• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PERBANDINGAN HUKUM PEMBUATAN WASIAT BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DENGAN KOMPILASI HUKUM ISLAM SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ANALISIS PERBANDINGAN HUKUM PEMBUATAN WASIAT BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DENGAN KOMPILASI HUKUM ISLAM SKRIPSI"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PERBANDINGAN HUKUM PEMBUATAN WASIAT BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

DENGAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh:

Muhammad Panca Prana Mustaqim Sinaga NIM : 170200008

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM ISLAM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2021

(2)

ANALISIS PERBANDINGAN HUKUM PEMBUATAN WASIAT BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

DENGAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh:

Muhammad Panca Prana Mustaqim Sinaga NIM : 170200008

DISETUJUI OLEH:

KETUA PRODI S ILMU HUKUM

Dr. Yefrizawati, SH., M.Hum NIP. 197512102002122001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Utary Maharany Barus, SH., M.Hum Syaiful Azam, SH., M.Hum NIP 197501142002122002 NIP 196001061994031001

(3)

LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya:

NAMA : MUHAMMAD PANCA PRANA MUSTAQIM SINAGA

NIM : 1702000008

DEPARTEMEN : HUKUM KEPERDATAAN ( P.K. HUKUM ISLAM)

JUDUL SKRIPSI : ANALISIS PERBANDINGAN HUKUM PEMBUATAN WASIAT BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DENGAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

menyatakan bahwa:

1. Skripsi yang saya tulis adalah benar dan tidak merupakan ciplakan dari skripsi atau karya ilmiah orang lain.

2. Apabila terbukti di kemudian hari skripsi tersebut adalah ciplakan, maka segala akibat hukum yang timbul menjadi tanggung jawab saya.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa adanya paksaan atau tekanan dari pihak manapun.

Medan,8 Desember 2021

Muhammad Panca Prana Mustaqim Sinaga

(4)

KATA PENGANTAR

ِّﯿَﺳ ْﻦِﻣ َو ﺎَﻨِﺴُﻔْﻧَأ ِر ْوُﺮُﺷ ْﻦِﻣ ِ�ﺎِﺑ ُذﻮُﻌَﻧ َو ْهُﺮِﻔْﻐَﺘْﺴَﻧ َو ُﮫُﻨْﯿِﻌَﺘْﺴَﻧ َو ُهُﺪَﻤْﺤَﻧ ِ ﱠ ِ� َﺪْﻤَﺤْﻟا ﱠنِإ َﻼَﻓ ُﷲ ِهِﺪْﮭَﯾ ْﻦَﻣ ،ﺎَﻨِﻟﺎَﻤْﻋَأ ِتﺎَﺌ

.ُﮫَﻟ َيِدﺎَھ َﻼَﻓ ْﻞِﻠْﻀُﯾ ْﻦَﻣَو ُﮫَﻟ ﱠﻞ ِﻀُﻣ ُﱠ� ﱠﻻِإ َﮫَﻟِإ َﻻ ْنَأ ُﺪَﮭْﺷَأأ ُﮫُﻟﻮُﺳَرَو ُهُﺪْﺒَﻋ اًﺪﱠﻤَﺤُﻣ ﱠنَأ ُﺪَﮭْﺷَأَو ,ُﮫَﻟ َﻚْﯾ ِﺮَﺷ َﻻ ُهَﺪْﺣ َو .

.َن ْﻮُﻤِﻠْﺴﱡﻣ ْﻢُﺘﻧَأَو ﱠﻻِإ ﱠﻦُﺗ ْﻮُﻤَﺗ َﻻَو ِﮫِﺗﺎَﻘُﺗ ﱠﻖَﺣ َﷲ اﻮُﻘﱠﺗا اﻮُﻨَﻣاَﺀ َﻦْﯾِﺬﱠﻟا َﺎﮭﱡﯾَأﺎَﯾ ْﻢُﻜَﻘَﻠَﺧ ْيِﺬﱠﻟا ُﻢُﻜﱠﺑَر ا ْﻮُﻘﱠﺗا ُسﺎﱠﻨﻟا ﺎَﮭﱡﯾَأﺎَﯾ اﻮُﻘﱠﺗا َو ًﺀﺂَﺴِﻧ َو اًﺮْﯿِﺜَﻛ ًﻻﺎَﺟ ِر ﺎَﻤُﮭْﻨِﻣ ﱠﺚَﺑ َو ﺎَﮭَﺟ ْوَز ﺎَﮭْﻨِﻣ َﻖَﻠَﺧَو ٍةَﺪ ِﺣاَو ٍﺲْﻔَﻧ ْﻦِّﻣ

.ﺎًﺒْﯿِﻗَر ْﻢُﻜْﯿَﻠَﻋ َنﺎَﻛ َﷲ ﱠنِإ َمﺎَﺣ ْر َﻷْاَو ِﮫِﺑ َن ْﻮُﻟَﺀﺂَﺴَﺗ ْيِﺬﱠﻟا َﷲ ا ْﻮُﻟ ْﻮُﻗ َو َﷲ اﻮُﻘﱠﺗا اﻮُﻨَﻣاَﺀ َﻦْﯾِﺬﱠﻟا ﺎَﮭﱡﯾَأﺎَﯾ ُﮫَﻟ ْﻮُﺳَرَو َﷲ ِﻊِﻄُﯾ ْﻦَﻣَو ْﻢُﻜَﺑ ْﻮُﻧُذ ْﻢُﻜَﻟ ْﺮِﻔْﻐَﯾَو ْﻢُﻜَﻟﺎَﻤْﻋَأ ْﻢُﻜَﻟ ْﺢِﻠْﺼُﯾ .اًﺪْﯾِﺪَﺳ ًﻻ ْﻮَﻗ

.ﺎًﻤْﯿِﻈَﻋ اًز ْﻮَﻓ َزﺎَﻓ ْﺪَﻘَﻓ

ْﯿَﻠَﻋ ُﷲ ﱠﻞَﺻ ٍﺪﱠﻤَﺤُﻣ ُيْﺪَھ ِيﺪَﮭْﻟا َﺮْﯿَﺧ َو ِﷲ ُبﺎَﺘِﻛ ِﺚْﯾِﺪَﺤْﻟا َقَﺪْﺻَأ ﱠنِﺈَﻓ ؛ُﺪْﻌَﺑ ﺎﱠﻣَأ ،ﺎَﮭُﺗﺎَﺛَﺪَﺤُﻣ ِر ْﻮُﻣ ُﻷا ﱠﺮَﺷ َو ،َﻢﱠﻠَﺳَو ِﮫ

َﺿ ﱠﻞُﻛ َو ٍﺔﻟ َﻼَﺿ ٍﺔَﻋْﺪِﺑ ﱠﻞُﻛَو ٌﺔَﻋْﺪِﺑ ٍﺔَﺛَﺪْﺤُﻣ ﱠﻞُﻛ َو

ِرﺎﱠﻨﻟا ﻲِﻓ ٍﺔَﻟ َﻼ .

Segala puji bagi Allah Azza wa Jalla rabb seluruh alam, atas berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul “ANALISIS PERBANDINGAN HUKUM PEMBUATAN WASIAT BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DENGAN KOMPILASI HUKUM ISLAM”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Selama penulisan skripsi ini, penulis berusaha sebaik mungkin untuk menyajikan data yang valid agar dapat dibaca tanpa keraguan. Semoga Skripsi ini bisa dijadikan rujukan dalam pembuatan wasiat di Indonesia terutama bagi yang menerapkan pembuatan wasiat berdasarkan hukum Islam. Tetapi, penulis sadar

(5)

bahwa tulisan ini tidak luput dari kesalahan. Penulis berharap kritik dan saran dari berbagai pihak guna memberikan masukan demi kesempurnaan skripsi ini.

Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kedua orangtua penulis, Muhammad Santri Azhar Sinaga, S.H., dan Suriani, yang telah memberikan semangat, kasih sayang, selalu mendoakan serta memberikan cinta, kesabaran, perhatian, bantuan dan pengorbanan yang tak ternilai harganya dan mengiringi setiap langkah penulis dengan doa restunya yang tulus setiap harinya.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis mendapat dukungan dan bantuan dari banyak pihak. Penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada semua pihak yang banyak membantu, membimbing, dan memberikan motivasi:

1. Bapak Dr. Muryanto Amin, S.Sos., M.Si., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Dr. Agusmidah, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. Mohammad Eka Putra, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(6)

6. Ibu Dr. Yefrizawati, S.H., M.Hum., selaku Ketua Program Studi S1 Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Bapak Dr. Affila, S.H., M.Hum., selaku Program Studi S1 Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

8. Ibu Dr. Utary Maharany Barus, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I penulis. Terima kasih banyak kepada Ibu atas arahan, bimbingan dan waktu yang diberikan pada penulis demi terciptanya penelitian yang baik oleh penulis.

9. Bapak Syaiful Azam, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II penulis.

Terima kasih banyak kepada Bapak atas segala arahan, masukan, bimbingan serta waktu yang diluangkan untuk penulis selama penulisan skripsi ini.

