6
BAB II DASAR TEORI
2.1 PENGERTIAN
Perkerasan jalan adalah konstruksi yang dibangun di atas lapisan tanah dasar (subgrade), yang berfungsi untuk menopang beban lalu-lintas. Jenis kontruksi perkerasan jalan pada umumnya ada dua jenis, yaitu perkerasan lentur (flexible pavement), dan perkerasan kaku (rigid pavement).
Jalan raya selalu menuntut keberadaan perkerasan yang kuat, tahan lama, nyaman, murah dan tepat sasaran. Ini semua merupakan indikator dari keinginan agar jalan raya berfungsi sebagaimana mestinya. Untuk mendapatkan fungsi yang baik tentunya memerlukan dua hal yaitu perencanaan yang sempurna dan keberhasilan pelaksanaan agar sesuai dengan perencanaan.
Analisis hidrologi dilakukan sehubungan dengan drainase permukaan sedangkan adanya air tanah akibat proses infiltrasi dan kapilerisasi yang akan mempengaruhi kondisi subgrade, stabilitas lereng dan dinding penahan tanah termasuk dalam drainase bawah permukaan.
Kelancaran arus lalu lintas sangat tergantung dari kondisi jalan yang ada, semakin baik kondisi jalan maka akan semakin lancar lalu lintasnya.
Untuk itu dalam perencanaan jalan perlu dipertimbangkan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi fungsi pelayanan jalan tersebut seperti fungsi jalan, kinerja perkerasan, umur rencana, lalu lintas yang merupakan beban dari perkerasan jalan, sifat tanah dasar, kondisi lingkungan, sifat dan jumlah material yang tersedia di lokasi yang akan dipergunakan sebagai bahan lapis perkerasan, dan bentuk geometrik lapisan perkerasan.
Berdasarkan bahan pengikatnya, perkerasan jalan dibagi menjadi 3 jenis : a. Perkerasan kaku (rigid pavement)
Perkerasan jalan yang bahan pengikatnya adalah beton semen, sehingga sering disebut juga perkerasan beton semen (concrete pavement).
Perkerasan beton yang kaku dan memiliki modulus elastisitas tinggi akan mendistribusikan beban ke tanah dasar sehingga bagian terbesar dari kapasitas struktur perkerasan diperoleh dari pelat beton itu sendiri.
7
Gambar 2.1 Lapisan Perkerasan Kaku
Gambar 2.1 adalah perkerasan beton semen, terdiri dari pelat beton, lapis pondasi dan tanah dasar.
b. Perkerasan lentur (Flexible Pavement)
Perkerasan jalan yang bahan pengikatnya adalah aspal. Lapisan perkerasan ini berfungsi untuk menerima beban lalu lintas dan menyebarkan ke lapisan dibawahnya sampai ke tanah dasar.
Gambar 2.2 Lapisan Perkerasan Lentur
Gambar 2.2 menjelaskan lapisan perkerasan lentur, terdiri dari lapis permukaan, lapis pondasi atas, lapis pondasi bawah dan tanah dasar.
2.2 PERENCANAAN TEBAL PERKERASAN 2.2.1 Perkerasan Kaku
Perkerasaan kaku atau sering disebut juga perkerasaan beton semen adalah suatu susunan konstruksi perkerasaan yang terdiri atas pelat beton semen yang bersambung atau tidak bersambung. Pada perkerasan beton semen, daya dukung perkerasan terutama diperoleh dari pelat beton. Sifat daya dukung tanah dasar sangat mempengaruhi keawetan dan kekuatan perkerasaan beton semen. Pelat beton semen memiliki sifat yang cukup kaku serta dapat menyebarkan beban pada bidang yang luas dan menghasilkan tegangan yang rendah pada lapisan-lapisan dibawahnya.
2.2.1.1 Lapisan Perkerasan Kaku
Lapisan-lapisan perkerasan kaku meliputi : a. Lapisan Pelat Beton (Concrete Slab)
Lapisan pelat beton tebentuk dari campuran semen, air dan agregat. Bahan-bahan yang digunakan untuk pekerjaan beton harus diuji terlebih dahulu dan harus bersih dari bahan-bahan yang merugikan seperti lumpur, minyak, bahan organik, dll.
b. Lapisan Pondasi Bawah (Subbase Course)
Lapisan pondasi bawah dapat berupa bahan berbutir agregat atau bahan pengikat seperti semen dan kapur. Lapisan pondasi bawah tidak
8 dimaksudkan untuk ikut menahan beban lalu lintas, tetapi lebih berfungsi sebagai lantai kerja.
Adapun fungsi dari lapisan pondasi bawah yaitu:
- Menyediakan lapisan yang seragam, stabil, dan permanen sebagai lantai kerja (working platform).
- Mengurangi kemungkinan terjadinya retak-retak pada pelat beton.
- Menghindari terjadinya pumping, yaitu keluarnya butiran-butiran halus tanah bersama air pada daerah sambungan, retakan, atau pada bagian pinggir perkerasaan, akibat lendutan atau gerakan vertikal pelat beton karena beban lalu lintas.
c. Tanah Dasar (Subgrade)
Persyaratan tanah dasar untuk perkerasaan kaku sama dengan pada perkerasan lentur, baik mengenai daya dukung, kepadatan, maupun kerataannya. Daya dukung ditentukan dengan pengujian CBR, apabila tanah dasar mempunyai CBR lebih kecil dari 2%, maka harus dipasang lapisan pondasi bawah.
2.2.1.2 Jenis Perkerasan Kaku
Berikut ini adalah jenis perkerasan kaku :
a. Perkerasaan Beton Bersambung Tanpa Tulangan (BBTT) / Jointed Plain Concrete Pavement (JPCP).
Jenis perkerasan beton semen ini dibuat tanpa tulangan dengan ukuran pelat mendekati bujur sangkar, dimana panjang dari pelatnya dibatasi oleh adanya sambungan-sambungan melintang guna mencegah retak beton. Umumnya perkerasaan ini lebarnya 1 lajur dengan panjang 4-5 m. Perkerasaan ini tidak menggunakan tulangan, namun menggunakan ruji (dowel) dan batang pengikat (tie bar).
Gambar 2.3 Perkerasan Beton Bersambung Tanpa Tulangan (BBTT)
Gambar 2.3 menjelaskan perencanaan perkerasan beton bersambung tanpa tulangan (BBTT).
b. Perkerasaan Beton Bersambung Dengan Tulangan (BBDT) / jointed Reinforced Concrete Pavement (JRCP)
9 Jenis perkerasaan beton semen ini dibuat dengan tulangan, yang ukuran pelatnya berbentuk persegi panjang, dimana panjang dari pelatnya dibatasi oleh adanya sambungan-sambungan melintang.
