• Tidak ada hasil yang ditemukan

APLIKASI TEPUNG SUWEG (Amorphopallus campanulatus BI) TERMODIFIKASI DENGAN TEPUNG KELOR (Moringa oleifera) PADA PEMBUATAN MIE BASAH.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "APLIKASI TEPUNG SUWEG (Amorphopallus campanulatus BI) TERMODIFIKASI DENGAN TEPUNG KELOR (Moringa oleifera) PADA PEMBUATAN MIE BASAH."

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN AKHIR

HIBAH PENELITIAN PROGRAM STUDI

APLIKASI TEPUNG SUWEG (Amorphopallus campanulatus BI) TERMODIFIKASI DENGAN TEPUNG KELOR (Moringa oleifera)

PADA PEMBUATAN MIE BASAH

TIM PENGUSUL :

1. Ir. I Gusti Ayu Ekawati, MS (0016125702) 2. Ir. Putu Timur Ina, MS (0027065702) 3. I DP Kartika P., S.TP.,MP (0003048405)

Dibiayai oleh :

DIPA PNBP Universitas Udayana

sesuai dengan Surat Perjanjian Penugasan Penelitian

Nomor : 1111/UN 14.1.26.II/PNL.01.03.00/2015, tanggal 25 Mei 2015

PS. ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PANGAN

(2)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul : Aplikasi Tepung Suweg (Amorphopallus campanulatus Bl) Termodifikasi Dengan Tepung Kelor (Moringa oleifera) Pada Pembuatan Mie Basah

Peneliti / Pelaksana

Nama Lengkap : Ir. I Gst Ayu Ekawati, MS.

NIDN : 0016125702

Jabatan Fungsional : Lektor Kepala

Program Studi : Ilmu dan Teknologi Pangan

Nomor HP : 085237016805

Alamat Surel (e-mail) : anangadd@yahoo.com

Anggota (1)

Biaya Tahun Berjalan : Rp. 25.000.000,-

Biaya Keseluruhan : Rp. 25.000.000,-

Denpasar, 10 Nopember 2015

Ketua PS. Ilmu dan Teknologi Pangan,

Fakultas Teknologi Pertanian Ketua Peneliti,

Universitas Udayana

(3)

DAFTAR ISI

5.13. Penilaian Sensoris Mie Basah ... 18

BAB VI. Kesimpulan dan Saran ... 21

(4)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Komposisi Kimia Umbi Suweg dan Tepung Suweg ... 3

Tabel 2. Formulasi Mie Basah ... 10

Tabel 3. Sifat Kimia Tepung Suweg Termodifikasi ... 12

Tabel 4. Karakteristik Fungsional Tepung Suweg Termodifikasi ... 14

Tabel 5. Nilai Rerata Kandungan Gizi Mie Basah ... 15

Tabel 6. Nilai Uji Sensoris Mie Basah ... 18

(5)

Ringkasan

Pemanfaatan tepung suweg sebagai bahan pensubstitusi terigu kini mulai

digemari, suweg merupakan bahan makanan dengan indeks glikemik rendah,

sehingga aman dikonsumsi bagi penderita diabetes. Tepung suweg tidak dapat

diaplikasikan secara optimal sebagai bahan pengganti terigu, dikarenakan tepung

suweg memiliki beberapa sifat fungsional yang kurang baik. Oleh karena itu

diperlukan teknik modifikasi tepung suweg dalam pemanfaatan sebagai bahan

pangan sumber karbohidrat yang lebih luas. Tujuan penelitian ini adalah untuk

meningkatkan sifat fungsional tepung suweg melalui teknik modifikasi

pregelatinisasi dan mengaplikasikan tepung suweg termodifikasi dalam

pembuatan mie basah. Mie basah merupakan salah satu alternatif pengganti nasi

di Indonesia. Variasi bahan baku dalam pengolahan mie berkembang pesat, dalam

pembuatan mie ditambahkan bayam ataupun wortel dengan tujuan untuk

meningkatkan nilai gizi dan daya tarik dari mie. Pada penelitian ini, daun kelor

diaplikasikan dalam bentuk tepung sebagai bahan tambahan untuk meningkatkan

nilai gizi dari mie. Tepung kelor mengandung beberapa macam vitamin, mineral,

dan protein dalam jumlah sangat tinggi yang mudah dicerna dan diasimilasi oleh

tubuh manusia. Pada daun kelor terkandung zat antioksidan seperti sitosterol dan

glukopyranoside dan mineral (Fe) yang jumlahnya 25 kali dibandingkan dengan

bayam. Penelitian ini dibagi dalam dua tahap. Tahap 1) Modifikasi tepung suweg

dengan metode pregelatinisasi, menggunakan rancangan acak lengkap pola

faktorial dengan perlakuan suhu dan lama pemanasan. Suhu pemanasan terdiri

dari 3 perlakuan, yaitu 60oC, 65oC, dan 70oC. Lama pemanasan terdiri dari 3

perlakuan yaitu 10 menit, 15 menit, 20 menit, 25 menit. Tahap 2) pembuatan mie

basah, menggunakan rancangan acak lengkap dengan perlakuan perbandingan

tepung suweg termodifikasi dengan tepung kelor, terdiri dari 5 perbandingan

(50:0; 45:5; 40:10; 35:15; 30:20). Parameter yang diamati adalah tingkat

elastisitas (kekenyalan) mie, nilai sensoris terhadap warna, aroma, rasa, tekstur,

dan penerimaan keseluruhan, aktivitas antioksidan, kadar Fe, dan nilai gizi mie

basah.

(6)

Bab I. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang

Suweg (Amorphophallus campanulatus B1) merupakan salah satu jenis

Araceae yang biasanya dipelihara untuk dimakan umbinya. Umbi suweg memiliki

nilai IG yaitu sebesar 36, dengan beban glikemik 10 sehingga suweg digolongkan

sebagai pangan dengan indeks glikemik rendah, yang lebih dianjurkan dalam

mengatur diet penderita diabetes (Utami, 2008). Pada tepung suweg mengandung

tinggi glukomanan (serat larut air) dan rendah kalori sehingga memiliki manfaat

menurunkan kadar kolesterol, menurunkan kadar gula darah, dan menjaga berat

badan (Aulia dan widjanarko, 2014).

