BAB II
TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Perlindungan Hukum
1. Pengertian Perlindungan Hukum
Adapun pengertian perlindungan hukum menurut beberapa ahli, yakni sebagai berikut:
a. Menurut Satjipto Raharjo, perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu di berikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.
Hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif dan antisipatif. Hukum dibutuhkan untuk mereka yang lemah dan belum kuat secara sosial, ekonomi dan politik untuk memperoleh keadilan sosial.1
b. Menurut Philipus M.Hadjon, Perlindungan hukum adalah perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan atau sebagai kumpulan peraturan atau kaidah yangakan dapat melindungi suatu hal dari hal lainnya.2
c. Menurut Setiono, Perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai manusia.3
Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perlindungan hukum merupakan perlindungan mengenai hak asasi manusia dalam hal ini pemerintah memberikan perlindungan tersebut
1 Satjipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti. Hlm.53.
2 Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Surabaya, PT. Bina Ilmu.
Hlm. 25
3 Setiono, 2004, Rule Of Law (Supremasi Hukum), Surakarta, Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret. Hlm. 3
kepada masyarakat sehingga dapat menikmati hak-hak nya sebagai warga negara.
Perlindungan hukum bagi warna negara mencakup persoalan hak dan kewajiban. Oleh karena itu, teori perlindungan hukum menjadi penting dalam penelitian ini guna memberikan pemahaman mengenai hakekat perlindungan hukum itu sendiri.
2. Bentuk-Bentuk Perlindungan Hukum
Menurut Philipus M. Hadjon, ada 2 (dua) macam perlindungan hukum yaitu:
a. Perlindungan Hukum Preventif
Yaitu rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Tujuannya adalah mencegah terjadinya sengketa. Perlindungan hukum preventif sangat besar artinya bagi tindak pemerintahan yang didasarkan pada kebebasan bertindak karena dengan adanya perlindungan hukum yang preventif pemerintah terdorong untuk bersifat hati-hati dalam mengambil keputusan yang didasarkan pada diskresi.4
b. Perlindungan Hukum Represif,
Yaitu bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Penanganan perlindungan hukum oleh Pengadilan Umum dan Pengadilan Administrasi di Indonesia termasuk kategori perlindungan hukum ini. Prinsip perlindungan hukum terhadap tindakan pemerintah bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia karena menurut sejarah dari barat, lahirnya konsep-konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia diarahkan kepada pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban masyarakat dan pemerintah. Prinsip kedua yang mendasari perlindungan hukum terhadap tindak pemerintahan adalah prinsip negara hukum.
Dikaitkan dengan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak
4 Philipus M. Hadjon, Op.Cit. Hlm. 30.
asasi manusia, pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia mendapat tempat utama dan dapat dikaitkan dengan tujuan dari negara hukum.5
3. Urgensi Perlindungan Hukum terhadap Warga Negara
Ada beberapa alasan mengapa warga negara harus mendapat perlindungan hukum yaitu:
Pertama, karena dalam berbagai hal warga negara dan badan hukum perdata tergantung pada keputusan-keputusan pemerintah seperti kebutuhan terhadap izin yang diperlukan untuk usaha perdagangan, perusahaan atau pertambangan. Karena itu warga negara dan badan hukum perdata perlu mendapat perlindungan hukum, terutama untuk memperoleh kepastian hukum dan jaminan keamanan, yang merupakan faktor penentu bagi kehidupan dunia usaha;
Kedua, hubungan antara pemerintah dengan warga negara tidak berjalan dalam posisi sejajar, warga negara sebagai pihak yang lebih lemah dibandingkan dengan pemerintah;
Ketiga, berbagai perselisihan warga negara dengan pemerintah itu berkenaan dengan keputusan, segala instrumen pemerintah yang bersifat sepihak dalam melakukan intervensi terhadap kehidupan warga negara.
Pembuatan keputusan yang didasarkan pada kewenangan bebas (vrije bevoegdheid) akan membuka peluang terjadinya pelanggaran hak-hak warna negara.6
5 Ibid.
6 Ridwan HR, 2016, Hukum Administrasi Negara Edisi Revisi, Jakarta, PT Raja Grafindo Indonesia.
Hlm. 277.
