• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGENDALIAN GULMA DENGAN AMONIUM GLUFOSINAT PADA PERTANAMAN JERUK (Citrus sp.) SKRIPSI OLEH :

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENGENDALIAN GULMA DENGAN AMONIUM GLUFOSINAT PADA PERTANAMAN JERUK (Citrus sp.) SKRIPSI OLEH :"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

1

PENGENDALIAN GULMA DENGAN AMONIUM GLUFOSINAT PADA PERTANAMAN JERUK (Citrus sp.)

SKRIPSI

OLEH :

I WAYAN HIRAS SATAYANA/ 120301119 BUDIDAYA PERTANIAN DAN PERKEBUNAN

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2018

(2)

2

PENGENDALIAN GULMA DENGAN AMONIUM GLUFOSINAT PADA PERTANAMAN JERUK (Citrus sp.)

SKRIPSI

OLEH :

I WAYAN HIRAS SATAYANA/ 120301119 BUDIDAYA PERTANIAN DAN PERKEBUNAN

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk dapat mendapatkan gelar Sarjana Pertanian di Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

3

Judul Penelitian : Pengendalian Gulma Dengan Amonium Glufosinat Pada Pertanaman Jeruk (Citrus sp.)

Nama : I Wayan Hiras Satayana NIM : 120301119

Program Studi : Agroteknologi

Minat : Budidaya Pertanian dan Perkebunan

Disetujui Oleh:

Komisi Pembimbing

Prof. Ir. Edison Purba, Ph.D. Ir. T. Irmansyah M.P.

Ketua Anggota

Mengetahui :

Dr. Ir. Sarifuddin, M.P.

Ketua Program Studi Agroteknologi

(4)

ABSTRAK

I WAYAN HIRAS SATAYANA: Pengendalian Gulma Dengan Amonium Glufosinat Pada Pertanaman Jeruk (Citrus sp.) dibimbing oleh EDISON PURBA dan IRMANSYAH.

Tujuan penelitian ini untuk menentukan efikasi beberapa dosis amonium glufosinat terhadap gulma pada pertanaman jeruk (Citrus sp.). Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret hingga Mei 2017 di Pertanaman Jeruk di Tigarunggu, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok Non Faktorial dengan 7 taraf perlakuan yaitu P1: Amonium Glufosinat ¾ dosis rekomendasi (54 g b.a/ha),

P2: Amonium Glufosinat dosis rekomendasi (72 g b.a/ha), P3: Amonium Glufosinat 1 ¼ dosis rekomendasi (90 g b.a/ha),

P4: Amonium Glufosinat 1 ½ dosis rekomendasi (108 g b.a/ha), P5: Amonium Glufosinat 1 ¾ dosis rekomendasi (126 g b.a/ha), P6: Penyiangan manual (dengan membabat), P7: Kontrol (Tanpa penyiangan).

Pengamatan parameter adalah identifikasi gulma, presentase gulma bertahan hidup, bobot kering spesies dan total gulma. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

pengendalian gulma dengan amonium glufosinat pada pertanaman jeruk (Citrus sp.) yaitu Herbisida amonium glufosinat efektif

mengendalikan semua spesies gulma sebesar 75 – 91.56 %. Gulma yang paling efektif dikendalikan dengan herbisida amonium glufosinat adalah Borreria latifolia sebesar 81.97 – 91.56 %. Dosis herbisida amonium glufosinat yang efektif mengendalikan gulma adalah 90 – 126 b.a ha-1.

Kata kunci : Amonium glufosinat, pengendalian gulma, pertanaman jeruk.

(5)

ii

ABSTRACK

I WAYAN HIRAS SATAYANA: Weed Control With Ammonium Glufosinat In Citrus Cultivation (Citrus sp.) Is guided by EDISON PURBA and IRMANSYAH.

The purpose of this study was to determine the efficacy of several doses of ammonium glufosinate on weeds in citrus cultivation (Citrus sp.). The study was conducted from March to May 2017 at Jeruk Plantation in Tigarunggu, Simalungun District, North Sumatra. The research design used was Non-Factorial

Random Block Design with 7 levels of treatment is P1: Ammonium Glufosinat ¾ dose recommendation (54 g ba / ha),

P2: Ammonium Glufosinat dose recommendation (72 g ba / ha), P3: Ammonium Glufosinat 1 ¼ dose recommendation (90 g ba / ha), P4: Ammonium Glufosinat 1 ½ dose recommendation (108 g ba / ha), P5: Ammonium Glufosinat 1 ¾ dose recommendation (126 g ba / ha), P6: Manual weeding (by clearing), P7: Control (No weeding).

Parameter observations were weed identification, survival percentage of weeds, species dry weight and total weeds. The results showed that weed control with ammonium glufosinate in citrus crops (Citrus sp.) Showed that ammonium glufosinat herbicide effectively controlled all weed species by 75 - 91.56%.

The most effective weed controlled with ammonium glufosinate herbicide is Borreria latifolia of 81.97 - 91.56%. The effective dose of ammonium glufosinate herbicide controlling weeds is 90 - 126 b.a ha-1.

Keywords: Ammonium glufosinat, weed control, citrus cultivation.

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kampung Pon pada tanggal 21 November 1993 dari Ayah Komang Reni dan Ibu Marita Nurlela Siahaan. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara.

Penulis memulai pendidikan di TK Swasta R.A. Katini Tebing Tinggi pada tahun 1998-1999, SD Swasta R.A. Katini Tebing Tinggi pada tahun 2000-2005, pendidikan tingkat Sekolah Menengah Pertama di SMP Swasta Ostrom Methodist Tebing Tinggi pada tahun 2005-2008, pendidikan tingkat Sekolah Menengah Atas di SMA Swasta Ostrom Methodist Tebing Tinggi pada tahun 2008-2011. Pada tahun 2012, penulis lulus ke Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara melalui jalur SNMPTN tertulis. Penulis memilih Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian dan pada semester VII memilih minat studi Budidaya Pertanian Perkebunan.

Semasa kuliah penulis merupakan anggota pada organisasi Himpunan Mahasiswa Agroteknologi (HIMAGROTEK), asisten praktikum dasar perlindungan tanaman sub gulma, anggota Resimen Mahasiswa (MENWA) dan voluntir di Paduan Suara Consolatio.

Penulis telah menyelesaikan Praktik Kerja Lapang (PKL) di PT. Sei Daun Estate (SDE) Kabupaten Labuhan Batu Selatan (Labusel) Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2015.

(7)

iv

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa atas berkah dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan usulan penelitian ini tepat pada waktunya.

Adapun judul usulan penelitian ini adalah “Pengendalian Gulma Dengan Amonium Glufosionat Pada Pertanaman Jeruk (Citrus sp.)” yang merupakan salah satu syarat untuk dapat melakukan penelitian di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada Prof. Ir. Edison Purba, Ph.D selaku ketua komisi pembimbing dan Ir. T. Irmansyah, MP. selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak

membantu dalam pembuatan usulan penelitian ini.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih semoga usulan penelitian ini bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan.

Medan, Mei 2018

Penulis

(8)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Hipotesis Penelitian ... 3

Kegunaan Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Masalah Gulma pada Pertanaman Jeruk ... 4

Pengendalian Gulma ... 5

Amonium Glufosionat ... 7

Gulma Sasaran ... 7

Mode of action ... 8

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ... 11

Bahan dan Alat ... 11

Metode Penelitian... 11

Pelaksanaan Penelitian Penetapan Areal Penelitian... 13

Penetapan Petak Percobaan ... 13

Denah Penelitian ... 14

Penetapan Petak Pengamatan ... 14

Aplikasi Herbisida ... 14

Peubah Amatan ... 14

Identifikasi Gulma ... 14

Gulma yang Bertahan Hidup ... 15

Bobot Kering Spesies dan Total Gulma ... 15

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil ... 16

Pembahasan ... 21

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 26

Saran ... 26 DAFTAR PUSTAKA

(9)

vi LAMPIRAN

(10)

vii

DAFTAR TABEL

No. Judul Hal.