10. Bapak Alwan, S.H., M.Hum., selaku Dosen Penasihat Akademik penulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

11. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen serta Staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmunya kepada penulis selama menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

12. Seluruh staf administrasi yang turut serta membantu saya dalam proses administrasi selama berada di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

13. Keluarga Besar yang selalu memberikan perhatian dan semangat dalam mendukung untuk menyelesaikan skripsi, terutama untuk keempat saudara kandung saya, Ari Jumaini Sinaga, S.Pd., Muhammad Mahendra Maskhur Sinaga, S.H., M.H., Muhammad Sanip Heri Sinaga, S.H., dan Suci Adha Aprilianti Sinaga, S.H.

(7)

14. Teman-teman Program Kekhususan Hukum Islam yang Bersama-sama telah memulai kelas khusus ini untuk pertama kalinya dan tetap teguh sampai kelas berakhir.

15. Teman-teman Debo Loper yang telah menemani penulis selama berkuliah di Fakultas Hukum baik senang maupun susah.

16. Dan segenap pihak yang membantu penulis dalam penulisan skripsi yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu,

Akhir kata, segala puji bagi Allah rabb seluruh alam. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam serta kepada pengikutnya keselamatan hingga tiba hari berbangkit. Allahu A’lam.

Medan,8 Desember 2021 Hormat Penulis,

Muhammad Panca Prana Mustaqim Sinaga

NIM. 170200008

(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………...….. iii

DAFTAR ISI ………..…. vii

ABSTRAK ………...…. ix

BAB I PENDAHULUAN ………..… 1

A. Latar Belakang ………. 1

B. Rumusan Masalah ……….... 7

C. Tujuan Penulisan ……….. 8

D. Manfaat Penulisan ……… 8

E. Metode Penelitian ………...………. 9

F. Keaslian Penulisan ……….……… 12

G. Sistematka Penulisan ………..……… 14

BAB II KETENTUAN HUKUM PEMBUATAN WASIAT KUH PERDATA DAN KHI DI INDONESIA ……….…… 16

A. Pengertian Wasiat menurut KUH Perdatadan KHI ………...….. 16

B. Dasar Hukum Wasiat menurut KUH Perdatadan KHI .……….. 18

C. Rukun, Syarat, dan Bentuk-bentuk Wasiat menurut KUH Perdata dan KHI ………...……… 22

D. Gugurnya Wasiat menurut KUH Perdata dan KHI …………..… 31

BAB III KEKUATAN HUKUM WASIAT TERHADAP KEWARISAN MENURUT KUH PERDATA DAN KHI ……….…..… 36

A. Uraian Singkat Tentang Hukum Waris menurut KUH Perdata dan KHI .……… 36

(9)

B. Kekuatan Hukum Wasiat terhadap Kewarisan menurut KUH

Perdata ………..……..…… 48

C. Kekuatan Hukum Wasiat terhadap Kewarisan menurut KHI ….. 53

BAB IV PERBEDAAN DAN PERSAMAAN KETENTUAN HUKUM PEMBUATAN WASIAT MENURUT KUH PERDATA DAN KHI……… 56

A. Persamaan Pengaturan Hukum Pembuatan Wasiat Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dengan Kompilasi Hukum Islam ………... 56

B. Perbedaan Pengaturan Hukum Pembuatan Wasiat Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dengan Kompilasi Hukum Islam ………... 64

BAB IV PENUTUP ………... 80

A. Kesimpulan ……….……….... 80

B. Saran ……….……….. 82

DAFTAR PUSTAKA ………..…… 84

(10)

ABSTRAK

Kematian adalah hal yang tidak mungkin dihindari dalam kehidupan manusia.

Ketika peristiwa kematian terjadi, maka akan ada keterlibatan orang-orang yang ditinggalkan dalam hal ini terdapat akibat hukum yang timbul dari peristiwa tersebut yaitu terbukanya hukum kewarisan. Dalam hukum kewarisan dikenal bahwa sebelum dilakukan pembaian waris, maka harus dilaksanakan terlebih dahulu wasiat dari pewaris. Indonesia sebagai Negara Hukum mengadopsi beberapa sistem hukum termasuk dalam hal waris dan wasiah yaitu, sistem hukum islam dalam hal ini Kompilasi Hukum Islam, hukum eropa yaitu Kitab Undang-undang Hukum Perdata, dan hukum adat. Akibat perbedaan sistem hukum tersebut menimbulkan kebingungan di masyarakat dalam menggunakannya karena terdapat perbedaan dalam pengaturan hukum wasiatnya. Berdasarkan hal itu penulis tertarik untuk membahas mengenai perbandingan hukum pembuatan wasiat berdasarkan KHI dan KUH Perdata. Adapun permasalahan yang perlu dibahas ialah pertama bagaimana ketentuan hukum pembuatan wasiat menurut KUH Perdata dan KHI di Indonesia?. Kedua, bagaimana kekuatan hukum wasiat terhadap kewarisan menurut KUH Perdata dan KHI?.

Serta ketiga bagaimana perbedaan dan persamaan ketentuan hukum pembuatan wasiat menurut KUH Perdata dan KHI?.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan meneiliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. Sumber data yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah data sekunder. yaitu data yang dalam keadaan siap dan dapat dipergunakan segera oleh peneliti- peneliti selanjutnya. Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer seperti al- Quran, Hadis, kitab fikih, fatwa ulama dan buku-buku terkait wasiat, bahan hukum sekunder seperti buku- buku teks yang ditulis oleh ahli hukum dan ahli fiqih, dokumen resmi, karya ilmiah, artikel, koran, majalah dan internet.

Adapun hasil dari penelitian ini adalah Kompilasi Hukum Islam dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata memiliki persamaan dalam mendefinisikan wasiat serta memberikan batasan wasiat untuk melindungi hak-hak ahli waris. Dalam hal kekuatan hukum wasiat terhadap waris, baik KHI dan KUH Perdata menempatkan wasiat lebih diutamakan untuk dilaksanakan terlebih dahulu sebelum harta waris dibagikan kepada ahli waris. Kemudian terdapat beberapa perbedaan diantara keduanya yaitu, batasan umur orang yang berwasiat, KHI membatasinya minimal 21 tahun, sedangkan KUH Perdata 18 tahun.

Lalu orang yang menerima wasiat tidak boleh bagian dari ahli waris kecuali ahli waris lain menyetujui menurut KHI, sedangkan KUH Perdata membolehkan wasiat kepada ahli waris. Bentuk wasiat menurut KUH Perdata bisa secara tertulis ataupun olograpis, namun tetap harus dicatatkan di hadapan notaris, sedangkan KHI memandang cukup bila hanya dilakukan di hadapan dua orang saksi. Kemudian dalam KUH Perdata dikenal erfsterling (wasiat pengangkatan waris), sedangkan KHI memandang ahli waris hanya sebatas yang disebutkan saja, dan tidak bisa melalui wasiat.

Kata kunci: Wasiat, Kompilasi Hukum Islam, Kitab Undang-undang Hukum Perdata

(11)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Kematian adalah hal yang tidak mungkin dihindari dalam kehidupan manusia. Kematian merupakan fakta hidup yang harus diterima oleh semua makhluk yang bernyawa, termasuk manusia. Kematian merupakan sesuatu yang tidak dapat diperkirakan kapan, dimana dan bagaimana terjadinya kematian itu, sehingga tidak hanya dialamai oleh kaum yang berusia lanjut, tetapi dapat juga dialami oleh para pemuda, remaja, anak-anak, bahkan bayi.1

Ketika peristiwa kematian terjadi, maka hal tersebut tidak hanya melibatkan dirinya sendiri, namun juga melibatkan orang-orang yang ditinggalkan.

Keterlibatan orang-orang yang ditinggalkan tersebut karena peristiwa kematian salah satunya mengenai akibat hukum yang timbul dari peristiwa tersebut yaitu terbukanya hukum kewarisan.

Indonesia sebagai Negara Hukum sebagaimana ditegaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum.2 Lebih lanjut dijelaskan juga dalam Penjelasan UUD NRI 1945 bahwa “Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtstaat) tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machstaat), oleh karena itu negara tidak boleh melaksanakan aktivitasnya atas dasar kekuasaan belaka, tetapi harus berdasarkan

1 Lisya Chairani Nurhidayati, Makna Kematian Orangtua Bagi Remaja (Studi Fenomenologi pada Remaja Pasca Kematian Orangtua), Jurnal Psikologi, Volume 10 No. 1, Juni 2014, hlm. 41.

2 Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

(12)

pada hukum”.3 Berdasarkan hal tersebut, hukum kewarisan di Indonesia didasari dengan hukum yang berlaku saat ini atau disebut sebagai hukum positif yang merupakan hukum yang dibentuk dan berlaku dalam suatu masyarakat negara pada suatu saat.4

Maka dalam hal hukum kewarisan ini diterapkanlah tiga macam sistem hukum yang berlaku diindonesia yaitu sistem hukum eropa, sistem hukum adat, dan sistem hukum agama. Hukum eropa mempengaruhi hukum di Indonesia akibat dari penjajah-penjajah yang menjajah Indonesia dengan memberlakukan hukumnya disini, terutama Belanda yang bahkan hukumnya masih dipergunakan di Indonesia sampai saat ini yang dalam hal kewarisan ini digunakanlah hukum perdata belanda berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hukum adat mempengaruhi hukum Indonesia karena keragaman suku dan adat istiadat di Indonesia yang tiap- tiap suku itu memiliki hukum-hukumnya sendiri, termasuk dalam pengaturan kewarisan, tiap-tiap adat memiliki hukum kewarisannya sendiri.

