900843 10

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR 1435 H / 2014

(2)

ABSTRAK

MUHAIMIN.105 1900843 10. Studi Komparasi Konsep Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih dan Imam Al-ghazali.

Konsep pendidikan akhlak dalam pandangan Islam memiliki arti yang sangat penting, sehingga hampir setiap kehidupan manusia tak pernah lepas dari akhlak. Pendidikan akhlak adalah tema sentral bagi pelaksanaan pendidikan,karena pendidikan akhlak ini merupakan asas dasar bagi manusia untuk berinteraksi dengan Sang Pencipta (hablumminallah) maupun dengan sesama manusia (hablumminannas). Banyak para ahli pendidik Islam yang telah memberikan perhatian serius dalam mengkaji konsep pendidikan akhlak antara lain Ibnu Miskawaih dan Imam Al-ghazali yang merupakan salah satu pemikir cendekiawan muslim dalam pendidikan yang kompeten dalam mengembangkan pemikiran pendidikan Islam pada zamannya.

Dari hasil penelitian ini terungkap bahwa konsep pendidikan akhlak Ibnu Miskawaih adalah keadaan jiwa yang mendorong manusia untuk melakukan perbuatan-perbuatan secara spontan (tanpa ada pemikiran dan pertimbangan) itu dapat diperoleh pembawaan sejak lahir, tetapi juga dapat diperoleh dengan latihan-latihan membiasakan diri, hingga menjadi sifat kejiwaan yang dapat melahirkan perbuatan yang baik yang dikenal dengan konsep al-wasith (posisi tengah). Sedangkan konsep pendidikan akhlak Imam Al-ghazali adalah merupakan tiap daya serta upaya yang dilakukan dengan melalui pelatihan secara berulang-ulang (kontinu) agar tertanam dalam jiwa dan muncul dalam perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan terlebih dahulu. Upaya ini melalui mujahadah dan latihan.

Adapun perbandingan dari kedua tokoh tersebut menunjukkan bahwa keduanya mengalami banyak persamaan dibandingkan perbedaannya.

Persamaan tersebut terletak pada landasan dasar akhlak yaitu berlandaskan pada ontologi (tauhid), epistimologi (ilmu) dan aksiologi (akhlak/ moral) yang mengacu pada al- Qur‟an dan al-Hadits, materi pendidikan, serta tujuan pendidikan akhlak itu sendiri. Sedangkan bentuk perbedaannya terletak pada hakikat dari pendidikan akhlak itu sendiri. Menurut Ibnu Miskawaih bahwa akhlak itu diperoleh dari pembawaan dan lingkungan di sekitarnya yang dikenal dengan teori konvergensi.Sedangkan menurut Imam Al-ghazali bahwa akhlak sebuah bentuk ungkapan yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa pemikiran dan pertimbangan.

(3)

10. Sahabat-sahabatku Muh. Abd. Ajis Kamarullah, Mukhlis, Magfirah, Aden Saputra, Zaitu, Rohana, Safi’un, Om Tindo, Kadrin, dan Irawan yang selalu memberikan semangat, dukungan dan motivasi yang begitu berarti bagi penulis.

Penulis skripsi nin masih banyak terdapat kekurangan, oleh karena itu saran dan kritik yang konstuktif dari berbagai pihak senantiasa penulis harap- kan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menambah Khasanah ilmu khususnya bidang pendidikan. Amiin.

Makassar, September 2014

Penulis

(4)

3. Bapak Drs. H. Mawardi Pewangi M. Pd.i selaku Dekan Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Makassar

4. Ibunda Dr. Amirah Mawardi M. Pd.i dan Dr. Hj. Maryam, M. Thi selaku Ketua dan Sekertaris jurusa pendidikan agama Islam Universitas Muham- madiyah Makassar.

5. Ayahanda dan Ibunda Dosen Jurusan Pendiidkan Agama Islam Universitas Muhammadiyah Makassar dan Universitas Islam Negeri yang telah menya- lurkan ilmunya kepada penulis

6. Ibu Dr. Hj. Maryam, M. Thi dan Bapak Dahlan Lama Bawa, S. Ag, M. Ag sebagai validator yang telah meluangkan waktunya untuk memeriksa dan memberikan saran terhadap perbaikan instrumen penelitian.

7. Teman-teman seperjuanganku Jamal, Nuryanti, Jumran, Rustam, Fadrul, Koko, Safrudin, Dzulfadli, Sabir, Marna, Ilank, kasmar, Ria, dan Fitri, mem- buat keberadaanku menjadi lebih berarti dan lebih menjadi bermakna, semua kenangan yang ada akan menjadi cerita indah dalam lembar ke- hidupan kita.

8. Teman-teman lembagaku yang selalu memberikan motivasi, dukungan dan saran selama ada dilembaga.

9. Rekan-rekan mahasiswa Angkatan 2010 Jurusan Pendidikan Agama Islam khususnya kelas A tanpa terkecuali yang telah bersama-sama penulis men- jalani masa-masa perkuliahan, atas sumbang saran dan motivasinya sela- ma ini. Semoga persaudaraan kita tetap terajut untuk selamanya.

(5)

Ibunda Dr. Hj. Maryam M. Thi. Selaku pembimbing I dan Ayahanda Dahlan Lama bawa, S. Ag. M. Ag, selaku pembimbing II yang selalu bersedia melu- angkan waktunya dalam membimbing penulis, memberikan ide, arahan, sa- ran dan bijaksana dalam menyikapi keterbarasan pengetahuan penulis, serta memberikan ilmu dan pengetahuan yang berharga baik dalam penelitian ini maupun selama menempuh kuliah. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang setulusnya kepada Dosen penguji yang telah memberikan saran, ban- tuan dan koreksi demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga Allah SWT mem- berikan perlindungan, kesehatan dan pahala yang berlipat ganda atas segala kebaikan yang telah dicurahkan kepada penulis selama ini.

Pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan ucapan banyak terima kasih kepada:

1. Kedua orang tua psenulis tercinta ayahanda H. Musa dan ibunda Hj.Rukaya yang telah mendidik dan membesarkan penulis dengan penuh kasih sayang dan tak kenal lelah dalam memutipasi dan memberikan se- mangat, dorongan yang penuh cinta serta pengorbanannya selama ini baik dari segi materi maupun tenaga untuk kepentingan penulis sehingga sam- pai kejenjang perkuliahan (S1)

2. Bapak Dr. H. Irwan Akib, M. Pd, selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Makassar

(6)

KATA PENGANTAR

ﻢﻴﺣﺮﻟا ﻦﻤﺣﺮﻟا ﷲا ﻢﺴﺑ

ﻻا ﻪﻟا ﻻ نا ﺪﻬﺷا ,ﻦﻳﺪﻟاو ﺎﻴﻧﺪﻟا رﻮﻣا ﻰﻠﻋ ﻦﻴﻌﺘﺴﻧ ﻪﺑو ,ﻦﻴﻤﻟ ﺎﻌﻟا بر ﷲ ﺪﻤﺤﻟا ﻻ ﻩﺪﺣو ,ﷲا

ﺪﻴﺳ ﻰﻠﻋ ﻢﻠﺳو ﻞﺻ ﻢﻬﻠﻟا ,ﻩﺪﻌﺑ ﻰﺒﻧ ﻻ ﻪﻟﻮﺳرو ﻩﺪﺒﻋ اﺪﻤﺤﻣ نا ﺪﻬﺷاو ,ﻪﻟ ﻚﻳﺮﺷ ﺪﻤﺤﻣ ﺎﻧ

ﺪﻌﺑ ﺎﻣا ,ﻦﻴﻌﻤﺟا ﻪﺒﺤﺻو ﻪﻟا ﻰﻠﻋو .

Al-hamdulillah segala puji hanya milik Allah Subhanahu Wa Ta’Ala, Rabb semesta alam atas limpahan rahmat dan anugerah-Nya. Salawat dan salam senantiasa tercurah kepada Rasulullah Shallalahu ‘Alayhi Wassalam beserta keluarga, sahabat, dan orang-orang yang senantiasa mengikuti jalan Beliau hingga hari akhir.

Skripsi yang berjudul “ Konsep Pendidikan Akhlak (Studi Komparatif Ibnu Miskawaih dan Imam al-Ghazali) disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan akademik guna memperoleh gelar sarjana Pendidikan Agama Islam Fakultas agama Islam (FAI) Universitas Muhammadiyah Makassar sekaligus dengan harapan akan dapat memberikan konstribusi positif bagi perkembangan dunia pengajaran secara khusus dan dunia pengajaran secara umum.

Dalam pelaksanaan penelitian hingga penyusunan skripsi ini, penulis banyak mengalami hambatan, namun berkat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Olehnya itu, penulis menyampaikan ucap terima kasih dan penghargaan yang setulusnya kepada

(7)

Persembahan

Skripsi ini Kupersembahkan untuk:

Almamaterku Tercinta

Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultasa Agama Islam

Universitas Muhammadiyah Makassar

(8)

MOTTO

Setiap hari langkah kehidupan begitu cepat

Bagaikan pembalap berebut dan melaju menjadi no 1 Tetapi, menjadi yang terakhir bukanlah yang terburuk

ﺎﻘﻠﺧ مﻛﻧﺳﺣا مﻛ رﯾﺧا نﻣ نا

“ sesungguhnya orang-orang yang paling unggul diantara kamu adalah orang-orang yang paling baik akhlaknya” (H.R. Bukhari)

AKHLAK

Saat bebicara tentang kemulian, yanyalah diri anda Mana sholat tahajudmu?

Mana puasa saat siang yang terik menyengat?

Mana sumbangan terhadap anak yatim?