Panjang pelat berkisar antara 8-15 m. pada
Gambar 2.4 Perkerasan Beton Bersambung Dengan Tulangan (BBDT)
Gambar 2.4 menjelaskan perencanaan perkerasan beton bersambung dengan tulangan (BBDT).
c. Perkerasan Beton Menerus Dengan Tulangan (BMDT) / Continuously Reinforced Concrete Pavement (CRCP)
Jenis perkerasaan beton semen ini dibuat dengan tulangan. Pelat beton menerus yang hanya dibatasi adanya sambungan-sambungan muai melintang. Panjang pelat beton lebih dari 75 m.
Gambar 2.5 Perkerasan Beton Menerus Dengan Tulangan (BMDT)
Gambar 2.5 adalah perencanaan perkerasan beton menerus dengan tulangan (BMDT).
2.2.1.3 Perhitungan Perkerasan Kaku
Pada konstruksi perkerasan kaku, struktur utama perkerasan adalah lembaran pelat beton yang pada perkerasan lentur lapis ini setara dengan kombinasi dari lapis aus, lapis permukaan, dan lapis pondasi. Konstruksi perkerasan ini disebut ”kaku” karena pelat beton tidak terdefleksi akibat beban lalu lintas dan didesain untuk jangka waktu sampai 40 tahun.
Konstruksi perkerasan kaku terdiri dari lapisan-lapisan yang diletakkan di atas tanah dasar yang telah dipadatkan, yaitu :
1. Plat Beton 2. Lapisan Pondasi 3. Lapisan Tanah Dasar
10
Gambar 2.6 Struktur Lapisan Perkerasan Kaku
Pada Gambar 2.6 adalah gambar hasil perhitungan struktur lapisan perkerasan kaku.
2.2.1.3.1 Faktor ESAL
Berikut adalah parameter-parameter untuk menghitung faktor ESAL : 1. Faktor Pertumbuhan
Besarnya pertumbuhan lalu lintas telah ditetapkan untuk semua jenis kendaraan selama umur rencana. Pertumbuhan lalu lintas dihitung dengan persamaan 2.1 :
Growth Factor = ( ) ……….(2.1) Dimana : g = persentase pertumbuhan lalu lintas % n = umur rencana (tahun)
2. Tingkat Pelayanan
Tingkat pelayanan dibagi menjadi dua yaitu tingkat pelayanan awal (Po) dan tingkat pelayanan akhir (Pt). tingkat pelayanan awal berdasarkan AASHTO diharuskan sama atau lebih dari 4,0. Nilai tingkat pelayanan awal (Po) untuk perkerasan kaku yang direkomendasikan oleh AASHTO Road Test adalah 4,5 dan untuk perkerasan lentur 4,2.
Angka PSI diperoleh dari pengukuran kekasaran (roughness), dan pengukuran kerusakan (distress) seperti retak–retak, amblas, alur..
Angka PSI pada akhir umur rencana adalah angka yang masih dapat diterima sebelum pelapisan ulang (overlay). Angka antara 3,0 - 3,5 adalah yang disarankan untuk digunakan pada jalan kelas tinggi.
Sedangkan angka 2,0 untuk jalan kelas rendah.
Kriteria untuk menentukan tingkat pelayanan pada akhir umur rencana (Pt) dapat didasarkan dari volume lalu lintas. Nilai Pt berdasarkan volume lalu lintas ditunjukan pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Indeks Pelayanan Akhir (Pt) Berdasar Volume Lalu Lintas Volume Lalu lintas Volume
Kendaraan Terminal Serviceability Pt
High Volume > 10.000 3,0 - 3,5
Medium Volume 3.000-10.000 2,5 - 3,0
11
Low Volume < 3.000 2,0 - 2,5
Sumber: Maine DOT / ACM Pavement Committee, 2007
Selanjutnya ΔPSI dapat dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :
ΔPSI = Po – Pt ……….(2.2) Dimana Po = indeks pelayanan pada awal umur rencana.
Pt = indeks pelayanan pada akhir umur rencana.
3. Angka Ekivalen ESAL
Perbandingan antara kehilangan tingat pelayanan dari Po sampai Pt dengan kehilangan tingkat pelayanan dinyatakan sebagai nilai G. Untuk menentukan faktor ESAL nilai G dihitung dengan nilai Pt yang telah ditentukan sebelumnya.
G = Log
1.5 - Po
Pt -
Po ...(2.3)
Dimana G = faktor perbandingan kehilangan tingkat pelayanan Po = indeks pelayanan awal
Pt = indeks pelayanan akhir
Berikut adalah Tabel 2.2 konfigurasi beban sumbu kendaraan :
Tabel 2.2 Beban Sumbu Kendaraan Beban Sumbu Kendaraan Lx
Ton Kips
1 2,2045
2 4,409
3 6,613
4 8,818
5 11,022
6 13,227
7 15,431
8 17,636
9 19,840
10 22,045
11 24,249
12 26,454
13 28,658
14 30,863
15 33,067
16 35,272
Variasi beban sumbu terlihat dari beban yang diberikan dari setiap golongan kendaraan. Bina marga mengelompokkan beberapa jenis kendaraan sebagai berikut :
12 a. Golongan 2.
Sedan, jeep dan station wagon (sesuai sistem klasifikasi Bina Marga.
b. Golongan 3.
Opelet, pick-up, combi dan minibus (sesuai sistem klasifikasi Bina Marga), Kecuali combi, umumnya sebagai kendaraan penumpang umum, maksimum 12 tempat duduk, seperti : mikrolet, angkot, minibus.
c. Golongan 5b. Bus Besar
Sebagai kendaraan penumpang umum dengan tempat duduk 30-56 buah seperti : bus malam, Bus Kota, Bus Antar Kota dengan bagian belakang sumbu tunggal roda ganda (STRG).
d. Golongan 6a.Truck 2 sumbu 4 roda.
Kendaraan barang dengan muatan sumbu terberat 5 ton (MST-5, STRT) pada sumbu belakang dengan as depan 2 roda dan as belakang 2 roda.
e. Golongan 6b.
Truck 2 sumbu 6 roda, kendaraan barang dengan muatan sumbu terberat 8 - 10 ton (MST 8-10, STRG) pada sumbu belakang dengan as depan 2 roda dan as belakang 4 roda.
f. Golongan 7a.Truck 3 sumbu.
Kendaraan barang dengan 3 sumbu yang tata letaknya STRT (Sumbu Tunggal Roda Tunggal) dan SGRG (Sumbu Ganda Roda Ganda).
g. Golongan 7c.Truck semi trailer atau disebut truk tempelan.
Kendaraan yang terdiri dari kepala truk dengan 2-3 sumbu yang dihubungkan secara sendi dengan pelat dan rangka bak yang beroda belakang, yang mempunyai 2 atau 3 sumbu pula.
Pada Tabel 2.3 adalah golongan kendaraan menurut Bina Marga.
Tabel 2.3 Golongan Kendaraan Jenis kendaraan Gambar
gol 2 & 3
gol 5b
gol 6a
13
gol 6b
gol 7a
gol 7c
Sumber : Bina Marga, 2007
Fungsi desain dan variasi sumbu kendaraan yang menyatakan jumlah perkiraan banyaknya sumbu kendaraan yang akan diperlukan sehingga permukaan perkerasan mencapai tingkat pelayanan = 1,5 dinyatakan sebagai β. Nilai D adalah asumsi tebal pelat yang telah ditentukan.