B. Tinjauan tentang Saksi 1. Pengertian Saksi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, saksi memiliki enam pengertian. Pertama, saksi adalah orang yang melihat atau mengetahui sendiri suatu peristiwa atau kejadian; Kedua, saksi adalah orang yang diminta hadir pada suatu peristiwa untuk mengetahuinya agar suatu ketika apabila diperlukan, dapat memberikan keterangan yang membenarkan bahwa peristiwa itu sungguh-sungguh terjadi; Ketiga, saksi adalah orang yang memberikan keterangan di muka hakim untuk kepentingan pendakwa atau terdakwa; Keempat, saksi adalah keterangan (bukti pernyataan) yang diberikan oleh orang yang melihat atau mengetahui; Kelima, saksi diartikan sebagai bukti kebenaran;
Keenam, saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tertentu suatu perkara pidana yang didengarnya, dilihatnya, atau dialami sendiri.7
Menurut Pasal 1 butir 26 KUHAP menyatakan bahwa:
“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.”
Namun, makna saksi telah diperluas sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana menyatakan sebagai berikut:
7 Eddy O.S. Hiariej, 2012, Teori dan Hukum Pembuktian, PT. Gelora Aksara Pratama. Hlm.56.
Menyatakan Pasal 1 angka 26 dan angka 27, Pasal 65, Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4), serta Pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang pengertian saksi dalam Pasal 1 angka 26 dan angka 27, Pasal 65, Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4), serta Pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP, tidak dimaknai termasuk pula “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”.8
Sehingga dapat disimpulkan pengertian saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.
Berkaitan dengan Justice Collaborator (Saksi Pelaku yang Bekerjasama) dalam penelitian ini erat kaitannya dengan tinjauan mengenai kesaksian. Sehingga dalam pembahasannya, pengaturan mengenai saksi dalam Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana menjadi acuan guna menelaah Justice Collaborator (Saksi Pelaku yang Bekerjasama).
2. Macam-Macam Saksi
Menurut sifatnya, saksi dibagi menjadi 2 (dua) macam yaitu:
a. Saksi a charge
Saksi a Charge (saksi yang memberatkan terdakwa) adalah saksi yang telah dipilih dan diajukan oleh penuntut umum, dengan keterangan atau kesaksian yang diberikan akan memberatkan
8 Anandito Utomo, Saksi Memberatkan, Meringankan, Mahkota dan Alibi, diakses dalam https://www.hukumonline.com, pada tanggal 1 Desember 2019.
terdakwa, demikian menurut Pasal 160 Ayat (1) huruf (c) KUHAP, bahwa dalam hal ada saksi yang memberatkan terdakwa yang tercantum dalam surat pelimpahan perkara dan/atau yang diminta oleh terdakwa atau penasihat hukum atau penuntut umum selama berlangsungnya sidang atau sebelum dijatuhkannya putusan, hakim ketua sidang wajib mendengarkan keterangan saksi tersebut.
b. Saksi a de charge
Saksi a de Charge (saksi yang meringankan/menguntungkan terdakwa) adalah saksi yang diajukan oleh penuntut umum/
terdakwa atau penasihat hukum, yang mana keterangan atau kesaksian yang diberi akan meringankan/menguntungkan terdakwa, demikian menurut Pasal 160 Ayat (1) huruf C KUHAP, bahwa dalam hal ada saksi yang menguntungkanterdakwa yang tercantum dalam surat pelimpahan perkara dan/atau yang diminta oleh terdakwa atau penasihat hukum atau penuntut umum selama berlangsungnya sidang atau sebelum dijatuhkannya putusan, hakim ketua sidang wajib mendengar keterangan saksi tersebut.9
Sedangkan menurut Alfitra, macam-macam saksi ada 4 (empat) yaitu:
9 Andi Sofyan dan Abd. Asis, 2014, Hukum Acara Pidana (Suatu Pengantar), Jakarta, Kencana.
Hlm. 242.
a. Saksi a charge
Saksi a charge adalah keterangan saksi dengan memberatkan terdakwa dan terdapat dalam berkas perkara serta lazim di ajukan oleh jaksa penuntut umum.
b. Saksi a de charge
Saksi a de charge adalah keterangan seorang saksi yang dengan sifat meringankan terdakwa atau dan lazim diajukan oleh terdakwa atau penasihat hukum.
c. Saksi mahkota
Saksi Mahkota adalah saksi yang berasal atau diambil dari salah seorang tersangka atau terdakwa lainnya yang bersama- sama melakukan perbuatan pidana.
d. Saksi de auditu/ hearsay evidance,
Yaitu keterangan seorang saksi yang diperoleh dari mendengar pernyataan yang didengar oleh orang lain. Saksi testimonium de auditu atau hearsay evidence berasal dari kata hear yang berarti mendengar dan say yang berarti mengucapkan.
