LAPORAN AKHIR
HIBAH PENELITIAN PROGRAM STUDI
APLIKASI TEPUNG SUWEG (Amorphopallus campanulatus BI) TERMODIFIKASI DENGAN TEPUNG KELOR (Moringa oleifera)
PADA PEMBUATAN MIE BASAH
TIM PENGUSUL :
1. Ir. I Gusti Ayu Ekawati, MS (0016125702) 2. Ir. Putu Timur Ina, MS (0027065702) 3. I DP Kartika P., S.TP.,MP (0003048405)
Dibiayai oleh :
DIPA PNBP Universitas Udayana
sesuai dengan Surat Perjanjian Penugasan Penelitian
Nomor : 1111/UN 14.1.26.II/PNL.01.03.00/2015, tanggal 25 Mei 2015
PS. ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PANGAN
HALAMAN PENGESAHAN
Judul : Aplikasi Tepung Suweg (Amorphopallus campanulatus Bl) Termodifikasi Dengan Tepung Kelor (Moringa oleifera) Pada Pembuatan Mie Basah
Peneliti / Pelaksana
Nama Lengkap : Ir. I Gst Ayu Ekawati, MS.
NIDN : 0016125702
Jabatan Fungsional : Lektor Kepala
Program Studi : Ilmu dan Teknologi Pangan
Nomor HP : 085237016805
Alamat Surel (e-mail) : anangadd@yahoo.com
Anggota (1)
Biaya Tahun Berjalan : Rp. 25.000.000,-
Biaya Keseluruhan : Rp. 25.000.000,-
Denpasar, 10 Nopember 2015
Ketua PS. Ilmu dan Teknologi Pangan,
Fakultas Teknologi Pertanian Ketua Peneliti,
Universitas Udayana
DAFTAR ISI
5.13. Penilaian Sensoris Mie Basah ... 18
BAB VI. Kesimpulan dan Saran ... 21
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Komposisi Kimia Umbi Suweg dan Tepung Suweg ... 3
Tabel 2. Formulasi Mie Basah ... 10
Tabel 3. Sifat Kimia Tepung Suweg Termodifikasi ... 12
Tabel 4. Karakteristik Fungsional Tepung Suweg Termodifikasi ... 14
Tabel 5. Nilai Rerata Kandungan Gizi Mie Basah ... 15
Tabel 6. Nilai Uji Sensoris Mie Basah ... 18
Ringkasan
Pemanfaatan tepung suweg sebagai bahan pensubstitusi terigu kini mulai
digemari, suweg merupakan bahan makanan dengan indeks glikemik rendah,
sehingga aman dikonsumsi bagi penderita diabetes. Tepung suweg tidak dapat
diaplikasikan secara optimal sebagai bahan pengganti terigu, dikarenakan tepung
suweg memiliki beberapa sifat fungsional yang kurang baik. Oleh karena itu
diperlukan teknik modifikasi tepung suweg dalam pemanfaatan sebagai bahan
pangan sumber karbohidrat yang lebih luas. Tujuan penelitian ini adalah untuk
meningkatkan sifat fungsional tepung suweg melalui teknik modifikasi
pregelatinisasi dan mengaplikasikan tepung suweg termodifikasi dalam
pembuatan mie basah. Mie basah merupakan salah satu alternatif pengganti nasi
di Indonesia. Variasi bahan baku dalam pengolahan mie berkembang pesat, dalam
pembuatan mie ditambahkan bayam ataupun wortel dengan tujuan untuk
meningkatkan nilai gizi dan daya tarik dari mie. Pada penelitian ini, daun kelor
diaplikasikan dalam bentuk tepung sebagai bahan tambahan untuk meningkatkan
nilai gizi dari mie. Tepung kelor mengandung beberapa macam vitamin, mineral,
dan protein dalam jumlah sangat tinggi yang mudah dicerna dan diasimilasi oleh
tubuh manusia. Pada daun kelor terkandung zat antioksidan seperti sitosterol dan
glukopyranoside dan mineral (Fe) yang jumlahnya 25 kali dibandingkan dengan
bayam. Penelitian ini dibagi dalam dua tahap. Tahap 1) Modifikasi tepung suweg
dengan metode pregelatinisasi, menggunakan rancangan acak lengkap pola
faktorial dengan perlakuan suhu dan lama pemanasan. Suhu pemanasan terdiri
dari 3 perlakuan, yaitu 60oC, 65oC, dan 70oC. Lama pemanasan terdiri dari 3
perlakuan yaitu 10 menit, 15 menit, 20 menit, 25 menit. Tahap 2) pembuatan mie
basah, menggunakan rancangan acak lengkap dengan perlakuan perbandingan
tepung suweg termodifikasi dengan tepung kelor, terdiri dari 5 perbandingan
(50:0; 45:5; 40:10; 35:15; 30:20). Parameter yang diamati adalah tingkat
elastisitas (kekenyalan) mie, nilai sensoris terhadap warna, aroma, rasa, tekstur,
dan penerimaan keseluruhan, aktivitas antioksidan, kadar Fe, dan nilai gizi mie
basah.
Bab I. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang
Suweg (Amorphophallus campanulatus B1) merupakan salah satu jenis
Araceae yang biasanya dipelihara untuk dimakan umbinya. Umbi suweg memiliki
nilai IG yaitu sebesar 36, dengan beban glikemik 10 sehingga suweg digolongkan
sebagai pangan dengan indeks glikemik rendah, yang lebih dianjurkan dalam
mengatur diet penderita diabetes (Utami, 2008). Pada tepung suweg mengandung
tinggi glukomanan (serat larut air) dan rendah kalori sehingga memiliki manfaat
menurunkan kadar kolesterol, menurunkan kadar gula darah, dan menjaga berat
badan (Aulia dan widjanarko, 2014).