Nilai D digunakan untuk menghitung βx dan β18 :
ß18 =
(
( )( )
) ...
(2.4) ßx =(
( )( ) ( )
)...
(2.5) Dimanaß = faktor desain dan variasi beban sumbu.
D = tebal asumsi perkerasan.
Lx = beban sumbu yang akan dievaluasi (kips) L18 = beban sumbu standar dalam (18 kips) L2 = notasi konfigurasi sumbu.
L2 = 1 untuk beban tunggal, 2 untuk beban tandemm 3 untuk beban triple.
Nilai Wx / W18 dapat dihitung setelah nilai G, ß18 dan ßx diketahui.
Pada Persamaan (2.6) adalah perhitungan Wx / W18 untuk setiap jenis kendaraan.
= ( ) x (
) x ...(2.6) Dimana :
W = ekivalen beban sumbu standar (W = 18.000) lbs (80KN).
G = faktor perbandingan kehilangan tingkat pelayanan Lx = beban sumbu yang akan dievaluasi (kips)
L18= beban sumbu standar 18 kips L2 = notasi konfigurasi sumbu
1 = sumbu tunggal, 2 = sumbu tandem, 3 = sumbu tripel
14 Nilai faktor ESAL (LEF) dapat dihitung setelah Wx / W18 diketahui.
Pada Persamaan (2.7) adalah perhitungan faktor ESAL (LEF) untuk setiap jenis kendaraan
LEF =
⁄ ...(2.7) Dimana : LEF = faktor ESAL
= perbandingan ekivalen sumbu x terhadap sumbu
standar
Nilai faktor ESAL yang didapat sebelumnya kemudian dijumlah untuk mendapat faktor ESAL total dari setiap jenis kendaraan.
Total LEF = LEF depan + LEF belakang...(2.8) 4. Lalu lintas Rencana ESAL
Untuk menghitung lalu lintas rencana ESAL adalah lalu lintas rencana dikali dengan faktor ESAL total, dapat dihitung menggunakan Persamaan (2.9 dan 2.10)
Lalu lintas rencana = LHR x GF x 365...(2.9) Lalu lintas rencana ESAL (Ŵ18) = LL rencana x TOT LEF…...(2.10)
2.2.1.4 Rencana Tebal Perkerasan Kaku
Pada perencanaan tebal perkerasan kaku digunakan persamaan seperti pada persamaan dibawah ini :
( ) ( ) ( )
( ) {
( ) ( ( )
}
………(2.11) Dimana :
D = Tebal pelat beton (inc)
Wt18 = Beban sumbu standard total (ESA) selama umur rencana.
So = Standar deviasi dari nilai Wt18. (Untuk perkerasan kaku adalah 0.3-0.4)
ZR = Konstanta normal pada tingkat peluang (probabilitas),R IPt = Indeks permukaan terminal PSI (Present Serviceability Index) Sc’ = Modulus keruntuhan beton (psi)
Cd = Koefisien drainase.
J = Koefisien transfer beban (3,2 bila sudut dilindungi) Ec = Modulus eklastisitas beton (psi)
k = Modulus reaksi tanah (psi/in)
15
∆PSI = Selisih antara nilai PSI diawal dan akhir masa layan struktur perkerasan
1. Tanah dasar
Kekuatan dan keawetan konstruksi perkerasan jalan sangat tergantung pada sifat-sifat dan daya dukung tanah dasar. Dalam pedoman ini diperkenalkan modulus resilien (MR) sebagai parameter tanah dasar yang digunakan dalam perencanaan.
2. Faktor Distribusi
Faktor distribusi arah (DD) = 0,3-0,7 dan umumnya diambil 0,5 (diambil dari AASHTO 1993 halaman II-9). Faktor ditribusi lajur (DL), mengacu pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4 Faktor Distribusi lajur (DL) Jumlah Lajur
Setiap Arah DL (%)
1 100
2 80 – 100
3 60 – 80
4 50 – 75
Sumber: AASHTO 1993
Rumus umum desain lalu-lintas (ESAL = Equivalent single axle load) adalah:
W18 = DD x DL x Ŵ18……….(2.12) Dimana:
W18 = Traffic Design pada lajur lalu-lintas Ŵ18 = Lalu lintas rencana ESAL
DD = Faktor distribusi arah DL = Faktor distribusi lajur 3. Reliabilitas
Reliabilitas adalah nilai dari kemungkinan tingkat pelayanan dapat dipertahankan selama masa pelayanan. Variasi dari data dianggap mengikuti distribusi normal, sehingga faktor keandalan desain hanya ditentukan oleh simpangan (deviasi) standard dari nilai Sodan tingkat peluang ZR yang diinginkan. Tabel 2.5 memperlihatkan rekomendasi tingkat reliabilitas untuk berbagai klasifikasi jalan.
Tabel 2.5 Hubungan Reliabitas (R) dengan Fungsi Jalan Klasifikasi jalan Rekomendasi Tingkat Reliability
16
Perkotaan Antar kota
Bebas Hambatan 85-99.9 85-99.9
Arteri 80-99 75-95
Kolektor 80-95 70-95
Lokal 50-80 50-80
Sumber: Hendarsin, Shirley L. 2008
Dalam persamaan desain perkerasan kaku, tingkat kepercayaan diakomodasikan dengan parameter standar deviasi normal (ZR). Tabel 2.6 memperlihatkan nilai ZR untuk tingkat pelayanan tertentu.
Penerapan konsep tingkat kepercayaan (R) harus memperhatikan langkah-langkah berikut:
Definisikan klarifikasi fungsional jalan dan tentukan apakah merupakan jalan perkotaan atau jalan antar kota.
Standar deviasi (So) harus dipilih yang mewakili kondisi setempat, rentang nilai So adalah 0,3 – 0,4 (untuk perkerasan kaku) dan 0,35 – 0,45 (untuk perkerasan lentur).
Tabel 2.6 Nilai Standard Normal Deviate (ZR) untuk Tingkat Reliabilitas (R) Tertentu.
Sumber: Konstruksi jalan raya Buku 2 Perencanaan perkerasan jalan
4. Koefisien Drainase (Cd)
Koefisien drainase (Cd) merupakan fungsi dari kualitas drainase dan persen waktu struktur perkerasan selama setahun yang dipengaruhi oleh kadar air yang mendekati jenuh. AASHTO 1993 membagi Kualitas drainase menjadi 5 tingkat, seperti pada Tabel 2.7.
Tabel 2.7 Kualitas Drainase
Kualitas Drainase Waktu yang dibutuhkan untuk menghilangkan air
Baik sekali 2 jam
Baik 1 Hari
Cukup 1 Minggu
Buruk 1 Bulan
17
Buruk sekali Air tidak akan surut Sumber : ASSHTO 1993
Berdasarkan kualitas drainase pada lokasi jalan tersebut maka dapatlah ditentukan koefisien drainase dari lapisan perkerasan jalan. AASHTO 1993 memberikan daftar koefisien drainase seperti pada Tabel 2.8.
