• Tidak ada hasil yang ditemukan

Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) Oleh:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) Oleh:"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

83PK/PID.SUS/2019 DALAM PERKARA PENYEBARAN KONTEN ASUSILA TINJAUAN UU ITE DAN HUKUM ISLAM

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:

ELLA NUR LAILI NIM : 11160454000011

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

2021

(2)

ii

DISPARITAS PERTIMBANGAN HUKUM OLEH HAKIM PADA PUTUSAN NOMOR

265/PID.SUS/2017/PN.MTR, 574K/PID.SUS/2018, DAN 83PK/PID.SUS/2019 DALAM PERKARA PENYEBARAN KONTEN ASUSILA TINJAUAN UU ITE DAN HUKUM ISLAM

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum Sebagai Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:

Ella Nur Laili NIM : 11160454000011

Pembimbing 1

Dr. Isnawati Rais, M.A.

NIP. 195710271985032001

Pembimbing 2

Mufida, S.H.I., M.H.

NIDN. 2101018604

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

2021

(3)

iii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

Skripsi yang berjudul, DISPARITAS PERTIMBANGAN HUKUM OLEH HAKIM PADA PUTUSAN NOMOR 265/PID.SUS/2017/PN.MTR, 574K/PID.SUS/2018, DAN 83PK/PID.SUS/2019 DALAM PERKARA PENPENYEBARAN KONTEN ASUSILA TINJAUAN UU ITE DAN HUKUM ISLAM telah diujiakan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Hukum Pidana Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 19 Januari 2022. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) Program Strata Satu (S-1) pada Program Studi Hukum Pidana Islam.

Jakarta, 19 Januari 2022 Mengesahkan

Dekan

Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag., S.H., M.H., M.A.

NIP. 19760807 200312 1 001

PANITIA UJIAN MUNAQASYAH

1. Ketua : Qosim Arsadani, M.A (………)

NIP. 19690629 200801 1 016

2. Sekretaris : Mohamad Mujibur Rohman, M.A. (………) NIP. 19760408 200710 1 001

3. Pembimbing I : Dr. Isnawati Rais, M.A. (………) NIP. 19571027 198503 2 001

4. Pembimbing II : Mufida, S.H.I., M.H. (………) NIDN. 2101018604

5. Penguji I : Dr. Atep Abdurafiq, M.Si. (………) NIP. 19770317 200501 1 010

6. Penguji II : Dr. Ria Safitri, S.H., M.H. (………) NIP. 19711120 200604 2 005

(4)

iv

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupaka hasil karya asli saya yang diajukan untuk emmenuhi salah satu syarakt memperoleh gelar stata satu (S1) di universitas Islam Negeri Syarif Huidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya cantumkan sesuai dnegan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam negeri Syarif Hudayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari hasil karya saya ini bukan karya asli saya atau meruypakan hasil jiplakan otrang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitasa Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 19 Janurai 2022

Ella Nur Laili

(5)

v ABSTRAK

Ella Nur Laili. NIM 11160454000011. DISPARITAS PERTIMBANGAN

HUKUM OLEH HAKIM PADA PUTUSAN NOMOR

265/PID.SUS/2017/PN.MTR, 574K/PID.SUS/2018, DAN 83PK/PID.SUS/2019 DALAM PERKARA PENPENYEBARAN KONTEN ASUSILA TINJAUAN UU ITE DAN HUKUM ISLAM. Program Studi Hukum Pidana Islam, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1443 H / 2021 M.

Skripsi ini membahas mengenai penyebaran konten asusila yang terdapat disparitas pertimbagan hukum hakim disetiap tingkatan pengadilan. Hal tersebut disatu sisi telah mengakibatkan ketidakadilan hukum, namun disisi lainnya termasuk ke dalam kewenangan Majelis Hakim dalam menjatuhkan putusan.

Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini ialah: 1) Bagaimana pengaturan tindak pidana penyebaran konten asusila dalam tinjauan UU ITE Nomor 19 Tahun 2016 dan hukum Islam? 2) Bagaimana dasar putusan sehingga terjadi disparitas disparitas putusan hukum oleh hakim dalam memeriksa dan memutus perkara nomor nomor 265/PID.SUS/2017/PN.MTR, 574/K/PID.SUS/2018, dan 83 PK/PID.SUS/2019? Skripsi ini bertujuan: 1) Untuk mengetahui pengaturan tindak pidana penyebaran konten asusila dalam tinjauan UU ITE Nomor 19 tahun 2016 dan hukum Islam. 2) Untuk mengetahui dasar terjadinya disparitas putusan hukum oleh hakim dalam dalam memeriksa dan memutus putusan nomor 265/PID.SUS/2017/PN.MTR, 574/K/PID.SUS/2018, dan 83 PK/PID.SUS/2019.

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif dan empiris yaitu metode penelitian hukum terhadap aturan hukum yang tertulis serta bagaimana pemberlakuan suatu hukum secara nyata yang terjadi di masyarakat.

Dengan cara mempelajari peraturan perundang-undangan, buku, jurnal dan dokumen maupun informasi lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini. Adapun metode pendekatan menggunakan yuridis normatif yaitu penelitian dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder sebagai bahan dasar untuk diteliti.

Hasil penelitian menggambarkan bahwa disparitas pertimbangan hukum hakim yang terjadi pada putusan perkara nomor 265/PID.SUS/2017/PN.MTR, 574K/PID.SUS/2018, dan 83PK/PID.SUS/2019 karena adanya perbedaan teori mengenai dasar putusan hakim antara teori positifisme hukum dengan teori keadilan yang diterapkan oleh Majelis Hakim dalam menjatuhkan putusan.

Kata Kunci : Disparitas Putusan, Pertimbangan Hukum Oleh Hakim, penyebaran konten Asusula

Pembimbing 1 : Dr. Isnawati Rias, M.A.

Pembimbing 2 : Mufida, S.H.I., M.H.

(6)

vi

KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Wr. Wb

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Disparitas Pertimbangan Hukum Oleh Hakim Pada Putusan Nomor 265/PID.SUS/2017/PN.MTR, 574K/PID.SUS/2018, Dan 83PK/PID.SUS/2019 Dalam Perkara Penyebaran Konten Asusila Tinjauan UU ITE dan Hukum Islam”.

Shalawat serta salam penulis haturkan kepada junjungan Nabi besar kita Muhammad SAW, para keluarga dan para sahabatnya yang telah membawa petunjuk bagi umat muslim ke jalan Islam yang terang benderang.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari akan pentingnya orang- orang yang telah memberikan pemikiran dan dukungan secara moril maupun spiritual sehingga skripsi ini dapat terselesaikan sesuai yang diharapkan. Untuk itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., MA., M.H. Selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Qosim Arsadani, M.A. Selaku Ketua Program Studi Hukum Pidana Islam.

3. Mohamad Mujibur Rohman, M.A. Selaku Sekretaris Program Studi Hukum Pidana Islam.

4. Dr. Isnawati Rais, M.A. Selaku Dosen Pembimbing 1 dalam penulisan skripsi yang telah memberikan banyak masukan, petunjuk dan arahan serta meluangkan waktunya dengan penuh keikhlasan kepada penulis.

5. Mufidah, S.H.I., M.H. Selaku Dosen Pembimbing II dalam penulisan skripsi yang telah memberikan banyak masukan, petunjuk dan arahan serta meluangkan waktunya dengan penuh keikhlasan kepada penulis.

6. Kepada seluruh civitas akademik fakultas Syriah dan Hukum yang telah memberikan pengalaman dan pengajaran yang baik kepada penulis.

7. Kedua orang tercinta dan tersayang, Ibunda dan Ayahanda yang selalu memberikan dukungan dan keikhlasan serta sabar tanpa henti mendo’akan anaknya supaya sukses dalam menuntut ilmu.

(7)

vii

8. Kepada Yayuk, Adik, dan Kakang yang selalu memberikan dukungan dan motivasi dalam penyusunan skripsi.

9. Kepada teman-teman Jurusan Hukum Pidana Islam angkatan 2016, terimakasih atas bantuan, doa, dukungan dan kebersamaan serta waktunya selama perkuliahan. Semoga dimasa yang akan datang akan memberikan kesuksesan kepada kita semua.

10. Kepada teman kosan Sweet Room yang memberikan support kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi dan berbagi cerita selama 2 tahun.

11. Kepada Akhi Kahfi terimakasih telah memberikan dukungan kepada penulis dan juga Ka Raffi yang telah memberikan dukungan materil dan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan baik.

12. Kepada teman-teman Irmafa terkhusus angkatan Sakir 16 terimakasih telah memberikan pengalaman dan berbagi cerita selama 5 (lima) tahun.