Oleh karena itu secara harfiah istilah hearsay berarti mendengar dari ucapan (orang lain). Jadi, tidak mendengar sendiri fakta tersebut dari orang yang mengucapkan sehingga disebut juga sebagai bukti tidak langsung (second hand evidence) sebagai lawan dari bukti langsung (original evidence), karena
mendengar dari ucapan orang lain, maka saksi de auditu atau hearsay ini mirip dengan “report”, “gosip” atau “rumor”.
Dengan demikian, definisi kesaksian testimonium de auditu adalah sebagai keterangan-keterangan tentang kenyataan- kenyataan dan hal-hal yang didengar, dilihat, atau dialami bukan oleh saksi sendiri, tetapi keterangan yang disampaikan oleh orang lain kepadanya tentang kenyataan-kenyataan tentang hal- hal yang didengar, dilihat, atau dialami sendiri oleh orang lain tersebut.10
Selain pengertian di atas, dalam perkembangannya muncul istilah Saksi Pelaku atau Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator). Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban mendefinisikan sebagai berikut:
“Saksi Pelaku adalah tersangka, terdakwa, atau terpidana yang bekerja sama dengan apparat penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana dalam kasus yang sama.”
Istilah yang digunakan dalam KUHAP yaitu saksi mahkota (crown witness) yang berbeda dengan Justice Collaborator.
Adapun perbedaan Crown Witness dengan Justice Collaborator dapat dilihat pada tabel berikut:11
10 Alfitra, 2011, Hukum Pembuktian dalam Beracara Pidana, Perdata dan Korupsi di Indonesia, Jakarta, Raih Asa Sukses. Hlm.63.
11 Albert Aries, Perbedaan Saksi Mahkota dan Justice Collaborator, diakses dalam https://www.hukumonline.com, pada tanggal 12 Januari 2020.
Tabel 1. Perbedaan Crown Witness dan Justice Collaborator No Aspek Perbedaan Crown Witness Justice Collaborator
1. Inisiatif memberikan keterangan tentang suatu tindak pidana
Berasal dari aparat penegak hukum.
Berasal dari diri Justice Collaborator itu sendiri.
2. Cara memberikan kesaksian
Pemisahan perkara (splitsing) yang dilakukan Penuntut Umum terhadap beberapa pelaku yang diduga melakukan beberapa tindak pidana.
Memberikan kesaksian dengan mengakui kejahatan dan bersedia membantu aparat penegak hukum dalam mengungkap suatu tindak pidana tertentu.
3. Jenis tindak pidana Tindak pidana apapun sesuai dengan KUHP dan peraturan perundang- undangan yang berlaku.
Tindak pidana terorganisir seperti korupsi, tindak pidana narkotika, terorisme, pencucian uang, perdagangan orang dan tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan ancaman stabilitas dan keamanan masyarakat.
4. Dasar hukum Pasal 142 dan Pasal 168 KUHAP
- SEMA Nomor 4 Tahun 2011 - Undang-Undang Nomor 31 tahun
2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
- Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM RI, Jaksa Agung RI, Kepala Kepolisian RI, KPK, dan Ketua LPSK.
5. Status hukum Hanya sebagai saksi belum tentu sebagai pelaku.
Berperan sebagai pelaku juga.
6. Sifat kesaksian Terbuka. Tertutup
7. Keistimewaan Tidak ada pemberian reward.
Berlaku pemberian reward.
3. Hak dan Kewajiban Saksi
Adapun hak saksi sebagaimana yang tercantum dalam KUHAP adalah sebagai berikut:
a. Dipanggil sebagai saksi oleh penyidik dengan surat panggilan yang sah serta berhak diberitahukan alasan pemanggilan tersebut (Pasal 112 ayat (1) KUHAP);
b. Berhak untuk dilakukan pemeriksaan di tempat kediamannya jika memang saksi dapat memberikan alasan yang patut dan wajar bahwa ia tidak dapat datang kepada penyidik (Pasal 113 KUHAP);
c. Berhak untuk memberikan keterangan tanpa tekanan dari siapapun atau dalam bentuk apapun (Pasal 117 ayat (1) KUHAP);
d. Saksi berhak menolak menandatangani berita acara yang memuat keterangannya dengan memberikan alasan yang kuat (Pasal 118 KUHAP);
e. Berhak untuk tidak diajukan pertanyaan yang menjerat kepada saksi (Pasal 166 KUHAP);
f. Berhak atas juru bahasa jika saksi tidak paham bahasa Indonesia (Pasal 177 ayat (1) KUHAP);
g. Berhak atas seorang penerjemah jika saksi tersebut bisu dan/atau tuli serta tidak dapat menulis (Pasal 178 ayat (1) KUHAP).
Adapun kewajiban saksi sebagaimana yang tercantum dalam KUHAP adalah sebagai berikut:
a. Seseorang yang dipanggil sebagai saksi dalam suatu perkara pidana berkewajiban untuk hadir (Pasal 112 ayat (1) KUHAP);
b. Sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya (Pasal 160 ayat (3) KUHAP);
c. Saksi wajib untuk tetap hadir di sidang setelah memberikan keterangannya (Pasal 167 KUHAP);
d. Para saksi dilarang untuk bercakap-cakap (Pasal 167 ayat (3) KUHAP).
4. Larangan Menjadi Saksi
Pada umumnya semua orang dapat menjadi saksi kecuali sebagaimana yang diatur dalam Pasal 168 KUHAP, yaitu:
a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa;
b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan, dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga;
c. Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.
Ketentuan Pasal 168 tersebut tidak secara mutlak melarang orang- orang tersebut untuk menjadi saksi. Namun apabila orang-orang yang dikecualikan sebagai saksi tersebut menghendaki untuk memberikan kesaksian dan penuntut umum serta terdakwa menyetujuinya maka ia diperbolehkan untuk didengar keterangannya di bawah sumpah, tetapi jika tidak mendapat persetujuan maka keterangannya dilakukan tanpa sumpah.
5. Fungsi Kesaksian
Peranan saksi dalam setiap persidangan perkara pidana sangat penting, karena kerap keterangan saksi dapat mempengaruhi dan menentukan kecenderungan keputusan hakim. Seorang saksi dianggap memiliki kemampuan yang dapat menentukan kemana arah keputusan hakim. Hal ini memberikan efek kepada setiap keterangan saksi, selalu mendapat perhatian yang sangat besar, baik oleh pelaku hukum yang terlibat di dalam persidangan maupun oleh masyarakat pemerhati hukum.12
Tujuan saksi memberikan keterangan adalah untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan. Ketentuan ini juga mengandung ketentuan bahwa saksi diperlukan dan memberi keterangannya dalam 2
12 Muhadar, 2009, Perlindungan Saksi dan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana, Surabaya, CV.
Putra Media Nusantara. Hlm.1.
(dua) tingkat yakni ditingkat penyidikan dan di tingkat penuntutan di sidang pengadilan. Pada tingkat penuntutan, keterangan saksi yang diberikan juga termasuk pada proses pembuktiaan atas dakwaan Jaksa.13
C. Tinjauan tentang Tindak Pidana Narkotika 1. Pengertian Tindak Pidana
Tindak pidana merupakan salah satu istilah yang digunakan untuk menerjemahkan kata straafbaarfeit dalam Bahasa Belanda. Istilah- istilah lain yang biasa digunakan sebagai terjemahan dari istilah straafbaarfeit adalah perbuatan pidana, delik, peristiwa pidana, pelanggaran pidana, dan perbuatan yang dapat dihukum.14
Tindak Pidana merupakan rumusan tentang perbuatan yang dilarang untuk dilakukan (dalam peraturan perundang-undangan) yang disertai ancaman pidana bagi siapa yang melanggar larangan tersebut.
Perbuatan (feit) di sini adalah unsur pokok dari suatu tindak pidana yang dirumuskan tersebut.15
Menurut D. Simons, tindak pidana adalah tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan
13 Silvia Wulan Apriliani, Peranan Keterangan Saksi Sebagai Alat Bukti Dalam Proses Peradilan Pidana (Studi Pada Pengadilan Negeri Ungaran), Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang. Hlm.30.
14 Tongat, 2012, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan, Malang, UMM Press. Hlm. 91.
15 P.A.F Lamintang, 2014, Dasar-Dasar Hukum Pidana Di Indonesia, jakarta, cetakan 1, PT Sinar Grafika, , Hal 179
sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggung-jawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.16
Sedangkan menurut Moeljatno, perbuatan pidana adalah perbuatan yang diancam dengan pidana, barang siapa melanggar larangan tersebut.17
Adapun urgensi mengenai tinjauan tindak pidana ini ialah karena fokus penelitian mengkaji kejahatan narkotika sehingga tinjauan ini akan menjelaskan teori-teori umum mengenai tindak pidana.
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Menurut pendapat Adami Chazawi, unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan dari 2 (dua) sudut pandang yakni:
Dari sudut pandang teoritis serta sudut pandang undang-undang.
