• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab IV Metodologi dan Konsep Pemodelan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Bab IV Metodologi dan Konsep Pemodelan"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Bab IV

Metodologi dan Konsep Pemodelan

IV.1 Bagan Alir Metodologi Penelitian

Bagan alir metodologi penelitian seperti yang terlihat pada Gambar IV.1. Bagan Alir Metodologi Penelitian menjelaskan tentang metodologi atau langkah- langkah/tahap-tahap dalam penelitian ini, khususnya mengenai pemodelan rainfall-runoff pada DAS Citarum.

Metodologi penelitian ini terdiri dari empat tahapan, yaitu: pengumpulan data penelitian (data curah hujan-debit, topografi, dan tata guna lahan), pemodelan (pembuatan model dan melakukan penyesuaian hasil pemodelan terhadap hidrograf observasi dengan cara penyesuaian parameter-parameter tertentu yang berkaitan), simulasi (melakukan running model terhadap input hujan dan land cover berlainan yang berkaitan dengan skenario tertentu), dan kesimpulan.

Uraian mengenai masing-masing bagian metodologi penelitian pada Gambar IV.1.

Bagan Alir Metodologi Penelitian disajikan pada sub bab di bawah ini.

(2)

Gambar IV.1. Bagan Alir Metodologi Penelitian

(3)

IV.2 Pengumpulan Data Penelitian

Pengumpulan data hidrologi dimaksudkan untuk mengumpulkan data curah hujan dan debit sungai dari stasiun hujan dan pos duga air terdekat serta data tata guna lahan yang akan digunakan untuk input pemodelan pada DAS Citarum. Data-data hidrologi dapat diperoleh dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) serta instansi-instansi terkait lainnya. Data-data hidrologi yang perlu dikumpulkan serta kegunaannya adalah sebagai berikut:

ƒ Data curah hujan

Pengumpulan data curah hujan jam-jamam tahun 2002 dilakukan untuk stasiun pengamatan meteorologi yang ada pada DAS Citarum. Data curah hujan jam-jaman tersebut akan digunakan untuk menghitung besarnya curah hujan wilayah.

ƒ Pengumpulan data debit sungai

Pengumpulan data debit jam-jam tahun 2002 dari Pos Pengamatan Debit Nanjung yang digunakan untuk memisahkan direct run off dengan base flow dan sebagai data observasi.

ƒ Peta land cover (tutupan lahan) dan topografi

Pengumpulan data tata guna lahan diperlukan untuk menentukan karakteristik dari DAS Citarum seperti luas DAS, kekasaran, koefisien pengaliran, panjang sungai, dan lain sebagainya.

IV.3 Pemodelan

IV.3.1 Pengolahan Data Topografi

Permasalahan yang paling mendasar dalam pemodelan matematika di daerah aliran sungai adalah untuk menentukan unit segmentasi bagi komputasi matematis. Perkembangan lebih lanjut menunjukkan bahwa program pemodelan matematika daerah aliran sungai banyak dilakukan berdasarkan sistem grid.

Ukuran grid dipilih sedemikian rupa sehingga batas daerah aliran sungai dan ruas saluran dapat didekati berdasarkan garis grid yang ada dengan mempertimbangkan luas daerah aliran dan kemampuan komputer.

(4)

Variabel-variabel yang merepresentasikan kondisi daerah aliran sungai diterapkan untuk masing-masing grid. Variabel elevasi lahan, lokasi, dan elevasi dasar saluran, jenis vegetasi, dan jenis tanah merupakan contoh masukan bagi pemodelan matematik yang diterapkan untuk masing-masing grid.

Arah aliran dari sebuah grid diidentifikasi berdasarkan pembandingan terhadap elevasi terendah di sekeliling grid yang ditinjau. Arah aliran dari masing-masing grid akan berkaitan dengan kemiringan dasar lahan dari tiap grid. Kemiringan lahan ini diperoleh dari selisih elevasi suatu grid dengan elevasi terendah grid sekelilingnya. Variabel kemiringan lahan dari suatu grid akan digunakan untuk routing overland flow dari suatu grid ke grid terendah sekelilingnya.