13. Kepada Keluarga HML tercinta terimakasih telah menjadi rumah selama di perantauan.

14. Kepada teman-teman KKN Keris Batik yang telah memberikan banyak cerita dan pengalaman selama KKN.

15. Kepada PMII KOMFAKSYAHUM terkhusus angkatan 16 terimakasih telah memberikan pengalaman yang sangat berharga.

16. Kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga Allah SWT memberikan berkah dan karunia-Nya serta membalas kebaikan kalian semua.

Penulis menyadari ketidaksempurnaan dalam penyusunan skripsi ini. Maka dari itu keritik dan saran yang membangun diperlukan dalam penyempurnaan penulisan skripsi ini, dan semoga dapat menginspirasi dan memberikan manfaat kepada pembaca.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Jakarta, 25 Agustus 2021 Ella Nur Laili

(8)

viii DAFTAR ISI

JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI ... iii

LEMBAR PERNYATAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

D. Review Studi Terdahulu ... 10

E. Metode Penelitian ... 12

F. Sistematika Penelitian ... 13

BAB II TINJAUAN UMUM TEORI PENYEBARAN KONTEN ASUSILA DAN PERTIMBANGAN HUKUM OLEH HAKIM ... 16

A. Pengertian Disparitas... 16

A. Teori ... 17

1. Teori Ketetapan Hukum ... 17

2. Teori Metode Penafsiran Hukum Oleh Hakim ... 18

3. Teori Tindak Pidana Asusila ... 21

B. Tindak Pidana Asusila ... 25

1. Penganturan Hukum Tentang Tindak Pidana Asusila ... 25

2. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Asusila ... 35

C. Pertimbangan Hukum Oleh Hakim ... 38

(9)

ix

BAB III KRONOLIGIS PERMASALAHAN SERTA TINJAUAN PERKARA NOMOR 265/PID.SUS/2017/PN.MTR,

574K/PID.SUS/2018, Dan 83PK/PID.SUS/2019 ... 44 A. Duduk Perkara ... 44 B. Kronologis Perkara ... 45 C. Tinjauan Tentang Pemeriksaan Perkara Nomor

265/PID.SUS/2017/PN.MTR, 574K/PID.SUS/2018,

Dan 83PK/PID.SUS/2019 ... 47

BAB IV ANALISIS DISPARITAS PERTIMBANGAN HUKUM OLEH HAKIM DALAM PERKARA PUTUSAN

NOMOR 265/PID.SUS/2017/PN.MTR,

574K/PID.SUS/2018, DAN 83PK/PID.SUS/2019 DAN

TINJAUAN UU ITE DAN HUKUM ISLAM ... 55 A. Analisis Pertimbangan Hukum Oleh Hakim Dalam

Perkara Putusan Nomor 265/PID.SUS/2017/PN.MTR,

574K/PID.SUS/2018, Dan 83PK/PID.SUS/2019 ... 55 1. Analisis Pertimbangan Hukum Oleh Hakim

Pengadilan Negeri Dalam Perkara Putusan Nomor

265/PID.SUS/2017/PN.MTR ... 57 2. Analisis Pertimbangan Hukum Oleh Hakim

Mahkamah Agung Dalam Perkara Putusan Nomor

574K/PID.SUS/2018 ... 59 3. Analisis Pertimbangan Hukum Oleh Hakim

Mahkamah Agung Dalam Perkara Putusan Nomor

83PK/PID.SUS/2019 ... 67 B. Tinjauan Kajian Hukum Islam Terhadap Perkara Putusan

Nomor 265/PID.SUS/2017/PN.MTR,

574K/PID.SUS/2018, Dan 83PK/PID.SUS/2019 ... 70 1. Upaya Ijtihad Hakim ... 72

(10)

x

2. Upaya Penerapan Hukum Allah SWT ... 75

BAB V PENUTUP ... 79

A. Kesimpulan ... 79

B. Rekomendasi ... 80

DAFTAR PUSTAKA ... 81

(11)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Globalisasi telah menjadi pendorong lahirnya era perkembangan teknologi informasi. Fenomena kecepatan perkembangan teknologi informasi ini telah merebak diseluruh penjuru dunia, sehingga teknologi informasi mendapat kedudukan yang penting bagi kemajuan sebuah bangsa. Sebagai akibat dari perkembangan teknologi tersebut, maka secara lambat laun teknologi informasi dengan sendirinya juga telah mengubah perilaku dan peradaban manusia. Perkembangan yang pesat dalam teknologi internet telah menyebabkan munculnya bentuk kejahatan baru, seperti halnya cybercrime.

Munculnya beberapa kasus cyber crime di Indonesia telah menjadi ancaman stabilitas Kamtibmas dengan eskalasi yang cukup tinggi.1

Di Indonesia, Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) Bareskrim Polri menerima 2.259 laporan kasus kejahatan siber sepanjang Januari hingga September 2020. Tercatat, laporan soal penyebaran konten provokatif merupakan yang paling banyak dilaporkan yakni sebanyak 1.048 kasus. Selain itu, masyarakat juga melaporkan kejahatan siber lainnya seperti penipuan online, pornografi, akses ilegal, manipulasi data, pencurian data/identitas, dan sebagainya. Melalui situs patrolisiber.id, hingga saat ini terdapat total 7.535 aduan masyarakat terkait kejahatan siber. Ribuan kasus ini diprediksi telah menimbulkan kerugian sebesar Rp 27,19 miliar.2

Contoh kasus kejahatan siber bisa kita lihat pada kasus tindak pidana via e-commerce oleh sekelompok pemuda di Medan, hacker Steven Haryanto dan Dani Hermansyah yang mengacaukan website entitas tertentu, beberapa artis yang dicemarkan namanya melalui sebuah situs protitusi. Contoh kasus tersebut telah diatur dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi elektronik.

1 Budi Suhariyanto, Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cybercrime), (Jakarta: P.

Rajagrafindo Persada, 2012), h.3.

2 https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2020/09/08/daftar-kejahatan-siber-yang- paling-banyak-dilaporkan-ke-polisi. Diakses 23:56, 05 Juni 2021.

(12)

2

Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah undang- undang (UU ITE) yang mengatur mengenai teknologi informasi secara umum.

Undang-undang ini penting untuk dipahami bagi siapapun yang terlibat dalam penggunaan teknologi informasi, baik sebagai pengguna teknologi informasi maupun pengembang. Hal ini disebabkan karena beberapa tindakan-tindakan yang berkaitan dengan teknologi informasi dapat didefinisikan sebagai tindakan yang dilarang dalam undang-undang ini.3

Berkaitan dengan tindakan yang dilarang ataupun perbuatan pidana yang dimuat dalam undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik mencakup pendistribusian dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, perjudian, penghinaan, pencemaran nama baik, pemerasan, dan pengancaman. Pada dasarnya perbuatan-perbuatan tersebut telah dikelompokkan dalam KUHP sebagai perbuatan pidana , dan di dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik juga tetap dimuat perbuatan tersebut sebagai bentuk dari pembatasan perbuatan dalam menggunakan teknologi. Perbuatan-perbuatan pidana di atas dimuat dalam pasal 21 ayat (1), (2), (3), dan (4) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.4

Salah satu perbuatan pidana dalam ruang lingkup teknologi yang perlu mendapat perhatian khusus yaitu pendistribusian dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. Perbuatan tersebut dapat berbentuk foto, video, tulisan, dan rekaman. Tidak pidana mendistribusikan dokumen elektronik yang muatannya melanggar kesusilaan dengan tindak pidana kesusilaan itu sendiri merupakan dua perbuatan yang berbeda.5

3Adi Purnama. Kajian Mengenai Undang-Undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Research Gate, Bandung, 2018, h. 2.

4Agustiar Hariri Lubis, Studi Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 83 PK/PID.SUS/2019 Terhadap Penyebaran Konten Asusila Perspektif Hukum Pidana Positif dan Hukum Pidana Islam, Skripsi. 2019. Hal 3.

5Agustiar Hariri Lubis, Studi Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 83 PK/PID.SUS/2019 Terhadap Penyebaran Konten Asusila Perspektif Hukum Pidana Positif dan Hukum Pidana Islam, (UIN Jakarta: Skripsi, 2019), h. 3.