Namun Nabi bersabda :

“ sesungguhnya sesuatu yang paling berat timbangannya adalah

budi pekerti tang paling agung”

(9)

d. Materi Pendidikan Akhlak…………...…………..116 e. Pendidik dan Anak Didik………...121 C. PERBANDINGAN KONSEP PENDIDIKAN AKHLAK IBNU

MISKAWAIH DAN AL-GHAZALI……….……..130 1. Titik Persamaan……….……...130 2. Titik Perbedaan……….………137

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan……….……….……….149 B. Saran……….……….150 DAFTAR PUSTAKA

(10)

BAB IV KONSEP PENDIDIKAN AKHLAK PERSPEKTIF IBNU MISKAWAIH DAN IMAM AL-GHAZALI

A. IBNU MISKAWAIH………..………...53

1. Biografi Ibnu Miskawaih………...53

2. Riwayat Pendidikan Ibnu Miskawaih………55

3. Karya-karya Ibnu Miskawaih………..….57

4. Hakikat Manusia menurut Ibnu Miskawaih…………..59

5. Konsep Pendidikan Akhlak……….…62

a. Hakikat Pendidikan Akhlak……….….62

b. Tujuan Pendidikan Akhlak……….…..64

c. Metode Pembelajaran Akhlak………...68

d. Materi Pendidikan Akhlak………..…...69

e. Pendidik dan Anak Didik……….….86

B. IMAM AL-GHAZALI………....88

1. Biografi Imam Al-Ghazali………....88

2. Riwayat Pendidikan Imam al-Ghazali………...95

3. Karya-karya Imam al-Ghazali……….98

4. Hakikat Manusia Menurut Imam al-Ghazali……..….103

5. Konsep Pendidikan Akhlak……….……111

a. Hakikat Pendidikan Akhlak………..……111

b. Tujuan Pendidikan Akhlak………...…112

c. Metode Pembelajaran Pendidikan Akhlak…....114

(11)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Akhlak Dalam Islam

1. Definisi Akhlak…….………..…12

2. Sumber Akhlak………..………..…...……...19

3. Fungsi Akhlak……….……….………..…....21

4. Klasifikasi Akhlak……….………..25

5. Keistimewaan Akhlak………..………..26

B. Pendidikan Akhlak 1. Pengertian Pendidikan Akhlak………..…..28

2. Ruang Lingkup Pendidikan Akhlak…………..………...31

3. Dasar Pendidikan Akhlak……….……....33

4. Tujuan Pendidikan Akhlak……….……..…35

5. Metode Pembinaan Akhlak………..…37

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Pendekatan Penetian……….……40

B. Jenis Penelitian……….…..…...44

C. Data Dan Sumber Data………..…...45

D. Teknik Pengumpulan Data………..…46

E. Analisis Data……….……….….50

(12)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………..………i

HALAMAN PENGESAHAN……….….ii

LEMBAR PENGESAHAN………....iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING……….…….iv

SURAT PERNYATAAN ……….………...v

MOTTO DAN PERSEMBAHAN………...vi

ABSTRAK……….….vii

KATA PENGANTAR………..…….viii

DAFTAR ISI………..………..ix

DAFTAR TABEL……….x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang………..………1

B. Rumusan Masalah……….…..…....7

C. Tujuan Penelitian………..……….…..7

D. Manfaat penelitian…………..………..……8

E. Penegasan Istilah………..…..….……8

(13)

b) Perlu adanya klarifikasi bahwa Imam al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih, sebagai ,oralis, ternyata amat terbuka dalam menerima paham dari kalangan luar sepanjang tidak bertentangan denga al-Qur’an dan al- Hadist.

c) Studi pemikiran mengenai konsep pendidikan akhlak dari Ibnu miskawaih dan Imam al-Ghazali pada khususnya dan sarjana-sarjana muslim pada umumnya masih perlu dilanjutkan, mengingat masih banyakproblema pendidikan seperti merosotnya akhlak para pemuda dan pemudi. Dalam literatur keIslaman ternyata banyak sekali konsep pendidikan akhlak yang diajukan para filosofis islam dan para ulama yang hingga saat ini belum digali sepenuhnya. Untuk itu perlu adanya kejian lebih lanjut tentang konsep pendidikan akhlak dari para pemikir islam lannya.

(14)

ulang sehingga lama-kelamaan menjadi suatu kebiasaan serta diusahakan pula untuk selalu bermunajat kepada ilahi. Bentuk pendidikan akhlak menurut al-Ghazali terbagi menjadi dua yaitu melalui pendidikan formal dan informal.

3. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa konsep pendidikan akhlak yang dikembang oleh al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih memiliki banyak kesamaan dibandingkan dengan perbedaannya. Persamaan- persamaan tersebut antara lain: (a) konsep keduanya sama-sama berlandaskan pada ontologi (tauhid), epistimologi (ilmu), dan aksiologi (akhlak/moral) yang mengacu pada al-Qur’a, dan al-Hadist. (b) materi pendidikan akhlak. (c) tujuan pendidikan akhlak, menjadikan manusia yang sempurna (insan kamil) dan selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT.

B. Saran-saran

a) Dalam proses pembelajaran PAI guru perlu menerapkan konsep pendidikan akhlak Imam al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih khususnya tentang akhlak kepada Allah dan kepada sesama manusia, terutama dalam membentuk sikap mental keagamaan dan akhlak yang mulia yang merupakan inti pendidikan islam. Hal ini penting mengingat sebagian besar pelajar dan juga para guru yang semakin menurun moralnya, dan semakin terasa dampaknya bagi kehidupan sosial, kekhawatiran dan pesimis dalam keder pemimpin masa depan.

(15)

BAB V PENUTUP

Berdasarkan pada data-data dan analisa serta beberapa ulasan mengenai konsep pendidikan Ibnu Miskawaih dan Imam al-Ghazali,maka dapat ditarik kesimpulan dan saran-saran sebagai berikut:

A. Kesimpulan

1. Adapun konsep pendidikan akhlak Ibnu Miskawai adalah “al-wasith”

(jalan tengah) yang diartikan keadaan jiwa yang mendorong manusia untuk melakukan perbuatan-perbutan secara spontan (tanpa ada pemikiran dan pertimbangan) itu dapat diperoleh pembawaan sejak lahir, tetapi juga diperoleh dengan latihan-latihan membiasakan diri, hingga menjadi sifat kejiwaan yang dapat melahirkan perbuatan yang baik.

2. Konsep pendidikan akhlak menurut Imam al-Ghazali merupakan tiap daya serta upaya yang dilakukan dengan melalui pelatihan secara berulang-ulang agar tertanam dalam jiwa dan muncul dalam perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan terlebih dahulu. Kriteria akhlak yaitu: kekuatan ilmu, marah yang terkontrol oleh akal, kekuatan nafsu syahwat dan kekuatan keadilan. Al-ghazali membagi akhlak menjadi dua yaitu akhlak madzmumah-muhlikat (buruk dan menghancurkan) dan akhlak mahmudah (baik dan menyelamatkan).

Akhlak dapat dipelajari dengan metode mujahadah dan latihan (riyadlah) dengan amal kebaikan, serta perbuatan itu dikerjakan secara berulang-

(16)

dan jelek, melainkan suatu keadaan jiwa yang mantap (hay’a rasikha fin-hafs). Sedangkan menurut Ibnu miskawaih adalah bahwa akhlak bisa diperoleh atau berubah dikarenakan faktor pembawaan dan lingkungan disekitarnya yang dikenal dengan teori konvergensi. Disamping berbeda dalam hakikat pendidikan akhlak, keduanya juga mengalami perbedaan dalam bidang metode pembelajaran pendidikan akhlak. Metode pembelajaran pendidikan akhlak yang diterapkan oleh al-ghazali adalah metafora, tauhid dan cerita.

Sedangkan ibnu Miskawaih merupakan metode al-

‘adad wa al-jihad (berlatih dan menahan secara terus menerus), bercermin kepada orang lain dan muhasabat al-nafs (intropeksi diri/mawas diri).

(17)

dalam teori pendidikan terpulang operasionalnya di tangtan pendidik, misalnya metode, bahan (materi) pelajaran, alat pendidikan dalam operasionalnya banyak tergantung kepada pendidik.

Tabel 5.2

Matrik Persamaan dan perbedaan Konsep pendidikan Akhlak al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih

No Aspek Pembahasan

01 Persamaan Ibnu Miskawaih dan Al-Ghazali dalam menerapkan kosep pendidikan akhlak sama-sama berlandaskan pada antolog (tauhid), epistomologi (ilmu), dan aksiologi (akhlak/moral) yang mengacu pada Al- Qur’an dan Al-Hadist. Adapun materi pendidikan akhlak yang diterapkan oleh al-Ghazali adalah al- Qur’an, al-hadist, tauhid dan syari’at (muamalah).

Sedangkan tujuan pendidikan akhlak dari kedua tokoh di atas adalah menjadi manusia memiliki akhlakul karimah yang sempurna (insan kamil) dan selalu mendekatkan diri kepada Allah.

02 Perbedaan Adapun bentuk perbedaannya terletak pada hakikat pendidikan akhlak itu sendiri. Menurut al-Ghazali adalah bukanlah pengetahuan (ma’rifah) tentang baik dan jahat maupun kodrat (qudrah) untuk baik dan buruk, bukan pula pengalaman (fi’il), yang baik

(18)

Ketiga pokok materi ini dapat diperoleh dari berbagai jenis ilmu.