Tabel 2.8 Koefisien Drainase (Cd) Untuk Perkerasan Jalan Beton
Kualitas Drainase
Persentase Waktu Perkerasan Dalam Keadaan Lembab Jenuh
<1% 1 – 5% 5 – 25% >25%
Baik sekali 1.25 – 1.20 1.20 – 1.15 1.15 – 1.10 1.10 Baik 1.20 – 1.15 1.15 – 1.10 1.10 – 1.00 1.00 Cukup 1.15 – 1.10 1.10 – 1.00 1.00 – 0.90 0.90 Buruk 1.10 – 1.00 1.00 – 0.90 0.90 – 0.80 0.80 Buruk sekali 1.00 – 0.90 0.90 – 0.80 0.80 – 0.70 0.70
Sumber : AASHTO 1993
AASHTO memberikan 2 variabel untuk menentukan nilai koefisien drainase:
Mutu drainase dengan variasi baik sekali, baik, sedang, jelek, jelek sekali. Mutu ini ditentukan oleh berapa lama air dapat dibebaskan dari perkerasan.
Persentase struktur perkerasan dalam satu tahun terkena air sampai tingkat mendekati jenuh air (saturated), dengan variasi
< 1%, 1-5%, 5-25%, > 25%.
Untuk menentukan prosen struktur perkerasan dalam 1 tahun terkena air sampai tingkat kejenuhan (Pheff), maka untuk persamaannya adalah :
Air Surut (T jam) = jam per hari
Hari Hujan (T hari) = hari hujan dalam setahun C = koefisien pengaliran (mengacu pada Tabel 2.9
WL = 100 – C ………...(2.13) ………(2.14) Dimana :
= Persen waktu struktur perkerasaan yang di pengaruhi oleh kadar air yang mendekati jenuh.
Maka waktu pemutusan 3 jam dapat diambil sebagai pendekatan dalam penentuan kualitas drainase.
18
Tabel 2.9 Koefisien Pengaliran (C) Koefisien Permukaan
Tanah
Koefisien Pengaliran
(C ) Jalan beton dan jalan aspal 0.7 - 0.95
Tanah berbutir halus 0.4 - 0.65 Tanah berbutir kasar 0.1 - 0.2
Batuan masif keras 0.7 -0.85
Batuan masif lunak 0.6 - 0.75
Sumber: Hendarsin, Shirley L. 2008, Petunjuk Desain Drainase Permukaan Jalan
5. Penentuan Modulus Reaksi Tanah Dasar Efektif (K)
Sebelum menentukan tebal pelat rencana, maka perlu dilakukan estimasi tingkat kemampuan daya dukung terhadap pelat yang akan dicapai. Untuk menentukan nilai (K) dapat menggunakan hubungan teoritis antara nilai k dari pengujian pelat bearing dan modulus elastisitas tanah dasar sebagai berikut
K = MR / 19,4 ………..(2.15) MR = 1500 x CBR ………..(2.16)
Apabila menggunakan lapis pondasi bawah (subbase), maka harus dipertimbangkan dengan menggabungkan kekuatan tanah dasar dan lapis pondasi bawah sehingga nilai K merupakan nilai K gabungan.
Langkah selanjutnya adalah mengoreksi modulus reaksi tanah dasar efektif (Keff) untuk memperkirakan potensi kehilangan daya dukung yang terjadi dari erosi lapis pondasi.
Tabel 2.10 Faktor kehilangan daya dukung (LS)
Jenis Bahan Faktor kehilangan
daya dukung (LS) Cement treated granular base (E = 1000.000 -2000.000 psi) 0,0 - 1,0
Cement aggregate mixtures (CTB, CTSB, RCC, LC)
0,0 - 1,0 (E = 500.000 - 1000.000 psi)
Asphalt treated base (ATB) (E = 350.000 - 1000.000 psi) 0,0 - 1,0 Bituminous stabilized mixture; (E = 40.000 - 300.000 psi) 0,0 - 1,0 Stabilisasi dengan kapur; (E = 20.000 - 70.000 psi) 1,0 - 3,0 Unbound granular material;(E = 15.000 - 45.000 psi) 1,0 - 3,0
Material tanah dasar alami atau bergradasi halus;
2,0 - 3,0 (E = 3000 - 40.000 psi)
Sumber: AASHTO 1993
19
Gambar 2.7 Modulus Tanah Dasar Efektif Untuk Perhitungan Kehilangan Daya Dukung Pondasi.
Sumber AASHTO 93
Gambar 2.7 menjelaskan Koreksi modulus tanah dasar untuk memperhitungkan potensi kehilangan daya dukung pondasi
6. Lapisan Pondasi Bawah Dengan Meterial Berbutir
Material berbutir tanpa pengikat harus memenuhi persyaratan sesuai dengan SNI 03-6388-2000. Sebelum pekerjaan dimulai, bahan pondasi bawah harus diuji gradasinya dan harus memenuhi spesifikasi bahan untuk pondasi bawah. Ketebalan minimum lapis pondasi bawah untuk tanah dasar dengan CBR minimum 5 % adalah 15 cm.
7. Koefisien Transfer Beban (J)
Koefisien transfer beban merupakan faktor yang digunakan pada perencanaan perkerasan kaku untuk memperkirakan kemampuan struktur perterasan kaku dalam mentransfer beban pada sambungan.
Penentuan nilai J adalah sesuai Tabel 2.11 (diambil dari AASTHO 1993)
Tabel 2.11 Koefisien Transfer Beban (J) Untuk Berbagai Tipe Perkerasan Kaku
Bahu Aspal Beton Semen
Ada Tidak
ada Ada Tidak ada Alat transfer beban
Tipe perkerasan Bersambung tanpa
3,2 3,8 - 4,4 2,5 - 3,1 3,6 - 4,2 Tulangan dan
20 bersambung
dengan tulangan Menerus dengan
tulangan 2,9 - 3,2 N/A 2,3 -2,9 N/A
Sumber: AASHTO 93
8. Perhitungan Tulangan a. Penyalur Beban
Ruji Dowel
Merupakan sebatang baja polos lurus yang dipasang pada setiap sambungan melintang guna menyalurkan beban, sehingga pelat yang berdampingan dapat bekerja sama tanpa terjadi penurunan yang berarti. Batang ruji diletakan di tengah tebal pelat.
Gambar 2.8 Ilustrasi Penyalur Beban
Gambar 2.8 menjelaskan fungsi dari penggunaan dowel pada perkerasan beton semen.
Gambar 2.9 Ruji Dan Sambungan Melintang
Pada Gambar 2.9 dijelaskan dowel harus dilapisi dengan plastik atau pelumas, berfungsi untuk pergerakan pelat pada saat muai dan susut. Diameter, panjang dan jarak tulangan ruji harus disesuaikan dengan tebal pelat beton berdasarkan Tabel 2.12
Tabel 2.12 Ukuran dan Jarak Batang Dowel (Ruji) Tebal Pelat
Perkerasan
Dowel
Diameter Panjang Jarak
inci mm inci mm inci mm inci mm
21
6 7 8 9 10 11 12 13 14
150 175 200 225 250 275 300 325 350
¾ 1 1 1 ¼ 1 ¼ 1 ¼ 1 ½ 1 ½ 1 ½
19 25 25 32 32 32 38 38 38
18 18 18 18 18 24 24 24 24
450 450 450 450 450 600 600 600 600
12 12 12 12 12 12 12 12 12
300 300 300 300 300 300 300 300 300 Sumber: Hendarsin, Shirley L. 2008, Desain Perkerasan Jalan
Batang Pengikat (Tie Bar)
Batang pengikat merupakan batang baja ulir (deformed bar) yang diletakkan tegak lurus sambungan memanjang. Berfungsi untuk mengikat pelat agar tidak bergerak horizontal.
Gambar 2.10 Batang Pengikat Pada Sambungan Memanjang
Pada Gambar 2.10 dijelaskan pada pelat beton digunakan batang pengikat sambungan tanpa pengunci, sedangkan pada Gambar 2.11 digunakan sambungan dengan pengunci
Gambar 2.11 Sambungan Memanjang Dengan Pengunci
Gambar 2.12 Nomogram Penentuan Tie Bars Sumber: Hendarsin, Shirley L. 2008, Desain Perkerasan Jalan
Nomogram pada Gambar 2.12 menjelaskan Cara menentukan diameter, panjang, dan jarak antara tie bar.
b. Pengisian Sambungan dan Penutup Sambungan ( join filler and Joint sealer)
22 Bahan penutup sambungan (joint sealer) dapat berupa expandite plastic, senyawa gabungan bitumen karet yang dituangkan dalam keadaan panas, atau bahan yang siap pakai seperti neoprene (penutup jadi yang ditekan). Sebelum bahan penutup dipasang, celah sambungan harus dibersihkan dari bahan-bahan asing (kotoran-kotoran sisa pemotongan beton).
Gambar 2.13 Penutup Sambungan ( joint filler and Joint sealer)
Pada Gambar 2.13 dijelaskan peutup sambungan diisi dengan joint sealer berupa expandite plastic.
2.2.2 Perhitungan Perkerasan Lentur
Lapisan permukaan adalah bagian konstruksi perkerasan lentur yang terletak paling atas dan berfungsi sebagai :
a. Lapis perkerasan penahan beban roda, lapisan mempunyai stabilitas tinggi untuk menahan beban roda selama masa pelayanan,
b. Lapisan kedap air, sehingga air hujan yang jatuh diatasnya tidak meresap ke lapisan dibawahnya dan melemahkan lapisan – lapisan tersebut,
c. Lapisan aus (wearing course), lapisan yang langsung menerima gesekan akibat rem kendaraan sehingga mudah menjadi aus,
d. Lapisan yang menyebarkan beban ke lapisan bawah, sehingga dapat dipikul oleh lapisan lain yang mempunyai daya dukung yang lebih jelek,
e. Memberikan suatu bagian permukaan yang rata, f. Menahan gaya geser dari beban roda.
Gambar 2.14 Distribusi beban pada perkerasan lentur Sumber : Sukirman,1999
23 Pada Gambar 2.14 dijelaskan distribusi beban kendaraan pada perkerasan lentur, beban didistribusikan ke seluruh lapisan perkerasan.
Lapisan pondasi atas adalah bagian konstruksi perkerasan lentur yang terletak diantara lapisan pondasi bawah dan lapisan permukaan yang berfungsi sebagai :
a. bagian perkerasan yang menahan gaya lintang dari beban roda dan menyebarkan beban ke lapisan dibawahnya,
b. Perletakkan terhadap lapisan permukaan.
Lapisan pondasi bawah adalah konstruksi perkerasan lentur yang terletak diantara lapisan pondasi atas dan tanah dasar yang berfungsi sebagai:
a. bagian dari konstruksi perkerasan untuk mendukung dan menyebarkan beban roda ke tanah dasar,
b. lapisan peresapan agar air tanah tidak berkumpul di lapisan pondasi, c. lapisan pertama agar pekerjaan dapat berjalan lancar, sehubungan
dengan kondisi lapangan yang memaksa harus segera menutup tanah dasar dari pengaruh cuaca atau lemahnya daya dukung tanah dasar menahan roda-roda alat berat.
Salah satu metode perencanaan untuk tebal perkerasan jalan yang sering digunakan adalah metode AASHTO 1993. Metode ini sudah dipakai secara umum di seluruh dunia untuk perencanaan serta diadopsi sebagai standar perencanaan di berbagai negara. Parameter yang dibutuhkan untuk perencanaan perkerasan metode AASHTO 1993 ini adalah :
a. Structural Number (SN)
b. Koefisien Kekuatan Lapisan (a) c. Lalu lintas
d. Tingkat Kepercayaan (R) e. Koefisien Drainase (m) f. Faktor Lingkungan
g. Tingkat Pelayanan (Serviceablity)
Gambar 2.15 Lapis Perkerasan Lentur
1. Persamaan AASHTO 1993
24 Dari hasil percobaan jalan AASHTO untuk berbagai macam variasi kondisi dan jenis perkerasan, maka disusunlah metode perencanaan AASHO yang kemudian berubah menjadi AASHTO. Dasar perencanaan dari metode AASHTO baik AASHTO’72, AASHTO’86, maupun metode terbaru saat sekarang yaitu AASHTO’93, seperti pada Persamaan 2.17.
( ) * +
( )
………(2.17) Dimana:
W18 = Beban gandar standar selama umur perencanaan (ESAL).
ZR = Standar deviasi normal.
So = Standar deviasi untuk perkerasan lentur 0.35 - 0.45 ITP = Indeks Tebal Perkerasan
Pf = Failure serviceability Pt = Terminal serviceability
P0 = Initial serviceability
∆PSI = Perbedaan indeks kemampuan layan awal (serviceability index) po dan indeks permukaan layan akhir (terminal serviceability index), pt
Mr = Modulus resilien (psi)
Gambar 2.16 Nomogram Untuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Sumber : AASHTO 1993
2. Structural Number
25 SN merupakan fungsi dari ketebalan lapisan, koefisien relatif lapisan (layer coefficients), dan koefisien drainase (drainage coefficients).
Persamaan 2.18 untuk Structural Number
SN = a1D1 + a2D2Cd2 + a3D3Cd3 ………(2.18) Dimana :
SN = structural number
a1, a2, a3 = koefisien relatif masing‐masing lapisan.
D1, D2, D3 = tebal masing‐masing lapisan perkerasan.
m2, m3 = koefisien drainase masing‐masing lapisan.
3. Tebal Masing-masing Lapisan a. Koefisien Kekuatan Lapisan
Koefisien lapis permukaan beton aspal (asphalt concrete surface course)
Pada Gambar 2.17, ditunjukkan grafik yang dapat digunakan untuk memerkirakan koefisien kekuatan lapis beton aspal bergradasi padat berdasarkan modulus elastisitasnya.
