PENGGUNAAN MODEL DIDAKTIK DALAM PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK
TESIS
Oleh
EVA MONIKA SAFITRI LUBIS 167021021/MT
PROGRAM STUDI MAGISTER MATEMATIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2018
PENGGUNAAN MODEL DIDAKTIK DALAM PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK
T E S I S
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Magister Matematika pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Sumatera Utara
Oleh
EVA MONIKA SAFITRI LUBIS 167021021/MT
PROGRAM STUDI MAGISTER MATEMATIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2018
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Telah diuji pada
Tanggal : 13 Desember 2018
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Herman Maengkang
Anggota : 1. Prof. Dr. Tulus, M.Si 2. Dr. Mardiningsih, M.Si 3. Dr. Sawaluddin, M.IT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PERNYATAAN ORISINALITAS
PENGGUNAAN MODEL DIDAKTIK DALAM PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK
TESIS
Saya mengakui bahwa tesis ini adalah hasil karya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing dituliskan sumbernya
Medan, Penulis,
Eva Monika Safitri Lubis
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademika Universitas Sumatera Utara, Saya yang bertanda ta- ngan di bawah ini:
Nama : Eva Monika Safitri Lubis
NIM : 167021021
Program Studi : Matematika Jenis Karya Ilmiah : Tesis
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif (Non-Exclusive Royalty Free Right) atas tesis saya yang berjudul:
Penggunaan Model Didaktik Dalam Pendidikan Matematika Realistik.
Beserta perangkat yang ada. Dengan Hak Bebas Royalti NonEksklusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih media, memformat mengelola dalam bentuk data-base, merawat dan mempublikasikan Tesis saya tanpa meminta izin dari saya selama mencantumkan nama saya sebagai pe- megang dan atau sebagai penulis dan sebagai pemilik hak cipta.
Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya.
Medan, Penulis,
Eva Monika Safitri Lubiss
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PENGGUNAAN MODEL DIDAKTIK DALAM PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK
ABSTRAK
Penelitian tentang pendidikan matematika adalah bidang yang lebih luas di mana salah satunya bertujuan untuk meningkatkan keterampilan pengajaran dan pembelajaran matematika. Penelitian ini menjelaskan salah satu alat untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam matematika yang disebut model didak- tik. Model tersebut dapat digunakan untuk mempelajari konsep matematika baru, misalnya , Matematika Realistik. Ini terdiri dari objek yang akrab bagi pelajar dengan operasi yang dirumuskan dengan baik (yang di defenisi dengan baik) pada mereka. Operasi yang dilakukan pada objek didefinisikan secara ketat dan sepenuhnya dan unik dipetakan ke operasi matematika formal dan sintaks konsep matematika yang belum diketahui ini. Operasi-operasi ini mendukung konstruksi pemahaman tentang penalaran yang lebih formal tentang konsep- konsep matematika dan tentang sifat-sifat esensial mereka. Penelitian ini (paper
= makalah/proposal) ini mengusulkan perancangan model yang akan sesuai un- tuk Matematika Realistik.
Kata kunci : Pendidikan matematika, Matematika realistik, Desain, Model didaktik
The Use Of Models Didactic In Realistic Mathematics Educations
ABSTRACT
Research on mathematics education is a broader area in which one of them aimed to improving mathematics teaching and learning practices. This paper describes one of tool to promote students ability in mathematics called didactic model.
Such model can be used for learning a new mathematical concept, eg, Realistic Mathematics. It consists of objects familiar to the learner with well-defined op- erations on them. The operations performed on the objects are rigorously defined and are fully and uniquely mapped onto the formal mathematical operations and syntax of this yet unknown mathematical concept. These operations support the construction of an understanding of more formal reasoning about mathematical concepts and about their essential properties. This paper proposes designing the model which would be appropriate for Realistic Mathematics.
Keyword : Mathematics education, Realistic mathematics, Design, Didatic model
ii UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur kepada Allah SWT. yang telah memberikan berkah dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul PENG- GUNAAN MODEL DIDAKTIK DALAM PENDIDIKAN MATEMATIKA REA- LISTIK. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi pa- da Program Studi Magister Matematika Fakultas Matematika dan Ilmu Penge- tahuan Alam (FMIPA) Universitas Sumatera Utara. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terimakasih sebesar-besarnya kepada:
Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.
Dr. Kerista Sebayang, MS selaku Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Penge- tahuan Alam (FMIPA) Universitas Sumatera Utara.
Prof. Dr. Saib Suwilo, M.Sc selaku Ketua Program Studi Magister Matematika FMIPA USU yang telah banyak memberikan arahan, saran/kritik dan dukungan yang luar biasa kepada penulis dalam pengerjaan tesis ini.
Prof. Dr. Herman Mawengkang selaku Pembimbing I penulis yang telah banyak memberikan arahan saran/kritik dan dukungan yang luar biasa kepada penulis dalam pengerjaan tesis ini.
Prof. Dr. Tulus, M.Si selaku Pembimbing I penulis yang telah banyak mem- berikan arahan saran/kritik dan dukungan yang luar biasa kepada penulis dalam pengerjaan tesis ini.
Dr. Mardiningsih, M.Si selaku Pembanding I penulis yang telah banyak mem- berikan arahan saran/kritik dan dukungan yang luar biasa kepada penulis dalam pengerjaan tesis ini.
Dr. Sawaluddin, MIT selaku Pembanding II penulis yang telah banyak mem- berikan arahan saran/kritik dan dukungan yang luar biasa kepada penulis dalam pengerjaan tesis ini.
Seluruh Staf pengajar di Program Studi Magister Matematika FMIPA USU yang telah banyak memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis selama masa perkuliahan.
Kak Misiani, S.Si selaku Staf Administrasi Program Studi Magister Mate- matika FMIPA USU yang telah banyak memberikan pelayanan yang baik kepada penulis selama mengikuti perkuliahan.
Tak lupa penulis mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya dan penghar- gaan setinggi-tingginya kepada Ayahanda tercinta Damron Junaidi Lubis dan ibunda Mas Khoiroh Hasibuan yang selalu mencurahkan kasih sayang dan dukun- gan penuh kepada penulis. Tak lupa penulis mengucapkan terimakasih kepada kawan-kawan Lain di pasca sarjana FMIPA USU yang selama 2 tahun ini mem- berikan semangat dan motivasi kepada penulis. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran untuk penyempurnaan tesis ini. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan pihak-pihak lain yang memerlukannya. Terimakasih.
Medan, Penulis,
Eva Monika Safitri Lubis
iv UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RIWAYAT HIDUP
Eva Monika Safitri Lubis dilahirkan di Desa Mampang Kecamatan Kotapi- nang pada 16 maret 1994 dan merupakan anak ke 6 dari 9 bersaudara dari ayah Bapak Damron Junaidi Lubis dan Ibu Mas Khoiroh Hasibuan. Penulis memulai pendidikan di SD Negeri 115492 Mampang pada tahun 2000 dan lulus pada tahun 2006, kemudian melanjutkan pendidikan ke SMP Negeri 1 Kota Pinang dan lulus pada tahun 2009. Kemudian melanjutkan ke pendidikan SMA di SMA Negeri 1 Kota Pinang dan lulus pada tahun 2012. Kemudian melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi Institut Agama Islam Negeri Padang Sidempuan Fakultas Tarbiah dan Ilmu Keguruan jurusan Tadris Matematika lulus pada tahun 2016.
Di tahun 2016 semester genap penulis melanjutkan pendidikan pada program Studi Magister Matematika di Universitas Sumatera Utara.
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK i
ABSTRACT ii
KATA PENGANTAR iii
RIWAYAT HIDUP v
DAFTAR ISI vi
DAFTAR GAMBAR viii
BAB 1 PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Perumusan Masalah 3
1.3 Tujuan Penelitian 3
1.4 Manfaat Penelitian 3
1.5 Metodologi 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5
2.1 Model Didaktik 5
2.2 Pendidikan Matematika Realistik 8
2.3 Pendekatan Konstruktivisme dan Pendekatan Kontekstual 17 2.4 Tekhnik Pengajaran Pendidikan Matematika Realistik 22
vi UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2.5 Model Didaktik Terhadap Pendidikan Realistik Matematika 23 BAB 3 EVALUASI MODEL DIDAKTIK DALAM PENDIDIKAN MA-
TEMATIKA 25
3.1 Evaluasi 25
BAB 4 PEMBAHASAN 29
4.1 Pembelajaran Matematika 29
4.2 Struktur Kegiatan Belajar Mengajar Matematika 29 4.3 Faktor-Faktor Pembelajaran yang Mempengaruhi Hasil Pem-
belajaran 31
4.4 Rancangan Pembelajaran Model Didaktik dalam Pendidikan
Matematika Realistik 34
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 42
5.1 Kesimpulan 42
5.2 Saran 42
DAFTAR PUSTAKA 43
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
2.1 Matematisasi konseptual 10
2.2 Matematisasi horizontal dan vertikal 11
4.1 Teknik penyebaran bimbingan kepada siswa dalam kelas 33
4.2 Interaksi belajar siswa 33
4.3 Model matematika (ilustrasi jawaban siswa) 37 4.4 Penyelesaian soal SPLDV (ilustrasi jawaban siswa) 39 4.5 persentase 1 (ilustrasi jawaban kelompok siswa) 40 4.6 Mpersentase 2 (ilustrasi jawaban kelompok siswa) 40
viii UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Mutu pendidikan Indonesia masih kurang, terlihat dari indikator Human De- velopment Index (HDI), Indonesia diantara 189 negara pada tahun 2011 masih peringkat 124 yang membuat Indonesia masuk dalam kategori Medium Human Development. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh PISA (Program for In- ternational Student Assessmen) pada 2009 menunjukkan, Indonesia menempati peringkat ke 61 dari 65 negara pada kategori literatur matematika. Ada tiga penyebab utama literasi matematika siswa di Indonesia sangat rendah yaitu lemahnya kurikulum di Indonesia, kurang terlatihnya guru-guru Indonesia, dan kurangnya dukungan dari lingkungan dan sekolah. Sedangkan menurut pene- litian Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) 2007, Matematika Indonesia berada di peringkat 36 dari 49 negara dengan skor rata- rata prestasi matematika 397 jauh dibawah rata-rata skor internasional yaitu 500. Salah satu tujuan pengajaran matematika ialah menyalurkan pemikiran sehari-sehari kearah pemikiran yang lebih teknis dan ilmiah pada tahap dini.