05 Pendidik dan peserta didik

a)Guru seharusnya menerima masukan yang datangnya dari peserta didik dan harus membiarkannya berproses

sesuai dengan

kemampuannya.

b)Guru juga harus menghargai kemampuan peserta didik dan mengoreksinya dengan penuh rasa simpati. Peranan guru dan otoritas dalam pendidikan Islam yang berpengaruh dan sangat penting itu tidak berarti menekan individualitas peserta didik, kebebasannya atau kreativitasnya.

c)Pendidik merupakan elemen yang sangat penting dalam pendidikan, sebab pendidik berfungsi sebagai sentral dari seluruh aktivitas pendidikan khususnya proses belajar mengajar. Hampir semua faktor pendidikan yang disebut

Guru memegang peranan

penting dalam

keberlangsungan kegiatan pengajaran dan pendidikan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Sedangkan anak didik adalah murid, siswa, peserta didik atau mahasiswa merupakan

sasaran kegiatan

pengajaran dan pendidikan merupakan bagian yang perlu mendapatkan perhatian yang seksama.

Perbedaan anak didik menyebabkan terjadinya perbedaan materi, metode, pendekatan, dan lain sebagainya.

(19)

metafora papan petunjuk jalan untuk melambangkan sifat teologis dalam dunia ini, yang sering dilupakan orang, khususnya para ilmuwan.

b)Cerita dan tauhid. Metode tauhid dijadikannya sebagai salah satu karakteristik pendidikan dan epistemologi Islam yang dijelaskan secara tajam dan dipraktikkan olehnya. Menurutnya, metode tauhid dapat menyelesaikan problematika dikotomi yang salah.

yang hakiki sesuai dengan keutamaan jiwa.

b)Menjadiakan semua

pengetahuan dan

pengalaman orang lain sebagai cermin bagi dirinya.

c)Intropeksi diri atau mawas diri (muhasabat al-Nafs).

Metode ini mengandung pengertian kesadaran seseorang untuk mencari pribadi secara sungguh- sungguh.

04 Materi pendidikan akhlak

Al-Ghazali mengklafikasikan ilmu menjadi dua bagian, yaitu Fardu ‘ain (ilmu-ilmu agama) dan fardu kifayah (ilmu rasional, intelektual, dan filosofis). Ilmu-ilmu agama meliputi materi studi al-Qur’an, Sunnah, Syari’at, Teologi, Metafisika Islam, Ilmu bahasa.

Ilmu-ilmu rasional, intelektual, dan filosofis. Sejarah Islam.

Materi pendidikan menjadi tiga bagian, yaitu:

a) Pendidikan yang wajib bagi kebutuhan tubuh

b) Pendidikan yang wajib bagi kebutuhan jiwa

c) Pendidikan yang wajib terkait dengan hubungan manusia dengan sesamanya.

(20)

akhlak menanamkan kebaikan ataupun keadilan dalam diri manusia sebagai seorang manusia dan individu bukan hanya sebagai waga negara ataupun anggota masyarakat.

Yang perlu ditekankan dalam pendidikan adalah nilai manusia sebagai manusia sejati, sebagai warga kota, sebagai warga Negara dalam kerajaannya yang mikro, sebagai sesuatu yang bersifat spiritual, (dengan demikian yang ditekankan

itu) bukan nilai manusia sebagai entitas fisik yang diukur dalam konteks pragmatis berdasarkan

keguanaannya bagi Negara, masyarakat, dan dunia

Miskawaih adalah

terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara spontan bagi terciptanya semua perbuatan yang bernilai baik, sehingga mencapai

kesempurnaan dan

memperoleh kebahagiaan yang sempurna (al-Sa‟adat)

03 Metode pembelajaran pendidikan akhlak

Di antara metode

pembelajaran pendidikan akhlak Imam al-Ghazali adalah a)Metafora Salah satu metafora yang paling diulang- ulang oleh Al-Attas adalah

a)Adanya kemauan yang kuat untuk berlatih secara terus-menerus dan menahan diri (al-‘Adat wa al-jihad) untuk memperoleh keutamaan dan sopan santu

(21)

jasmani, intelektual dan ruhaniyah. Istilah adab dan ta‟dib yang dipertahankan Al- Attas sebagai pendidikan bersandar kepada sabda Nabi

“Addabani Rabbi Fa-ahsana Ta‟dibi”. Artinya, (Tuhanku telah mendidikku dan dengan demikian menjadikan pendidikan yang terbaik).

b)Konsep yang ditawarkan oleh Al-Ghazali adalah

“manusia beradab (ta‟dib)”.

Beliau berpendapat bahwa orang yang terpelajar adalah orang yang baik. Yang dimaksud baik di sini adalah adab dalam pengertian yang menyeluruh, yang meliputi kehidupan spiritual dan material seseorang, yang berusaha menanamkan kualitas kebaikan yang diterimanya.

menyebutkan bahwa hakikat akhlak itu terbagi dua, yakniada yang tabi‟i sebagai bakat dasar (bawaan), dan ada yang merupakan hasil pembiasaan dan latihan.

Tetapi kemudian ia menyetujui pendapat bahwa tiada satupun khuluq manusia yang tabi‟i tetapi juga tak dapat disebut bukan tabi‟i Sebab, kita dicetak untuk menerima suatu khuluq dan berubah- ubah dengan pendidikan dan pergaulan, cepat ataupun lambat

02 Tujuan pendidikan

Tujuan untuk pendidikan Akhlak adalah untuk

Tujuan pendidikan akhlak yang dirumuskan oleh

(22)

menyimpulkan bahwa pelaksanaan kerja (mendidik akhlak) itu hendaknya didasarkan atas perkembangan lahir batin manusia. Setiap tahap perkembangan manusia mempunyai kebutuhan psycho-phisiologis dan cara mendidik hendaklah memperhatikan kebutuhan siswa sesuai dengan tahap perkembangannya.

Keduanya juga sepakat bahwa pendidikan akhlak harus diberikan dengan cara pembiasaan-pembiasaan, pelatihan-pelatihan, dan tauladan yang baik. Tidak lupa pula harus dengan cara bersunggu-sungguh untuk tetap berperilaku yang mulia.

Berikut ini peneliti tampilkan komparasi konsep pendidikan akhlak Al- Ghazali dan Ibnu Miskawaih.

Tabel 5.1

Matrik Komparasi Konsep Pendidikan Akhlak Imam al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih

No Aspek Konsep Pendidikan Akhlak Imam al-Ghazali

Konsep Pendidikan Akhlak

Ibnu Miskawaih 01 Hakikat

pendidikan akhlak

a)Al-Ghazali mengatakan bahwa akhlak adalah disiplin tubuh, jiwa dan ruh yang menegaskan pengenalan dan pengakuan terhadap posisi yang tepat mengenai hubungannya dengan potensi

a)Akhlak adalah kondisi bagi jiwa yang mengajak

segala perbuatan

kepadanya dengan tanpa dipikirkan, dan tanpa ditimbang-timbang.

b)IbnuMiskawaih

(23)

(al-„adat wa al-jihad). Metode ini diperuntukkan agar berlatih terus menerus dan menahan diri untuk memperoleh keutamaan dan kesopanan yang sebenarnya sesuai dengan keutamaan jiwa”.

Metode di atas diarahkan agar manusia tidak memperturutkan kemauan jiwa al-syahwaniyah dan al-ghadlabiyah. Karena kedua jiwa ini sangat terkait dengan alat tubuh, maka wujud latihan dan menahan diri dapat dilakukan antara lain dengan tidak makan dan tidak minum yang membawa kerusakan tubuh, atau dengan melakukan puasa.

Sedangkan metode pembelajaran yang dicetuskan oleh Al-Gazali adalah:

“Pertama, metode tauhid (diberikan kepada anak kecil dan harus kita artikan sebagai pembiasaan bertingkah-laku serta berbuat menurut peraturan atau kebiasaan yang umum. Agar peserta didik mau melakukan apa-apa yang diinstruksikan oleh guru, maka pendidik harus memberi contoh atau perintah yang baik). Kedua, metode cerita(yaitu metode pemberian pengertian kepada anak sesuai dengan apa yang ada dicerita terebut.Ketiga, metode metafora (yaitu metode pemantapan dalam diri siswa supaya tetap bersungguh-sungguh dan memiliki kemauan untuk tetap melaksanakan kebiasaan yang baik).”

Menurutnya, dunia ini bagaikan papan petunjuk jalan yang member petunjuk kepada musafir, arah yang harus diikuti serta jarak yang diperlukan untuk berjalan menuju tempat yang akan dituju. Jika papan tanda itu jelas, dengan kata-kata tertulis yang dapat dibaca menunjukkan tempat dan jarak, sang musafir akan membaca tanda-tanda itu dan menempuhnya tanpa masalah apa-apa.Oleh karena itu, metode-metode pembelajaran pendidikan akhlak yang ditawarkan oleh kedua tokoh di atas peneliti dapat

(24)

hanyalah berkutat pada metode pembelajaran akhlak. Sehingga menurut peneliti hal ini bukanlah masalah yang menjadikan antara keduanya tidak sepaham dalam memandang akhlak secara umum. Sebab peneliti dapat menganalisa bahwa al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih sejalan, sepaham, sealiran dan satu pandangan dalam memahami akhlak secara universal.

Selain berbeda dalam bidang pendidik dan peserta didik, Al-ghazali dan Ibnu Miskawaih juga mengalami perbedaan dalam bidang peroses pemberian pendidikan akhlak kepada anak. Menurut Al-Attas, bahwa pendidikan itu harus berlandaskan pada konsep ta‟dib, begitu juga dalam pemberian pendidikan akhlak kepada peserta didik. Menurutnya, pendidikan akhlak itu diberikan harus disesuaikan dengan kemauan, kebebasan dan kebutuhan anak. Kendatipun keduanya sama-sama memilih metode pembiasaan, pelatihan dan pemantauan penuh. Sedangkan menurut Ibn Miskawaih, bahwa pendidikan akhlakitu harus diberikan dengan paksaan untuk membiasakan nilai-nilai akhlak terhadap diri siswa.