1 Nilai SDR Spesies Gulma 15

2 Gulma bertahan hidup pada tanaman jeruk di Tigarunggu dengan beberapa perlakuan herbisida amonium glufosinat pengamatan 2, 4, dan 6 MSA

16

3 Bobot kering gulma per spesies pada tanaman jeruk di Tigarunggu dengan beberapa perlakuan herbisida amonium glufosinat pengamatan 2, 4, dan 6 MSA

18

4 Bobot kering total (g) pada tanaman jeruk di Tigarunggu dengan beberapa perlakuan herbisida amonium glufosinat pengamatan 2, 4, dan 6 MSA

21

(11)

viii

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Hal.

1 Rumus Bangun dari amonium glufosinat 8

2 Petak Penelitian 12

3 Mekanisme mode of action glufosinate 26

(12)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Tanaman jeruk adalah tanaman buah tahunan yang berasal dari Asia. Cina dipercaya sebagai tempat pertama kali jeruk tumbuh. Sejak ratusan tahun yang lalu, jeruk sudah tumbuh di Indonesia baik secara alami atau dibudidayakan.

Tanaman jeruk yang ada di Indonesia adalah peninggalan orang Belanda yang mendatangkan jeruk manis dan keprok dari Amerika dan Italia (Adam, 2008).

Produksi jeruk di Sumatera Utara mengalami fluktuasi. Pada tahun 2010 – 2013 mengalami penurunan sebesar 57,65% dari 788.747 ton. Namun pada tahun 2014 mengalami peningkatan sebesar 35,00%. Pada tahun 2015

produksi jeruk mengalami penurunan sebesar 6,38% dari 513.858 ton (BPS Sumatera Utara, 2016). Produksi jeruk dari kabupaten simalungun pada

tahun 2015 sebesar 27.364 ton yang tersebar di beberapa kecamatan. Salah satunya kecamatan purba sebesar 2.912 ton atau 10,64% (BPS Simalungun, 2016) Rendahnya produksi jeruk di kecamatan purba kabupaten simalungun disebabkan oleh beberapa faktor produksi pertanian salah satunya disebabkan oleh organisme pengganggu tanaman khususnya keberadaan gulma di areal pertanaman jeruk.

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada lahan jeruk desa Tiga runggu kecamatan Purba Kabupaten Simalungun didominasi jenis gulma berdaun lebar, berdaun sempit dan golongan teki-tekian seperti Ageratum conyzoides, Eleusine indica dan teki-tekian.

Gulma merupakan tumbuhan yang tumbuh di suatu tempat dalam waktu tertentu tidak dikehendaki oleh manusia. Gulma tidak dikehendaki karena bersaing dengan tanaman yang dibudidayakan dan dibutuhkan. Biaya

(13)

2

pengendalian yang cukup besar yaitu sekitar 25-30% dari biaya produksi. Dalam pengertian ekologis gulma adalah tumbuhan yang mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berubah (Tjokrowardojo dan Djauharia, 2010 ).

Pencapaian tingkat penekanan gulma yang diinginkan memerlukan teknik pengelolaan gulma yang spesifik. pengendalian gulma yang paling efektif dan ekonomis menggunakan beberapa pendekatan. Teknik integrasi pengendalian gulma memiliki enam bidang utama antara lain: (1) identifikasi, (2) pencegahan,

(3) teknik mekanis, (4) teknik budidaya, (5) pengendalian biologi, dan (6) pengendalian kimiawi (Monaco, 2002). Cara yang paling sering digunakan

adalah cara kimiawi yaitu dengan menggunakan herbisida. Cara ini dianggap cukup praktis dan menguntungkan dibandingkan dengan cara yang lain, terutama bila diamati dari segi kebutuhan tenaga kerja yang lebih sedikit dan waktu pelaksanaan yang relatif lebih singkat

Herbisida yang digunakan untuk mengendalikan umunya memiliki kandungan bahan aktif yang berbeda-beda. Amonium glufosinat adalah herbisida yang bersifat non selektif artinya herbisida ini akan mematikan semua jenis gulma tanpa mengenal jenis kelompok gulmanya sehingga dapat digunakan dalam kondisi gulma apa saja. Herbisida ini juga bersifat kontak artinya herbisida ini tidak disalurkan ke seluruh bagian gulma atau tanaman yang terkena sehingga kekhawatiran tentang residu herbisida ini diseluruh tanaman tidak akan terjadi (Marveldani, et al., 2007).

Pengendalian gulma yang biasa dilakukan di pertanaman jeruk yang ada di Tigarunggu adalah dengan menggunakan babat (secara mekanik) dan paraquat (kimia). Herbisida yang tersebut diaplikasikan diaplikasikan dua kali setahun

(14)

3

dikombinasikan dengan membabatnya apabila gulma di pertanaman tersebut tumbuh kembali.

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai Pengendalian Gulma dengan Amonium Glufosinat Pada Pertanaman Jeruk (Citrus Sp.)

Tujuan Penelitian

Untuk menentukan efikasi beberapa dosis amonium glufosinat terhadap gulma pada pertanaman jeruk (Citrus Sp.)

Hipotesis Penelitian

Dosis amonium glufosinat berpengaruh nyata terhadap pengendalian gulma pada pertanaman jeruk (Citrus Sp.)

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini berguna: pertama, dapat mengendalikan gulma pada pertanaman jeruk dengan dosis amonium glufosinat yang tepat dan kedua, data penyusunan skripsi untuk memperoleh gelar Sarjana di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

(15)

4

TINJAUAN PUSTAKA Masalah Gulma pada Pertanaman Jeruk

Kebanyakan gulma di pertanaman jeruk seperti: Paspalum notatum, Eleusine indica, Melinis repens, Paspalum urvillei, Heterotheca subaxillaris, Eupatorium capillifolium, Scoparia dulcis, Amaranthus spinosus, dan Conyza canadensis. Herbisida oryzalin dan oxyfluorfen yang dicampur dalam satu tangki gagal mengendalikan gulma. Herbisida norflurazon dikombinasikan dengan simazine atau diuron, bromacil ditambah simazine, dan campuran bromacil ditambah diuron dapat mengendalikan gulma. Kemampuan spesies Paspalum urvillei yang lebih toleran terhadap herbisida lainnya. Glifosat merupakan herbisida sistemik non-selektif, tidak efektif dalam mengendalikan gulma Paspalum urvillei secara luas (Singh dan Tucker, 1985).

Kompetisi spesies gulma di pertanaman jeruk memiliki banyak jenis dan kerapatan, pengelolaan kompetisi beberapa gulma seperti Conyza bonariensis and C. canadensis, Sorghum halapensis, Paspallum dilatatum, dan Ipomea purpurea harus lebih diutamakan. Sedangkan beberapa gulma seperti Tribulus terrestris, Xanthium strumarium, Urtica urens, Cirsium vulgare, dan Picris echioides memiliki dampak kompetisi yang rendah pada pertanaman jeruk, dapat menghalangi tenaga kerja dan memerlukan tingkat pengelolaan secara intensif (Faber et al., 2017).

Kehadiran gulma pada pertanaman akan menimbulkan kompetisi yang sangat serius dalam mendapatkan air, hara, cahaya matahari dan tempat tumbuh, dampaknya hasil tanaman tidak mampu menunjukkan potensi yang sebenarnya.

Secara umum dapat dikatakan bahwa besarnya pengaruh kompetisi dengan gulma

(16)

5

sangat ditentukan oleh lokasi atau kesuburan tanah, tanaman budidaya, jenis gulma, tingkat kelem- baban tanah, tingkat pengelolaan lahan, pupuk, stadia tanaman, dan tingkat populasi gulmanya (Madkar et al., 1986).

Menurut Utomo et al., (1986), biaya tenaga kerja untuk penyiangan gulma bisa mencapai 65% dari total biaya produksi. Besarnya kerugian atau kehilangan hasil

yang diakibatkan oleh gulma berbeda-beda untuk setiap jenis tanaman

tergantung dari jenis tanaman, jenis gulma dan faktor-faktor pertumbuhan yang mempengaruhinya (Chozin, 2006). Menurut Smith (1985) dan Madkar et al., (1986) dalam Susilo (2004), kehilangan hasil akibat gulma pada

tanaman budidaya ditentukan oleh efisiensi kompetisi antara tanaman dan gulma, jenis gulma, tingkat kesuburan tanah, varietas, alelopati, pengelolaan air, jarak tanam, kepadatan gulma dan cara tanam.