Selain itu juga sebagai cara untuk mengatasi masalah dalam kemajuan kognitif pada diri siswa untuk berpikir pada tahap dini.
Pembelajaran matematika yang dilalukan guru selama ini ialah menje- laskan objek matematika, memberi contoh objek matematika yang dijelaskan- nya, meminta siswa menyelesaikan soal yang serupa dengan contoh dan memberi latihan soal. Pembelajaran matematika seperti ini cenderung membuat siswa bosan dan tidak tertarik dengan pembelajaran matematika, bahkan yang paling menyedihkan prestasi belajar matematika sangat rendah. Padahal siswa-siswa tersebut bukanlah siswa yang lemah, tetapi selama ini mereka sibuk mengha- pal konsep, prinsip maupun operasi-operasi matematika yang disapaikan oleh gurunya.
2
Upaya pembaharuan untuk memperbaiki pembelajaran matematika sudah sejak lama dilakukan dengan berbagai cara dan tujuan. Upaya pembahuruan tersebut berupa kurikulum beserta tujuan yang diperjelas, ada juga pembaharu- an pembelajaran di kelas.
Model didaktik selalu memainkan peran penting dalam bidang pendidikan matematika, tetapi tidak selalu menjadi tema utama yang menarik teoritis dalam masyarakat. Model didaktik adalah sarana untuk belajar konsep matematika baru yang terdiri dari benda-benda asing bagi peserta didik dengan operasi yang didefinisikan dengan baik pada mereka. Operasi yang dilakukan pada objek yang ketat didefinisikan sepenuhnya dan unik dipetakan ke operasi matematika formal dan sintaks dari konsep matematika yang belum diketahui oleh siswa.
Upaya untuk menggunakan model didaktik dari konsep-konsep matematika un- tuk mengatasi kompleksitas mendirikan bahasa formal bermakna digambarkan oleh Nesher. Jantung Sistem Pembelajaran model matematika Nesher ini adalah sarana utama menuju pemahaman sifat-sifat bahasa matematika formal. Pe- modelan didaktik menawarkan cara yang signifikan untuk memahami sifat-sifat konsep nomor (misalnya; perbandingan jumlah sebagai objek, kelompok operasi biner) dan menghubungkan mereka ke bahasa formal, hubungan antara bidang fisik dan konsep matematika tidak relefan (Winslow.2009).
Pendidikan Matematika Realistik (PMR) adalah instruksi spesifik domain teori untuk pendidikan matematika (misalnya, Treffers, 1987; De Lange, 1987;
Streefland, 1991, Gravemeijer, 1994; Van den Heuvel-Panhuizen, 1996). Teori ini adalah jawaban Belanda atas kebutuhan, dirasakan di seluruh dunia, un- tuk mereformasi mengajar matematika. Akar PMR kembali ke awal 1970-an ketika Freudenthal dan rekan-rekannya meletakkan dasar untuk itu. Berbasis pada gagasan Freudenthal (1977) bahwa matematika untuk menjadi manusia nilai harus terhubung dengan kenyataan, tetap dekat dengan anak-anak dan se- harusnya relevan bagi masyarakat, penggunaan konteks realistis menjadi salah satu faktor yang menentukan. Di PMR, siswa harus belajar matematika dengan mengembangkan dan menerapkan konsep matematika dan alat peraga dalam
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3
situasi masalah kehidupan sehari-hari yang masuk akal mereka. Berkaitan de- ngan keterangan para ahli di bidang matematika, penulis akan mencoba menga- jukan perancangan model yang akan sesuai untuk pendidikan matematika rea- listik.
1.2 Perumusan Masalah
Penggunaan model didaktik dalam pendidikan matematika realistik penting di- pelajari karena model didaktik telah diakui sebagai model pembelajaran yang efektif untuk menjembatani dalam mempersiapkan siswa menghadapi situasi yang belum familiar dengan berpikir secara kreatif dan untuk menerapkan konsep matematika kedalam kehidupan sehari-hari (pendidikan matematika realistik).
Model didaktik perlu diteliti karena sejumlah literatur penelitian di berba- gai jurnal ditemukan beberapa kasus sehingga perlu diteliti lebih lanjut. Model didaktik memberikan petunjuk tentang pembuat perencanaan, menyampaikan pengalaman, pengetahuan dan mengadakan penilaian secara efektif. Sedangkan pendidikan matematika realistik melibatkan memahami masalah kontekstual, menjelaskan masalah kontekstual membandingkan dan mendiskusikan jawaban dan menyimpulkan hasil diskusi. Oleh karena itu perencanaan pembelajaran, penerapan matematika realistik serta evaluasi pembelajaran turut dikaji dalam penelitian ini.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mengajukan suatu perancangan pembelajaran mo- del didaktik yang akan sesuai untuk Matematika Realistik.
1.4 Manfaat Penelitian
Berguna sebagai literatur dalam peningkatan proses pembelajaran dalam bidang matematika.
4
1.5 Metodologi
Penelitian ini bersifat pengkajian literatur yang berhubungan dengan pendidikan matematika realistik yang diintegrasikan kedalam model didaktik. Hal yang paling utama dalam penelitian ini adalah model pembelajaran didaktik.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini akan dibahas teori dan penelitian terdahulu yang dapat mendukung terhadap hasil dan pembahasan model didaktik dalam pendidikan matematika realistik.
2.1 Model Didaktik
Model adalah representasi dari suatu objek, benda, atau ide-ide dalam bentuk yang disederhanakan dari kondisi atau fenomena alam. Model berisi informasi-informasi tentang suatu fenomena yang dibuat dengan tujuan untuk mempelajari fenomena sistem yang sebenarnya. Model dapat merupakan tiruan dari suatu benda, sistem atau kejadian yang sesungguhnya yang hanya berisi informasi-informasi yang dianggap penting untuk ditelaah.
Kata didaktik atau didactic sampai sekarang digunakan oleg guru-guru.
Istilah ini berasal dari benua Eropa, yakni Eropa Barat. Orang Belanda mem- bawanya ke Indonesia dan akhirnya sampai sekarang terus di pergunakan. Diluar negeri, seperti Amerika menggunakan istilah lain yaitu istilah teaching, curricu- lum, dan audio visual, untuk pengertian pengajaran, rencana pengajaran, dan alat bantu pengajaran. Selain itu sering pula di gunakan istilah learning, un- tuk perbuatan belajar murid. Perbuatan belajar erat sekali dengan perbuatan mengajar. Karena itu teaching dan learning satu sama lain saling berkaitan dan saling menunjang. Demikian pula masalah kurikulum dan audio visual satu sama lain tidak dapat di lepaskan. Namun para ahli membicarakannya dengan kekhususan tertentu dengan sudut peninjauan yang berlainan .
Istilah didaktik berasal dari kata didasco, didaskein, artinya saya mengajar atau jalan pelajaran, bahkan ada yang menyebutkan sebagai ilmu tentang belajar dan mengajar. Ilmu ini membicarakan tentang bagaimana cara membimbing kegiatan belajar murid secara berhasil ( Hamalik, 2001 )
6
JA Komensky dalam bukunya Analytical Didaktics (Brno, 2013) mengata- kan didaktik berarti kemampuan untuk mengajar dengan baik. Mengajar adalah kegiatan mentransfer pengatuhuan seseorang (guru) kepada orang lain (siswa).
Didaktik adalah ilmu mengajar yang membuat orang menjadi belajar. Didaktik adalah ilmu tentang masalah mengajar dan belajar secara ampuh dan berdaya guna. Didaktik tidak sama pedagogik. Didaktik adalah bagian kecil dari rumpun ilmu pedagogik. Mengajar hanyalah salah satu dari mendidik, namun mengajar adalah unsur yang utama dalam mendidik ( Ismail, 1998 ).
Dari pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan didaktik adalah sua- tu disiplin ilmu yang memecahkan tugas-tugas mengajar pada tingkat individu dan jenis sekolah. Mendefenisikan tujuan dan isi dari kurikulum, mengajarkan metode pengajaran yang tepat dan sesuai prosedur.
Fungsi didaktik dapat di tinjau dari dua segi, yang pertama ialah dari segi ilmu dan kedua dari segi alat atau media.
1. Fungsi didaktik dari segi ilmu, didaktik merupakan cabang dari ilmu pen- didikan, yang sekarang telah berkembang sebagai ilmu yang berdiri sendiri.