Hukum agama mempengaruhi hukum di Indonesia akibat dari penyebaran agama yang masuk dari luar ke Indonesia, kemudian hukum di Indonesia mendapat pengaruh yang kuat dari agama mayoritas di Indonesia yaitu agama Islam. Oleh sebab itu Indonesia menggunakan hukum Islam sebagai sistem hukum yang berlaku dan dipergunakan diindonesia termasuk dalam hal hukum kewarisan.5 Hukum

3 C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia cetakan ketiga, (Jakarta : Rineka Cipta, 2002), h.90.

4 Sorjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka, Aneka Cara Pembedaan Hukum, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1994), h.5.

5 Ibid.

(13)

Islam ini kemudian dibentuklah peraturannya di Indonesia yang kita kenal dengan Kompilasi Hukum Islam.

Hukum kewarisan atau hukum waris adalah hukum yang mengatur bagaimana hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu meninggal dunia akan beralih kepada orang yang masih hidup.6 Selain itu dalam hukum Islam, hukum waris tersebut dikenal dengan istilah Fiqh Mawarits yang berarti ketentuan mengenai peralihan harta peninggalan dari orang yang meninggal (pewaris) kepada yang masih hidup (ahli waris).7 Berdasarkan dalil dari Al-Quran bahwa Allah Azza wa Jalla berfirman :

ِلﺎَﺟ ِّﺮﻠِﻟ ٌﺐْﯿ ِﺼَﻧ ﺎﱠﻤِّﻣ َكَﺮَﺗ ِنٰﺪِﻟاَﻮْﻟا َۖن ْﻮُﺑَﺮْﻗَ ْﻻاَو ِءۤﺎَﺴِّﻨﻠِﻟَو

ٌﺐْﯿ ِﺼَﻧ ﺎﱠﻤِّﻣ َكَﺮَﺗ ِنٰﺪِﻟاَﻮْﻟا َن ْﻮُﺑَﺮْﻗَ ْﻻاَو ﺎﱠﻤِﻣ

ﱠﻞَﻗ ُﮫْﻨِﻣ ْوَا

َﺮُﺜَﻛ ﺎًﺒْﯿ ِﺼَﻧۗ ﺎًﺿ ْوُﺮْﻔﱠﻣ

“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu- bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.” (Q.S. An-Nisa’:7)8

Harta peninggalan itu sendiri ialah segala sesuatu yang menjadi milik seseorang, baik harta benda maupun hak-hak kebendaan yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia untuk diwarisi oleh ahli warisnya.9 Namun, sebelum

6 Wirjono Prodjodikiro, Hukum Warisan di Indonesia, (Bandung : Sumur Bandung, 1995), h.8.

7 Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri, Minhajul Muslim Edisi Indonesia, Terj. Musthofa

‘aini, Amir Hamzah Fachrudin dan Kholif Mutaqin(Jakarta : Darul Haq, Cet.23, 2019), h. 816.

8 Tim Penyusun Insan Media Pustaka, Kitab Al-Qur’an Al-Fatih, (Jakarta : PT. Insan Media Pustaka, 2012), h. 78.

9 Moh. Muhibbin, Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), h.57.

(14)

harta yang ditinggalkan pewaris itu dibagi-bagikan kepada ahli warisnya, terlebih dahulu dikeluarkan hak-hak yang berkaitan dengan harta peninggalan tersebut yang salah satunya adalah pelaksanaan wasiat dari pewaris.

Wasiat adalah suatu ucapan atau pernyataan dari seseorang tentang apa yang ingin ia kehendaki setelah ia meninggal dunia, juga merupakan pemberian yang berupa benda, piutang, maupun manfaat untuk dimiliki oleh penerima wasiat.

Sedangkan dalam hukum Islam wasiat merupakan perjanjian untuk mengurus sesuatu atau mendermakan harta setelah wafat yang mencakup wasiat kepada orang yang melakukan pelunasan utang atau memberikan suatu hak, atau menngurus kepentingan anak-anak yang masih kecil hingga mereka dewasa, serta wasiat atas sesuatu yang diserahkan kepada pihak yang diwasiati.10

Sebagaimana hukum kewarisan, ketentuan mengenai wasiat pun berdasarakan tiga hukum tersebut, yaitu hukum eropa, hukum adat, dan hukum Islam. Namun, di Indonesia sendiri pembuatan wasiat lebih banyak menggunakan hukum eropa sebagai hukum umum di Indonesia yang pelaksanaannya berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), dan hukum Islam yang pelaksanaannya berdasarkan hukum fiqih secara langsung dan/atau Kompilasi Hukum Islam (KHI). Mengenai wasiat KUH Perdata mengaturnya mulai dari pasal 874 sampai dengan pasal 1022 sedangakan KHI mengaturnya mulai dari pasal 194 sampai dengan pasal 209.

Pada praktiknya, masyarakat dapat mengunnakan KUH Perdata ataupun KHI sebagai sumber dan dasar mereka dalam melakukan dan membuata suatu

10 Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri, Op.Cit., h.730.

(15)

wasiat. Namun, akibat dari keduanya dapat digunakan terdapat kebingungan di msyarakat dikarenakan pengaturan yang terdapat dalam KHI tidak kesemua peraturannya sama dengan yang terdapat dalam KUH Perdata. Sehingga hal itu juga terkadang yang menyebabkan terjadinya permasalahan atau sengketa di masyarakat.

Adapun permasalahan yang timbul karena adanya perbedaan pengaturan antara KHI dan KUH Perdata diantaranya: pertama, mengenai surat wasiat yang harus disimpan kepada notaris. KUH Perdata pada pasal 932 menegaskan bahwa surat wasiat yang telah ditulis dan ditandatangani oleh yang mewariskan harus disimpan kepada seorang notaris11, sedangkan KHI menyebutkan pada pasal 195 ayat (1) bahwa wasiat dilakukan secara lisan dihadapan dua orang saksi, atau secara tertulis dihadapan dua orang saksi, atau dihadapan notaris. Frasa “atau” yang dipergunakan dalam KHI tidak menunjukkan keharusan suatu surat wasiat disimpan dan/atau dibuat dihadapan seorang notaris, sehingga ketika seorang pewasiat menggunakan dasar KHI tersebut, membuat surat wasiat itu sulit dijadikan dasar ataupun alat bukti dihadapan pengadilan karena tidak dibuat di notaris.

Kedua, mengenai erfstelling yaitu wasiat pengangkatan waris. Di dalam KUH Perdata terdapat yang Namanya erfstelling, sehingga seseorang dapat menjadi ahli waris hanya dengan ditunjuk dengan surat wasiat dan memiliki kedudukan yang sama dengan ahli warisnya sebagaimana dinyatakan dalam pasal 955 KUH Perdata bahwa pada waktu meninggalnya pewaris dengan sendirinya menurut

11 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata : Burgerlijk Wetboek, (Jakarta : Balai Pustaka, 2017), h.268.

(16)

hukum para ahli waris baik yang diangkat berdasarkan wasiat maupun yang oleh undang-undang diberikan suatu bagian dalam harta warisan.12 Sedangkan hukum Islam tidak mengenal hal tersebut, bahkan tidak membenarkannya, sebab seseorang yang menerima wasiat tidak dapat memiliki kedudukan yang sama dengan ahli waris dalam pembagian waris. Ketiga, mengenai jumlah harta peninggalan yang dapat diwasiatkan, hukum Islam membatasinya dengan jumlah sepertiga dari seluruh harta peninggalan. Hal ini berdasarkan sebuah riwayat ketika Sa’ad bin Abi Waqqash radhiallahu ‘anhu menanyai nabi mengenai wasiat kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam, apakah boleh mensedekahkan dua pertiga hartanya atau separuh hartanya, namun Rasulullah menjawab tidak boleh, kemudian ia bertanya lagi dengan jumlah sepertiga, kemudian Rasulullah menjawab,

“Cukup sepertiga, dan sepertiga itu sudah banyak. Sesungguhnya kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan (kaya) lebih baik bagimu daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin, meminta-minta kepada manusia lainnya” (muttafaqun ‘alaih)13

Berdasarkan hukum Islam tersebut juga KHI pada pasal 201 menegaskan bahwa dalam hal wasiat melebihi sepertiga dari harta warisan sedangkan ada ahli waris yang tidak menyetujui, maka wasiat hanya dilaksanakan sampai batas sepertiga harta warisan. Sedangkan KUH Perdata tidak membatasinya hanya dengan sepertiga bagian saja, akan tetapi wasiat itu tidak boleh melebihi atau mengambil bagian mutlak yang telah ditentukan yang tiap ahli waris memiliki

12 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Op.Cit., h.275.

13 Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri, Op.Cit., h.732.

(17)

bagian mutlak yang berbeda sesuai dengan kondisi yang ada juga atau dikenal dengan legitime portie. Karena perbedaan Batasan tersebut juga terjadi sengketa di dalam masyarakat karena perbedaan dasar hukum yang ingin mereka gunakan tersebut, namun banyak dari masyarakat itu juga yang tidak mengetahui adanya perbedaan diantara kedua peraturan tersebut, sehingga kebanyakan msyarakat menganggapnya memiliki aturan yang sama.