(13)

Kata kesusilaan telah dipahami oleh setiap orang, sebagai suatu pengertian adab sopan santun dalam hal yang berhubungan dengan seksual atau dengan nafsu birahi. Untuk bentuk-bentuk tindak pidana yang dirumuskan dalam bab XIV buku II maupun bab VI buku III KUHP dapat dibedakan antara kejahatan dengan pelanggaran dibidang adat-istiadat baik di bidang yang berhubungan dengan masalah seksual maupun di luarmengenai masalah seksual. Karena pada kenyataannya kejahatan maupun pelanggaran yang dirumuskan dalam bab XIV buku II dan Bab VI buku III memang secara jelas dapat dibedakan antara dua kepentingan hukum tersebut.6

Kejahatan kesopanan di bidang kesusilaan adalah kejahatan kesopanan mengenai hal yang berhubungan dengan masalah seksual (disebut kejahatan kesusilaan), terdiri dari pasal 281-299 KUHP dan pada masalah luar seksual terdapat pada pasal 300-303 KUHP. Pelanggaran kesopanan di bidang kesusilaan yaitu objek pelanggarannya kepentingan hukum yang dilindungi, yakni rasa kesopanan masyarakat di bidang seksual, yang terdiri dari pasal 532- 535 KUHP dan pada masalah diluar bidang seksual terdapat pada pasal 537-547 KUHP.7

Seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi, tindak pidana kesusilaan juga ikut berkembang. Bentuk perkembangan dari tindak pidana kesusilaan terdapat pada penggunaan teknologi, yaitu pendistribusian dokumen yang muatannya melanggar kesusilaan sebagaimana telah dirumuskan dalam pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang berbunyi “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi dan Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan”.8

6Adami Chazawi, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), h. 3.

7Adami Chazawi, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada., 2005), h. 9.

8Agustiar Hariri Lubis, Studi Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 83 PK/PID.SUS/2019 Terhadap Penyebaran Konten Asusila Perspektif Hukum Pidana Positif dan Hukum Pidana Islam, (UIN Jakarta: Skripsi, 2019), h 5.

(14)

4

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam penerapannya perlu dilakukan evaluasi dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.9 Sebab dalam penerapan pasal yang terdapat unsur melawan hukum dalam UU ITE seringkali timbul permasalahan.

Misalnya, terdapat permasalahan dalam pemaknaan “muatan melanggar kesusilaan”, dalam UU ITE tidak dijelaskan secara lebih dalam serta batasan- batasan yang termasuk dalam kesusilaan tidak dibahas lebih rinci, sehingga timbul penafsiran yang berbeda-beda dalam memaknai kesusilaan itu sendiri.

Kondisi tersebut akan mempermudah seseorang untuk mengeksekusi dan menggunakan UU ITE sebagai bahan untuk menyerang seseorang, sehingga pasal 27 UU ITE seringkali disebut pasal “karet”,10 dan beberapa diantaranya menimbulkan disparitas pada sebuah putusan. Hal ini sebagaimana terjadi dalam kasus BN pada putusan nomor 265/PID.SUS/2017/PN.MTR, 574/K/PID.SUS/2018, dan 83 PK/PID.SUS/2019.

Fenomena hukum yang terjadi terhadap BN adalah sebuah fenomena hukum yang perlu kita telaah lebih mendalam mengingat kasus ini banyak menyita perhatian masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat peduli Hak Asasi Manusia dan perempuan, atas pengajuan kasasi yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum dan adanya Putusan Mahkamah Agung yang bertentangan dengan putusan Majelis Hakim tingkat pertama.

Pada putusan di atas memperlihatkan adanya disparitas putusan hakim atau perbedaan dalam pemidanaan. Perbedaan dalam pemidanaan atau disparitas putusan hakim merupakan suatu hal yang wajar dalam peradilan pidana. Hal ini disebabkan dalam suatu pertimbangan antara hakim satu dengan yang lain memiliki perbedaan karena adanya kebebasan bagi hakim dalam memutuskan perkara yang didasarkan pada keyakinan hakim. Walaupun hakim

9 Siti Rohmah dkk. Penerapan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Juncto Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Terhadap Penyebaran Konten Bermuatan Asusila (Studi Kasus BN), Jurnal S.L.R. vol. 2, no. 2, h. 334.

10 Ayya Sofia, Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Pendistribusian Konten Yang Bermuatan Asusila Melalui Media Elektrinik, Jurist Diction, 2020, vol. 3, no. 4, h. 1500.

(15)

memiliki pertimbangan-pertimbangan penjatuhan terhadap terdakwa, namun dalam pertimbangannya juga ada batasan-batasan bagi hakim yang harus diperhatikan karena juga menyangkut sikap perbuatan terpidana dan kepercayaan masyarakat.

Pada putusan nomor 574/K/PID.SUS/2018, dan 83 PK/PID.SUS/2019 banyak persepsi-persepsi yang muncul dimasyarakat, ada yang menganggap bahwa putusan Mahkamah Agung bertentangan dengan pasal 244 KUHP atau ada yang menganggap BN adalah korban pelecehan seksual dan bahkan ada yang menganggap putusan Mahkamah Agung terkesan dipaksakan karena M mempunyai kekuasaan dibanding BN yang hanya seorang guru honorer. Namun disisi lain Mahkamah Agung melalui juru bicaranya Suhadi menampik tudingan sejumlah pihak yang menyebut bahwa Mahkamah Agung mengabaikan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Dalam pasal 3 huruf b Perma tersebut menyebutkan hakim harus mengidentifikasi situasi perlakuan tidak setara yang diterima perempuan yang berhadapan dengan hukum. Artinya, hakim harus mempertimbangkan asas penghargaan atas harkat dan martabat manusia, nondiskriminasi, kesetaraan gender, persamaan didepan hukum, keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.

Hal ini menjadi suatu kajian yang menarik dalam hukum Islam, sebab hukum Islam tidak mengakomodir secara jelas mengenai aturan penyebaran konten asusila, dikarenakan pada masa dahulu Islam belum menyentuh akan hal tersebut. Bentuk ijtihad menjadi sangat penting untuk di bahas. Dalam hukum pidana Islam, perbuatan pidana cyber crime secara eksplisit tidak diterangkan dalam al-Qur’an maupun hadis. Sebab, dunia elektronik dan produk teknologi merupakan hasil dari proses pengembangan kecerdasan manusia. Maka perbuatan tersebut masuk kedalam kategori jarimah Ta’zir, yang mana pelaksanaan hukumannya diserahkan kepada penguasa atau hakim atau mereka yang mempunyai kekuasaan yudikatif.11

11Abdul Harim, Tinjauan Yuridis Terhadap Pencemaran Nama Baik Melalui Media Sosial (Studi Kasus Pengadilan Negeri Gowa), Skripsi, 2015, h. 28.

(16)

6

Hukum dalam jarimah ta’zir tidak ditentukan ukuran atau kadarnya, artinya untuk menentukan batas terendah dan tertinggi diserahkan sepenuhnya kepada hakim (penguasa). Dengan demikian syar’I mendelegasikan kepada hakim untuk menentukan bentuk-bentuk dan hukuman kepada pelaku jarimah.

Abdul Qadir Audah menyatakan, sebagaimana dikutip oleh Abdul Qodir Audah kitab Al- Tasyri’u Al- Jinai Al- Islamiy, bahwa jarimah ta’zir menjadi tiga bagian.12 Jarimah hudud dan qisas diyat yang mengandung unsur subhat atau tidak memenuhi syarat, namun hal itu sudah dianggap sebagai perbuatan maksiat. Jarimah ta’zir yang jenis jarimahnya ditentukan oleh nas, tetapi sanksinya oleh syar’i diserahkan kepada penguasa. Jarimah ta’zir dan jenis sanksinya secara penuh menjadi wewenang penguasa demi tereliasasinya kemaslahatan umat. Dalam hal ini unsur akhlak menjadi pertimbangan yang paling utama.

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa hukuman ta’zir itu adalah hukuman yang belum ditetapkan oleh syara’, melainkan diserahkan kepada penguasa (ulil amri), baik penentuannya maupun pelaksanaannya.

Dalamhukuman tersebut, penguasa (ulil amri) hanya menetapkan hukuman untuk masing-masing jarimah ta’zir, dan menetapkan hukuman dari yang seringan-ringannya sampai yang seberat-beratnya.

Berdasarkan paparan di atas dapat dipahami bahwa kejahatan apapun bentuknya, baik konvensional maupun kejahatan yang dilakukan melalui media internet atau cyber crime tidak akan lepas dari hukuman, oleh karena mengganggu ketertiban umum yang sangat dipelihara oleh Islam. Dengan demikian, cyber crime atau kejahatan dunia maya masuk dalam ranah jarimah ta’zir bukan termasuk jarimah qisos dan hudud. Sebab bisa dipastikan bahwa di zaman Rasullah SAW belum ditemukan teknologi komputer dan internet seperti zaman ini. Maka dari itu tidak ada satupun ayat ataupun hadis yang

12Abdul Qodir Audah, Al-Tasyri’u Al Jinai Al Islamiy, (Bairut: Mu’assah Al-Risalah, 1992), jilid 3, h. 594.

(17)

menyebutkan secara eksplisit ekstensi kejahatan dunia maya seperti zaman sekarang ini.13

Penyebaran konten bermuatan asusila sendiri didalam Islam diatur dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia, yaitu didalam fatwa MUI Nomor 24 Tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah Melalui Media Sosial, diatur dalam bagian kedua tentang Ketentuan Hukum nomor 5 yang menyebutkan bahwa memproduksi, menyebarkan, dan/atau membuat dapat diaksesnya konten/informasi tentang hoax, ghibah, fitnah, namimah, aib, bullying, ujaran kebencian, dan hal-hal lain terkait pribadi kepada orang lain dan/atau khalayak hukumnya haram. Selanjutnya pada nomor 8 diatur juga tentang menyebarkan konten yang bersifat pribadi ke khalayak, padahal konten tersebut diketahui tidak patut untuk disebarkan ke publik, seperti pose yang mempertontonkan aurat, hukumnya haram.14

Penulisan ini bukanlah semata-mata bertujuan untuk memberikan suatu pembelaan atau seolah-olah menjustifikasi bahwa aparat penegak hukum tidak benar dalam bekerja untuk menegakkan sebuah keadilan dan memberi rasa aman kepada warga negaranya, akan tetapi hal ini ditulis semata-mata untuk melakukan sebuah kajian ilmiah dibidang hukum. Melalui riset ini, kita dapat mengukur apakah putusan hakim yang di jatuhkan pada BN sudah sesuai dengan Das Sollen ataukah belum. Oleh karenanya untuk mengukur tingkat akurasi dalam riset ini penulis menuangkannya ke dalam rumusan masalah yang nantinya dibahas pada bab berikutnya.

Berdasarkan penjelasan latar belakang diatas, penulis mencoba menganalisis pertimbangan hukum Hakim dilihat dari sudut pandang hukum pidana positif dan hukum pidana Islam. Dan disini penulis mengangkat judul

“DISPARITAS PERTIMBANGAN HUKUM OLEH HAKIM PADA PUTUSAN PERKARA NOMOR 265/PID.SUS/2017/PN.MTR, 574K/PID.SUS/2018, DAN 83PK/PID.SUS/2019 DALAM PERKARA

13 Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqih Jinyah, (Jakarta: Amzah), h. 189.

14 Agustiar Hariri Lubis, Studi Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 83 PK/PID.SUS/2019 Terhadap Penyebaran Konten Asusila Perspektif Hukum Pidana Positif dan Hukum Pidana Islam, (UIN Jakarta: Skripsi, 2019), h. 25.

(18)

8

PENYEBARAN KONTEN ASUSILA TINJAUAN UU ITE DAN HUKUM ISLAM”.

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas bahwa terdapat beberapa masalah dalam penelitian ini yang dapat diidentifikasikan oleh penulis sebagai berikut:

a. Bahwa hukum seharusnya memberikan kepastian kepada masyarakat namun, karena adanya disparitas dalam masyarakat maka terjadi sutau ambiguitas terhadap kepastian yang diyakini masyarakat berkaitan dengan penyebaran konten asusila

b. Bahwa di dalam memutus perkara seorang hakim di perbolehkan independen untuk memutus perkara tanpa terpengaruh oleh putusan yang lain, oleh sebabnya putusan tersebut setidaknya tidak melepaskan terhadap pertimbangan-pertimbangan hakim terdahulu c. Implementasi Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik dan Hukum Islam dalam kasus penyebaran konten asusila

d. Disparitas pertimbangan hukum oleh hakim pada putusan perkara nomor 265/PID.SUS/2017/PN.MTR, 574/K/PID.SUS/2018, dan 83 PK/PID.SUS/2019.

2. Pembatasan Masalah

Merujuk pada pembahasan Latar Belakang, penulis membatasi permasalahan yang akan dituangkan di dalam skripsi agar tidak terlalu luas di dalam pembahasannya. Maka dengan ini penulis membatasi permasalahan pada ruang lingkup penelitian yaitu mengenai analisis disparitas pertimbangan hukum hakim pada putusan perkara nomor 265/PID.SUS/2017/PN.MTR, 574/K/PID.SUS/2018, dan 83 PK/PID.SUS/2019 tentang tindak pidana penyebaran konten asusila dalam tinjauan UU ITE Nomor 19 Tahun 2016 dan Hukum Islam.

(19)

3. Rumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan latar belakang dan batasan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah sebagai berikut:

a. Bagaimana pengaturan tindak pidana penyebaran konten asusila dalam tinjauan UU ITE Nomor 19 Tahun 2016 dan hukum Islam?

b. Bagaimana dasar disparitas putusan hukum oleh hakim dalam

memeriksa dan memutus perkara nomor

265/PID.SUS/2017/PN.MTR, 574/K/PID.SUS/2018, dan 83 PK/PID.SUS/2019?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui pengaturan tindak pidana penyebaran konten asusila dalam tinjauan UU ITE Nomor 19 tahun 2016 dan hukum Islam.

b. Untuk mengetahui dasar terjadinya disparitas putusan hukum oleh hakim dalam dalam memeriksa dan memutus putusan nomor 265/PID.SUS/2017/PN.MTR, 574/K/PID.SUS/2018, dan 83 PK/PID.SUS/2019.

2. Manfaat Penelitian

Karena sering terjadinya kasus penyebaran konten yang bermuatan asisula yang dirasa salah dalam penerapan hukum dan terjadi kekeliruan dalam putusan, serta masih sedikit penulis yang membahas tentang masalah ini. Maka penulis berharap dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu hukum terutama di bidang pidana.

Secara garis besar manfaat penelitian ini dapat dibedakan menjadi tiga:

a. Manfaat bagi Akademis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi berupa buku bacan perpustakaan di lingkungan Universitas Islam

(20)

10

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, khususnya di Fakultas Syariah dan Hukum pada program studi Hukum Pidana Islam serta diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan informasi bagi civitas akademik terutama perihal tentang disparitas pertimbangan hukum oleh hakim pada putusan perkara nomor 265/PID.SUS/2017/PN.MTR, 574/K/PID.SUS/2018, dan 83 PK/PID.SUS/2019 dalam tinjauan UU ITE Nomor 19 Tahun 2016 dan hukum Islam.

b. Manfaat Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan menambah wawasan pengetahuan tentang disparitas pertimbangan hukum hakim pada putusan perkara nomor 265/PID.SUS/2017/PN.MTR, 574/K/PID.SUS/2018, dan 83 PK/PID.SUS/2019 dalam perkara penyebaran konten asusila.

c. Manfaat Praktis

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan dan masukan bagi para penegak hukum dalam membuat putusan dan konsekuensi hukum dari disparitas pertimbangan hukum oleh hakim pada putusan perkara nomor 265/PID.SUS/2017/PN.MTR, 574/K/PID.SUS/2018, dan 83 PK/PID.SUS/2019 dalam perkara penyebaran konten asusila.

D. Review Studi Terdahulu

Dalam penelitian ini, penulis melakukan analisis pada kajian terdahulu sebagai bahan pertimbangan dan perbandingan dalam penelitian ini.

Adapun kajian terdahulu yang menjadi acuan antara lain:

Skripsi karya Agustiar Hariri Lubis yang berjudul Studi Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 83 PK/PID.SUS/2019 Terhadap Penyebaran Konten Asusila Perspektif Hukum Pidana Positif dan Hukum Pidana Islam. Skripsi. 2019. Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta. Skripsi ini menjelaskan tentang faktor-

(21)

faktor yang melatarbelakangi terjadinya tindak pidana penyebaran konten asusila dalam Putusan Nomor 83 PK/PID.SUS/2019, sementara penulis menganalisis disparitas putusan hakim pada perkara Putusan Nomor 265/PID.SUS/2017/PN.MTR, 574/K/PID.SUS/2018, dan 83 PK/PID.SUS/2019.15

Artikel karya Siti Rohmah dkk. yang berjudul Penerapan Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2016 Juncto Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Terhadap Penyebaran Konten Bermuatan Asusila (Studi Kasus BN). Jurnal S.L.R. vol. 2. No. 2. Jurnal ini menganalisis penerapan unsur tindak pidana penyebaran konten bermuatan asusila dan pertimbangan hakim dalam penjatuhan pidana pada BN dalam Putusan Pengadilan Negeri Nomor 265/PID.SUS/2017/PN.MTR, Putusan Kasasi Nomor 574 K/Pid.Sus/2018 dan Putusan Peninjauan Kembali Nomor 83 PK/Pid.Sus/2019, sementara penulis membahs putusan yang sama namun dari sudut pandang kajian hukum Islam dan UU ITE.16

Skripsi karya Nagita Cahyaningsih yang berjudul Studi Kasus Putusan No. 574K/PID.SUS/2018 Tentang Tuduhan Pelanggaran Pasal 27 Ayat (1) Jo Pasal 45 ayat (1) Undanh-Undang Infoemasi dan Transaksi Elektronik Terhadap Korban Pelecehan Seksual. Fakultas Hukum Universitas Pasundan. Skripsi ini menjelaskan tentang pertimbangan hukum Hakim Mahkamah Agung di tingkat Kasasi dalam memutus perkara No.

