• Tidak ada hasil yang ditemukan

CITRA WANITA DALAM KISAH RIWAYAT PUTRI HIJAU : KAJIAN KRITIK SASTRA FEMINIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "CITRA WANITA DALAM KISAH RIWAYAT PUTRI HIJAU : KAJIAN KRITIK SASTRA FEMINIS"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

CITRA WANITA DALAM KISAH RIWAYAT PUTRI HIJAU : KAJIAN KRITIK SASTRA FEMINIS

SKRIPSI

DIKERJAKAN O

L E H

NAMA : RAKA GUNAIKA NIM : 150702011

PROGRAM STUDI SASTRA MELAYU FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2019

(2)
(3)
(4)
(5)

CITRA WANITA DALAM KISAH RIWAYAT PUTRI HIJAU : KAJIAN KRITIK SASTRA FEMINIS

OLEH : RAKA GUNAIKA

ABSTRAK

Judul skripsi ini adalah “Citra Wanita dalam Kisah Riwayat Putri Hijau : Kajian Kritik Sastra Feminis”. Adapun yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini yaitu bagaimanakah alur, latar dan penokohan dalam teks KRPH serta bagaimanakah citra diri wanita dan citra sosial wanita dalam teks KRPH.

Skripsi ini memfokuskan diri terhadap isi teks dalam KRPH. Skripsi ini bertujuan untuk mendeskripsikan alur, latar, tokoh dan penokohan dalam KRPH serta mendeskripsikan citra diri wanita dan citra sosial wanita dalam KRPH. Manfaat dari skripsi ini adalah para pembaca dapat memahami studi tentang kritik sastra feminis dan sebagai acuan untuk penelitian terhadap KRPH maupun studi feminis berikutnya. Teori yang pengkaji gunakan dalam penelitian ini adalah teori struktural dan teori feminisme atau disebut juga sebagai kritik sastra feminis. Teori struktural digunakan untuk menganalisis alur, latar, tokoh dan penokohan dalam KRPH, sedangkan teori feminisme digunakan untuk menganalisis citra diri wanita dan citra sosial wanita dalam KRPH. Metode penelitian yang pengkaji gunakan dalam penelitian ini yaitu metode penelitian kualitatif bersifat deskriptif. Teknik pengumpulan data yang pengkaji gunakan yaitu studi kepustakaan. Sumber data yang pengkaji peroleh adalah teks KRPH. Teknik analisis yang pengkaji gunakan yaitu analisis teks dalam KRPH.

Kata Kunci : Kisah Riwayat Putri Hijau (KRPH), Citra Wanita, Feminisme

(6)

: واجيه رتوڤ ةياوير هصيق ملاد اتيناو ارتيچ

نيجاک کيتيرک

ارتسس سينيميف

هيلوا : کار كيءانوڬ

کرتسبا

لودوج يسفيركس

نيا هلادا ارتچ “ اتيناو ملاد هصيق ةياوير رتوڤ

واجيه نيجاک :

کيتيرک

ارتسس سنيمف

۔ ” نوڤادا ڠي

يداجنم نهلئسمرڤ

ملاد يسفيركس نيا

وتيءاي هکانامياݢاب

،رولا

رتلا ناد نهوكونڤ ملاد

کيت س هڤرك اترس هکانامياݢاب ارتيچ

يريد اتيناو ناد ارتيچ لايسوس

اتيناو ملاد کيت س

۔هڤرك يسفيركس نيا

نکسوکوفمم يريد

ڤداهرت يسيا

کيت س ملاد

۔هڤرك يسفيركس نيا

ناوجوترب قوتنوا

نکيسڤيرکسيدنم

،رولا

،رتلا هوکوت ناد

نهوكونڤ

ملاد هڤرك اترس نکيسڤيرکسيدنم ارتيچ

يريد اتيناو ناد ارتيچ لايسوس اتيناو

ملاد

۔هڤرك

ةعفنم يرد نيتيلنڤ نيا

هلادا اراڤ چابمڤ تڤاد يمهمم يدوتس

ڠتنت کيتيرک ارتسس

سينيميف

ناد ياݢابس ناوچا

قوتنوا نيتيلنڤ

ڤداهرت هڤرك

نوڤوام يدوتس

سينيميف

۔ڽتوكيرب يرويت

ڠي يجاکڠڤ نكانوڬ

ملاد نيتيلنڤ نيا

هلادا يرويت لروتکورتس

ناد يرويت مسنيمف

واتا توبسد

ݢوج ياݢابس

کيتيرک ارتسس

۔سنيمف يرويت

لروتکورتس نکانوݢد

قوتنوا سيسيلاناڠم

،رولا

،رتلا هوکوت ناد

نهوكونڤ ملاد

،هڤرك نکڠدس

يرويت مسنيمف

نکانوݢد قوتنوا

سيسيلاناڠم ارتيچ

يريد اتيناو ناد ارتيچ لايسوس اتيناو

ملاد

۔هڤرك ىدوتيم

نيتيلنڤ ڠي

يجاکڠڤ نكانوڬ

ملاد نيتيلنڤ نيا

وتيءاي ىدوتيم

نيتيلنڤ فيتاتيلاوک

ةفصرب

۔فتڤركسد

کينکيت نلوڤموڠڤ

اتاد ڠي يجاکڠڤ نكانوڬ

وتيءاي يدوتس

۔نأكاتسوڤك ربموس

اتاد ڠي

يجاکڠڤ هلورڤ

هلادا کيت س

۔هڤرك کينکيت سيسيلانا

ڠي يجاکڠڤ نكانوڬ

وتيءاي سيسيلانا

کيت س ملاد

۔هڤرك

تاک يچنوک هصيق :

ةياوير رتوڤ

) وجيه ( هڤرك

، ارتيچ

،تيناو

مسنيمف

(7)

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Subhanahu Wa Ta‟ala yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, pengkaji panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada pengkaji, sehingga pengkaji dapat menyelesaikan skripsi pengkaji yang berjudul “Citra Wanita Dalam Kisah Riwayat Putri Hijau : Kajian Kritik Sastra Feminis” dengan baik.

Skripsi ini telah pengkaji susun dengan baik dan maksimal. Untuk itu pengkaji menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan skripsi ini.

Terlepas dari semua itu, pengkaji menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka pengkaji menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar pengkaji dapat memperbaiki skripsi ini.

Akhir kata pengkaji berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.

Medan, 12 Agustus 2019

Pengkaji,

Raka Gunaika

(8)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur pengkaji ucapkan kepada Allah Subhanahu Wata‟ala, yang telah memberikan kesehatan, kesempatan, dan kekuatan sehingga pengkaji dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Dibalik proses penyelesaian skripsi ini banyak sekali orang-orang yang telah mendukung pengkaji di dalamnya. Pada kesempatan ini pengkaji turut mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Budi Agustono, M. S., selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dr. Rozanna Mulyani, M. A., selaku Ketua Program Studi Sastra Melayu Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Dra. Mardiah Mawar Kembaren, M. A. Ph. D., selaku Sekretaris Program Studi Sastra Melayu Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara sekaligus dosen pembimbing pengkaji yang telah membimbing, mengarahkan, memberikan motivasi serta memberikan saran dan nasehat kepada pengkaji selama 4 tahun masa studi pengkaji maupun dalam proses penyusunan skripsi ini.

4. Bapak – bapak Dosen Staf Pengajar Program Studi Sastra Melayu Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, diantaranya yaitu Prof. Wan Syaifuddin, M.A., Ph. D, Bapak Drs. Baharuddin, M. Hum., Bapak Drs. Yos Rizal, MSP., dan Bapak Drs. Irwan, M.Si yang telah memberikan banyak sekali bimbingan, pengalaman dan pengajaran selama pengkaji duduk di bangku perkuliahan.

5. Kepada yang pengkaji hormati Prof. M. Husnan Lubis, M. A., Ph. D yang telah mendukung, memotivasi dan memberikan arahan selama pengkaji duduk di bangku perkuliahan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

6. Kak Tri Dayana dan Bang Prayogo, S.S yang telah banyak membantu proses berkas-berkas dan administrasi yang terkait dalam skripsi pengkaji.

(9)

7. Ayahanda Print Ikaja yang pengkaji sayangi, hormati dan banggakan, terima kasih atas segala arahan, bimbingan, nasehat dan segala do‟a kepada pengkaji sehingga pengkaji dapat duduk dan merasakan pendidikan di salah satu perguruan tinggi ternama di Indonesia hingga menjadi sarjana.

8. Ibunda tercinta Rahayu Prawita Sari, S.Sn yang sangat pengkaji cintai, hormati, sayangi dan banggakan, terima kasih atas segala kasih sayang, nasehat dan motivasi Ibu selama ini kepada pengkaji sehingga pengkaji dapat menjadi sarjana yang ibu banggakan.

9. Adikku tersayang Rassya Priyandira yang telah membantu dan memberikan semangat kepada pengkaji.

10. Ibu Kartini dan Nenek Nang Supini yang pengkaji sayangi, terima kasih atas segala kasih sayang yang ibu dan nenek berikan selama ini.

11. Abangda Dosen Luar Biasa Program Studi Sastra Melayu, Abangda Dedi Rahmad Sitinjak, S.Si dan Abangda Arie Azhari Nasution, S.S., M.A., yang telah memberikan dukungan dan arahan selama perkuliahan.