Peningkatan diversifitas produk makanan dari suweg dapat dilakukan

dengan mengolah umbi suweg menjadi tepung, sehingga lebih mudah untuk

diaplikasikan menjadi berbagai produk pangan khususnya yang berbahan dasar

terigu. Penggunaan tepung suweg masih terbatas dan memiliki kekurangan sifat

fungsional. Salah satu teknik untuk meningkatkan sifat fungsional tepung adalah

dengan teknik modifikasi. Metode modifikasi cukup banyak, tetapi ada beberapa

metode modifikasi tepung yang mudah dilakukan seperti modifikasi dengan

pregelatinisasi (fisik), hidrolisa asam asetat (asam), dan enzimatis (enzim α

-amilosa). Berdasarkan Ekawati, et al, (2013), metode pregelatinisasi merupakan

teknik modifikasi yang paling baik dalam meningkatkan nilai fungsional dari

tepung.

Mie basah merupakan salah satu produk makanan favorit di Indonesia

yang sudah dijadikan alternatif pengganti nasi. Mie basah pada umumnya terbuat

dari 100% terigu, dalam upaya membatasi ketergantungan terhadap penggunaan

terigu, dilakukan substitusi mie menggunakan tepung yang berbahan dasar lokal,

seperti tepung umbi-umbian. Dewasa ini variasi pengolahan mie telah

berkembang pesat, pada pembuatan mie ditambahkan bahan penambah nilai gizi,

seperti bayam, dan wortel. Selain dapat meningkatkan nilai gizi dari mie,

penambahan bahan tersebut juga dapat meningkatkan daya tarik mie basah dari

warna yang dihasilkan.

Kelor (Moringa oleifera Lam) merupakan tanaman multi guna yang

(7)

kemampuannya untuk dibudidayakan. Pada pembuatan mie, kelor diaplikasikan

dalam bentuk tepung sebagai bahan tambahan untuk meningkatkan nilai gizi dari

mie. Tepung kelor mengandung beberapa macam vitamin, mineral, dan protein

dalam jumlah sangat tinggi yang mudah dicerna dan diasimilasi oleh tubuh

manusia. Pada daun kelor terkandung zat antioksidan seperti sitosterol dan

glukopyranoside dan mineral (Fe) yang jumlahnya 25 kali dibandingkan dengan

bayam (Krisnadi, 2014).

1.2. Permasalahan Penelitian

Adapun permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimanakah karakteristik kimia dan fungsional dari tepung suweg yang

dimodifikasi dengan metode pregelatinisasi.

2. Berapakah perlakuan suhu yang tepat sehingga menghasilkan tepund

suweg termodifikasi dengan sifat fungsional terbaik.

3. Berapakah formulasi yang tepat antara tepung suweg termodifikasi yang

memiliki sifat fungsional terbaik dengan tepung kelor apabila

diaplikasikan pada pembuatan mie basah untuk meningkatkan nilai nutrisi

(8)

BAB II. Tinjauan Pustaka 2.1. Suweg

Umbi suweg berbentuk setengah bola dengan diameter hingga 30 cm, kulit

umbi berwarna coklat sedangkan dagingnya berwarna jingga kusam sampai merah

dengan jaringan yang bertekstur kasar (Winarno dan Koswara, 2002). Suweg

mengandung kalsium oksalat berbentuk rhapide (jarum halus) diseluruh bagian

tanaman. Kandungan kalsium oksalat dapat dikurangi dengan perlakuan

perendaman dalam air selama beberapa lama, juga dengan pemanasan yang

intensif (Winarno dan Koswara, 2002).

Peningkatan diversifitas produk makanan yang diolah menggunakan

suweg dapat dilakukan dengan mengolah umbi suweg menjadi tepung, sehingga

dapat diolah menjadi berbagai produk makanan yaitu biskuit, cake, roti, dan

sebagainya. Hal ini menyebabkan tepung suweg menjadi potensi lokal sebagai

pengganti terigu. Kandungan gizi umbi suweg cukup lengkap yaitu karbohidrat,

serat pangan, protein, lemak, vitamin dan mineral. Salah satu nilai fungsional dari

umbi suweg adalah merupakan salah satu pangan dengan nilai indeks glikemik

(IG) cukup rendah yaitu 36. Nilai IG yang rendah dari umbi suweg ini disebabkan

oleh tingginya serat pangan yang terkandung didalamnya yaitu sebesar 13,71%

(Faridah, 2005). Komposisi kimia ubi suweg dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi Kimia Umbi Suweg dan Tepung Suweg

Karakter Kimia Umbi Suweg Tepung Suweg

Kadar Air (% bb) 72,14 4,98

Kadar Protein (%bb) 3,25 7,56

Kadar Lemak (%bb) 0,33 0,29

Kadar Karbohidrat (%bb) 23,18 87,32

Kadar Total Pati (%bk) - 63,45

(9)

2.2. Modifikasi Tepung

Modifikasi pada tepung umbi suweg pada dasarnya merupakan modifikasi

terhadap pati yang menjadi komponen paling banyak di dalam tepung. Menurut

Wurzburg (1989), selain keragaman sifat fungsional dari pati, teknik modifikasi

dapat digunakan untuk menanggulangi kelemahan-kelemahan dari pati dan

mengasilkan pati dengan sifat-sifat yang lebih baik dan spesifik. Pati demikian ini

disebut sebagai "pati termodifikasi (modified starch)". Dalam arti luas, setiap

produk dimana sifat kimia dan atau sifat fisik pati biasa telah dirubah disebut

sebagai pati termodifikasi.

Pregelatinisasi

Pregelatinisasi merupakan metode modifikasi tepung secara fisik dengan

memberikan perlakuan perebusan pada suhu dan jangka waktu tertentu.

Pregelatinisasi berarti pati dari tepung tersebut sudah mengalami gelatinisasi

kemudian baru dikeringkan.