Peningkatan diversifitas produk makanan dari suweg dapat dilakukan
dengan mengolah umbi suweg menjadi tepung, sehingga lebih mudah untuk
diaplikasikan menjadi berbagai produk pangan khususnya yang berbahan dasar
terigu. Penggunaan tepung suweg masih terbatas dan memiliki kekurangan sifat
fungsional. Salah satu teknik untuk meningkatkan sifat fungsional tepung adalah
dengan teknik modifikasi. Metode modifikasi cukup banyak, tetapi ada beberapa
metode modifikasi tepung yang mudah dilakukan seperti modifikasi dengan
pregelatinisasi (fisik), hidrolisa asam asetat (asam), dan enzimatis (enzim α
-amilosa). Berdasarkan Ekawati, et al, (2013), metode pregelatinisasi merupakan
teknik modifikasi yang paling baik dalam meningkatkan nilai fungsional dari
tepung.
Mie basah merupakan salah satu produk makanan favorit di Indonesia
yang sudah dijadikan alternatif pengganti nasi. Mie basah pada umumnya terbuat
dari 100% terigu, dalam upaya membatasi ketergantungan terhadap penggunaan
terigu, dilakukan substitusi mie menggunakan tepung yang berbahan dasar lokal,
seperti tepung umbi-umbian. Dewasa ini variasi pengolahan mie telah
berkembang pesat, pada pembuatan mie ditambahkan bahan penambah nilai gizi,
seperti bayam, dan wortel. Selain dapat meningkatkan nilai gizi dari mie,
penambahan bahan tersebut juga dapat meningkatkan daya tarik mie basah dari
warna yang dihasilkan.
Kelor (Moringa oleifera Lam) merupakan tanaman multi guna yang
kemampuannya untuk dibudidayakan. Pada pembuatan mie, kelor diaplikasikan
dalam bentuk tepung sebagai bahan tambahan untuk meningkatkan nilai gizi dari
mie. Tepung kelor mengandung beberapa macam vitamin, mineral, dan protein
dalam jumlah sangat tinggi yang mudah dicerna dan diasimilasi oleh tubuh
manusia. Pada daun kelor terkandung zat antioksidan seperti sitosterol dan
glukopyranoside dan mineral (Fe) yang jumlahnya 25 kali dibandingkan dengan
bayam (Krisnadi, 2014).
1.2. Permasalahan Penelitian
Adapun permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimanakah karakteristik kimia dan fungsional dari tepung suweg yang
dimodifikasi dengan metode pregelatinisasi.
2. Berapakah perlakuan suhu yang tepat sehingga menghasilkan tepund
suweg termodifikasi dengan sifat fungsional terbaik.
3. Berapakah formulasi yang tepat antara tepung suweg termodifikasi yang
memiliki sifat fungsional terbaik dengan tepung kelor apabila
diaplikasikan pada pembuatan mie basah untuk meningkatkan nilai nutrisi
BAB II. Tinjauan Pustaka 2.1. Suweg
Umbi suweg berbentuk setengah bola dengan diameter hingga 30 cm, kulit
umbi berwarna coklat sedangkan dagingnya berwarna jingga kusam sampai merah
dengan jaringan yang bertekstur kasar (Winarno dan Koswara, 2002). Suweg
mengandung kalsium oksalat berbentuk rhapide (jarum halus) diseluruh bagian
tanaman. Kandungan kalsium oksalat dapat dikurangi dengan perlakuan
perendaman dalam air selama beberapa lama, juga dengan pemanasan yang
intensif (Winarno dan Koswara, 2002).
Peningkatan diversifitas produk makanan yang diolah menggunakan
suweg dapat dilakukan dengan mengolah umbi suweg menjadi tepung, sehingga
dapat diolah menjadi berbagai produk makanan yaitu biskuit, cake, roti, dan
sebagainya. Hal ini menyebabkan tepung suweg menjadi potensi lokal sebagai
pengganti terigu. Kandungan gizi umbi suweg cukup lengkap yaitu karbohidrat,
serat pangan, protein, lemak, vitamin dan mineral. Salah satu nilai fungsional dari
umbi suweg adalah merupakan salah satu pangan dengan nilai indeks glikemik
(IG) cukup rendah yaitu 36. Nilai IG yang rendah dari umbi suweg ini disebabkan
oleh tingginya serat pangan yang terkandung didalamnya yaitu sebesar 13,71%
(Faridah, 2005). Komposisi kimia ubi suweg dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi Kimia Umbi Suweg dan Tepung Suweg
Karakter Kimia Umbi Suweg Tepung Suweg
Kadar Air (% bb) 72,14 4,98
Kadar Protein (%bb) 3,25 7,56
Kadar Lemak (%bb) 0,33 0,29
Kadar Karbohidrat (%bb) 23,18 87,32
Kadar Total Pati (%bk) - 63,45
2.2. Modifikasi Tepung
Modifikasi pada tepung umbi suweg pada dasarnya merupakan modifikasi
terhadap pati yang menjadi komponen paling banyak di dalam tepung. Menurut
Wurzburg (1989), selain keragaman sifat fungsional dari pati, teknik modifikasi
dapat digunakan untuk menanggulangi kelemahan-kelemahan dari pati dan
mengasilkan pati dengan sifat-sifat yang lebih baik dan spesifik. Pati demikian ini
disebut sebagai "pati termodifikasi (modified starch)". Dalam arti luas, setiap
produk dimana sifat kimia dan atau sifat fisik pati biasa telah dirubah disebut
sebagai pati termodifikasi.
Pregelatinisasi
Pregelatinisasi merupakan metode modifikasi tepung secara fisik dengan
memberikan perlakuan perebusan pada suhu dan jangka waktu tertentu.
Pregelatinisasi berarti pati dari tepung tersebut sudah mengalami gelatinisasi
kemudian baru dikeringkan.