Alur pengerjaan pengolahan data topografi daerah aliran sungai adalah sebagai berikut:

Uraian singkat mengenai masing-masing tahapan pengolahan data adalah sebagai berikut:

Peta Kontur Pembuatan DEM Kemiringan Lahan

Penentuan Arah Aliran

(5)

ƒ Pembuatan DEM (Digital Elevation Model)

a) Peta digital yang digunakan b) DEM yang dihasilkan

Gambar IV.2. Visualisasi pengolahan data topografi

Elevasi daerah aliran sungai diperoleh dari peta digital Bakosurtanal. Pada tahap selanjutnya diolah menjadi peta dengan besaran elevasi tiap grid.

1225.72 1378.89 1331.93 1427.73 1379.72 1397.73 1457.21 1490.38

1131.33 1199.36 1225.04 1267.57 1291.85 1323.40 1365.47 1290.10

1137.64 1180.47 1175.90 1234.68 1259.48 1241.18 1274.23 1150.00

1131.69 1146.80 1163.29 1223.10 1221.44 1251.57 1260.75 1192.47

1021.16 1055.35 1092.93 1124.50 1152.81 1151.77 1181.56 1168.50

954.07 977.76 1008.67 1039.14 1099.30 1099.05 1094.58 1120.65

870.32 876.07 927.89 929.94 966.11 965.97 1009.57 1050.02

765.23 784.99 837.72 858.04 891.63 930.03 941.17 929.00

763.48 784.55 795.29 854.11 853.62 859.68 879.49 858.00

750.23 760.45 784.35 802.65 805.00 826.23 840.82 844.45

736.00 751.00 772.00 771.00 783.00 797.00 782.00 795.00

730.00 736.00 741.00 751.00 766.00 757.00 755.00 756.00

718.00 724.00 719.00 726.00 743.00 725.00 742.00 741.00

707.00 711.00 708.00 706.00 726.00 705.00 704.00 703.00

700.00 702.00 701.00 707.00 717.00 716.00 715.00 711.00

690.00 692.00 691.00 696.00 697.00 695.00 706.00 699.00

678.50 679.00 685.00 688.00 690.00 703.00 697.00 695.00

679.00 678.00 680.00 681.00 679.00 685.00 690.00 686.00

782.00 672.00 674.00 677.00 673.00 679.00 679.00 677.00

765.00 665.00 667.00 671.00 668.00 670.00 668.00 674.00

663.00 662.00 665.00 665.00 664.00 663.00 665.00 664.00

(6)

Digital Elevation Model (DEM) adalah suatu bentuk representasi data kontur dalam bentuk grid, dimana masing-masing grid memiliki sebuah besaran elevasi.

Dengan basis DEM ini, perhitungan-perhitungan selanjutnya dilakukan dalam masing-masing grid. Ilustrasi DEM disajikan pada Gambar IV.2. Visualisasi pengolahan data topografi.

Data elevasi dalam pemodelan ini disimpan dalam bentuk file z.mat yang merupakan MATLAB data file. Sebelumnya, data elevasi lahan disimpan dalam bentuk file notepad. Berikut adalah kutipan source program untuk menyimpan data elevasi lahan.

% saving data (elevasi dan ukuran grid) tiap sub das z1=load('elcimahi.txt');

z2=load('elcibeureum.txt');

z3=load('elcitepus.txt');

z4=load('elcikapundung.txt');

z5=load('elcicadas.txt');

z6=load('elcidurian.txt');

z7=load('elcipamokolan.txt');

z8=load('elcikeruh.txt');

z9=load('elciwidey.txt');

z10=load('elcibolerang.txt');

z11=load('elcisangkuy.txt');

z12=load('elcitarumhulu.txt');

z13=load('elcitarik.txt');

kan=load('kan.txt');

baw=load('baw.txt');

save('z');

(7)

ƒ Penentuan Arah Aliran

Gambar IV.3. Visualisasi arah aliran

Arah aliran ditentukan berdasarkan elevasi terendah pada grid yang ada di sekeliling grid yang ditinjau. Ilustrasi arah aliran berdasarkan DEM yang ada, disajikan pada Gambar IV.3. Visualisasi arah aliran.

1 2

6 4

5 7

8

9 3

Gambar IV.4. Arah aliran

(8)

Arah aliran ini dikuantitatifkan dalam bentuk angka 1 sampai dengan 9 seperti dalam gambar di atas.