Tepung pregelatinisasi mempunyai kadungan pati dengan kemampuan

menyerap air yang lebih tinggi daripada pati biasa dan mudah larut dalam air

dingin (Rogol,1986) serta cepat membentuk pasta dalam air dingin (Powell,

1967). Sifat fungsional dari pati pregel ini sangat dipengaruhi oleh kondisi

pengeringan (Rogol, 1986). Selanjutnya dikemukakan oleh Lualleb (1988) bahwa

tingkat dan teknik modifikasi serta metode pengeringan merupakan faktor-faktor

penyebab terjadinya keragaman sifat fungsional dari pati pregelatinisasi.

Hidrolisis Asam

Metode hidrolisis asam tepung hampir sama dengan modifikasi pati.

Metode ini memiliki keunggulan dibandingkan metode lain karena prosesnya

mudah, bahan baku mudah didapatkan dan murah yaitu tepung/pati, HCl, dan air.

Dalam metode hidrolisis asam, prosesnya dipengaruhi oleh waktu hidrolisis dan

konsentrasi asam yang digunakan. Faktor-faktor tersebut mempengaruhi nilai

Dextrose Equivalent (DE) suatu pati. Nilai DE sendiri digunakan untuk

membedakan jenis-jenis pati termodifikasi. Modifikasi dengan asam akan

menghasilkan pati dengan sifat lebih encer jika dilarutkan, lebih mudah larut, dan

berat molekulnya lebih rendah.

(10)

Metode enzimatis adalah metode modifikasi tepung/ pati menggunakan

enzim α-amilase. Enzim α-amilase berperan sebagai pemecah pati yang terdapat

di dalam tepung, dengan adanya proses pemecahan pati menjadi komponen yang

lebih kecil, seperti dekstrin, maltosa, maltotriosa, dan glukosa, sehingga

diharapkan beberapa karakteristik dari tepung ubi dapat diperbaiki menjadi lebih

baik (Alsuhendra dan Ridawati, 2014).

2.3. Aplikasi pada Mie basah

Berdasarkan kandungan airnya mie dapat dibedakan menjadi mie basah

atau segar dan mie kering. Mie basah digolongkan dalam produk intermediate

moisture food (makanan semi basah), yaitu suatu makanan yang mempunyai

kadar air tidak terlalu tinggi dan juga tidak terlalu rendah antara 15-55% dengan

kisaran Aw antara 0,65-0,85. Mie basah terbuat dari terigu, garam dan air serta

tambahan pangan lain (Hou dan Kruk, 1998). Mie basah atau disebut juga mie

kuning adalah jenis mie yang mengalami proses perebusan setelah tahap

pemotongan dan sebelum dipasarkan. Kadar air mie basah dapat mencapai 52%

sehingga daya tahan atau keawetannya cukup singkat. Pada suhu kamar mie basah

hanya bertahan 10-12 jam saja, karena setelah itu mie akan berbau asam dan

berlendir (Astawan, 2006).

Kualitas mie basah sangat bervariasi karena perbedaan bahan baku dan

proses pembuatannya. Mie basah adalah mie mentah yang sebelum dipasarkan

mengalami perebusan dalam air mendidih terlebih dahulu. Pembuatan mie basah

secara tradisional dapat dilakukan dengan penggunaan bahan utama tepung terigu

dan bahan pembantu seperti air, telur, pewarna, dan bahan tambahan pangan.

Ciri-ciri mie basah yang baik adalah : berwarna putih atau kuning terang, tekstur agak

kenyal, dan tidak mudah putus. Tanda-tanda kerusakan mie basah adalah berbintik

putih atau hitam karena tumbuhnya kapang, berlendir pada permukaan mie,

berbau asam dan berwarna lebih gelap (Pratitasari, 2007).

Nilai gizi mie pada umumnya dapat dianggap cukup baik karena selain

karbohidrat terdapat pula sedikit protein. Komposisi kimia mie basah cukup

bervariasi tergantung berbagai bahan baku yang digunakan, pada umumnya

komposisi kimia mie basah yaitu sebagai berikut : air 35 - 50%, protein : 4,5 -

(11)

2.4. Daun Kelor

Kelor (Moringa oleifera) merupakan tanaman yang tersebar diseluruh

penjuru dunia dan dugambarkan sebagai salah satu tanaman yang paling bergizi .

Daunnya memiliki kandungan betakaroten melebihi wortel, mengandung protein

melebihi kacang polong, lebih banyak mengandung vitamin C dibanding jeruk,

kandungan kalsiumnya melebihi susu, mengandung zat besi lebih banyak dari

pada bayam, dan kandungan kalium lebih banyak dari pada pisang.

Konsumsi daun kelor merupakan salah alternatif untuk menanggulangi

kasus kekurangan gizi di Indonesia. Kecuali vitamin C, kandungan gizi dapat

mengalami peningkatan kuantitas apabila kelor dikonsumsi setelah dikeringkan

dan dijadikan serbuk (tepung). Vitamin A yang terdapat pada serbuk daun kelor

setara dengan 10 kali vitamin A yang terdapat pada wortel, setara dengan 17 kali

kalsium yang terdapat pada susu, setara dengan 15 kali kalsium yang terdapat

pada pisang, setara dengan 9 kali protein yang terdapat pada yogurt, dan setara

dengan 25 kali zat besi (Fe) yang terdapat pada bayam (Jonni et al, 2008). Kelor

kaya dengan sumber zat gizi terutama protein, vitamin, dan mineral (Fuglie,

2001), selanjutnya dikatakan bahwa daun kelor ternyata mengandung vitamin A,

vitamin C, vitamin B, kalsium, kalium, besi, dan protein dalam jumlah sangat

tinggi yang mudah dicerna dan diasimilasi oleh tubuh manusia.

Di negara berkembang, tanaman kelor digunakan untuk mengatasi

malnutrisi karena tingginya kandungan vitamin dan mineral. Disamping itu,

kekurangan salah satu unsur gizi dapat menyebabkan munculnya masalah dalam

kesehatan. Beberapa contoh masalah kesehatan umum yang timbul karena

kekurangan gizi adalah sariawan atau panas dalam karena kekurangan vitamin C,

busung lapar karena kekurangan protein, anemia (kurang darah) karena

(12)

BAB III. Tujuan dan Manfaat Penelitian

3.1. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mendapatkan tepung suweg dengan metode modifikasi pregelatinisasi terbaik

berdasarkan sifat fungsionalnya.

2. Mendapatkan formulasi (perbandingan tepung ubi suweg termodifikasi dengan

tepung kelor) pada pembuatan mie basah.

3.2. Manfaat Penelitian

1. Pemanfaatan Suweg sebagai bahan alternatif pengganti terigu dan

mengoptimalkan penggunaan tepung suweg dengan melakukan teknik

modifikasi pregelatinisasi sehingga pemanfaatannya di dunia pangan semakin

luas, salah satunya adalah dengan pemanfaatan tepung suweg termodifikasi

dalam pembuatan mie basah.

2. Menghasilkan mie basah dengan kualitas dan nilai gizi yang baik melalui

(13)

BAB IV. Metode Penelitian 4.1. Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Pengolahan Pangan, Laboratorium

Analisis Pangan, Laboratorium Biokimia dan Nutrisi, Fakultas teknologi

Pertanian, Universitas Udayana.

4.2. Bahan Penelitian

Bahan baku yang digunakan adalah ubi suweg yang sudah matang

optimal. Ubi suweg ini berasal dari Petang - Bali. Bahan kimia Natrium

Bikarbonat (Na2CO3), Folin ciocealteu, 1.1-diphenyl-2-picryl hydrazyl (DPPH),

methanol, etanol, air, aquades, asam galat, tokoferol, asam askorbat, air destilat

steril.

4.3. Metode Penelitian

4.3.1. Tahap pertama : Proses Pregelatinisasi Tepung Suweg

Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian tahap I adalah

rancangan acak kelompok (RAK) dengan perlakuan suhu pemanasan dan lama

pemanasan. Suhu pemanasan terdiri dari 3 perlakuan suhu, yaitu 50oC, 55oC,

60oC, 65oC, dan 70oC selama 20 menit. Perlakuan diulang sebanyak 3 kali

sehingga didapat 15 unit percobaan.

Prosedur pembuatan tepung modifikasi dengan tahap pregelatinisasi

1. Tahapan pembuatan tepung suweg

Umbi suweg yang digunakan sebagai bahan baku tepung adalah umbi

yang tua dan tealh siap untuk dikonsumsi. Umbi dikupas dan dicuci dengan air,

kemudian dibuat menjadi irisan tipis (chips). Chips basah selanjutnya diberi

perlakuan perendaman untuk mereduksi kandungan kalsium oksalat yang dapat

menyebabkan rasa gatal pada umbi. Perendaman dilakukan dalam larutan asam

klorida 0,25% selama 4 menit untuk memberikan kesempatan asam kuat

melarutkan garam kalsium oksalat pada jaringan umbi. Irisan umbi kemudian

ditiriskan dan dipindahkan ke dalam larutan natrium bikarbonat 1%, lalu

direndam selama 5 menit untuk menetralkan residu asam yang tertinggal. Setelah

(14)

umbi lalu dikeringkan dengan oven pengering pada suhu 60oC selama 5 jam atau

sampai chips mudah dipatahkan. Proses dilanjutkan dengan mengiling tepung

sampai halus dan kemudian diayak menggunakan saringan 80 mesh

2. Tahapan pembuatan tepung suweg termodifikasi

Sejumlah 200 g tepung suweg disiapkan dalam gelas piala, lalu

ditambahkan air sebanyak 600 mL. Suspensi tersebut selanjutnya dipanaskan pada

suhu sesuai dengan perlakuan, S1 : 50oC; S2 : 55oC; S3 : 60oC; S4 : 65oC; dan S5 :

70oC sambil diaduk sampai homogen dan mengental selama 20 menit. Tepung

yang telah dipanaskan tersebut selanjutnya didinginkan pada suhu ruang 1 jam

dan dilanjutkan dengan suhu 4oC hingga beku. Selanjutnya tepung dikeringkan.

dalam oven pada suhu 60oC selama 8 jam. Tepung yang telah kering diayak

dengan ayakan 80 mesh.

Parameter yang diamati adalah karakteristik fungsional dari tepung antara

lain kelarutan dalam air, daya serap air, daya serap minyak, suhu awal gelatinisasi,

suhu granula pecah, viskositas saat granula pecah, viskositas pada 50oC,

viskositas balik.

4.3.2. Tahap Kedua : Formulasi Mie Basah

Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian tahap II adalah

rancangan acak lengkap dengan perlakuan perbandingan tepung suweg modifikasi

terbaik dengan tepung kelor pada pembuatan mie, terdiri dari 5 perbandingan (50 :

0; 45 : 5; 40 : 10; 35: 15; 30 : 20). Perlakuan diulang sebanyak 3 kali sehingga

diperoleh 15 unit percobaan.

Proses pembuatan mie basah yaitu sebagai berikut : Terigu, tepung suweg

termodifikasi, dan tepung kelor (konsentrasi sesuai perlakuan) dicampurkan lalu

ditambahkan bahan pembantu lain seperti garam dapur, telur, dan minyak.

Dilakukan pengadukkan dengan mixer selama 5 menit agar adonan tercampur

secara merata. Kemudian dilakukan pemipihan adonan menggunakan roll pressing

sehingga terbentuk lembaran adonan setebal 2 ± 0,5 mm. Setelah terbentuk

lembaran mie maka adonan tersebut dicetak menggunakan noodle maker untuk

dibentuk menjadi untaian mie. Setelah terbentuk untaian mie, mie direbus pada air

(15)

Pembuatan tepung daun kelor adalah sebagai berikut : daun kelor

(Moringaoleifera) yang digunakan adalah daun muda yang dipetik dari dahan

pohon yang kurang lebih dari tangkai daun pertama (di bawah pucuk) sampai

tangkai daun ketujuh yang masih hijau, meskipun daun tua dapat digunakan

asalkan daun kelor tersebut belum menguning. Selanjutnya daun kelor tersebut

dicuci dengan air berih lalu di ambil dari tangkai daunnya, kemudian ditebar di

atas jaring kawat dan diatur ketebalannya. Selanjutnya dikeringkan dalam oven

dengan suhu kurang lebih 60oC selama kurang lebih 5 jam (sudah cukup kering).

Daun kelor kering selanjutnya dihaluskan dan diayak dengan ayakkan 100 mesh,

dan disimpan dalam plastik kedap udara.

Parameter yang diamati adalah sifat fisik : analisis elastisitas (kekenyalan)

mie, cooking time dan cooking time (Basman dan Yalcin, 2011), daya putus

(Chansri et al., 2005); sifat kimia : aktivitas antioksidan (Blois 1958 dalam

Hanani et al. 2005), kadar Fe (Apriyantono et al, 1989) kadar air, kadar protein,

kadar abu, kadar lemak, dan kadar karbohidrat (AOAC, 1995); sifat sensoris

meliputi : aroma, tekstur, rasa, warna, dan penerimaan keseluruhan menggunakan

uji kesukaan dan skoring (Soekarto, 1985). Daya dianalisis dengan analisis ragam

(ANOVA) dan uji lanjut dengan Duncan Multiple Range Test (DMRT).

Formulasi mie basah dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Formulasi mie basah (dalam 100 gram bahan)

Bahan F1 F2 F3 F4 F5

Tepung suweg modifikasi 50 45 40 35 30

Tepung Kelor 0 5 10 15 20

Terigu 50 50 50 50 50

Telur 10 10 10 10 10

Garam 2 2 2 2 2

Minyak 15 15 15 15 15

(16)

4.4. Peta Jalan Penelitian

Peta jalan penelitian atau garis besar tahapan penelitian dapat dilihat pada

(17)

BAB V. Hasil Dan Pembahasan

Penelitian Tahap I : Karakteristik kimia dan fungsional dari Tepung Suweg Termodifikasi

5.1 Kadar Air

Nilai kadar air pada tepung suweg termodifikasi berada pada kisaran 6,36

sampai 7,77%, sedangkan nilai kadar air pada tepung suweg sebesar 6,34%.

Berdasarkan hasil analisis ragam maka perlakuan suhu gelatinisasi tidak

memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar air tepung suweg termodifikasi

(p<0,05). Terjadi peningkatan kadar air dari tepung suweg termodifikasi seiring

dengan meningkatnya suhu pemanasan (Tabel 1).

Tabel 3. Sifat Kimia Tepung Suweg Termodifikasi Pregelatinisasi

Keterangan : Angka yang ikuti dengan notasi berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Peningkatan kadar air dari tepung suweg termodifikasi berhubungan

dengan kemampuan daya serap air dari tepung. Semakin tinggi kemampuan

tepung untuk menyerap air, maka kadar air dari tepung akan semakin tinggi.

Kadar air standar untuk terigu berdasarkan SNI 01-3751-2006 maksimal sebesar

14,5%. Hal ini berarti kadar air tepung suweg termodifikasi telah memenuhi

kriteria SNI. Kadar air yang rendah akan memudahkan pada penyimpanan, karena

tepung pada kondisi ini tidak mudah diserang mikroorganisme dan dapat

disimpan dalam waktu yang lama (Hartanti, et al, 2013).

5.2 Kadar Abu

Nilai kadar abu pada tepung suweg termodifikasi berada pada kisaran 2,10

(18)

gelatinisasi tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar abu tepung

suweg termodifikasi (p > 0,05). Secara kuantitatif nilai kadar abu dalam tepung

berasal dari mineral dalam umbi segar, pemakaian pupuk, dan dapat juga berasal

dari kontaminasi tanah dan udara selama pengolahan (Soebito, 1988).

5.3 Kadar Pati

Kadar pati dari tepung suweg termodifikasi berada pada kisaran 74,72% -

80,46% (Tabel 3). Berdasarkan hasil analisis ragam maka perlakuan suhu

gelatinisasi tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar pati tepung

suweg termodifikasi (p > 0,05). Terjadinya kecenderungan penurunan kadar pati

seiring dengan naiknya suhu pemanasan, dipengaruhi oleh adanya gelatinisasi

pada tepung suweg. Terdapatnya perlakuan suhu dapat melemahkan ikatan inter

dan intramolekuler amilosa dan amilopektin, serta amilosa dan amilosa.

Terganggunya struktur tersebut dapat memudahkan pati terdegradasi dan

mengalami penurunan kadar pati (Salim dan Putri, 2015).

5.4 Daya Pengembangan Pati (Swelling Power)

Swelling power merupakan daya pengembangan pati yang dapat

dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu daya serap air, suhu gelatinisasi, dan kadar

amilosa (Jading, et al., 2011). Berdasarkan data pada Tabel 4, dapat dilihat bahwa

swelling power dari tepung suweg termodifikasi mengalami peningkatan seiring

dengan peningkatan suhu pemanasan. Hasil analisis menyatakan rerata nilai

swelling power tepung suweg termodifikasi berada pada kisaran 13,38-15,65%.

Perlakuan suhu gelatinisasi memberikan pengaruh nyata terhadap swelling power

tepung suweg termodifikasi (P < 0,05). Peningkatan swelling power akibat

peningkatan suhu pemanasan disebabkan karena kadar amilosa semakin rendah

atau amilopektin dalam pati lebih tinggi. Kenaikkan suhu pemanasan suspensi pati

menyebabkan proses gelatinisasi pati berjalan optimal yaitu fraksi amilosa

meluruh keluar dari granula pati akibat pecahnya granula pati sehingga akan

menurunkan kadar amilosa (Haryanti, et al, 2014). Swelling power pada pati

dipengaruhi oleh daya serap air, semakin besar daya serap air menyebabkan

(19)

Tabel 4. Karakteristik Fungsional Tepung Suweg Termodifikasi Pregelatinisasi Keterangan : Angka yang ikuti dengan notasi berbeda menunjukkan perbedaan

yang sangat nyata (P<0,01)

5.5 Daya serap air

Daya serap air dari tepung suweg termodifikasi mengalami peningkatan seiring

dengan peningkatan suhu pemanasan dari tepung, rerata daya serap air tepung

suweg termodifikasi berkisar antara 206,64-267,28%. Berdasarkan hasil analisis

ragam perlakuan suhu gelatinisasi memberikan pengaruh nyata terhadap daya

serap air dari tepung suweg termodifikasi (P < 0,05). Tabel 4 menunjukkan bahwa

perlakuan suhu pemanasan 70oC memiliki rerata nilai daya serap air tertinggi

yaitu sebesar 267,28%. Daya serap air yaitu kemampuan tepung untuk menyerap

air secara maksimal. Daya serap air dipengaruhi oleh kadar air bahan serta rasio

amilosa dan amilopektin (Wirakartakusumah dan Febriyanti, 1994). Kemampuan

menyerap air yang besar diakibatkan karena molekul pati mempunyai gugus

hidroksil yang sangat besar (Winarno, 2002).

5.6 Indeks Kelarutan Air

Indeks kelarutan air dari tepung suweg termodifikasi berada pada kisaran

0,0053-0,0094 (Tabel 4). Berdasarkan hasil analisis ragam perlakuan suhu

pemanasan memberikan pengaruh nyata terhadap indeks kelarutan air dari tepung

suweg termodifikasi (P<0,01). Hasil indeks kelarutan air cenderung mengalami

peningkatan seiring dengan peningkatan suhu pemanasan dari tepung suweg.

Peningkatan suhu pemanasan suspensi pati akan mengakibatkan penurunan kadar

(20)

gelatinisasi maka akan terjadi degradasi amilosa dan amilopektin menghasilkna

molekul yang lebih kecil. Molekul yang lebih kecil inilah yang mudah larut dalam

air (Haryanti, et al, 2014).

5.7 Indeks Penyerapan Air

Indeks penyerapan air dari tepung suweg termodifikasi berada pada

kisaran 0,26-0,34 (Tabel 4). Berdasarkan hasil analisis ragam perlakuan suhu

gelatinisasi memberikan pengaruh sangat nyata terhadap indeks penyerapan air

dari tepung suweg termodifikasi (P<0,01). Indeks penyerapan air tepung suweg

termodifikasi mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan suhu

pemanasan. Indeks Penyerapan air dipengaruhi oleh deanturasi protein,

gelatinisasi pati, dan pembengkakan serat kasar selama proses pengolahan

menjadi tepung. Semakin banyak pati yang tergelatinisasi maka semakin besar

produk menyerap air (Gomez dan Aguilera, 1983).

Penelitian Tahap II : Penentuan Formulasi Mie basah

Nilai rerata komposisi kimia dari mie basah yang dihasilkan dengan

perlakuan perbandingan antara tepung suweg termodifikasi (terbaik) dengan

tepung kelor dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Nilai Rerata Kandungan Gizi Mie Basah

Perlakuan

Keterangan : Angka yang ikuti dengan notasi berbeda menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01)

5.8 Kadar Air Mie Basah

Nilai rerata kadar air mie basah berada pada kisaran 37,41-38,92 %.

(21)

suweg termodifikasi dengan tepung kelor tidak memberikan pengaruh terhadap

kadar air mie basah (P>0,01). Terdapat kecenderungan terjadinya peningkatan

kadar air mie basah seiring dengan peningkatan penggunaan tepung kelor, hal ini

dikarenakan tepung kelor memiliki kadar air yang masih tinggi sehingga

berpengaruh terhadap kadar air dari mie basah yang dihasilkan. Tepung kelor

memiliki kadar air 10,5%, sedangkan tepung suweg memiliki kadar air 6,38%.

Berdasarkan BSN, 1992 mengenai persyaratan mutu mie basah ditetapkan

kadar air mie basah yaitu 20-35%, nilai kadar air mie basah yang dihasilkan,

sedikit lebih tinggi dari pada persyaratan SNI yang telah ditetapkan. Peningkatan

kadar air dari mie basah sehingga kadar air mie diluar standar lebih tinggi sekitar

2-4%, hal ini dikarenakan bahan dasar mie yang utama adalah terigu, dengan

penambahan tepung suweg termodifikasi sebanyak 50% akan meningkatkan daya

serap air dari mie basah. Daya serap air dari tepung suweg termodifikasi dalam

penelitian ini berada pada kisaran 206-267%, daya serap air yaitu kemampuan

tepung untuk menyerap air secara maksimal (Wirakartakusumah dan Febriyanti,

1994).

5.9. Kadar Abu Mie Basah

Nilai rerata kadar abu mie basah mengalami peningkatan seiring dengan

peningkatan penggunaan tepung kelor yaitu pada M1 (tanpa tepung kelor) 0,65%,

dan pada M5 (tepung suweg termodifikasi 30% : tepung kelor 20%). Berdasarkan

hasil analisis sidik ragam perlakuan perbandingan antara tepung suweg

termodifikasi dengan tepung kelor tidak memberikan pengaruh terhadap kadar

abu mie basah (P>0,01). Terjadinya peningkatan kadar abu disebabkan karena

tepung kelor mengandung beberapa senyawa mineral yang tinggi seperti kalsium,

zat besi, dan kalium, selenium, sulphur dan zinc (Krisnadi, 2014) sehingga

berpengaruh terhadap kadar abu dari mie basah yang dihasilkan. Kadar abu dapat

menunjukkan jumlah unsur mineral sebagai residu anorganik yang tertinggal

(22)

5.10. Kadar Protein Mie Basah

Nilai rerata kadar protein mie basah mengalami peningkatan seiring

dengan peningkatan jumlah tepung kelor yang dipergunakan dalam pembuatan

mie basah (Tabel 5). Nilai kadar protein pada perlakuan M1 (tanpa tepung kelor)

adalah 3,09%, dan pada perlakuan M5 (tepung suweg termodifikasi 30% : tepung

kelor 20%) adalah 5,08%. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam perlakuan

perbandingan antara tepung suweg termodifikasi dengan tepung kelor

memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap kadar protein dari mie basah

(P<0,01)

Kelor merupakan salah satu sumber protein yang berasal dari nabati. Kelor

kaya dengan sumber zat gizi terutama protein, vitamin, dan mineral (Fuglie,

2001), selanjutnya dikatakan bahwa daun kelor ternyata mengandung vitamin A,

vitamin C, vitamin B, kalsium, kalium, besi, dan protein dalam jumlah sangat

tinggi yang mudah dicerna dan diasimilasi oleh tubuh manusia.

5.11. Kadar Lemak Mie Basah

Nilai rerata kadar lemak dari mie basah cenderung mengalami peningkatan

seiring dengan penambahan jumlah tepung kelor yang dipergunakan pada

pengolahan mie basah (Tabel 5). Nilai kadar lemak pada perlakuan M1 (tanpa

tepung kelor) adalah 15,55 %, dan pada perlakuan M5 (tepung suweg

termodifikasi 30% : tepung kelor 20%) adalah 17,62 %. Berdasarkan hasil analisis

sidik ragam perlakuan perbandingan antara tepung suweg termodifikasi dengan

tepung kelor memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap kadar lemak dari

mie basah (P<0,01). Terjadi peningkatan kadar lemak dari mie basah seiring

dengan meningkatnya jumlah tepung kelor dan menurunnya jumlah tepung suweg

yang dipergunakan.

5.12. Kadar Karbohidrat Mie Basah

Nilai rerata kadar karbohidrat dari mie basah cenderung mengalami

penurunan seiring dengan penambahan jumlah tepung kelor yang dipergunakan

pada pengolahan mie basah (Tabel 5). Nilai kadar karbohidrat pada perlakuan M1

(23)

termodifikasi 30% : tepung kelor 20%) adalah 37,40 %. Berdasarkan hasil analisis

sidik ragam perlakuan perbandingan antara tepung suweg termodifikasi dengan

tepung kelor memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap kadar air mie

basah (P<0,01)

Terjadinya penurunan kadar karbohidrat pada mie basah dikarenakan

penurunan jumlah tepung suweg termodifikasi yang digunakan pada pengolahan

mie basah. Pada pembuatan mie basah ini, tepung suweg termodifikasi merupakan

salah satu sumber karbohidrat dari mie selain terigu, sehingga dengan

menurunnya jumlah tepung suweg termodifikasi yang dipergunakan akan secara

langsung mengurangi kandungan karbohidrat dari mie basah yang dihasilkan.

Tepung suweg mengandung karbohidrat sebesar 85,39%.

5.13. Penilaian sensoris Mie Basah

Berdasarkan analisis sidik ragam maka perlakuan perbandingan antara

tepung suweg termodifikasi dengan tepung kelor memberikan pengaruh yang

sangat nyata terhadap warna, aroma, tekstur, rasa dan penerimaan keseluruhan

pada mie basah yang dihasilkan (Tabel 6).

Tabel 6. Nilai Uji Sensoris dari Mie Basah

Tepung Suweg Termodifikasi : Tepung Kelor

Nilai Uji Sensoris

Warna Aroma Tekstur Rasa Penerimaan

Keseluruhan

Keterangan : Angka yang ikuti dengan notasi berbeda menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01)

Warna mie basah memiliki tingkat kesukaan pada kisaran (4,13-2,60)

dengan kualitas sensoris (normal-agak tidak suka), aroma mie basah memiliki

(24)

suka). Tekstur memiliki tingkat kesukaan pada kisaran (4,87-3,20) dengan

kualitas sensoris (agak suka-agak tidak suka), rasa memiliki tingkat kesukaan

pada kisaran (5,13-3,00) dengan kualitas sensoris (agak suka-agak tidak suka),

dan penerimaan keseluruhan memiliki tingkat kesukaan pada kisaran (5,07-2,20)

dengan kualitas sensoris (agak suka - tidak suka).

Perlakuan M1 Perlakuan M2 Perlakuan M3

Perlakuan M4 Perlakuan M5

Nilai kualitas sensoris dari mie basah (Tabel 6) menyatakan bahwa mie

basah dengan perlakuan M1 (tanpa penambahan tepung kelor) memiliki kualitas

sensoris yang terbaik, yaitu warna (normal), aroma (normal), rasa (agak suka),

tekstur (agak suka), dan penerimaan keseluruhan (agak suka). Perlakuan M1

memiliki perbedaan secara signifikan terhadap warna dengan perlakuan M2, M3,

M4, M5 dikarenakan pada perlakuan tersebut telah diberikan penambahan tepung

kelor yang menyebabkan warna mie basah menjadi lebih gelap. Sedangkan untuk

tekstur mie yang dihasilkan perlakuan M1, M2, dan M3 tidak memiliki perbedaan

(25)

perbedaan yang tidak signifikan serta pada kriteria penerimaan keseluruhan

perlakuan M1 memiliki perbedaan yang tidak signifikan terhadap perlakuan M2

(P>0,05) dengan kriteria mutu agak suka.

Tabel 7. Nilai Uji Skoring Tekstur Mie Basah

Tepung Suweg Termodifikasi

Keterangan : Angka yang ikuti dengan notasi berbeda menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01)

Berdasarkan analisis sidik ragam maka perlakuan perbandingan antara

tepung suweg termodifikasi dengan tepung kelor memberikan pengaruh yang

sangat nyata terhadap nilai skoring tekstur dari mie basah yaitu tingkat elastisitas

mie dan kekenyalan (Tabel 7). Nilai kriteria mutu terhadap elastisitas mie pada

kisaran (4,13-3,00) dengan kualitas mutu (elastis - agak elastis), sedangkan

terhadap tingkat kekenyalan mie basah berada pada kisaran (4,47-3,00) yaitu

(kenyal - agak kenyal). Tingkat elastisitas mie pada uji sensoris menyatakan

kualitas tekstur dari mie basah jika direngangkan dengan kedua tangan sampai

putus. Tingkat kekenyalan mie pada uji skoring berdasarkan hasil perabaan

dengan menyetuh mie basah dan menekan mie tersebut kemudian diberikan

penilaian. Semakin tinggi kemampuan mie untuk kembali setelah ditekan

menunjukkan mie tersebut memiliki sifat semakin kenyal.

Tingkat elastisitas mie basah dari perlakuan M1 memiliki perbedaan yang

nyata (P>0,05) dengan perlakuan M2 (kualitas sensoris : elastis) dan pada kriteria

mutu tingkat kekenyalan perlakuan M1 tidak memberikan perbedaan yang

(26)

BAB VI. Kesimpulan dan Saran

6.1. Kesimpulan

1. Perlakuan suhu pemanasan menunjukkan pengaruh nyata terhadap daya

pengembangan (swelling power), indeks penyerapan air, indeks kelarutan air,

dan daya serap air. Terdapat kecenderungan peningkatan indeks penyerapan

air, daya pengembangan, daya serap air dan indeks kelarutan dari tepung

suweg termodifikasi seiring dengan meningkatnya perlakuan suhu pemanasan.

2. Perlakuan suhu pemanasan 70oC layak untuk direkomendasikan dalam aplikasi

pada pembuatan tepung suweg termodifikasi dengan metode pregelatinisasi,

dengan sifat fungsional tepung sebagai berikut : daya pengembangan (swelling

power) 15,65 g/g; daya serap air 267, 28%; indeks kelarutan air 0,0072; indeks

penyerapan air 0,3377 g/g.

3. Formulasi mie basah perpaduan antara tepung suweg termodifikasi dan tepung

kelor masih layak sampai pada perbandingan tepung suweg termodifikasi (40

persen) dengan tepung kelor (10 persen) dengan komposisi nilai gizi kadar air

38,72%, kadar abu 0,87 %, kadar protein 3,86 %, kadar lemak 16,17%, dan

kadar karbohidrat 40,39%, dan dengan kriteria sensoris warna (agak tidak

suka), aroma (agak tidak suka), tekstur (normal), rasa (normal), dan

penerimaan keseluruhan (normal).

6.2. Saran

Adapun saran dalam penelitian ini :

Perlu dilakukan kembali penelitian yang serupa mengenai aplikasi tepung

suweg termodifikasi pada produk pangan lainnya seperti pada bubur bayi instan,

(27)

Daftar Pustaka

AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of The Association Analytical Chemist. Inc. Washintong D.C.

Alsuhendra dan Ridawati. 2014. Pengaruh Modifikasi Secara Pregelatinisasi, Asam, dan Enzimatis Terhadap Sifat Fungsional Tepung Umbi Gembili (Discorea esculenta). PS. Tata Boga Jurusan IKK FT UNJ.

Apriantono, A., D. Fardiaz, N.L. Puspitasari, Sedawati dan S. Budiyanto. 1989. Analisis Pangan. IPB Press.

Astawan, M., 2006. Membuat Mie dan Bihun. Penebar Swadaya.

Basman, A., dan Yalcin, S. 2011. Quick-Boiling Noodle Production by Using Infrared Drying. Journal of Food Engineering. 106: 245-252.

Chansri, R., Puttanlek, C., Rungsadthong, and V., Uttapap, D. 2005. Characteristic of Clear Noodles Prepared from Edible Canna Starches. Journal of Sensory and Nutritive Qualities of Food.

Ekawati, IGA., P Timur Ina, dan IGAK Diah Puspawati. 2013. Pemanfaatan Tepung Ubi Ungu Modifikasi Sebagai Pangan Sehat. Laporan Akhir Hibah Bersaing Penelitian, Unud.

Faridah, D.N. 2005. Kajian Sifat Fungsional Umbi Suweg (Amorphophallus campanulatus B1) secara in Vivo Pada Manusia. Laporan Akhir Penelitian Dosen Muda-IPB. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor. Substitusi Parsial Mocaf (Modified Cassava Flour) Terahadap Karateristik Sifat Fisik, Kimia dan Organoleptik (Kajian Penambahan Tepung Porang dan Air). Fakultas Teknologi Pertanian, Univ. Brawijaya.

Richana, N dan TC. Sunarti. 2005. Karakteristik Sifat Fisikokimia Tepung Umbi dan Tepung Pati dari Umbi Ganyong, Suweg, Ubi kelapa, dan Gembili. Jurnal Penelitian Pascapanen Pertanian, Volume 1, Nomer 1, 2004.

Soekarto, S.T. 1985. Penilaian Organoleptik Untuk Industri Pangan dan Pertanian. Bhatara Karya Aksara. Jakarta.

Utami, Asih Ratna. 2008. Kajian Indeks Glikemik dan Kapasitas in vitro Pengikatan Kolesterol Dari Umbi Suweg (Amorphophallus campanulatus B1.) dan Umbi Garut (Maranta arundinaceae L.). (Skripsi S1). Bogor : Institut Pertanian Bogor.

(28)

Lampiran 1. Dokumentasi Penelitian

(29)

Gambar

Tabel 1. Komposisi Kimia Umbi Suweg dan Tepung Suweg
Tabel 2. Formulasi mie basah (dalam 100 gram bahan)
Gambar 2.
Tabel 3. Sifat Kimia Tepung Suweg Termodifikasi Pregelatinisasi
+5

Referensi

Dokumen terkait

PENGARUH PENAMBAHAN TEPUNG KACANG MERAH PADA PEMBUATAN MIE BASAH TERHADAP KOMPOSISI PROKSIMAT DAN DAYA TERIMA Pendahuluan : Pembuatan mie basah dapat dilakukan dengan

Berdasarkan uraian tersebut maka permasalahan yang dapat diidentifikasi pada penelitian ini ialah tepung daun kelor ( Moringa oleifera ) diketahui mengandung zat

Judul Penelitian : Pemanfaatan Daun Kelor ( Moringa oleifera Lamk ) Pada Pembuatan Permen Karamel Dari Susu. Hasnudi, MS) Ketua Program Studi Peternakan.. Tanggal

Hasil uji sensosri menunjukkan bahwa panelis dapat menerima karakteristik sensori mie yang ditambahkan tepung daun kelor adalah pada produk mie basah konsentrasi

Hasil penelitian dari uji kadar protein dan uji organoleptik biskuit tepung terigu dan tepung daun kelor (Moringa oleifera) dengan penambahan jamur tiram (Pleurotus

Berdasarkan hal tersebut penelitian telah dilakukan untuk mengetahui efek suplementasi tepung daun kelor Moringa oleifera dengan penambahan berbagai level terhadap performa produksi

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemanfaatan tepung daun kelor Moringa oleifera dalam ransum terhadap produksi non karkas kelinci New Zealand White NZW

Metode yang digunakan adalah preparasi sampel, ekstraksi, pengukuran kadar vitamin C dalam daun kelor, pembuatan mie basah, uji organoleptik yang meliputi uji tekstur, warna, aroma,