Didaktik di pandang sebagai ilmu pendidikan yang di terapkan dan di prak- tekkan terutama dalam pengajaran di sekolah. Perkembangan didaktik yang pesat, bukan saja mendorong pengajaran, akan tetapi telah mem- berikan bahan-bahan yang lengkap bagi ilmu pendidikan. Bahkan timbul- nya masalah-masalah yang di hadapi oleh guru dan murid dalam hubungan proses belajar dan mengajar telah mendorong pemikiran-pemikaran baru secara filosofis pedagogis. Pada ahli filsafat pendidikan berusaha keras menemukan cara-cara yang tepat untuk memecahkan persoalan-persoalan yang di hadapin oleh didaktik. Pengalaman-pengalaman para pendidik, guru, orang tua, dan masyarakat telah memberikan bahan-bahan yang berguna bagi para ahli pendidikan, sehingga menciptakan konsep baru pa- da bidang didaktik. Hal ini dapat kita buktikan dengan sistem pendidikan yang di cetuskan dan di cobakan oleh para ahli tersebut.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
7
2. Fungsi didaktik dari segi alat, Sebagai alat didaktik berfungsi dalam mas- yarakat, budaya, dan teknologi. Kita maklum bahwa di dalam masyarakat, baik dalam kelompok yang besar maupun dalam kelompok yang kecil, se- tiap saat dan dimana saja selalu terjadi komunikasi dan interaksi. Komu- nikasi dan interaksi sosial akan bertambah lancar apabila individu-individu yang berkomunikasi dan berinteraksi itu mampu melakukannya secara baik dan efektif. Sebagai contoh, hubungan percakapan dua orang akan lebih bergairah apabila orang-orang itu menguasai teknik berbicara yang baik.
Guru yang baik harus menguasai ilmu yang menjadi bahan pelajaran dan il- mu didaktik sebagai ilmu tentang cara penyampaian. Di dalam masyarakat, ilmu didaktik banyak digunakan orang, meskipun mungkin tidak menyadari bah- wa yang digunakannya itu adalah didaktik, misalnya seorang lurah memberikan penjelasan kepada masyarakat desa tentang Keluarga Berencana, PKK, dan ber- jangkitnya penyakit di daerahnya. Usaha demikian sesungguhnya sudah terma- suk usaha yang bersifat didaktik. Sebab didaktik berguna yaitu:
1. Didaktik memberikan petunjuk tentang pembuat perencanaan
2. Didaktik memberikan petunjuk tentang bagaiman cara membuat tujuan- tujun yang diinginkan
3. Didaktik memberikan petunjuk tentang bagaimana cara menyampaikan pengalaman dan pengtahuan dengan cara yang efektif
4. Didaktik memberikan petunjuk tentang bagaimana cara mengadakan pe- nilaian secara efektif
5. Didaktik memberikan petunjuk tentang cara mempelajari sesuatu dengan berhasil
6. Didaktik memberikan petunjuk tentang bagaimana cara membuat suatu program yang sistematis
8
7. Didaktik memberikan petunjuk bagaimana memberikan cara mengadakan pengumpulan informasi yang diperlukan
8. Didaktik memberikan petunjuk tentang bagaimana cara berkomunikasi dan berinteraksi dengan masyarakat
9. Didaktik memberikan petunjuk tentang apa yang perlu dilakukan oleh masyarakat dan orang tua guna membantu berhasilnya pekrjaan sekolah (Hamalik, 2001)
2.2 Pendidikan Matematika Realistik
Menurut Hartono (2008) Pendidikan Matematika Realistik merupakan suatu pendekatan yang diadaptasi dari suatu pendekatan pendidikan matematika yang telah diperkenalkan oleh Freudenthal di Belanda pada tahun 1973 dengan nama Realistic Mathematics Education (RME). Hans Freudenthal berpandangan bah- wa mathematics as human activity sehingga belajar matematika yang dipandang paling baik adalah dengan melakukan penemuan kembali (re-invention) mela- lui masalah sehari-hari (daily life problems) dan selanjutnya secara bertahap berkembang menuju ke pemahaman matematika formal.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas jelas bahwa Pendidikan Mate- matika Realistik merupakan suatu pendekatan yang bertitik tolak pada realita atau konteks nyata di sekitar siswa untuk mengawali kegiatan pembelajaran dan akhirnya digunakan untuk menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari- harinya.
Menurut Hadi (Hartono, 2008) siswa harus diberi kesempatan untuk me- nemukan kembali ide dan konsep matematika di bawah bimbingan guru. Proses penemuan kembali ini dikembangkan melalui penjelajahan berbagai persoalan dunia nyata. Di sini dunia nyata diartikan sebagai segala sesuatu yang berada di luar matematika, seperti kehidupan sehari-hari, lingkungan sekitar, bahkan mata pelajaran lain pun dapat dianggap sebagai dunia nyata. Dunia nyata di- gunakan sebagai titik awal pembelajaran matematika. Untuk menekankan bah-
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
9
wa proses lebih penting daripada hasil, dalam pendekatan matematika realistik digunakan istilah matematisasi, yaitu proses mematematikakan dunia nyata. Se- lanjutnya, oleh Treffers (Hartono, 2008) matematisasi dibedakan menjadi dua, yaitu matematisasi horizontal dan matematisasi vertical.
Realistic mathematics education, yang diterjemahkan sebagai pendidikan matematika realistik (PMR), adalah sebuah pendekatan belajar matematika yang dikembangkan sejak tahun 1971 oleh sekelompok ahli matematika dari Freudenthal Institute, Utrecht University di Negeri Belanda. Pendekatan ini didasarkan pada anggapan Hans Freudenthal (1905 1990) bahwa matematika adalah kegiatan manusia. Menurut pendekatan ini, kelas matematika bukan tem- pat memindahkan matematika dari guru kepada siswa, melainkan tempat siswa menemukan kembali ide dan konsep matematika melalui eksplorasi masalah- masalah nyata. Di sini matematika dilihat sebagai kegiatan manusia yang bermu- la dari pemecahan masalah (Dolk, 2006). Karena itu, siswa tidak dipandang se- bagai penerima pasif, tetapi harus diberi kesempatan untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika di bawah bimbingan guru. Proses penemuan kembali ini dikembangkan melalui penjelajahan berbagai persoalan dunia nyata (Hadi, 2005). Di sini dunia nyata diartikan sebagai segala sesuatu yang berada di luar matematika, seperti kehidupan sehari-hari, lingkungan sekitar, bahkan mata pe- lajaran lain pun dapat dianggap sebagai dunia nyata. Dunia nyata digunakan sebagai titik awal pembelajaran matematika. Untuk menekankan bahwa proses lebih penting daripada hasil, dalam pendekatan matematika realistik digunakan istila matematisasi, yaitu proses mematematikakan dunia nyata. Selanjutnya, oleh Treffers (dalam van den Heuvel-Panhuisen, 1996) matematisasi dibedakan menjadi dua, yaitu matematisasi horizontal dan matematisasi vertikal. Kedua proses ini digambarkan oleh Gravenmeijer (dalam Hadi, 2005) sebagai proses penemuan kembali (lihat Gambar 2.1).
10
Gambar 2.1 Matematisasi konseptual
Matematisasi horizontal adalah proses penyelesaian soal-soal kontekstual dari dunia nyata. Dalam matematika horizontal, siswa mencoba menyelesaikan soal-soal dari dunia nyata dengan cara sendiri, dan menggunakan bahasa dan simbol siswa sendiri. Sedangkan matematisasi vertikal adalah proses formalisasi konsep matematika. Dalam matematisasi vertikal, siswa mencoba menyusun prosedur umum yang dapat digunakan untuk menyelesaikan soal-soal sejenis se- cara langung tanpa bantuan konteks. Dalam istilah Freudenthal (dalam van den Heuvel-Panhuisen,1996) matematisasi horizontal berarti bergerak dari dunia nya- ta ke dalam dunia simbol, sedangkan matematisasi vertikal berarti bergerak di dalam dunia simbol itu sendiri. Dengan kata lain, menghasilkan konsep, prinsip, atau model matematika dari masalah kontekstual sehari-hari termasuk matema- tisasi horizontal, sedangkan menghasilkan konsep, prinsip, atau model matema- tika dari matematika sendiri termasuk matematisasi vertikal. Pada Gambar 2.2, matematisasi horizontal digambarkan sebagai panah garis, sedangkan matema- tisasi vertikal sebagai panah blok.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
11
Gambar 2.2 Matematisasi horizontal dan vertikal
Gravemeijer (Tarigan, 2006) mengemukakan 5 karakteristik pendekatan matematika realistik (PMR), yaitu:
1. Penggunaan masalah kontekstual (use of context) Proses pembelajaran di- awali dengan keterlibatan siswa dalam pemecahan masalah kontekstual.
Masalah kontekstual tidak hanya berfungsi sebagai sumber pematemati- kaan, tetapi juga sebagai sumber untuk mengaplikasikan kembali matema- tika. Masalah kontekstual yang diangkat sebagai topik awal pembelajaran harus merupakan masalah sederhana yang dikenali oleh siswa. Masalah kontekstual dalam PMR memiliki empat fungsi yaitu: 1) untuk membantu siswa menggunakan konsep matematika, 2) untuk membentuk model dasar matematika dalam mendukung pola pikir siswa bermatematika, 3) untuk memanfaatkan realitas sebagai sumber aplikasi matematika, dan 4) untuk melatih kemampuan siswa, khususnya dalam menerapkan matematika pa- da situasi nyata (realita).
12
2. Penggunaan model (use of models, bridging by vertical instruments) Kon- sep atau ide matematika direkonstruksikan oleh siswa melalui model-model instrumen vertikal, yang bergerak dari prosedur informal ke bentuk formal, dan juga digunakan sebagai jembatan antara level pemahaman yang satu ke level pemahaman yang lain. Instrumen-instrumen vertikal ini dapat berupa skema-skema, diagram-diagram, simbol-simbol dan lain sebagainya.