Tepung pregelatinisasi mempunyai kadungan pati dengan kemampuan
menyerap air yang lebih tinggi daripada pati biasa dan mudah larut dalam air
dingin (Rogol,1986) serta cepat membentuk pasta dalam air dingin (Powell,
1967). Sifat fungsional dari pati pregel ini sangat dipengaruhi oleh kondisi
pengeringan (Rogol, 1986). Selanjutnya dikemukakan oleh Lualleb (1988) bahwa
tingkat dan teknik modifikasi serta metode pengeringan merupakan faktor-faktor
penyebab terjadinya keragaman sifat fungsional dari pati pregelatinisasi.
Hidrolisis Asam
Metode hidrolisis asam tepung hampir sama dengan modifikasi pati.
Metode ini memiliki keunggulan dibandingkan metode lain karena prosesnya
mudah, bahan baku mudah didapatkan dan murah yaitu tepung/pati, HCl, dan air.
Dalam metode hidrolisis asam, prosesnya dipengaruhi oleh waktu hidrolisis dan
konsentrasi asam yang digunakan. Faktor-faktor tersebut mempengaruhi nilai
Dextrose Equivalent (DE) suatu pati. Nilai DE sendiri digunakan untuk
membedakan jenis-jenis pati termodifikasi. Modifikasi dengan asam akan
menghasilkan pati dengan sifat lebih encer jika dilarutkan, lebih mudah larut, dan
berat molekulnya lebih rendah.
Metode enzimatis adalah metode modifikasi tepung/ pati menggunakan
enzim α-amilase. Enzim α-amilase berperan sebagai pemecah pati yang terdapat
di dalam tepung, dengan adanya proses pemecahan pati menjadi komponen yang
lebih kecil, seperti dekstrin, maltosa, maltotriosa, dan glukosa, sehingga
diharapkan beberapa karakteristik dari tepung ubi dapat diperbaiki menjadi lebih
baik (Alsuhendra dan Ridawati, 2014).
2.3. Aplikasi pada Mie basah
Berdasarkan kandungan airnya mie dapat dibedakan menjadi mie basah
atau segar dan mie kering. Mie basah digolongkan dalam produk intermediate
moisture food (makanan semi basah), yaitu suatu makanan yang mempunyai
kadar air tidak terlalu tinggi dan juga tidak terlalu rendah antara 15-55% dengan
kisaran Aw antara 0,65-0,85. Mie basah terbuat dari terigu, garam dan air serta
tambahan pangan lain (Hou dan Kruk, 1998). Mie basah atau disebut juga mie
kuning adalah jenis mie yang mengalami proses perebusan setelah tahap
pemotongan dan sebelum dipasarkan. Kadar air mie basah dapat mencapai 52%
sehingga daya tahan atau keawetannya cukup singkat. Pada suhu kamar mie basah
hanya bertahan 10-12 jam saja, karena setelah itu mie akan berbau asam dan
berlendir (Astawan, 2006).
Kualitas mie basah sangat bervariasi karena perbedaan bahan baku dan
proses pembuatannya. Mie basah adalah mie mentah yang sebelum dipasarkan
mengalami perebusan dalam air mendidih terlebih dahulu. Pembuatan mie basah
secara tradisional dapat dilakukan dengan penggunaan bahan utama tepung terigu
dan bahan pembantu seperti air, telur, pewarna, dan bahan tambahan pangan.
Ciri-ciri mie basah yang baik adalah : berwarna putih atau kuning terang, tekstur agak
kenyal, dan tidak mudah putus. Tanda-tanda kerusakan mie basah adalah berbintik
putih atau hitam karena tumbuhnya kapang, berlendir pada permukaan mie,
berbau asam dan berwarna lebih gelap (Pratitasari, 2007).
Nilai gizi mie pada umumnya dapat dianggap cukup baik karena selain
karbohidrat terdapat pula sedikit protein. Komposisi kimia mie basah cukup
bervariasi tergantung berbagai bahan baku yang digunakan, pada umumnya
komposisi kimia mie basah yaitu sebagai berikut : air 35 - 50%, protein : 4,5 -
2.4. Daun Kelor
Kelor (Moringa oleifera) merupakan tanaman yang tersebar diseluruh
penjuru dunia dan dugambarkan sebagai salah satu tanaman yang paling bergizi .
Daunnya memiliki kandungan betakaroten melebihi wortel, mengandung protein
melebihi kacang polong, lebih banyak mengandung vitamin C dibanding jeruk,
kandungan kalsiumnya melebihi susu, mengandung zat besi lebih banyak dari
pada bayam, dan kandungan kalium lebih banyak dari pada pisang.
Konsumsi daun kelor merupakan salah alternatif untuk menanggulangi
kasus kekurangan gizi di Indonesia. Kecuali vitamin C, kandungan gizi dapat
mengalami peningkatan kuantitas apabila kelor dikonsumsi setelah dikeringkan
dan dijadikan serbuk (tepung). Vitamin A yang terdapat pada serbuk daun kelor
setara dengan 10 kali vitamin A yang terdapat pada wortel, setara dengan 17 kali
kalsium yang terdapat pada susu, setara dengan 15 kali kalsium yang terdapat
pada pisang, setara dengan 9 kali protein yang terdapat pada yogurt, dan setara
dengan 25 kali zat besi (Fe) yang terdapat pada bayam (Jonni et al, 2008). Kelor
kaya dengan sumber zat gizi terutama protein, vitamin, dan mineral (Fuglie,
2001), selanjutnya dikatakan bahwa daun kelor ternyata mengandung vitamin A,
vitamin C, vitamin B, kalsium, kalium, besi, dan protein dalam jumlah sangat
tinggi yang mudah dicerna dan diasimilasi oleh tubuh manusia.