Melihat masih kurangnya pemahaman di masyarakat, sehingga menimbulkan permasalahan-permasalahan sebagaimana yang telah dijelaskan di latar belakang ini, maka perlulah dilakukan penelitian yang berjudul “Analisis Perbandingan Hukum Pembuatan Wasiat Berdasarkan Kitab Undang- Undang Hukum Perdata Dengan Kompilasi Hukum Islam”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis paparkan sebelumnya, penulis memilih beberapa hal yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini. Adapun permasalahan yang akan dibahas, antara lain :

1. Bagaimana Ketentuan Hukum Pembuatan Wasiat Menurut KUH Perdata dan KHI di Indonesia?

2. Bagaimana Kekuatan Hukum Wasiat Terhadap Kewarisan Menurut KUH Perdata dan KHI?

3. Bagaimana Perbedaan dan Persamaan Ketentuan Hukum Pembuatan Wasiat Menurut KUH Perdata dan KHI?

(18)

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Menjelaskan Ketentuan Hukum Pembuatan Wasiat Menurut KUH Perdata dan KHI di Indonesia

2. Menjelaskan Kekuatan Hukum Wasiat Terhadap Kewarisan Menurut KUH Perdata dan KHI

3. Menjelaskan dan mendeskripsikan Perbedaan dan Persamaan Ketentuan Hukum Pembuatan Wasiat Menurut KUH Perdata dan KHI

D. Manfaat Penulisan

Setiap penelitian harus memiliki manfaat bagi pemecahan masalah yang diteliti. Manfaat penelitian dapat ditinjau dari dua segi, yaitu dari segi teoritis dan praktis. Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat menambahkan khazanah keilmuan bagi pengembangan pengetahuan ilmu hukum, khususnya Hukum Islam terutama yang berkaitan dengan Perbandingan ketentuan hukum pembuatan wasiat menurut KUH Perdata dan KHI.

b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi untuk bahan kuliah hukum Islam, terutama yang berkaitan dengan Ketentuan hukum pembuatan wasiat berdasarkan Kompilasi Hukum Islam yang diperbandingkan dengan KUH Perdata.

(19)

2. Manfaat Praktis

a. Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan pemikiran, literatur maupun pengetahuan bagi semua pihak yang ingin meneliti permasalahan yang sama.

b. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan hukum bagi masyarakat dalam pembuatan wasiat.

E. Metode Penelitian

Dalam melakukan suatu penelitian, tidak akan terlepas dari penggunaan metode. Karena metode penelitian merupakan cara atau jalan yang digunakan dalam sebuah penelitian atau bagaimana seseorang harus bertindak. Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu.14

Maka untuk penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif, yakni merupakan suatu strategi inquiry yang menekankan pencarian makna, pengertian, konsep, karakteristik, gejala, simbol, maupun deskripsi tentang suatu fenomena; fokus dan multi metode, bersifat alami dan holistik, mengutamakan kualitas, menggunakan beberapa cara, serta disajikan secara naratif.15

14 Beni Ahmad Saebani, Metode Penelitian, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2008), h. 43.

15 A. Muri Yusuf, Metode Penelitian; Kuantitatif, Kualitatif dan Penelitian Gabungan, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2014), h. 329.

(20)

1. Jenis Penelitian

Menurut Beni Ahmad Saebani jenis penelitian hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: Pertama, penelitian hukum normatif, penelitian hukum normatif biasanya yang diteliti hanya bahan pustaka atau data sekunder, yang mungkin mencakup bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Kedua, penelitian hukum sosiologis atau empiris, yang diteliti pada awalnya adalah data sekunder, untuk kemudian dilanjutkan dengan penelitian terhadap data primer lapangan, atau terhadap masyarakat.16

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian hukum normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan meneiliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.17 Sesuai dengan karakteristik kajiannya, maka penelitian ini menggunakan metode library research (kajian kepustakaan) dengan pendekatan kualitatif.

2. Jenis Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data yang tidak diperoleh langsung dari sumbernya, tetapi diperoleh dari bahan pustaka, antara lain buku-buku, literatur, peraturan perundang-undangan, hasil penelitian terdahulu, artikel, internet dan sumber lain yang berkaitan dengan penelitian ini.

16 Beni Ahmad Saebani, Op.cit., h. 51.

17 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), (Jakarta: Rajawali Press, 2001), h. 13-14.

(21)

3. Sumber Data

Menurut Beni Ahmad Saebani18, yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian adalah subjek dari mana data dapat diperoleh. Sumber data dalam penelitian diperoleh melalui dua sumber, yaitu Sumber data Primer dan Sumber data Sekunder.

Dalam penelitian normatif sumber data yang digunakan adalah sumber data sekunder, yaitu data yang bersumber dari bahan-bahan kepustakaan, berupa dokumen, buku, laporan, arsip, dan literatur-literatur yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Sumber data sekunder yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer yang penulis gunakan dalam penelitian ini antara lain :

a. Firman Allah Azza wa Jalla dalam Al- Qur’an;

b. Hadits atau Sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam;

c. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) d. Kompilasi Hukum Islam

e. Kitab Fiqih dan Fatwa Ulama b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder sebagai pendukung dari data sekunder bahan hukum primer yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu terdiri atas :

18 Beni Ahmad Saebani, Op.cit., h. 93.

(22)

buku- buku teks yang ditulis oleh ahli hukum dan ahli fiqih, dokumen resmi, karya ilmiah, artikel, koran, majalah dan internet.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yaitu kamus maupun ensiklopedia.

4. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan (library Research), yaitu pengumpulan data sekunder dari peraturan perundang-undangan, buku-buku, dokumen, artikel, dan pengumpulan data yang diambil melalui internet, yang digunakan sebagai data penunjang dalam penulisan penelitian hukum. Selain itu juga menggunakan metode pengumpulan data dengan studi lapangan (field research), dengan mewawancarai informan, yaitu Notaris dan akademisi.

5. Analisis Data

Data yang telah dikumpulkan dianalisis secara deskriptif kualitatif, yaitu menguraikan seluruh permasalahan yang ada dengan jelas. Kemudian ditarik kesimpulan secara deduktif, yakni menarik suatu simpulan dari penguraian bersifat umum ditarik ke khusus, sehingga penyajian hasil penelitian ini dapat dipahami dengan mudah.

F. Keaslian Penulisan

Skripsi ANALISIS PERBANDINGAN HUKUM PEMBUATAN WASIAT BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM

(23)

PERDATA DENGAN KOMPILASI HUKUM ISLAM berdasarkan hasil penelusuran berkaitan dengan judul tersebut di atas, belum pernah diteliti oleh peneliti sebelumnya. Namun, terdapat beberapa penelitian yang meneliti tentang wasiat juga, antara lain :

1. Khoirul Aziz, (2009), Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, yang meneliti “Akta Wasiat menurut Kompilasi Hukum Islam dan KUHPerdata”. Penelitian ini juga meneliti mengenai perbedaan dan persamaanya anatar KHI dan KUH Perdatamengenai wasiat, namun hanya berfokus pada perbedaan dan persamaan bentuk dari akta wasiatnya saja.

2. Haiva Elisa, (2015), Universitas Sumatera Utara, yang meneliti

“Tinjauan Yuridis Terhadap Pembuatan Wasiat di Kantor Notaris Kota Medan”. Permasalahan pada penelitian ini adalah mengenai kekuatan hukum pemberian wasiat secara lisan atau tulisan namun tidak di hadapan notaris dan wasiat yang dilakukan seseorang ketika sakit keras.

3. Fajar Untari, (2019), Universitas Muhammadiyah Palembang, yang meneliti “Kekuatan Hukum Terhadapa Hibah Wasiat berdasarkan Pasal 968 KUH Perdata dan Hukum Islam”. Penelitian ini meneliti masalah bagaimana hibah wasiat itu menurut hukum perdata dan hukum Islam dengan focus utama membahas pasal 968 KUH Perdata.

Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya, yang dapat dilihat bahwa penelitian sebelumnya meneliti bagian tertentu dari wasiatnya dan ditempat tertentu saja, sedangkan penelitian ini membahasa seluruh perbandingan yang ada

(24)

pada Wasiat. Selain itu penelitian sebelumnya juga tidak membuat mengenai keterkaitannya dengan waris.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini dibuat secara terperinci dan sistematis agar memberikan kemudahan bagi pembacanya dalam memahami makna dan memperoleh manfaatnya. Keseluruhan sistematika skripsi ini merupakan suatu ketentuan yang saling berhubungan satu dengan yang lain yang dapat diuraikan sebagai berikut :

BAB I : Pendahuluan

Bab ini merupakan pendahuluan skripsi ini yang terdiri dari Latar Belakang, Rumusan Masalah, Manfaat Penulisan, Tujuan Penulisan, Metode Penelitian, Keaslian Penulisan, dan Sistematika Penulisan.