12. Kepada teman-teman seperjuangan Sastra Melayu 2015 yang telah berjuang bersama selama 4 tahun, terima kasih pengkaji ucapkan kepada Nawawi, Dayat, Dedek, Guntur, Nuja, Dara, Atika, Mella, Pricil, Liza, Athifa, Nuri, Netti, Icak, Zubed, Umma, Ega, Angela, Gadty, Rajab, Amal, Ilham, Julianto, Yusri, Situmeang, Syiri, Fitri, Sari, Wiwin, Ema, Abau dan lainnya yang tak bisa pengkaji sebutkan satu-persatu, kalian tak akan pernah pengkaji lupakan sebagai sahabat selama perkuliahan pengkaji. Sukses untuk 015. Ahoi!

13. Terima kasih kepada KELUARGA KKN USU DESA KAMPUNG YAMAN 2018 diantaranya Ofie, Tar, Dani, Aman, Nia, Tiwi, Dekcik, Ama, Ismi, Ennu, Adel, Azizah, Inur, Vira, Yessi, dan Baity yang telah berjuang bersama selama

(10)

sebulan lebih di Kab. Labuhan Batu Utara demi terlaksananya program pengabdian pada masyarakat. Sukses untuk kita semua Keluarga KKN-ku.

14. Terima kasih kepada Pasukan Gang Tujuh, Pasukan Pasmur dan Pasukan Pecinta Susu diantaranya Nyon, Ajid, Iyol, Stel, Bangdam, Keleng, Nanug, Ghali, Cepot, Bangpai, Amri, Ammar, Olek, Zaki, Kahfi yang telah menemani keseharian pengkaji selama ini. Sukses untuk kita semua kawanku.

15. Terima kasih kepada IMSAM FC, JAWI FC, UKM MEPRO USU, UKM SAHIVA USU, Paranoid Band, HMJ IMSAM FIB USU serta para Anggota Divisi Keolahragaan HMJ IMSAM FIB USU yang telah berpartisipasi terhadap kinerja pengkaji sebagai Ketua Divisi Keolahragaan HMJ IMSAM FIB USU periode 2017-2019.

16. Adik-adik Junior Sastra Melayu Angkatan 2016, 2017 dan 2018, terima kasih atas do‟a dan semangat yang adik-adik berikan kepada pengkaji.

Medan, 12 Agustus 2019

Pengkaji

Raka Gunaika

(11)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... iii

UCAPAN TERIMA KASIH ... iv

DAFTAR ISI...vii

DAFTAR GAMBAR ...ix

DAFTAR DIAGRAM...x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Batasan Masalah ... 4

1.4 Tujuan Penelitian ... 4

1.5 Manfaat Penelitian ... 4

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 5

2.1 Kepustakaan Yang Relevan ... 5

2.2 Teori Yang Digunakan ... 6

2.2.1 Teori Struktural ... 6

2.2.2 Feminisme dan Kritik Sastra Feminis ... 7

2.2.3 Konsep Citra Wanita ... 9

2.2.3.1 Citra Diri Wanita... 9

2.2.3.2 Citra Sosial Wanita ... 11

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 14

3.1 Metode Penelitian ... 14

3.2 Metode Pengumpulan Data ... 14

3.3 Sumber Data... 14

3.4 Metode Analisis Data ... 15

(12)

BAB IV PEMBAHASAN ... 16

4.1 Ringkasan Cerita KRPH ... 16

4.2 Analisis Alur, Latar dan Penokohan dalam KRPH ... 22

4.3 Analisis Citra Wanita dalam KRPH ... 43

4.3.1 Citra Diri Wanita dalam KRPH ... 43

4.3.2 Citra Sosial Wanita dalam KRPH ... 56

BAB V KESIMPULAN dan SARAN ... 63

DAFTAR PUSTAKA ... 65

(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Judul Gambar Halaman

Gambar 1 Sumber Data Teks KRPH...15 Gambar 2 Peta Lokasi Kec. Medan Sunggal...32

(14)

DAFTAR DIAGRAM

Diagram Judul Diagram Halaman

Diagram 2.1 Prinsip Citra Wanita...13

Diagram 4.1 Struktur Cerita KRPH...22

Diagram 4.2 Alur Maju dalam KRPH...29

Diagram 4.3 Latar Tempat dalam KRPH...35

Diagram 4.4 Tokoh dan Penokohan dalam KRPH...44

Diagram 4.5 Citra Fisis Wanita dalam KRPH...47

Diagram 4.6 Citra Psikis Wanita dalam KRPH...55

Diagram 4.7 Citra Wanita pada Keluarga dalam KRPH...61

Diagram 4.8 Citra Wanita pada Masyarakat dalam KRPH...62

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sastra merupakan satu kesenian yang selalu berada dalam peradaban manusia sejak ribuan tahun yang lalu. Kehadiran sastra di tengah peradaban manusia tidak dapat ditolak, bahkan kehadiran tersebut diterima sebagai salah satu realitas budaya. Sastra lahir disebabkan dorongan dasar manusia untuk mengungkapkan dirinya (Semi, 2003). Sastra sebagai hasil produk kreativitas manusia yang tercipta dengan berbagai bentuk ragam sastranya. Seluruh karya sastra baik lisan maupun tulisan yang digunakan harus diselamatkan, disimpan dan dipelihara oleh masyarakat yang mendukungnya (Karim, 2015). Karya sastra itu sendiri adalah objek manusiawi, fakta kemanusiaan atau fakta kultural sebab merupakan hasil ciptaan manusia (Faruk, 2017). Karya sastra diciptakan untuk dinikmati, dipahami dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Karya sastra menampilkan gambaran kehidupan yang terangkum dalam hubungan antar masyarakat, antar manusia dan antar peristiwa yang terjadi pada seseorang (Pradopo, 1997). Salah satu karya sastra yang lahir dan berkembang dalam kehidupan masyarakat ialah Kisah Riwayat Putri Hijau yang selanjutnya pengkaji singkat menjadi KRPH.

Pengkaji memilih KRPH sebagai objek penelitian pengkaji karena KRPH merupakan salah satu karya sastra yang berkembang di masyarakat Melayu Deli dengan fenomena, bukti dan peninggalannya dipercayai benar adanya. Peninggalan tersebut ialah adanya lokasi yang dinamakan “Tepian Putri Hijau” yang diyakini sebagai tempat pemandian Putri Hijau dahulu dan beralokasi di Kecamatan Namorambe, Deli Serdang (Lubis, 2018). Bukti selanjutnya yaitu “Meriam Puntung” yang terbelah menjadi dua, moncongnya tercampak ke Kampung

(16)

Sukanalu dan sisanya kini berada di pelataran halaman Istana Maimun Kota Medan(Sinar, 2011). KRPH merupakan warisan dan karya sastra sumbangan masyarakat Melayu Deli.

KRPH jelas berada dalam lingkungan masyarakat Melayu Deli. KRPH menjadi salah satu sejarah hebat yang pernah terjadi di lingkungan masyarakat Melayu Deli. KRPH diperkirakan terjadi pada sekitar abad ke-15 atau ke-16. KRPH memperlihatkan suatu fenomena sastra yang menarik karena sering ditempatkan sebagai hikayat yang berada di antara fiksi dan realitas sejarah. Masyarakat Melayu Deli sangat akrab dengan KRPH dan kisah ini bahkan sering dipandang sebagai kisah yang suci dan keramat (Kasim, 2003). KRPH berkisah tentang perlawanan seorang wanita yang menolak untuk menikah dengan seorang Raja. Hal ini berkaitan dengan penelitian pengkaji tentang adanya paham feminisme. Pengkaji tertarik untuk meneliti KRPH karena didalamnya menampilkan kehebatan seorang wanita pada tokoh Putri Hijau. Kemudian dengan adanya penelitian ini pengkaji berharap agar kelak cerita KRPH senantiasa abadi dan tetap hidup di kalangan masyarakat khususnya masyarakat Melayu di Sumatera Utara. Langkah awal penulis dalam menganalisis citra wanita dalam KRPH adalah menganalisis struktur cerita dan kemudian menganalisis citra wanita pada tokoh wanita.

Citra merupakan rupa dan gambar yang dimiliki orang banyak mengenai pribadi, atau kesan visual yang ditimbulkan oleh sebuah kata, frase atau kalimat dan merupakan unsur dasar yang khas dalam karya prosa dan puisi. Citra wanita adalah gambaran mental spiritual dan tingkah laku keseharian wanita yang menunjukkan “wajah” dan ciri khas wanita sebagai makhluk sosial. Citra wanita tersebut merupakan tanda dalam karya sastra, maka unsur itu berelevansi kuat dalam hubungannya dengan struktur karya, pencipta pembaca dan semestaannya. Tegangan unsur citra wanita dengan keempat komponen itu dapat diungkapkan untuk memahaminya secara lebih memadai terutama hasil pengungkapan citra wanita. Wujud citra dibatasi pada masalah pikiran dan perasaan wanita dalam tingkah laku

(17)

keseharian sebagai pribadi (individu), sebagai anggota keluarga dan sebagai anggota masyarakat. Wujud citra wanita dapat dihubungkan dengan aspek fisis, psikis dan sosial budaya dalam kehidupan wanita yang melatarbelakangi terbentuknya wujud citra wanita (Sugihastusi, 2000).

Feminisme merupakan suatu pergerakan yang diperjuangkan oleh para wanita untuk memperjuangkan hak-hak kaum wanita dalam segala kelas sosial (Suaka, 2014). Feminisme dalam sastra dikenal sebagai Kritik Sastra Feminis. Kritik sastra feminis adalah sebuah kritik yang memandang sastra dengan kesadaran khusus akan adanya jenis kelamin yang berhubungan dengan budaya, sastra dan kehidupan manusia (Sugihastuti dan Suharto, 2016).