Pengendalian Gulma

Kemampuan gulma menekan pertumbuhan tanaman budidaya sangat ditentukan oleh jenisnya, kepadatan dan lamanya gulma tumbuh di pertanaman.

Ketiga faktor tersebut menentukan derajat persaingan gulma dalam memperoleh sumberdaya yang tersedia. Pengendalian gulma dilakukan dengan tujuan untuk membatasi investasi gulma sedemikian rupa sehingga tanaman dapat dibudidayakan secara produktif dan efisien atau merupakan prinsip mempertahankan kerugian minimum yaitu menekan populasi gulma sampai pada tingkat populasi yang tidak merugikan secara ekonomi atau tidak melampaui ambang ekonomi, namun dalam pengendaliannya diperlukan pengetahuan yang cukup tentang gulma yang bersangkutan dan teknik penanggulangannya dan

(17)

6

salah satu perbaikan teknik budidaya adalah usaha pengelolaan gulma dengan tidak merusak lingkungan (Froud Williams, 2002).

Gulma yang tumbuh di lapangan memiliki pengaruh buruk seperti; gulma dapat mengurangi hasil tanaman dan kualitas karena persaingan kebutuhan hidup;

gulma menjadi sarang serangga, penyakit dan hama lain dengan peran sebagai inang; gulma mengurangi efisiensi panen; terdapat gulma yang beracun untuk

makanan ternak; gulma air mengurangi efisiensi sistem irigasi (Fryer dan Matsunaka, 1988).

Efektivitas pemberian herbisida antara lain ditentukan oleh dosis dan waktu pemberiannya. Dosis herbisida yang tepat akan dapat mematikan gulma sasaran, tetapi jika dosis herbisida terlalu tinggi maka dapat merusak bahkan mematikan tanaman yang dibudidayakan. Pemakaian herbisida sistemik seperti glifosat memerlukan waktu untuk translokasi ke seluruh bagian gulma sehingga terjadi keracunan (Nurjanah, 2002).

Monaco (2002) mengatakan ketika herbisida terpapar pada tumbuhan akan akan memberi dampak terhadap morfologi dan anatomi tanaman serta berpengaruh terhadap proses fisiologis dan biokimia yang menyebabkan kerusakan pada tumbuhan dan lingkungan. Prosesnya meliputi: (1.) absorbsi, (2.) translokasi, (3.) molekuler dan (4.) metabolime tumbuhan. Interaksi semua faktor dari herbisida memberikan dampak spesifik pada spesies gulma. Ketika spesies gulma lebih toleran terhadap herbisida dibandingkan gulma lainnya maka herbisida tersebut tergolong selektif. Sembodo (2010) menyatakan bahwa dosis herbisida yang tepat akan dapat mematikan gulma sasaran, tetapi jika dosisnya terlalu tinggi akan merusak tanaman budidaya. Oleh karena itu, perlu dilakukan

(18)

7

penelitian terhadap kisaran dosis yang optimal untuk dapat menekan pertumbuhan gulma pada pertanaman jeruk.

Pengendalian gulma dapat dilakukan dengan cara manual/mekanis, menggunakan alat seperti kored atau cangkul. Pengendalian mekanis ini merupakan cara yang paling tua dan masih dilakukan hingga sekarang, dan dianggap cara yang terbaik karena bisa dilakukan dengan cermat dan bersih.

Disamping itu menggemburkan tanah di sekitar tanaman budidaya dan dilakukan dengan cara Cara kimia yaitu menggunakan herbisida. Karena dengan menggunakan herbisida merupakan alternatif/ pilihan untuk mengendalikan gulma (Djauhariya dan Agus, 2001).

Dalam implementasinya, tidak ada satu metode pengendalianpun yang mampu menekan infestasi semua spesies gulma. Suatu teknik pengendalian yang efektif sangat terkait dengan spesies gulma. Pengetahuan tentang biologi suatu habitat gulma sangat diperlukan dalam usaha pengendaliannya. Suatu pengamatan yang cermat diperlukan untuk dapat mengetahui teknik pengendalian yang paling sesuai, karena satu teknologi tidak hanya terbatas untuk satu ekosistem saja.

Herbisida sebagai salah satu teknologi pengendalian gulma harus diimplementasikan secara proporsional dengan cara memilih jenis herbisida yang sesuai dengan gulma sasaran, cara dan waktu aplikasi harus benar, dan tidak sembarang membuang sisa larutan penyemprotan. Hindari pemakaian herbisida sejenis dalam jangka panjang, karena dapat menimbulkan terjadinya resistensi herbisida oleh spesies gulma tertentu. Faktor ini sangat penting agar kelestarian

produktivitas dari ekosistem dapat lebih lestari dan berkelanjutan (Pane dan Jatmiko, 2008).

(19)

8

Penggunaan herbisida ataupun zat kimia lain untuk mengendalikan gulma harus dilakukan secara hati-hati dan bijaksana dengan memenuhi 6 (enam) tepat, yaitu: tepat mutu, tepat waktu, tepat sasaran, tepat takaran, tepat konsentrsai, dan tepat cara aplikasi. Selain itu, harus pula mempertimbangkan efisiensi, efektivitas, dan aman bagi lingkungan. Untuk itu, herbisida dapat dikelompokan berdasarkan:

cara kerjanya (kontak atau sistemik), selektivitasnya (selektif atau tidak selektif), dan waktu aplikasinya (pra-tumbuh atau pasca-tumbuh) (Noor, 1997).

Amonium Glufosinat a. Gulma Sasaran

Herbisida memiliki efektivitas yang beragam. Berdasarkan cara kerjanya, herbisida kontak mematikan bagian tumbuhan yang terkena herbisida, dan herbisida sistemik mematikan setelah diserap dan ditranslokasikan ke seluruh bagian gulma. Menurut jenis gulma yang dimatikan ada herbisida selektif yang mematikan gulma tertentu atau spektrum sempit, dan herbisida non selektif yang mematikan banyak jenis gulma atau spektrum lebar (Fadhly dan Tabri, 2007).

Lubis et al., (2012) mengemukakan bahwa populasi Eleusine indica yang resisten glifosat dan parakuat dari kebun Adolina dapat dikendalikan dengan amonium glufosinat dengan dosis 220 g b.a. ha-1. Menurut Yulivi et al., (2014) juga mengemukakan bahwa Eleusine Indica yang ada di Balai Benih Induk Medan yang resisten parakuat dapat dikendalikan dengan menggunakan amnonium glufosinat dengan dosis 55 g b.a ha-1.

Menurut Hastuti et al. (2014) menyatakan bahwa herbisida amonium glufosinat dengan semua taraf dosis yang diuji (225 – 450 g ha-1) mampu mengendalikan gulma total, gulma golongan daun lebar, dan gulma dominan

(20)

9

Selaginella wildenowii pada perkebunan karet menghasilkan. Gulma golongan rumput serta gulma dominan Ottochloa nodosa hanya dapat dikendalikan dengan taraf dosis tertinggi, yaitu 450 g ha-1 pada 4 MSA.

b. Mode of Action

Amonium glufosinat merupakan herbisida yang memiliki spektrum luas dan tidak selektif, merupakan herbisida yang unik karena berasal dari isolasi bakteri Streptomyces viridochromogenes, asam amino amonium glufosinat ditemukan sebagai herbisida yang aktif dan selanjutnya disintesis dan dipasarkan sebagai garam amonium oleh Hoecst AG. Amonium glufosinat pertama sekali dikomersialisasikan pada tahun 1984 dan diluncurkan di Australia pada tahun 1990 nama IUPAC-nya adalah 2 – amino – 4 - [hydroxy (methyl) phosporyl]

butanoic acid (Bayercropscience, 2009).

Glufosinate (2-amino-4-(hydroxymethyl phosphinyl) butanoic acid) berwarna putih sampai kuning cerah dengan kelarutan 1.370.000 mg/l (ppm), dan waktu paruh selama 7 hari. Herbisida ini diaplikasikan pada daun dan tidak berpengaruh pada tanah. Rumus bangun dari amonium glufosinat :

Gambar 1. Rumus Bangun dari amonium glufosinat.

(Sumber : Monaco et al., 2002).

Amonium glufosinat merupakan herbisida pasca tumbuh bersifat kontak non-selektif (Tomlin, 1997) berspektrum luas yang digunakan untuk mengendalikan gulma pada lahan yang terdapat tanaman budidaya dan juga pada

(21)

10

sintesis glutamin dari glutamat (Tomlin, 1997) yang diperlukan untuk detoksifikasi amonia (NH4+

) sehingga menyebabkan amonia meningkat hingga mencapai kadar toksik pada kloroplas di dalam jaringan daun yang menyebabkan fotosintesis terhenti dan gulma mati (Jewell dan Buffin, 2001). Bahan aktif ini dapat berpindah dalam daun mulai dari pangkal daun menuju ujung daun (Tomlin, 1997) namun tidak dapat berpindah ke bagian lain dari gulma seperti stolon dan rimpang. Glufosinat berspektrum luas, bersifat herbisida kontak.

Digunakan untuk mengendalikan gulma dengan cakupan yang luas setelah tumbuhan tumbuh atau untuk mengendalikan seluruh vegetasi lahan yang tidak digunakan untuk penanaman.

Glufosinat merupakan nama pendek dari garam ammonium, ammonium glufosinat. Diperoleh dari fosfinoktrin, suatu mikroba toksin alami yang diisolasi dari dua spesies fungi Steptomyces. Glufosinat berisi fosfor asam amino.

Menghambat aktivitas suatu sintase enzim glutamin yang diperlukan untuk memproduksi asam amino glutamin dan untuk detoksifikasi amoniak. Dengan adanya glufosinat dalam jaringan tumbuh menyebabkan glutamin berkurang dan meningkatkan amoniak dalam jaringan pembuluh. Hal ini menyebabkan fotosintesis tidak berlangsung dan dalam beberapa hari tumbuhan tersebut akan mati (Jewell dan Buffin, 2001).

Akumulasi amonia terjadi di dalam jaringan daun (kloroplas) mencapai kadar toksik yang menyebabkan fotosintesis terhenti (Jewell and Buffin, 2001).

Kerusakan tumbuhan terjadi karena rusaknya sel membran oleh ammonia dan

metabolisme yang berjalan lambat karena kekurangan asam amino (Ross and Childs, 2010). Akibatnya, aliran elektron dalam fotosintesis secara

(22)

11

tidak langsung terhambat melalui penurunan donor amino dari glutamat menjadi glyoxylate. Akumulasi glyoxylate dapat mengurangi fiksasi karbon dalam siklus Calvin, yang menghambat reaksi cahaya pada fotosintesis. Dengan penghambatan aliran elektron dalam fotosintesis menyebabkan induksi peroksidasi lipid (kerusakan membran) dari penumpukan klorofil (Monaco et al., 2002).

Gambar 3. Mekanisme mode of action glufosinate.

(Sumber : Monaco et al., 2002).

(23)

12

BAHAN DAN METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Pertanaman Jeruk di Tigarunggu, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Mei 2017.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah lahan jeruk petani

dengan luas 2016 m2 di Tigarunggu, herbisida Amonium glufosinat (Basta 150 SL) dan air.

Adapun alat yang digunakan adalah cangkul, meteran, semprot punggung (knapsack sprayer SOLO), gelas ukur, pacak, kalkulator, alat tulis, timbangan analitik, oven, amplop, dan alat-alat lain yang mendukung penelitian ini.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode Rancangan Acak Kelompok (RAK) non-faktorial yang terdiri 7 perlakuan, dimana masing-masing perlakuan diulang sebanyak 4 kali ulangan. Perlakuan tersebut terdiri atas :

P1 : Amonium Glufosinat ¾ dosis rekomendasi (54 g b.a/ha) P2 : Amonium Glufosinat dosis rekomendasi (72 g b.a/ha) P3 : Amonium Glufosinat 1 ¼ dosis rekomendasi (90 g b.a/ha) P4 : Amonium Glufosinat 1 ½ dosis rekomendasi (108 g b.a/ha) P5 : Amonium Glufosinat 1 ¾ dosis rekomendasi (126 g b.a/ha) P6 : Penyiangan manual (Dengan membabat)

P7 : Kontrol (Tanpa penyiangan)

(24)

13

Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan analisis sidik ragam model linear, yaitu :

Yij = μ + ρi + τj + εij Dimana :

Yij = data yang dihasilkan dari pengaruh ulangan pada taraf ke-i dan perlakuan ke-j

μ = nilai tengah

ρi = pengaruh blok ke- i τj = pengaruh perlakuan ke- j

εij = pengaruh galat dari ulangan pada taraf ke-i dan perlakuan ke-j

Data hasil penelitian dianalisis dengan program IBM SPSS Statistics 20 dimana perlakuan yang berpengaruh nyata dilanjutkan dengan uji beda rataan yaitu uji DMRT (duncan multiple range test).

(25)

14

PELAKSANAAN PENELITIAN Penetapan Areal Penelitian

Areal penelitian dilakukan pada pertanaman Jeruk di Tigarunggu. Areal tersebut didominansi oleh beberapa jenis gulma. Areal percobaan tersebut memiliki beberapa jenis gulma berdaun lebar dan berdaun sempit.

Penetapan Petak Percobaan

Lahan percobaan dilakukan pada lahan yang rata (datar), pengaturan letak percobaan dan kelompok percobaan diusahakan sedemikian rupa sehingga penyebaran gulma lebih merata dan homogen. Petak percobaan dibuat berukuran

3 m x 25 m sebanyak 28 plot dimana setiap plot yang terdiri dari 5 tanaman jeruk. Dan Jarak antar plot 2 m sedangkan Lebar bidang penyemprotan

dan penyiangan pada setiap plot adalah 3 m dengan posisi baris tanaman berada ditengah-tengah petak.

Denah Penelitian

Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Ulangan 4

P1 P5 P3 P6

P3 P2 P7 P5

P6 P1 P2 P7

P2 P7 P1 P4

P5 P4 P6 P2

P4 P6 P5 P3

P7 P3 P4 P1

Penetapan Petak Pengamatan

Petak contoh yang mewakili setiap petak percobaan ditentukan seluas 0,5 m x 0,5 m sebanyak enam petak contoh. Fungsi petak contoh tersebut agar dapat mewakili keadaan seluruh vegetasi yang diamati. Petak tersebut ditandai dengan tali plastik untuk mempermudah dalam proses identifikasi gulma

(26)

15

Aplikasi Herbisida

Sebelum aplikasi herbisida dilakukan terlebih dahulu 2 kali kalibrasi alat semprot untuk menentukan volume semprot. Herbisida amonium glufosinat

diaplikasikan dengan dosis 54 g b.a/ha (setara 1,50 L/ha); 72 g b.a/ha (setara 2,00 L/ha); 90 g b.a/ha (setara 2,50 L/ha); 108 g b.a/ha (setara 3,00 L/ha);

126 g b.a/ha (setara 3,50 L/ha) secara merata pada setiap petak percobaan untuk masing-masing perlakuan dengan cara disemprot dengan menggunakan alat semprot punggung (knapsack sprayer SOLO). Nozzle disemprotkan dengan ketinggian 60 cm di atas permukaan gulma di lapangan. Aplikasi herbisida dilaksanakan dengan kondisi cuaca saat dan setelah penyemprotan cerah.

Peubah Amatan Identifikasi Gulma

Setelah lahan penelitian ditetapkan, dilakukan analisis terhadap vegetasi gulma yang tumbuh. Analisis vegetasi ini bertujuan untuk mengetahui komposisi vegetasi gulma yang mendominasi lahan sebelum diberi perlakuan dan sebagai pembanding setelah perlakuan dengan cara pengambilan sampel gulma dilakukan dengan metoda kuadran (0,5 x 0,5 m2).

Kerapatan suatu jenis

Kerapatan relatif (%) = --- x 100%

Kerapatan seluruh jenis Frekuensi suatu jenis

Frekuensi relatif (%) = --- x 100%

Frekuensi seluruh jenis Nilai penting (NP) = KR + FR

KR + FR SDR = ---

(27)

16

Persentase Gulma Bertahan Hidup

Jumlah gulma yang bertahan hidup dihitung pada 2, 4 dan 6 MSA herbisida. Gulma dikatakan mati apabila titik tumbuh gulma sudah nekrosis dan tidak ada titik tumbuh baru yang terbentuk (Owen et al., 2012).

Bobot Kering Spesies dan Total Gulma

Gulma dominan yang bertahan hidup yang terdapat di dalam petak contoh dipotong pada permukaan tanah lalu dipisah dan dikelompokkan berdasarkan spesies, kemudian dimasukkan ke dalam amplop. Gulma yang telah diamplopkan tersebut kemudian dibawa ke laboratorium Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara untuk dikeringkan di dalam oven pada temperatur 70 °C selama 72 jam. Masing-masing spesies dari setiap petak ditimbang terpisah. Pada

setiap waktu pengamatan (2, 4 dan 6 MSA) gulma contoh dipotong pada dua petak-contoh yang letaknya ditentukan secara sistematis pada setiap plot.

(28)

17

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil

Summed Dominance Ratio (SDR) Gulma

Berdasarkan hasil identifikasi gulma pada lahan pertanaman jeruk diperoleh 10 spesies gulma sebelum aplikasi herbisida amonium glufosinat (tabel 1). Nilai SDR (Summed Dominance Ratio) dengan 5 spesies gulma tertinggi digunakan untuk uji selanjutnya.

Tabel 1. Nilai SDR Spesies Gulma

No Nama Gulma KR FR NP SDR (%) Urutan

1 Ageratum conyzoides 14,55 11,11 25,66 12,83 2 2 Eleusine indica 18,18 11,11 29,29 14,65 1

3 Setaria plicata 9,09 11,11 20,20 10,10 6

4 Digitaria ciliaris 3,64 5,56 9,19 4,60 9

5 Echinochloa colonum 3,64 5,56 9,19 4,60 10 6 Axonopus compressus 5,45 11,11 16,57 8,28 7 7 Borreria lattifolia 12,73 11,11 23,84 11,92 3

8 Borreria alata 10,91 11,11 22,02 11,01 4

9 Commelina diffusa 7,55 5,88 13,43 6,72 8

10 Cynodon dactylon 10,91 11,11 22,02 11,01 5 Pada Tabel 1 dapat dilihat gulma yang paling dominan dengan nilai SDR tertinggi pada 5 spesies gulma yaitu spesies Eleusine indica (14,65%), Ageratum conyzoides (12,83%), Borreria lattifolia (11,92%), Borreria alata (11,01%), Cynodon dactylon (11,01%). Keberadaan gulma Eleusine indica sebagai gulma paling dominan pada pertanaman jeruk, hal ini diduga biji gulma ini dapat juga tersimpan dalam tanah (seedbank) yang menyebabkan keberadaannya lebih mendominasi dibandingkan gulma lainnya. Gulma ini juga dapat tumbuh dengan subur pada lahan marginal dengan daerah penyebarannya antara 0-1600 m diatas permukaan laut.

(29)

18

Gulma Bertahan Hidup

Tabel 2. Gulma bertahan hidup pada tanaman jeruk di Tigarunggu dengan beberapa perlakuan herbisida amonium glufosinat pengamatan 2, 4, dan 6 MSA Perlakuan

(g b.a./ha)

Gulma Bertahan Hidup

2 MSA 4 MSA 6 MSA

--- populasi /(0,5 m x 0,5 m)--- Eleusine indica

Amonium Glufosinat 54 g b.a/ha 1.88 b 1.25 a 1.13 a

Amonium Glufosinat 72 g b.a/ha 1.00 ab 0.75 a 1.00 a

Amonium Glufosinat 90 g b.a/ha 0.63 a 0.63 a 0.75 a

Amonium Glufosinat 108 g b.a/ha 0.63 a 0.75 a 0.88 a Amonium Glufosinat 126 g b.a/ha 0.75 a 0.63 a 0.88 a

Manual (dengan membabat) 3.63 c 3.25 b 3.88 b

Tanpa Pengendalian 4.25 c 3.63 b 4.50 b

Ageratum conyzoides

Amonium Glufosinat 54 g b.a/ha 2.00 b 1.25 a 1.25 a

Amonium Glufosinat 72 g b.a/ha 0.75 a 1.00 a 1.25 a

Amonium Glufosinat 90 g b.a/ha 0.75 a 0.63 a 1.00 a

Amonium Glufosinat 108 g b.a/ha 0.75 a 0.63 a 1.00 a

Amonium Glufosinat 126 g b.a/ha 0.50 a 0.75 a 1.00 a

Manual (dengan membabat) 2.38 b 3.38 b 3.75 b

Tanpa Pengendalian 5.50 c 4.38 c 4.00 b

Borreria latifolia

Amonium Glufosinat 54 g b.a/ha 0.75 a 0.75 a 0.88 a

Amonium Glufosinat 72 g b.a/ha 0.88 a 1.00 a 1.13 a

Amonium Glufosinat 90 g b.a/ha 0.38 a 1.00 a 0.88 a

Amonium Glufosinat 108 g b.a/ha 0.63 a 0.75 a 1.00 a Amonium Glufosinat 126 g b.a/ha 0.75 a 0.38 a 1.13 a

Manual (dengan membabat) 3.13 b 3.38 b 3.38 b

Tanpa Pengendalian 4.50 c 4.38 c 4.88 c

Borreria alata

Amonium Glufosinat 54 g b.a/ha 1.25 a 1.38 a 1.00 a

Amonium Glufosinat 72 g b.a/ha 1.00 a 1.13 a 1.25 a

Amonium Glufosinat 90 g b.a/ha 0.75 a 0.75 a 0.88 a

Amonium Glufosinat 108 g b.a/ha 1.13 a 0.88 a 1.13 a

Amonium Glufosinat 126 g b.a/ha 0.75 a 0.75 a 0.88 a

Manual (dengan membabat) 2.50 b 3.63 b 3.13 b

Tanpa Pengendalian 3.50 c 3.75 c 4.25 c

Cynodon dactylon

Amonium Glufosinat 54 g b.a/ha 1.00 a 1.13 a 0.75 a

Amonium Glufosinat 72 g b.a/ha 1.00 a 1.00 a 0.88 a

Amonium Glufosinat 90 g b.a/ha 0.75 a 0.75 a 1.00 a

Amonium Glufosinat 108 g b.a/ha 0.88 a 0.75 a 1.00 a Amonium Glufosinat 126 g b.a/ha 0.50 a 0.88 a 1.13 a

Manual (dengan membabat) 3.25 b 3.25 b 3.25 b

Tanpa Pengendalian 3.13 b 3.75 b 3.88 b

Keterangan : Nilai tengah pada setiap kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%

(30)

19

Berdasarkan pengamatan setelah aplikasi herbisida amonium glufosinat yang diuji pada taraf dosis 54 – 126 g b.a ha-1 mengendalikan 5 spesies gulma bertahan hidup pada petak percobaan tanaman jeruk pada 2, 4 dan 6 MSA dapat dilihat pada tabel 2.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi herbisida amonium glufosinat dosis 54-126 g b.a ha-1 pada 2 MSA mampu menekan Eleusine indica yang bertahan hidup berkisar 55.76-85.18%, Ageratum conyzoides berkisar 63.64-90.91%, Borreria latifolia berkisar 80.44-91.56%, Borreria alata berkisar 64.29-78.57%, dan Cynodon dactylon berkisar 69.23-84.62%.

Aplikasi herbisida amonium glufosinat dosis 54-126 g b.a ha-1 pada 4 MSA mampu menekan Eleusine indica yang bertahan hidup berkisar 65.56-82.64%, Ageratum conyzoides berkisar 54.34-85.62%, Borreria latifolia berkisar 77.17-91.32%, Borreria alata berkisar 63.20-80.00%, dan Cynodon dactylon berkisar 69.87-80.00%.

Penggunaan herbisida amonium glufosinat dosis 54-126 g b.a ha-1 pada 6 MSA mampu menekan Eleusine indica yang bertahan hidup berkisar 74.89-83.33%, Ageratum conyzoides berkisar 68.75-75.00%, Borreria latifolia berkisar 76.84-81.97%, Borreria alata berkisar 70.59-79.29%, dan Cynodon dactylon berkisar 70.88-80.67%.

Bobot Kering Per Spesies

Berdasarkan pengamatan setelah aplikasi herbisida amonium glufosinat yang diuji pada taraf dosis 54 – 126 g ha-1 mengendalikan 5 spesies gulma pada petak percobaan tanaman jeruk sampai dengan 6 MSA dapat dilihat pada tabel 3.

(31)

20

Tabel 3. Bobot kering gulma per spesies pada tanaman jeruk di Tigarunggu dengan beberapa perlakuan herbisida amonium glufosinat pengamatan 2, 4, dan 6 MSA

Perlakuan Bobot Kering per Spesies

2 MSA 4 MSA 6 MSA

--- g/(0,5 m x 0,5 m)--- Eleusine indica

Amonium Glufosinat 54 g b.a/ha 2.64 a 2.36 abc 3.09 a

Amonium Glufosinat 72 g b.a/ha 2.58 a 1.76 a 2.71 a

Amonium Glufosinat 90 g b.a/ha 2.39 a 2.72 bcd 2.91 a

Amonium Glufosinat 108 g b.a/ha 2.60 a 1.98 ab 2.88 a

Amonium Glufosinat 126 g b.a/ha 2.40 a 1.93 ab 3.06 a

Manual (dengan membabat) 3.71 b 3.01 cd 4.00 b

Tanpa Pengendalian 4.02 b 3.27 d 5.26 c

Ageratum conyzoides

Amonium Glufosinat 54 g b.a/ha 2.63 b 3.27 bc 4.32 c

Amonium Glufosinat 72 g b.a/ha 2.19 ab 2.39 a 3.01 ab

Amonium Glufosinat 90 g b.a/ha 2.08 ab 2.53 a 2.78 a

Amonium Glufosinat 108 g b.a/ha 2.15 ab 2.56 ab 3.61 b Amonium Glufosinat 126 g b.a/ha 1.74 a 2.95 ab 3.3 ab

Manual (dengan membabat) 4.67 c 3.71 c 6.10 d

Tanpa Pengendalian 5.80 d 4.65 d 6.12 d

Borreria latifolia

Amonium Glufosinat 54 g b.a/ha 3.68 b 3.05 a 3.05 b

Amonium Glufosinat 72 g b.a/ha 3.26 ab 2.51 a 2.40 a

Amonium Glufosinat 90 g b.a/ha 3.31 ab 2.89 a 2.62 ab

Amonium Glufosinat 108 g b.a/ha 3.05 a 2.69 a 2.49 a

Amonium Glufosinat 126 g b.a/ha 3.01 a 2.95 a 2.40 a

Manual (dengan membabat) 3.64 b 3.20 a 3.74 c

Tanpa Pengendalian 4.52 c 4.09 b 4.06 c

Borreria alata

Amonium Glufosinat 54 g b.a/ha 1.62 c 2.88 ab 2.98 ab

Amonium Glufosinat 72 g b.a/ha 1.47 bc 2.18 a 2.67 ab

Amonium Glufosinat 90 g b.a/ha 1.28 ab 2.55 ab 2.47 a

Amonium Glufosinat 108 g b.a/ha 1.17 a 2.45 a 2.75 ab

Amonium Glufosinat 126 g b.a/ha 1.13 a 2.47 a 3.23 b

Manual (dengan membabat) 1.31 ab 3.29 bc 3.97 c

Tanpa Pengendalian 1.67 c 3.73 c 4.77 d

Cynodon dactylon

Amonium Glufosinat 54 g b.a/ha 4.06 bc 3.42 bcd 3.85 ab

Amonium Glufosinat 72 g b.a/ha 2.55 a 2.39 a 2.76 a

Amonium Glufosinat 90 g b.a/ha 2.55 a 3.70 cd 2.85 a

Amonium Glufosinat 108 g b.a/ha 2.93 ab 2.67 ab 3.19 ab Amonium Glufosinat 126 g b.a/ha 3.14 ab 2.71 ab 3.12 b

Manual (dengan membabat) 3.73 abc 3.12 abc 3.98 c

Tanpa Pengendalian 4.65 c 4.08 d 4.07 d

Keterangan : Nilai tengah pada setiap kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%

(32)

21

Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi herbisida amonium glufosinat dosis 54-126 g b.a ha-1 pada 2 MSA mampu menurunkan bobot kering Eleusine indica sebanyak 34.33-40.55%, Ageratum conyzoides sebanyak 54.66-70.00%, Borreria latifolia sebanyak 18.58-33.41%, Borreria alata sebanyak 2.99-32.34%, dan Cynodon dactylon sebanyak 12.69-45.16%.

Aplikasi herbisida amonium glufosinat dosis 54-126 g b.a ha-1 pada 4 MSA mampu menurunkan bobot kering Eleusine indica sebanyak 16.82-46.18%, Ageratum conyzoides sebanyak 29.68-48.60%, Borreria latifolia

sebanyak 25.43-38.63%, Borreria alata sebanyak 22.79-41.55%, dan Cynodon dactylon sebanyak 9.31-41.42%.

Penggunaan herbisida amonium glufosinat dosis 54-126 g b.a ha-1 pada 6 MSA mampu menurunkan bobot Eleusine indica sebanyak 32.64-48.48%, Ageratum conyzoides sebanyak 29.41-54.48%, Borreria latifolia sebanyak 24.88-40.89%, Borreria alata sebanyak 32.29-48.22%, dan Cynodon dactylon sebanyak 5.41-32.19%.

Bobot Kering Total

Berdasarkan pengamatan setelah aplikasi herbisida amonium glufosinat yang diuji pada taraf dosis 54 – 126 g b.a ha-1 mengendalikan gulma total pada petak percobaan tanaman jeruk sampai dengan 6 MSA dapat dilihat pada tabel 4.

(33)

22

Tabel 4. Bobot kering total (g) pada tanaman jeruk di Tigarunggu dengan beberapa perlakuan herbisida amonium glufosinat pengamatan 2, 4, dan 6 MSA

Perlakuan Berat Kering Total (g)

2 MSA 4 MSA 6 MSA

--- g/(0,5 m x 0,5 m)---

Amonium Glufosinat 54 g b.a/ha 13.25 d 32.47 b 55.53 c

Amonium Glufosinat 72 g b.a/ha 8.78 c 28.53 ab 45.57 b

Amonium Glufosinat 90 g b.a/ha 6.72 bc 27.09 a 39.71 a

Amonium Glufosinat 108 g b.a/ha 5.71 ab 27.75 ab 35.02 a Amonium Glufosinat 126 g b.a/ha 3.87 a 27.35 ab 35.08 a

Manual (dengan membabat) 9.39 c 31.01 ab 37.51 a

Tanpa Pengendalian 35.56 e 44.06 c 68.05 d

Keterangan : Nilai tengah pada setiap kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%

Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi herbisida amonium glufosinat dosis 54-126 g b.a ha-1 pada 2 MSA mampu menurunkan bobot kering total sebesar 62.74-89.12%, pada 4 MSA sebesar 26.31-38.52% dan pada 6 MSA sebesar 18.40-48.54% dibandingkan kontrol (tanpa pengendalian). Efektifitas herbisida amonium glufosinat dalam mengendalikan gulma secara keseluruhan pada petak pengamatan sudah terlihat pada 2 MSA.

Pembahasan

Gulma yang dominan pada petak percobaan tanaman jeruk di Tigarunggu yaitu Eleusine indica (14,65%), Ageratum conyzoides (12,83%), Borreria lattifolia (11,92%), Borreria alata (11,01%), Cynodon dactylon (11,01%).

Keberadaan gulma Eleusine indica menjadi lebih dominan di pertanaman jeruk disebabkan karena jumlah biji Eleusine indica selama proses pembentukan tergolong banyak dan ukurannya kecil sehingga penyebarannya di lahan percobaan tanaman jeruk di Tigarunggu lebih mudah terbawa oleh angin. Hal ini sesuai dengan literatur Lee and Ngim (2000) yang menyatakan bahwa gulma Eleusine indica berbunga sepanjang tahun dan tiap tanamannya dapat menghasilkan hingga 140.000 biji tiap musimnya. Breden and James (2009) juga

(34)

23

menyatakan bahwa setiap malai Eleusine indica terdapat 3-7 rumpun pada ujung batang dan pada setiap malai tersebut terdapat lebih dari 50.000 biji. Gulma ini tergolong gulma yang pertumbuhannya cepat.

Aplikasi herbisida amonium glufosinat dosis 54-126 g b.a ha-1 pada 2 dan 4 MSA mampu menekan gulma yang bertahan hidup teringgi terdapat pada Borreria latifolia secara berturut-turut sebesar 80.44-91.56% dan 77.17-91.32%.

sedangkan pada 6 MSA amonium glufosinat dosis 54-126 g b.a ha-1 dapat menekan gulma yang bertahan hidup teringgi terdapat pada Eleusine indica sebesar 74.89-83.33%. Hal ini disebabkan Borreria latifolia memiliki daun dengan luas permukaan yang besar sehingga droplet herbisida yang diaplikasikan dapat merata dan terserap dengan baik pada petak pengamatan. Dengan terserap meratanya amonium glufosinat pada permukaan daun gulma ini maka terjadi penimbunan amonium dalam kloroplas yang menyebabkan berhentinya proses fotosintesis. Eleusine indica merupakan tumbuhan C4 yang membutuhkan cahaya penuh untuk berfotosintesis, sedangkan cara kerja herbisida amonium glufosinat bersifat kontak, yaitu hanya meracuni bagian yang terkena herbisida. Hal ini dikarenakan Eleusine indica yang terpapar herbisida amonium glufosinat mengalami gangguan fotosintesis yang mengakibatkan jumlah Eleusine indica yang bertahan hidup lebih sedikit. Hal ini sesuai dengan literatur Jewell and Buffin, (2001) yang menyatakan bahwa terjadi akumulasi amonia di dalam jaringan daun (kloroplas) mencapai kadar toksik yang menyebabkan fotosintesis terhenti. Selain itu, Ross and Childs, (2010) juga menyatakan bahwa kerusakan tumbuhan terjadi karena rusaknya sel membran oleh ammonia dan metabolisme yang berjalan lambat karena kekurangan asam amino. Selain itu Tomlin, (2005)

(35)

24

juga menyatakan bahwa mekanisme kerja herbisida amonium glufosinat yaitu menghambat sintesa glutamin, yakni enzim yang diperlukan untuk mengasimilasi ammonia menjadi nitrogen organik, sehingga menyebabkan akumulasi ion amonium dan menghambat fotosintesis.

Aplikasi herbisida amonium glufosinat dosis 54-126 g b.a ha-1 pada 2 dan 4 MSA mampu menurunkan bobot kering gulma yang teringgi terdapat pada Ageratum conyzoides secara berturut-turut sebesar 54.66-70.00% dan 29.68- 48.60% sedangkan pada 6 MSA terdapat pada Eleusine indica sebesar 32.64- 48.48%. Hal ini menunjukkan bahwa amonium glufosinat bersifat non selektif, dan biasanya digunakan untuk mengendalikan gulma tahunan. Ageratum conyzoides dan Eleusine indica termasuk gulma musiman yang berproduksi dengan biji. Hal ini dikarenakan pada saat pengaplikasian amonium glufosinat ke petak percobaan, gulma tersebut sudah menunjukkan klorosis kemudian setelah 3-5 hari mengalami nekrosis. Setelah itu terjadi gangguan pada jaringan xylem dan floem. Sehingga proses pengangkutan air, hara dan hasil fotosintat tidak dapat disalurkan ke bagian organ gulma lainnya. Hal ini menyebabkan bobot kering gulma Ageratum conyzoides dan Eleusine indica lebih rendah. Hal ini sesuai dengan literatur Monaco et al., (2002) yang menyatakan bahwa herbisida amonium glufosinat bersifat non-selektif dan digunakan pada gulma purna tumbuh. Gulma yang terpapar herbisida amonium glufosinat akan menyebabkan gangguan pada jaringan xylem dan floem, gejalanya diawali dengan klorosis dan diikuti nekrosis pada waktu 3 sampai 5 hari setelah aplikasi.

Aplikasi herbisida amonium glufosinat dosis 54-126 g b.a ha-1 pada 2 MSA mampu menurunkan bobot kering gulma total sebesar 62.74-89.12%,

(36)

25

pada 4 MSA sebesar 26.31-38.52% dan pada 6 MSA sebesar 18.40-48.54%

dibandingkan kontrol (tanpa pengendalian). Efektifitas herbisida amonium glufosinat dalam mengendalikan gulma secara keseluruhan pada petak pengamatan sudah terlihat pada 2 MSA. Hal ini dikarenakan amonium glufosinat lebih efektif mengendalikan gulma berdaun lebar dibandingkan gulma berdaun sempit. Hal ini mengakibatkan bobot kering total tersebut lebih rendah. Selain itu gulma yang berada pada pertak percobaan secara umum sudah mulai menguning yang terlihat pada 2 hari setelah aplikasi. Perubahan warna pada gulma secara umum disebabkan terganggunya proses fotosintesis yang mengurangi fiksasi karbon pada siklus calvin. Hal ini sesuai dengan literatur Aulakh and Jhala, (2015) yang menyatakan bahwa aplikasi glufosinat dapat mengurangi kerapatan

gulma berdaun lebar dan berdaun sempit masing-masing sebesar 6-12 dan 4-11 gulma/m2. Hal ini didukung oleh Monaco et al., (2002) yang menyatakan

bahwa mekanisme glufosinate secara langsung menghambat enzim glutamin sintetase (GS) dalam jalur asimilasi nitrogen tanaman. GS adalah enzim yang bertanggung jawab untuk mengubah glutamat ditambah amonia (NH3) menjadi glutamin mengakibatkan penurunan kadar glutamin, yang pada gilirannya mengakibatkan penurunan kadar beberapa asam amino tanaman lainnya (glutamat, aspartat, asparagin, alanin, dan serin) Sintesis utamanya bergantung pada keberadaan glutamin. Glufosinate mengganggu metabolisme nitrogen penting (asimilasi nitrogen) reaksi sintetis pada tanaman oleh menghambat pembentukan glutamin dan glutamat. Akibatnya, aliran elektron dalam fotosintesis secara tidak langsung terhambat melalui penurunan donor amino dari glutamat menjadi glyoxylate. Akumulasi glyoxylate dapat mengurangi fiksasi

(37)

26

karbon dalam siklus Calvin, yang menghambat reaksi cahaya pada fotosintesis.

Dengan penghambatan aliran elektron dalam fotosintesis menyebabkan induksi peroksidasi lipid (kerusakan membran) dari penumpukan klorofil.

(38)

27

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

1. Gulma yang paling efektif dikendalikan dengan herbisida amonium glufosinat adalah Borreria latifolia sebesar 81.97 – 91.56 %.

2. Dosis herbisida amonium glufosinat yang efektif mengendalikan gulma adalah 90 – 126 b.a ha-1.

3. Herbisida amonium glufosinat efektif mengendalikan semua spesies gulma sebesar 75 – 91.56 %.

Saran

Pengendalian gulma dengan herbisida amonium glufosinat dianjurkan dengan dosis 54 g b.a ha-1. Karena dengan dosis yang terendah tersebut sudah dapat menekan pertumbuhan gulma yang berada di pertanaman jeruk Tiga runggu Simalungun.

(39)

28

DAFTAR PUSTAKA

Adam, J. R. 2008. Analisis Faktor Determinan Keikutsertaan Petani Berkelompok, Pendapatan Dan Pemasaran Jeruk Siam Di Kabupaten Jember. Jurnal Pasca Sarjana Manajemen Agribisnis Universitas Jember. Jawa Timur.

Aulakh, J. S., and A. J. Jhala. 2015. Comparison of Glufosinate-Based Herbicide Programs for Broad-Spectrum Weed Control in Glufosinate-Resistant Soybean. Weed Technology, 29 : 419–430.

Badan Pusat Statistik Simalungun, 2016. Simalungun Dalam Angka 2016.

Diakses dari http://simalungun.bps.go.id pada tanggal 20 Februari 2017.

Badan Pusat Statistik Sumatera Utara, 2016. Sumatera Utara Dalam Angka 2016.

Diakses dari http://sumut.bps.go.id pada tanggal 20 Februari 2017.

Bayercropscience, 2009. Basta Buletin. Dikutip dari http://bayercropscience.comau/resources/products/brochure/Basta%20 buletin.pdf. Diakses pada tanggal 20 Februari 2017.

Breden, G and James T.B. 2009. Goosegrass (Eleusine indica). Turfgrass Science.

University of Tenessee.

Chozin, M.A. 2006. Peran Ekofisiologis Tanaman Dalam Pengembangan Teknologi Budidaya Pertanian. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Agronomi. Faperta IPB. 114hlm.

Djauhariya, E dan S.T, Agus. 2001. Gulma dan pengendalian pada budidaya tanaman nilam. Balai penelitian tanaman obat dan aromatik. Bogor.

Faber, B., O. Daugovish, J. De Soto, A. Howell1, and T. Bean. 2017. Citrus Weed Control with Indaziflam and Rimsulfuron Herbicides. Farm Advisors, Cont : 44-48.

Fadhly, A. F., dan F. Tabri. 2007. Pengendalian Gulma Pada Pertanaman Jagung.

http://balit.litbang.co.id.bukujagung.pdf. Diakses pada tanggal 13 Februari 2017.

Froud-Williams, R.J. 2002. Weed Competition in Robert. E.L. Naylor (Ed) Weed Management Hand Book. Ninth Edition. Published for The British Crop Protection Council by Blackwell Science.

Fryer, U.D., dan H. Matsunaka. 1988. Penanggulangan Gulma Secara Terpadu.

Penerbit Bina Aksara. Jakarta.

(40)

29

Hastuti, N. Y., D. R. J. Sembodo., dan R. Evizal. 2014. Efikasi Herbisida Amonium Glufosinat Gulma Umum Pada Perkebunan Karet yang Menghasilkan [Hevea Brasiliensis (Muell.) Arg]. Jurnal Penelitian Pertanian Terapan Vol. 15 (1) : 41-47.

Jewell, T. and D. Buffin. 2001. Health and enviromental impact of glufosinate ammonium. Edited by Pete Riley, M. Warhurst, E. Diamand, and H.

Barron. Friends of the Earth: the Pestcides Action network, United Kingdom.

Lee, L. J. and J. Ngim. 2000. A First Report of Glyphosate- Resistant Goosegrass (Eleusine indica (L.) Gaertn) in Malaysia. Melaka, Malaysia.

http://ag.udel.edu. Diakses tanggal 31 Januari 2018.

Lubis, L. A., E. Purba, dan R. Sipayung. 2012. Respons Dosis Biotip Eleusine Indica Resisten-Glifosat Terhadap Glifosat, Parakuat, dan Glufosinat.

Jurnal Online Agroekoteknologi Vol. 1(1) : 109-123.

Madkar, O.R., T. Kuntohartono, S. Mangoen- soekardjo. 1986. Masalah Gulma dan Pengendalian. HIGI. Bogor.

Marveldani, M. B., Kukuh, S., dan Setyo, D. U. 2007. Pengembangan Kedelai Transgenik yang Toleran Herbisida Amonium-Glufosinat dengan Agrobacterium. Jurnal Akta Agrosia, 10 : 49-55.

Monaco, T. J., S. C. Weller, and F. M. Ashton. 2002. Weed Science: Principles and Practices 4th Edition. JohnWiley and Sons, Inc, United State.

Noor, E. S. 1997. Pengendalian Gulma di Lahan Pasang Surut. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian, Jakarta.

Nurjanah, U. 2002. Pergeseran Gulma dan Hasil Jagung Manis pada Tanpa Olah Tanah Akibat Dosis dan Waktu Pemberian Glyphosat. Publikasi.

Fakultas Pertanian. Universitas Bengkulu. Bengkulu.

Owen, M. J., D. E. Goggin., dan S. B. Powles. 2012. Identification of Resistance to either Paraquat or ALS-Inhibiting Herbicides in Two Western Australian Hordeum leporinum Biotypes. Pest Management Science, 68 : 757–763.

Pane, H dan S. Y. Jatmiko. 2008. Pengendalian Gulma Pada Tanaman Padi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Jakarta.

Ross, M. A. and D. J. Childs. 2010. Herbicide Mode of Action. Department of Botany and Plant Pathology, Purdue University.

https://www.extension.purdue.edu/extmedia/WS/WS-2W.html. Diakses tanggal 31 Januari 2018.

(41)

30

Sembodo, D. R. J. 2010. Gulma dan Pengelolaannya. Graha Ilmu. Yogyakarta.

166 hlm.

Singh, M. Dan Tucker, D.P.H. 1985. An Evaluation Of Herbicides For Weed Control In A Young Citrus Grove. Proc. Fla. State Hort. Soc. 98:14-16.

Smith, R.G.D. 1985. Ecology and Field Biology. 2nd Ed. Harper and Row.

New York. Evanson San Fransisco. London Pp 169.

Susilo, E. 2004. Penerapan Sistem Budidaya dan Cara Pengendalian gulma pada Kacang Kedelai (Glycine max (L.) Merr.) dan Padi (Oriza sativa L.) dalam Pola Tumpangsari. Thesis Sekolah Pasca Sarjana IPB.

Tjokrowardojo, A.S dan E. Djauharia, 2010. Gulma dan Pengendaliannya pada Budidaya Tanaman Nilam. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Rempah. Bogor.

Tomlin, C. D. S. 1997. “The Pesticide Manual,” 11th ed. British Crop Protection Council, Surrey, UK.

Tomlin, C. D. S. 2005. A World Compendium. The e- Pesticide Manual. Version 3.1. Thirteenth Edition. British Crop Protection Council (BCPC), Surrey: United Kingdom.

Utomo, I.H., P. Lontoh, Rosilawati dan Handaya- ningsih. 1986. Kompetisi Teki dan Gelang dengan Tanaman Hortikultura. Prosiding Konferensi VIII HIGI. Bandung.

Yulivi, A.T., E. Purba., dan N. Rahmawati. 2014. Dose Response Satu Biotip Eleusine indica Resisten-Parakuat Terhadap Parakuat, Glifosat, dan Ammonium Glufosinat. Jurnal Online Agroekoteknologi, Vol. 2 (4) : 1339-1346.

Referensi

Dokumen terkait

Kegiatan yang dilakukan pada kegiatan ini adalah: 1) Menelaah kurikulum. 2) Mengembangkan perangkat pembelajaran terdiri dari buku siswa, lembar kegiatan siswa,

Guru merupakan pelaksana kurikulum dan pemegang kunci keberhasilan proses pendidikan di tingkat mikro (kelas). Guru dalam menghadapi tuntutan kurikulum telah

2 karya Villa Lobos yang sudah dilakukan oleh penulis, konsep penjarian yang digunakan oleh masing-masing edisi dapat disimpulkan bahwa yang menggunakan penjarian yang sama

[r]

Website ini memiliki fitur publikasi kegiatan, laporan kegiatan, evaluasi kegiatan dengan memberikan rating dan komentar pada setiap kegiatan, pertanyaan pada setiap

Berdasarkan dari tabel 2 di atas dapat dilihat bahwa kelompok umur 15-64 paling banyak memanfaatkan Puskesmas pada bulan Januari-Juni 2014 di era JKN adalah

Dalam Kolb (1992), konflik dapat saja terjadi karena timbulnya perbedaan dalam minat, pola pikir, dan tujuan. Lebih jauh dinyatakan bahwa konflik dapat terjadi karena

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Skripsi yang saya serahkan ini benar-benar merupakan hasil karya sendiri, kecuali kutipan-kutipan dari ringkasan-ringkasan yang semuanya telah