Maksud teoritis ialah berdasarkan pendapat para ahli hukum, yang tercermin pada bunyi rumusannya. Sedangkan menurut sudut pandang Undang-Undang adalah bagaimana kenyataan tindak pidana itu dirumuskan menjadi tindak pidana tertentu dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan.18
Sedangkan unsur-unsur tindak pidana dalam undang-undang terdiri atas unsur obyektif dan unsur subyektif. Dimana unsur obyektif menitik beratkan pada unsur-unsur yang berada di luar diri pelaku.
16 Tongat, Op.Cit. Hlm. 95.
17 Ibid. Hln. 96.
18 Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Jakarta, Raja Grafindo. Hlm. 78-79.
Sedangkan unsur subyektif menitik beratkan pada unsur-unsur yang berada di dalam diri pelaku.19
3. Tindak Pidana Narkotika a. Narkotika
Narkotika secara etimologis berasal dari bahasa Inggris narcose atau narcois yang berarti menidurkan dan pembiusan. Kata narkotika berasal dari Bahasa Yunani yaitu narke yang berarti terbius sehingga tidak merasakan apa-apa.20
Dari istilah farmakologis yang digunakan adalah kata drug yaitu sejenis zat yang bila dipergunakan akan membawa efek dan pengaruh- pengaruh tertentu pada tubuh si pemakai seperti mempengaruhi kesadaran dan memberikan ketenangan, merangsang dan menimbulkan halusinasi.21
Secara terminologis narkotika dalam Kamus Besar Indonesia adalah obat yang dapat menenangkan syaraf, menghilangkan rasa sakit, menimbulkan rasa mengantuk dan merangsang.22
Pengertian Narkotika berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang dimaksud:
Narkotika dalam undang-undang tersebut adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangnya rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dapat dibedakan ke
19 Ibid. Hlm. 81-82.
20 Hari Sasangka, 2003, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana Untuk Mahasiswa dan Praktisi Serta Penyuluh Masalah Narkoba, Bandung, Mandar Maju. Hlm. 35.
21 Soedjono, 1997, Narkotika dan Remaja, Bandung, Alumni Bandung. Hlm. 3.
22 Anton M. Moelyono, 1988, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balas Pustaka. Hlm. 609.
dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-undang ini.23
Mardani mengemukakan mengenai pengertian narkotika, bahwa yang dimaksud narkotika adalah obat atau zat yang dapat menenangkan syarat, mengakibatkan ketidaksadaran atau pembiusan, menghilangkan rasa sakit dan nyeri, menimbulkan rasa mengantuk atau merangsang, dapat menimbulkan efek stupor, serta dapat menimbulkan adiksi atau kecanduan dan yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan sebagai narkotika.24
b. Tindak Pidana Narkotika
Narkotika dikatakan sebagai tindak pidana karena adanya larangan mengenai tindak pidana ini sebagaimana yang diatur dalam Pasal 111-Pasal 134 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
c. Jenis-Jenis Tindak Pidana Narkotika
Jenis-jenis Tindak Pidana Narkotika yang diatur dalam Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika :25
1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman , Pasal 111; Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
23 Lihat Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
24 Mardani, Penyalaghunaan Narkotika dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Pidana Nasional. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008. hlm. 80
25 Gatot Supramono, Hukum Narkotika Indonesia, Djambatan, Jakarta. 2009,. hlm. 90
menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, Pasal 112;
2) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I, Pasal 113;
3) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I, Pasal 114;
4) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengakut, atau mentransito Narkotika Golongan I, Pasal 115;
5) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan I terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain, Pasal 116;
6) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan II, Pasal 117;
7) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan II, Pasal 118;
8) Setiap orang yang tanpa hak atau melawah hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara
dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan II, Pasal 119;
9) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan II, Pasal 20;
10) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan II terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain, Pasal 121;
11) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan Narkotika Golongan III, Pasal 122;
12) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan III, Pasal 123;
13) Setiap orang yang tanpa hak atau melawah hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan III, Pasal 124;
14) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan III, Pasal 125;
15) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan III terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan III untuk digunakan orang lain, Pasal 126;
16) Setiap Penyalah Guna Narkotika Golongan I, II, dan III bagi diri sendiri Pasal 127; Orang tua atau wali dari pecandu yang belum cukup umur, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) yang sengaja tidak melapor,Pasal 128;
17) Memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Prekursor Narkotika untuk perbuatan Narkotika; Memproduksi, menimpor, mengekspor, atau menyalurkan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika; Menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika; Membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika Pasal 129;
18) Setiap orang yang dengan sengaja tidak melaporkan adanya tindak pidana Narkotika Pasal 130;
19) Percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika Pasal 131;
20) Setiap orang yang menyuruh, memberi atau menjanjikan sesuatu, memberikan kesempatan, menganjurkan, memberikan kemudahan, memaksa dengan ancaman, memaksa dengan kekerasan, melakukan tipu muslihat, atau membujuk anak yang
belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana Narkotika;
Untuk menggunakan Narkotika Pasal 133;
21) Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur dan dengan sengaja tidak melaporkan diri; Keluarga dari Pecandu Narkotika yang dengan sengaja tidak melaporkan Pecandu Narkotika tersebut Pasal 134.