Kritik sastra feminis meletakkan teori feminisme sebagai landasan pemikiran. Ide-ide feminis bermula dari kenyataan bahwa keadaan belum sejajarnya hak antara laki-laki dan perempuan di dalam kehidupan masyarakat. Kesadaran akan tidak adanya kesejajaran hak yang terjadi dalam masyarakat tersebut yang kemudian melahirkan kritik sastra feminis (Alfian, 2014).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah pada penelitian proposal skripsi ini yaitu :

1. Bagaimanakah alur, latar serta tokoh dan penokohan dalam teks KRPH?

2. Bagaimanakah citra diri wanita dan citra sosial wanita pada tokoh wanita dalam teks KRPH?

(18)

1.3 Batasan Masalah

Penelitian ini hanya berfokus pada isi teks KRPH, kemudian menganalisis alur, latar, tokoh dan penokohan serta menganalisis citra diri wanita dan citra sosial wanita pada tokoh wanita dalam teks KRPH.

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian yang ingin dicapai yaitu :

1. Untuk mendeskripsikan alur, latar, tokoh dan penokohan dalam teks KRPH.

2. Untuk mendeskripsikan citra diri wanita dan citra sosial wanita dalam teks KRPH.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat Teoretis

1. Pembaca dapat memahami studi tentang kritik sastra feminis.

2. Pembaca dapat memperluas ilmu pengetahuan khususnya tentang studi kritik sastra feminis.

1.5.2 Manfaat Praktis

1. Hasil penelitian diharapkan dapat menambah wawasan para pembaca tentang KRPH.

2. Hasil penelitian dapat menjadi acuan untuk penelitian selanjutnya terhadap KRPH ataupun studi literatur lainnya yang berkaitan dengan cerita Putri Hijau.

(19)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kepustakaan Yang Relevan

Kepustakaan yang relevan adalah salah satu cara untuk mendapatkan referensi yang lebih tepat dan sempurna tentang informasi atau data yang akan diperoleh. Adapun kepustakaan relevan yang pengkaji gunakan untuk membantu pengkaji dalam menyelesaikan penelitian ini yaitu :

Sahril (jurnal, 2013) berjudul Analisis Struktur Aktan dan Model Fungsional Legenda Putri Hijau. Jurnal tersebut menjelaskan tentang skema aktansial dan struktur fungsional serta korelasi keduanya dalam cerita Legenda Putri Hijau. Dalam jurnalnya, Sahril fokus terhadap teks Legenda Putri Hijau dengan mengacu kepada struktur-struktur cerita yang mengandung skema aktan dan struktur fungsional yang terdapat dalam cerita Legenda Putri Hijau.

Marlina (skripsi, 2014) berjudul Citra Wanita dalam Novel Kesturi dan Kepodang Kuning Karya Afifah Afra : Analisis Sastra Feminis. Skripsi tersebut menjelaskan tentang citra wanita pada aspek fisis dan psikis serta citra sosial wanita dalam keluarga dan masyarakat pada karya sastra Novel Kesturi dan Kepodang Kuning. Dalam skripsinya, Marlina melakukan penelitian teks dalam Novel Kesturi dan Kepodang Kuning, kemudian mengklasifikasikan citra diri wanita dalam aspek fisis dan psikis serta citra sosial wanita dalam keluarga dan masyarakat.

Berdasarkan dua penelitian di atas sangat membantu pengkaji dalam menyelesaikan skripsi ini, namun skripsi pengkaji berbeda dengan penelitian di atas karena pada skripsi ini pengkaji akan menganalisis alur, latar serta tokoh dan penokohan dalam KRPH kemudian

(20)

pengkaji akan mengalanalisis citra diri wanita dalam aspek fisis dan psikis serta citra sosial wanita dalam keluarga dan masyarakat pada teks KRPH yang menarik untuk diteliti.

2.2 Teori Yang Digunakan

2.2.1 Teori Struktural

Strukturalisme merupakan analisis intrinsik karya sastra. Analisis intrinsik ingin memahami unsur-unsur dalam membentuk karya sastra (Wellek dan Warren, 2015). Abrams (dalam Sugihastuti, 2016) menyatakan ada empat pendekatan terhadap karya sastra yaitu pendekatan mimetik, pendekatan pragmatik, pendekatan ekspresif dan pendekatan objektif.

Teori strukturalisme merupakan pendekatan yang bersifat objektif, yaitu pendekatan yang menganggap karya sastra sebagai makhluk yang berdiri sendiri. Hudayat (dalam Suhariyadi, 2014) mengatakan bahwa pendekatan objektif mengarah pada analisis intrinsik dan menolak segala unsur ekstrinsik seperti aspek historis, sosiologis, politis dan unsur-unsur sosiokultural lainnya. Pendekatan struktural berusaha berlaku adil terhadap karya sastra dengan hanya menganalisis karya sastra tanpa mengikutsertakan hal-hal yang berada diluarnya. Oleh karena itu, untuk dapat memahami sebuah karya maka harus dianalisis struktur intrinsiknya (Semi, 2003). Unsur-unsur intrinsik tersebut adalah fakta cerita, tema dan sarana sastra. Fakta-fakta cerita berisi karakter (tokoh), alur dan latar didalamnya. Elemen-elemen tersebut berfungsi sebagai catatan kejadian imajinatif sebuah cerita. Jika dirangkum menjadi satu maka semua elemen tersebut dinamakan „struktur faktual‟ cerita (Stanton, 2007:22). Tema cerita merupakan aspek cerita yang menggambarkan suatu kejadian melalui emosi dan perasaan (Stanton, 2007:36). Sarana-sarana sastra dapat diartikan sebagai metode pengarang dalam memilih dan menyusun cerita agar tercapai pola-pola yang bermakna, seperti judul, sudut pandang, gaya dan tone, simbolisme serta ironi. Pengkaji memilih teori struktural untuk menganalisis isi teks dalam KRPH. Pada penelitian ini pengkaji menggunakan teori dari

(21)

Stanton yang menganalisis unsur intrinsik faktual cerita yang didalamnya berisi tokoh, plot dan latar dalam KRPH.

2.2.2 Feminisme dan Kritik Sastra Feminis

Feminisme berasal dari kata femme (woman) yang berarti perempuan yang berjuang untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan dalam kelas sosial. Feminis merupakan gerakan yang dilakukan oleh kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang dinomorduakan dan direndahkan oleh kebudayaan yang dominan baik dalam berbagai tataran bidang maupun kehidupan sosial lainnya (Suaka, 2014). Moeliono (dalam Sugihastuti, 2016) juga menyebutkan feminisme adalah gerakan perempuan yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum perempuan dan laki-laki. Feminisme muncul sebagai sebuah upaya perlawanan atas berbagai upaya kontrol laki-laki diatas. Pada intinya gerakan feminisme menggugat ketidakadilan terhadap perempuan dan menuntut persamaan hak dengan laki-laki (Nurgiyantoro, 2015). Dalam membahas feminisme, terlebih dahulu harus dipahami konsep seks dan gender bahwa seks atau jenis kelamin merupakan pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Seks atau jenis kelamin secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologis atau sering dikatakan sebagai ketentuan Tuhan atau kodrat, sedangkan gender merupakan suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dibentuk, disosialisasikan, diperkuat bahkan di dikonstruksi secara sosial atau kultural melalui ajaran keagamaan maupun negara. Konsep gender menyangkut semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki yang bisa berubah baik dari waktu ke waktu, tempat ke tempat lainnya maupun dari suatu kelas ke kelas lainnya. Ketidakadilan yang ditimbulkan oleh perbedaan gender merupakan salah satu masalah pendorong lahirnya feminisme (Fakih, 2004). Dalam penelitian ini pengkaji menggunakan teori feminisme radikal yang berpusat

(22)

dari akar permasalahan seks dan gender yang dimana kaum wanita biasanya sering direndahkan oleh kaum pria (Suaka, 2014). Feminisme Radikal merupakan sistem partrilianisme yang terbentuk oleh kekuasaan, dominasi, hirarki, dan kompetisi. Namun, hal tersebut tidak bisa direformasi dan bahkan pemikirannya harus dirubah. Feminisme radikal fokus kepada jenis kelamin, gender, dan reproduksi sebagai tempat untuk mengembangkan pemikiran feminisme mereka. (Tong, 2009:2)

Praktik feminisme dalam kesusasteraan dikenal sebagai kritik sastra feminis. Kritik sastra merupakan salah satu studi sastra yang langsung berhadapan dengan karya sastra secara langsung dengan menekankan penilaian langsung terhadap sebuah karya (Wellek dalam Pradopo, 2018). Kritik sastra feminis merupakan salah satu teori kritik sastra yang paling dekat untuk dipakai sebagai alat penjawabnya. Showalter (dalam Sugihastuti, 2016) menyebutkan bahwa pada ilmu sastra, feminisme berhubungan dengan konsep kritik sastra feminis, yaitu studi sastra yang mengarahkan fokus analisisnya pada perempuan. Culler (melalui Sugihastuti, 2016) menyatakan bahwa kritik sastra pada dasarnya merupakan upaya untuk menangkap atau memberi makna karya sastra, dan menurut Teeuw (dalam Sugihastuti, 2016) merupakan usaha untuk merebut makna karya sastra. Djajanegara (dalam Sugihastuti, 2002) mengatakan bahwa Kritik Sastra Feminis (KSF) berawal dari kenyataan bahwa baik dalam pandangan tradisional maupun pandangan tentang manusia dalam karya sastra pada umumnya mencerminkan ketimpangan. Culler (dalam Sugihastuti, 2016) menyebut kritik sastra feminis sebagai reading as a woman, membaca sebagai perempuan. Yoder (dalam Sugihastuti, 2016:5) menjelaskan kritik sastra feminis bukan berarti pengkritik perempuan atau kritik tentang perempuan juga bukanlah kritik tentang pengarang perempuan. Arti sederhana yang dikandungnya ialah pengkritik memandang sastra dengan kesadaran khusus;

kesadaran bahwa ada jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra dan kehidupan. Jenis kelamin inilah yang membuat perbedaan diantara semuanya yang juga

(23)

membuat perbedaan pada diri pengarang, pembaca, perwatakan dan pada faktor luar yang mempengaruhi situasi karang-mengarang. Seperti diketahui, kritik sastra feminis berawal dari para hasrat feminis untuk mengkaji karya penulis-penulis wanita pada masa silam.