3. Kontribusi siswa (students contribution) siswa aktif mengkonstruksi sendiri bahan matematika berdasarkan fasilitas dengan lingkungan belajar yang disediakan oleh guru, secara aktif menyelesaikan soal dengan cara masing- masing. Misalnya, pada pengertian pecahan, pada awalnya siswa diberi kebebasan penuh untuk mendefinisikan pengertian pecahan dengan kalimat siswa sendiri, kemudian dari beragam jawaban siswa dikompromikan dan dipakai salah satu pendapat yang benar. Jika tidak ada yang benar, guru hanya membimbing ke arah pengertian yang benar. Jadi, kontribusi ini diharapkan muncul dari diri siswa, bukan dari guru.
4. Kegiatan interaktif (interactivity) Kegiatan belajar bersifat interaktif, yang memungkinkan terjadinya interaksi antara siswa dengan siswa, siswa de- ngan guru, dan siswa dengan perangkat pembelajaran. Bentuk-bentuk interaksi seperti: negoisasi, penjelasan, pembeneran, persetujuan, per- tanyaan atau refleksi digunakan untuk mencapai bentuk pengetahuan ma- tematika formal yang ditemukan sendiri oleh siswa.
5. Interaksi terus dioptimalkan sampai konstruksi yang diinginkan diperoleh, sehingga interaksi tersebut bermanfaat.
6. Keterkaitan topik (intertwining) Struktur dan konsep matematika saling berkaitan dan terintegrasi satu sama lain. Keterkaitan dan keterintegrasian antar struktur dan konsep matematika ini harus dieksplorasi untuk men- dukung terjadinya proses pembelajaran yang lebih bermakna.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
13
Langkah-langkah dalam proses Pendidikan Matematika Realistik adalah sebagai berikut.
1. Memahami masalah kontekstual, yaitu guru memberikan masalah (soal) kontekstual dan siswa diminta untuk memahami masalah tersebut. Pa- da tahap ini karakteristik pertama diterapkan yaitu penggunaan masalah kontekstual.
2. Menjelaskan masalah kontekstual, yaitu guru menjelaskan situasi dan kon- disi dari soal dengan cara memberikan petunjuk-petunjuk atau berupa saran seperlunya, tebatas pada bagian-bagian tertentu dari permasalahan yang belum dipahami oleh siswa. Pada tahap ini memberi peluang terlak- sananya prinsip pertama PMR yaitu penemuan terbimbing dan matema- tisasi progresif.
3. Menyelesaikan masalah kontekstual, yaitu siswa secara individual menye- lesaikan masalah kontektual pada buku siswa atau LKS dengan caranya sendiri. Cara pemecahan dan jawaban masalah yang berbeda lebih diu- tamakan. Guru memotivasi siswa untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan penuntun yang mengarahkan siswa memperoleh penyelesaian masalah tersebut. Pertanyaan-pertanyaan penuntun seperti bagaimana kamu tahu itu, bagaimana caranya, mengapa kamu berpikir seperti itu, dan lain-lain.
4. Membandingkan dan mendiskusikan jawaban. Siswa diminta untuk mem- bandingkan dan mendiskusikan jawaban siswa dalam kelompok kecil. Sete- lah itu hasil dari diskusi itu dibandingkan pada diskusi kelas yang dipimpin oleh guru. Pada tahap ini siswa dapat melatih keberanian mengemukakan pendapat, meskipun berbeda dengan teman lain atau bahkan dengan gu- runya.
5. Menyimpulkan berdasarkan hasil diskusi kelompok dan diskusi kelas yang dilakukan, guru mengarahkan siswa untuk menarik kesimpulan tentang
14
konsep, definisi, teorema, prinsip atau prosedur matematika yang terkait dengan masalah kontekstual yang baru diselesaikan.
Dalam pendekatan matematika realistik, siswa dipandang sebagai individu (sub- jek) yang memiliki pengetahuan dan pengalaman sebagai hasil interaksinya de- ngan lingkungan. Selanjutnya, dalam pendekatan ini diyakini pula bahwa siswa memiliki potensi untuk mengembangkan sendiri pengetahuannya, dan bila diberi kesempatan siswa dapat mengembangkan pengetahuan dan pemahaman siswa tentang matematika. Melalui eksplorasi berbagai masalah, baik masalah kehidu- pan sehari-hari maupun masalah matematika, siswa dapat merekonstruksi kem- bali temuan-temuan dalam bidang matematika. Jadi, berdasarkan pemikiran ini konsepsi siswa dalam pendekatan ini adalah sebagai berikut (Hadi, 2005):
1. Siswa memiliki seperangkat konsep alternatif tentang ide-ide matematika yang mempengaruhi belajar selanjutnya.
2. Siswa memperoleh pengetahuan baru dengan membentuk pengetahuan itu untuk dirinya sendiri.
3. Siswa membentuk pengetahuan melalui proses perubahan yang meliputi penambahan, kreasi, modifikasi, penghalusan, penyusunan kembali, dan penolakan.
4. Siswa membangun pengetahuan baru untuk dirinya sendiri dari beragam pengalaman yang dimilikinya
5. Siswa memiliki kemampuan untuk memahami dan mengerjakan matema- tika tanpa memandang ras, budaya, dan jenis kelamin.
Pemikiran dan konsepsi di atas menggeser peran guru dalam kelas. Kalau dalam pendekatan tradisional guru dianggap sebagai pemegang otoritas yang mencoba memindahkan pengetahuannya kepada siswa, maka dalam pendekatan matema- tika realistik ini guru dipandang sebagai fasilitator, moderator, dan evaluator
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
15
yang menciptakan situasi dan menyediakan kesempatan bagi siswa untuk mene- mukan kembali ide dan konsep matematika dengan cara sendiri. Oleh karena itu, guru harus mampu menciptakan dan mengembangkan pengalaman belajar yang mendorong siswa untuk memiliki aktivitas baik untuk dirinya sendiri maupun bersama siswa lain (interaktivitas). Akibatnya guru tidak boleh hanya terpaku pada materi dalam kurikulum dan buku teks, tetapi harus terus menerus memu- takhirkan materi dengan masalah-masalah baru dan menantang. Jadi, peran guru dalam pendekatan matematika realistik dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Guru harus berperan sebagai fasilitator belajar;
2. Guru harus mampu membangun pengajaran yang interaktif;
3. Guru harus memberi kesempatan kepada siswa untuk aktif memberi sum- bangan pada proses belajarnya;
4. Guru harus secara aktif membantu siswanya dalam menafsirkan masalah- masalah dari dunia nyata; dan
5. Guru harus secara aktif mengaitkan kurikulum matematika dengan dunia nyata, baik fisik maupun sosial.
Beberapa karakteristik pendekatan matematika realistik menurut Suryanto (2007) adalah sebagai berikut:
1. Masalah kontekstual yang realistik (realistic contextual problems) digu- nakan untuk memperkenalkan ide dan konsep matematika kepada siswa.
2. Siswa menemukan kembali ide, konsep, dan prinsip, atau model matemati- ka melalui pemecahan masalah kontekstual yang realistik dengan bantuan guru atau temannya.
3. Siswa diarahkan untuk mendiskusikan penyelesaian terhadap masalah yang siswa temukan (yang biasanya ada yang berbeda, baik cara menemukannya maupun hasilnya).
16
4. Siswa merefleksikan (memikirkan kembali) apa yang telah dikerjakan dan apa yang telah dihasilkan; baik hasil kerja mandiri maupun hasil diskusi.
5. Siswa dibantu untuk mengaitkan beberapa isi pelajaran matematika yang memang ada hubungannya.
6. Siswa diajak mengembangkan, memperluas, atau meningkatkan hasil-hasil dari pekerjaannya agar menemukan konsep atau prinsip matematika yang lebih rumit.
7. Matematika dianggap sebagai kegiatan bukan sebagai produk jadi atau hasil yang siap pakai. Mempelajari matematika sebagai kegiatan paling cocok dilakukan melalui learning by doing (belajar dengan mengerjakan).
Beberapa hal yang perlu dicatat dari karakteristik pendekatan matematika rea- listik di atas adalah bahwa pembelajaran matematika realistik
1. Termasuk cara belajar siswa aktif karena pembelajaran matematika dila- kukan melalui belajar dengan mengerjakan;.
2. Termasuk pembelajaran yang berpusat pada siswa karena memecahkan masalah dari dunia siswa sesuai dengan potensi siswa, sedangkan guru hanya berperan sebagai fasilitator;
3. Termasuk pembelajaran dengan penemuan terbimbing karena siswa dikon- disikan untuk menemukan atau menemukan kembali konsep dan prinsip matematika.
4. Termasuk pembelajaran kontekstual karena titik awal pembelajaran mate- matika adalah masalah kontekstual, yaitu masalah yang diambil dari dunia siswa;
5. Termasuk pembelajaran konstruktivisme karena siswa diarahkan untuk me- nemukan sendiri pengetahuan matematika siswa dengan memecahkan ma- salah dan diskusi.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
17
6. Dua catatan terakhir di atas mengisyaratkan bahwa secara prinsip pen- dekatan matematika realistik merupakan gabungan pendekatan konstruk- tivisme dan kontekstual dalam arti memberi kesempatan kepada siswa un- tuk membentuk (mengkonstruksi) sendiri pemahaman siswa tentang ide dan konsep matematika, melalui penyelesaian masalah dunia nyata (kon- tekstual).
2.3 Pendekatan Konstruktivisme dan Pendekatan Kontekstual
Teori pendidikan matematika realistik sejalan dengan teori belajar yang berkem- bang saat ini, seperti konstruktivisme dan pembelajaran kontekstual. Namun, baik pendekatan konstruktivisme maupun kontekstual memiliki teori belajar se- cara umum.