574K/PID.SUS/2018, sementara penulis menganalisis perbedaan pertimbangan hukum hakim pada setiap tingkat pengadilan.17

15 Agustiah Hariri Lubis, Studi Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 83 PK/PID.SUS/2019 Terhadap Penyebaran Konten Asusila Perspektif Hukum Pidana Positif dan Hukum Pidana Islam. Skripsi. 2019. Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta.

16 Siti Rohmah dkk, Penerapan Undnag-Undang Nomor 19 Thaun 2016 Juncto Undnag- Undang 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Terhadap Penyebaran Konten Bermuatan Asusila (Studi Kasus BN). Jurnal S.L.R. vol. 2. No. 2

17 Nagita Cahyaningsih, Studi Kasus Putusan No. 574K/PID.SUS/2018 Tentang Tuduhan Pelanggaran Pasal 27 Ayat (1) Jo Pasal 45 ayat (1) Undanh-Undang Infoemasi dan Transaksi Elektronik Terhadap Korban Pelecehan Seksual. Fakultas Hukum Universitas Pasundan.

(22)

12

E. Metode Penelitian

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan maka jenis penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder sebagai data utama yaitu dengan mengadakan kegiatan sistematis terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan yaitu dengan melakukan penelaahan terhadap undang-undang atau regulasi lainnya yang bersangkutan dengan isu hukum dan pendekatan kasus yaitu memperlihatkan fakta-fakta di lapangan dan mengenai alasan-alasan hukum apa saja yang digunakan oleh hakim dalam mengambil keputusan pengadilan.

2. Sifat Penelitian

Sifat penelitian ini adalah deskriptif yaitu penelitian hukum normatif yang dapat memecahkan masalah yang diteliti dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan objek atau subjek berdasarkan fakta yang tampak. Penulis berusaha menggambarkan atau melukiskan keadaan dari suatu objek yang dijadikan permasalahan.18

3. Teknik Pengumpulam dan Sumber Data

Teknik pengumpula data yang digunakan dalam memperoleh informasi yang diperlukan tentang masalah yang diteliti dengan menggunakan studi dokumentasi, yaitu dengan mengumpulkan data- data dan sumber-sumber primer dan sekunder, maka dalam tahap pengumpulan data menggunakan bahan-bahan pustaka.19 Studi dokumentasi berupa Putusan Nomor265/PID.SUS/2017/PN.MTR, No.

574 PK/PID.SUS/2018, dan 83 PK/PID.SUS/2019 dan merujuk kepada tulisan-tulisan ilmiah yang diperoleh dari literatur da refrensi yang

18Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta:UI-Pres, 1986), cet. Ke-3, h.

10.

19 Sunggono Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), h. 35

(23)

berhubungan dengan judul skripsi. Adapun sumber data dalam penelitian ini menggunakan data yang diperoleh dari kepustakaan yang terdiri dari:

a) Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang memiliki kekuatan hukum yang mengikat yang terdiri dari peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.20

b) Bahan Hukum sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku-buku yang berkaitan dengan tindak pidana pendistribusian konten yang bermuatan konten asusila, Jurnal, Artikel yang berkaitan dengan Skripsi.

F. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan pembahasan dan dalam usaha memberikan gambaran singkat mengenai isi dari skripsi ini. Penulis membagi skripsi ini kedalam lima bab, dan ditiap babnya terdiri dari sub-sub bab yang tentunya antara satu bab dengan bab yang lainnya mempunyai keterikatan. Adapun sistematik penulisan secara terperinci sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini merupakan bab pendahuluan yang berisi mengenai latar belakang masalah, identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat, review studi terdahulu, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

20Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Pres, 1986), cet. Ke-3, h.

52.

(24)

14

BAB II TINJAUAN UMUM TEORI PENYEBARAN KONTEN ASUSILA DAN PERTIMBANGAN HUKUM OLEH HAKIM

Bab ini merupakan bab tinjauan umum mengenai pengertian disparitas, teori ketetapan hukum, teori metode penemuan hukum oleh hakim, teori tindak pidana asusila, pengaturan hukum tentang tindak pidana asusila, bentuk-bentuk tindak pidana asusila, dan metode penafsiran hukum oleh hakim.

BAB III KRONOLOGIS PERMASALAHAN SERTA

TINJAUAN PERKARA NOMOR

265/PID.SUS/2017/PN.MTR, 574K/PID.SUS/2018, DAN NOMOR 83PK/PID.SUS/2019

Pada bab ini membahas mengenai duduk perkara, kronologis perkara dan tinajauan tentang pemeriksaan perkara Nomor 265/PID.SUS/2017/PN.MTR, 574 K/PID.SUS/2018, dan Nomor 83PK/PID.SUS/2019.

BAB IV ANALISIS DISPARITAS PERTIMBANGAN HUKUM OLEH HAKIM PADA PUTUSAN PERKARA NOMOR

265/PID.SUS/2017/PN.MTR, NOMOR

574K/PID.SUS/2018, DAN NOMOR 83 PK/PID.SUS/2019 DALAM PERKARA PENYEBARAN KONTEN ASUSILA TINJAUAN UU ITE DAN HUKUM ISLAM

Pada bab ini membahas analisis disparitas pertimbangan hukum oleh hakim pada putusan perkara No.

265/PID.SUS/2017/PN.MTR, No. 574 PK/PID.SUS/2018, dan Nomor 83 PK/PID.SUS/2019, dalam perkara penyebaran konten asusila tinjauan UU ITE dan Hukum Islam.

(25)

BAB V PENUTUP

Bab ini berisi kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian dan rekomendasi dari peneliti.

(26)

16 BAB II

TINJAUAN UMUM DISPARITAS DAN TEORI PENYEBARAN KONTEN ASUSILA DAN PERTIMBANGAN HUKUM OLEH HAKIM

A. Pengertian Disparitas

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata disparitas memiliki arti arti perbedaan atau jarak, dengan kata lain disparitas pertimbangan hukum hakim adalah perbedaan antara beberapa pertimbangan yang digunakkan oleh hakim dalam mengambil keputusan yang sejenis atau aturan yang sama yang dapat diperbandingkan. Adapun disparitas putusan pidana yaitu perbedaan penerapan pidana yang sama terhadap tindak pidana yang sama atau terhadap tindak-tindak pidana yang sifat berbahayanya dapat diperbandingkan tanpa dasar pembenaran yang jelas.1

Muladi dan Barda Nawawi berpendapat bahwa disparitas pidana memiliki pengertian:

1. Penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama.

2. Penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang beratnya dapat diperbandingkan.

3. Penerapan pidana yang tidak sama terhadao mereka yang bersam-sama melakukan tindak pidana.

Harkrustusi Harkriswono mengatakan disparitas pidana dapat terjadi dalam beberapa kategori, diantaranya:2

1. Disparitas antara tindak pidana yang sama.

2. Disparitas antara tindak pidana yang mempunyai tingkat keseriusan yang sama.

3. Disparitas pidana yang dijatuhkan oleh satu Majelis Hakim.

4. Disparitas antara pidana yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim yang berbeda untuk tindak pidana yang sama.

1 Probowati. Di Balik Putusan Hakim (Kajian Psikolohi Hukum Dalam Perkara Pidana), (Sidoarjo:

Citra Medika, 2005), h. 38-39.

2 Harkristusi Harkrisnowo, Rekontruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan Terhadap Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia, (Jakarta: Komisi Hukum Nasional, 2003), h. 107.

(27)

B. Teori

1. Teori Ketetapan Hukum

Menurut Pasal 1 angka 2 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan mengatakan, peraturan perundang- undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan. Sedangkan mengenai istilah “keputusan”

dan “peraturan”,3 negara sebagai organisasi kekuasaan umum dapat membuat tiga macam keputusan yang mengikat secara hukum bagi subjek- subjek hukum yang terikat dengan keputusan-keputusan itu yaitu, keputusan-keputusan yang bersifat umum dan abstrak (general and abstract) biasanya bersifat mengatur (regeling), sedangkan yang bersifat individual dan konkret dapat merupakan keputusan yang bersifat atau berisi penetapan administratif (beschikking) ataupun yang berupa ‘vonnis’ hakim yang lazimnya disebut istilah putusan.