Demikian juga, kritik sastra feminis bertujuan untuk menunjukkan citra wanita dalam karya penulis-penulis pria yang menampilkan wanita sebagai makhluk dengan berbagai cara ditekan, disalahtafsirkan serta disepelekan oleh tradisi patriarkal yang dominan (Sugihastuti, 2007:136). Dalam kritik sastra feminis, citra wanita terbagi atas dua bagian yaitu citra diri wanita dan citra sosial wanita. Berikut adalah penjelasan mengenai citra wanita.

2.2.3 Konsep Citra Wanita

Citra artinya rupa dan gambaran yang dimiliki orang banyak mengenai pribadi, atau kesan mental (bayangan) visual yang ditimbulkan oleh sebuah kata, frase atau kalimat dan merupakan unsur dasar yang khas dalam karya prosa dan puisi (Sugihastuti, 2000).

Citra wanita ialah semua wujud gambaran mental spiritual dan tingkah laku keseharian yang terekspresi oleh wanita. Kata citra wanita diambil dari gambaran-gambaran citraan yang ditimbulkan oleh pikiran, pendengaran, penglihatan, perabaan atau pencecapan tentang wanita. Wanita dicitrakan sebagai makhluk individu yang beraspek keluarga dan masyarakat (Sugihastuti, 2000).

Citra wanita dibedakan menjadi dua yaitu citra diri wanita dan citra sosial wanita.

Berikut ini pengkaji jelaskan lebih lanjut mengenai citra diri wanita dan citra sosial wanita.

2.2.3.1 Citra Diri Wanita

Citra diri wanita merupakan dunia yang typis, yang khas dengan segala macam tingkah lakunya. Citra diri wanita terwujud sebagai sosok individu yang mempunyai pendirian dan pilihan sendiri atas berbagai aktivitasnya berdasarkan kebutuhan-kebutuhan

(24)

pribadi maupun sosialnya. Wanita mempunyai kemampuan untuk berkembang dan membangun dirinya. Citra diri wanita merupakan keadaan dan pandangan wanita yang berasal dari dalam dirinya sendiri yang meliputi aspek fisis dan aspek psikis (Sugihastuti, 2000).

A. Citra Fisis Wanita

Citra fisis wanita yang tergambar adalah citra fisis wanita dewasa, wanita yang sudah berumah tangga. Secara fisiologis, wanita dewasa dicirikan oleh tanda-tanda jasmani, antara lain dengan dialaminya haid dan perubahan-perubahan fisik lainnya (Sugihastuti, 2000).

Menurut Sadli (dalam Sugihastuti, 2000) menyatakan bahwa anak perempuan pada usia tertentu juga membuat berbagai keputusan karena karakteristik sekundernya sebagai ciri fisik tergantung dari apa yang menjadi ketentuan mengenai wanita, maka ia harus memutuskan apa yang akan dilakukan karena ia mengalami siklus haid atau karena buah dadanya mulai membesar. Tanda-tanda fisik yang mengantarkan anak perempuan menjadi wanita dewasa ini mempengaruhi pula perilaku yang dianggap pantas baginya sebagai wanita dewasa.

Secara fisis, wanita dewasa merupakan sosok individu hasil bentukan proses biologis dari bayi perempuan yang dalam perjalanan usianya mencapai taraf dewasa. Dalam aspek fisis ini, wanita mengalami hal-hal yang khas, yang tidak dialami oleh pria, misalnya hanya wanita yang dapat hamil, melahirkan dan menyusui anak-anaknya. Realitas fisik ini pada kelanjutannya menimbulkan antara lain mitos wanita sebagai mother-nuture. Di dalam mitos ini wanita diasumsikan sebagai sumber hidup dan kehidupan, sebagai makhluk yang dapat menciptakan makhluk baru dalam arti melahirkan anak (Sugihastuti, 2000).

(25)

B. Citra Psikis Wanita

Wanita sebagai makhluk individu, selain terbentuk dari aspek fisis, juga terbangun oleh aspek psikis. Ditinjau dari aspek psikisnya, wanita juga makhluk psikologis, makhluk yang berpikir, berperasaan dan beraspirasi. Dengan mengingat aspek fisis dan psikis itu, keduanya ikut mempengaruhi dan menentukan citra perilakunya. Aspek psikis wanita tidak dapat dipisahkan dari apa yang disebut feminitas. Prinsip feminitas ini merupakan kecenderungan yang ada dalam diri wanita; prinsip-prinsip itu antara lain menyangkut ciri relatedness, receptivity, cinta kasih, mengasuh berbagai potensi hidup, orientasinya komunal dan memelihara hubungan interpersonal (Sugihastuti, 2000). Kartono (dalam Sugihastuti, 2000) mengatakan bahwa dalam aspek psikisnya, kejiwaan wanita dewasa ditandai antara lain oleh sikap pertanggungjawaban penuh terhadap diri sendiri, bertanggung jawab atas nasib sendiri dan atas pembentukan diri sendiri. Aspek psikis wanita dapat tercitrakan dari gambaran pribadi dan gambaran pribadi wanita dewasa itu secara karakteristik dan normatif sudah terbentuk dan relatif stabil sifatnya. Wanita secara psikis bersifat lebih praktis, lebih langsung dan meminati segi-segi kehidupan yang konkret dan yang sifatnya segera. Wanita sangat meminati masalah-masalah kerumahtanggaan dan kehidupan sehari-hari atau kejadian- kejadian yang berlangsung di sekitarnya (Sugihastuti, 2000).

2.2.3.2 Citra Sosial Wanita

Citra sosial wanita merupakan citra wanita yang erat hubungannya dengan norma dan sistem nilai yang berlaku dalam satu kelompok masyarakat, tempat wanita menjadi anggota dan berhasrat mengadakan hubungan antar manusia. Kelompok masyarakat itu adalah kelompok keluarga dan kelompok masyarakat luas. Dalam aspek keluarga misalnya, wanita berperan sebagai istri, sebagai ibu dan sebagai anggota keluarga; masing-masing peran mendatangkan konsekuensi sikap sosial, yang satu dengan lainnya bergayutan. Citra sosial

(26)

wanita juga merupakan masalah pengalaman diri, seperti dicitrakan dalam citra diri wanita dan citra sosialnya. Pengalaman-pengalaman inilah yang menentukan interaksi sosial wanita dalam masyarakat; atas pengalaman diri itulah maka wanita bersikap, termasuk ke dalam sikapnya terhadap laki-laki. Hal penting yang mengawali citra sosial wanita adalah citra dirinya (Sugihastuti, 2000). Citra sosial wanita disederhanakan ke dalam dua peran, yaitu peran wanita dalam keluarga dan peran wanita dalam masyarakat.

A. Citra Wanita dalam Keluarga

Sebagai wanita dewasa, seperti dicitrakan dari aspek fisis dan psikisnya, salah satu peran yang menonjol daripadanya adalah peran wanita dalam keluarga. Citra wanita dalam aspek keluarga digambarkan sebagai wanita dewasa, seorang istri dan seorang ibu rumah tangga (Sugihastuti, 2000).

B. Citra Wanita dalam Masyarakat

Disamping citra wanita dalam keluarga, citra sosial wanita juga berperan dalam masyarakat. Manusia sebagai makhluk sosial dalam kehidupannya memerlukan manusia lain.

Sikap sosial adalah konsistensi individu dalam memberikan respons terhadap objek-objek sosial, termasuk terhadap pria sebagai pasangan jenis kelaminnya. Konsistensi respons dinyatakan sebagai sikap sosial apabila ditunjukkan bukan oleh individu saja, melainkan dari sejumlah anggota pada suatu kelompok atau masyarakat (Campbell dalam Sugihastuti:2000).

Demikian juga bagi wanita, hubungannya dengan manusia lain itu dapat bersifat khusus maupun umum tergantung pada bentuk sifat hubungannya itu. Hubungan manusia dalam masyarakat dimulai dari hubungan antar orang, termasuk hubungan antara wanita dengan pria orang seorang (Sugihastuti, 2000). Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam aspek masyarakat, citra wanita adalah makhluk sosial yang hubungannya dengan manusia lain dapat bersifat khusus maupun umum tergantung kepada bentuk hubungan itu (Sugihastuti, 2000).

(27)

DIAGRAM 2.1 PRINSIP CITRA WANITA

CITRA DIRI WANITA

CITRA SOSIAL WANITA ASPEK FISIS ASPEK PSIKIS

MASYARAKAT KELUARGA

CITRA

WANITA

(28)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Metode penelitian sastra adalah cara yang pengkaji pilih untuk melakukan penelitian sesuai dengan objeknya yaitu karya sastra, penulis dan pembaca serta menyangkut semua objek penelitian humaniora (Semi, 2003). Metode penelitian kualitatif yang pengkaji gunakan yaitu bersifat deskriptif yang artinya data terurai dalam bentuk kata-kata dan umumnya berupa catatan dan dokumen lainnya (Semi, 2003).