1. Pendekatan konstruktivisme
Konstruktivisme adalah suatu pendekatan belajar menurut teori belajar Piaget. Menurut Piaget, manusia memiliki struktur kognitif yang berupa skemata, yaitu kotak-kotak informasi (skema) yang berbeda-beda. Setiap pengalaman akan dihubungkan dengan kotak-kotak informasi ini. Struktur kognitif seseorang berkembang melalui dua cara, yaitu asimilasi dan ako- modasi, sebagai hasil interaksinya dengan lingkungan. Asimilasi adalah proses memasukkan pengalaman baru secara langsung ke dalam kotak in- formasi yang sudah ada. Ini terjadi bila pengalaman baru itu sama dengan isi kotak informasi yang tersimpan dalam struktur kognitif seseorang. Ako- modasi adalah proses memasukkan pengalaman baru secara tidak langsung ke dalam kotak informasi yang sudah ada. Ini terjadi bila pengalaman baru tidak sesuai dengan informasi yang sudah ada, dalam hal ini informasi yang sudah tersimpan dalam struktur kognitif seseroang akan mengalami modifi- kasi. Sebagai contoh, seorang anak yang melihat macan untuk pertama kali mungkin akan menganggapnya sebagai seekor kucing besar karena dalam struktur kongnitif anak itu sudah ada kotak informasi mengenai kucing dan dia berusaha memasukkan macan ke dalam kotak informasi kucing.
18
Bila anak itu sudah mulai mengerti bahwa macan bukan kucing, maka dia akan membentuk kotak informasi baru mengenai macan atau memodifikasi kotak informasi kucing yang ada di dalam struktur kognitifnya. Dengan cara inilah struktur kognitif seseorang berkembang semakin lengkap dan rinci sesuai dengan pengalamannya. Karakteristik utama belajar menurut pendekatan konstruktivisme adalah sebagai berikut (Mustaji dan Sugiarso, 2005).
(a) Belajar adalah proses aktif dan terkontrol yang maknanya dikonstruk- si oleh masing-masing individu;
(b) Belajar adalah aktivitas sosial yang ditemukan dalam kegiatan bersama dan memiliki sudut pandang yang berbeda; dan
(c) Belajar melekat dalam pembangunan suatu artifak yang dilakukan dengan saling berbagi dan dikritik oleh teman sebaya.
Berdasarkan karakteristik belajar di atas, beberapa prinsip pembelajaran menurut pendekatan konstruktivisme adalah sebagai berikut:
(a) Menciptakan lingkungan dunia nyata dengan menggunakan konteks yang relevan;
(b) Menekankan pendekatan realistik guna memecahkan masalah dunia nyata;
(c) Analisis strategi yang dipakai untuk memecahkan masalah dilakukan oleh siswa;
(d) Tujuan pembelajaran tidak dipaksakan tetapi dinegosiasikan bersama;
(e) Menekankan antar hubungan konseptual dan menyediakan perspektif ganda mengenai isi;
(f) Evaluasi harus merupakan alat analisis diri sendiri;
(g) Menyediakan alat dan lingkungan yang membantu siswa menginter- pretasikan perspektif ganda tentang dunia; dan
(h) Belajar harus dikontrol secara internal oleh siswa sendiri dan dime- diasi oleh guru.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
19
Adapun prinsip-prinsip konstruktivisme yang banyak digunakan dalam pem- belajaran matematika antara lain (Hadi, 2005):
(a) Pengetahuan dibangun sendiri oleh siswa, baik secara personal maupun sosial;
(b) Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke siswa;
(c) Pengetahuan diperoleh siswa hanya dengan keaktifan sendiri;
(d) Siswa terus aktif mengkonstruksi pengetahuannya sehingga konsep yang dimilikinya menjadi semakin rinci, lengkap, dan ilmiah;
(e) Guru hanya menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi berjalan mulus.
2. Pendekatan kontekstual
Pendekatan kontekstual didasarkan pada keyakinan bahwa seseorang akan tertarik untuk mempelajari sesuatu apabila ia melihat makna dari apa yang dipelajarinya itu. Makna muncul dari hubungan antara isi dan konteksnya.
Di sini konteks diartikan sebagai situasi atau keadaan yang memberi mak- na kepada suatu objek. Misalnya, dalam konteks matematika, kata ganjil berarti bilangan bulat yang tidak habis dibagi dua, sedangkan dalam kon- teks bahasa Indonesia kata ini bisa berarti aneh atau janggal. Jadi sebuah kata atau istilah bisa mempunyai makna yang berbeda sesuai dengan kon- teksnya. Dalam skala yang lebih besar, misalnya, konteks Sumatera tidak sama dengan konteks Sulawesi karena kebudayaan, adat istiadat, dan ke- biasaan hidup di Sumatera tidak sama denga kebudayaan, adat istiadat, dan kebiasaan hidup di Sulawesi. Demikian pula konteks Jawa tidak bisa dibawa ke Kalimantan. Tugas utama guru menurut pendekatan kontek- stual adalah menyediakan konteks yang memberi makna pada isi sehingga melalui makna tersebut siswa dapat menghubungkan isi pelajaran dengan pengetahuan dan pengalamannya. Tentu saja konteks yang dipilih harus sesuai dengan kebudayaan, adat istiadat, dan kebiasaan hidup di tempat siswa tinggal.
20
Pendekatan kontekstual meyakini beberapa hal (Johnson dalam Hadi, 2005), antara lain
(a) Siswa memahami dan mengingat apa yang dipelajari bila siswa me- nemukan makna dari pelajarannya;
(b) Dengan pembelajaran kontekstual siswa mampu menghubungkan pe- lajaran di sekolah dengan konteks nyata dalam kehidupan sehari-hari;
(c) Pembelajaran kontekstual memperluas konteks pribadi siswa dalam artian memacu siswa untuk membuat hubungan-hubungan yang baru sehingga menemukan makna yang baru.
Jadi, pada dasarnya pendekatan konstekstual adalah sebuah pendekatan belajar yang membantu siswa melihat makna dari pelajaran di sekolah melalui hubungan antara pelajaran tersebut dengan konteks kehidupan sehari-hari, baik secara pribadi, sosial, maupun budaya. Untuk mencapai hal ini, pendekatan kontekstual memiliki delapan prinsip (Hadi, 2005), yaitu:
1. Hubungan yang bermakna, 2. Pekerjaan yang berarti, 3. Pengaturan belajar sendiri, 4. Kolaborasi,
5. Berpikir kritis dan kreatif, 6. Pendewasaan individu,
7. Pencapaian standar yang tinggi, dan 8. Penilaian autentik.
Peran guru menurut pendekatan kontekstual adalah sebagai berikut (lihat Nurhadi et al., 2005):
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
21
1. Mengkaji konsep yang harus dipelajari siswa;
2. Memahami pengalaman hidup siswa;
3. Mempelajari lingkungan sekolah dan tempat tinggal siswa;
4. Merancang pembelajaran yang mengaitkan konsep dengan pengalaman siswa;
5. Membantu siswa mengaitkan konsep dengan pengalaman siswa;
6. Mendorong siswa membangun kesimpulan yang merupakan pemahaman siswa tentang konsep yang sedang dipelajari.
Ada tujuh komponen utama dalam pendekatan kontekstual, yaitu (Nurhadi et al., 2005):
1. Konstruktivisme
Dalam komponen ini siswa memperoleh pemahaman yang mendalam me- lalui pengalaman belajar yang bermakna dengan cara membangun sendiri pengetahuannya sedikit demi sedikit dari konteks yang terbatas.
2. Penemuan
Di sini siswa mengembangkan pemahaman konsep melalui siklus menga- mati, bertanya, menganalisis, dan merumuskan teori baik secara individu maupun berkelompok. Keterampilan berpikir kritis juga dikembangkan di sini.
3. Bertanya
Dalam komponen ini siswa didorong untuk mengetahui sesuatu dan mem- peroleh informasi. Di samping itu, kemampuan berpikir kritis siswa dapat dilatih dan sekaligus dinilai.
22
4. Masyarakat belajar
Di sini siswa dilatih untuk berbicara dan berbagi pengalaman serta bek- erjasama dengan orang lain untuk menciptakan pembelajaran yang lebih baik.
5. Pemodelan
Di sini siswa diberi model (contoh) tentang apa yang harus siswa kerjakan.
Pemodelan dapat berupa demonstrasi dan pemberian contoh.
6. Penilaian autentik (Sebenarnya)
Dengan komponen ini proses dan hasil kedua-duanya dapat diukur.
7. Refleksi
Komponen ini merupakan komponen yang penting karena memberi kesem- patan untuk melihat kembali apa yang sudah dikerjakan termasuk kema- juan belajar dan hambatan yang ditemui.
2.4 Tekhnik Pengajaran Pendidikan Matematika Realistik
Untuk memberikan gambaran tentang pengajaran Pendidikan Matematika Rea- listik, berikut ini diberikan contoh pembelajaran pecahan. Pecahan diinterpre- tasi sebagai bagian dari keseluruhan. Interpretasi ini mengacu pada pembagian unit ke dalam bagian yang berukuran sama. Dalam hal ini sebagai kerangka kerja siswa adalah daerah, panjang, dan model volume.
Dalam pembelajaran, sebelum siswa masuk pada sistem formal, terlebih dahulu siswa dibawa kesituasi informal. Misalnya, pembelajaran pecahan da- pat diawali dengan pembagian menjadi bagian yang sama (misalnya pembagian kue) sehingga tidak terjadi loncatan pengetahuan informal anak dengan konsep- konsep matematika (pengetahuan matematika formal).