Di negara berkembang, tanaman kelor digunakan untuk mengatasi
malnutrisi karena tingginya kandungan vitamin dan mineral. Disamping itu,
kekurangan salah satu unsur gizi dapat menyebabkan munculnya masalah dalam
kesehatan. Beberapa contoh masalah kesehatan umum yang timbul karena
kekurangan gizi adalah sariawan atau panas dalam karena kekurangan vitamin C,
busung lapar karena kekurangan protein, anemia (kurang darah) karena
BAB III. Tujuan dan Manfaat Penelitian
3.1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mendapatkan tepung suweg dengan metode modifikasi pregelatinisasi terbaik
berdasarkan sifat fungsionalnya.
2. Mendapatkan formulasi (perbandingan tepung ubi suweg termodifikasi dengan
tepung kelor) pada pembuatan mie basah.
3.2. Manfaat Penelitian
1. Pemanfaatan Suweg sebagai bahan alternatif pengganti terigu dan
mengoptimalkan penggunaan tepung suweg dengan melakukan teknik
modifikasi pregelatinisasi sehingga pemanfaatannya di dunia pangan semakin
luas, salah satunya adalah dengan pemanfaatan tepung suweg termodifikasi
dalam pembuatan mie basah.
2. Menghasilkan mie basah dengan kualitas dan nilai gizi yang baik melalui
BAB IV. Metode Penelitian 4.1. Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Pengolahan Pangan, Laboratorium
Analisis Pangan, Laboratorium Biokimia dan Nutrisi, Fakultas teknologi
Pertanian, Universitas Udayana.
4.2. Bahan Penelitian
Bahan baku yang digunakan adalah ubi suweg yang sudah matang
optimal. Ubi suweg ini berasal dari Petang - Bali. Bahan kimia Natrium
Bikarbonat (Na2CO3), Folin ciocealteu, 1.1-diphenyl-2-picryl hydrazyl (DPPH),
methanol, etanol, air, aquades, asam galat, tokoferol, asam askorbat, air destilat
steril.
4.3. Metode Penelitian
4.3.1. Tahap pertama : Proses Pregelatinisasi Tepung Suweg
Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian tahap I adalah
rancangan acak kelompok (RAK) dengan perlakuan suhu pemanasan dan lama
pemanasan. Suhu pemanasan terdiri dari 3 perlakuan suhu, yaitu 50oC, 55oC,
60oC, 65oC, dan 70oC selama 20 menit. Perlakuan diulang sebanyak 3 kali
sehingga didapat 15 unit percobaan.
Prosedur pembuatan tepung modifikasi dengan tahap pregelatinisasi
1. Tahapan pembuatan tepung suweg
Umbi suweg yang digunakan sebagai bahan baku tepung adalah umbi
yang tua dan tealh siap untuk dikonsumsi. Umbi dikupas dan dicuci dengan air,
kemudian dibuat menjadi irisan tipis (chips). Chips basah selanjutnya diberi
perlakuan perendaman untuk mereduksi kandungan kalsium oksalat yang dapat
menyebabkan rasa gatal pada umbi. Perendaman dilakukan dalam larutan asam
klorida 0,25% selama 4 menit untuk memberikan kesempatan asam kuat
melarutkan garam kalsium oksalat pada jaringan umbi. Irisan umbi kemudian
ditiriskan dan dipindahkan ke dalam larutan natrium bikarbonat 1%, lalu
direndam selama 5 menit untuk menetralkan residu asam yang tertinggal. Setelah
umbi lalu dikeringkan dengan oven pengering pada suhu 60oC selama 5 jam atau
sampai chips mudah dipatahkan. Proses dilanjutkan dengan mengiling tepung
sampai halus dan kemudian diayak menggunakan saringan 80 mesh
2. Tahapan pembuatan tepung suweg termodifikasi
Sejumlah 200 g tepung suweg disiapkan dalam gelas piala, lalu
ditambahkan air sebanyak 600 mL. Suspensi tersebut selanjutnya dipanaskan pada
suhu sesuai dengan perlakuan, S1 : 50oC; S2 : 55oC; S3 : 60oC; S4 : 65oC; dan S5 :
70oC sambil diaduk sampai homogen dan mengental selama 20 menit. Tepung
yang telah dipanaskan tersebut selanjutnya didinginkan pada suhu ruang 1 jam
dan dilanjutkan dengan suhu 4oC hingga beku. Selanjutnya tepung dikeringkan.
dalam oven pada suhu 60oC selama 8 jam. Tepung yang telah kering diayak
dengan ayakan 80 mesh.
Parameter yang diamati adalah karakteristik fungsional dari tepung antara
lain kelarutan dalam air, daya serap air, daya serap minyak, suhu awal gelatinisasi,
suhu granula pecah, viskositas saat granula pecah, viskositas pada 50oC,
viskositas balik.
4.3.2. Tahap Kedua : Formulasi Mie Basah
Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian tahap II adalah
rancangan acak lengkap dengan perlakuan perbandingan tepung suweg modifikasi
terbaik dengan tepung kelor pada pembuatan mie, terdiri dari 5 perbandingan (50 :
0; 45 : 5; 40 : 10; 35: 15; 30 : 20). Perlakuan diulang sebanyak 3 kali sehingga
diperoleh 15 unit percobaan.
Proses pembuatan mie basah yaitu sebagai berikut : Terigu, tepung suweg
termodifikasi, dan tepung kelor (konsentrasi sesuai perlakuan) dicampurkan lalu
ditambahkan bahan pembantu lain seperti garam dapur, telur, dan minyak.