3.2 Metode Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data dan informasi yang diperlukan maka pengkaji menggunakan metode pengumpulan data studi kepustakaan, yaitu teknik pengumpulan data dengan mempelajari buku-buku, jurnal penelitian, karya ilmiah dan bahan-bahan yang tertulis lainnya yang berhubungan dengan topik penelitian (Sugiyono, 2008:308).

3.3 Sumber Data

Judul : Kisah Putri Hijau

Pengarang : Burhan As

Penerbit : Badan Pengembangan Perpustakaan Daerah TK. I Sumatera Utara

Tahun terbit : 1990

Halaman : 66 Halaman

(29)

Gambar 1. Sumber Data Teks KRPH

3.4 Metode Analisis Data

Bogdan dan Biklen (dalam Moleong, 2005) mengatakan bahwa analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan cara bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memutuskan apa yang penting serta memutuskan apa yang dapat diceriterakan kepada orang lain. Sejalan dengan hal di atas, maka pengkaji melalukan analisis data dengan cara analisis teks yang terdapat dalam KRPH.

(30)

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Ringkasan Cerita KRPH

Alkisah, hiduplah satu keluarga bangsawan di sebuah kampung bernama Kampung Sunggal. Kampung Sunggal dipimpin oleh seorang Raja bernama Datuk Sunggal. Datuk Sunggal hidup bersama seorang istri dan anaknya bernama Putri Datuk Sunggal yang kemudian disingkat menjadi PDS. Ketika usia PDS mencapai 19 tahun, dilihat oleh ibunya sebagaimana ciri-ciri orang yang sedang mengandung. Ibunya mengatakan bahwa beliau sedang hamil. PDS sangat terkejut mendengar ibundanya mengatakan ia hamil. Datuk Sunggal melihat ada sesuatu yang berbeda terhadap putrinya itu. Setiap hari dilihatnya PDS sangat lesu dan murung. Datuk Sunggal bertanya kepada istrinya apakah gerangan yang terjadi terhadap PDS. Dengan pikiran yang tenang, istrinya pun menceritakan perihal PDS yang telah mengandung itu. Mendengar kabar tersebut, Datuk sangat murka. Ia segera menghukum PDS yang telah membuat malu keluarganya. PDS kemudian melangkah untuk menghadap Datuk Sunggal untuk menerima hukuman. Datuk Sunggal tak segan-segan menghukum rakyatnya yang bersalah sekalipun sanak keluarganya sendiru. Datuk Sunggal memutuskan untuk menghukum PDS dengan cara membuang PDS ke tengah-tengah hutan belantara. Tepat pada hari dan waktu yang telah ditentukan, siap sedia tujuh hulubalang di halaman istana Datuk Sunggal. Akhirnya berangkatlah PDS bersama para hulubalang menuju ke tengah hutan. Didirikan oleh hulubalang sebuah pondok untuk PDS hidup dan tinggal.

Ketika di tengah hutan belantara, PDS bertemu dengan Raja Delitua yang kebetulan sedang berburu bersama para pengawalnya. Raja Delitua memutuskan untuk membawa PDS ke Istana Delitua. Sesampainya di halaman istana Delitua, Raja Delitua memanggil para inang pengasuh dan menyuruh agar mempersiapkan tempat untuk PDS beristirahat serta

(31)

memberikan pakaian persalinan yang diperlukannya. PDS pun hidup bahagia di dalam Istana Delitua. Ia merasa dikasihi dan dimanja oleh seisi Istana. Makan dan minum siap tersaji, karena kesenangan dan kebahagiaan yang diperolehnya, hampir lupa ia kepada orangtuanya.

Sudah hampir tiga bulan PDS berada di Istana Delitua. Tidak terasa waktu berlalu. Tak sadar pula kalau bayi di dalam kandungannya sudah berusia sembilan bulan penuh. Inang pengasuh memberitahukan kepada Raja Delitua bahwa kandungan PDS hanya menunggu harinya saja lagi. Mendengar berita itu, Raja Delitua memerintahkan kepada inang pengasuh agar berjaga- jaga siang dan malam menantikan kelahiran bayi dari PDS tersebut.

Tepat waktu matahari terbenam diufuk barat, maka terbitlah bulan purnama di ufuk timur. Waktu itu lahirlah seorang anak manusia ke muka bumi ini. Lahir bayi perempuan dari PDS yang mengandung secara tiba-tiba itu. Ada beberapa peristiwa yang ganjil sewaktu PDS melahirkan diantaranya yaitu; patahnya tujuh keping lantai istana kerajaan Delitua secara tiba-tiba. Kemudian di bawah lantai istana yang patah itu kelihatan sebuah meriam yang lengkap dan tak tahu dari mana asal mulanya. Terakhir, di atas meriam itu kelihatan seekor ular kecil melingkar berwarna kuning berbelang hitam dan kepalanya berwarna hijau serta panjangnya kira-kira sejengkal lebih. Setelah tujuh hari bayi itu lahir, maka pada malam yang sama Raja Delitua dan PDS sama-sama bermimpi mereka didatangi oleh ular yang ada di bawah istana tersebut. Ular itu mengatakan bahwa ia bernama Mambang Di Yajit, abang dari bayi perempuan itu dan adikku yang baru lahir itu bernama Putri Hijau yang kemudian disingkat menjadi PH. Setelah PH berumur 40 hari, sebagaimana adat istiadat lembaga Melayu maka PH dimandikan dengan tujuh macam air bunga yang dinamakan orang Melayu turun tanah, tak pula ketinggalan PDS dimandikan yang dikenal sebagai mandi bercuci.

Setelah PH berusia 44 hari, maka menikahlah Raja Delitua dengan PDS. Resmilah PDS itu menjadi Permaisuri Raja Delitua. Sudah setahun PDS hidup senang dan bahagia, maka lahir seorang bayi laki-laki dari hasil pernikahan Raja Delitua dan PDS. Selama tujuh

(32)

hari tujuh malam diadakan pesta di Istana Delitua, karena baru itulah Baginda Raja Delitua dikaruniai seorang Putra sebagai pewaris mahkota kerajaan nantinya. Tanpa terasa PH telah genap berusia 21 tahun yang menanjak dewasa. Parasnya cantik jelita, setiap lelaki yang memandangnya pasti terlena. Sempurna semua keindahan tubuh.

Suatu hari, mangkatlah Baginda Raja Delitua. Putra Raja Delitua pun menggantikan ayahnya sebagai pemegang kekuasaan istana, walau baru berusia 20 tahun tetapi cerdas pikiran dan bijaksana sikapnya serupa dengan ayahnya. Sementara itu, kecantikan PH telah tersohor ke seluruh nusantara. Tiada lelaki yang tiada ingin meminangnya. Namun PH selalu menolak karena belum tiba masanya. Bukan lantaran tidak gagah perkasa, tapi jodoh belum bersua. Sementara PH tenang sentosa, Raja Aceh berburu pula di hutan raya. Suatu hari sampailah rombongan mereka di suatu tempat yang dekat dari Istana Delitua. Ketika sedang beristirahat untuk makan, tiba-tiba mereka kehabisan air minum, maka diutuslah hulubalang Raja untuk mencari sumber air. Tibanya hulubalang di sebuah kampung yang indah permai, terlihat merekalah PH yang cantik jelita. Hulubalang menyatakan maksudnya ingin meminta air minum kepada PH, kemudian PH mempersilahkan untuk mengambil air di sumur yang tidak jauh darinya. Setelah mendapatkan air, kembalilah mereka menghadap Raja Aceh.

Berceritalah hulubalang mengenai PH yang cantik itu kepada sang Raja. Datang keinginannya untuk menjumpai PH. Raja Aceh bangkit dari duduknya dan melangkah tak tentu arah. Dikirim utusan untuk mendatangi Kerajaan Delitua dengan maksud meminang PH. Sampailah utusan Raja Aceh di Kerajaan Delitua, maka mereka disambut Raja Delitua dengan beradat. Setelah Raja Delitua berbasa-basi dengan utusan Raja Aceh tersebut, maka ditanyakan Raja Delitua maksud dan hajat kedatangan mereka. Dijelaskanlah bahwa Raja Aceh ingin meminang PH. Raja Delitua menjelaskan bahwa dirinya adalah saudara tiri dari PH, lebih baik PH sendiri yang memutuskan keputusannya. Ternyata diam-diam PH mendengar percakapan mereka. Ia menentang dan tidak sudi untuk dipinang sebagai istri

(33)

Raja Aceh. PH berkata “Beta tidak sudi dipinang Raja Aceh untuk jadi isterinya. Beta tidak layak dan tidak sekupu dengan Raja Aceh. Sampaikan pada Raja Tuan, suruh Raja Tuan mencari perempuan lain untuk gundiknya”. PH kembali masuk ke kamarnya sedangkan utusan Raja Aceh memohon undur diri karena tersinggung atas kalimat yang dikatakan PH.