Setelah siswa memahami pembagian menjadi bagian yang sama, baru diper- kenalkan istilah pecahan. Ini sangat berbeda dengan pembelajaran konvesional
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
23
(bukan PMR) dimana siswa sejak awal di cekoki dengan istilah pecahan dan beberapa istilah pecahan.
Jadi, pembelajaran PMR diawali dengan fenomena, kemudian siswa dengan bantuan guru diberikan kesempatan menemukan kembali dan mengkonstruksikan konsep sendiri. Selain itu, diaplikasikan dalam masalah sehari-hari dalam bidang lain.
2.5 Model Didaktik Terhadap Pendidikan Realistik Matematika
Topik-topik matematika disajikan atas dasar aplikasinya dan konstribusinya ba- gi perkembangan matematika. Pembelajaran matematika yang cenderung ber- orentasi kepada memberi informasi atau memberi peserta didik dan memakai matematika yang sudah siap pakai untuk memecahkan masalah, diubah dengan menjadikan masalah sebagai sarana utama untuk mengawali pembelajaran se- hingga memungkinkan peserta didik dengan caranya (pengalaman) sendiri men- coba memecahkannya. Dalam memecahkan masalah tersebut, peserta didik di- harapkan dapat melangkah ke arah matematisasi horizobtal dan matematisasi vertikal.
Dalam ranngka mencapai matematisasi horizontal sangat mungkin dilaku- kan melalui langkah-langkah informal sebelum sampai kepada matematika yang lebih formal. Dalam hal ini, dengan bimbingan guru peserta didik diharapkan dapat memecahkan masalah serta dapat melangkah atau terbawa ke arah pemiki- ran matematika sehingga siswa akan menemukan sendiri sifat-sifat, defenisi atau teorema matematika tertentu (matematika horizontal), kemudian ditingkatkan aspek matematisasinya (matematika vertikal).
Kaitannya dengan matematisasi horizontal dan matematisasi vertikal, De Lange menyebutkan bahwa proses matematisasi horizontal antara lain meliputi proses atau langkah-langkah informasi yang dilakukan peserta didik dalam menye- lesaikan masalah (soal), membuat model, membuat skema, menemukan hubungan dan lain-lain, sedangkan matematisasi vertikal, antara lain meliputi menyatakan
24
suatu hubungn dengan suatu formula (rumus), membuktikan keteraturan, mem- buat berbagai model, merumuskan konsep baru, melakukan generalisasi dan se- bagainya. Proses matematisasi horizontal-vertikal inilah yang diharapkan dapat memberi kemungkinan peserta didik lebih mudah memahami matematika yang abstrak.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB 3
EVALUASI MODEL DIDAKTIK DALAM PENDIDIKAN MATEMATIKA
3.1 Evaluasi
Evaluasi merupakan kegiatan yang penting dalam sebuah proses pembelajaran.
Guru memerlukan informasi tentang keberhasilan proses pembelajarannya. Ora- ng tua siswa juga memerlukan informasi tentang kemajuan atau hasil belajar anaknya dalam matematika. Selain itu, siswa sendiri berhak mengetahui apa yang yang peroleh dari pembelajaran matematika. Informasi yang diperoleh dari kegiatan evaluasi dapat digunakan sebagai umpan balik bagi semua pihak yang terlibat dalam proses pembelajaran matematika di sekolah. Selanjutnya, Suryanto (2007) memberikan beberapa catatan mengenai evaluasi pada pembe- lajaran matematika realistik.
1. Observasi (pengamatan)
Pada pembelajaran matematika realistik, evaluasi tidak hanya diperlukan untuk mengukur pencapaian kompetensi tertentu, tetapi juga diperlukan untuk memperoleh gambaran tentang perkembangan siswa, yang meliputi sikap siswa terhadap pelajaran matematika, taraf kemampuan memecah- kan masalah, kekeliruan yang siswa dilakukan dalam memecahkan masalah, cara siswa bekerja sama dengan teman sekelas, kebutuhan akan bantuan dalam belajar matematika, motivasi belajar, dan sebagainya. Karena itu, salah satu cara evaluasi yang perlu ditekankan dalam pendekatan ini adalah observasi (pengamatan).
2. Evaluasi kontinu
Evaluasi pada pembelajaran matematika realistik lebih menekankan eva- luasi proses belajar atau proses pembelajaran. Jadi, observasi sebaiknya dilakukan secara terus menerus.
26
3. Peranan guru dalam evaluasi
Peranan guru dalam evaluasi meliputi kegiatan melakukan observasi, men- diagnosis kesulitan siswa, mengembangkan tes dan instrumen lain, melak- sanakan tes, dan menggunakan instrumen lain.
4. Pendekatan holistik
Evaluasi pada pembelajaran matematika realistik tidak hanya untuk me- ngukur pencapaian kompetensi seorang siswa, tetapi juga untuk memper- oleh gambar yang selengkap-lengkapnya mengenai siswa tersebut. Karena itu, evaluasi harus bersifat holistik (menyeluruh).
5. Format soal terbuka
Evalasi harus dapat mengungkap kegiatan siswa (menemukan, matemati- sasi, dan sebagainya). Karena itu, jika tes akan digunakan dalam evaluasi, maka tes yang cocok adalah tes yang memuat soal terbuka, yaitu soal-soal yang dapat dikerjakan dengan beberapa cara atau yang mempunyai be- berapa kemungkinan jawaban tergantung pada tambahan informasi yang boleh dicari oleh siswa, atau soal-soal yang memerlukan kecakapan siswa untuk mengkomunikasikan penyelesaiannya.
6. Masalah terapan yang sesungguhnya
Evaluasi pada pembelajaran matematika realistik perlu memuat masalah terapan yang sesungguhnya dengan konteks non-matematis, yang memung- kinkan siswa melalukan matematisasi horizontal dan dapat membuat siswa merasa bahwa masalah itu memang perlu diselesaikan, bukan sekedar ma- salah verbal untuk melatih siswa menggunakan rumus.
Contoh: Untuk mengikuti perlombaan matematika, siswa harus sudah siap di depan kantor Dinas Pendidikan pada hari Senin pukul 08.00. Anisa tinggal di Perumahan Damai, Jalan Merpati nomor 10. Dengan kendaraan apa saja Anisa dapat datang ke tempat perlombaan dan pukul berapa dia harus berangkat?
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
27
Pembelajaran matematika harus realistik. Dalam bahasa Belanda kata realiseren berarti membayangkan. Jadi, pembelajaran matematika realistik da- pat diartikan sebagai pembelajaran matematika yang dapat dibayangkan oleh siswa. Karena itu, pembelajaran matematika harus dimulai dengan masalah yang diambil dari dunia nyata supaya siswa dapat membayangkannya. Masa- lah yang dipilih harus disesuaikan dengan konteks kehidupan siswa. Artinya, masalah yang dipilih harus dikenal baik oleh siswa. Contoh, dalam konteks makanan khas suatu daerah, pempek hanya cocok digunakan di Sumatera Se- latan, tetapi tidak cocok untuk digunakan di Papua. Dalam konteks bangunan untuk pembelajaran bentuk-bentuk geometri, misalnya, Monas atau Jembatan Ampera tidak cocok untuk digunakan di Kalimantan, karena siswa tidak dapat membayangkan bangunan-bangunan tersebut. Ini adalah karanteristik kedua.
Selanjutnya, dalam pembelajaran matematika realistik siswa diberi sebuah ma- salah dari dunia nyata dan diberi waktu untuk berusaha menyelesaikan masalah tersebut dengan cara dan bahasa serta simbol siswa sendiri. Misalnya, pada awal pembelajaran guru bercerita bahwa dia memiliki dua potong roti dan akan membagi kedua potong roti itu kepada tiga orang anaknya. Kemudian guru itu bertanya kepada siswa bagaimana cara memotong roti tersebut supaya ketiga anaknya mendapat bagian yang sama banyak. Selanjutnya siswa diberi waktu untuk menyelesaikan masalah itu dengan cara siswa sendiri, seperti membuat gambar atau mencari sesuatu yang menyerupai roti. Tentu saja pembelajaran ini akan lebih menarik bila guru tadi benar-benar membawa dua potong roti ke dalam kelas. Karakteristik selanjutnya adalah sifat interaktif. Setelah diberi kesempatan menyelesaikan masalah dengan cara siswa sendiri, siswa diminta menceritakan cara yang digunakannya untuk menyelesaikan masalah tersebut kepada teman-teman sekelasnya. Siswa lain diminta memberi tanggapan menge- nai cara yang disajikan temannya. Dengan cara seperti ini siswa dapat berin- teraksi dengan sesamanya, bertukar informasi dan pengalaman, serta berlatih mengkomunikasikan hasil kerjanya kepada orang lain. Akhirnya, siswa dibim- bing untuk menemukan aturan umum untuk menyelesaikan masalah sejenis. Di sinilah siswa dapat melihat hubungan matematika dengan kehidupan sehari-hari
28
atau dengan pelajaran lain. Inilah yang membuat pembelajaran matematika lebih bermakna.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB 4 PEMBAHASAN
4.1 Pembelajaran Matematika
Pembelajaran yang berorientasi Pendidikan Matematika realistik lebih menguta- makan pengenalan konsep melalui masalah kontekstual, hal-hal yang kongkrit atau dari lingkungan siswa denga proses matematisasi oleh siswa dengan meng- kostruksikan idenya sendiri. Soedjadi (2010) megemukakan pendidikan matema- tika realistik pada dasarnya adalah pemanfaatan realita dari lingkungan yang telah dipahami siswa untuk memperlancar proses pembelajaran matematika, de- ngan harapan agar tujuan pembelajaran matematika dapat dicapai lebih baik dari masa lalu.