Penetapan koefisien kekuatan lapisan beton aspal yang mempunyai modulus elastis di atas 450.000 psi (sekitar 3000 MPa) perlu dilakukan dengan hati-hati. Hal tersebut dikarenakan beton aspal yang mempunyai modulus elastis tinggi mudah mengalami retak termal dan retak lelah, meskipun bahan tersebut lebih kaku dan lebih tahan terhadap lendutan.
Gambar 2.17 Grafik Untuk Memerkirakan Koefisien Lapisan Beton Aspal sumber : AASHTO 1993
26
Koefisien kekuatan lapis pondasi atas granular (granular base layers)
Pada Gambar 2.18 ditunjukkan grafik yang dapat digunakan untuk memerkirakan koefisien kekuatan lapis pondasi atas (a2).
Gambar 2.18 Koefisien Kekuatan Lapis Pondasi Atas Menurut Parameter Kekuatan
9. Koefisien Drainase (m)
Koefisien drainase (m) merupakan fungsi dari kualitas drainase dan persen waktu struktur perkerasan selama setahun yang dipengaruhi oleh kadar air yang mendekati jenuh. AASHTO 1993 membagi Kualitas drainase menjadi 5 tingkat, seperti pada Tabel 2.13.
Tabel 2.13 Kualitas Drainase
Kualitas Drainase Waktu yang dibutuhkan untuk menghilangkan air
Baik sekali 2 jam
Baik 1 Hari
Cukup 1 Minggu
Buruk 1 Bulan
Buruk sekali Air tidak akan surut Sumber : ASSHTO 1993
27 Berdasarkan kualitas drainase pada lokasi jalan tersebut maka dapatlah ditentukan koefisien drainase dari lapisan perkerasan jalan. AASHTO 1993 memberikan daftar koefisien drainase seperti pada Tabel 2.8.
Tabel 2.14 Koefisien Drainase (m) Untuk Perkerasan Lentur Kualitas
Drainase
Persen Waktu Struktur Perkerasan Dipengaruhi Oleh Kadar Air Yang Mendekati Jenuh
< 1 % 1 - 5 % 5 - 25 % > 25 % Baik Sekali 1,40 - 1,30 1,35 - 1,30 1,30 - 1,20 1,2
Baik 1,35 - 1,25 1,25 - 1,15 1,15 - 1,00 1
Sedang 1,25 - 1,15 1,15 - 1,05 1,00 - 0,80 0,8 Jelek 1,15 - 1,05 1,05 - 0,80 0,80 - 0,60 0,6 Jelek Sekali 1,05 - 0,95 0,08 - 0,75 0,60 - 0,40 0,4
Sumber : ASSHTO 1993
Koefisien kekuatan lapis pondasi bawah granular (granular subbase layers)
Pada Gambar 2.19 ditunjukkan grafik yang dapat digunakan untuk memerkirakan koefisien kekuatan lapis pondasi bawah (a3).
Gambar 2.19 Koefisien Kekuatan Lapis Pondasi Bawah Menurut Parameter Kekuatan
sumber : AASHTO 1993
d. Faktor Lingkungan
28 Persamaan -persamaan yang digunakan untuk perencanaan AASHTO didasarkan atas hasil pengujian dan pengamatan pada jalan percobaan selama lebih kurang 2 tahun. Pengaruh jangka panjang dari temperatur dan kelembaban pada penurunan daya layan (serviceability) belum dipertimbangkan. Satu hal yang menarik dari faktor lingkungan ini adalah pengaruh dari kondisi swell dan frost heave dipertimbangkan, maka penurunan daya layan (serviceability) diperhitungkan selama masa analisis yang kemudian berpengaruh pada umur rencana perkerasan.
Metoda dan tata cara perhitungan penurunan serviceability ini dimuat pada metoda AASHTO’93 untuk perkerasan yang sudah rusak dan tidak bisa dilewati, nilai serviceability diberikan sebesar 1.5, nilai daya layan rusak (failure serviceability, Pf)
Gambar 2.20 Ketentuan perencanaan menurut ASSHTO 1993 Sumber : Highway Pavement Design, AASHTO 1993
D1* ≥ ... (2.18) D1* = SN1 x a1...(2.19) SN1* = D1* a1 ...(2.20) Nilai SN1* ≥ SN1
D2* ≥ SN2-SN1* ………...…(2.21) a2m2
SN2* = D2*x a2 x m2……….(2.22) SN1* + SN2* ≥ SN2……….……….(2.23) D3* ≥ SN3 – (SN1* + SN2*) ……….………(2.24) a3m3
Tabel 2.15 Tebal Minimum Tiap Lapisan Perkerasan Dalam Inci Volume lalu lintas ESAL Beton aspal (inch) Pondasi
Agregat(inch)
<50.000 1,0 4
50.001-150.000 2,0 4
150.001-500.000 2,5 4
500.001-2.000.000 3,0 6
2.000.001-7.000.000 3,5 6
29
>7.000.000 4,0 6
Sumber : Highway Pavement Design, AASHTO 1993
2.3 DRAINASE PERMUKAAN 2.3.1 Pengertian Drainase
Drainase adalah mengalirkan, menguras, membuang, atau mengalihkan air. Secara umum, drainase didefinisikan sebagai serangkaian bangunan air yang berfungsi untuk mengurangi atau membuang kelebihan air dari suatu kawasan atau lahan, sehingga lahan dapat difungsikan secara optimal (Suripin 2004).
2.3.2 Fungsi Drainase
1. Mencegah terjadinya genangan air pada permukaan badan jalan dengan memotong bahu jalan yang tinggi.
2. Menghindarkan penggenangan segmen yang rendah dengan menaikkan timbunan dan / atau menyediakan gorong – gorong yang memadai atau jembatan.
3. Mencegah agar air tanah tidak naik pada badan jalan dengan cara memelihara selokan tepi atau membuat saluran gorong-gorong yang memotong badan jalan.
4. Untuk mengurangi dan membuang kelebihan air dari suatu kawasan atau lahan, sehingga lahan dapat berfungsi sacara optimal.
5. Pengendali kebutuhan air permukaan dengan tindakan untuk memperbaiki daerah becek, genangan air dan banjir.
6. Mengeringkan daerah becek dan genangan air sehingga tidak ada akumulasi air tanah.
7. Mengendalikan erosi tanah, kerusakan jalan dan bangunan yang ada.
8. Mengendalikan air hujan yang berlebihan sehingga tidak akan terjadi banjir pada badan jalan dan lokasi sekitarnya
2.3.3 Curah Hujan
2.3.3.1 Hujan Rencana Pada Masa Ulang (T) Tahun
Untuk menghitung besarnya hujan rencana, dapat digunakan berbagai cara tergantung data curah hujan yang tersedia. Pada analisis Gumbel, data curah hujan maksimum disusun berdasarkan urutan tahun
30 pengamatan, kemudian besarnya curah hujan disusun kembali dari yang terbesar sampai yang terkecil. Setelah itu dicari curah hujan rata-rata, dengan menggunakan Persamaan 2.25.