Mereka kembali untuk menemui Raja Aceh dengan perasaan geram dan gundah. Geram karena benci melihat kekasaran PH dan gundah karena takut menghadap Raja karena tak berhasil. Sampailah mereka menghadap Raja Aceh dan menjelaskan semuanya. Raja Aceh murka mendengar atas ucapan PH yang disampaikan utusannya itu. Ucapan yang menghina dan tidak layak dilontarkan kepada seorang raja. Raja Aceh merasa dihina oleh PH dan akan membalas dendam sakit hatinya dengan cara menaklukan Kerajaan Delitua serta menawan PH. Diperintahkan Raja Aceh para hulubalang untuk mempersiapkan prajurit dengan senjata lengkap. Setelah lengkap semua hulubalang dan prajuritnya maka dikerahkan Raja Aceh menyerbu kerajaan Delitua dan harus dapat menawan PH hidup-hidup. Raja Delitua mengetahui adanya penyerangan tersebut. Raja Delitua mempersiapkan prajurit dan para hulubalangnya yang gagah berani. Pertempuran tak dapat dielakkan lagi dan berlangsung selama tujuh hari tujuh malam lamanya. Masing-masing tak mau kalah dan mengalah.

Hingga pada akhirnya, Raja Aceh menembak dengan dirham (uang mas) sebagai peluru senjata. Melihat dirham bertaburan di perkarangan Istana Delitua, maka prajurit Kerajaan Delitua sibuk berebutan mengambil uang mas tersebut. Dengan mudahnya prajurit-prajurit Raja Aceh menyerbu. Bagi Raja Delitua, setelah peluru senjata habis tiada berdaya, maka digunakannya meriam yang terdapat di bawah istana itu yang usianya sama dengan kelahiran PH. Meriam tersebut menembak secara bertubi-tubi dan berjam-jam hingga banyak prajurit Aceh yang mati. Tetapi akhirnya, meriam tersebut terbelah menjadi dua karena ditembakkan terus menerus. Hebatnya, tembakan peluru yang terakhir menyebabkan meriam menjadi puntung. Pangkalnya tercampak ke Labuhan Deli dan ujungnya melayang ke Sukanalu dekat

(34)

Tongkoh Berastagi. Kerajaan Delitua kalah, Raja Delitua dan PH menyingkir agar tidak ditawan Raja Aceh. Mula-mula mereka mengundurkan diri ke kampung Ulu Bedera Terjun kemudian lari lagi ke Klumpang. Prajurit dan Raja Aceh terus mengejar mereka, maka Raja Delitua dan Putri Hijau lari lagi mengundurkan diri ke Hamparan Perak. Di Hamparan Perak inilah Putri Hijau menyerahkan diri dengan bersyarat. PH memikirkan keselamatan adindanya Raja Delitua serta ibunya. Akhirnya PH bersedia kawin dengan Raja Aceh asalkan dibawa berlayar ke Aceh dengan kapal melalui laut, tanpa ikut Raja Aceh di dalam kapal itu.

Kemudian di dalam kapal yang membawanya itu, PH harus ditempatkan di dalam sebuah peti kaca yang kuncinya harus berada sebelah dalam peti. Lalu, jika rakyat Aceh ingin melihat Rajanya bersanding dengan PH, maka waktu di pelabuhan Raja Aceh harus sanggup membunyikan lonceng sebanyak 12 kali, lonceng yang berasal dari negeri Cina yang bunyinya dapat didengar sejauh enam batu. Bagi rakyat Aceh yang ingin datang melihat, maka masing-masing musti membawa sekaleng bertih dan sebutir telur ayam. Itulah syarat- syarat yang diajukan PH. Raja Aceh menganggap ringan syarat tersebut dan tidak dipikirkannya dibalik syarat tersebut. Raja Aceh tidak tahu bahwa PH adalah turunan Dewa.

Sampailah mereka ke pelabuhan dan PH keluar dari peti kaca. PH melangkah turun ke pelabuhan diiringi Raja Aceh layaknya permaisuri Raja Aceh. Rakyat Aceh terpana melihat kecantikan PH. Kemudian, PH melangkah mendekati bertih dan telur yang membukit itu. PH membakar kemenyan dan setanggi. Asapnya mengepul ke angkasa. PH berdoa memohon sesuatu kepada Dewata dengan menadahkan kedua belah tangannya ke langit. Makin lama bau wangi itu makin meresap ke sumsum otak hingga melenakan penciumnya dan semua terlena terpaku berdiri bagaikan patung. Sesaat berlalu terdengarlah gemuruh suara di angkasa raya. Halilintar sambung-menyambung. Hujan turun dengan lebatnya. Air makin lama semakin dalam hingga sepinggang daratan. Akhirnya dari laut muncul seekor ular naga mendekati PH, lalu PH melompat ke tengkuk ular naga itu. Sesaat kemudian barulah siuman

(35)

dan sadar rakyat Aceh bahwa air telah naik sepinggang. PH yang disampingnya tadi telah tiada. Raja Aceh lari menyelamatkan diri. Air bah dan hujan makin menjadi-jadi hingga dalamnya mencapai daratan. PH dan ular naga itu kembali ke Kerajaan Delitua, kemudian ular naga kembali turun ke sungai dan menuju laut. Hilanglah ular naga itu dan tak pernah timbul lagi hingga kini. (KRPH:1990)

DIAGRAM 4.1

STRUKTUR CERITA KRPH

Hidup sepasang suami istri di Kampung Sunggal. Pasangan tersebut memiliki seorang anak remaja bernama Putri Datuk Sunggal (PDS)

( Hal : 1-6 )

PDS yang berusia remaja itu hamil secara tiba-tiba. Akibat kehamilannya itu, ia dihukum oleh ayahnya bernama Datuk Sunggal. PDS dihukum dengan cara

dibuang di tengah hutan belantara.

( Hal : 7-25 )

Di tengah hutan belantara, PDS bertemu dengan Raja Delitua yang sedang berburu. PDS diajak Raja Delitua untuk tinggal dan menetap di Istana Delitua.

( Hal : 26 – 40 )

Di Istana Delitua, PDS melahirkan seorang bayi perempuan bernama Putri Hijau.

( Hal : 41 – 48 )

Putri Hijau tumbuh menjadi dewasa. Ia terkenal ke seluruh nusantara karena kecantikannya. Raja Aceh ingin meminangnya, namun Putri Hijau menolak. Raja

Aceh tidak terima dan akan menyerang Kerajaan Delitua.

( Hal : 49 – 55 )

Istana Delitua hancur. Raja Aceh berhasil mengalah Kerajaan Delitua. Putri Hijau menyerah secara bersyarat dan bersedia menikah dengan Raja Aceh.

( Hal : 56 – 63 )

Putri Hijau diselamatkan oleh seekor ular naga. Putri Hijau berhasil melarikan diri dan kembali ke Kerajaan Delitua.

( Hal : 64 – 66 )

(36)

Setelah membaca Kisah Riwayat Putri Hijau, maka pengkaji akan menganalisis teks KRPH sesuai dengan rumusan masalah penelitian yaitu analisis alur latar dan penokohan dalam teks KRPH serta citra wanita pada aspek diri wanita dan aspek sosial wanita pada tokoh wanita dalam teks KRPH.

4.2 Alur, Latar dan Penokohan dalam KRPH

A. Alur dalam KRPH

Alur (plot) merupakan salah satu unsur yang penting dalam sebuah cerita. Alur adalah suatu cerita yang berisi urutan kejadian, namun kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya perisitiwa yang lain (Stanton, 2007). Peristiwa-peristiwa cerita dimanifestasikan lewat perbuatan, tingkah laku dan sikap tokoh-tokoh cerita dalam bertindak, berpikir, berasa dan bersikap dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan (Nurgiyantoro, 2015). Alur dikategorikan ke dalam beberapa jenis yang berbeda berdasarkan sudut-sudut tinjauan dan kriteria yang berbeda.

Sementara itu, pembedaan plot berdasarkan kriteria waktu dibedakan menjadi tiga macam yaitu plot lurus (progresif), plot sorot balik (flash back) dan plot sorot campuran (Nurgiyantoro, 2015). Berikut adalah tahapan-tahapan alur dalam KRPH :

1. Tahap Penyituasian (situation)

Tahap ini merupakan tahap pembukaan cerita, pemberian informasi awal dan lain-lain yang terutama berfungsi untuk melandastumpui cerita yang dikisahkan pada tahap berikutnya (Nurgiyantoro, 2015:209). Tahap penyituasian dalam KRPH dijelaskan pada paragraf berikut:

“Di kampung Sunggal itu pulalah bermukim suatu keluarga turunan bangsawan. Bangsawan inilah yang memerintah Sunggal dengan gelar: Datuk Sunggal. Di samping itu Datuk Sunggal didampingi oleh Permaisuri dan dianugerahi seorang Putri remaja yang cantik jelita.” (KRPH:6).

(37)

Berdasarkan teks dalam KRPH di atas, plot penyituasian diawali pada suatu hiduplah sebuah keluarga bangsawan di sebuah kampung bernama Kampung Sunggal. Keluarga bangsawan itu dikaruniai seorang putri perempuan. Di dalam KRPH tidak dijelaskan siapa nama putri perempuan itu, hanya saja ia disebut sebagai Putri Datuk Sunggal oleh pengarang yang kemudian pengkaji singkat menjadi PDS. Datuk Sunggal dan keluarganya sangat dicintai oleh seluruh rakyatnya. Keluarga bangsawan yang rendah hati ini hidup bahagia memerintah Kampung Sunggal.

2. Tahap Pemunculan Konflik (generating circumstances)

Tahap ini merupakan tahap awal munculnya konflik dan konflik itu sendiri akan berkembang atau dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya (Nurgiyantoro, 2015:209). Tahap pemunculan konflik dalam KRPH dijelaskan pada paragraf berikut :

“Ampun kakanda beribu-ribu ampun. Salah patik mohon diampun. Putri itu hamil, bukanlah karena budipekerti kita buruk ataupun tak baik, tapi barangkali telah demikian suratan takdir atas dirinya.” (KRPH:15)

Berdasarkan teks di atas, konflik muncul ketika PDS yang masih remaja itu hamil.

Kehamilannya tersebut datang secara tiba-tiba. PDS merupakan seorang gadis, ia belum pernah menikah selama hidupnya. Bayi yang ada di kandungannya itu tidak tahu darimana datangnya. Mungkin sudah begitulah takdir Tuhan terhadap dirinya.

3. Tahap Peningkatan Konflik (rising action)

Konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan kadar intensitasnya (Nurgiyantoro, 2015:209). Tahap peningkatan konflik dalam KRPH dijelaskan pada paragraf berikut :

“Datuk Sunggal duduk kembali di kursinya lalu berkata:

“Hukuman Putri dibuang di tengah hutan belantara.

Bawa kembali putri ke kamar dan kunci.” Perintah Datuk Sunggal.” (KRPH:19).

(38)

Berdasarkan teks di atas, peningkatan konflik ditandai dengan hukuman yang diberikan Datuk Sunggal terhadap PDS atas kehamilannya tersebut. PDS dibuang ke hutan belantara. Di dalam KRPH tidak dijelaskan berapa lama PDS akan tinggal di tengah hutan tersebut. PDS kini tinggal seorang diri. Tiba-tiba datang Raja Delitua yang sedang berburu di tengah hutan tempat PDS dibuang. Raja Delitua melihat sebuah pondok tinggi dan melihat seorang wanita. Raja meminta izin untuk naik ke atas, dan PDS pun menerimanya.

Berceritalah mereka, begitu juga sang PDS menceritakan darimana asal-usulnya. Akhirnya Raja Delitua mengajak PDS untuk tinggal dan menetap sementara di Istana Delitua, PDS pun setuju.

Setelah beberapa bulan PDS tinggal di Istana Delitua, bayi yang dikandungnya itupun lahir. Bayi tersebut bernama Putri Hijau yang kemudian disingkat menjadi PH, sesuai dengan pada paragraf berikut :

“Tuan Putri serta anaknya itupun menempati kamar yang terhormat itu. Dengan kehadiran Putri dan kelahiran bayi yang bernama Putri Hijau itu, keadaan Istana Kerajaan Delitua bertambah semarak.”

(KRPH:44)

Berdasarkan teks dalam KRPH di atas, PDS yang telah dibuang ayahandanya atas konflik kehamilannya itu akhirnya melahirkan seorang bayi. Seiring berjalannya waktu, PH tumbuh menjadi sosok wanita dewasa yang cantik jelita. Fisik serta parasnya nyaris sempurna. Kecantikannya tersebut tersohor ke seluruh nusantara. Suatu hari, Raja Aceh bermaksud ingin meminang PH. Diutuslah utusan Raja Aceh ke Istana Delitua. Sesampainya mereka ke Istana Delitua, dijelaskan oleh utusan Raja Aceh maksud dan tujuan kedatangan mereka. Namun, PH telah mengetahui maksud tersebut. PH menolak mentah-mentah pinangan Raja Aceh, sesuai pada paragraf sebagai berikut :

“Putri Hijau menantang Menteri utusan Raja Aceh itu, dengan lantangnya berkata: “Beta tidak sudi dipinang Raja Aceh untuk jadi isterinya. Beta tidak layak dan tidak sekupu dengan Raja Aceh. Sampaikan pada Raja

(39)

Tuan mencari perempuan lain untuk gundiknya.”

(KRPH:55)

Berdasarkan teks dalam KRPH di atas, konflik semakin meningkat ketika PH menolak lamaran Raja Aceh. Kalimat yang disampaikan oleh PH di atas membuat Raja Aceh merasa dihina sebagai seorang Raja. Raja Aceh akan membalas sakit hatinya dengan memerangi Kerajaan Delitua dan akan menawan PH hidup-hidup. Peperangan antar dua kerajaan itu membuat konflik semakin memuncak.

4. Tahap Klimaks (climax)

Tahap klimaks terjadi ketika konflik telah mencapai intensitas puncak (Nurgiyantoro, 2015:209). Tahap klimaks dalam KRPH dijelaskan pada paragraf sebagai berikut :

“Maka diperintahnya para hulubalang mempersiapkan prajurit dengan senjata lengkap. Setelah lengkap semua hulubalang dan prajuritnya maka dikerahkan Raja Aceh lah menyerbu Kerajaan Delitua dan harus dapat menawan Putri Hijau hidup-hidup.” (KRPH:57)

Berdasarkan teks di atas, Raja Aceh memerintahkan seluruh pasukannya untuk menyerang Istana Delitua. Raja Delitua yang telah mengetahui bahwa Istananya akan diserbu oleh Raja Aceh itupun tidak tinggal diam. Raja Delitua juga mempersiapkan seluruh hulubalang dan para prajuritnya yang gagah berani. Pertempuran antara dua kerajaan itupun tak dapat dihindarkan lagi. Peperangan terjadi selama tujuh hari tujuh malam lamanya dan telah banyak yang gugur dalam medan perang. Raja Aceh tidak dapat mengalahkan Kerajaan Delitua. Ia belum menyerah, maka diubahlah taktik perangnya sesuai dengan teks dalam KRPH sebagai berikut :

“Setelah Raja Aceh tak dapat mengalahkan Kerajaan Delitua dengan kekuatan prajuritnya semula, maka diubahlah taktik tipu daya. Raja Aceh memerintahkan menembak dengan dirham (wangmas) sebagai pelor senjata. Melihat wangmas yang bertaburan dan berserakan di pekarangan serta di luar istana, maka prajurit Kerajaan Delitua sibuk berebutan mengutip wang itu.” (KRPH:58)

(40)

Berdasarkan teks dalam KRPH di atas, Raja Aceh mengganti peluru senjatanya menjadi dirham yang ditembakkan ke Istana Delitua. Para prajurit dan seluruh rakyat Delitua berebut untuk mengambil dirham yang sangat berharga kala itu. Benteng istana pun telah hancur akibat tidak lagi dijaga oleh para prajurit Delitua. Dengan mudahnya prajurit-prajurit Raja Aceh masuk ke dalam Istana Delitua. Raja Delitua dan PH beserta beberapa prajuritnya melarikan diri agar tidak ditangkap oleh Raja Aceh. Prajurit Aceh terus mengejar kemana arah Raja Delitua dan PH melarikan diri.

5. Tahap Penurunan Konflik

Tahap klimaks yang terjadi mengalami penurunan ketegangan cerita untuk mencapai tahap penyelesaian. Tahap penurunan konflik dalam KRPH dijelaskan pada paragraf sebagai berikut :

“Putri Hijau menyerahkan diri dengan bersarat. Putri Hijau memikirkan keselamatan Raja Delitua serta bundanya yang masih berada di Delitua serta prajurit- prajurit yang telah letih.” (KRPH:60).

Berdasarkan teks dalam KRPH di atas, penurunan konflik dalam KRPH yaitu dengan menyerahnya PH. PH bersedia menikah dengan Raja Aceh namun dengan beberapa syarat.

Pertama, ia dibawa ke Aceh melalui laut tanpa ikut Raja Aceh di dalam kapal itu. Kedua, ia harus ditempatkan dalam sebuah peti kaca. Ketiga, Raja Aceh harus membunyikan lonceng 12 kali dan lonceng tersebut berasal dari China yang suaranya dapat di dengar sejauh enam batu. Raja Aceh menyanggupi seluruh syarat PH.

6. Tahap Penyelesaian (denouement)

Klimaks yang telah mengalami penurunan diberi jalan keluar dan cerita diakhiri (Nurgiyantoro, 2015:210). Tahap penyelesaian dalam KRPH dijelaskan pada paragraf sebagai berikut :

“Putri Hijau pun keluarlah dari peti kaca. Putri Hijau berdoa memohon sesuatu pada Dewata dengan

(41)

menadahkan kedua tangannya ke langit. Akhirnya dari laut muncullah seekor ular naga mendekati Putri Hijau.

Lalu Putri Hijau melompat ke tengkuk ular naga itu.

Ular naga beserta Putri Hijau itu pun kembalilah ke Delitua.” (KRPH:65).

Berdasarkan teks di atas, penyelesaian cerita dari KRPH yaitu pada akhirnya sampailah PH di Pelabuhan Aceh. Saat turun dari kapal, PH melakukan sedikit ritual. Tiba- tiba terdengar gemuruh dan hujan turun dengan lebat. Dari laut muncul seekor ular naga mendekati PH. PH melompat ke atas badan ular naga itu. PH melarikan diri dan kembali ke Kerajaan Delitua. Ular naga tersebut akhirnya kembali dasar laut dan berakhirlah cerita KRPH.

Berdasarkan pembahasan di atas, maka alur yang dipakai dalam KRPH adalah plot lurus (progresif) atau disebut juga sebagai alur maju, karena peristiwa-peristiwa yang disajikan dalam teks cerita KRPH bersifat kronologis.

(42)

DIAGRAM 4.2

ALUR MAJU DALAM KRPH

Penyituasian : Di Kampung Sunggal hidup

sepasang suami istri yang memiliki seorang putri bernama Putri Datuk Sunggal

Pemunculan Konflik :

Tiba-tiba PDS hamil. Ia dihukum atas kehamilannya. PDS dibuang ke tengah

hutan belantara dan bertemu Raja Delitua. PDS hidup dan menetap di

Istana Delitua.

Peningkatan Konflik :

PDS melahirkan seorang bayi bernama Putri Hijau. Putri Hijau tumbuh dewasa. Ia dilamar oleh Raja Aceh,

namun Putri Hijau menolak.