Dapat dipahami bahwa strategi pembelajaran yang dilakkan oleh guru di kelas sifatnya adalah bebas. Guru bebas memilh metode, teknik dan pendekatan pembelajaran yang digunakan. Akan tetapi perlu mempertimbangkan situasi / kondisi siswa dan sarana prasarana sekolah, waktu yang tersedia, biaya, sosial budaya dan sebagainya. Dengan adanya perbedaan yang dimiliki oleh setiap siswa, dan sekolah, maka strategi pemelajaran di dalam penelitian ini hanya suatu alternatif yang mungkin dapat diterapkan oleh guru di kelas pembelajaran matematika.
Sebelum membahas rancangan pembelajaran model didaktik dalam pen- didikan matematika realistik, terlebih dahulu penulis sajikan strkur pembela- jaran matematika.
4.2 Struktur Kegiatan Belajar Mengajar Matematika
Struktur kegiatan belajar mengajar matematika adalah tahapan aktfitas guru dalam menyampaikan materi pembelajaran yang dibuat dalam skenario dengan mempertimbangkan alokasi waktu yang tersedia. Komponen struktur penga- jaran yang digunakan adalah:
30
1. Tahap pendahuluan;
2. Tahap pengembangan;
3. Tahap penerapan;
4. Penutup.
Keempat komponen ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Tahap pendahuluan
Tahap pendahuluan memuat tiga akifitas yaitu : apersepsi, motivasi dan penjelasan tujuanpembelajaran. Sebelum memulai aktifitas ini guru ter- lebih melakukan pngelolaan kelas yaitu mengkondusifkan suasana rang belajar, mempersiapkan / memeriksa peralatan belajar yang digunakan apakah berungsi atau tidak misalya, perangkat komputer, proyektor, dan audio visual lainnya dengan rencana pembelajaran.
Selanjutnya guru harus dapat mengaktifkan seluruh sense siswa baik sikap, perhatian dan nalar siswa. Pertma-tama guru dapat menjelaskan tujuan materi pembelajaran yang akan disampaikan, merevisi konetif siswa dan mengembangkan pemikiran matematika siswa dengan mengajukan per- tanyaan terbuka kata siswa ke siswa yang berupa jawaban singkat. Per- tanyaan dapat berupa jawaban tungal maupun tidak tunggal. Pertanyaan dapat bertujuan menggali ingatan siswa tentang suatu formula matematika yang berkaitan dengan materi yang akan disajikan.
2. Tahap Pengembangan
Pada tahap ini dikembangkan tujuan pembelajaran sesuai dengan kom- petensi dasar dan indikator yang ingin dicapai yang berhubungan dengan fakta, konsep, prinsip dan skill.
3. Penerapan
Pada tahap ini aplikasi dari formula-formula matematika mulai dikem- bangkan kebentuk yang lebih kompleks. Guru mengarahkan siswa untuk
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
31
mengerjakan soal-soal dan latihan-latihan sesuai dengan yang direncanakan sebelumnya. Guru perlu memahami hirarki soal yang diberikan.
4. Penutup
Tahap ini disebut tahap pemberian tugas kesimpulan tentang isi pembe- lajaran. Sebaiknya guru melibatkan siswa dalam menuliskan kesimpulan, agar guru dapat melihat siswa yang aktif dan tidak aktif, dengan cara ini juga guru dapat mengamati perbedaan tingkat kemampuan siswa. Sekali- gus menjadi refleksi terhadap pembelajaran yang dilakukan oleh guru di kelas tersebut.
4.3 Faktor-Faktor Pembelajaran yang Mempengaruhi Hasil Pembela- jaran
1. Penyajian/penyampaian materi;
2. Pendekatan pembelajaran;
3. Teknik bertanyak;
4. Interaksi;
5. Bimbingan siswa;
6. Penggunaan papan tulis;
7. Penggunaan alat tulis;
8. Penggunaan media pembelajaran;
9. Penyajian materi.
Hal yang menyangkut penyampaian materi adalah suara dan sikap guru.
Hendaknya volume suara guru terdengar jelas oleh setiap siswa, sikap guru ter- hadap materi yang disampaikan harus menunjukkan keyakinan dan bukan dalam sikap yang ragu-ragu atau bingung sendiri.
32
1. Pendekatan pembelajaran
Pendekatan pembelajaran dapat menggunakan alat-alat belajar seperti benda kongkrit, media prsentasi, kalkulasi dengan kalkulator /komputer.
Pendekatan pembelajaran juga dapat dimulai dari yang lebih sederhana menuju masalah yang lebih kompleks, menjadi beberapa sub masalah yang lebih sederhana.
2. Teknik bertanya
Sebelumnya kenalilah siswa dengan kepribadian intelektualnya. Agar per- tanyaan yang diberikan kepada siswa sesuai dengan tingkat kemapuannya.
Siswa akan mendapatkan rasa kepuasan dan kebanggaan tersendiri apabila pertanyaan yang diberikan dapat dijawabnya. Sebaliknya jika siswa ga- gal menjawab suatu pertanyaan yang diajukan kepadanya dikhawatirkan menimbulkan rasa malu, apalagi kegagalan menjawab sering dialaminya.
Arah pertanyaan juga harus berganti-ganti, jangan memberikan pertanyaan kepada siswa yang sama disetiap pertemuan. Jadikanlah petanyaan men- jadi hak semua siswa atau lakukan variasi arah pertanyaan terhada siwa.
3. Interaksi belajar
Agar pembelajaran tidak pasif dan satu arah (dari guru ke siswa). Guru harus dapat mengoptimalkan interaksi pembelajaran, apakah dari guru ke siswa, siswa ke guru antara sesama siswa.
4. Bimbingan siswa
Untuk mempercepat penyebaran materi yang disampaikan, guru dapat memberkan bimbingan langsung kepada sebagian siswa. Bimbingan yang dimaksudkan adalah haruslah mempunyai teknik atau strategi dan berstruk- tur dalam penjelasan yang diberikan, serta terkendali terhadap pemakaian waktu. Berikut salah satu teknik pemberian bimbingan kepada siswa dalam kelas.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
33
Gambar 4.1 Teknik penyebaran bimbingan kepada siswa dalam kelas
Arah penyebaran bimbingan yang diberikan guru adalah bebas sesuai de- ngan letak duduk siswa. Salah satu yang diharapkan dari teknik ini agar terjadi interaksi sesama siswa seperti yang ditunjuk pada gambar berikut:
Gambar 4.2 Interaksi belajar siswa
Salah satu dari kelemahan teknik seperti ini adalah bahwa siswa tidak diperlakukan sama. Kelemahan lain dapat menimbulkan suasana keributan aki- bat adanya interaksi siswa, akan tetapi guru harus terampil mengkondusifkan ruang belajar. Kebaikan dari teknik penyebaran bimbingan seperti ini:
1. Guru merasa terbantu untuk menyampaikan pelajaran;
2. Siswa diberi kesempatan untuk menggali kemampuannya;
3. Dapat mengembangkan kesempatan berpikir matematis siswa;
34
4. Adanya interaksi siswa;
5. Penggunaan papa tulis.
Penggunaan papan tulis hedaknya beraturan beraturan, dan tulisan guru cukup jelas dipandang siswa dari segala sudut ruangan. Mulailah menulis dari sudut kiri papan tulis, tapi sebatas yang dapat dipandang siswa yang duduk paling depan sebelah kanan papan tulis.
1. Penggunaan alat tulis
Gunakan alat tulis minimal dua warna, terutama untuk menggambar bangun- bangun geometri. Pengunaan alat tulis seperti ini dapat membantu siswa mengabstraksikan pemikirannya, siswa dapat melihat perbedan-perbedaan yang dimaksud pada gambar.
2. Pengunaan media
Media dalam pembelajaran matematika dapat berupa alat peraga, alat hitug, komputer dan perankatnya, proyektor dan layar.
4.4 Rancangan Pembelajaran Model Didaktik dalam Pendidikan Ma- tematika Realistik
1. Skenario pembelajaran (a) Pendahuluan
i. Sebagai apresiasi, diperiksa ulang pengetahuan siswa tentang aturan- aturan yang berlaku pada persamaan linier dua variabel. Guru menuliskan bentuk umum persamaan linier dua variabel seterus- nya guru mengoreksi ingatan siswa tentang komponen atau unsur yang selalu berkaitan dengan sistem persamaan linier dua vari- abel.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
35
ii. Memberikan motivasi, dengan menjelaskan tujuan pembelajaran dengan memberikan contoh penggunaanya dalam kehidupan sehari- hari.
(b) Pengembangan dan penerapan
Langkah pertama : guru menuliskan soal pemodelan matematika yang lebih mudah dipahami siswa, tetapi solusinya berkaitan dengan per- samaan linier dua variabel, guru memberikan kesempatan kepada siswa sekitar lima menit untuk mencobanya dengan pemahaman sendiri.
Sembari menunggu aktivitas guru berkeliling dalam kelas memantau kegiatan siswa. Lima menit kemudian guru menggali informasi dari siswa, sambil memulai pembahasan soal yang dimaksud. Disela-sela waktu penjelasan agar siswa tetap terfokus terhadap penjelasan, gu- ru harus melibatkan siswa untuk menstrukturisasi penyelesaian. Agar siswa aktif, sesekali guru harus melemparkan pertanyaan kepada siswa dalam mengisi pola-pola matematika yang muncul. Pada langkah per- tama ini guru masih lebih banyak aktif dibandingkan siswa.