Dilakukan pengadukkan dengan mixer selama 5 menit agar adonan tercampur
secara merata. Kemudian dilakukan pemipihan adonan menggunakan roll pressing
sehingga terbentuk lembaran adonan setebal 2 ± 0,5 mm. Setelah terbentuk
lembaran mie maka adonan tersebut dicetak menggunakan noodle maker untuk
dibentuk menjadi untaian mie. Setelah terbentuk untaian mie, mie direbus pada air
Pembuatan tepung daun kelor adalah sebagai berikut : daun kelor
(Moringaoleifera) yang digunakan adalah daun muda yang dipetik dari dahan
pohon yang kurang lebih dari tangkai daun pertama (di bawah pucuk) sampai
tangkai daun ketujuh yang masih hijau, meskipun daun tua dapat digunakan
asalkan daun kelor tersebut belum menguning. Selanjutnya daun kelor tersebut
dicuci dengan air berih lalu di ambil dari tangkai daunnya, kemudian ditebar di
atas jaring kawat dan diatur ketebalannya. Selanjutnya dikeringkan dalam oven
dengan suhu kurang lebih 60oC selama kurang lebih 5 jam (sudah cukup kering).
Daun kelor kering selanjutnya dihaluskan dan diayak dengan ayakkan 100 mesh,
dan disimpan dalam plastik kedap udara.
Parameter yang diamati adalah sifat fisik : analisis elastisitas (kekenyalan)
mie, cooking time dan cooking time (Basman dan Yalcin, 2011), daya putus
(Chansri et al., 2005); sifat kimia : aktivitas antioksidan (Blois 1958 dalam
Hanani et al. 2005), kadar Fe (Apriyantono et al, 1989) kadar air, kadar protein,
kadar abu, kadar lemak, dan kadar karbohidrat (AOAC, 1995); sifat sensoris
meliputi : aroma, tekstur, rasa, warna, dan penerimaan keseluruhan menggunakan
uji kesukaan dan skoring (Soekarto, 1985). Daya dianalisis dengan analisis ragam
(ANOVA) dan uji lanjut dengan Duncan Multiple Range Test (DMRT).
Formulasi mie basah dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Formulasi mie basah (dalam 100 gram bahan)
Bahan F1 F2 F3 F4 F5
Tepung suweg modifikasi 50 45 40 35 30
Tepung Kelor 0 5 10 15 20
Terigu 50 50 50 50 50
Telur 10 10 10 10 10
Garam 2 2 2 2 2
Minyak 15 15 15 15 15
4.4. Peta Jalan Penelitian
Peta jalan penelitian atau garis besar tahapan penelitian dapat dilihat pada
BAB V. Hasil Dan Pembahasan
Penelitian Tahap I : Karakteristik kimia dan fungsional dari Tepung Suweg Termodifikasi
5.1 Kadar Air
Nilai kadar air pada tepung suweg termodifikasi berada pada kisaran 6,36
sampai 7,77%, sedangkan nilai kadar air pada tepung suweg sebesar 6,34%.
Berdasarkan hasil analisis ragam maka perlakuan suhu gelatinisasi tidak
memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar air tepung suweg termodifikasi
(p<0,05). Terjadi peningkatan kadar air dari tepung suweg termodifikasi seiring
dengan meningkatnya suhu pemanasan (Tabel 1).
Tabel 3. Sifat Kimia Tepung Suweg Termodifikasi Pregelatinisasi
Keterangan : Angka yang ikuti dengan notasi berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
Peningkatan kadar air dari tepung suweg termodifikasi berhubungan
dengan kemampuan daya serap air dari tepung. Semakin tinggi kemampuan
tepung untuk menyerap air, maka kadar air dari tepung akan semakin tinggi.
Kadar air standar untuk terigu berdasarkan SNI 01-3751-2006 maksimal sebesar
14,5%. Hal ini berarti kadar air tepung suweg termodifikasi telah memenuhi
kriteria SNI. Kadar air yang rendah akan memudahkan pada penyimpanan, karena
tepung pada kondisi ini tidak mudah diserang mikroorganisme dan dapat
disimpan dalam waktu yang lama (Hartanti, et al, 2013).
5.2 Kadar Abu
Nilai kadar abu pada tepung suweg termodifikasi berada pada kisaran 2,10
gelatinisasi tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar abu tepung
suweg termodifikasi (p > 0,05). Secara kuantitatif nilai kadar abu dalam tepung
berasal dari mineral dalam umbi segar, pemakaian pupuk, dan dapat juga berasal
dari kontaminasi tanah dan udara selama pengolahan (Soebito, 1988).
5.3 Kadar Pati
Kadar pati dari tepung suweg termodifikasi berada pada kisaran 74,72% -
80,46% (Tabel 3). Berdasarkan hasil analisis ragam maka perlakuan suhu
gelatinisasi tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar pati tepung
suweg termodifikasi (p > 0,05). Terjadinya kecenderungan penurunan kadar pati
seiring dengan naiknya suhu pemanasan, dipengaruhi oleh adanya gelatinisasi
pada tepung suweg. Terdapatnya perlakuan suhu dapat melemahkan ikatan inter
dan intramolekuler amilosa dan amilopektin, serta amilosa dan amilosa.
Terganggunya struktur tersebut dapat memudahkan pati terdegradasi dan
mengalami penurunan kadar pati (Salim dan Putri, 2015).
5.4 Daya Pengembangan Pati (Swelling Power)
Swelling power merupakan daya pengembangan pati yang dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu daya serap air, suhu gelatinisasi, dan kadar
amilosa (Jading, et al., 2011). Berdasarkan data pada Tabel 4, dapat dilihat bahwa
swelling power dari tepung suweg termodifikasi mengalami peningkatan seiring
dengan peningkatan suhu pemanasan. Hasil analisis menyatakan rerata nilai
swelling power tepung suweg termodifikasi berada pada kisaran 13,38-15,65%.
Perlakuan suhu gelatinisasi memberikan pengaruh nyata terhadap swelling power
tepung suweg termodifikasi (P < 0,05). Peningkatan swelling power akibat
peningkatan suhu pemanasan disebabkan karena kadar amilosa semakin rendah
atau amilopektin dalam pati lebih tinggi. Kenaikkan suhu pemanasan suspensi pati
menyebabkan proses gelatinisasi pati berjalan optimal yaitu fraksi amilosa
meluruh keluar dari granula pati akibat pecahnya granula pati sehingga akan
menurunkan kadar amilosa (Haryanti, et al, 2014). Swelling power pada pati
dipengaruhi oleh daya serap air, semakin besar daya serap air menyebabkan
Tabel 4. Karakteristik Fungsional Tepung Suweg Termodifikasi Pregelatinisasi Keterangan : Angka yang ikuti dengan notasi berbeda menunjukkan perbedaan
yang sangat nyata (P<0,01)
5.5 Daya serap air
Daya serap air dari tepung suweg termodifikasi mengalami peningkatan seiring
dengan peningkatan suhu pemanasan dari tepung, rerata daya serap air tepung
suweg termodifikasi berkisar antara 206,64-267,28%. Berdasarkan hasil analisis
ragam perlakuan suhu gelatinisasi memberikan pengaruh nyata terhadap daya
serap air dari tepung suweg termodifikasi (P < 0,05). Tabel 4 menunjukkan bahwa
perlakuan suhu pemanasan 70oC memiliki rerata nilai daya serap air tertinggi
yaitu sebesar 267,28%. Daya serap air yaitu kemampuan tepung untuk menyerap
air secara maksimal. Daya serap air dipengaruhi oleh kadar air bahan serta rasio
amilosa dan amilopektin (Wirakartakusumah dan Febriyanti, 1994). Kemampuan
menyerap air yang besar diakibatkan karena molekul pati mempunyai gugus
hidroksil yang sangat besar (Winarno, 2002).
5.6 Indeks Kelarutan Air
Indeks kelarutan air dari tepung suweg termodifikasi berada pada kisaran
0,0053-0,0094 (Tabel 4). Berdasarkan hasil analisis ragam perlakuan suhu
pemanasan memberikan pengaruh nyata terhadap indeks kelarutan air dari tepung
suweg termodifikasi (P<0,01). Hasil indeks kelarutan air cenderung mengalami
peningkatan seiring dengan peningkatan suhu pemanasan dari tepung suweg.
Peningkatan suhu pemanasan suspensi pati akan mengakibatkan penurunan kadar
gelatinisasi maka akan terjadi degradasi amilosa dan amilopektin menghasilkna
molekul yang lebih kecil. Molekul yang lebih kecil inilah yang mudah larut dalam
air (Haryanti, et al, 2014).
5.7 Indeks Penyerapan Air
Indeks penyerapan air dari tepung suweg termodifikasi berada pada
kisaran 0,26-0,34 (Tabel 4). Berdasarkan hasil analisis ragam perlakuan suhu
gelatinisasi memberikan pengaruh sangat nyata terhadap indeks penyerapan air
dari tepung suweg termodifikasi (P<0,01). Indeks penyerapan air tepung suweg
termodifikasi mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan suhu
pemanasan. Indeks Penyerapan air dipengaruhi oleh deanturasi protein,
gelatinisasi pati, dan pembengkakan serat kasar selama proses pengolahan
menjadi tepung. Semakin banyak pati yang tergelatinisasi maka semakin besar
produk menyerap air (Gomez dan Aguilera, 1983).
Penelitian Tahap II : Penentuan Formulasi Mie basah
Nilai rerata komposisi kimia dari mie basah yang dihasilkan dengan
perlakuan perbandingan antara tepung suweg termodifikasi (terbaik) dengan
tepung kelor dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Nilai Rerata Kandungan Gizi Mie Basah
Perlakuan
Keterangan : Angka yang ikuti dengan notasi berbeda menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01)
5.8 Kadar Air Mie Basah
Nilai rerata kadar air mie basah berada pada kisaran 37,41-38,92 %.
suweg termodifikasi dengan tepung kelor tidak memberikan pengaruh terhadap
kadar air mie basah (P>0,01). Terdapat kecenderungan terjadinya peningkatan
kadar air mie basah seiring dengan peningkatan penggunaan tepung kelor, hal ini
dikarenakan tepung kelor memiliki kadar air yang masih tinggi sehingga
berpengaruh terhadap kadar air dari mie basah yang dihasilkan. Tepung kelor
memiliki kadar air 10,5%, sedangkan tepung suweg memiliki kadar air 6,38%.
Berdasarkan BSN, 1992 mengenai persyaratan mutu mie basah ditetapkan
kadar air mie basah yaitu 20-35%, nilai kadar air mie basah yang dihasilkan,
sedikit lebih tinggi dari pada persyaratan SNI yang telah ditetapkan. Peningkatan
kadar air dari mie basah sehingga kadar air mie diluar standar lebih tinggi sekitar
2-4%, hal ini dikarenakan bahan dasar mie yang utama adalah terigu, dengan
penambahan tepung suweg termodifikasi sebanyak 50% akan meningkatkan daya
serap air dari mie basah. Daya serap air dari tepung suweg termodifikasi dalam
penelitian ini berada pada kisaran 206-267%, daya serap air yaitu kemampuan
tepung untuk menyerap air secara maksimal (Wirakartakusumah dan Febriyanti,
1994).
5.9. Kadar Abu Mie Basah
Nilai rerata kadar abu mie basah mengalami peningkatan seiring dengan
peningkatan penggunaan tepung kelor yaitu pada M1 (tanpa tepung kelor) 0,65%,
dan pada M5 (tepung suweg termodifikasi 30% : tepung kelor 20%). Berdasarkan
hasil analisis sidik ragam perlakuan perbandingan antara tepung suweg
termodifikasi dengan tepung kelor tidak memberikan pengaruh terhadap kadar
abu mie basah (P>0,01). Terjadinya peningkatan kadar abu disebabkan karena
tepung kelor mengandung beberapa senyawa mineral yang tinggi seperti kalsium,
zat besi, dan kalium, selenium, sulphur dan zinc (Krisnadi, 2014) sehingga
berpengaruh terhadap kadar abu dari mie basah yang dihasilkan. Kadar abu dapat
menunjukkan jumlah unsur mineral sebagai residu anorganik yang tertinggal
5.10. Kadar Protein Mie Basah
Nilai rerata kadar protein mie basah mengalami peningkatan seiring
dengan peningkatan jumlah tepung kelor yang dipergunakan dalam pembuatan
mie basah (Tabel 5). Nilai kadar protein pada perlakuan M1 (tanpa tepung kelor)
adalah 3,09%, dan pada perlakuan M5 (tepung suweg termodifikasi 30% : tepung
kelor 20%) adalah 5,08%. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam perlakuan
perbandingan antara tepung suweg termodifikasi dengan tepung kelor
memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap kadar protein dari mie basah
(P<0,01)
Kelor merupakan salah satu sumber protein yang berasal dari nabati. Kelor
kaya dengan sumber zat gizi terutama protein, vitamin, dan mineral (Fuglie,
2001), selanjutnya dikatakan bahwa daun kelor ternyata mengandung vitamin A,
vitamin C, vitamin B, kalsium, kalium, besi, dan protein dalam jumlah sangat
tinggi yang mudah dicerna dan diasimilasi oleh tubuh manusia.
5.11. Kadar Lemak Mie Basah
Nilai rerata kadar lemak dari mie basah cenderung mengalami peningkatan
seiring dengan penambahan jumlah tepung kelor yang dipergunakan pada
pengolahan mie basah (Tabel 5). Nilai kadar lemak pada perlakuan M1 (tanpa
tepung kelor) adalah 15,55 %, dan pada perlakuan M5 (tepung suweg
termodifikasi 30% : tepung kelor 20%) adalah 17,62 %. Berdasarkan hasil analisis
sidik ragam perlakuan perbandingan antara tepung suweg termodifikasi dengan
tepung kelor memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap kadar lemak dari
mie basah (P<0,01). Terjadi peningkatan kadar lemak dari mie basah seiring
dengan meningkatnya jumlah tepung kelor dan menurunnya jumlah tepung suweg
yang dipergunakan.
5.12. Kadar Karbohidrat Mie Basah
Nilai rerata kadar karbohidrat dari mie basah cenderung mengalami
penurunan seiring dengan penambahan jumlah tepung kelor yang dipergunakan
pada pengolahan mie basah (Tabel 5). Nilai kadar karbohidrat pada perlakuan M1
termodifikasi 30% : tepung kelor 20%) adalah 37,40 %. Berdasarkan hasil analisis
sidik ragam perlakuan perbandingan antara tepung suweg termodifikasi dengan
tepung kelor memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap kadar air mie
basah (P<0,01)
Terjadinya penurunan kadar karbohidrat pada mie basah dikarenakan
penurunan jumlah tepung suweg termodifikasi yang digunakan pada pengolahan
mie basah. Pada pembuatan mie basah ini, tepung suweg termodifikasi merupakan
salah satu sumber karbohidrat dari mie selain terigu, sehingga dengan
menurunnya jumlah tepung suweg termodifikasi yang dipergunakan akan secara
langsung mengurangi kandungan karbohidrat dari mie basah yang dihasilkan.
Tepung suweg mengandung karbohidrat sebesar 85,39%.
5.13. Penilaian sensoris Mie Basah
Berdasarkan analisis sidik ragam maka perlakuan perbandingan antara
tepung suweg termodifikasi dengan tepung kelor memberikan pengaruh yang
sangat nyata terhadap warna, aroma, tekstur, rasa dan penerimaan keseluruhan
pada mie basah yang dihasilkan (Tabel 6).
Tabel 6. Nilai Uji Sensoris dari Mie Basah
Tepung Suweg Termodifikasi : Tepung Kelor
Nilai Uji Sensoris
Warna Aroma Tekstur Rasa Penerimaan
Keseluruhan
Keterangan : Angka yang ikuti dengan notasi berbeda menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01)
Warna mie basah memiliki tingkat kesukaan pada kisaran (4,13-2,60)
dengan kualitas sensoris (normal-agak tidak suka), aroma mie basah memiliki
suka). Tekstur memiliki tingkat kesukaan pada kisaran (4,87-3,20) dengan
kualitas sensoris (agak suka-agak tidak suka), rasa memiliki tingkat kesukaan
pada kisaran (5,13-3,00) dengan kualitas sensoris (agak suka-agak tidak suka),
dan penerimaan keseluruhan memiliki tingkat kesukaan pada kisaran (5,07-2,20)
dengan kualitas sensoris (agak suka - tidak suka).
Perlakuan M1 Perlakuan M2 Perlakuan M3
Perlakuan M4 Perlakuan M5
Nilai kualitas sensoris dari mie basah (Tabel 6) menyatakan bahwa mie
basah dengan perlakuan M1 (tanpa penambahan tepung kelor) memiliki kualitas
sensoris yang terbaik, yaitu warna (normal), aroma (normal), rasa (agak suka),
tekstur (agak suka), dan penerimaan keseluruhan (agak suka). Perlakuan M1
memiliki perbedaan secara signifikan terhadap warna dengan perlakuan M2, M3,
M4, M5 dikarenakan pada perlakuan tersebut telah diberikan penambahan tepung
kelor yang menyebabkan warna mie basah menjadi lebih gelap. Sedangkan untuk
tekstur mie yang dihasilkan perlakuan M1, M2, dan M3 tidak memiliki perbedaan
perbedaan yang tidak signifikan serta pada kriteria penerimaan keseluruhan
perlakuan M1 memiliki perbedaan yang tidak signifikan terhadap perlakuan M2
(P>0,05) dengan kriteria mutu agak suka.
Tabel 7. Nilai Uji Skoring Tekstur Mie Basah
Tepung Suweg Termodifikasi
Keterangan : Angka yang ikuti dengan notasi berbeda menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01)
Berdasarkan analisis sidik ragam maka perlakuan perbandingan antara
tepung suweg termodifikasi dengan tepung kelor memberikan pengaruh yang
sangat nyata terhadap nilai skoring tekstur dari mie basah yaitu tingkat elastisitas
mie dan kekenyalan (Tabel 7). Nilai kriteria mutu terhadap elastisitas mie pada
kisaran (4,13-3,00) dengan kualitas mutu (elastis - agak elastis), sedangkan
terhadap tingkat kekenyalan mie basah berada pada kisaran (4,47-3,00) yaitu
(kenyal - agak kenyal). Tingkat elastisitas mie pada uji sensoris menyatakan
kualitas tekstur dari mie basah jika direngangkan dengan kedua tangan sampai
putus. Tingkat kekenyalan mie pada uji skoring berdasarkan hasil perabaan
dengan menyetuh mie basah dan menekan mie tersebut kemudian diberikan
penilaian. Semakin tinggi kemampuan mie untuk kembali setelah ditekan
menunjukkan mie tersebut memiliki sifat semakin kenyal.
Tingkat elastisitas mie basah dari perlakuan M1 memiliki perbedaan yang
nyata (P>0,05) dengan perlakuan M2 (kualitas sensoris : elastis) dan pada kriteria
mutu tingkat kekenyalan perlakuan M1 tidak memberikan perbedaan yang
BAB VI. Kesimpulan dan Saran
6.1. Kesimpulan
1. Perlakuan suhu pemanasan menunjukkan pengaruh nyata terhadap daya
pengembangan (swelling power), indeks penyerapan air, indeks kelarutan air,
dan daya serap air. Terdapat kecenderungan peningkatan indeks penyerapan
air, daya pengembangan, daya serap air dan indeks kelarutan dari tepung
suweg termodifikasi seiring dengan meningkatnya perlakuan suhu pemanasan.
2. Perlakuan suhu pemanasan 70oC layak untuk direkomendasikan dalam aplikasi
pada pembuatan tepung suweg termodifikasi dengan metode pregelatinisasi,
dengan sifat fungsional tepung sebagai berikut : daya pengembangan (swelling
power) 15,65 g/g; daya serap air 267, 28%; indeks kelarutan air 0,0072; indeks
penyerapan air 0,3377 g/g.
3. Formulasi mie basah perpaduan antara tepung suweg termodifikasi dan tepung
kelor masih layak sampai pada perbandingan tepung suweg termodifikasi (40
persen) dengan tepung kelor (10 persen) dengan komposisi nilai gizi kadar air
38,72%, kadar abu 0,87 %, kadar protein 3,86 %, kadar lemak 16,17%, dan
kadar karbohidrat 40,39%, dan dengan kriteria sensoris warna (agak tidak
suka), aroma (agak tidak suka), tekstur (normal), rasa (normal), dan
penerimaan keseluruhan (normal).
6.2. Saran
Adapun saran dalam penelitian ini :
Perlu dilakukan kembali penelitian yang serupa mengenai aplikasi tepung
suweg termodifikasi pada produk pangan lainnya seperti pada bubur bayi instan,
Daftar Pustaka
AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of The Association Analytical Chemist. Inc. Washintong D.C.
Alsuhendra dan Ridawati. 2014. Pengaruh Modifikasi Secara Pregelatinisasi, Asam, dan Enzimatis Terhadap Sifat Fungsional Tepung Umbi Gembili (Discorea esculenta). PS. Tata Boga Jurusan IKK FT UNJ.
Apriantono, A., D. Fardiaz, N.L. Puspitasari, Sedawati dan S. Budiyanto. 1989. Analisis Pangan. IPB Press.
Astawan, M., 2006. Membuat Mie dan Bihun. Penebar Swadaya.
Basman, A., dan Yalcin, S. 2011. Quick-Boiling Noodle Production by Using Infrared Drying. Journal of Food Engineering. 106: 245-252.
Chansri, R., Puttanlek, C., Rungsadthong, and V., Uttapap, D. 2005. Characteristic of Clear Noodles Prepared from Edible Canna Starches. Journal of Sensory and Nutritive Qualities of Food.
Ekawati, IGA., P Timur Ina, dan IGAK Diah Puspawati. 2013. Pemanfaatan Tepung Ubi Ungu Modifikasi Sebagai Pangan Sehat. Laporan Akhir Hibah Bersaing Penelitian, Unud.
Faridah, D.N. 2005. Kajian Sifat Fungsional Umbi Suweg (Amorphophallus campanulatus B1) secara in Vivo Pada Manusia. Laporan Akhir Penelitian Dosen Muda-IPB. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor. Substitusi Parsial Mocaf (Modified Cassava Flour) Terahadap Karateristik Sifat Fisik, Kimia dan Organoleptik (Kajian Penambahan Tepung Porang dan Air). Fakultas Teknologi Pertanian, Univ. Brawijaya.
Richana, N dan TC. Sunarti. 2005. Karakteristik Sifat Fisikokimia Tepung Umbi dan Tepung Pati dari Umbi Ganyong, Suweg, Ubi kelapa, dan Gembili. Jurnal Penelitian Pascapanen Pertanian, Volume 1, Nomer 1, 2004.
Soekarto, S.T. 1985. Penilaian Organoleptik Untuk Industri Pangan dan Pertanian. Bhatara Karya Aksara. Jakarta.
Utami, Asih Ratna. 2008. Kajian Indeks Glikemik dan Kapasitas in vitro Pengikatan Kolesterol Dari Umbi Suweg (Amorphophallus campanulatus B1.) dan Umbi Garut (Maranta arundinaceae L.). (Skripsi S1). Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Lampiran 1. Dokumentasi Penelitian