Klimaks :

Raja Aceh tidak terima atas keputusan Putri Hijau. Raja Aceh

memerangi Kerajaan Delitua dan berhasil ditaklukan.

Penurunan Konflik : Putri Hijau menyerah secara bersyarat dan bersedia menikah

dengan Raja Aceh.

Penyelesaian :

Putri Hijau berhasil melarikan diri dengan diselamatkan oleh seekor

ular naga.

(43)

B. Latar dalam KRPH

Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2015) menyatakan bahwa latar atau setting disebut juga sebagai landas tumpu, menunjuk pada pengertian tempat, hubungan waktu sejarah dan lingkungan social tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Stanton (2007) mengelompokkan latar bersama dengan tokoh dan plot ke dalam faktual cerita sebab ketiga hal inilah yang akan dihadapi dan diimajinasi oleh pembaca secara faktual jika membaca sebuah cerita fiksi. Ketiga hal tersebut juga yang secara konkret dan langsung membentuk cerita. Latar dibedakan menjadi tiga unsur yaitu latar tempat, latar waktu dan latar sosial- budaya.

Pada penelitian ini pengkaji hanya menganalisis unsur latar tempat dalam KRPH karena pengkaji hanya fokus kepada lokasi tempat terjadinya peristiwa dalam KRPH. Berikut adalah latar tempat dalam KRPH :

a. Latar Tempat

Latar tempat menunjuk pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu dan mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas (Nurgiyantoro, 2015:314). Dalam KRPH terdapat empat latar yang digunakan, yaitu Kampung Sunggal, Hutan Belantara, Istana Delitua dan Pelabuhan Aceh. Berikut latar tempat dalam KRPH.

1) Kampung Sunggal

Kampung Sunggal merupakan suatu daerah tempat cerita KRPH bermula. Di Kampung Sunggal hiduplah suatu keluarga bangsawan yang memerintah Sunggal dengan gelar Datuk Sunggal. Datuk Sunggal hidup bahagia di Istana Datuk Sunggal bersama seorang Permaisuri dan Putri tunggalnya. Latar Kampung Sunggal dijelaskan dalam KRPH pada paragraf sebagai berikut:

(44)

“Khabarnya di Kampung Sunggal itu kira-kira pada abad ke-XIV dan ke-XV Masehi yang lampau penduduknya telah ramai dan teratur rapi. Di Kampung Sunggal itu pulalah bermukim suatu keluarga turunan bangsawan. Entah darimana asal-usulnya, tak ada satu kisahpun yang menceritakannya.” (KRPH:5)

Berdasarkan teks di atas, Kampung Sunggal yang diceritakan dalam teks KRPH dipercayai pernah tampak wujudnya bahkan sampai sekarang. Jika dilihat berdasarkan fakta sejarah, Kampung Sunggal merupakan bagian dari Kedatukan Sunggal yang berasal dari suku Karo Jawi. Suku Karo Jawi adalah sebutan untuk suku Karo yang bertransmigrasi dari dataran tinggi ke dataran rendah daerah Sumatera Timur, karena masyarakat suku Karo kebanyakan bermukim di daerah pegunungan. Mayoritas penduduk yang hidup di Kampung Sunggal adalah masyarakat Suku Karo. Kala itu, Kampung Sunggal telah banyak penduduknya bahkan sebelum kedatangan Belanda ke Indonesia(Setiawan, 2017).

Pandangan tersebut sejalan dengan isi teks dalam KRPH yang disebutkan bahwa pada abad ke XIV-XV penduduk Kampung Sunggal telah ramai dan teratur rapi. Daerah pemerintahan Kerajaan Sunggal diyakini memang pernah berdiri sebelumnya. Bekas titik lokasi pemerintahan Kerajaan Sunggal yaitu di sekitar jalan PAM Tirtanadi Kec. Medan Sunggal sekarang ini(Anwar, 2008).

Berdasarkan kenyataan yang ada sekarang, Sunggal merupakan salah satu Kecamatan yang terdapat di Kota Medan. Kecamatan Medan Sunggal terletak di antara Kota Medan dan Kota Binjai. Kecamatan ini merupakan salah satu kecamatan yang letaknya strategis. Jika ditarik secara garis geografis, Kec. Medan Sunggal dapat menembus ke wilayah Klambir V, Klumpang hingga Hamparan Perak bahkan bisa sampai ke Belawan. Hal tersebut sedikit banyaknya berelevan atau sesuai dengan KRPH yang isinya dikatakan bahwa PH beserta rombongan Kerajaan Delitua melarikan diri sampai ke Klumpang dan PH menyerah di

(45)

wilayah Hamparan Perak. Sebagai tambahan, pengkaji akan melampirkan gambar peta Kecamatan Medan Sunggal yaitu sebagai berikut :

Gambar 2. Peta Lokasi Kecamatan Medan Sunggal

(Sumber : Google Maps diakses pada 7 Agustus 2019 pukul 20:43 WIB)

2) Hutan Belantara

Hutan Belantara merupakan latar tempat yang ada di cerita KRPH. Hutan Belantara adalah tempat dimana PDS dibuang sebagai hukuman atas dirinya yang telah dikodratkan hamil tanpa memiliki seorang suami. Di tengah hutan belantara, Putri Datuk Sunggal hidup seorang diri diatas pondok setinggi tujuh meter yang telah dibuat oleh para hulubalang Datuk Sunggal. Latar Hutan Belantara dijelaskan dalam KRPH pada paragraf sebagai berikut :

“Disampaikannyalah keputusan bahwa hukuman putrinya dibuang di tengah-tengah hutan belantara dengan jarak 7 hari 7 malam perjalanan.” (KRPH:20) “Lalu beberapa hulubalang pun bergerak membawa kapak dan parang menebang pohon yang diperlukan

(46)

untuk tiang pondok Putri sepeditinggalkan mereka.

Dengan sigapnya mereka bekerja bersama dan pondok pun berdiri di tengah hutan itu setinggi tujuh meter, begitu juga tangga untuk naik telah siap. Maka diperintahkanlah Putri naik ke pondok itu. Setelah Putri naik, lalu tangga itu direbahkan ke tanah. Setelah itu hulubalang-hulubalang itupun berangkatlah kembali menuju Istana Datuk Sunggal. Akan halnya Putri yang malang itu, duduklah ia dengan dukacitanya serta gundah gulana.” (KRPH:24-25)

Berdasarkan kutipan di atas, letak lokasi hutan belantara yang disebutkan oleh pengarang belum jelas ditemukan dimana lokasi pastinya. Latar tempat hutan belantara dalam hal ini bisa juga dikatakan layaknya negeri antah berantah yang tak tahu dimana keberadaannya.

3) Istana Delitua

Istana Delitua adalah tempat dimana PDS hidup setelah ia dibuang ke Hutan Belantara. PDS yang kala itu hidup seorang diri di tengah hutan belantara bertemu dengan Raja Delitua yang sedang berburu bersama hulubalangnya. Raja Delitua membawa PDS ke istananya. PDS hidup sangat bahagia di Istana Delitua. Latar Istana Delitua dijelaskan dalam KRPH pada paragraf sebagai berikut :

“Akhirnya dengan persetujuan Putri itu, dibawalah ia ke Istana Delitua, kira-kira dekat Kota Delitua sekarang.

Setelah bersiap dan selesai bermufakat dengan Putri, maka Putri pun dibawalah turun dari pondok itu oleh raja.” (KRPH:35)

“Lebih kurang enam jam dalam perjalanan, sampailah rombongan Raja di halaman Istana Delitua tepat pukul sepuluh malam.” (KRPH:37)

“Telah hampir tiga bulan Putri berada di Istana Delitua.” (KRPH:41)

Berdasarkan teks dalam KRPH tersebut, Istana Delitua yang disebutkan diatas memang diyakini pernah berdiri pada zaman dahulu. Banyak masyarakat sekitar yang percaya bahwa letak bekas Istana Delitua berada di Jalan Pancur Gading di daerah Deli Tua

Gambar

DIAGRAM 2.1  PRINSIP CITRA WANITA
Gambar 1. Sumber Data Teks KRPH
Gambar 2. Peta Lokasi Kecamatan Medan Sunggal

Referensi

Dokumen terkait

seorang perempuan Indonesia seperti Sri, pada zamannya yg digambarkan Nh.Dini. Penelitian ini berupaya memaparkan serta menggambarkan wujud citra tokoh perempuan dalam novel

Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah pendeskripsian tokoh wanita dan ketidakadilan gender yang ada dalam novel Rembang Jingga (2015) karya TJ

Permasalahan yang akan dikaji adalah bagaimana citra wanita Cina dalam novel Putri Cina dan bagaimana peran wanita Cina dalam proses pembauran etnis yang terdapat dalam novel

(2) Citra wanita tokoh utama yang bernama Rumanti dalam novel Perempuan Jogja karya Achmad Munif terdiri dari beberapa aspek antara lain citra Rumanti dalam aspek fisis

LINA AMALIA A.. Jurusan Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Surakarta. Judul: Citra Wanita

Citra diri wanita tokoh K’tut Tantri dalam aspek psikis terdeskripsi sebagai wanita yang merindukan kedamaian, percaya diri karena memiliki prinsip dan semangat yang

Citra diri wanita tokoh K’tut Tantri dalam aspek psikis terdeskripsi sebagai wanita yang merindukan kedamaian, percaya diri karena memiliki prinsip dan semangat yang

Saran yang ingin disampaikan oleh penulis kepada pembaca penelitian citra wanita dalam novel Cinta Suci Zahrana karya Habiburrahman El Shirazy dengan menggunakan tinjauan