Langkah kedua : kembali guru memberikan soal aplikasi yang lebih kompleks dibandingkan soal yang diberikan pada langkah pertama.
Tetapi diharapkan siswa aktif lebih banyak dari guru.
Langkah ketiga : guru memberi soal lain dan lebih kompleks, di- harapkan siswa aktif dan mampu menyelesaikan secara tuntas, tanpa bimbingan guru.
Misalnya : diberikan konteks soal aplikasi berikut :
i. Dian pergi ke sebuah toko pakaian, dengan membawa 1 lembar uang seratus ribu. Jika ia membeli 2 baju dan 5 celana, uangnya masih kurang 30.000 rupiah. Tapi jika ia membeli 3 baju dan 2 celana, menerima uang pengembalian sebesar 6000 rupiah. Bera- pa harga 1 baju dan 1 celana? Buatlah model matematika dari masalah di atas.
Skenario pembelajaran :
36
1. Strategi Pembelajaran langkah pertama : mengidentifikasi masalah Setelah soal dituliskan di papan tulis, berikan kesempatan kepada siswa untuk memahaminya, tunggu beberapa menit. Dengan metode tanya jawab diminta jawaban siswa untuk mengidentifikasi permasala- han yang ada, guru dapat bertanya kepada siswa dengan pertanyaan apa-apa saja yang diketahui dari masalah ini? Dan apa yang harus dicari? Pertanyaan kedua ini adalah untuk merumuskan arah tu- juan. Sebagai penyederhanaan permasalahan yang ada. Teridenti- fikasi adalah :
i. Jika 2 baju 5 celana uang kurang 30.000 rupiah;
ii. Jika 3 baju dan 2 celana uang kembali 6000 rupiah;
iii. Memisalkan harga 1 baju dengan x dan harga 1 celana dengan y;
iv. Tujuan menghitung harga 1 baju dan 1 celana.
Siswa dikatakan memahami langkah pertama tahap pemodelan apa- bila siswa telah mampu mengidentifikasi masalah-masalah yang ada pada konteks atau situasi dunia nyata.
2. Strategi pembelajaran langkah kedua : pembentukan model matema- tika Pada langkah ini siswa menggunakan pemikiran matematis, seper- ti penggunaan simbol, pengaturan gambar menggunakan metakognisi (kamampuan menemukan sendiri), dedukasi, dan strategi pemecahan masalah.
Sebab telah diketahui masalah pada soal diatas, guru memerintahkan siswa menggambar atau membuat model terhadap apa yang telah diketahui pada soal tersebut. Sambil menunggu siswa menggambar, guru berkeliling memantau hasil pekerjaan siswa sambil memberikan bimbingan kearah yang dimaksud baik kepada perorangan atau kepa- da keseluruhan siswa. Guru memantau yang dikerjakan siswa dan mengamati gambar siswa. Kesalahan siswa memahami soal mungkin terjadi pada bagian ini, siswa dapat saja berpikir tidak kritis meng- akibatkan siswa tidak bisa melanjutkan lagi. Gambar yang dimaksud seperti gambar di bwah ini,
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
37
Gambar 4.3 Model matematika (ilustrasi jawaban siswa)
Selanjutnya guru dapat memberi instruksi dan bertanya lebih rinci kepada siswa untuk merumuskan model-model matematika yang akan dimunculkan. Misalnya sebagai berikut :
a. Amatilah gambarmu!
b. Coba ceritakan dulu gambar yang kamu buat!
c. Dian membeli apa?
d. Misalkan harga 1 baju dengan salah satu huruf dan harga satu celana dengan salah satu huruf berbeda! (jawaban siswa yang diharapkan : baju = x, celana = y)
e. Untuk gambar pertama yang kamu buat ada berapa baju dan celana?
f. Berarti ada berapa x dan y? (jawaban siswa yang diharapkan : 2x dan 2y)
g. Kalau digabungkan dengan harga bagaimana? (jawaban siswa yang diharapkan : 2x + 5y = 130.000)
h. Lakukan hal yang sama untuk gambar kedua dan ketiga!
i. Dari jawabanmu merupakan sistem persamaan berapa? (jawaban siswa yang diharapkan : sistem persamaan linier dua variabel, variabelnya x dan y)
j. Selanjutnya guru menanyakan tujuan dari permasalahan yaitu
38
harga 1 baju dan 1 celana? Guru kembali mengingatkan siswa tentang aturan sistem persamaan linier dua variabel yaitu ax + by = c, dan mengaitkan informasi yang ditemukan dengan atu- ran ini. Sehingga siswa dapat menuliskan bentuk model matem- atikanya. Pekerjaan pembentukan model matematika, sampai penemuan formula matematika telah selesai. Siswa telah mema- hami proses pembentukan model matematika apabila, siswa dapat menemukan formula matematika yang bersesuaian dengan situasi masalah dunia nyatanya.
3. Strategi Pembelajaran langkah ketiga : bekerja dengan matematika Setelah menemukan bentuk model matematika, siswa diberikan ke- sempatan mengamati bentuk formula tersebut, dan mencoba menyari penyelesaiannya, pada tahapan ini pemikiran matematis dan penge- tahuan dasar matematika siswa sangat berperan. Dengan metode tanya jawab siswa dilibatkan menemukan bentuk equivalen dan me- ngaitkannya dengan formula umum sistem persamaan linier dua vari- abel, melihat kesamaan model matematika yang ditemukan dengan formula umum sistem persamaan linier dua variabel. Menggali penge- tahuan siswa tentang aturan sistem persamaan linier dua variabel.
Siswa diharapkan dapat melihat relasi data yang ditemukan dengan aturan sistem persamaan linier dua variabel yang disebutkan. Dari instruksi yang diberikan guru diharapkan dari jawaban siswa adalah:
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
39
Gambar 4.4 Penyelesaian soal SPLDV (ilustrasi jawaban siswa)
Seorang siswa dikatakan telah dapat bekerja dengan matematika sesuai dengan tahapan pemodelan matematika, apabila siswa telah dapat mengaktualisasikan ilmu pengetahuan yang dimilikinya untuk menen- tukan penyelesaian dari suatu model matematika.
4. Strategi pembelajaran langkah keempat : mengartikan solusi matema- tika Dengan metode tanya jawab siswa dapat menjelaskan arti solusi matematika yang ditemukan, dengan menghubungkan kembali kepada persamaan variabel-variabel yang dibuat pada langkah kedua. Siswa dikatakan telah dapat mengartikan solusi matematika, apabila siswa dapat menyebutkan arti dari nilai variabel-variabel yang ditemukan pada solusi matematika.
5. Strategi pembelajaran langkah ke lima : evaluasi hasil matematika i. Guru hendaknya meminta hasil pekerjaan siswa untuk dikoreksi
sebagai bahan refleksi untuk pembelajaran lebih lanjut.
ii. Evaluasi siswa dapat juga dilakukan dengan membagi siswa men- jadi beberapa kelompok untuk berdiskusi.
iii. Guru memberi kesempatan pada siswa untuk mendiskusikan /mem- bandingkan (memeriksa, memperbaiki, menyeleksi) jawabannya dengan teman-teman kelompoknya. Guru berjalan keliling ke- las untuk melihat hasil kerja kelommpok dan memilih beberapa
40
kelompok untuk menampilkan hasilnya di depan kelas.
iv. Guru memberi kesempatan pada seorang siswa dari kelompok yang dipilih untuk menampilkan hasil pekerjaan kelompoknya.
Gambar 4.5 persentase 1 (ilustrasi jawaban kelompok siswa)
Gambar 4.6 Mpersentase 2 (ilustrasi jawaban kelompok siswa)
(a) Melalui diskusi kelas jawaban para siswa dibahas/dibandingkan. Sama- sama penjelasannya bagus, tetapi pada kelompok atau persentasi 1 lebih terperinci dalam penulisan dari pada kelompok 2.
(b) Dari hasil diskusi kelas, guru memberi kesempatan pada siswa un- tuk menarik sebuah kesimpulan tentang defenisi dan langkah-langkah menyelesaikan persamaan linier dua variabel
(c) Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk bertanya bagi yang belum mengerti.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
41
6. Penutup Pembelajaran Menutup pertemuan dengan mengajak siswa merefleksikan apa yang dipelajari pada pertemuan ini. Siswa dapat menuliskan prosedur atau langkah-langkah penyelesaian soal aplikasi sistem persamaan linier dua variabel.
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Pembelajaran matematika realistik dengan model didaktik berpusat pada siswa, sedangkan guru hanya sebagai fasilitator dan motivator, sehingga memer- lukan paradigma yang berbeda tentang bagaimana siswa belajar, bagaimana guru mengajar, dan apa yang dipelajari oleh siswa dengan paradigma pembela- jaran matematika selama ini. Karena itu, perubahan perubahan persepsi guru tentang mengajar perlu dilakukan bila ingin mengimplementasikan pembelajaran matematika reaistik dengan model didaktik.
Pembelajaran matematika realistic dengan penggunaan model didaktik sa- ngat penting, sebagaimana perkembangan dunia nyata dalam aspek kehidupan manusia. Dengan tujuan agar siswa dapat menangani masalah-masalah mate- matika yang lebih kompleks dan dapat mengembangkan pola pikir matematis yang kritis dan analitis.
5.2 Saran
Pengkajian terhadap model didaktik masih tetap berlanjut. Maka disaran- kan strategi pembelajaran matematika yang lebih tepat saat ini adalah dengan penggunaan model didaktik dalam pembelajaran kontekstual dan realistik.
42 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA