• Tidak ada hasil yang ditemukan

VISUALISASI DESAIN SET DALAM PENGGAMBARAN KARAKTER PADA FILM MAYA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "VISUALISASI DESAIN SET DALAM PENGGAMBARAN KARAKTER PADA FILM MAYA"

Copied!
123
0
0

Teks penuh

(1)

VISUALISASI DESAIN SET

DALAM PENGGAMBARAN KARAKTER PADA FILM

“MAYA”

Laporan Tugas Akhir

Ditulis sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Desain (S.Ds.)

Nama : Gladys

NIM : 11120210125

Program Studi : Desain Komunikasi Visual Fakultas : Seni & Desain

UNIVERSITAS MULTIMEDIA NUSANTARA TANGERANG

2015

(2)

ii

LEMBAR PERNYATAAN TIDAK MELAKUKAN PLAGIAT

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Gladys

NIM : 11120210125

Program Studi : Desain Komunikasi Visual Fakultas : Seni & Desain

Universitas Multimedia Nusantara Judul Tugas Akhir :

VISUALISASI DESAIN SET

DALAM PENGGAMBARAN KARAKTER PADA FILM “MAYA”

dengan ini menyatakan bahwa, laporan dan karya tugas akhir ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar sarjana, baik di Universitas Multimedia Nusantara maupun di perguruan tinggi lainnya.

Karya tulis ini bukan saduran/terjemahan, murni gagasan, rumusan dan pelaksanan penelitian/implementasi saya sendiri, tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan pembimbing akademik dan nara sumber.

Demikian surat Pernyataan Originalitas ini saya buat dengan sebenarnya, apabila di kemudian hari terdapat penyimpangan serta ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan

(3)

iii

gelar (S.Ds.) yang telah diperoleh, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma yang berlaku di Universitas Multimedia Nusantara.

Tangerang, 8 Januari 2015

Gladys

(4)

iv

HALAMAN PENGESAHAN TUGAS AKHIR VISUALISASI DESAIN SET

DALAMPENGGAMBARAN KARAKTER PADA FILM

“MAYA”

Oleh

Nama : Gladys

NIM : 11120210125

Program Studi : Desain Komunikasi Visual

Fakultas : Seni & Desain Tangerang, 4 Februari 2015

Ketua Sidang

Annita, S.Pd., M.F.A.

Nama Ketua Sidang Ketua Program Studi

Desi Dwi Kristanto, M.Ds.

Pembimbing

Kemal Hassan, S.T., M.Sn.

Penguji

Ina Listyani Riyanto, S.Pd., M.A.

(5)

v

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas berkat, rahmat, dan karunia yang telah diberikan kepada penulis sehingga bisa menyelesaikan tugas akhir dalam pembuatan film pendek berjudul “Maya”.

Tugas akhir ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Studi Sarjana Strata 1 (S1) di Universitas Multimedia Nusantara, fakultas Seni dan Desain, Program Studi Desain Komunikasi Visual. Berbagai proses pembelajaran telah penulis dapatkan selama menjalani pendidikan di Universitas Multimedia Nusantara menjadi dasar pengerjaan tugas akhir ini, juga dari berbagai observasi dan riset yang penulis lakukan dalam menyusun tugas akhir ini. Sebagai production designer, penulis melakukan riset serta merancang konsep yang sesuai dengan tema film “Maya”. Selama perancangannya, penulis memvisualisasikan penggambaran kondisi karakter pada film “Maya” ke dalam desain set dan props agar film dapat memvisualisasikan makna serta pesan naratif yang disampaikan.

Komunikasi yang baik dengan pembimbing, penguji, dan orang sekitar yang membantu memberi masukan dan informasi sangat diperlukan dalam proses pengerjaan Tugas Akhir ini. Tanggung jawab juga menjadi hal yang penting dalam pengerjaan Tugas Akhir ini. Pembagian waktu juga menjadi hal yang tidak boleh disepelekan. Deadline dan revisi dengan pembimbing harus diperhatikan setiap waktunya khususnya disetiap proses dan tahap bimbingannya. Tugas Akhir

(6)

vi

harus dijalani dan dikerjakan dengan serius dan niat yang kuat agar hasil yang didapat sesuai, maksimal, dan memuaskan.

Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan Laporan Tugas Akhir ini:

1. Desi Dwi Kristanto, M.Ds. selaku Ketua Program Studi Desain Komunikasi Visual

2. Kemal Hassan, S.T., M.Sn. selaku dosen pembimbing yang selalu membantu penulis dalam penulisan laporan Tugas Akhir

3. Annita, S.Pd., M.F.A. selaku dosen digital cinematography yang telah membantu penulis dalam hal tata cara penulisan laporan Tugas Akhir 4. Kepada seluruh dosen peminatan digital cinematography Universitas

Multimedia Nusantara;

5. Keluarga penulis yakni orangtua penulis, Sardiyana dan Tjen Fui Na yang selalu memberikan doa, semangat, dan dukungan yang menjadi motivasi penulis, dan saudari-saudari penulis Grace Sardiyana dan Glenda Sardiyana

6. Teman-teman penulis, yang selalu memberi dukungan kepada penulis selama penulisan laporan Tugas Akhir ini, David Yonathan yang selalu memberikan masukan, dukungan, dan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan Tugas Akhir ini

7. Semua kru dan volunteer film “Maya”, khususnya Kenny dan Bob Budiman selaku volunteer sebagai art director dan prop master yang

(7)

vii

telah membantu penulis selama masa praproduksi hingga pasca produksi, Shiela Gita selaku produser, Jennifer Aryawinata selaku sutradara, Andreas Angga R. selaku director of photography, dan Vincent Suryaputra selaku editor, dan teman-teman lain yang membantu dalam pembuatan film pendek Tugas Akhir ini.

Tangerang, 8 Januari 2015

Gladys

(8)

viii

ABSTRAKSI

Set merupakan waktu dan tempat di mana cerita sebuah film berlangsung. Set juga berperan penting dalam memvisualisasikan atmosfer dan mood sebuah film sehingga set dapat mendukung sebuah cerita menjadi lebih autentik. Sebuah set dapat memvisualisasikan banyak makna dalam suatu film, salah satunya konflik dan kondisi karakter. Dalam menerapkan visual desain set yang menggambarkan karakter pada film “Maya”, production designer menetapkan konsep yang didasarkan pada 3 dimensional character.

Dalam penulisan laporan Tugas Akhir yang berjudul Visualisasi Desain Set Dalam Penggambaran Karakter Pada Film “Maya”, penulis mencari cara bagaimana seorang production designer mewujudkan desain set dalam penggambaran karakter pada film “Maya” dengan menggunakan 3 dimensional character karakter Anthony dan Maya sebagai landasan dalam perwujudan desain set. Kemudian penulis menemukan bahwa dalam mewujudkan desain set dalam penggambaran karakter pada film “Maya”, penulis selaku production designer tidak hanya diharuskan memiliki konsep namun juga didukung oleh riset dan tahap desain.

Kata kunci: Art Department, Set, Visual Concept, 3 Dimensional Character

(9)

ix

ABSTRACT

Set is a time and place where the story of a film being progressed. Set also plays an important role in visualizing the atmosphere and mood of a film which aims for support a story. A set can visualize a lot of meaning in a movie or film, which one of them are the character conflicts and it conditions.In order to apply visual design set to describe the character in “Maya” movie, production designer set a concept based on the 3 dimensional character.

Production designer explore how to build the set design in the portrayal of the character in “Maya” movie by using the two main character, Anthony and Maya as a benchmark in the embodiment set. Writer found that in realizing set design in the describing the character in “Maya” movie, writer as a production designer is not only required to have a concept but also supported by the research and design stage.

Keywords: Art Department, Set, Visual Concept, 3 Dimensional Character

(10)

x

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN TIDAK MELAKUKAN PLAGIAT ... ii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAKSI ... viii

ABSTRACT ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 2

1.3. Batasan Masalah ... 3

1.4. Tujuan Tugas Akhir ... 3

1.5. Manfaat Tugas Akhir ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1. Art Department ... 4

2.1.1. Production Designer ... 5

2.1.2. Set Designer ... 6

2.1.3. Props Master... 6

2.2. 3 Dimensional Character ... 7

(11)

xi

2.2.1. Fisiologi ... 7

2.2.2. Sosiologi ... 8

2.2.3. Psikologi ... 8

2.3. Driven Story ... 9

2.3.1. Character Driven Story ... 9

2.3.2. Plot Driven Story ... 9

2.4. Set ... 10

2.5. Bedah Script ... 10

2.6. Research ... 11

2.7. Visual Concept ... 11

2.8. Mood Board ... 12

2.9. Concept Drawing ... 12

2.10. Approval ... 12

BAB III METODOLOGI ... 13

3.1. Gambaran Umum ... 13

3.1.1. Sinopsis ... 13

3.1.2. Posisi Penulis ... 14

3.2. Tahapan Kerja ... 14

3.3. Acuan ... 18

3.4. Temuan ... 20

(12)

xii

BAB IV ANALISIS ... 24

4.1. Cerita Film “Maya” ... 24

4.1.1. Karakter Maya ... 26

4.1.2. Karakter Anthony ... 28

4.2. Tahap Desain ... 29

4.2.1. Analisis Script Scene Ruang Tengah ... 29

4.2.2. Script Breakdown ... 30

4.2.3. Research... 31

4.2.4. Analisis Script Scene Kardus Maya ... 33

4.2.5. Props Breakdown ... 34

4.2.6. Research... 34

4.2.7. Visual Concept ... 35

4.2.8. Concept Drawing ... 37

4.3. Budgeting and Props Hunting ... 40

4.4. Location Survey ... 40

4.4.1. Jarak ... 40

4.4.2. Ukuran Ruangan ... 42

4.5. Designing ... 43

4.5.1. Ruang tengah ... 43

4.6. Approval ... 44

(13)

xiii

4.6.1. Ruang Tengah ... 44

4.7. Props Grouping / Organizing the Property Department ... 46

4.8. Eksekusi ... 47

4.9. Dismantle ... 47

BAB V PENUTUP ... 49

5.1. Kesimpulan ... 49

5.2. Saran ... 50

DAFTAR PUSTAKA ... xvi

(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Wheel of Art Department Influence ... 4

Gambar 2.2. Art Department Hierarchy ... 5

Gambar 2.3. Set Projection Sketch by Camille Abbot for Flashdance ... 11

Gambar 3.1. Script Breakdown ... 16

Gambar 3.2. Draft Set Sketches ... 16

Gambar 3.3. Moodboard ... 17

Gambar 3.4. Ref. Nobody Knows ... 18

Gambar 3.5. Ref. Nobody Knows ... 19

Gambar 3.6. Ref. Rumah Susun ... 19

Gambar 3.7. Ref. Rumah Susun ... 20

Gambar 4.1. Ref. Rumah Susun ... 32

Gambar 4.2. Moodboard Maya ... 36

Gambar 4.3. Moodboard Anthony ... 37

Gambar 4.4. Draft Set Sketches ... 38

Gambar 4.5. Draft Set Sketches ... 38

Gambar 4.6. Kardus Maya ... 39

Gambar 4.7. Proses Penyekatan Ruangan ... 45

Gambar 4.8. Hasil Penyekatan Ruangan ... 45

Gambar 4.9. Final Design Ruang Tengah ... 46

(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN A: SCRIPT FILM PENDEK “MAYA” ... xviii

LAMPIRAN B: BUDGETING DEPARTMENT ART ... xxx

LAMPIRAN C: BUKU GAMBAR MAYA ... xxxiv

LAMPIRAN D: PROPS BREAKDOWN ... xxxvii LAMPIRAN E: PROSES PEMBUATAN SEKAT DAN DAPUR ... xlvii

LAMPIRAN F: ACTION PROPS DAN HANDS PROPS MAYA DAN

ANTHONY ... xlix LAMPIRAN G: 3 DIMENSIONAL CHARACTER MAYA ... li LAMPIRAN H: 3 DIMENSIONAL CHARACTER ANTHONY ... lvi LAMPIRAN I: LOKASI SURVEY RUMAH SUSUN ... lxi LAMPIRAN J: KARTU BIMBINGAN ... lxxi

(16)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Desain set merupakan perwujudan nyata dari sebuah realisasi konsep seorang production designer. LoBrutto (2002) menyatakan, seorang production designer bertanggung jawab dalam sebuah produksi untuk menafsirkan naskah sesuai nilai naratif dan visi sutradara dalam tujuan agar film dapat berjalan, kemudian menerjemahkannya kepada suatu bentuk nyata di mana production designer dapat mengembangkan karakter yang difokuskan dan menyajikan cerita dengan tujuan membangun rasa asli dari film tersebut (hlm. 1). Dimulai dari ide atau gagasan seorang production designer, desain set akan menjalani proses yang cukup panjang untuk dapat direalisasikan.

Set dapat menjelaskan berbagai macam hal, salah satunya memvisualisasikan kondisi karakter. Kondisi karakter tersebut dianalisa berdasarkan character description atau 3 dimensional character yang telah ditentukan selama naskah suatu film dibuat serta dapat didukung melalui penggunaan props dalam suatu set. Dalam proses penerapannya, penataan set harus berhubungan dengan karakter yang dominan maupun dengan karakter- karakter lain dalam suatu film. Menurut LoBrutto (2002), sebuah desain set dalam film dapat menciptakan sebuah makna atau visualisasi yang berasal dari atmosfer set, lokasi, dan lingkungan yang berperan sangat penting dalam tujuan membangun suasana hati dan memvisualisasikan perasaan kuat seperti emosi

(17)

2 seseorang (hlm. 28), kemudian LoBrutto (2002) menambahkan, seorang production designer tidak hanya berperan sebagai desainer atau dekorator namun seorang production designer harus dapat memahami dan menerapkan pemahaman mereka terhadap karakter sehingga mampu menciptakan lingkungan yang sesuai dengan konsep yang dimiliki berdasarkan keadaan karakter dalam film (hlm. 30).

Selain peranan seorang production designer yang menentukan sebuah konsep, seorang set decorator sendiri mempunyai peranan penting mewujudkan set yang sesuai dengan konsep production designer. Menurut Rizzo (2005), set decorator adalah anggota dari art department yang memegang peran penting selain peranan production designer dan set designer. Production designer menciptakan ide, konsep, atau gagasan yang kemudian diberikan pada art director, sedangkan peran seorang set decorator adalah mewujudkan atau merealisasikan konsep yang dibuat oleh production designer (hlm. 37).

Film “Maya” sendiri bercerita tentang kondisi seorang anak perempuan berusia 7 tahun bersama ayahnya yang mengalami perubahan kondisi yakni penurunan kualitas ekonomi dalam hidupnya. Production designer dan set designer diharuskan mampu menggali konsep dan memvisualisasikan kondisi dari karakter-karakter dalam film “Maya” melalui desain set dan props yang didasarkan pada konsep ide atau gagasan yang telah disusun.

1.2. Rumusan Masalah

Bagaimana production designer mewujudkan desain set dalam penggambaran karakter pada film “Maya”?

(18)

3 1.3. Batasan Masalah

Dibatasi berdasarkan 3 dimensional character untuk karakter Maya pada scene kardus Maya dan Anthony pada scene ruang tengah.

1.4. Tujuan Tugas Akhir

Mengetahui bagaimana seorang production designer mewujudkan dan memvisualisasikan desain set dalam penggambaran karakter pada film “Maya”.

1.5. Manfaat Tugas Akhir

1. Bagi penulis untuk mengetahui bagaimana cara production designer dalam mewujudkan desain set dalam penggambaran karater pada film “Maya”

2. Sebagai bahan pertimbangan bagi mahasiswa peminatan digital cinematography Universitas Multimedia Nusantara yang ingin mengetahui perancangan konsep desain set dan props dengan menggunakan kondisi karakter dalam film “Maya”

3. Bagi masyarakat agar dapat mengetahui bahwa kondisi karakter dapat diwujudkan dan divisualisasikan melalui desain set dan props.

(19)

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Art Department

Art department memegang peranan penting dalam badan sebuah produksi.

Menurut Rizzo (2005), art department terbagi menjadi beberapa bagian penting dan terkait satu sama lain dengan department lain. Badan-badan penting dalam art department berperan untuk mewujudkan suatu konsep yang diterapkan ke dalam film (hlm. 27).

Gambar 2.1. Wheel of Art Department Influence (Michael Rizzo, 2005)

(20)

5 2.1.1. Production Designer

Menurut LoBrutto (2002), seorang production designer dianggap sebagai orang yang memimpin art department di mana seorang production designer memiliki tanggung jawab untuk memvisualisasikan makna sebuah seni yang terkandung dalam sebuah film. Art department memiliki relasi dengan department lain, salah satunya sutradara dan director of photography yang memiliki visi dan misi dalam memvisualisasikan makna naratif sebuah film. Dalam proses desain, production designer melakukan riset menyangkut pertimbangan konsep yang dimiliki, contohnya warna, arsitektur lokasi dan desain set (hlm. 1).

Gambar 2.2. Art Department Hierarchy (Michael Rizzo, 2005)

(21)

6 2.1.2. Set Designer

Dalam suatu produksi, selain production designer peranan seorang set designer juga memegang peranan penting. Seorang set designer bekerja dalam masa produksi di bawah pimpinan seorang production designer. LoBrutto (2002), menyatakan set designer bertanggung jawab untuk membangun sebuah set sesuai dengan konsep production designer yang menyesuaikan konsepnya dengan visi dan misi sutradara serta setelah mendapat persetujuan mengenai konsep yang dibuat. Namun dalam sebuah produksi kecil peranan set designer dapat digantikan oleh production designer (hlm. 44).

2.1.3. Props Master

Dalam masa produksi, props master memegang semua tanggung jawab terhadap props yang digunakan di bawah pengawasan set designer dan production designer. Props master sendiri turun ke lapangan dalam mencari item atau objek- objek yang dibutuhkan dalam set sesuai dengan ide yang didapat berdasarkan hasil riset terkait informasi dan data kuat yang mendukung konsep production designer selama masa praproduksi.

Menurut Rizzo (2005), dalam sebuah produksi peranan props master sangat berpengaruh dalam hal mengurus props yang akan digunakan oleh aktor dalam film maupun props yang akan diletakkan dalam set pada sebuah film (hlm.

38).

(22)

7 2.2. 3 Dimensional Character

Menurut Egri (2007), setiap objek memiliki tiga dimensi yakni kedalaman, tinggi, dan lebar. Berbeda dengan objek yang memiliki dimensi kedalaman, tinggi, dan lebar, manusia mempunyai tiga dimensi lain yakni fisiologi, sosiologi, dan psikologi. Dengan tiga dimensi manusia tersebut seseorang dapat diketahui keberadaannya atau eksistensinya secara nyata (hlm. 33), Egri juga menambahkan dalam sebuah tahap character building atau pembentukkan karakter, pembuatan bone structure of character dianggap penting. Menurut Egri (2007), dalam tahap pembentukan karakter seorang penulis harus terlebih dahulu menentukan bone structure seorang karakter secara menyeluruh, agar ia mengetahui secara pasti di mana ia bisa membangun karakter tersebut (hlm. 37).

2.2.1. Fisiologi

Menurut Egri (2007), fisiologi aspek pertama dalam sebuah 3 dimensional character yang membahas penampilan fisik atau penampilan luar sebuah karakter dalam suatu film (hlm. 33).

Fisiologi sendiri antara lain membahas; jenis kelamin, umur, tinggi dan berat badan, warna rambut, warna mata, warna kulit, postur tubuh, penampilan luar, bentuk kepala, bentuk wajah, kondisi anggota badan (cacat, kelainan, tanda lahir), penyakit, dan keturunan (hlm. 36).

(23)

8 2.2.2. Sosiologi

Sosiologi adalah dimensi kedua yang membahas tentang kelas dan latar belakang budaya sebuah karakter atau lebih. Umumnya sosiologi membahas bagaimana seorang beradaptasi atau bagaimana seseorang hidup dengan kondisi lingkungan dan masyarakat di sekitarnya.

Menurut Egri (2007), dalam aspek sosiologi yang dibahas adalah hal-hal yang meliputi seperti; kelas (upper, middle, lower), jenis pekerjaan, tingkat pendidikan, kondisi kehidupan dengan keluarga, agama, ras dan kewarganegaraan, posisi di masyarakat, pandangan karakter tersebut terhadap politik, dan hobi dari sebuah karakter (hlm. 36-37).

2.2.3. Psikologi

Psikologi menjadi dimensi yang terakhir dalam 3 dimensional character. Menurut Egri (2007), psikologi adalah gabungan aspek fisiologi dan sosiologi di mana pada tahap ini akan menimbulkan sebuah situasi atau keadaan mental yang dialami oleh sebuah karakter, contoh keadaan mental yang timbul antara lain;

ambisi, frustasi, temperamen, dan sikap kompleks (hlm. 34), selain itu Egri menambahkan, psikologi dalam sebuah 3 dimensional character membahas kondisi mental sebuah karakter antara lain; kehidupan seks, standar moral, ambisi, bentuk kekecewaan atau trauma, sifat temperamen (koleris, santai, pesimis, atau optimis), respon terhadap kehidupan (rendah diri, sikap militan, mengalah), kondisi mental kompleks seperti obsesi, hambatan dalam mencapai tujuan, takhayul atau fobia terhadap suatu hal, keadaan mental (ekstrovert, introvert, atau

(24)

9 ambivert), kemampuan dalam bahasa, bakat yang dimiliki, dan kadar IQ (hlm.

37).

2.3. Driven Story

Menurut Egri (2007), dalam pembuatan sebuah naskah, seorang penulis akan menggunakan jenis driven story sesuai dengan cerita yang dibuat, di mana driven stories tersebut dibagi menjadi dua jenis (hlm. 85).

2.3.1. Character Driven Story

Menurut Egri (2007), dalam character driven story yang diterapkan pada sebuah cerita, karakter yang ada di dalam sebuah film dijadikan sebagai patokan atau acuan dalam menjalankan cerita film tersebut yang pada nyatanya plot dalam cerita tersebut berkisah tentang karakter itu sendiri (hlm. 91).

2.3.2. Plot Driven Story

Menurut Egri (2007), sebuah plot driven yang diterapkan pada sebuah cerita, plot yang ada di dalam sebuah cerita dijadikan hal utama yang dianggap lebih penting daripada kepentingan peranan dari karakter-karakter yang ada dalam cerita tersebut (hlm. 93).

Dalam film pendek berjudul “Maya”, jenis driven story yang digunakan adalah character driven story di mana pada film “Maya” yang menjalankan cerita dan lebih ditekankan adalah karakter Maya sendiri.

(25)

10 2.4. Set

Menurut Johnson (2009), set merupakan waktu dan tempat di mana cerita sebuah film berlangsung. Selain itu, set juga dapat menggambarkan atmosfer dan mood dari konflik dan karakter. Set juga bisa mendukung cerita menjadi lebih autentik (hlm. 323).

Bordwell & Thompson (2008), set adalah hal yang paling mendasar dalam pembentukkan mise en scene. Mise en scene sendiri mempunyai arti segala sesuatu yang ada di dalam set. Set mengacu pada tempat buatan atau tempat asli di mana adegan peristiwa dari film terjadi. Biasanya tempat tersebut adalah set yang dibangun di studio dengan menggabungkan elemen natural dan elemen buatan (hlm. 115), berbeda dengan LoBrutto (2002) yang mengatakan bahwa setiap set harus dikonstruksi dengan spesifikasi yang tepat (hlm. 48), yang kemudian dijelaskan lebih spesifik oleh Bergfelder, Harris, & Street (2007), pembangunan set harus disesuaikan dengan script, sudut pengambilan kamera dan pergerakkan aktor agar setiap set terlihat baik dan tepat saat pengambilan gambar (hlm. 129).

2.5. Bedah Script

Menurut LoBrutto (2002), membaca dan membedah naskah adalah hal utama yang dilakukan setiap department pada masa praproduksi. Bagi production designer, membedah script merupakan langkah awal dalam menentukan konsep dan melakukan riset yang mencakup kepentingan set, props, dan kostum yang akan digunakan (hlm. 17).

(26)

11 2.6. Research

Menurut Rizzo (2005), mendesain penampilan dan visual sebuah film ditentukan berdasarkan konsep visual yang diinginkan tidak dapat semata-mata berasal dari pihak production designer sendiri namun juga didukung oleh infromasi dan data kuat yang didapat melalui riset yang akan membantu memperkaya dan memperindah cerita dalam naskah (hlm. 53).

2.7. Visual Concept

Selama praproduksi sebuah film maupun film pendek, production designer mengkonsepkan bagaimana aspek lingkungan dan karakter secara visual. Dalam suatu film, peranan konsep visual dapat menguatkan dan mendukung isi cerita.

Menurut Katz (2011), dalam membangun suatu konsep visual seorang production designer membuat sketsa sebagai media untuk menunjukkan peletakkan set dan props serta gambaran lokasi yang mencakup camera angle yang akan meningkatkan kekuatan perspektif dari set yang dibangun (hlm. 17).

Gambar 2.3. Set Projection Sketch by Camille Abbot for Flashdance (Steven Doughlas Katz, 2011)

(27)

12 2.8. Mood Board

Menurut Barnwell (2008), mood board menjadi salah satu langkah penting dalam sebuah proses kreatif yang membantu menyampaikan look, atmosfer, emosi, dan mood yang ingin divisualisasikan dalam suatu film. Pembuatan mood board dapat menggunakan potongan-potongan gambar yang berasal dari majalah, foto, kartu pos, dan fabric (hlm. 106).

2.9. Concept Drawing

Menurut LoBrutto (2002), production designer mengembangkan ide dan konsep awal melalui sketsa. Berangkat dari sketsa konsep atau concept drawing tersebut akan tercipta sebuah gambaran konsep yang diinginkan berdasarkan hasil riset yang didapat. Membuat sketsa konsep merupakan tahap pertama dalam proses kreatif atau proses desain setelah tahap pembedahan script dan memahami visi dan misi sutradara terhadap visual film yang ingin disampaikan (hlm. 57).

2.10. Approval

Menurut LoBrutto (2002), setelah production designer membuat sketsa sesuai dengan konsep yang diinginkan serta didukung dengan riset yang telah didapat, production designer memberikan konsep tersebut kepada sutradara dan mempresentasikannya untuk menjelaskan konsepnya secara detail kepada sutradara. Setelah mempresentasikan konsep tersebut, production designer berdiskusi bersama sutradara dan director of photography untuk menyatukan visi dan misi yang mendukung film agar dapat berjalan. Setelah konsep mendapat persetujuan sutradara, art department dapat memulai pekerjaannya (hlm. 58).

(28)

13

BAB III METODOLOGI

3.1. Gambaran Umum

Materi yang akan dibahas adalah visualisasi desain set dalam penggambaran karakter pada film pendek berjudul “Maya” yang merupakan sebuah film pendek karya mahasiswa Universitas Multimedia Nusantara jurusan Desain Komunikasi Visual dengan peminatan digital cinematography yang memiliki durasi kurang lebih 15 menit. Film “Maya” memiliki genre drama bertema accepting.

Penulisan Laporan Tugas Akhir pada film “Maya” menggunakan metode kualitatif sebagai metode penelitian dengan pendekatan deskriptif naratif.

Menurut Yang (2011), metode deskriptif naratif adalah sebuah metode di mana penulis mengumpulkan data berdasarkan pengalaman yang dialami sendiri, setelah data terkumpul maka data akan dianalisa menjadi kumpulan data yang sistematis (hlm. 203).

3.1.1. Sinopsis

Seorang anak perempuan berusia 7 tahun bernama Maya yang pindah ke sebuah rumah susun bersama ayahnya, Anthony. Di malam pada hari mereka pindah Maya yang tidur bersama ayahnya mendengar sebuah suara aneh yang membuatnya tidak bisa tidur. Maya mencari suara tersebut dan ternyata suara tersebut berasal dari dengkuran ayahnya yang sedang tertidur. Maya yang tidak mengerti arti dari dengkuran tersebut berusaha untuk menghentikan suara yang mengganggunya tersebut.

(29)

14 3.1.2. Posisi Penulis

Dalam film pendek berjudul “Maya”, penulis berperan sebagai production designer yang merupakan kepala dari art department. Penulis bertanggung jawab dalam proses konsep visualisasi desain set berdasarkan karakter dari naskah untuk divisualkan secara fisik oleh art department ke dalam film “Maya”.

3.2. Tahapan Kerja

Membaca naskah merupakan tahap utama yang dilakukan setiap department saat memasuki masa praproduksi yang bertujuan untuk mencapai pemahaman visi dan misi dari cerita yang ingin disampaikan. Begitu pula penulis selaku production designer berperan dalam memahami naskah secara detail khususnya karakter dalam film “Maya”.

Pada pembuatan film “Maya”, production designer ingin memvisualisasikan kondisi karakter melalui konsep desain set sehingga kondisi dari masing-masing karakter dapat tervisualisasikan melalui desain set yang diwujudkan dari konsep production designer berdasarkan scene yang telah ditentukan. Dalam proses memvisualisasikan konsep production designer harus berkomunikasi dengan sutradara menyangkut gambaran visual yang diberikan sesuai dengan visi cerita yang ingin disampaikan. Lalu dilanjutkan dengan art director, prop master, set decorator, dan tim art untuk dapat mewujudkan konsep visual ke dalam bentuk fisik pada setiap desain set yang dibangun sesuai dengan scene-nya. Sehingga penulis menganggap komunikasi antara production designer, sutradara, dan art department harus memiliki satu visi dan misi. Bila visi dan misi

(30)

15 ini tidak sejalan maka peluang terjadinya kesalahpahaman dalam komunikasi yang menimbulkan permasalahan dalam masa produksi karena perbedaan pandangan dapat terjadi.

Setelah memahami naskah dan membedahnya secara visual, penulis selaku production designer melakukan riset lebih dalam dengan pencarian referensi serta teori yang dapat memperkuat konsep pada cerita yang ingin disampaikan. Seperti pemahaman mengenai pengaruh psikologi pada anak berumur 7 tahun melalui coretan tangan, kondisi psikologi dan sosiografi orang dewasa, ataupun referensi gambar isi dan kondisi dari ruangan dalam sebuah rumah susun kelas menengah dan ke bawah yang mendukung kondisi karakter. Kemudian melalui pemahaman teori yang didapat, sketsa konsep hasil survey setiap lokasi dan ruangan yang telah didatangi bersama sebagai acuan bentuk desain konsep set. Production designer memvisualisasikan bentuk tulisan pada naskah menjadi sebuah gambaran visual dalam bentuk gambar untuk memberikan bayangan konsep ruang set pada setiap scene yang ingin diwujudkan secara fisik. Production designer juga membuat mood board sebagai acuan suasana yang ingin diciptakan setiap scene-nya, juga sebagai acuan gambaran bagaimana karakter yang akan diwujudkan ke dalam film

“Maya”.

(31)

16 .

Gambar 3.1. Script Breakdown Dok. Pribadi, 2014

Gambar 3.2. Draft Set Sketches Dok. Pribadi, 2014

(32)

17 Gambar 3.3. Moodboard

Dok. Pribadi, 2014

(33)

18 3.3. Acuan

Film “Maya” memiliki beberapa referensi sebagai acuan. Sutradara memberi referensi film karya Hirokazu Koreeda yang berjudul “Nobody Knows” (2004),

“All About Lily Chow-Chow” karya Shunji Iwai (2001), “Tokyo Sonata” karya Akira Kurosawa (2008), “Kolja” karya Jan Sverák (1996), dan film berjudul “Ilo- Ilo” karya Anthony Chen (2013).

Gambar 3.4. Ref. Nobody Knows By Hirokazu Koreeda, 2004

(34)

19 Gambar 3.5. Ref. Nobody Knows

By Hirokazu Koreeda, 2004

Gambar 3.6. Ref. Rumah Susun

http://www.kaskus.co.id/thread/000000000000000016755799/rumah-susun-pondok-bambu, 2014

(35)

20 3.4. Temuan

Penulis sebagai production designer dalam film pendek berjudul “Maya”

bertanggung jawab memvisualisasikan konsep berdasarkan naskah cerita ke dalam bentuk fisik serta mewujudkan desain set dalam penggambaran karakter yang ada pada film ini.

Penulis sebagai production designer meninjau pentingnya set dalam menggambarkan suasana dan kondisi dari karakter yang bersangkutan dalam suatu film. Dalam proses mewujudkan desain set yang dapat menggambarkan kondisi karakter pada film “Maya”, production designer harus melakukan berbagai riset, antara lain riset yang berkaitan dengan look dan suasana dari lokasi yang akan dibutuhkan, gambaran set yang akan diterapkan, menyesuaikan set dan props yang kiranya akan diterapkan pada karakter yang ada pada film “Maya”.

Gambar 3.7. Ref. Rumah Susun

http://www.tempo.co/read/news/2012/04/12/090396500/Kepemilikan-Rumah-Susun-Tak- Bisa-Dialihkan, 2014

(36)

21 Penulis dalam film “Maya” merangkap sebagai production designer, art director, props master, set decorator serta dibantu oleh tim art yang membantu meringankan kerja production designer selama masa praproduksi hingga pasca produksi. Selama praproduksi production designer mencari segala props dan kebutuhan set baik membeli, menyewa, ataupun meminjam dengan harga sesuai budget yang ditentukan. Hunting props dan kebutuhan dicari ke berbagai tempat seperti pasar, mall, dan melalui internet (online shop).

Dalam proses ini penulis menemukan berbagai kendala bahwa tidak semua props mudah didapatkan dan dapat ditempatkan dalam setiap scene. Props seperti kasur dan kulkas berukuran besar adalah salah satu props yang sangat sulit untuk dicari karena kedua alat ini merupakan alat kebutuhan yang vital. Jika membeli alat ini maka akan berdampak pada production budget. Namun penulis mencari alternatif lain untuk mengatasi masalah berhubungan dengan props yang sulit dicari.

Begitu juga kendala yang ditemukan ketika adanya kesalahpahaman komunikasi antara sutradara, production designer, dan tim art. Saat ada perubahan atau penambahan props dalam suatu scene, sering kali gagasan dari production designer pada sutradara tidak dimengerti maksudnya oleh sutradara.

Saat ada perubahan atau penambahan props pada set atau scene dalam bidang art komunikasi hanya diketahui antara dua pihak sehingga menghambat proses kerja.

Dalam hal ini production designer harus segara mencari jalan untuk mengatasi masalah yang timbul dan menghitung matang-matang terkait perubahan yang dilakukan akan berdampak pada masa produksi ke depannya atau akan

(37)

22 mempersulit kinerja department lain. Penulis juga menemukan bahwa komunikasi antar department harus terjalin dengan baik. Masalah ini terjadi pada masa prapoduksi di mana ketika sebuah department membutuhkan bantuan department lain namun department yang dituju sulit untuk diajak berkomunikasi. Selain itu terdapat kendala menyangkut setiap department yang seharusnya saling membantu satu sama lain demi lancarnya proses masa produksi. Masalah seperti ini dialami penulis ketika penulis sebagai production designer turun hunting bersama tim art untuk mencari props yang akan digunakan pada film “Maya”, namun hari hunting production designer bersama tim art berbenturan dengan hari fitting aktor. Penulis mengharapkan department lain dapat membantu production designer dalam melakukan fitting dengan aktor, karena production designer telah menyiapkan kostum-kostum yang akan dipakai. Dalam masalah ini production designer harus mencari jalan tengah yakni mempercepat waktu hunting dan segera menuju ke lokasi fitting untuk melakukan fitting aktor dengan tepat waktu. Hal ini juga dilakukan untuk menjaga mood aktor agar tetap stabil dan tidak menurun dikarenakan menunggu penulis dan tim art kembali untuk melakukan fitting. Pada saat pembongkaran set, kendala yang dialami adalah saat melepas gipsum, triplek, dan kayu yang dipasang untuk membangun sekat dalam ruangan sehingga production designer harus dibantu oleh set builder dan department lain yang datang membantu pada saat hari pembongkaran dikarenakan ukuran dari masing- masing material tersebut banyak, memiliki ukuran yang tergolong besar, dan berat. Penulis juga menemukan bahwa tidak semua aspek dalam 3 dimensional character dapat diwujudkan dalam film “Maya”. Hal ini dikarenakan

(38)

23 diperlukannya fokus terhadap aspek tertentu yang ingin dibangun dan divisualisasikan. Hal ini juga dapat menguatkan makna pesan naratif dalam sebuah cerita yang disampaikan secara visual. Dalam film “Maya”, production designer awalnya memfokuskan aspek psikologi dari karakter Anthony untuk set pada scene ruang tengah, namun setelah proses eksekusi set selesai diketahui bahwa ternyata aspek sosiografi/sosiologi karakter Anthony lebih menonjol, sehingga penulis sebagai production designer memfokuskan aspek sosiologi/sosiografi pada karakter Anthony dan aspek psikologi untuk difokuskan pada karakter Maya.

(39)

24

BAB IV ANALISIS

4.1. Cerita Film “Maya”

Film “Maya” bercerita tentang seorang anak perempuan berumur 7 tahun bernama Maya yang pindah ke sebuah rumah susun bersama dengan Anthony, ayahnya.

Mereka pindah ke rumah susun karena Anthony yang bekerja sebagai akuntan di PHK oleh perusahaan tempat ia dipekerjakan. Di malam setelah kepindahan mereka ke rumah susun tersebut, Maya yang tidur bersama Anthony gusar karena ada suara yang mengganggunya. Ia bangun dan berusaha mencari asal suara yang mengganggunya tersebut. Ternyata suara tersebut keluar dari mulut sang ayah.

Anthony mendengkur. Maya yang tidak mengerti arti dengkuran sendiri berusaha untuk menghentikan suara yang mengganggunya tersebut dengan caranya sendiri.

Segala cara ia lakukan untuk menghentikan dengkuran sang ayah namun tidak satupun dari caranya berhasil pada suara yang keluar dari mulut sang ayah. Maya yang sangat terganggu dengan suara tersebut memutuskan untuk keluar dari kamar membawa buku mewarnainya dan tasnya kemudian masuk ke dalam ruang kardus. Maya menemukan sebuah kardus besar yang mereka bawa saat pindahan hari itu. Maya menarik kardus besar tersebut dan masuk ke dalamnya. Maya mulai menggambar dalam kardus tersebut dengan krayon yang ia bawa dalam tasnya.

Perlahan-lahan Maya merasa mengantuk dan kemudian tidur di dalam kardus besar tersebut. Keesokkan paginya, Anthony yang terbangun dan menemukan Maya tidak ada di sampingnya beranjak dari kasur dan keluar kamar. Anthony

(40)

25 menemukan Maya yang tertidur di dalam kardus besar. Anthony pun membangunkan Maya. Kemudian siang itu Anthony yang ingin bangkit dari kondisi ekonominya yang jatuh pergi menemui rekannya untuk menawarkan kerja sama dan meninggalkan Maya seorang diri di rumah. Sebelum pergi Anthony sempat mengingatkan Maya untuk tidak keluar rumah. Maya yang sedang mewarnai buku mewarnainya merasa lapar dan mencari-cari sesuatu yang bisa ia makan. Maya memeriksa dapur, membuka kulkas, dan kardus-kardus yang terdapat di ruang kardus namun tetap, ia tidak mendapatkan makanan apapun yang bisa ia makan untuk mengganjal rasa laparnya hingga ia membuka kembali kardus yang berisi barang-barangnya. Ia menemukan tas merahnya dan mulai membuka satu-persatu kantung pada tasnya dan menemukan sebuah permen susu dan menikmatinya. Setelah menikmati permen tersebut ia kembali melakukan hal kesukaannya yaitu mewarnai di dalam kardus besar kesukaannya sambil menunggu Anthony kembali. Perhatian Maya kembali tertuju pada ruang kardus, ia mulai membuka kembali kardus-kardus ibunya dan menemukan sebuah kotak musik. Maya pun membawa kotak musik tersebut masuk ke dalam kardus besarnya. Selama di dalam kardus Maya mendengar suara pantulan-pantulan bola yang mengenai dinding. Maya berjalan ke arah pintu dan keluar dari rumahnya dan berjalan-jalan di lorong rumah susun serta memperhatikan lingkungan di sekitar rumah susun tersebut. Tak lama kemudian ia melihat Anthony berjalan dengan lesu dan duduk di lapangan rumah susun. Melihat hal tersebut Maya kembali ke dalam rumah. Maya memasuki ruang kardus dan kembali masuk ke dalam kardus besar kesukaannya sambil memutar lagu pada kotak musik tersebut.

(41)

26 Maya pun tertidur pulas. Anthony yang kemudian tiba di rumah dalam keadaan lesu meletakkan berkas-berkasnya yang berisi surat kerja sama di atas meja makan dan ia sadar bahwa Maya tidak ada di dalam rumah. Ia pun mulai menari-cari Maya dengan memeriksa seluruh ruangan sampai ia tiba di ruang kardus dan membukanya. Anthony melihat Maya tertidur di dalam kardus besar di ruang kardus sambil memegang sebuah kotak musik. Anthony yang lega menggendong Maya ke dalam kamar. Anthony kembali ke ruang tengah dan mulai memutar siaran sepak bola di TV. Rasa lelah, kecewa, dan putus asa membuat Anthony tertidur di atas alas mewarnai Maya yang ada di ruang tengah. Maya yang mendengar suara dengkuran Anthony keluar dari kamar dengan menarik selimut.

Ia menghampiri Anthony dan menyelimutinya kemudian masuk ke dalam ruang kardus. Ia menarik kardus besar kesukaannya ke samping Anthony, masuk ke dalam kardus besar, dan menutup kardus tersebut.

Dalam cerita yang bertema accepting ini, nilai naratif yang ingin disampaikan adalah bagaimana perubahan kondisi hubungan suatu keluarga yang berubah drastis dari sebuah keluarga utuh menjadi sebuah keluarga yang renggang. Adanya suatu jarak dari hubungan sang ayah dengan sang istri yang meninggalkannya dan hubungan sang ayah dengan anaknya, begitu pula dengan anaknya.

4.1.1. Karakter Maya

Karakter Maya berdasarkan 3 dimensional characater adalah seorang anak perempuan yang berpenampilan tidak feminim dan rambutnya pendek sebahu,

(42)

27 maka dari itu yang perlu disiapkan untuk karakter Maya ini dari segi kostum adalah jenis kostum yang tidak mencerminkan sikap feminim. Dalam menentukan kostum, production designer memilih celana monyet (jumpsuit) dengan dalaman kaos untuk mendukung sisi penampilan Maya yang tergolong tomboy. Selain itu, Maya sendiri merupakan anak dengan kondisi kesehatan yang baik namun sering bersin, sehingga untuk karakter Maya ini diperlukan adanya tisu untuk props yang akan menunjang dan memperjelas kekurangan dari kondisi kesehatannya. Dari sisi kelas sosialnya dalam 3 dimensional characater dikatakan “upper middle class.

Dari awal film akan diperlihatkan bahwa ia telah berpindah menjadi kelas bawah.

Akan ada ketidaknyamanan yang terjadi ketika ia pindah ke rumah itu. Seorang anak yang kehilangan ruang bermainnya.”

Maka production designer memvisualisasikan karakter dan kondisi fisik karakter Maya sebagai karakter yang dapat dilihat oleh penonton tidak seperti karakter yang jatuh miskin, karena di sini posisi dari karakter Maya sendiri adalah baru mengalami sebuah perubahan kondisi yaitu kejatuhan ekonomi keluarga yang mengharuskannya pindah ke sebuah rumah susun. Maka dari itu, penampilan Maya dari segi kostum dan props yang Maya gunakan tidak menggambarkan seorang yang berasal dari keluarga berkekurangan. Sifat dari Maya yang pendiam ini menutupi sifat aslinya yaitu sifat anak-anak yang masih menggebu-gebu dalam dirinya, hal ini divisualisasikan melalui alas mewarnainya di ruang tengah dan juga buku mewarnainya yang menggambarkan bagaimana kondisi Maya setelah kejatuhan dan efek dari pernikahan ayah dan ibunya. Pada alas mewarnai Maya yang berbentuk persegi, terdapat 4 warna coklat di sudut kanan, kiri di atas dan

(43)

28 bawah yang menandakan bahwa Maya tertekan dan terdesak oleh keadaan, sedangkan warna kuning menjadi sifat asli Maya yakni penasaran, ingin tahu, imajinatif, dan berani.

4.1.2. Karakter Anthony

Karakter Anthony memiliki sifat yang sederhana, maka production designer menggambarkannya melalui kostum dengan kaos oblong dan celana pendek. Dari sisi kelas sosialnya dalam 3 dimensional character dikatakan “upper middle class.

Dari awal film akan diperlihatkan bahwa ia telah berpindah menjadi kelas bawah.

Sebelumnya, ia merupakan seorang akuntan yang di-PHK”.

Maka production designer memvisualisasikan karakter Anthony dengan gambaran yang tergolong kaum menengah atas karena pada kondisi ini Anthony baru mengalami kejatuhan ekonomi sejak ia dikenakan PHK namun pada saat kepindahannya ke rumah susun ia masih membawa barang-barang yang berasal dari rumah lamanya. Barang-barang tersebut seperti baju-bajunya, furniture dan lain-lain yang pernah menjadi isi dari rumah lamanya. Karakter Anthony memiliki egoisme yang tinggi sehingga ia lebih mementingkan urusannya terlebih dahulu termasuk pekerjaannya sehingga kurang memperhatikan keluarganya namun setelah PHK ia menjadi depresi, production designer memvisualisasikan sisi depresi Anthony melalui desain set yang ditata tidak pada tempatnya, hal ini menjelaskan bagaimana kondisi mental Anthony yang tidak sedang berada pada kondisi yang baik, selain itu untuk menunjukkan bahwa Anthony sebelumnya merupakan orang yang tergolong mampu (upper middle class), production designer membuat set dan menggunakan props yang mendukung kelas sosial

(44)

29 Anthony sebelum ia pindah ke rumah susun dengan cara menggunakan props yang berasal dari rumah lamanya sebelum Anthony pindah ke rumah susun.

4.2. Tahap Desain

Dalam proses mewujudkan desain set dalam penggambaran karakter pada film berjudul “Maya”, production designer melakukan berbagai tahap kerja guna mendapatkan gambaran yang sesuai dengan konsep yang telah ditentukan.

4.2.1. Analisis Script Scene Ruang Tengah

(45)

30 Maya yang sedang mewarnai melihat ayahnya keluar dari kamar dengan pakaian rapi non-formal. Anthony memakai kemeja lengan pendek kotak-kotak dengan celana panjang berbahan jeans. Maya sedang mewarnai buku mewarnainya yang bergambar seekor induk burung yang sedang memberi makan anaknya. Hal ini menjelaskan bahwa Anthony sedang berjuang untuk bangkit demi keluarganya dengan mencari rekan kerjanya untuk membuka pekerjaan baru. Maya memperhatikan Anthony yang hendak pergi dari rumah. Maya mendengarkan nasihat Anthony untuk tidak keluar dari rumah dengan membuka pintu rumah ketika ia sedang pergi. Dalam hal ini Anthony memang mengingatkan Maya untuk tidak keluar dari rumah, namun ia ceroboh dengan meninggalkan anak berusia 7 tahun sendirian di rumah, terlebih di mana ia berada di sebuah lingkungan baru yang sangat berbeda dengan lingkungan sebelumnya.

4.2.2. Script Breakdown

Dalam pembedahan naskah ini dibutuhkan:

Set:

Ruang tengah rusun yang telah ditata dengan tidak begitu rapi. Props yang diletakkan tidak di tempat yang sesuai dengan tujuan menggambarkan keadaan Anthony yang sedang frustasi dan depresi.

Props: Jemuran handuk, mesin cuci, keranjang baju kotor, kulkas 2 pintu, meja kerja kayu, rak kecil tempat mug dan rice cooker, meja TV, remote dan antena TV, rak sepatu, meja makan kayu berbentuk persegi panjang dan kursi makan, tempat sampah, pensil warna dan buku mewarnai, alas Maya untuk mewarnai,

(46)

31 kostum Anthony (kemeja kotak-kotak lengan pendek dan celana jeans), kostum Maya (baju cotton berwarna kuning strip hitam dan celana pendek kain), map Anthony, tempat sendok.

4.2.3. Research

Dalam proses mewujudkan desain yang menggambarkan kondisi karakter pada film “Maya”, production designer melakukan riset untuk mengumpulkan data dan informasi yang berguna membantu dan mendukung production designer dalam mewujudkan konsep desain set yang sesuai.

4.2.3.1. Rumah Susun Menengah Ke Bawah

Saat membaca script, dapat membayangkan bagaimana kondisi lingkungan dari rumah susun untuk kaum menengah ke bawah khususnya di Jakarta. Jakarta sendiri adalah ibukota dari Indonesia di mana menurut Badan Pusat Statistik (BPS) memiliki jumlah penduduk sebanyak 9.809.857 jiwa. Wilayah Jakarta telah dipadati oleh banyaknya kaum pengangguran begitu pula dengan kondisi kotanya yang padat dengan penduduknya yang pada akhirnya membuat angka kemiskinan meningkat tajam. Dapat dilihat angka kemiskinan di Jakarta pada tahun 2012- 2013 berdasarkan Portal Resmi Provinsi DKI Jakarta (www.jakarta.go.id) sebesar 366,77 ribu orang (3,70%). Banyaknya pencemaran lingkungan juga menjadi salah satu faktor mengapa Jakarta menjadi kota yang tidak nyaman untuk ditempati. Hal ini juga yang membuat meningkatnya populasi orang miskin di Jakarta. Kembali ke rumah susun, kebanyakan rumah susun di Jakarta yang dikhususkan untuk kaum menengah memiliki ciri-ciri lingkungan yang kotor,

(47)

32 kumuh, dan sempit. Namun pada film “Maya”, rumah susun yang dibutuhkan adalah rumah susun yang lebih layak untuk ditinggali oleh karakter yang telah dibuat.

Scene ruang tengah sendiri menggambarkan bagaimana status sosial dari karakter Anthony sebelum ia di PHK oleh perusahaannya dan pindah ke rumah susun tersebut. Set untuk scene pada ruang tengah juga sebagai penggambaran kondisi kejatuhan Anthony dan sosiografinya sebelum hidup di rumah susun.

Gambar 4.1. Ref. Rumah Susun http://umkmnews.com/tag/rumah-susun, 2014

(48)

33 4.2.3.2. Psikologi dan Sosiografi

Dalam film “Maya” karakter Anthony merupakan seorang laki-laki yang bekerja sebagai akuntan yang dilanda kejatuhan ekonomi dan ditinggal oleh istrinya, Amanda karena ia dikenakan PHK oleh perusahaan tempat dia bekerja yang kemudian membuatnya terpaksa menjual rumahnya dan pindah ke sebuah rumah susun bersama Maya. Di tengah kejatuhannya setelah di PHK, Anthony semakin frustasi dengan Amanda yang tidak terima dengan pengenaan PHK pada Anthony sehingga meninggalkannya sendirian bersama Maya. Status sosialnya menurun namun pada penerapan set di rumah susun production designer tetap menggunakan props yang dulu digunakan di rumah lama Anthony untuk menunjukkan bahwa sebelumnya Anthony berasal dari keluarga yang tergolong mampu.

4.2.4. Analisis Script Scene Kardus Maya

Setelah melihat dan mendengar suara genset dari luar rumahnya, Maya kembali ke dalam rumah. Maya melihat sebuah kotak unik yang ternyata adalah sebuah kotak musik milik Amanda dan Anthony, Maya membuka kotak musik tersebut dan terdengar alunan musik dari kotak musik tersebut. Maya masuk ke dalam kardus besar miliknya sembari mendengarkan alunan musik yang berasal dari kotak

(49)

34 musik tersebut dan melanjutkan menggambar di dalam kardus. Dalam scene kardus Maya, production designer memiliki konsep apa yang digambar oleh Maya adalah hasil representasi dari perasaan yang sedang ia rasakan. Singkatnya, Maya menggambar di dalam kardus untuk menuangkan semua perasaan yang sedang ia rasakan, yakni keadaannya sebelum mengalami perubahan kondisi dan adanya kesulitan dalam beradaptasi dengan lingkungan baru.

4.2.5. Props Breakdown

Setelah melakukan bedah script maka pada scene kardus Maya set dan props yang dibutuhkan adalah:

Set:

Kardus besar milik Maya yang penuh dengan gambar coretan Maya dan berisi tas, krayon, kotak musik, buku mewarnainya yang masih tersegel.

Props:

Kardus-kardus milik Amanda, kotak musik milik Amanda dan Anthony, kardus perlengkapan sekolah Maya (berisi seragam sekolah, kotak bekal, buku pelajaran Maya, tas Maya), kardus Maya (berisi kumpulan gambar-gambar Maya), kardus besar milik Maya, tas Maya, krayon dan buku mewarnai Maya.

4.2.6. Research

Dalam proses mewujudkan desain yang menggambarkan kondisi karakter pada film “Maya”, production designer melakukan riset untuk mengumpulkan data dan

(50)

35 infromasi yang membantu dan mendukung konsep production designer dalam mewujudkan konsep dalam merealisasikan desain set yang sesuai.

4.2.6.1. Psikologi Anak Umur 7 Tahun Melalui Coretan Tangan

Menurut Olivia (2010), anak pada umur 2 tahun mulai mencoret-coret, pada umur 5 tahun anak mulai melakukan pengulangan. Pada umur 7 tahun coretan atau gambar tangan anak biasanya merupakan gambar dari hasil representasi objek yang pernah dilihat (hlm. 9).

Dalam film “Maya”, karakter Maya hanya berfokus pada dua hal yakni dengkuran ayahnya dan adaptasinya dengan lingkungannya yang baru. Padahal masih banyak masalah di sekitarnya, contohnya seperti kejatuhan ekonomi keluarganya dan ibunya yang pergi meninggalkannya.

Production designer membuat gambaran pada kardus Maya sesuai dengan referensi bagaimana coretan anak pada umur 7 tahun, production designer juga memvisualisasikan gambar-gambar berdasarkan pikiran dan perasaan dari karakter Maya.

4.2.7. Visual Concept

Production designer memvisualisasikan konsep dengan gambaran sketsa dan referensi gambar yang dibuat pada mood board untuk menggambarkan suasana.

Mood board dibuat dengan tujuan agar ciri dan sifat karakter dapat divisualisasikan.

(51)

36 4.2.7.1. Mood Board

Production designer membuat mood board untuk memvisualisasikan karakter dalam film “Maya”, maka production designer membuat mood board sesuai dengan karakter Maya dan Anthony.

Pada mood board Maya, production designer membuat mood board yang mencakup look kostum, look make up, dan props yang akan digunakan, sedangkan pada mood board Anthony, production designer membuat mood board mencakup look kostum, look make up, props yang digunakan, dan kondisi emosi yang sedang dialami.

Gambar 4.2. Moodboard Maya Dok. Pribadi, 2014

(52)

37 4.2.8. Concept Drawing

Dalam mengkonsepkan desain set production designer membuat beberapa sketsa yang menjadi gambaran konsep yang akan digunakan. Sketsa konsep dibuat setelah penulis melakukan riset untuk mengumpulkan data dan informasi yang dapat mendukung konsep production designer.

4.2.8.1. Ruang Tengah

Scene ruang tengah production designer memiliki konsep berantakan. Di mana props diletakkan di tempat yang tidak seharusnya. Konsep ini bertujuan untuk menimbulkan rasa aneh dan tidak nyaman bagi orang yang melihat set tersebut.

Pada set di scene ruang tengah, production designer membutuhkan berbagai Gambar 4.3. Moodboard Anthony

Dok. Pribadi, 2014

(53)

38 macam props seperti meja makan berbentuk persegi panjang dan 2 bangku makan.

Meja persegi panjang ini digunakan untuk memvisualisasikan jarak antar anggota keluarga, Maya, Anthony, dan Amanda. Kursi makan yang digunakan hanya 2 untuk Maya dan Anthony, sedangkan sisa kursi pada meja makan tersebut disimpan di ruang kardus untuk menandakan bahwa keberadaan Amanda sebagai sosok ibu yang mengurus rumah tangga tidak ada di rumah tersebut.

Gambar 4.4. Draft Set Sketches Dok. Pribadi, 2014

Gambar 4.5. Draft Set Sketches Dok. Pribadi, 2014

(54)

39 4.2.8.2. Kardus Maya

Pada scene kardus Maya, production designer mengkonsepkan untuk fokus pada kondisi psikologi karakter Maya yang dituangkan pada gambar-gambar tangan di dalam kardus besar Maya. Psikologi Maya yang ingin digambarkan production designer adalah sulitnya Maya untuk beradaptasi di lingkungannya yang baru yaitu di rumah susun yang berbeda jauh dengan lingkungan tempat tinggalnya dahulu, keadaannya dulu sebelum mengalami perubahan kondisi, serta gangguan yang ia alami yang berasal dari dengkuran ayahnya.

Gambar 4.6. Kardus Maya Dok. Pribadi, 2014

(55)

40 4.3. Budgeting and Props Hunting

Setelah melakukan props breakdown di mana production designer menentukan props apa saja yang akan digunakan, production designer wajib membuat daftar budget yang kemudian diserahkan kepada produser. Hal ini dilakukan agar budget flow yang telah ditentukan oleh produser sebelumnya dapat terkendali, selain itu melalui budgeting, production designer dapat merinci dan menghemat budget yang diberikan. Sebagai contoh, jika barang yang dibutuhkan ada dan sesuai dengan gambaran konsep production designer, maka barang tersebut tidak perlu dibeli atau disewa. Hampir seluruh props yang digunakan dalam scene ruang tengah dan kardus Maya adalah hasil hunting melalui internet dan dibeli atau disewa oleh tim art.

4.4. Location Survey

Pencarian lokasi yang akan digunakan sebagai lokasi shooting dilakukan dalam 3 hari. Banyak pilihan rumah susun di Jakarta yang menjadi bahan pertimbangan.

Pencarian rumah susun dilakukan dengan tujuan menemukan lokasi yang sesuai dengan gambaran visi dan misi sutradara maupun department lain yang dapat mendukung berjalannya film “Maya”, selain itu banyak hal yang menjadi pertimbangan penulis pada saat melakukan survey rumah susun.

4.4.1. Jarak

Sebagai production designer, penulis memperhitungkan jarak suatu lokasi pada saat melakukan survey lokasi. Jarak yang diperhitungkan tidak hanya menyangkut jarak tempuh ke lokasi namun juga jarak efisiensi untuk production designer dan

(56)

41 tim art dalam hal mengurus set dan props yang akan digunakan. Penulis menemukan beberapa hambatan saat survey lokasi dilakukan, contohnya pada rumah susun Boing Kemayoran (Jakarta Pusat), rumah susun Benhil (Jakarta Pusat), dan rumah susun Tanah Abang-Kebon Kacang (Jakarta Pusat), rumah susun yang terdapat di Jakarta Pusat tersebut tentu menyulitkan art department dalam mengurus set dan props yang akan digunakan terkait jarak yang cukup jauh (Tangerang-Jakarta Pusat). Kemudian dibandingkan dengan rumah susun Taman Surya yang terletak di Kalideres, Jakarta Barat. Jika membandingkan jarak, tentu rumah susun Taman Surya menjadi pilihan yang lebih baik. Di samping itu, saat rumah susun Taman Surya diputuskan sebagai lokasi shooting yang tetap dan penulis sebagai production designer diharuskan membuat sekat untuk mempersempit view ruangan rumah susun yang dirasa terlalu luas, maka penulis harus mencari toko material serta memperkerjakan seorang set builder untuk membangun sekat. Lokasi toko material yang dekat dengan rumah susun Taman Surya menjadi keuntungan bagi penulis di mana penulis tidak perlu mengeluarkan budget untuk biaya transportasi dari rumah susun Taman Surya ke toko material, sedangkan untuk pengangkutan props ke lokasi penulis menyewa sebuah pick-up dengan harga yang cukup terjangkau jika diperhitungkan dengan jarak pulang- pergi (Tangerang-Kalideres, Kalideres-Tangerang). Untuk jarak efisiensi production designer dalam mengangkut set dan props ke dalam rusun, hambatan yang penulis temukan adalah rumah susun yang akan kami gunakan terletak di lantai 5, pada tahap ini penulis berdiskusi dengan kelompok perihal lokasi yang terletak di lantai yang terlalu tinggi, namun setelah berdiskusi penulis mengetahui

(57)

42 bahwa lantai 1 sampai lantai 4 rumah susun telah penuh dengan penghuni tetap, sehingga production designer bersama tim art harus menggunakan waktu sebaik mungkin dengan cara 2 minggu sebelum produksi, penulis bersama tim art sudah mengangkut dan mulai membangun set sesuai konsep yang telah disetujui.

4.4.2. Ukuran Ruangan

Dalam setiap survey lokasi yang dilakukan, penulis sebagai production designer selalu mengukur luas dan lebar ruangan untuk memperhitungkan peletakkan set dan props yang akan dibangun. Ada saat di mana tim mengajukan usul untuk meminjam atau menyewa rumah susun yang telah berpenghuni, namun penulis menolak usul tersebut karena penulis menganggap hal tersebut akan memakan waktu serta terkesan merepotkan dan mengganggu privasi penghuni menyangkut isi rumah penghuni. Hal ini disebabkan jika tim menggunakan rumah susun yang telah berpenghuni maka segala peralatan yang ada di dalam ruangan rumah susun tersebut harus dikeluarkan kemudian dimasukkan kembali dengan props untuk Maya karena penulis sebagai production designer telah memiliki gambaran visual sendiri menyangkut konsep yang akan diterapkan untuk scene pada film “Maya”.

Untuk survey ruangan rumah yang mirip dengan rumah BTN, gambaran visi production designer dan sutradara sedikit terpenuhi melihat ruangan tengah yang sesuai dengan gambaran penulis dan sutradara, namun saat penulis mulai mengukur luas dan ruangan yang akan digunakan sebagai scene kamar, penulis menemukan bahkan kamar tersebut terlalu sempit sehingga tidak memungkinkan untuk meletakkan props yang diinginkan terlebih kamar sesempit itu dapat menyulitkan pergerakkan kamera sehingga rumah tersebut dinyatakan tidak dapat

(58)

43 digunakan. Pengukuran ruangan ditujukan agar penulis sebagai production designer dapat membandingkan ukuran ruangan dan props yang digunakan serta sisa luas ruangan setelah peletakkan props yang berguna untuk pergerakkan kamera.

4.5. Designing

Dalam tahap designing, production designer memvisualisasikan konsep melalui sketsa-sketsa yang kemudian diperlihatkan pada sutradara apakah konsep set telah memenuhi visi misi cerita yang akan disampaikan. Saat berdiskusi dengan sutradara menyangkut konsep yang dibuat oleh production designer, sutradara dan production designer bersama-sama mengeluarkan pendapat untuk mencapai konsep yang disepakati bersama. Gambaran production designer dan sutradara diharuskan sejalan agar tujuan atau visi dan misi dari sutradara serta production designer dapat berjalan dan mendukung film “Maya”.

4.5.1. Ruang tengah

Setelah melakukan location survey bersama tim, kami menyepakati bersama bahwa rumah susun yang memenuhi syarat gambaran sutradara dan production designer adalah rumah susun yang berlokasi di Taman Surya, Kalideres, Jakarta Barat. Production designer membuat sketsa-sketsa berdasarkan ruangan yang telah disepakati untuk menjadi lokasi shooting di mana kemudian sketsa tersebut diserahkan kepada sutradara untuk menyesuaikan gambaran mood dan visual yang sesuai dengan keinginan sutradara.

(59)

44 4.6. Approval

Menurut LoBrutto (2002), setelah seorang production designer menyerahkan sketsa konsep visualnya dan berdiskusi dengan department inti khususnya sutradara dan director of photography, maka sketsa konsep visual final yang telah mendapat persetujuan siap untuk diwujudkan ke dalam bentuk fisik pada sebuah set (hlm. 68).

4.6.1. Ruang Tengah

Production designer menarasikan ruang tengah sebagai tempat yang kurang nyaman untuk Anthony dan Maya yang digambarkan melalui sempitnya ruangan tersebut yang membuat sulit untuk bergerak. Di ruang inilah Anthony dan Maya banyak melakukan kegitan sehari-hari.

Pada pembuatan set untuk scene ruang tengah, production designer harus membuat sekat untuk mempersempit view ruangan karena ruangan asli sebelum dipersempit terlihat cukup luas, sehingga production designer diharuskan membuat sekat yang menggunakan bahan material berupa triplek dan gipsum untuk menyesuaikan besar ruangan yang akan disekat, selain itu setelah melakukan penyekatan gipsum dan triplek yang telah disusun dicat dengan warna cat yang sama dengan dinding ruang tengah dengan dibantu set builder.

(60)

45 Gambar 4.7. Proses Penyekatan Ruangan

Dok. Pribadi, 2014

Gambar 4.8. Hasil Penyekatan Ruangan Dok. Pribadi, 2014

(61)

46 4.7. Props Grouping / Organizing the Property Department

Menurut LoBrutto (2002), seorang props master harus membuat list atau catatan yang berisi tentang segala props yang ada berdasarkan naskah, hasil diskusi dan keputusan akhir dengan production designer, kemudian mengkategorikan atau mengklasifikasi props sesuai dengan jenisnya antara lain: personal props, set props, hands props, action props, dan decoration props. Sebelum masuk pada tahap shooting, final check list terhadap props yang akan digunakan wajib dilakukan (hlm. 73).

Gambar 4.9. Final Design Ruang Tengah Dok. Pribadi, 2014

Gambar

Gambar 2.1. Wheel of Art Department Influence  ( Michael Rizzo, 2005 )
Gambar 2.2. Art Department Hierarchy  (Michael Rizzo, 2005)
Gambar 2.3. Set Projection Sketch by Camille Abbot for Flashdance  (Steven Doughlas Katz, 2011)
Gambar 3.1. Script Breakdown  Dok. Pribadi, 2014
+7

Referensi

Dokumen terkait

Surat Keputusan Nomor : Kep.07/MENLH/06/2005 dan Nomor : 05/VI/KB/2005 yang pada tahun 2010 diperuntukkan bagi Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten dan Kota di seluruh

Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar (298 atau 86%) bayi yang dilahirkan di Puskesmas Tanah Kali Kedinding Surabaya tahun 2012 lahir dengan berat lahir yang normal

Setelah melakukan rekrutmen politik, partai politik akan melakukan seleksi kandidat untuk menentukan siapa saja kandidat yang akan maju dalam pemilihan umum

[r]

Penulis berasumsi bahwa dengan adanya pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR) dapat memperkuat hubungan antara nilai laba terhadap harga saham, karena selain

Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang determinan keikutsertaan ibu sebagai akseptor metode kontrasepsi jangka panjang pasca

Kot jih opisuje Hickey 1991, po Holmes in Holmes, 1998, naj bi bile od moških serijskih morilcev veliko bolj uspešne in natančne, so veliko bolj tihe pri svojem početju, vendar so