BAB II : Ketentuan Hukum Pembuatan Wasiat KUH Perdatadan KHI di Indonesia Pada bab II ini terdapat 4 (empat) sub bab pembahasan. Pembahasan pertama membahas tentang pengertian wasiat menurut KUH Perdatadan KHI.

pembahasan kedua membahas tentang dasar hukum wasiat menurut KUH Perdatadan KHI. Pembahasan ketiga membahas tentang rukun, syarat, dan bentuk- bentuk wasiat menurut KUH Perdatadan KHI. Pembahasan ketiga membahas tentang gugurnya wasiat menurut KUH Perdatadan KHI.

BAB III : Kekuatan Hukum Wasiat Terhadap Kewarisan Menurut KUH Perdatadan KHI

Pada bab III ini terdiri dari 2 (dua) sub bab pembahasan. Pembahasan pertama membahas tentang ketentuan hukum waris menurut KUH Perdatadan KHI.

(25)

pembahasan kedua membahas tentang kekuatan hukum wasiat terhadap kewarisan menurut KUH Perdatadan KHI.

BAB IV : Perbedaan Dan Persamaan Ketentuan Hukum Pembuatan Wasiat Menurut KUH Perdatadan KHI

Pada bab IV ini terdiri dari 2 (dua) sub bab pembahasan. Pembahasan pertama membahas tentang persamaan pengaturan hukum pembuatan wasiat berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan Kompilasi Hukum Islam. pembahasan kedua membahas tentang perbedaan pengaturan hukum pembuatan wasiat berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan Kompilasi Hukum Islam.

BAB V : Penutup

Pada bab V ini memaparkan kesimpulan dan saran dari hasil penelitian penulis.

(26)

BAB II

KETENTUAN HUKUM PEMBUATAN WASIAT MENURUT KUH PERDATA DAN KHI DI INDONESIA

A. Pengertian Wasiat menurut KUH Perdata dan KHI

Wasiat merupakan bagian dari hukum kewarisan. Pengertian wasiat ialah pernyataan kehendak oleh seseorang mengenai apa yang akan dilakukan terhadap hartanya setelah meninggal dunia19. Dalam pelaksanannya terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi agar terlaksana dengan baik. Hal di atas merupakan pengertian wasiat yang berhubungan dengan harta peninggalan dalam hukum kewarisan.

Wasiat dapat juga diartikan nasihat-nasihat atau kata-kata yang disampaikan atau dikehendaki seseorang untuk dilaksanakan setelah ia meninggal dunia. Wasiat yang demikian berkaitan dengan hak kekuasaan (tanggung jawab) yang akan dijalankan setelah ia meninggal dunia, misal seseorang berwasiat kepada orang lain agar menolong mendidik anaknya kelak, membayar hutangnya atau mengembalikan barang yang pernah dipinjamnya. Pelaksanaan wasiat tidak hanya diatur dalam hukum Islam dan KHI, hukum Perdata Belanda yang berlaku di Indonesia – yang tertuang dalam Kitab Undang- undang Hukum Perdata (KUH Perdata) – juga mengatur tentang wasiat.

KUH Perdata menyebut wasiat dengan testament (yaitu kehendak terakhir), bahwa apa yang dikehendaki seseorang akan terselenggara apabila telah meninggal dunia, dan juga dalam arti surat yang memuat ketetapan tentang hal tersebut.

19 Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), h.104.

(27)

Sehingga testament adalah suatu akta yang memuat pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya akan terjadi setelah meninggal dunia, yang mana hal tersebut dapat dicabut kembali.20 Sebagaimana pada pasal 875 KUH Perdata dinyatakan bahwa wasiat merupakan suatu pernyataan dari seseorang tentang apa yang dikehendaki setelahnya ia meninggal.21

Pasal 875 KUH Perdata yeng menerangkan arti wasiat atau testament memang sudah mengandung suatu Syarat, bahwa isi pernyataan itu tidak boleh bertentangan dengan undang-undang.22 Isi Suatu testament tidak udah terbatas pada hal-hal yang mengenai kekayaan harta benda saja. Maka suatu testament sah bila berisi penunjukan seorang wali untuk anak, pengakuan seorang anak luar kawin, atau selainnya.23 Menurut KUH Perdata ada dua macam testament, yaitu erfsterlling (wasiat pengangkatan wasiat atau penunjukan seorang atau beberapa orang menjadi ahli waris) dan legaat (hibah wasiat).24

Dalam hukum Islam sendiri wasiat berasal dari kata Washaitu-ushi asy- syai’a, artinya aku menyampaikan sesuatu. Oleh karena itu, orang yang berwasiat adalah orang yang menyampaikan pesan semasa hidup untuk dilaksanakan setelah kematiannya.25 Secara istilah syariat, wasiat adalah perintah untuk melakukan tindakan sesudah kematian. Hal ini mencakup mendermakan harta, menikahkan

20 J. Satrio, Hukum Waris, (Bandung: Alumni, 1992), h.180.

21 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Op.Cit., h.254.

22 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta Intermasa, 1996), h.122-123.

23 Ibid., h.108.

24 Tamakiran, Asas-Asas Hukum Waris Menurut Tiga Sistem Hukum, (Bandung: Pioner Jaya, 1992), h.29.

25 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Terj. Mukhlisin Adz-Dzaki, Arif Hidayat, Ahmad Rifa’i dan Abu Fadhil (Surakarta : Insan Kamil, 2016), h.549.

(28)

anak perempuan, memandikan jenazah, menshalatinya, membagi-bagian sepertiga harta, dan selainnya.26

Semakna dengan hukum Islam, menurut pasal 171 huruf (f) KHI, yang dimaksud dengan wasiat ialah pemberian sesuatu kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah meninggal dunia.27 Definisi menurut KHI tersebut berarti agar terjadi wasiat maka harus ada rukun wasiat, yaitu pewasiat, penerima wasiat, dan benda yang diwasiatkan. Sedangkan klausula wasiat adalah suatu pemberian yang baru akan berlaku (mempunyai kekuatan hukum tetap) apabila yang memberikan telah meninggal dunia. Sehingga, pada dasarnya wasiat dalam KHI merupakan pemberian yang digantungkan pada kejadian tertentu baik pemberian tersebut dengan atau tanpa persetujuan dari yang diberi.

B. Dasar Hukum Wasiat menurut KUH Perdata dan KHI 1. Dasar Hukum Wasiat menurut KUH Perdata

Hukum wasiat timbul atas dasar prinsip bahwa setiap orang berhak atau bebas berbuat apa saja terhadap bendanya. Demikian juga orang tersebut bebas untuk memwasiatkan hartanya kepada siapa saja yang diinginkan walaupun demikian masih juga ada batas-batas yang diizinkan oleh undang-undang.

Dasar hukum dari wasiat (testament) pada KUH Perdata terdapat dalam pasal 874-912 dan 930-953. Pada pasal 874 dinyatakan bahwa,

26 Shalih b. Ganim as-Sadlan, Tuntunan Wakaf dan Wasiat : Sarana terbaik amal shalih semasa hidup dan sesudah matinya, Terj. Ahmad Syaikhu (Jakarta : Pustaka Ibnu Umar, 2016), h.25.

27 Amir Hamzah dan A. Rachmad Budiono, Hukum Kewarisan Dalam Kompilasi Hukum Islam, (Malang: IKIP, 1994), h.112.

(29)

segala harta peninggalan sesorang yang meninggal dunia adalah kepunyaan sekalian ahli waris menurut ketentuan undang- undang sekedar terhadap itu dengan surat wasiat tidak telah diambil suatu ketetapan yang sah.28

Kemudian pasal 875 menyatakan bahwa yang dinamakan surat wasiat adalah suatu akta yang memuat pernyataan seorang tentang apa yang dikehendakinya akan terjadi setelah ia meninggal dunia, dan yang olehnya dapat dicabut Kembali lagi. Pasal 896 menyatakan bahwa setiap orang dapat membuat atau menikmati keuntungan dari sesuatu surat wasiat, kecuali mereka yang menurut ketentuan-ketentuan dalam bagian ini, dinyatakan tidak cakap untuk itu.29

2. Dasar Hukum Wasiat menurut KHI

Kemudian dalam Islam, dasar hukum wasiat banyak dijumpai dalam Al-Qur’an, yang memberikan pemahaman sebagai suatu kewajiban bagi seseorang untuk memenuhi tuntukan rasa keadilan.30 Sebagimana Allah Azza wa Jalla berfirman :

ُﺔﱠﯿ ِﺻ َﻮْﻟا ا ًﺮْﯿَﺧ َك َﺮَﺗ ْنِإ ُت ْﻮَﻤْﻟا ُﻢُﻛَﺪَﺣَأ َﺮَﻀَﺣ اَذِإ ْﻢُﻜْﯿَﻠَﻋ َﺐِﺘُﻛ َﻦﯿِﻘﱠﺘ ُﻤْﻟا ﻰَﻠَﻋ ﺎ�ﻘَﺣ ۖ ِفو ُﺮْﻌَﻤْﻟﺎِﺑ َﻦﯿِﺑ َﺮْﻗَ ْﻷا َو ِﻦْﯾَﺪِﻟا َﻮْﻠِﻟ

“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak,

28 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Loc.Cit., h.254.

29 Ali Afandi, Hukum Waris Hukum Keluarga hukum Pembuktian Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta : Pt. Bina Aksara, 1983), h.16.