Dalam memandang metode pembelajaran pendidikan akhlakAl- Ghazali dan Ibn Miskawaih memiliki perbedaan-perbedaan. Ibnu Miskawaih dalam memberikan pendidikan akhlak kepada siswa menggunakan beberapa metode yaitu:

“Pertama, metode alami (thariqun thabi‟i). Metode ini berangkat dari pengamatan terhadap potensi-potensi insani, yakni pendidikan diarahkan kepada pemenuhan kebutuhan potensi siswa yang ada sejak lahir, kemudian kepada kebutuhan potensi berikutnya yang lahir sesuai dengan hukum alam. Kedua, kemauan yang sungguh-sungguh

(25)

tinggi, untuk mengerti dan melaksanakan pandangan yang sempurna terhadap belajar dan pendidikan.

Menurut al-Ghazali peseta didik disarankan untuk tidak tergesa-gesa dalam belajar kepada sembarang guru. Sebaiknya peseta didik harus meluangkan waktu untuk mencari siapa guru terbaik dalam bidang yang ia gemari. Pentingnya mendapatkan guru yang memiliki reputasi tinggi untuk mencapai gelar tertentu menjadi suatu tradisi. Imam Al-Ghazali mengingatkan dan menekankan peserta didik untuk tidak besikap sombong, tetapi harus memerhatikan mereka yang mampu membantunya dalam mencapai kebijaksanaan, kesuksesan, dan kebahagiaan dan tidak hanya berlandaskan kepada mereka yang termasyhur atau terkenal.

Dari pemikiran dua tokoh di atas peneliti dapat menyimpulkan bahwasanya keduanya dalam memandang guru pendidikan akhlak ditemukan perbedaan-perbedaan. Contohnya, IbnuMiskawaih memberikan syarat-syarat khusus bagi calon guru pendidikan akhlak. Adapun al-ghazali tidak meberikan kriteria-kriteria khusus dalam menentukan guru pendidikan akhlak dan beliau juga mengajak semua guru, baik bidang studi lainnya agar menjadi guru pendidikan akhlak, dalam arti selain menyampaikan materi bidang studinya guru juga harus memberikan materi akhlak. Oleh karena itu, jalas bahwa keduanya terdapat perbedaan-perbedaan pandangan dalam memahami guru pendidikan akhlak. Meskipun pemikiran di antara keduanya tentang akhlak tidak ada pertentangan absolut (mutlak). Perbedaan mereka

(26)

Berbeda dengan al-Ghazali. Menurut al-Ghazali guru seharusnya tidak menafikan nasihat yang datangnya dari peserta didik dan harus membiarkannya berproses sesuai dengan kemampuannya. Guru juga harus menghargai kemampuan peserta didik dan mengoreksinya dengan penuh rasa simpati. Peranan guru dan otoritas dalam pendidikan Islam yang berpengaruh dan sangat penting itu tidak berarti menekan individualitas peserta didik, kebebasannya atau kreativitasnya.

Pendidik merupakan elemen yang sangat penting dalam pendidikan, sebab pendidik berfungsi sebagai sentral dari seluruh aktivitas pendidikan khususnya proses belajar mengajar. Hampir semua faktor pendidikan yang disebut dalam teori pendidikan terpulang operasionalnya di tangan pendidik, misalnya metode, bahan (materi) pelajaran, alat pendidikan dalam operasionalnya banyak tergantung kepada pendidik. Berdasarkan itulah seorang pendidik memegang kunci penting dalam memberdayakan pendidikan menghadapi dunia yang penuh dengan kompetitif. Berkenaan dengan hal itu, bagaimana kualifikasi pendidik dalam menghadapi pasar bebas yang akan datang ini.

Al-Ghazali memberikan nasihat kepada peserta didik dan guru untuk menumbuhkan sifat keikhlasan niat belajar dan mengajar. peserta didik wajib mengembangkan adab yang sempurna dalam ilmu pengetahuan karena pengetahuan tidak bisa diajarkan kepada siapapun tanpa ada adab. Adalah kewajiban bagi orang tua dan peserta didik, khususnya pada taraf pendidikan

(27)

aturan itu sehingga peserta didik dapat berperilaku tertip, sopan santun dan bisa menjadi khilafatullah dan abdullah yang sebenarnya.

Persamaan selanjutnya yang dapat dilihat dari paparan kedua tokoh diatas adalah mengenai kedudukan pendidikan akhlaq dengan pendidikan lain. Ibnu miskawaih dan al-ghajali berkomitmen bahwa pendidikan akhlaq merupakan pendidikan paling penting dan utama dari pada pendidikan umum (ilmu pengetahuan). Menurut mereka pendidikan umum diberikan setelah peserta didik memiliki dasar pendidikan akhlaq. Al-ghajali menambahkan bahwa pendidikan umum adalah kebutuhan sekunder peserta didik jika pendidikan akhlaq belum diberikan dan belum tertanam dalam diri siswa.

B. Titik Perbedaan

Menurut Ibnu Miskawaih, guru atau pendidik akhlak pada umumnya adalah mereka yang memiliki berbagai persyaratan, antara lain: bisa dipercaya, pandai, dicintai, sejarah hidupnya jelas, dan tidak tercemar di masyarakat. Disamping itu, Ibnu Miskawaih menambahkan supaya guru menjadi cermin atau panutan dan bahkan harus lebih mulia dari orang yang dididiknya

Perlunya hubungan yang didasarkan pada cinta kasih antara guru dan murid tersebut dipandang demikian penting, karena terkait dengan keberhasilan dalam kegiatan belajar mengajar. Kegiatan belajar mengajar yang didasarkan atas dasar cinta kasih antara guru dan murid dapat memberi dampak yang positif bagi keberhasilan pendidikan.

(28)

pembiasaan perilaku yang positif. Akan tetapi yang perlu diperhatikan, pada masa ini perlu diberikan materi dengan bentuk latihan panca indra yakni pembiasaan berbuat dan berperilaku secara tertib dan sesuai aturan norma yang ada, untuk menyempurnakan perkembangan jiwa dan raga anak-anak menuju kecerdasan budi pekerti kelak.

Dalam pandangan Al-ghajali meteri akhlaq pada masa ini tidak cukup hanya mebiasakan apa yang diperintahkan tetapi anak-anak juga harus menyadarinya jangan sampai mereka terikat oleh syariat yang kosong, jelaskanlah sekedarnya mengenai maksud dan tujuan pendidikan akhlaq, yang intinya memelihara tatatertib dalam hidupnya untuk ketenagan hidupnya. Materi pendidikan akhlaq pada masa ini tidak harus terbatas pada pembiasaan syariat, jika anak-anak sudah bisa melampaui maka diperbolehkan melaksanakan kegiatan-kegiatan yang lebih sukar dan berat.

Dari pandangan-pandangan kedua tokoh diatas mengenai materi pendidikan akhlaq, peneliti menemukan suatu persamaan persepsi antara keduanya.

Ibnu miskawaih dan al-ghajali sepakat bahwa syariat atau pendidikan agama islam sebagai materi utama pendidikan, khususnya pendidikan akhlaq.

Keduanya juga menerapkan materi-materi pendidikan akhlaq secara bertahap dan sesuai dengan perkembangan peserta didik.

Bentuk-bentuk pendidikan akhkaq yang disepakati oleh keduanya ialah, siswa diberikan materi tentang aturan-aturan yang telah ditentukan Allah dalam kehidupan sehari-hari dan sebagaimana cara menjalankan aturan-

(29)

yang lebih substansi, pokok, dan hakiki, yaitu akhlaq yang mulia. Dengan kata lain, setiap ilmu membawa misi akhlaq.

Materi yang diterapkan oleh ibnu mikawaih secara umum sepaham dengan materi yang diterapkan oleh al-ghajali. Dalam hal ini, al-ghajali berprinsip bahwa materi pendidikan akhlaq merupakan dasar utama pendidikan dan harus diberikan lebih awal, sedangkan ilmu pengetahuan disampaikan sambil berjalan. Sebab menurutnya, jika mengabaikan pendidikan akhlaq dan lebih mengutamakan ilmu pengetahuan maka yang akan terjadi adalah materialisme, egoisme dan amoralisme akan merasuki pribadi siswa.

Mengenai isi materi pendidikan akhlaq, al-ghajali juga memilih pendidikan agama (syariat) sebagi landasan utama dalam merehabilitasi manusia. Materi syariat disini mengajarkan agar peserta didik melaksanakan perintah-perintah Allah dalam kehidupan sehari-hari. Dengan mengajarkan meteri syariat ini menurut beliau anak-anak akan melekat pada dirinya sehingga perilaku yang mulia lainnya dapat menghiasi juga dalam kehidupannya sehari-hari.

Berkenaan dengan penetapan materi pendidikan akhlaq pada masa ini al-ghajali memilih materi yang diberikan berupa pembiasaan yang bersifat global dan spontan, yakni belum berupa teori (syariat islam/hukum islam) yang terbagi-bagi menurut jenisnya kebaikan atau keburukan dan belum terencana mengenai waktu pemberian materinya, yang terpenting

(30)

terkesan bahwa tujuan pendidikan akhlak yang dirumuskan oleh Ibnu Miskawaih memang terlihat mengarah kepada terciptanya manusia agar menjadi filosof. Karena itu, ia memberi jalan agar seseorang memahami materi yang terdapat dalam beberapa ilmu tertentu.

Dalam hal ini Ibnu Miskawaih memberikan uraian tentang sejumalah ilmu yang dipelajari agar seseorang menjadi filsof. Ilmu tersebut, ialah:

matematika, logika sebagai alat filsafat ilmu kealaman. Menurutnya, seseorang baru dapat dikatakan filosof, apabila sebelumnya telah mencapai predikat insyinyur, astroger.

Meteri selain itu yang dianjurkan oleh ibnu miskawaih adalah mempelajari karya-karya atau buku-buku yang ditulis oleh para ilmuan yang mengarahkan pada pengetahuan mengenai pendidikan akhlaq, sehingga beliau mengharapkan agar buku-buku yang telah ditelaah dapat memoengaruhi dirinya berakhlaq mulia. Pendapat ibnu miskawaih tersebut lebih jauh mempunyai tujuan agar tiap guru (pendidik), apapun meteri bidang ilmu yang diasuhnya harus diarahkan untuk terciptanya akhlaq mulia bagi diri sendiri dan murid-muridnya. Ibnu miskwaih memandang guru (pendidik) mempunyai kesempatan baik untuk memberi nilai lebih pada setiap ilmu bagi pembentukan pribadi mulia.

Jika dianalisis secara seksama, bahwa sebagai ilmu yang diajarkan dalam kegiatan pendidikan seharusnya tidak diajarkan semata-mata karena ilmu itu sendiri, atau tujuan akademik semata-mata, tetapi karena tujuan lain

(31)

Selanjutnya materi pendidikan akhlak yang wajib dipelajari bagi keperluan jiwa, dicontohkan oleh ibnu miskawaih dengan pembahasan akidah yang benar, mengesakan Allah dengan segala kebesaranNya, serta motifasi untuk senang kepada ilmu. Adapun materi yang terkait dengan keperluan manusia terhadap manusia lain, dicontohkan dengan materi ilmu mualamat, pertanian, perkawinan, saling menasihati, peperangan, Dll.

Selanjutnya karena materi-materi tersebut selalu dikaitkan dengan pengabdian kepada tuhan, maka apapun materi yang terdapat dalam suatu ilmu yang ada, asal semuanya tidak lepas dari tujuan pengabdian kepada tuhan,Iibnu Miskawaih tanpak akan menyetujuinya.

Dalam rangka pendidikan akhlak, Ibnu Miskawaih sangat mementikkan materi yang ada dalam ilmu ini, karena materi yang ada dalam ilmu ini akan membantu manusia untuk lurus dalam berbicara. Demikian pula materi yang dalam ilmu mantiq (logika) akan membantu manusia untuk lurus dalam berpikir. Adapun materi yang terdapat dlam ilmu pasti seperti ilmu hitung (Al- hisab), dan geometri (Al-handasat) akan membantu manusia untuk terbiasa berkata benar dan benci kepalsuan.

Sementara itu sejarah dan sastra, akan membantu manusia berlaku sopan. Materi yang ada dalam syariat sangat ditekankan oleh Ibnu Miskawaih. Menurutnya, dengan mendalami syariat, manusia akan teguh pendirian, terbiasa berbuat yang di ridhoi oleh tuhan, dan jiwa siap menerima hikmah hingga menyampai kebahagiaan (al-sa’adat). Dari uraian tersebut

(32)

Materi-materi yang dimaksud oleh Ibnu Miskawaih diabadikan pula sebagai bentuk pengabdian kepada Allah SWT. Sejalan dengan uraian tersebut, Ibnu Miskawaih menyebutkan 3 hal pokok tersebut, yaitu: hala-hal yang wajib kebutuhan tubuh manusia, hal-hal yang bagi jiwa, hal-hal wajib bagi hubunganya dengan sesama.

Ketiga pokok materi tersebut menurut ibnu miskawaih dapat di peroleh dari ilmu-ilmu yang secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua pertama, ilmu-ilmu yang berkaitan dengan pemikiran atau biasa disebut dengan Al-‘ulum Al-fikirya. Kedua, ilmu-ilmu yang berkaitan dengan indra atau biasa disebut dengan Al-u’lum Al-hisyat.

Ibnu Miskawaih tidak memerinci materi pendidikan yang wajib bagi kebutuhan manusia. Secara sepintas tanpaknya agak ganjil. Materi pendidikan akhlak yang wajib bagi Ibnu Miskawaih antara lain, shalat, puasa, sa’i. Ibnu Miskawaih tidak memberikan penjelasan lebih lanjut terhadap contoh yang diajukkanya ini. Hal ini barang kali didasarkanya pada perkiraanya, bahwa uraian secara terperincipun orang sudah menangkap maksidnya.

Misalkan gerak-gerakan shalat secara teratur yang paling sedikit lima kali sehari seperti mengakat tangan, berdiri, ruku’, dan sujud memang memiliki unsur olah tubuh. Shalat sebagai jenis olah tubuh akan dapat lebih dirasakan dan di sadari sebagai olah tubuh (gerak badan),jika dilakukan dalam berdiri, ruku’, dan sujud dalam waktu yang agak lama.

(33)

akhlak manusia muncul karena pengaruh dari luar dan bawaan dari dalam.

Dari gambaran-gambaran konsep dari kedua tokoh maka peneliti dapat mengidentifikasi persamaan-persamaan tersebut. Misalnya dari persamaan prinsip kedua tokoh tersebut adalah mengenai proses internalisasi akhlak melalui perintah-perintah (penanaman kebaikan-kebaikan) agar terbiasa berbuat yang mulia, seperti guru agar siswanya menghormati orang tuanya, saling tolong menolong, berpakaian yang rapi dan baik, dan lain sebagainya.

Persamaan selanjutnya ialah mengenai materi pendidikan akhlak.telah kita ketahui bahwa di era globalisasi ini atau di massa pendidikan modern telah terjadi kotomi terhadap materi pendidikan akhlak. Penyelenggara pendidikan saat ini lebih mengedepankan penyampaian materi pendidikan umum dari pada akhlak. Pendidikan akhlak tak lagi jadi perioritas utama dalam pengembangan pendidikan, sehingga perilaku-perilaku negatif marak terjadi dikalangan pelajar.

Oleh karena itulah bagaimana pandangan Ibnu Miskawaih dan Imam Al-ghajali terhadap materi pendidikan akhlak. Dalam hal ini peneliti akan memaparkan ide-ide mereka terkait dengan materi pendidikan akhlak sebagai berikut:

Ibnu Miskawaih menyebutkan beberapa hal yang perlu dipelajari, dan dipraktekkan. Sesuai dengan konsepnya tentang manusia, secara umum Ibnu Miskawaih membedaki agar semua sisi kemanusiaan mendapatkan materi pendidikan yang memberi jalan bagi tercapainya tujuan pendidikan.

(34)

a) Aspek Paedogogis.

Dalam aspek ini para pendidik mendorang manusia sebagai animal educandum, makhluk yang memerlukan pendidikan. Dalam kenyataannya manusia dapat dikategorikan sebagai animal, artinya binatang yang dapat dididik, sedangkan binatang pada umumnya tidak dapat dididik, melainkan hanya dilatih secara dresser. Adapun manusia dengan potensi yang dimilikinya dapat dididik dan dikembangkan kearah yang diciptakan.

b) Aspek Sosiologi dan Kultural.

Menurut ahli sosiologi, pada perinsipnya manusia adalah moscrus, yaitu makhluk yang berwatak dan berkemampuan dasar untuk hidup bermasyarakat.

c) Aspek Tauhid.

Aspek tauhid ini adalah aspek pandangan yang mengakui bahwa manusia adalah makhluk yang berketuhanan, menurut para ahli disebut homodivinous (makhluk yang percaya adanya tuhan) atau disebut juga homoriligius (makhluk yang beragama).

C. Perbandingan Konsep Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih dan Imam Al- Ghazali

A. Titik Persamaan

Dalam hal hakikat dan tujuan pendidikan akhlak Ibnu Miskawaih dan al- Ghazali terdapat persamaan, yaitu menjadikan manusia menjadi manusia baik dan sempurna (insan kamil). Dalam artian bahwa perilaku mulia atau

(35)

ukhrawi. Dengan konsep semacam ini, maka peserta didik akan menuntut ilmu sesuai dengan dasar dan prinsip-prinsip pendidikan Islam itu sendiri yang berlandaskan kepada al-Qur’an dan sunnah serta berorientasi kepada dunia dan akhirat secara integral dan seimbang.

d. Hakekat Peserta Didik

Peserta didik adalah makhluk yang berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhan menurut fitrahnya masing-masing, mereka memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju kearah titik optimal kemampuan fitrahnya. Didalam pandangan yang lebih modern anak didik tidak hanya dianggap sebagai objek atau sasaran pendidikan, melainkan juga mereka harus diperlukan sebagai subjek pendidikan, diantaranya adalah dengan cara melibatkan peserta didik dalam memecahkan masalah dalam proses belajar mengajar. Berdasarkan pengertian ini, maka anak didik dapat dicirikan sebagai orang yang tengah memerlukan pengetahuan atau ilmu, bimbingan dan pengarahan.

Dasar-dasar kebutuhan anak untuk memperoleh pendidikan, secara kodrati anak membutuhkan dari orang tuanya. Dasar-dasar kpdrati ini dapat dimengerti dari kebutuhan-kebutuhan dasar yang dimiliki oleh setiap anak dalam kehidupannya, dalam hal ini keharusan untuk mendapatkan pendidikan itu jika diamati lebih jauh sebenarnya mengandung aspek-aspek kepentingan, antara lain :

(36)

f) Belajar secara bertahap atau berjenjang dengan memulai pelajaran yang mudah (konkrit) menuju pelajaran yang sulit (abstrak); atau dari ilmu yang fardhu ‘ain menuju ilmu yang fardhu kifayah (Q.S. a;l-Fath/48: 19).

g) Mempelajari ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih pada ilmu yang lainnya. Dengan cara ini, peserta didik akan memiliki spesifikasi ilmu pengetahuan secara mendalam.

h) Memahami nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari.

i) Memprioritaskan ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu duniawi.

j) Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan, yaitu ilmu pengetahuan yang bermanfaat, membahagiakan, mensejahterakan, serta memberi kesematan hidup dunia dan akhirat, baik untuk dirinya maupun manusia pada umumnya.

Dari beberapa pemikiran di atas, dapat dipahami bahwa seorang peserta didik dalam perspektif pendidikan Islam tidak hanya menuntut dan menguasai ilmu tertentu secara teoritis an sich, akan tetapi lebih dari itu ia harus berupaya untuk mensucikan dirinya sehingga ilmu yang akan ia peroleh memberi manfaat baik di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu, pendidikan Islam sangat mengutamakan akhlak seorang peserta didik.

Akhlak tersebut harus diawali dari niat peserta didik itu sendiri, dimana niat menuntut ilmu tersebut haruslah semata-mata karena Allah SWT, bukan karena tujuan-tujuan yang bersifat duniawi dijadikan prioritas utama. Selain itu, peserta didik harus menuntut ilmu berorientasi kepada duniawi dan

(37)

c. Sifat-sifat Ideal Peserta Didik

Selain dari tugas dan kewajiban di atas, peserta didik juga mesti memiliki sifat-sifat terpuji dalam kepribadiannya. Imam al-Ghazali, seperti yang dikutip oleh Samsul Nizar, bahwa sifat-sifat ideal yang mesti dimiliki oleh setiap peserta didik paling tidak meliputi sepuluh hal :

a) Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub ila Allah. Konsekuensi dari sikap ini, peserta didik akan senantiasa mensucikan diri dengan akhlaq al-karimah dalam kehidupan sehari-harinya dan berupaya meninggalkan watak dan akhlak yang rendah/tercela sebagai refleksi atas firman Allah dalam Q.S. al-An’am/6: 162 dan adz-Dzariyat/51:56).

b) Mengurangi kecenderungan pada kehidupan duniawi dibanding ukhrawi atau sebaliknya. Sifat yang ideal adalah menjadikan kedua dimensi kehidupan (dunia akhirat) sebagai alat yang integral untuk melaksanakan amanah-Nya, baik secara vertikal maupun horizontal.

c) Bersikap tawadhu’ (rendah hati).

d) Menjaga pikiran dari berbagai pertentangan yang timbul dari berbagai aliran. Dengan pendekatan ini, peserta didik akan meihat berbagai pertentangan dan perbedaan pendapat sebagai sebuah dinamika yang bermanfaat untuk menumbuhkan wacara intelektual, bukan sarana saling menuding dan menganggap diri paling benar.

e) Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji, baik ilmu umum maupun agama.

(38)

e) Seorang penuntut ilmu tidak meninggalkan satu cabang pun dari ilmu- ilmu terpuji.

f) Tidak sekaligus menekuni bermacam-macam cabang ilmu, melainkan memperhatikan urutan-urutan dan memulai dari yang paling penting.

g) Hendaknya ia memasuki sebuah cabang ilmu kecuali jika telah menguasai cabang ilmu yang sebelumnya, karena ilmu itu tersusun rapi secara berurut.

h) Hendaklah seorang penuntut ilmu mengetahui faktor penyebab yang dengan pengetahuan itu ia dapat mengetahui ilmu yang lebih mulia.

i) Hendaknya tujuan seorang peserta didik dalam menuntut ilmu di dunia untuk menghiasi diri dan mempercantik batin dengan keutamaan, sedangkan di akhirat nanti untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan meningkatkan diri agar dapat berdekatan dengan makhluk tertinggi dari kalangan malaikat dan orang-orang yang didekatkan kepada Allah.

Tugas dan kewajiban di atas idealnya dimiliki oleh setiap peserta didik, sehingga ilmu yang ia tuntut dapat dikuasai dan keberkahan ilmu pun ia peroleh. Selain tugas dan kewajiban tersebut, peserta didik juga diharapkan mempersiapkan dirinya baik secara fisik maupun mental sehingga tujuan pendidikan yang ia cita-citakan dapat tercapai secara optimal, efektif dan efisien.

(39)

8) Bersungguh-sungguh menuntut ilmu dan mendahulukan ilmu yang lebih penting.

9) Sesama peserta didik mesti menjalin ukhuwah yang penuh kasih sayang.

10)Bergaul dengan baik terhadap guru-gurunya, seperti terdahulu memberi salam.

11)Peserta didik hendaknya senantiasa mengulangi pelajarannya pada waktu-waktu yang penuh berkat.

12)Bertekad untuk belajar sepanjang hayat dan menghargai setiap ilmu.

Sementara Imam al-Ghazali, yang juga dikembangkan oleh Said Hawa, berpendapat bahwa seorang peserta didik memiliki beberapa tugas zhahir (nyata) yang harus ia lakukan, yaitu:

a) Mendahulukan penyucian jiwa dari pada akhlak yang hina dan sifat-sifat tercela karena ilmu merupakan ibadah hati, shalatnya jiwa, dan pendekatan batin kepada Allah.

b) Mengurangi keterkaitannya dengan kesibukan duniawi karena hal itu dapat menyibukkan dan memalingkan.

c) Tidak sombong dan sewenang-wenanga terhadap guru.

d) Orang yang menekuni ilmu pada tahap awal harus menjaga diri dari mendengarkan perselisihan di antara banyak orang. Artinya, hendaknya di tahap awal ia mempelajari satu jalan ilmu, setelah ia menguasainya barulah ia mendengarkan beragam mazhab atau pendapat.

(40)

Berdasarkan hal tersebut secara singkat dapat dikatakan bahwa setiap peserta didik memiliki eksistensi atau kehadiran dalam sebuah lingkungan, seperti halnya sekolah, keluarga, pesantren bahkan dalam lingkungan masyarakat.

b. Tugas dan Kewajiban Peserta Didik

Agar proses pendidikan yang dilalui oleh peserta didik berjalan dengan baik dan mampu mencapai tujuan pendidikan sebagaimana yang diinginkan, maka peserta didik hendaknya mengetahui tugas dan kewajibannya. Al- Abrasyi menyebutkan ada dua belas kewajiban tersebut, yaitu:

1) Sebelum belajar, peserta didik mesti membersihkan hatinya karena menuntut ilmu adalah ibadah.

2) Belajar diniatkan untuk mengisi jiwanya dengan fadhilah dan mendekatkan diri kepada Allah, bukan untuk sombong.

3) Bersedia meninggalkan keluarga dan tanah air serta pergi ke tempat jauh sekalipun demi untuk mendatangi guru.

4) Jangan sering menukar guru, kecuali atas pertimbangan yang panjang/matang.

5) Menghormati guru karena Allah dan senantiasa menyenangkan hatinya.

6) Jangan melakukan aktivitas yang dapat menyusahkan guru kecuali ada izinnya.

7) Jangan membuka aib guru dan senantiasa memaafkannya jika ia salah.

(41)

c) Menumbuhkan bakat dan sikap peserta didik yang baik d) Mengatur proses belajar mengajar yang baik

e) Memperhatikan perubahan-perubahan kecenderungan yang mempengaruhi proses belajar mengajar

f) Adanya hubungan manusiawi dalam proses belajar mengajar.

2. Peserta Didik dalam Islam

a. Definisi Peserta Didik dalam Islam

Secara etimologi peserta didik adalah anak didik yang mendapat pengajaran ilmu. Secara terminologi peserta didik adalah anak didik atau individu yang mengalami perubahan, perkembangan sehingga masih memerlukan bimbingan dan arahan dalam membentuk kepribadian serta sebagai bagian dari struktural proses pendidikan. Dengan kata lain peserta didik adalah seorang individu yang tengah mengalami fase perkembangan atau pertumbuhan baik dari segi fisik dan mental maupun fikiran.

Sebagai individu yang tengah mengalami fase perkembangan, tentu peserta didik tersebut masih banyak memerlukan bantuan, bimbingan dan arahan untuk menuju kesempurnaan. Hal ini dapat dicontohkan ketika seorang peserta didik berada pada usia balita seorang selalu banyak mendapat bantuan dari orang tua ataupun saudara yang lebih tua. Dengan demikian dapat di simpulkan bahwa peserta didik merupakan barang mentah (raw material) yang harus diolah dan bentuk sehingga menjadi suatu produk pendidikan.

(42)

Sesungguhnya seorang pendidik bukanlah bertugas memindahkan atau mentrasfer ilmunya kepada orang lain atau kepada anak didiknya. Tetapi pendidik juga bertanggung jawab atas pengelolaan, pengarah fasilitator dan perencanaan. Oleh karena itu, fungsi dan tugas pendidik dalam pendidikan dapat disimpulkan menjadi tiga bagian, yaitu :

a) Sebagai instruksional (pengajar), yang bertugas merencanakan program pengajaran dan melaksanakan program yang telah disusun serta mengakhiri dengan pelaksanaan penilaian setelah program dilakukan.

b) Sebagai educator (pendidik), yang mengarahkan peserta didik pada tingkat kedewasaan dan berkepribadian kamil seiring dengan tujuan Allah SWT menciptakannya.

c) Sebagai managerial (pemimpin), yang memimpin, mengendalikan kepada diri sendiri, peserta didik dan masyarakat yang terkait, terhadap berbagai masalah yang menyangkut upaya pengarahan, pengawasan, pengorganisasian, pengontrolan dan partisipasi atas program pendidikan yang dilakukan.

Dalam tugas itu, seorang pendidik dituntut untuk mempunyai seperangkat prinsip keguruan. Prinsip keguruan itu dapat berupa :

a) Kegairahan dan kesediaan untuk mengajar seperti memerhatikan:

kesediaan, kemampuan, pertumbuhan dan perbedaan peserta didik.

b) Membangkitkan gairah peserta didik

(43)

b. Dongkol (hiqd)

Perasaan jengkel yang ada di dalam hati, atau buah dari kemasahan yang tidak tersalurkan.

c. Dengki (hasud)

Penyakit hati yang ditimbulkan kebencian, iri dan ambisi d. Sombong (takabur)

Perasaan yang terdapat di dalam hati seseorang bahwa dirinya hebat dan mempunyai kelebihan.

5. Pendidik dan Peserta Didik

1. Tugas Pendidik Dalam Pendidikan Islam

Menurut al-Ghazali, tugas pendidik yang utama adalah menyempurnakan, membersihkan, menyucikan, serta membawakan hati manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Karena tujuan pendidikan Islam yang utama adalah upaya untuk mendekatkan diri kepada- Nya.

Dalam paradigma Jawa , pendidik diidentikan dengan (gu dan ru) yang berarti “digugu dan ditiru”. Dikatakan digugu (dipercaya) karena guru mempunyai seperangkat ilmu yang memadai, yang karenanya ia memiliki wawasan dan pandangan yang luas dalam melihat kehidupan ini. Dikatakan ditiru (di ikuti) karena guru mempunyai kepribadian yang utuh, yang karenanya segala tindak tanduknya patut dijadikan panutan dan suri tauladan oleh peserta didiknya.

(44)

Seperti me,asukkan makanan yang haram dan syubhat, kekenyangan, makan harta dari milik orang lain yang belum jelas (yang diambil dari harta wakaf tanpa ada ketentuan untuk itu dari orang yang memberikan wakaf).

5. Maksiat farji (kemaluan)

Seperti tidak menjaga auratnya (kehormatan) dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang haram, dan tidak menjaga kemaluannya.

6. Maksiat tangan

Seperti mengguanakan tangan untuk mencuri, merampok, mencopet, merampas, mengurangi timbangan, memukul sesama kaum muslim dan menulis sesuatu yang diharamkan membacanya.

7. Maksiat kaki

Sepertti jugalah kaki jangan sampai ke tempat-tempat yang haram.

Hendaklah dijaga dan dipelihara dari segala macam langkah yang salah dan janganlah dipakai untuk berjalan menuju ke tempat raja yang zdalim tiu tanpa alasan yang sah akan mendorong terjadinya kemaksiatan yang besar.

b) Maksiat Batin

Beberapa contoh penyakit batin (Akhlak tercela) adalah:

a. Marah (ghadab)

Dapat dikatakan menyala api yang terpendam di dalam hati, sebagai salah satu hasil godaan syaitan pada manusia.

(45)

a) Maksiat Lahir

Yaitu pelanggaran oleh orang yang berakal baligh (mukallaf), karena melakukan perbuatan yang dilarang dan meninggalkan pekerjaan yang diwajibkan oleh syari’at Islam. Maksiat lahir dibagi menjadi beberapa bagian yaitu :

1. Maksiat mata

Seperti melihat aurat wanita yang bukan muhrimnya, melihat aurat laki- laki yang muhrimnya, melihat orang lain dengan gaya menghina dan melihat kemungkaran tanpa beramar ma’ruf nahi mungkar.

2. Maksiat telinga

Seperti mendengarkan pembicaraan orang lain, mendengarkan orang yang sedang mengumpat, mendengarkan orang yang sedang namimah, mendengarkan nyanyian-nyanyian atau bunyi-bunyian yang dapat melalaikan ibadah kepada Allah SWT, mendengarkan umpatan,caci maki, perkataan kotor,dan ucapan-ucapan yang jahat.

3. Maksiat lisan

Seperti kata-kata yang tidak bermanfaat, berlebih-lebihan dalam percakapan, berbicara hal yang batil, berkata kotor, mencaci maki, atau mengucap kata laknat, baik kepada manusia, binatang maupun kepada benda-benda lainnya, menghina menertawakan atau merendahkan orang lain, berkata dusta, dan lain-lainnya.

4. Maksiat perut

(46)

c. Syukur

Yaitu berterima kasih kepada nikmat yang dianugerahkan Allah kepada manusia dan seluruh makhluk-Nya.

2) Taat batin

Taat batin adalah seluruh sifat yang baik, yang terpuji yang dilakukan oleh anggota batin (hati). Beberapa perbuatan yang dikategorikan taat batin adalah:

a). Tawakkal

Yaitu berserah diri sepenuhnya kepada Allah dalam menghadapi, menanti atau menunggu hasil pekerjaan.

b). Sabar

Dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu sabar dalam beribadah, sabar ketika dilanda malapetaka, sadar terhadap kehidupan dunia, sabar terhadap maksiat, sabar dalam perjuangan.

c). Qonaah

Yaitu merasa cukup dan rela dengan pemberian yang dianugerahkan oleh Allah.

a) Akhlak Mazdmumah

Menurut imam al-Ghazali, akhlak madzmumah atau akhlak tercela ini dikenal dengan sifat-sifat muhlikat, yakni segala tingkah laku manusia yang dapat membawanya kepada kebinasaan dan kehancuran diri, yang bertentangan dengan fitrahnya untuk selalu mengarah kepada kebaikan.

(47)

4. Materi Pendidikan akhlak

Mengenai materi pendidikan akhlak dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok, di antaranya yaitu:

a) Akhlak Mahmudah

Menurut al-Ghazali, berakhl;ak mulia dan terpuji artinya “ menghilangkan semua adat kebiasaan yang tercela yang sudah digariskan dalam agama Islam serta menjauhkan diri dari perbuatan tercela tersebut, kemudian membiasakan adat kebiasaan yang baik, melakukannya dan mencintainya.

Akhlak terpuji dibagi menjadi dua bagian, yaitu:

1) Taat lahir

Taat lahir berarti melakukan seluruh amal ibadah yang diwajibkan Tuhan, termasuk berbuat baik kepada sesama manusia dan lingkungan dan dikerjakan oleh anggota lahir. Beberapa perbuatan yang dikategorikan taat lahir adalah:

a. Tobat

Menurut para sufi adalah fase awal perjalanan menuju Allah (taqarrub ila Allah). Tobat dikategorkan taat lahir dari sikap dan tingkah laku seseorang. Namun, sifat penyesalannya merupakan taat batin.

b. Amar Ma’ruf Nahi Mungkar

Yaitu perbuatan yang dilakukan kepada manusia untuk menjalankan kebaikan dan meninggalkan kemaksiatan.

(48)

dapat menilai baik buruk suatu perbuatan. Bila hati nurani merasakan senang terhadap perbuatan tersebut, dia akan merespon dengan baik, bila hati nurani merasakan sakit dan menyesal terhadap suatu perbuatan, ia pun akan merespon dengan buruk.

Menurut Ahmad D. Marimba, ada 3 metode dalam pendidikan akhlak, yaitu :

a. Dengan pembiasaan

Tujuannya adalah agar cara-cara yang dilakukan dengan tepat, terutama membentuk aspek kejasmanian dari kepribadian atau memberi kecakapan berbuat dan mengucapkan sesuatu.

b. Dengan pembentukan pengertian, minat dan sikap. Dengan diberikan pengetahuan dan pengertian

c. Pembentukan kerohanian yang luhur

“Menurut al-Ghazali (2003; 72-73)., ada dua cara dalam mendidik akhlak, yaitu; pertama, mujahadah dan membiasakan latihan dengan amal shaleh. Kedua, perbuatan itu dikerjakan dengan di ulang-ulang.

Selain itu juga ditempuh dengan jalan pertama, memohon karunia Illahi dan sempumanya fitrah (kejadian), agar nafsu-syahwat dan amarah itu dijadikan lurus, patuh kepada akal dan agama. Lalu jadilah orang itu berilmu (a'lim) tanpa belajar, terdidik tanpa pendidikan, ilmu ini disebut juga dengan ladunniah.Kedua, akhlak tersebut diusahakan dengan mujahadah dan riyadhah, yaitu dengan membawa diri kepada perbuatan-perbuatan yang dikehendaki oleh akhlak tersebut. Singkatnya, akhlak berubah dengan pendidikan latihan”. (al-Ghazali, 2000;601-602).

(49)

a. Keteladanan

Metode ini merupakan metode terbaik dalam pendidikan akhlak.

Keteladanan selalu menuntut sikap yang konsisten serta kontinyu, baik dalam perbuatan maupun budi pekerti yang luhur.

b. Dengan memberikan tuntunan

Yang dimaksud di sini adalah dengan memberikan hukuman atas perbuatan anak atau perbuatan orang lain yang berlangsung di hadapannya, baik itu perbuatan terpuji atau tidak terpuji menurut pandangan al-Qur’an dan Sunnah.

c. Dengan kisah-kisah sejarah

Islam memperhatikan kecenderungan alami manusia untuk mendengarkan kisah-kisah sejarah. Di antaranya adalah kisah-kisah para Nabi, kisah orang yang durhaka terhadap risalah kenabian serta balasan yang ditimpakan kepada mereka. al-Qur’an telah menggunakan kisah untuk segala aspek pendidikan termasuk juga pendidikan akhlak.

d. Memberikan dorongan dan menanamkan rasa takut (pada Allah)

Tuntunan yang disertai motivasi dan menakut-nakuti yang disandarkan pada keteladanan yang baik mendorong anak untuk menyerap perbuatan- perbuatan terpuji, bahkan akan menjadi perwatakannya.

e. Memupuk hati nurani

Pendidikan akhlak tidak dapat mencapai sasarannya tanpa disertai pemupukan hati nurani yang merupakan kekuatan dari dalam manusia, yang

(50)

e) Membiasakan siswa bersopan santun dalam berbicara dan bergaul baik di sekolah maupun di luar sekolah.

f) Selalu tekun beribaah dan mendekatkan diri kepada Allah dan bermuamalah yang baik.

Adapun menurut Muhammad ‘Athiyyah Al-Abrasyi (2005) menjelaskan:

“Tujuan dari pendidikan moral dan akhlak dalam Islam adalah membentuk orang-orang yang bermoral baik, keras kemauan, sopan dalam bicara dan mulia dalam bertingkah laku dan perangai, bersifat bijaksana, sempurna, sopan dan beradab, ikhlas, jujur dan suci. Jiwa dari pendidikan Islam adalah pendidikan moral dan akhlak”.