D. Tinjauan tentang Justice Collaborator 1. Pengertian Justice Collaborator
Secara yuridis, pengertian Justice Collaborator terdapat dalam Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyatakan,
“Saksi pelaku adalah tersangka, terdakwa atau terpidana yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana dalam kasus yang sama.”
Sedangkan menurut Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum (Satgas Antimafia) mendefinisikan Justice Collaborator sebagai pelaku yang bekerja sama yaitu (baik dalam status saksi, pelapor, atau informan) yang memberikan bantuan kepada penegak hukum dalam bentuk pemberian informasi penting, bukti-bukti yang kuat, atau keterangan/kesaksian di bawah sumpah, yang dapat mengungkapkan suatu tindak pidana dimana orang tersebut terlibat di dalam tindak
pidana yang dilaporkannya tersebut (atau bahkan suatu tindak pidana lainnya).26
Justice Collaborator merupakan orang yang berperan sebagai pelaku tindak pidana atau merupakan bagian dari tindak pidana yang dilakukan bersamasama dalam segala bentuknya yang merupakan bagian dari kejahatan terorganisir, tetapi yang bersangkutan bersedia untuk bekerjasama dengan aparat penegak hukum untuk memberikan kesaksian mengenai suatu tindak pidana yang dilakukan bersama- sama.27
2. Sejarah Justice Collaborator
Menurut sejarahnya, istilah Justice Collaborator merupakan suatu istilah baru di Indonesia, namun di Indonesia sendiri terdapat istilah “saksi mahkota” (Crown Witness), yakni salah satu pelaku tindak pidana ditarik sebagai saksi kunci untuk mengungkap pelaku-pelaku yang lain dengan iming-iming pengurangan ancaman hukuman.
Pada dasarnya, lahirnya Undang-Undang yang memfasilitasi kerja sama saksi pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborator) dengan penegak hukum pertama kali diperkenalkan di Amerika Serikat pada tahun 1970-an. Fasilitasi tersebut tak lain untuk menghadapi para
26 Anonim, 2011, Perlindungan Terhadap Pelaku Yang Bekerjasama (Justice Collaborator), Usulan Dalam Rangka Revisi UU Perlindungan Saksi dan Korban, Jakarta, hlm.3
27 Lilik Mulyadi, 2015, Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator Dalam Upaya Penanggulangan Organized Crime di Indonesia, Alumni, Bandung, hlm.48.
mafia, yang sejak lama telah menerapkan omerta (sumpah tutup mulut sekaligus merupakan hukum tertua dalam dunia Mafioso Sisilia).28
Dalam United Nations Office on Drugs and Crime, Howard Abadinsky menyebutkan bahwa salah satu dari daftar aturan Mafia Amerika adalah setiap anggota harus menjaga mulutnya untuk tetap diam, apa yang dilihat dan didengar biarlah tetap terjaga di kepalanya, jangan pernah dibicarakan. Jika ada yang melanggar “sumpah diam”
tersebut dan bekerjasama dengan polisi, maka keselamatan dirinya dan keluarganya akan terancam karena organisasi yang mereka khianati tidak akan segan untuk membunuh mereka. Dengan begitu, negara menjadi kesulitan untuk membujuk saksi-saksi penting untuk memberi kesaksian melawan bos mereka. Hal inilah yang membuat Departemen Kehakiman Amerika Serikat meyakini bahwa program perlindungan saksi harus dijadikan suatu lembaga.29
Justice Collaborator lebih banyak diusung oleh negara-negara Anglo Saxon, khusunya Amerika dan negara-negara commonwealth (negara persemakmuran, bekas jajahan Inggris). Sekalipun demikian konsep Justice Collaborator dan konsep protection of cooperating person tetap bisa dipidana namun mendapat keringanan. Konsep protection of cooperating person lebih terkonsentrasi kepada pelaku yang bekerjasama dengan penegak hukum (Justice Collaborator).