30 Abdul Azis Dahlan, Eksiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru, 1996), h. 102.

(30)

berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. Al-Baqarah :180).31

Dalam KHI, bab tentang wasiat terdapat dalam pasal 171 huruf (f) dan pasal 194-209. Pasal 171 huruf (f) menyebutkan bahwa wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau Lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia.

Ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan wasiat antara lain terdiri atas32:

a. Almusja, yaitu orang yang membuat surat wasiat itu haruslah cakap dan dan berindak secara sukarela tanpa paksaan serta ia hrus benar- benar berhak atas harta yang akan diwriskan.

b. Almusaji, lahu, yaitu orang yang menerima hibah wasiat harus cakap menerimahnya, aia tidak termasuk ahli waris hibah pemberi wasiat, dan harta yang diperoleh dari hibah wasiat itu tidak boleh dipergunakan bertentangan dengan hukum.

c. Almusaji, bihi, yaitu benda yang akan dihibah wasiat kan sifatnya melebihi sepertiga dari harta setelah dikurangi dengan semua hutang sebab melebihi dari sepertiga berarti mengurangi hak ahli waris. “hal itu berdasarkan pada Hadis Riwayat Buchari yang meriwayatkan tentang nasihat

31 Tim Penyusun Insan Media Pustaka, Op.Cit., h.27.

32Abdul Wahid Salayan, Iktisar Hukum Islam, (Padang : 1964), h. 123.

(31)

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam kepada Sa’ad bin Abi Waqqas, ketika dirinya merasa dirinya akan meninggal dunia.”

d. Ash shighah, yaitu isi dari hibah wasiat harus terang dan jelas, tidak menimbulkan kekeliruan, dan dilakukan di depan saksi- saksi paling sedikit dua orang. Apabila ternyata ada hibah wasiat yang melebihi sepertiga dari harta peninggalan, maka diselesaikan dengan salah satu cara sebagai berikut :

1) Dikurang sampai batas sepertiga harta peninggalan atau 2) Diminta kesediaan semua ahli waris yang pada saat itu

berhak menerima warisan, “Jika para ahli waris menyatakan ikhlas, maka pemberian hibah wasiat yang melebihi sepertiga itu halal hukumnya”.

Ketentuan lain yang berkaitan dengan hibah wasiat juga antara lain bahwa setelah pemberi hibah meninggal dunia, penerima hibah wasiat harus menyatakan sesara tegas bahwa ia menerima hibah wasiat.

“Hal tersebut hanya dapat dilakukan setelah pemberi hibah wasiat meninggal sebab ketika pemberi hibah wasiat hidup, hibah sewaktu- waktu dapat ia cabut kembali, jika penerima hibah meninggal dunia setelah pemberi hibah wasiat wafat, akan tetapi penerima hibah wasiat belum secara tegas menyatakan menerima, maka sebagai gantinya adalah waris mereka masih berhak untuk itu”.33

33 Abdul Wahid Salayan, loc. cit.

(32)

Walaupun hukum wasiat itu wajib sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an, ulama madzhab Hambali merinci juga turunan dari hukum wajib tersebut. Wasiat hukumnya sunnah bagi orang yang meninggalkan harta yang banyak sebesar seperlima dari hartanya, kemudian makruh bagi yang tidak demikian keadaannya dan memiliki ahli waris. Adapun yang tidak memiliki ahli waris boleh mewariskan seluruh hartanya walaupu menurut imam Ahmad tetap tidak boleh lebih dari sepertiga.34

C. Rukun, Syarat, dan Bentuk-bentuk Wasiat menurut KUH Perdata dan KHI

1. Rukun Wasiat menurut KUH Perdata dan KHI

KUH Perdata telah menyebutkan bahwa surat wasiat atau testament adalah suatu akta yang memuat pernyataan seorang tentang apa yang dikehendakinya akan terjadi setelah ia meninggal dunia.

Kemudian pasal 957 KUH Perdata menyebutkan bahwa hibah wasiat merupakan suatu penetapan wasiat yang khusus, dengan mana si yang mewariskan kepada seseorang atau lebih memberikan beberapa barang- barangnya dari suatu jenis tertentu.35

34 Ibnu Qudamah, Al-Muqni, Terj. Misbah, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2016), h.420.

35 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Op.Cit., h.275.

(33)

Dari pasal-pasal tersebut terlihat bahwa suatu wasiat harus memenuhi beberapa hal atau dalam hukum islam disebut sebagai rukun, yaitu :

a. Pewasiat atau orang yang mewariskan, b. Penerima wasiat,

c. Harta atau hal yang diwasiatkan, d. Surat wasiat atau testament.

Dalam hukum Islam terdapat perbedaan pendapat ulama fikih dalam menentukan rukun wasiat. Ulama Mazhab “Hanafi menyatakan bahwa rukun wasiat hanya satu, yaitu ijab (pernyataan pemberian wasiat dari pemilik harta yang akan wafat). Karena menurut mereka, wasiat adalah akad yang hanya mengikat pihak yang berwasiat, sedangkan bagi penerima wasiat, akat itu tidak bersifat mengikat. Mereka menyamakan antara hak yang akan diterima melalui warisan dan wasiat, yaitu hanya berlaku setelah pemilik harta meninggal dunia. Oleh sebab itu, kabul, tidak perlu sebagai mana yang berlaku dalam hak waris.36

Namun demikian, seperti yang dikatakan Ibnu Abidin kabul tetap menjadi salah satu syarat dalam wasiat. Akan tetapi menurut Jumhur ulama fikih, rukun wasiat itu terdiri atas37:

a. Al-musja (orang yang berwasiat), b. Al-musaji lahu (yang menrima wasiat),

36 Sayyid Sabiq, Op.Cit., h.555.

37 Abdul Wahid Salayan, loc. cit.

(34)

c. Al-musaji bihi (harta yang diwasiatkan), dan d. Ash-Shigah (lafal ijab dan kabul).

Sedangkan KHI tidak menyebutkan secara langsung dan terkhusus mengenai rukun-rukun wasiat, namun senada dengan hukum Islam rukun wasiat dalam KHI, yaitu :

a. Orang yang berwasiat, pasal 194 ayat (1) KHI menyebutkan bahwa orang yang berumur sekurang-kurangnya 21 tahun dapat mewasiatkan sebagian hartanya,

b. Penerima Wasiat, lanjutan pasal 194 KHI menyebutkan wasiat diberikan kepada orang lain atau Lembaga, kemudian disebutkan pada pasal 197 ayat (2) huruf (b) dikatakan bahwa wasiat batal jika orang yang ditunjuk menolak,

c. Harta yang diwasiatkan, pasal 194 ayat (2) KHI menyebutkan bahwa harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat,

d. Wasiat, Pasal 195 ayat (1) KHI menyebutkan bahwa wasiat dapat dilakukan secara lisan atau tertulis dihadapan dua orang saksi.

2. Syarat Wasiat menurut KUH Perdata dan KHI

Menurut pasal 895 dan 897 terdapat syarat-syarat wasiat, yaitu:

a. Pembuat testamen harus mempunyai budi akalnya, artinya tidak boleh membuat testamen ialah orang sakit ingatan dan

(35)

orang yang sakitnya begitu berat, sehingga ia tidak dapat berfikir secara teratur.

b. Orang yang belum dewasa dan yang belum berusia 18 tahun tidak dapat membuat testamen.

Adapun mengenai sahnya ketentuan dalam testamen ada peraturan sebagai berikut:

a. Pasal 888 menyatakan Jika testamen memuat syarat-syarat yang tidak dapat dimengerti atau tak mungkin dapat dilaksanakan atau bertentangan dengan kesusilaan, maka hal yang demikian itu harus dianggap tak tertulis.

b. Pasal 890 menyatakan Jika di dalam testamen disebut sebab yang palsu, dan isi dari testamen itu menunjukkan bahwa pewaris tidak akan membuat ketentuan itu jika ia tahu akan kepalsuannya maka testamen tidaklah sah.

c. Pasal 893 menyatakan bahwa Suatu testamen adalah batal, jika dibuat karena paksa, tipu atau muslihat.38

Menurut KHI bahwa wasiat hanya dapat dilakukakan dengan syarat – syarat sebagai berikut:

a. Oleh orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat

38 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Op.Cit., h.257-258.

(36)

mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain atau lembaga. (Pasal 194 ayat (1))

b. Pemilikan terhadap harta benda baru dapat dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia. (Pasal 171 huruf (f)) c. Harta yang diwasiatkan tidak melebihi 1/3 dari harta warisan

kecuali semua ahli waris menyetujuainya. (Pasal 195 ayat (2))

d. Wasiat tidak boleh kepada ahli waris kecuali ahli waris lain menyetujui. (Pasal 195 ayat (3))

Secara rinci syarat – syarat wasiat itu terbagi atas beberapa bagian, yaitu39 :

a. Syarat - syarat orang yang berwasiat

1) Orang yang berwasiat itu adalah orang yang cakap bertindak hukum. Dalam kaitan ini, ulama fikih sepakat menyatakan bahwa orang yang berwasiat itu disyaratkan telah berakal.

2) Wasiat itu dilakukan secara sadar dan sukarela oleh sebab itu, orang di paksa untuk berwasiat atau tersalah (tidak sengaja) dalam wasiat, maka wasiatnya tidak sah.

Hal ini disepakati oleh seluruh ulama fikih.

39 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta : Ichtiar Baru, 1996, h.102.

(37)

3) Orang yang berwasiat itu tidak mempunyai utang yang jumlahnya sebanyak harta yang akan ditinggalkannya.

b. Syarat - syarat Penerima berwasiat

Ulama fikih mensyaratkan bahwa wasiat itu ditujukan pada kepentingan umum, seperti lembaga-lembaga keagamaan dan kemasyarakatan, atau kepada pribadi tertentu. Dalam hal ini ulama fikih mensyaratkan bahwa lembaga atau pribadi tersebut :

1) Benar – benar ada, 2) Identitasanya jelas,

3) Orang atau lembaga yang cakap menerima hak/milik,

4) Penerima wasiat itu bukan orang yang membunuh pemberi wasiat, jika yang disebut terakhir ini wafatnya terbunuh.

5) Penerimah wasiat ini bukan kafir harbi (kafir yang memusuhi Islam), dan

6) Wasiat tidak dimaksudkan untuk sesuatu yang merugikan ummat Islam atau sesuatu maksiat misalnya, memberi wasiat kepada orang untuk balas dendam.

(38)

c. Syarat harta yang diwasiatkan

Ulama fikih menyatakan bahwa :

1) Yang diwasiatkan itu sesuatu yang bernilai harta yang halal dan/atau syarat tertentu. Oleh sebab itu, apabila harta yang diwasiatkan tidak bernilai harta menurut syariat, seperti minuman keras dan babi, wasiatnya tidak sah.

2) Yang diwasiatkan itu dalah sesuatu yang biasa dijadikan milik, baik berupa materi maupun manfaat, misalnya wasiat sebidang tanah, seekor unta, atau wasiat pemanfaatan lahan pertanian selama 10 tahun atau mendiami rumah selama satu tahun.

3) Yang diwasiatkan itu adalah milik pewasiat, ketika berlangsungnya wasiat.

4) Harta yang diwasiatkan itu tidak melebihi sepertiga harta pewasiat.

3. Bentuk-bentuk Wasiat menurut KUH Perdata dan KHI

Baik KHI maupun KUH Perdata sama-sama mengatur mengenai bentuk wasiat. Namun bentuk wasiat yang dikenal dalam KHI berbeda dengan bentuk wasiat yang dikenal dalam KUH Perdata. Perbedaan bentuk wasiat menurut KHI dan KUH Perdata yakni KHI mengenal bentuk wasiat lisan dan wasiat tertulis berupa akta dibawah tangan

(39)

dimana apabila wasiat lisan dan wasiat tertulis berupa akta dibawah tangan dibuat dengan disaksikan oleh minimal dua orang saksi, maka wasiat sudah dianggap sah.

Bentuk wasiat lisan tidak dikenal dalam KUH Perdata dikarenakan unsur dari wasiat menurut Pasal 875 KUH Perdata mengharuskan wasiat dibuat dalam bentuk akta. Menurut Penulis, wasiat menurut KHI berupa wasiat lisan dan wasiat tertulis dengan akta dibawah tangan dianggap sudah sah asalkan dibuat dengan disaksikan oleh minimal dua orang saksi dikarenakan rukun dan syarat wasiat sudah terpenuhi meskipun pembuatan wasiat tidak menghadap ke notaris.

Wasiat dengan akta dibawah tangan sebenarnya juga dikenal dalam KUH Perdata, sebagaimana pada pasal 931 disebutkan bahwa testament olografis dan testament rahasia sebenarnya merupakan testament/wasiat yang berbentuk akta dibawah tangan yang ditulis sendiri oleh Pewaris (untuk testament rahasia, dapat pula ditulis oleh orang lain).40

Namun KUH Perdata mengharuskan testament olografis yang ditulis sendiri oleh Pewaris dan testament rahasia yang ditulis sendiri oleh Pewaris atau orang lain untuk diserahkan kepada Notaris dan dibuatkan akta mengenai penyerahan testament oleh Notaris tersebut.

Dengan diserahkannya testament olografis dan testament rahasia yang awalnya merupakan akta dibawah tangan tersebut kepada Notaris,

40 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Op.Cit., h.268.

(40)

kekuatannya dianggap sama dengan wasiat yang dibuat dengan akta umum.

Persamaan mengenai bentuk wasiat menurut KHI dan KUH Perdata yakni keduanya mengenal bentuk wasiat berupa akta notaris.

Menurut Penulis, wasiat berbentuk akta notaris memiliki beberapa keunggulan dibanding bentuk wasiat lisan maupun wasiat dengan akta dibawah tangan. Keunggulan yang utama adalah mengenai kekuatan pembuktiannya dikarenakan akta notaris merupakan akta otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Keunggulan lain dari wasiat dengan akta notaris yakni lebih aman dari resiko hilang karena wasiat tersebut disimpan oleh Notaris diantara minuta aktanya.

Sedangkan apabila wasiat dibuat secara lisan dengan disaksikan oleh dua orang saksi, maka mungkin saja terjadi peristiwa dimana salah seorang atau kedua saksi yang menyaksikan pemberian wasiat tersebut justru meninggal terlebih dahulu dari si Pewaris sehingga setelah Pewaris meninggal dunia, sudah tidak ada orang yang mengetahui perihal wasiat Pewaris semasa hidupnya. Atau seandainya Pewaris membuat wasiat dengan akta dibawah tangan yang kemudian akta tersebut dititipkan kepada salah seorang ahli warisnya, namun ahli warisnya justru tidak sengaja menghilangkan akta wasiat tersebut. Hal tersebut menunjukkan bahwa wasiat lisan dan wasiat dengan akta dibawah tangan sangat rentan terhadap resiko hilang dibandingkan wasiat dengan akta notaris.

(41)

D. Gugurnya Wasiat menurut KUH Perdata dan KHI 1. Gugurnya Wasiat menurut KUH Perdata

Berdasarkan sistem hukum perdata suatu wasiat dapat gugur apabila:

a. Berdasarkan pasal 997 KUH Perdata, yaitu apabila pembelian barang testament disertai suatu syarat yang pemenuhannya tergantung tarif suatu keadaan yang belum tentu akan terjadi dan ahli waris yang diberi barang itu kemudian wafat sebelum keadaan itu terjadi maka penghibahan itu adalah gugur (vervalleng) artinya tidak berlaku.

b. Berdasarkan pasal 998 KUH Perdata, menunjukkan bahwa pada suatu pemberian dalam tastament yang hanya pelaksanaannya saja di pertangguhkan. Dalam hal ini hak dari orang,

c. Mendapat pemberian barang itu beralih pada ahli warisnya apabila ia wafat sebelum pemberian itu dapat dilaksnakan.

Pasal ini ditafsirkan sedemikian rupa oleh kebanyakan ahli hukum bahwa yang dimaksud dalam pasal 988 KUH Perdata yang suatu pemberian yang pelaksanaannya tergantung dari suatu keadaan yang ada,

(42)

d. Waktu wafatnya si peninggal warisan belum terjadi tetapi sudah tentu akan terjadi, seperti misalnya wafatnya seseorang tertentu,

e. Berdasarkan pasal 999 KUH Perdata, pemberian barang dalam testament dapat gugur apabila:

1) Barangnya lenyap pada waktu penghibah masih hidup atau,

2) Barang itu kemudian, setelah wafatnya sipenghibah, baru lenyap dilupa salahnya seseorang ahli waris yang harus melaksanakan testament itu.

f. Berdasarkan pasal 1000 KUH Perdata, yaitu menunjuk pada penghibahan atau penghitung, yang dianggap gugur, apabila hutang itu kemudian biaya kepada sipenghibah pada waktu ia belum wafat,

g. Berdasarkan pasal 1001 KUH Perdata, yaitu:

1) Suatu hibah wasiat adalah dianggap gugur, apabila ahli waris yang di beri barang warisan itu, menolak akan menerima barang itu atau oleh KUH Perdata menjadi ahli waris.

2) Apabila dengan penghibahan ini dimaksudkan akan memberikan keuntungan kepada seorang ketiga, maka pengibahan ini tidak gugur, artinya kewajiban menguntungkan seorang ketiga, ini tetap melekat pada

(43)

ahli waris yang akan menggantikan yang menolak itu menurut hukum warisan tanpa testament.

h. Berdasarkan pasal 1004 KUH Perdata, yang menunjukkan pada kemungkinan adanya penuntutan supaya suatu penghibahan dalam testament oleh hakim dinyatakan gugur yaitu apabila yang dihibahi itu tidak memenuhi syarat- syarat yang tentukan oleh sipenghibah. (Werjono Proyodikor, (1983) h. 135.)

2. Gugurnya Wasiat menurut KHI

Berdasarkan KHI wasiat dapat gugur atau batal apabila:

a. Calon penerima wasiat berdasarkan putusan Hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dihukum karena:

dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat kepada pewasiat; dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewasiat telah melakukan sesuatu kejahatan yang diancam hukuman lima tahun penjara atau hukuman yang lebih berat;

dipersalahkan dengan kekerasan atau ancaman mencegah pewasiat untuk membuat atau mencabut atau merubah wasiat untuk kepentingan calon penerima wasiat; dipersalahkan telah menggelapkan atau merusak atau memalsukan surat wasiat dan pewasiat. Berdasarkan pasal 197 KHI ayat (1), wasiat menjadi batal apabila calon penerima wasiat

(44)

berdasarkan keputusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dihukum karena:

1) Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba atau menganiayanya berat pada pewasiat.