ƒ Data kemiringan lahan (S0)

Perhitungan besaran parameter S0 (faktor kemiringan lahan) didasarkan pada data elevasi dan panjang ruas dari masing-masing grid yang ditinjau.

Data arah dan kemiringan lahan dalam pemodelan ini disimpan dalam bentuk file dirs0.mat yang merupakan MATLAB data file. Data ini diperoleh dari data elevasi lahan yang sudah disimpan dalam bentuk file z.mat. Kutipan source program untuk menyimpan data arah aliran dan kemiringan lahan dapat dilihat di lampiran.

IV.3.2 Pengolahan Data Hujan

Data hujan jam-jaman akan digunakan bagi perhitungan debit banjir. Untuk perhitungan debit banjir, data hujan jam-jaman terlebih dahulu diolah menjadi hyetograph yang berhubungan dengan hydrograph pada di Stasiun Debit Nanjung pada jam yang berkaitan. Hyetograph yang dimasukkan merupakan hujan wilayah hasil perhitungan dengan Poligon Thiessen untuk masing masing sub das.

Hyetograph Bulan Januari 2002

0 1 2 3 4 5 6 7 8

0 3 6 9 12 15

Waktu (hari)

Curah Hujan (mm)

Gambar IV.5. Hujan wilayah bulan Januari 2002

(9)

Hidrograf Observasi Bulan Januari 2002

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200

0 3 6 9 12 15

Hari

Q (m3/s)

Gambar IV.6. Hidrograf observasi di Nanjung

Data intensitas hujan (I) dimasukkan dalam bentuk file notepad untuk tiap sub das. Data ini kemudian dirubah dalam bentuk file huj.mat yang akan di-upload oleh program utama. Berikut adalah kutipan source programnya.

% saving data hujan tiap sub das huj1=load('hujcimahi.txt');

huj2=load('hujcibeureum.txt');

huj3=load('hujcitepus.txt');

huj4=load('hujcikapundung.txt');

huj5=load('hujcicadas.txt');

huj6=load('hujcidurian.txt');

huj7=load('hujcipamokolan.txt');

huj8=load('hujcikeruh.txt');

huj9=load('hujciwidey.txt');

huj10=load('hujcibolerang.txt');

huj11=load('hujcisangkuy.txt');

huj12=load('hujcitarumhulu.txt');

huj13=load('hujcitarik.txt');

save('huj');

IV.3.3 Pengolahan Land Cover

Data land cover akan digunakan bagi perhitungan debit banjir. Peta land cover diolah menjadi peta koefisien kekasaran (N) dan koefisien pengaliran lahan (C).

(10)

Tabel IV.1. Koefisien kekasaran overland flow untuk model sheet flow (USACE, 1998)

Tabel IV.2.Koefisien pengaliran, C (Takeda, Sosrodarsono, 1978)

Koefisien Daerah Pengaliran dan Sungai Koefisien Pengaliran Daerah pegunungan yang curam 0,75 – 0,90

Daerah pegunungan tersier 0,70- 0,80

Tanah bergelombang dan hutan 0,50 – 0,75 Tanah dataran yang ditanami 0,45 – 0,60

Persawahan yang diairi 0,70 – 0,80

Sungai di daerah pegunungan 0,75 – 0,85

Sungai kecil di dataran 0,45 – 0,75

Sungai besar yang lebih dari setengah daerah pengalirannya terdiri dari dataran

0,50 – 0,75

Tabel IV.3.Koefisien pengaliran, C (Bernard, 1932)

Soil Type Watershed Cover

Cultivated Pasture Woodlands With above-average infiltration rates;

sandy or gravelly 0.2 0.15 0.1

With average infiltration rates; no clay

pans; loams and similar soils 0.4 0.35 0.3

With below-average infiltration rates;

heavy clay soils or soils with a clay pan near the surface; shallow soils above impervious rock

0.5 0.45 0.4

(11)

Tabel IV.4.Koefisien pengaliran, C (Das, 2000)

Vegetation type Slope range Sandy loam soil

Loam, Silt loam,

Clay soil

Stiff clay soil Woodland and forests 0-5%

5-10%

10-30%

0.1 0.25 0.3

0.3 0.35 0.5

0.4 0.5 0.6 Grassland 0-5%

5-10%

10-30%

0.1 0.16 0.22

0.3 0.36 0.42

0.4 0.55 0.6 Agricultural land 0-5%

5-10%

10-30%

0.3 0.4 0.52

0.5 0.6 0.72

0.6 0.7 0.82

Tabel IV.5.Koefisien pengaliran, C (Chow, 1964)

Ilustrasi peta land cover disajikan pada Gambar IV.7. Visualisasi peta land cover gridding.

Data parameter N (faktor kekasaran lahan) dan C (koefisien pengaliran lahan), dimasukkan dalam bentuk file notepad untuk tiap grid di tiap sub das. Data ini kemudian dirubah dalam bentuk file n.mat dan c.mat yang akan di-upload oleh program utama. Berikut adalah kutipan source programnya.

(12)

Keterangan :

P Æ Pemukiman K Æ Perkebunan KC Æ Kebun Campur HP Æ Hutan Primer HS Æ Hutan Sekunder S Æ Sawah

TK Æ Tanah Kosong L Æ Ladang D Æ Danau T Æ Pertambangan I Æ Kawasan Industri R Æ Padang Rumput SB Æ Semak Belukar

Gambar IV.7. Visualisasi peta land cover gridding

% saving data (N kekasaran lahan) tiap sub das n1=load('ncimahi.txt');

n2=load('ncibeureum.txt');

n3=load('ncitepus.txt');

n4=load('ncikapundung.txt');

n5=load('ncicadas.txt');

n6=load('ncidurian.txt');

n7=load('ncipamokolan.txt');

n8=load('ncikeruh.txt');

n9=load('nciwidey.txt');

n10=load('ncibolerang.txt');

n11=load('ncisangkuy.txt');

n12=load('ncitarumhulu.txt');

n13=load('ncitarik.txt');

save('n');

Input variable C analog dengan input variable N.

K L KC S KC P KC KC

KC L S S KC L K L

S KC KC KC KC K K L

HP S S S KC S KC KC

S S S KC S P KC S

S P S S S P S S

P P P S P S S P

P P KC S P S P P

P P P P P P P P

P P P P P P P P

P P S I P P P P

P P I I P P P P

S P I S P I P P

L I S P P P P P

KC P S P I P P P

T P S S S P P P

KC P S S P P I P

T S S S P P P P

S S S T P I P P

(13)

IV.3.4 Skema Model yag dibangun

1 2 3

1

2

3

4 i/j

q (m3/s/m) q (m3/s/m)

Q (m3/s)

Gambar IV.8. Skema model

Skema model di atas digunakan untuk mendistribusikan aliran di tiap sub das sampai dengan masing-masing muara di sungai utama. Routing di sungai utama dilakukan dengan syarat batas Qhulu adalah debit dari Sungai Citarum Hulu, dengan inflow lateral dari 12 anak sungai lainnya, serta syarat batas hilirnya adalah elevasi TMA Waduk Saguling.

Gambar IV.9. Lokasi muara anak sungai di sungai utama

(14)

IV.3.5 Routing Overland

Metoda Kinematic Wave banyak digunakan dalam aplikasi rainfall-runoff untuk mendeskripsikan overland flow maupun aliran dalam saluran. Perhitungan Metoda Kinematic Wave diturunkan dari persamaan Saint-Venant dan persamaan momentum, dengan mengabaikan suku gaya inersia dan tekanan. Dalam banyak kasus banjir, kemiringan saluran memegang peranan penting dalam persamaan momentum dibandingkan dengan parameter lain, sehingga sebagian besar kejadian gelombang banjir (flood wave) dapat didekati menggunakan persamaan Kinematic Wave (Chow, 1988).

IV.3.6 Routing Channel

Routing debit melalui saluran menggunakan Kinematic Wave untuk routing di anak sungai dan Dynamic Wave satu dimensi pada sungai utama yang memperhitungkan gaya inersia dan tekanan. Metoda Kinematic Wave untuk saluran dan Dynamic Wave sudah dijelaskan pada Bab II Tinjauan Pustaka.