Jimly membagi ada tiga bentuk kegiatan pengambilan keputusan yang dapat dibedakan dengan penggunaan istilah “peraturan”,

“keputusan/ketetapan” dan “tetapan”, menurut Jimly istilah-istilah tersebut sebaiknya hanya digunakan untuk:4

a. Istilah “peraturan” digunakan untuk menyebut hasil kegiatan pengaturan yang menghasilkan peraturan (regels).

b. Istilah “keputusan”atau ketetapan” digunakan untuk menyebut hasil kegiatan penetapan atau pengambilan keputusan administratif (beschikkings).

c. Istilah “tetapan” digunakan untuk menyebut penghakiman atau pengadilan yang menghasilkan putusan (vonnis).

3 Jimly Assiddiqie, Perihal Undang-Undangan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), cet. 3, h.

9.

4 Jimly Assiddiqie, Perihal Undang-Undangan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), cet. 3, h.

10.

(28)

18

Sebagaimana dijelaskan Jimly memang penggunaan istilah-istilah tersebut dalam praktik tidak terjadi suatu keseragaman, misalnya dalam menyebut “tetapan” menggunakan istilah “keputusan hakim”.5 Dari penjelasan Jimly tersebut maka dapat kita simpulkan pengertian istilah

“keputusan” dapat diartikan secara luas dan sempit. Dalam pengertian istilah “keputusan” yang luas, didalamnya terkandung juga pengertian

“peraturan/regels”, “keputusan/beschikkings” dan “tetapan/vonnis”.

Sedangkan, dalam istilah “keputusan” dalam arti yang sempit, berarti adalah suatu hasil kegiatan penetapan atau pengambilan keputusan administratif (beschikkings).

Mengenai perbedaan antara keputusan (beschikkings) dengan peraturan (regeling) disebutkan oleh Jimly Asshidiqie, keputusan (beschikking) selalu bersifat individual dan konkrit (individual concrete), sedangkan peraturan (regeling) selalu bersifat umum dan abstrak (geberal and abstract). Yang dimaksud bersifat general dan abstract yaitu keberlakuannya ditujukan kepada siapa saja yang dikenai perumusan kaedah umum. Selain itu, menurut Maria Farida Indrati S suatu keputusan (beschikking) bersifat sekali-selesai (enmahlig), sedangkan peraturan (regeling) selalu berlaku terus-nemerus (dauerhaftig).6 Lebih jauh dalam, Jimly menyatakan bahwa produk keputusan digugat melalui Peradilan Tata Usaha, sedangkan produk peraturan diuji (Judicial Review) langsung ke Mahkmah Agung atau kalau untuk undang-undang diuji ke Mahkamah Konstitusi.

2. Teori Metode Penafsiran Hukum Oleh Hakim

Sebagaimana yang telah diketahui bahwa tugas yustisial hakim adalah memeriksa, mengadili, dan kemudian menjatuhkan putusan atas suatu perkara yang dihadapkan kepadanya, dan yang pertama-tama menjadi pedoman bagi hakim dalam hal ini adalah peraturan perundang-undangan.

Tugas yustisial hakim tersebut termasuk didalamnya adalah melakukan

5 Jimly Assiddiqie, Perihal Undang-Undangan, h. 11

6 Maria Farida Inrati S, Ilmu Perundang-undangan (1) (Jenis, Fungsi, Materi, Muatan), h. 78.

(29)

penemuan hukum melalui putusan-putusannya. Metode penemuan hukum yang umumnya digunakan oleh hakim, sebagaimana telah dijelaskan, adalah metode interpretasi hukum dan kontruksi hukum. Di samping ada metode hermeneutika hukum yang dianggap sebagai metode baru dalam teori penemuan hukum.

Metode interpretasi hukum dilakukan dalam hal peraturannya sudah ada, tetapi tidak jelas untuk dapat diterapkan pada peristiwa konkret, atau mengandung arti pemecahan atau penguraian akan suatu makna ganda, norma yang kabur, konflik antarnorma hukum dan ketidakpastian dari suatu peraturan perundang-undangan. Interpretasi teks peraturan perundang- undangannya pun masih tetap berpegang pada bunyi teks tersebut.

Tujuannya tidak lain adalah mencari atau menemukan sesuatu hal yang menjadi maksud para pembuatnya. Adapun metode penemuan hukum melalui metode interpretasi hukum antara lain yaitu:7

a) Interpretasi gramatikal

Merupakan penafsiran kata-kata dalam undang-undang sesuai kaidah bahasa dan kaidah tata bahasa dalam hukum.

b) Interpretasi historis

Ialah mencari maksud dari peraturan perundang-undangan seperti apa yang dimaksud oleh pembuat undang-undang.

c) Interpretasi sistematis

Ialah metode yang mentafsirkan undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan.

d) Interpretasi teologis/sosioogis

Ialah suatu peraturan perundang-undangan disesuaikan dengan situsi sosial yang baru.

e) Interpretasi komparatif

Merupakan penafsiran dengan jelas memperbandingkan antara berbagai sistem hukum.

7 Ahmad Rifaí, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), h. 57.

(30)

20

f) Interpretasi futuristik

Merupakan penemuan hukum yang berupa antisipasi, yang menjelaskan undang-undang yang berlaku sekarang dengan berpedoman dengan undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum.

g) Interpretasi restriktik

Merupakan metode panafsiran yang sifatnya membatasi atau mempersempit makna dari suatu aturan.

h) Interpretasi ekstensik

Merupakan metode interpretasi yang membuat interpretasi melebehi batas-batas yang biasa dilakukan melalui interpretasi gramatikal.

i) Interpretasi autentik

Dalam metode ini hakim tidak diperkenankan melakukan penafsiran dengan cara lain selain dari apa yang telah ditentukan pengertiannya di dalam undang-undang.

j) Interprestasi interdisipliner

Ialah metode yang dilakukan oleh hakim apabila hakim menganalisis terhadap kasus yang ternyata subtansinya menyangkut berbagai disiplin atau bidang kekhususan dalam lingkup ilmu hukum.

k) Interprestasi multidispliner

Dalam menggunakan metode ini hakim membutuhkan verifikasi dan bantuan dari lain-lain disiplin ilmu unutuk menjatuhkan suatu putusan seadil-adilnya dan memberikan kepastian bagi para pencari keadilan.

Sedangkan kontruksi hukum dilakukan apabila tidak ditemukan ketentuan undang-undang yang secara langsung dapat diterapkan pada masalah hukum yang dihadapi, atau dalam hal peraturannya memang tidak ada, jadi terdapat kekosangan hukum atau kekosongan undang-undang.

Untuk mengisi kekosangan hukum atau undang-undang inilah biasanya menggunakan penalaran logisnya untuk mengembangkan lebih lanjut suatu teks undang-undang, di mana hakim tidak lagi berpegang pada bunyi teks tersebut. Metode ini bertujuan agar hasil putusan hakim pada peristiwa

(31)

konkrit dapat memenuhi rasa keadilan. Adapun metode penemuan hukum melalui metode kontruksi hukum antara lain yaitu:8

a) Metode argumentum per anologium (analogi)

Ialah mencari esensi yang lebih umum dari sebuah peristiwa hukum atau perbuatan hukum baik yang telah diatur oleh undang-undang atau pun yang belum ada peraturannya.

b) Metode argumentum a contrario

Ialah melakukan metode penemuan hukum dengan pertimbagan bahwa apabila undang-undang menetapkan hal-hal tertentu untuk peristiwa tertentu. Metode ini mengedepankan cara penafsiran yang berlawanan pengertiannya antara peristiwa konkret yang dihadapi dengan peristiwa yang diatur undang-undang.

c) Metode penyempitan/pengkongkretan hukum

Ialah metode yang bertujuan untuk mengkonkret atau menyempitkan suatu aturan hukum yang terlalu abtrak pasif serta sangat umum, agar dapat diterapkan terhadap suatu peristiwa tertentu.

d) Fiksi hukum

Ialah metode penemuan hukum yang mengemukakan fakta-fakta baru, sehingga tampil suatu personifikasi baru. Metode ini dimaksudkan untuk mengatasi konflik antara tuntutan-tuntutan baru dengan sistem hukum yang ada.

3. Teori Tindak Pidana Asusila

Hukum Islam memandang asusila sebagai perbuatan yang tercela dan dilarang. Pegharaman zina misalnya, Al-Qur’an dengan sangat tegas melarang perbuatan-perbuatan yang akan membuat pelakunya berbuat zina (pengantar zina) yang dilakukan seperti tindak pidana kesusilaan.9 Allah SWT berfirman:

8 Ahmad Rifaí, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), h. 61.

9 Dudi Badruzzaman., Sanksi Hukuman Bagi Fasilitator Tindak Pidana Asusila Dalam Perspektif Fiqh Jinayah, (STAI Sabili Bandung: Ast-Syari’ah, 2017), vol. 19, no. 2, h. 180.

(32)

22

َءاَسَو ًةَشِحاَف َناَك ُهَّنِإ َنَِِّزلا اوُبَرْقَ ت لاَو ليِبَس

Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”.10

Jika dihubungkan dari definisi perbuatan asusila dengan perbuatan yang mendekati zina sesuai dengan ayat diatas, maka dalam hal ini zina termasuk kedalam kategori perbuatan asusila. Pada ayat diatas jelas bahwa mendekati zina saja sudah tidak diperbolehkan apalagi sampai melakukannya. Dalam artian, perbuatan yang mendekati zina merupakan suatu perbuatan asusila pada tingkat terendah, dan hal tersebut dilarang dalam Islam, seperti meraba buah dada perempuan, meraba tempat kemaluan perempuan, memperlihatkan anggota kemaluan, mencium, dan sebagainya. Beberapa contoh tersbut belum termasuk kategori zina, melainkan perbuatan yang mendekati zina. Hal tersebut merupakan perbuatan asusila.11

Kata asusila sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, memiliki arti tidak susila, tidak baik tingkah lakunya.12 Adapaun kata Asusila berasal dari kata susila yang mempunyai pengertian tentang budi bahasa, sopan santun, keadaban, adat istiadat dan tertib yang baik. Dalam perspektif masyarakat, kesusilaan itu adalah kelakuan yang benar atau yang salah, khususnya dalam hal yang berhubungan dengan kejadian seksual mereka.13 Perbuatan asusila sendiri mempunyai ruang lingkup yang cangkupannya cukup luas. Secara definisi tindak pidana ini merupakan salah satu tindak

10 Qur’an Surat Al-Isra ayat 32.

11 Agustiar Hariri Lubis, Studi Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 83 PK/PID.SUS/2019 Terhadap Penyebaran Konten Asusila Perspektif Hukum Pidana Positif dan Hukum Pidana Islam, (UIN Jakarta: Skripsi, 2019), h. 15.

12 Tim Penyusun Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), cet. Ke-1, h. 874.

13Leden Marpaung, Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya, (Jakarta:

Sinar Grafika, 1996), h. 3.

(33)

pidana yang paling sulit dirumuskan. Hal ini di sebabkan kesusilaan merupakan hal yang paling relatif dan bersifat subjektif.14

Pengertian dasar tersebut mencangkup banyak hal mulai dari berbicara, hingga berperilaku merupakan ruang lingkup dari kesusilaan. Sependapat dengan Barda Nawawi Arief yang menerangkan bahwa delik kesusilaan adalah delik yanng berhubungan dengan masalah kesusilaan. Definisi singkat dan sederhana itu apabila dikaji lebih lanjut untuk mengetahui seberapa jauh ruang lingkupnya ternyata tidaklah mudah, karen pengertian dan batas-batas kesusilaan itu cukup luas dan berbeda-beda menurut pandangan dan nilai-nilai yang berlaku didalam masyarakat. Terlebih pada dasarnya setiap delik atau tindak pidana mengandung didalamnya pelanggaran terhadap nilai-nilai kesusilaan, bahkan dikatakan bahwa hukum itu sendiri pada hakikatnya merupakan nilai-nilai kesusilaan yang minimal (das Recht ist das ethische minimum).15

Menurut Sudrajat Bassar, kesusilaan adalah mengenai adat kebiasaan yang lebih baik dalam perhubungan berbagai anggota masyarakat. Tetapi khusus yang sedikit banyak mengenai kelamin (seks) seorang manusia.16 Sedangkan Loebby Loqman membagi delik kesusilaan menjadi dua bagian yaitu, delik kesusilaan dalam arti sempit dan delik kesusilaan dan arti luas.

Beliau berpendapat bahwa; delik kesusilaan dalam arti sempit yaitu perbuatan yang berhubungan dengan seks yang sudah merupakan istilah sosiologis, artinya masyarakat telah mengenal kesusilaan sebagai perbuatan yang berhubungan dengan seks. Misanya pelacuran, homoseksual, lesbian dan lain-lain. Sedangkan kesusilaan dalam arti luas tidak hanya meliputi

14Agustiar Hariri Lubis, Studi Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 83 PK/PID.SUS/2019 Terhadap Penyebaran Konten Asusila Perspektif Hukum Pidana Positif dan Hukum Pidana Islam, (UIN Jakarta: Skripsi, 2019), h. 13.

15Agustiar Hariri Lubis, Studi Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 83 PK/PID.SUS/2019 Terhadap Penyebaran Konten Asusila Perspektif Hukum Pidana Positif dan Hukum Pidana Islam, (UIN Jakarta: Skripsi, 2019), h. 14.

16 Sudrajat Bassar, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Dalam KUHP, (Bandung: CV.

Remaja Karya, 1986), cet. Ke-2, h. 161.

(34)

24

kesusilaan dalam arti sempit, tetapi juga perbuatan-perbuatan yang tidak ada hubungannya dengan seks.17

Suparman Marzuki memberikan definisi bahwa setiap delik pada hakikatnya merupakan delik kesusilaan, karena semua bentuk larangan dengan sanksi hokum pidana pada hakikatnya melambangankan bentuk perlindungan terhadap sistem nilai kesusilaan atau moralitas tertentu yang ada di dalam masyarakat.18 Sedangkan dalam KUHP pada dasarnya tidak memberikan arti pelanggaran kesusilaan (perbuatan asusila) secara eksplisit. Namun, Soesilo menjelaskan antara lain, bahwa arti “kesusilaan”

memiliki keterkaitan dengan kesopanan, perasaan malu yang berhubungan dengan nafsu kelamin misalnya bersetubuh, meraba buah dada perempuan, meraba tempat kemaluan perempuan, memperlihatkan anggota kemaluan, dan mencium.19

Hukum sendiri memandang kesusilaan sebagai tingkah laku, perbuatan, percakapan bahkan sesuatu apapun yang harus dilindungi oleh hukum yang bersangkutan dengan norma-norma kesopanan demi terwujudnya tata susila dan tata tertib dalam kehidupan sosial masyarakat. Secara umum tindak pidana kesusilaan diartikan sebagai tindak pidana yang berhubungan dengan masalah kesusilaan (etika). Pernyataan ini menunjukan bahwa menentukan batasan atau pengertian mengenai kesusilaan tidaklah sederhana. Batasana-batasan kesusilaan sangat tergantung dengan nilai- nilai yang berlaku dalam masyarakat.20

Kejahatan kesusilaan dapat dikatakan sebagai tindak pidana yang bersifat universal, karena hampir semua negara mengenalnya dan mengaturnya dalam ketentuan hukum masing-masing. Hanya saja mengenai macam dan kriterianya atau konsepsi mengenai nilai kesusilaan dipengaruhi oleh pandangan, niali sosial, dan norma agama yang berlaku di dalam

17 Lobby Loqman, Delik Kesusilaan, (Jakarta: Makalah Lokakarya BPHN, 1995).

18 Supratman Marzuki, Pelecehan Seksual, (Yojyakarta: FH UI, 1995), h. 75.

19 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, 1991, h. 204.

20Barda Nawawi Arief, Bungai Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung, 1996).

(35)

masyarakat yang dibatasi oleh tempat dan waktu. Suatu perbuatan di daerah atau negara tertentu dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana kesusilaan, tetapi di daerah atau negara lain tidak atau mungkin juga dapat terjadi bahwa perbuatan tertentu sekarang diklasifikasikan sebagai tindak pidana kesusilaan, sebaliknya dikemudian hari tidak.21

C. Tindak Pidana Asusila

1. Pengaturan Hukum Tentang Tindak Pidana Asusila

Ajaran fiqh jinayah yang mengklasifikasikan jarimah kepada tiga bagian yaitu, jarimah qhishash, jarimah hudud, dan jarimah ta’zir. Jarimah ta’zir sendiri dibagi kepada 2 macam. Pertama, jarimah ta’zir yang menyinggung hak Allah, hal ini berkaitan dengan perbuatan yang ruang lingkupnya menyentuh kemashlahatan umum atau kehidupan banyak oranng. Kedua, jarimah ta’zir yang menyinggung hak individu, yaitu suatu tindakan yang merugikan dan mempunyai dampak negatif terhadap individu.22

Secara garis besar hukuman ta’zir dikelompokkan kepada empat kelompok yaitu:

a. Hukuman ta’zir yang menganai badan, seperti hukuman mati dan jilid (dera).

b. Hukuman ta’zir yang berkaitan dengan kemerdekaan seseorang, seperti hukuman penjara dan pengasingan.

c. Hukuman ta’zir yang berkaitan dengan harta. Seperti denda, penyitaan/atau perampasan harta, dan penghancuran barang.

d. Hukuman-hukuman lain yang ditentukan oleh ulil amri demi kemaslahatan umum.

Ketentuan hukuman ta’zir seperti halnya diatas berdasarkan atas kemashlahatan umum, sedang orang yang mengetahui kemashlahatan umum itu berdasarkan pengamatan dan penelitian hanyalah ulil umri.

21 Fitrotul Amalia Hf, Kejahatan Kesusilaan Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif (Analisis Putusan Nomor: 401/Pid.B/2007/PN.Jaksel), (FSH UINJKT: Skripsi, 2009).

22Agustiar Hariri Lubis, Studi Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 83 PK/PID.SUS/2019 Terhadap Penyebaran Konten Asusila Perspektif Hukum Pidana Positif dan Hukum Pidana Islam (UIN Jakarta: Skripsi, 2019), h. 14.

(36)

26

Aadapun penerapan terhadap pelaku pendistribusian konten asusila diserahkan kepada ulil amri dan disesuaikan dengan konteks perbuatan yang dilakukan, pertanggungjawaban, serta dampak dari perbuatan yang dilakukan oleh pelaku.

Menurut A. Dzajuli, pelaksanaan jarimah ta’zir harus mempertimbangkan banyak aspek. Dalam menentukan sanksinya, harus mempertimbangkan antara lain kondisi pelaku baik fisik maupun kejiwaan serta motif tindakannya tersebut. Sehingga sanksi yang dijatuhkannya variatif sesuai dengan rasa keadilan. Misalnya, untuk menjerakan si pelaku sudah tentu tidak sama dengan orang yang satu dengan yang lainnya, seperti dengan deraan, ada yang harus dikurung, dan sebagainya.23

Selanjutnya Izzuddin mengatakan tentang sanksinya sebagai berikut:24

ِف ماَسِقْنا ِحِلاَصَمْلا ِ

ِدِساَفَمْلاَو َلىِا

لِئاَسَوْل ا ِدِصاَقَمْلاَو ِ

ِتاَبِجاَوْلا

تَبَوُدْنَمْلاَو :ِنَبَْرَض ِ

اَُهُُدَحَأ ،ُدِصاَقَم

ِناَّثلاَو ،ُلِئاَسَو

َكِلَذَكَو

تاَهوُرْكَمْلا ُتاَمَّرَحُمْلاَو ُ

:ِنَبَْرَض اَُهُُدَحَأ

ُدِصاَقَم : ِناَّثلاَو

،ُلِئاَسَو ِلِئاَسَوْلِلَو

اُماَكْحَأ ،ِدِصاَقَمْل

ُةَليِسَوْلاَف َلىإ

ِلَضْفَأ َيِهِدِصاَقَمْلا ُلَضْفَأ

، ِلِئاَسَوْلا ُةَليِسَوْلاَو

َلىإ

لَذْرَأ يِهِدِصاَقَمْلا ِ ُلَذْرَأ َ

، ِلِئاَسَوْلا

ُِّث َ ُبَّتََتََت ُلِئاَسَوْلا ِبُّتََتَِب

ِحِلاَصَمْلا ِدِساَفَمْلاَو

“Teks tersebut menjelaskan bahwa tentang kemaslahatan dan kemafshadatan terdapat maksud/tujuan dan wasilah yang berkenaan dengan hal-hal yang di wajibkan dan disunahkan. Pertama maksud, dan kedua wasilah. Begitu pula yang berkenaan dengan hal-hal yang dimakruhkan dan diharamkan, maka di dalamnya terdapat tujuan dan wasilah. Pertama, Status hukum wasilah tergantung tujuannya. Kedua, Suatu wasilah menjadi tinggi kedudukannya bila tujuannya itu tinggi pula, dan sebaliknya ia menjadi rendah (termasuk sanksinya) bila berkenaan dengan rendahnya tujuan itu sendiri. Begitulah seterusnya status wasilah

23 Dudi Badruzzaman, Sanksi Hukuman Bagi Fasilitator Tindak Pidana Asusila Dalam Perspektif Fiqh Jinayah, (STAI Sabili Bandung: Ast-Syari’ah, 2017), vol. 19, no. 2, h. 180.

24 Izzuddin bin ‘Abdissalam, Qowa’id al-Ahkam Fi Masalih al-Anam (Kairo: Maktabah al- Kuliyyat al-Azhariyah,1994), h. 73.

(37)

mengikuti tujuannya dalam kadar maslahat atau mafsadatnya suatu perbuatan”.

Pada bagian lainnya, Izzuddin menegaskan sebagai berikut:

اَذَكَهَو ُفِلَتَْتَ

ُبَتُر ِلِئاَسَوْلا ِف َلِتْخِبَ

ِةَّوُ ق اَهِئاَدَأ َلىإ ِدِساَفَمْلا ... ،

اَمَّلُكَو ْتَيِوَق ُةَليِسَوْلا ِءاَدَْلْا ِف

َلىإ ِةَدَسْفَمْلا َناَك

اَهُْثْإ َمَظْعَأ ْنِم َصَقَ ن اَمِْثْإ

اَهْ نَع

“Dengan demikian, tingkatan status hukum wasilah sangat tergantung kepada tingkat mafsadat itu sendiri... Ketika suatu wasilah terjadinya suatu mafsadat (perbuatan cabul, misalnya) semakin mendorong, maka dosanya dan tentu sanksinya pula akan semakin besar pula”.25 Begitu juga dengan perbuatan menyebarkan konten asusila, yang dapat membuka jalan (wasilah) berbuat zina.

Fatwa Majelis Ulama Indonesia juga telah memberikan sanksi secara tegas bagi pelaku penyebaran konten asusila, hal ini sesuai dengan Fatwa MUI bagian ketiga tentang Pedoman Bermuamalah huruf D tetang Pedoman Penyebaran Konten/Informasi nomor 9 yaitu:26

“Orang yang bersalah telah menyebarkan informasi hoax, ghibah, fitnah, namimah, aib, ujaran kebencian, dan hal-hal lain sejenis kepada khalayak, baik sengaja atau tidak tahu, harus bertaubat dengan meminta ampun kepada Allah (istighfar) serta; (i) meminta maaf kepada pihak yang dirugikan (ii) menyesali perbuatannya; (iii) dan komitmen tidak akan mengulangi”.27

Demikian kedudukan sanksi pidana Islam terhadap penyebaran konten asusila dengan memperhatikan berbagai aspek sehingga hukumannya

25 Izzuddin bin ‘Abdissalam, Qowa’id al-Ahkam Fi Masalih al-Anam (Kairo: Maktabah al- Kuliyyat al-Azhariyah,1994), h. 73

26 Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Hukum dan Pedoman Bermuamalah Melalui Media Sosial, Fatwa MUI, No. 14 Tahun 2017.

27 Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Hukum dan Pedoman Bermuamalah Melalui Media Sosial, Fatwa MUI, No. 14 Tahun 2017.

Referensi

Dokumen terkait

Meskipun gugatan Pelawan ditolak oleh Hakim Pengadilan Jakarta Pusat, 19 namun hal tersebut menjadi ketertarikan sendiri bagi peneliti untuk mengkaji putusan

PEMIDANAAN ANAK DI BAWAH UMUR YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PENCURIAN DALAM PERSPEKTIF RESTORATIVE JUSTICE (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kediri No 6/Pid Sus Anak/2015/PN Kdr)

Dari semua fungsi yang dijelaskan tersebut tidak dapat diartikan bahwa International Committee of the Red Crosssebagai guardian kemudian juga berfungsi sebagai

• Jika dalam sebuah program kita menggunakan nama class yang sama, maka import dua package tersebut dan gunakan nama class berserta maka import dua package tersebut, dan gunakan

Dalam penelitian ini penulis menggunakan beberapa metode dalam perhitungan baik untuk mendapatkan hasil permintaan yang akan datang maupun untuk mendapatkan hasil efisiensi

Langkah pemerintah kota Bogor dalam menerbitkan Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 1 Tahun 2019 tentang penyelenggaraan pembangunan ketahanan keluarga bertujuan

sarana pembantu dalam pelaksanaan rukyat al-hilal. Beliau sebagai anggota Lajnah Falakiyah PCNU Tegal menuturkan bahwa pelaksanaan rukyat al-hilal dipantai alam indah Tegal

Suatu himpunan dikatakan terhitung jika himpunan tersebut hingga atau memiliki kardinalitas yang sama dengan. himpunan bilangan