2) Dipersilahkan secara menfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewasiat telah melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman lima tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.

3) Dipersalahkan dengan kekerasan atau ancaman mencegah pewasiat untuk membuat atau mencabut atau merubah wasiat untuk kepentingan calon penerima pewasiat,

4) Dipersalahkan telah mengelapkan atau merusak atau memalsukan surat wasiat dari pewasiat.

b. Orang yang ditunjuk untuk menerima wasiat itu: tidak mengetahui adanya wasiat tersebut sampai meninggal dunia sebelum meninggalnya pewasiat; mengetahui adanya wasiat tersebut, tapi ia menolak untuk menerimanya; mengetahui adanya wasiat itu, tetapi tidak pernah menyatakan menerima atau menolak sampai ia meninggal sebelum meninggalnya pewasiat. Wasiat menjadi batal apabila orang yang ditunjuk untuk menerima wasiat itu:

(45)

1) Tidak mengetahui adanya wasiat tersebut sampai ia meninggal dunia sebelum meninggalnya pewasiat, 2) Mengetahui adanya wasiat tersebut, tapi ia menolak

untuk menerimanya,

3) Mengetahui adanya wasiat itu, tetapi tidak pernah menyatakan menerima atau menolak sampai ia meninggal sebelum meninggalnya pewasiat.

c. Barang yang diwasiatkan musnah. Wasiat menjadi batal apabila barang yang wasiatkan musnah. Berdasarkan pasal 198 KHI, wasiat yang berupa hasil dari suatu benda ataupun pemanfaatan suatu benda diberikan jangka waktu tertentu.

(46)

BAB III

KEKUATAN HUKUM WASIAT TERHADAP KEWARISAN MENURUT KUH PERDATA DAN KHI DI INDONESIA

A. Uraian Singkat Tentang Hukum Waris menurut KUH Perdatadan KHI

Wasiat merupakan bagian dari hukum kewarisan. Pengertian wasiat ialah pernyataan kehendak oleh seseorang mengenai apa yang akan dilakukan terhadap hartanya setelah meninggal dunia41.

1. Ketentuan Hukum Waris menurut KHI

Dalam pasal 171 Kompilasi Hukum Islam, ada beberapa ketentuan mengenai kewarisan ini, yaitu:

a. Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.

b. Pewaris adalah orang yang pada saat meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.

c. Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan

41 Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), h.104.

(47)

dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum unutk menjadi ahli waris.

d. Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang menjadi hak miliknya maupun hak-haknya.

e. Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah, pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.

f. Wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang-orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia.

g. Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.

h. Baitul Maal adalah balai harta keagamaan.

Sedang kewajiban ahli waris terhadap pewaris menurut ketentuan pasal 175 KHI adalah:

a. Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai.

b. Menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan termasuk kewajiban pewaris maupun menagih piutang.

(48)

c. Menyelesaiakan wasiat pewaris.

d. Membagi harta warisan diantara ahli waris yang berhak.

Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan permintaan kepada ahli waris yang tidak menyetujui permintaan itu, maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian harta warisan (pasal 188 KHI).

Bila pewaris tidak meninggalkan ahli waris sama sekali, atau ahli warisnya tidak diketahui ada atau tidaknya, maka harta tersebut atas putusan Pengadilan Agama diserahkan penguasaannya kepada Baitul Maal untuk kepentingan agama Islam dan kesejahteraan umum (Pasal 191 KHI).

Bagi pewaris yang beristeri dari seorang, maka masing-masing isteri berhak mendapat bagian dagi gono-gini dari rumah tangga dengan suaminya sedangkan keseluruhan bagian pewaris adalah menjadi hak milik para ahli warisnya (Pasal 190 KHI).

Duda mendapat separuh bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak, maka duda mendapat seperempat bagian (Pasal 179 KHI). Janda mendapat seperempat bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan apabila pewaris meninggalkan anak, maka janda mendapat seperempat bagian (Pasal 180 KHI).

(49)

Masalah waris mawaris dikalangan ummat Islam di Indonesia, secara jelas diatur dalam pasal 49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, bahwa Pengadilan Agama berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara kewarisan baik ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang :

a. Perkawinan.

b. Kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam.

c. Wakaf dan sedekah.

Menurut hukum Islam hak waris itu diberikan baik kepada keluarga yang pria maupun perempuan sesuai dengan kedudukannya sebagai ashabul furudh ataupun Ashabah. Para ahli waris berjumlah 25 orang, yang terdiri dari 15 orang dari pihak laki-laki dan 10 dari pihak perempuan.42

Ahli waris dari pihak laki-laki ialah:

a. Anak laki-laki (al ibn).

b. Cucu laki-laki, yaitu anak laki-laki dan seterusnya kebawah (ibnul ibn) .

c. Bapak (al ab).

d. Datuk, yaitu bapak dari bapak (al jad).

e. Saudara laki-laki seibu sebapak (al akh as syqiq).

f. Saudara laki-laki sebapak (al akh liab).

42 Sayyid Sabiq, Op.Cit., h.573-582.

(50)

g. Saudara laki-laki seibu (al akh lium).

h. Keponakan laki-laki seibu sebapak (ibnul akh as syaqiq).

i. Keponakan laki-laki sebapak (ibnul akh liab).

j. Paman seibu sebapak.

k. Paman sebapak (al ammu liab).

l. Sepupu laki-laki seibu sebapak (ibnul ammy as syaqiq).

m. Sepupu laki-laki sebapak (ibnul ammy liab).

n. Suami (az zauj).

o. Laki-laki yang memerdekakan, maksudnya adalah orang yang memerdekakan seorang hamba apabila sihamba tidak mempunyai ahli waris.

Sedangkan ahli waris dari pihak perempuan adalah:

a. Anak perempuan (al bint).

b. Cucu perempuan (bintul ibn).

c. Ibu (al um).

d. Nenek, yaitu ibunya ibu ( al jaddatun).

e. Nenek dari pihak bapak (al jaddah minal ab).

f. Saudara perempuan seibu sebapak (al ukhtus syaqiq).

g. Saudara perempuan sebapak (al ukhtu liab).

h. Saudara perempuan seibu (al ukhtu lium).

i. Isteri (az zaujah).

j. Perempuan yang memerdekakan (al mu’tiqah).

(51)

Sedangkan bagian masing-masing ahli waris adalah isteri mendapat ¼ bagian apabila sipewaris mati tidak meninggalkan anak atau cucu, dan mendapat bagian 1/8 apabila sipewaris mempunyai anak atau cucu, dan isteri tidak pernah terhijab dari ahli waris. Adapun yang menjadi dasar hukum bagian isteri adalah firman Allah dalam surat An Nisa’ ayat 12, yang artinya “Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan, jika kamu tidak mempunyai anak, dan jika kamu mempunyai anak, maka isteri-isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat atau setelah dibayar hutang-hutangmu”.

Suami mendapat ½ bagian apabila pewaris tidak mempunyai anak dan mendapat ¼ bagian apabila pewaris mempunyai anak, berdasarkan firman Allah surat an Nisa’ ayat 12, yang artinya “Dan bagimu (suami- suami) seperdua bagian dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika tidak mempunyai anak, dan jika ada anak maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkan sesudah dipenuhi wasiat dan sesudah dibayar hutang-hutangnya”.

Sedangkan bagian anak perempuan adalah:

a. Seorang anak perempauan mendapat ½ bagian, apabila pewaris mempunyai anak laki – laki.

b. Dua anak perempauan atau lebih, mendapat 2/3 bagian, apabila pewaris tidak mempunyai anak laki-laki.

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan dari hasil pembahasan mengenai kedudukan dan pembagian waris bagi ahli waris dzawil arham, dalam hukum waris Islam dzawil arham adalah kerabat pewaris

Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 916 a KUH Perdata memberikan perlindungan terhadap ahli waris tak mutlak agar hibah/wasiat yang dilakukan oleh Pewaris semasa hidupnya

Dalam hukum waris perdata, berlaku suatu asas, yaitu apabila seseorang meninggal dunia (pewaris), maka demi hukum dan seketika itu juga hak dan kewajibannya beralih kepada para

Dari hasil penelitian yang dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa sistem ahli waris pengganti dalam kedua hukum kewarisan, hukum kewarisan Islam dan hukum kewarisan KUH

Dalam hal ini banyak sarjana beranggapan bahwa perjanjian merupakan salah satu sumber utama perikatan sehingga apa yang diatur dalam Pasal 1313 KUH Perdata berarti sebagai

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pada pasal 954, yaitu: Wasiat pengangkatan waris, adalah suatu wasiat, dengan mana si yang mewasiatkan, kepada seorang atau

Hal itu mendorong para pembuat Undang-undang khususnya Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) membuat suatu lembaga pengakuan, sehingga menimbulkan akibat hukum terhadap

Janda sebagai ahli waris terdapat banyak persamaan dan perbedaan dalam sistem hukum Islam dengan sistem hukum baratyang mana masyarakat kurang mengetahui persamaan