Hujan Rata-Rata ( Ū ) = ………..(2.25) Dimana : ( Ū ) = Hujan rata-rata (mm)
∑ X = Jumlah curah hujan (mm) N = Jumlah tahun pengamatan
Kemudian dicari nilai standar deviasi, seperti persamaan 2.26 berikut : Standar deviasi (Sx) = ( ) ………(2.26) Dari nilai standar deviasi, kemudian dicari nilai frekuensi Hujan periode
ulang T, dengan menggunakan Persamaan 2.27 :
Rt = Ū + (K.Sx)………(2.27) Dimana : Rt = Frekuensi hujan pada periode ulang T
Sx = Standar deviasi
K = Koefisien (m), berdasarkan Tabel 2.15.
Tabel 2.16 Curah Hujan pada periode T
T Lama Pengamatan (Tahun)
10 15 20 25 30
2 -0,1355 -0,1434 -0,1478 -0,1506 -0,1526 5 1,058 0,9672 0,9186 0,8878 0,8663 10 1,8482 1,7023 1,6246 1,5752 1,5408 20 2,6064 2,4078 2,302 2,2348 2,1881 25 2,8468 2,6315 2,5168 2,444 2,3933 50 3,5875 3,3207 3,1787 3,0884 3,0256 100 4,3228 4,0048 3,8356 3,7281 3,6533
Sumber : Hendarsin, Shirley L. 2008.
2.3.3.2 Intensitas Hujan Rencana
Intensitas hujan diperoleh dengan cara melakukan analisis data hujan baik secara statistik maupun secara empiris. Biasanya intensitas hujan dihubungkan dengan durasi hujan jangka pendek misalnya 5 menit, 30 menit, 60 menit dan jamjaman. Data curah hujan jangka pendek ini hanya dapat diperoleh dengan menggunakan alat pencatat hujan otomatis.
Apabila data hujan jangka pendek tidak tersedia, yang ada hanya data hujan harian, maka intensitas hujan dapat dihitung dengan Persamaan 2.28 dari rumus Mononobe.
I = ………..(2.28)
Dimana :
31 a dan b = Hasil Perhitungan Weduwen
I = Intensitas hujan (mm/jam) tc = Waktu Konsentrasi
Menghitung a dan b dengan cara Weduwen, berikut adalah parameter untuk menghitung a dan b dengan cara Weduwen.
Jumlah tahun pengamatan (n)
Periode ulang (tahun)
Untuk n (tahun), Nilai mp didapat pada Tabel 2.15.
Tabel 2.17 Koefisien (m) dari Weduwen
(n) mr / mp (n)
mr / mp (n)
mr / mp
jumlah tahun jumlah tahun jumlah tahun
1 0,410 15 0,765 60 0,975
2 0,492 20 0,811 70 1,000
3 0,541 25 0,845 80 1,020
4 0,579 30 0,875 90 1,030
5 0,602 40 0,915 100 1,050
10 0,705 50 0,948 125 1,080
Sumber : Hendarsin, Shirley L. 2008.
2.3.3.3 Koefisien Pengaliran
Perhitungan koefisien pengaliran atau koefisien limpasan (Cw) menggunakan Persamaan 2.29.
Cw =
………(2.29)
Dimana :
C1 = untuk kondisi jalan beraspal sesuai dengan Tabel 2.16.
C2 = untuk kondisi bahu jalan sesuai dengan Tabel 2.16.
C3 = untuk kondisi eksisting dilapangan, sesuai dengan Tabel 2.16
Tabel 2.18 Koefisien Lapisan (C) Berdasarkan Kondisi Permukaan Eksisting
Kondisi Permukaan Tanah C
Jalur lalu lintas Jalan aspal 0.70 – 0.95
Jalan kerikil 0.30 – 0.70
Bahu jalan dan lereng
Tanah berbutir halus 0.40 – 0.65 Tanah berbutir kasar 0.10 – 0.30 Tanah berbutir keras 0.70 – 0.85
Lanjutan tabel 2.15
Tanah berbutir lunak 0.50 – 0.75 Tanah pasir tertutup
rumput Kelandaian 0 – 2% 0.05 – 0.10
2 – 7 % 0.10 – 0.15
≥ 7 % 0.15 – 0.20
32
Tanah kohesif
tertutup tumput kelandaian 0 – 2% 0.13 – 0.17
2 – 7 % 0.18 – 0.22
≥ 7 % 0.25 – 0.35
Atap 0.75 – 0.95
Tanah lapangan 0.20 – 0.40
Taman dipenuhi rumput dan pepohonan 0.10 – 0.25
Daerah pegunungan datar 0.30
Daerah pegunungan curam 0.50
Sawah 0.70 – 0.80
Ladang / huma 0.10 – 0.30
Sumber : Hendarsin, Shirley L. 2008.
2.3.3.4 Waktu Konsentrasi
Waktu konsentrasi (Tc) dibagi dua, yaitu (t1) waktu untuk mencapai awal saluran (inlet) dan (t2) waktu pengaliran. Inlet time dipengaruhi oleh banyak faktor seperti kondisi dan kelandaian permukaan, luas dan bentuk daerah tangkapan dan lainnya.
={ x 3.28 x Lt x
………...…….(2.30) Dimana :
t1 = inlet time, dalam (menit)
Lt = panjang dari titik terjauh sampai sarana drainase (m) k = kelandaian permukaa
= koefisien hambatan (berdasarkan tabel 2.18)
Tabel 2.19 Koefisien Hambatan
Kondisi permukaan yang dilalui aliran nd Lapisan semen dan aspal beton 0.013 Permukaan halus dan kedap air 0.02
Permukaan halus dan padat 0.10 Lapangan dengan rumput jarang dan tanah
lapangan kosong dengan permukaan cukup kasar
0.20 Lading dan lapangan rumput 0.40
Hutan 0.60
Hutan rimba 0.80
Sumber : Wesli, 2008
Waktu pengaliran, dapat diperoleh sebagai pendekatan dengan membagi panjang aliran maksimumm dari saluran samping dengan kecepatan rata-rata aliran pada saluran tersebut.
t2 = ( ) ………..(2.31)
Dimana : L = Panjang saluran (m) t2 = waktu pengaliran (menit) Jadi waktu konsentrasi (Tc) = ( t1 + t2 )
33 2.3.3.5 Debit Aliran
Dimensi sarana drainase yang diperlukan pada perencanaan drainase jalan raya ini dihitung berdasarkan kapasitas yang diperlukan saluran, yaitu saluran harus dapat menampung besarnya debit aliran rencana yang timbul akibat hujan pada daerah aliran, sehingga diperoleh hasil dari proses perhitungan Qsaluran ≥ Qaliran.
Untuk perhitungan aliran rencana akibat hujan (Qr), banyak disarankan oleh JICA, The Asphalt Institute, AASHTO, maupun SNI yaitu menggunakan metoda Rasional yang mengunakan rumus empiris dari hubungan antara curah hujan dengan limpasan (debit), seperti pada Persamaan 2.32.
Q = ………...(2.32)
Dimana : Q = debit limpasan ( /det )
C = koefisien limpasan atau pengaliran ( tak berdimensi ) A = luas daerah tangkapan hujan ( )
Untuk perencanaan dimensi saluran digunakan metoda Manning sebagai berikut:
Q = V.A ………(2.33) V = ………...(2.34)
R = ……….(2.35)
Dimana : V = kecapatan rata-rata aliran air (m/det) R = jari-jari hidrolik (m)
S = Kemiringan
n = koefisien kekasaran (n) dari Manning berdasarkan Tabel 2.18.
A = luas basah penampang (m2) P = Keliling basah saluran (m)
Tabel 2.20 Koefisien Kekasaran dari manning (n)
Jenis sarana drainase Koefisien (n)
Tak diperkeras Tanah 0.020 – 0.025
Pasir dan kerikil 0.025 – 0.040
Dasar saluran bantuan 0.025 – 0.035
Dibuat ditempat Semen mortar 0.010 – 0.013
Beton 0.013 – 0.018
34 Batu belah Pasangan batu
adukan bata
0.015 – 0.030 Pasangan adukan
kering
0.025 – 0.035 Dipasang
ditempat
Pipa beton sentrifugal 0.011 – 0.014
Pipa beton 0.012 – 0.016
Pipa bergelombang 0.016 – 0.025
Sumber : Wesli, 2008
2.3.4 Prinsip – Prinsip Sistem Drainase
1. Kemiringan Melintang Pada Perkerasan Jalan, Bahu Jalan dan Selokan Samping
a. Pada Daerah Jalan yang Datar dan Lurus
Penanganan pengendalian air untuk daerah ini biasanya dengan membuat kemiringan perkerasan dan bahu jalan mulai dari tengah perkerasan menurun / melandai kearah selokan samping. Besarnya kemiringan badan jalan biasanya diambil 2% lebih besar daripada kemiringan –permukaan jalan. Besarnya kemiringan melintang normal pada perkerasan jalan dilihat seperti tercantum pada Tabel 2.19 dibawah ini :
Tabel 2.21 Kemiringan Normal Jalan
No . Jenis lapisan permukaan jalan
Kemiringan melintang
(%)
1.
2.
3.
4.
Beraaspal , beton Japat Kerikil
Tanah
2% - 3%
4% - 6%
3% - 6%
4% - 6%
Sumber: Petunnjuk Desain Drainase Permukaan Jalan No.008/T/BNKT/1990
b. Daerah Jalan yang Lurus Pada Tanjakan / Penurunan.
Penanganan pengendalian air pada daerah ini perlu mempertimbangkan pula bessarnya kemiringan alinyemen vertikal jalan yang berupa tanjakan dan turunan agar supaya aliran air secepatnya bisa mengalir ke selokan samping. Untuk itu maka kemiringan melintang perkerasan jalan disarankan agar menggunakan nilai-nilai maksimum dari Tabel 2.19.
c. Pada Daerah Tikungan
Kemiringan melintang perkerasan jalan pada daerah ini biasanya harus mempertimbangkan pula kebutuhan kemiringan jalan menurut
35 persyaratan alinyemen horizontal jalan (lihat buku Geometrik) karena itu kemiringan perkerasan jalan harus dimulai dari sisi luar tikungan menurun/melandai ke sisi dalam tikungan. Besarnya kemiringan pada daerah ini ditentukan oleh nilai maksimum dari kebutuhan kemiringan alinyemen horizontal atau kebutuhan kemiringan menurut keperluan drainase.
2. Selokan Samping
Selokan samping adalah selokan yang dibuat disisi kiri dan kanan badan jalan.
a. Fungsi Selokan Samping
Menampung dan membuang air yang berasal dari permukaan jalan
Menampung dan membuang air yang bersal dari daerah pengaliran sekitar jalan
Dalam hal aerah pengaliran luas sekali atau terdapat air limbah maka untuk itu harus dibuat system drainase terpisah / tersendiri b. Bahan Rangunan Selokan Samping
Pemilihan jenis material untuk selokan samping umumnya ditentukan oleh besarnya kecepatan rencana aliran air yang melewati selokan samping. Pada Tabel 2.20 menjelaskan kecepatan aliran berdasarkan jenis material..
Tabel 2.22 Kecepatan Aliran Air yang Diizinkan Berdasarkan Jenis Material
Jenis bahan
Kecepatan aliran air yang diizinkan
(m/det) Pasir halus
Lempung kepasiran Lanau alluvial
Kerikil halus Lempung kokoh
Kerikil kasar Batu-batu besar
Pasangan batu Beton Beton bertulang
0.45 0.50 0.60 0.75 0.75 1.10 1.20 1.50 1.50 1.50
Sumber; Petunjuk Desain Drainase Permukaan Jalan No.0088/T/BNKT/1990
36 2.4 Bangunan Pelengkap Jalan
2.4.1 Lampu Penerangan Jalan Umum
Lampu penerangan jalan adalah bagian dari bangunan pelengkap jalan yang dapat diletakkan/dipasang di kiri/kanan jalan atau di tengah (median jalan), digunakan untuk menerangi jalan maupun lingkungan disekitar jalan.
1. Fungsi dari Lampu Penerangan jalan
Fungsi dari lampu penerangan jalan antara lain untuk:
Meningkatkan keselamatan dan kenyamanan pengendara, khususnya untuk mengantisipasi situasi perjalanan pada malam hari.
Memberi penerangan sebaik-baiknya menyerupai kondisi di siang hari.
Perencanaan penerangan jalan umum, terkait pada kriteria yang dibutuhkan, diantaranya adalah :
o Volume lalu-lintas, baik kendaraan maupun lingkungan yang bersinggungan seperti pejalan kaki, pengayuh sepeda, dll.
o Tipikal potongan melintang jalan, situasi (lay-out) jalan dan persimpangan jalan.
o Geometri jalan, seperti alinyemen horisontal, alinyemen vertikal, dll.
o Tekstur perkerasan dan jenis perkerasan yang mempengaruhi pantulan cahaya lampu penerangan.
o Pemilihan jenis dan kualitas sumber cahaya/lampu, data fotometrik lampu dan lokasi sumber listrik.
o Tingkat kebutuhan, biaya operasi, biaya pemeliharaan, dan lain- lain, agar perencanaan sistem lampu penerangan efektif dan ekonomis.
o Rencana jangka panjang pengembangan jalan dan pengembangan daerah sekitarnya.
o Data kecelakaan dan kerawanan di lokasi.
2. Jenis Lampu Penerangan Jalan
Jenis lampu penerangan jalan ditinjau dari karakteristik dan penggunanannya. Pada Tabel 2.21 adalah penjelasan tentang jenis lampu penerangan jalan berdasarkan tingkat kebutuhannya.
Tabel 2.23 Jenis lampu Penerangan
Jenis Lampu Efisiensi rata- Umur Daya (watt) Keterangan