Tabel IV.6.Koefisien kekasaran saluran, n Manning untuk saluran kecil (Chow, 1959)

Tabel IV.7.Koefisien kekasaran saluran, n Manning untuk saluran besar (Chow, 1959)

(15)

IV.4 Simulasi

Pada tahap simulasi ini akan dianalisa berbagai skenario perubahan tata guna lahan dan hyetograph untuk mengetahui seberapa besar pengaruh perubahan tata guna lahan tersebut terhadap besar debit banjir untuk suatu kejadian hujan.

IV.5 Kesimpulan

Pada tahap ini akan diuraikan mengenai kapabilitas model, kelebihan, kekurangan, serta kemungkinan aplikasi model untuk memperkirakan besaran debit banjir dari suatu DAS.

(16)

Bab IV ... 1

Metodologi dan Konsep Pemodelan ... 1

IV.1 Bagan Alir Metodologi Penelitian ... 1

IV.2 Pengumpulan Data Penelitian ... 3

IV.3 Pemodelan ... 3

IV.3.1 Pengolahan Data Topografi ... 3

IV.3.2 Pengolahan Data Hujan ... 8

IV.3.3 Pengolahan Land Cover ... 9

IV.3.4 Skema Model yag dibangun ... 13

IV.3.5 Routing Overland ... 14

IV.3.6 Routing Channel ... 14

IV.4 Simulasi ... 15

IV.5 Kesimpulan ... 15

Gambar IV.2. Visualisasi pengolahan data topografi ... 5

Gambar IV.3. Visualisasi arah aliran ... 7

Gambar IV.4. Arah aliran ... 7

Gambar IV.5. Hujan wilayah bulan Januari 2002 ... 8

Gambar IV.6. Hidrograf observasi di Nanjung ... 9

Gambar IV.7. Visualisasi peta land cover gridding ... 12

Gambar IV.8. Skema model ... 13

Gambar IV.9. Lokasi muara anak sungai di sungai utama ... 13

Tabel IV.1. Koefisien kekasaran overland flow untuk model sheet flow (USACE, 1998) ... 10

Tabel IV.2. Koefisien pengaliran, C (Takeda, Sosrodarsono, 1978) ... 10

Tabel IV.3. Koefisien pengaliran, C (Bernard, 1932) ... 10

Tabel IV.4. Koefisien pengaliran, C (Das, 2000) ... 11

Tabel IV.5. Koefisien pengaliran, C (Chow, 1964) ... 11

Tabel IV.6. Koefisien kekasaran saluran, n Manning untuk saluran kecil (Chow, 1959) ... 14

Tabel IV.7. Koefisien kekasaran saluran, n Manning untuk saluran besar (Chow, 1959) ... 14

Referensi

Dokumen terkait

Hasil yang tidak jauh berbeda juga ditunjukkan dari analisis hubungan antara pendidikan ibu dengan konsumsi air minum diperoleh hasil bahwa konsumsi air minum

Sub Dit Sub Dit Standardi sasi Pangan Olahan Sub Dit Inspeksi Produksi dan Peredar Pangan Seksi Standardi Sertifikasi an Produk Seksi Inspeksi Produksi Tangga Pangan Seksi

!""93%.. Pemerinta+ ber+arap melalui kegiatan PIK Remaja akan membantu mengatasi permasala+an remaja 1ang sangat kompleks% )erbagai data menunjukkan ba+4a penerapan

Dari analisis X terhadap Y1 juga dapat diketahui besarnya pengaruh pendidikan kewirausahaan terhadap motivasi berwirausaha dengan melihat R2 sebesar 0,053, yang

Terputusnya suatu daerah dari pemerintah pusat akan menghambat kemajuan suatu daerah, karena jembatan merupakan salah satu alat yang sangat vital bagi kelancaran lalu

Tujuan penelitian untuk menghasilkan model proses ekstraksi ultrasonik dari modifikasi dari model yang telah ada, sehingga dapat memprediksi hasil ekstraksi ultrasonik

Hasil skripsi yaitu tentang Raden Mas Soerjopranoto merasa prihatin terhadap kehidupan para buruh pabrik gula bumiputera yang menderita akibat

2.3.2 Prospektus Sebagai Pemenuhan Asas Transparansi Dalam Pasar Modal Berdasarkan pasal 1 angka 25 UUPM, transparansi dalam pasar modal adalah keharusan emiten, perusahaan publik