Dijelaskan juga menurut Ahmad Amin (2007), bahwasannya:

“Tujuan pendidikan akhlak (etika) bukan hanya mengetahui pandangan atau teori, bahkan setengah dari tujuan itu adalah mempengaruhi dan mendorong kehendak kita supaya membentuk hidup suci dan menghasilkan kebaikan dan kesempurnaan dan memberi faedah kepada sesama manusia. maka etika itu adalah mendorong kehendak agar berbuat baik, akan tetapi ia tidak selalu berhasil kalau tidak ditaati oleh kesucian manusia”.

3. Metode Pembelajaran Pendidikan Akhlak

Dalam buku Daur al-Bait fi Tarbiyah ath-Thifl al-Muslim, karangan Khatib Ahmad Santhut yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, membagi metode pendidikan moral/akhlak ke dalam 5 bagian, di antaranya adalah :

(51)

1) Tujuan Umum

Menurut Barnawy Umari, bahwa tujuan pendidikan akhlak secara umum meliputi :

a) Supaya dapat terbiasa melakukan yang baik, indah, mulia, terpuji serta menghindari yang buruk, jelek, hina dan tercela.

b) Supaya perhubungan kita dengan Allah SWT dan dengan sesama makhluk selalu terpelihara dengan baik dan harmonis.

Menurut Ali Hasan bahwa tujuan pokok akhlak adalah agar setiap orang berbudi (berakhlak), bertingkah laku (tabiat) berperangai atau beradat istiadat yang baik atau yang sesuai dengan ajaran Islam.

2) Tujuan Khusus

Adapun secara spesifik pendidikan akhlak bertujuan :

a) Menumbuhkan pembentukan kebiasaan berakhlak mulia da beradat kebiasaan yang baik

b) Memantapkan rasa keagamaan pada siswa, membiasakan diri berpegang pada akhlak mulia dan membenci akhlak yang rendah.

c) Membiasakan siswa bersikap rela, optimis, percaya diri, emosi, tahan menderita dan sabar.

d) Membimbing siswa ke arah dikap yang sehat dan dapat membantu mereka berinteraksi sosial yang baik, mencintai kebaikan untuk orang lain, suka menolong, sayang kepada yang lemah, dan menghargai orang lain.

(52)

yang universal bersumber dari wahyu, disebut al-khayr, sementara nilai akhlak regional bersumber dari budaya setempat, di sebut al-ma`rûf, atau sesuatu yang secara umum diketahui masyarakat sebagai kebaikan dan kepatutan.

Sedangkan akhlak yang bersifat lahir disebut adab, tatakrama, sopan santun atau etika orang yang berakhlak baik secara spontan melakukan kebaikan, Demikian juga orang yang berakhlak buruk secara spontan melakukan kejahatan begitu peluang terbuka. Akhlak universal berlaku untuk seluruh manusia sepanjang zaman. Tetapi, sesuai dengan keragaman manusia, juga dikenal ada akhlak yang spesifik, misalnya akhlak anak kepada orang tua dan sebaliknya, akhlak murid kepada guru dan sebaliknya, akhlak pemimpin kepada yang dipimpin dan sebagainya.

2. Tujuan Pendidikan Akhlak

Tujuan pokok dari pendidikan Islam adalah mendidik budi pekerti dan pembentukan jiwa. Pendidikan yang diberikan kepada anak didik haruslah mengandung pelajaran-pelajaran akhlak. Setiap pendidik haruslah memikirkan akhlak dan memikirkan akhlak keagamaan sebelum yang lain- lainnya karena akhlak keagamaan adalah akhlak yang tertinggi, sedangkan akhlak yang mulia itu adalah tiang dari pendidikan Islam.

Dalam tujuan pendidikan akhlak dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu :

(53)

Kekuatan amarah yang sehat, ketika muncul dan meredanya, mematuhi perintah akal dan syariah, dan melalui cara itu, sifat keberanian (syaja'ah) akan muncul. Sifat pengetahuan yang baik ialah yang dapat membedakan antara pernyataan yang benar dengan yang salah, antara kepercayaan yang benar dengan yang keliru, dan antara perbuatan yang baik dengan yang buruk. Melalui cara kerja pengetahuan yang demikian, maka kebijakan (hikmah) akan timbul dalam jiwa. Keadilan yang sehat dapat mengendalikan kekuatan nafsu dan amarah dengan mengikuti keputusan akal dan syariah,oleh karena itu maka akan muncullah sifat adil ('adl) dalam diri manusia.

1. Hakikat Pendidikan Akhlak

Akhlaq menurut al-Ghazali bukanlah pengetahuan (ma'rifah) tentang baik dan jahat maupun kodrat (qudrah) untuk baik dan buruk, bukan pula pengamalan (fi'il), yang baik dan jelek, melainkan suatu keadaan jiwa yang mantap (hay'a rasikha fi-n-nafs). Akhlaq menurut al-Ghazali adalah "suatu kemantapan jiwa yang menghasilkan perbuatan atau pengamalan dengan mudah, tanpa harus direnungkan dan disengaja. Jika kemantapan itu sudah melekat kuat, sehingga menghasilkan amal-amal yang baik, maka ini disebut akhlaq yang baik. Jika amal-amal yang tercelalah yang muncul dari keadaan itu, maka itu dinamakan akhlaq yang buruk"

Akhlak seseorang, di samping bermodal pembawaan sejak lahir, juga dibentuk oleh lingkungan dan perjalanan hidupnya. Nilai-nilai akhlak Islam

(54)

perbuatan yang bagus menurut akal dan syara` maka haeah tersebut dinamakan ahklak baik. Dan apabila haeah tersebut menimbulkan perbuatan yang jelek maka disebut ahklak yang jelek.

Pengertian lain adalah keadaan batin yang menjadi sumber lahirnya suatu perbuatan di mana perbuatan itu lahir secara spontan, mudah, tanpa menghitung untung rugi. Orang yang berakhlak baik, ketika menjumpai orang lain yang perlu ditolong maka ia secara spontan menolongnya tanpa sempat memikirkan resiko. Demikian juga orang yang berakhlak buruk secara spontan melakukan kejahatan begitu peluang terbuka.

Dari pengertian akhlaq tersebut, ada dua syarat yang harus terpenuhi, yaitu stabilitas dan tindakan spontan. Stabilitas artinya bahwa perbuatan- perbuatan yang dilakukan seseorang tersebut bersifat permanen dan berkelanjutan. Adapun bersifat spontan artinya bahwa perbuatan itu muncul dengan mudah dan tanpa paksaaan. Kedua hal akhlaq inilah yang menentukan akhlaq seseorang, sehingga ia mempunyai akhlaq terpuji atau sebaliknya. Dengan demikian, akhlaq bagi al-Ghazali adalah mengacu pada keadaan batin manusia (ash-shurat al-bathina).

Selanjutnya, menurut al-Ghazali, dalam diri seorang yang berakhlaq baik, empat kekuatan (nafsu, amarah, pengetahuan, dan keadilan) yang ada tetap baik, moderat, dan saling mengharmoniskan. Kekuatan nafsu yang sehat, tunduk kepada akal dan syariah, dan dengan cara seperti itu, sifat menahan diri ('iffah) dapat tercapai.

(55)

Manusia Binatang Keinginan Manusia juga punya

keinginan.Berbekal pengetahuan dan

pengertiannya, ia berupaya mewujudkan keiginannya.Ia lebih tahu, lebih mengerti dan lebih tinggi tingkat keingiannya dibanding binatang

Binatang memiilki kemampuan melihat dan mengenal dirinya sendiri, dan dunia

sekitar.Sehingga ia berupaya mendapatkan apa yang ia inginkan

Mengetahui dunia

Pengetahuan manusia tidak terbatas ruang dan waktu.Manusia mengetahui sejarah.Manusia pun mengetahui hal-hal yang universal, ia mencari tahu tentang hukum alam, kebenaran umum yang berlaku di dunia.

Hanya melalui indera manusia mengenal/ mengetahui dunia.jadi, pengetahuannya dangkal, parsial, regional dan Terbatas pada masa, karena ia tidak mengenal sejarah.

5. Pendidkan Akhlak

Imam al-Ghazali mendefinisikan ahklak dalam kitabnya Ihya 'Ulumuddin adalah suatu perangai (watak, tabiat) yang menetap kuat dalam jiwa seseorang dan merupakan sumber timbulnya perbuatan-perbuatan tertentu dari dirinya, secara mudah dan ringan, tanpa perlu dipikirkan atau atau direncanakan sebelumnya. Apabila tabiat tersebut menimbulkan

Referensi

Dokumen terkait

Mojoagung Jombang tidak mengandung unsur riba didalamnya, memberikan pembiayaan kepada nasabah yang mempunyai usaha yang tidak dilarang oleh syariah, membiayai seluruh atau

Inti dari dua strategi diatas apabila strategi 1 dan 2 dapat dilaksanakan dengan baik diharapkan menghasilkan output yang baik bagi strategi no 3, dikarenakan untuk

[r]

khaliq, dengan sesama manusia dan dengan lingkungan sekitar. Karena dalam interaksi itulah yang akan membuat seseorang menilai akhlak atau tingkah laku seseorang

analisis hasil penelitian ini dilakukan dengan statistik presentase untuk mendeskripsikan gambaran pengamatan proses belajar mengajar berupa rancangan pelaksanaan

Dari pengujian permeabilitas untuk tanah lempung (Batutegi) nilai koefisien permeabilitas mengalami kenaikan dan tanah lanau-pasir (Rajabasa) nilai koefisien

Penerbit PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm.. Indikasi Geografis adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang dan/atau produk yang karena faktor

Salah satu perubahannya adalah KKN yang biasanya dilakukan secara kelompok (tim) maka pada KKN saat ini dilakukan dengan secara mandiri (individu), KKN yang biasanya