28 Ibid. Hlm.3-5.
29 Maria Yudithia Bayu Hapsari, 2012, Konsep dan Ketentuan mengenai Justice Collaborator dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Skripsi, Program Sarjana Universitas Indonesia. Hlm. 65-66.
Di Indonesia sendiri, perkembangan ide Justice Collaborator sebenarnya bertitik tolak dari ketentuan Pasal 37 ayat (2) United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) Tahun 2003 diadopsi oleh Sidang ke-58 Majelis Umum melalui Resolusi Nomor 58/4 tanggal 31 Oktober 2003 dan juga telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003) yang berlaku efektif sejak 18 April 2006 dimana ditegaskan bahwa:
“Setiap negara peserta wajib mempertimbangkan, memberi kemungkinan dalam kasus-kasus tertentu, memberi hukuman dari seorang pelaku yang memberikan kerjasama yang substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu kejahatan yang ditetapkan dalam konvensi ini”.
Kemudian dalam Pasal 37 ayat (3) UNCAC dikemukakan bahwa,
“setiap negara peserta wajib mempertimbangkan kemungkinan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya, untuk memberikan kekebalan dari penuntutan bagi orang yang memberikan kerjasama yang substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu tindak pidana yang ditetapkan berdasarkan konvensi ini.”
Selain UNCAC, Indonesia juga telah meratifikasi United Nations Convention Against Transnasional Organized Crime melalui Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang Konvensi PBB Anti Kejahatan Transnasional Terorganisir (United Nations Convention Against Transnasional Organized Crime/UNCATOC).
Kedua Konvensi PBB ini, yang telah diratifikasi oleh Indonesia, merupakan dasar hukum yang melatar belakangi lahirnya ide tentang justice collaborator dalam peradilan pidana.30
3. Justice Collaborator Sebagai Alat Bukti
Keterangan saksi merupakan alat bukti paling utama dalam perkara pidana. Hal ini dikemukakan oleh Yahya Harahap yang pada dasarnya menyatakan hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu didasarkan pada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya di samping pembuktian dengan alat bukti yabg lain, masih tetap selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.31
Dalam peraturan bersama antara Menteri Hukum dan HAM, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Kejaksaan Agung, Polisi Republik Indonesia (POLRI), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Mahkamah Agung (MA) Justice Collaborator diartikan sebagai seorang saksi yang juga merupakan seorang pelaku, tetapi mau bekerja sama dengan aparat penegak hukum dalam rangka membongkar suatu perkara. Sehingga dengan demikian, muncul pembuktian alat bukti yang berasal dari alat bukti saksi dan menguatkan keyakinan hakim karena memperoleh keterangan dalam pembuktian
30 Lilik Mulyadi, Op.Cit, Hlm 11-12.
31 M. Yahya Harahap, 2009, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali), Jakarta, Sinar Grafika. Hlm. 286.
saksi berasal dari Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator).32
Dalam hal pembuktian, ketika seseorang tersangka, terdakwa maupum terpidana kasus narkotika mendapatkan status sebagai Justice Collaborator akan mendapat perlindungan hukum dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Tinjauan Justice Collaborator sebagai alat bukti ini menjadi penting mengingat fokus utama penelitian ini ialah tentang pengaturan hak dan kewajiban Justice Collaborator dalam tindak pidana narkotika.
4. Urgensi Justice Collaborator Dalam Membongkar Tindak Pidana Terorganisir
Menurut Abdul Haris Semendawai, adapun urgensi untuk memberdayakan tersangka atau terdakwa untuk memberikan informasi dan bekersama dalam membongkar tindak pidana transnational organized crime (dalam hal ini tindak pidana narkotika) di Indonesia didasari oleh beberapa alasan yaitu sebagai berikut:
Pertama, sulitnya membongkar tindak pidana transnational organized crime karena tindak pidana ini dilakukan oleh organisasi tindak pidana yang dilakukan secara terorganisasi, terencana dan tersembunyi. Sehingga untuk membongkar tindak pidana tersebut dibutuhkan informasi dari orang dalam yang terlibat. Apabila yang
32 Shoim Zainul Bahar, 2018, Analisa Yuridis Penataan Ulang Syarat Justice Collaborator dalam Tindak Pidana Narkotika, Skripsi Universitas Muhammadiyah Malang. Hlm. 24-25.
bersangkutan secara terbuka memberikan informasi dan kesaksian kepada aparat penegak hukum maka keterangannya akan dijadikan alat bukti untuk digunakan dalam menuntut pertanggungjawaban pidana kepada pelaku tindak pidana lainnya yang memiliki peran lebih penting.
Kedua, praktik menggunakan informasi dari tersangka atau terdakwa tersebut sudah dilaksanakan di beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Italia. Dari kasus-kasus yang ditangani, telah berhasil mengungkap dan membongkar tindak pidana yang dilakukan oleh sejumlah organisasi mafia.
Ketiga, dalam rangka melindungi Hak Asasi Manusia tersangka atau terdakwa yang telah diatur dalam sejumlah instrumen HAM Internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia.33
5. Syarat-Syarat Justice Collaborator
Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban memuat ketentuan yang diberikan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) terhadap Justice Collaborator dengan syarat sebagai berikut:
a. Tindak pidana yang akan diungkap merupakan tindak pidana dalam kasus tertentu34 sesuai dengan keputusan LPSK;
b. Sifat pentingnya keterangan yang diberikan oleh Saksi Pelaku dalam mengungkap suatu tindak pidana;
33 Abdul Haris Semendawai, Penetapan Status Justice Collaborator bagi Tersangka atau Terdakwa dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, Jurnal Padjadjaran Ilmu Hukum Volume 3, Nomor 3 Tahun 2016. Hlm.483.
34 Yang dimaksud tindak pidana dalam kasus tertentu ialah antara lain: tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat, tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, tindak pidana terorisme, tindak pidana perdagangan orang, tindak pidana narkotika, tindak pidana psikotropika, tindak pidana seksual terhadap anak, dan tindak pidana lain yang mengakibatkan posisi Saksi dan/atau Korban dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya.
c. Bukan sebagai pelaku utama dalam tindak pidana yang diungkapkannya;
d. Kesediaan mengembalikan aset yang diperoleh dari tindak pidana yang dilakukan dan dinyatakan dalam pernyataan tertulis, dan;
e. Adanya ancaman yang nyata atau kekhawatiran akan terjadinya ancaman, tekanan secara fisik atau psikis terhadap Saksi Pelaku atau keluarganya jika tindak pidana tersebut diungkap menurut keadaan yang sebenarnya.
6. Prosedur Pengajuan Sebagai Justice Collaborator
Selanjutnya mengenai prosedur permohonan pengajuan menjadi Justice Collaborator dibedakan menjadi 2 (dua) kategori yaitu:
Pertama, seseorang dengan status sebagai tersangka atau terdakwa.
Secara implisit ketentuan dalam Pasal 10A ayat (4) menerangkan bahwa Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dapat memberikan rekomendasi secara tertulis kepada penuntut umum untuk dimuat dalam tuntutannya kepada hakim. Hal ini diatur secara teknis dalam Pasal 10 Peraturan Bersama Menkumham, Kejaksaan RI, Kepolisian RI, KPK dan LPSK dengan memuat ketentuan sebagai berikut:
a. Permohonan diajukan oleh pelaku sendiri kepada Jaksa Agung atau Pimpinan KPK;
b. LPSK dapat mengajukan rekomendasi terhadap Justice Collaborator untuk dipertimbangkan oleh Jaksa Agung atau Pimpinan KPK;
c. Permohonan memuat identitas Justice Collaborator, serta alasan dan bentuk penghargaan yang diharapkan;
d. Jaksa Agung atau Pimpinan KPK memutuskan untuk memberikan atau menolak memberikan penghargaan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Apabila Jaksa Agung atau Pimpinan KPK mengabulkan permohonan tersebut maka Penuntut Umum wajib menyatakan dalam tuntutannya mengenai peran yang dilakukan oleh Justice Collaborator dalam membantu proses penegakan hukum agar dapat menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan.
Kedua, seseorang dengan status sebagai narapidana akan diberikan penghargaan. Secara implisit ketentuan dalam Pasal 10A ayat (5) menerangkan bahwa Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dapat memberikan rekomendasi secara tertulis kepada Kementerian Hukum dan HAM. Hal ini diatur secara teknis dalam Pasal 34B Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan yaitu:
a. Penghargaan terhadap Justice Collaborator yaitu berupa remisi untuk narapidana diberikan oleh Menteri Hukum dan HAM setelah mendapat pertimbangan tertulis dari Menteri Hukum dan HAM dan/atau pimpinan lembaga terkait;
b. Pertimbangan tertulis tersebut disampaikan oleh Menteri Hukum dan HAM dan/atau pimpinan lembaga terkait dalam jangka waktu
paling lama 12 (dua belas) hari kerja sejak diterimanya permintaan tersebut.