• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS TENTANGPELAKSANAAN PENGELOLAANBENDA SITAAN NEGARA DAN BARANG RAMPASAN NEGARA DI RUMAH PENYIMPANAN BENDA SITAAN NEGARA (RUPBASAN) MAKASSAR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "ANALISIS TENTANGPELAKSANAAN PENGELOLAANBENDA SITAAN NEGARA DAN BARANG RAMPASAN NEGARA DI RUMAH PENYIMPANAN BENDA SITAAN NEGARA (RUPBASAN) MAKASSAR"

Copied!
142
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS TENTANGPELAKSANAAN

PENGELOLAANBENDA SITAAN NEGARA DAN BARANG RAMPASAN NEGARA DI RUMAH PENYIMPANAN BENDA

SITAAN NEGARA (RUPBASAN) MAKASSAR

DI SUSUN OLEH :

RIZKY NOOR KHADAFY 4618101011

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM UNIVERSITAS BOSOWA

TAHUN 2021

(2)
(3)
(4)
(5)

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan Puji dan Syukur Kehadirat Allah SWT atas segala Rahmat dan Karunianya pada penulis, akhirnya penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis yang berjudul “Analisis TentangPelaksanaan PengelolaanBenda Sitaan Negara Dan Barang Rampasan Negara Di Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan) Makassar”

Sholawat dan Salam tak lupa penulis kirimkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa kita dari alam kegalapan menuju kehidupan yang terang benderang seperti sekarang ini. penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Hukum(M.H) di Universitas Bosowa Makassar.

Penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua yaitu Ayahanda Muhammad Natzir,Ibunda Erliyatuti,Ayah Mertua H.

Amir Soi,Ibu Mertua Hj. Rosmini dan Istriku tercinta Nurhayani Amir beserta anak-anakku Raisha Najwa Ghaliza K,Rashafa Ghaisan Abqari K, Kakak,adek serta ponakan atas motivasi, dukungan dan semangat yang selama ini di berikan kepada penulis sehingga penulisan tesis ini dapat terselesaikan dengan baik.

Selanjutnya ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Muhammad Saleh Pallu, M.Eng. sebagai Rektor Universitas Bosowa.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. Batara Surya,M.Si, Sebagai Direktur Pascasarjana Universitas Bosowa.

3. Bapak Dr. Baso Madiong SH,MH. Sebagai Ketua Program Study Magister Ilmu Hukum Universitas Bosowa.

4. Prof. Dr. Marwan Mas, SH.,MH. selaku pembimbing I yang telah mengarahkan dan membimbing penulis selama penyusunan tesisini.

5. Dr. Zulkifli Makkawaru, SH,.MH selaku pembimbing II yang telah mengarahkan dan membimbing penulis selama penyusunan tesisini.

(6)

6. Seluruh dosen Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Bosowa yang telah memberikan Ilmu kepada Penulis.

7. Seluruh Staf Program Pasca Sarjana Universitas Bosowa dan rekan- rekan seperjuangan angkatan 2018 yang telah memberi dukungan kepada penulis.

8. Bapak Arifuddin,Bc.IP SH,MH, selaku Kepala Rupbasan Makassar yang telah memberi izin penelitian dan memberi bimbingan kepada penulis selama melakukan penelitian.

9. Bapak Abd Karim,SPd,MM Selaku Kasubsi Administrasi dan Pemeliharaan yang telah bersedia memberikan Informasi tentang Pemeliharaan demi kelancaran penelitian penulis.

10. Bapak Musliadi,SH selaku Kasubsi Pengelolaan dan pengamanan,Muhammad Ayub,Amd dan teman- teman yang telah memberi dukungan untuk kelancaran penulisan.

11. Terima kasih kepada pihak Kejaksaan terlebih kepada Bapak Agusmurti, SH.MH yang telah bersedia diwawancarai untuk mendukung penyelesaian penelitian penulis

Dengan segala kerendahan hati penulis sampaikan bahwa inilah hasil yang dapat penulis persembahkan sebagai wujud keterbatasan penulis,Semoga tesis ini dapat bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan khususnya bidang Ilmu Hukum tentang Rupbasan,saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan tesis ini sangat diharapkan.

Makassar, Februari 2021

Rizky Noor Khadafy

(7)

Daftar Isi

Halaman Sampul ... i

Halaman Pengesahan ... ii

Kata Pengantar ... iv

Daftar isi ... vi

Abstrak ... viii

Abstrack ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitain ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 6

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA KONSEPTUAL ... 8

A. Landasan Teori ... 8

1. Teori Negara Hukum ... 8

2. Teori Pengawasan ... 11

B. Tinjauan tentang Penyidikan dan Penyidikan Perkara Pidana ... 14

C. Tahap Penyidikan ... 19

D. Tinjauan Tentang Alat Bukti dan Sistem Pembuktian ... 25

E. Tinjauan Tentang Barang Bukti ... 31

F. Tinjauan Tentang Penyitaan Barang... 36

G. Analisis Tentang Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara ... 41

H. Kerangka Pemikiran ... 67

BAB III METODE PENELITIAN ... 69

A. Lokasi Penelitian ... 69

B. Metode Penelitian ... 69

C. Jenis Data ... 69

D. Metode Pengumpulan data ... 70

E. Metode Analisis data ... 71

(8)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASA……… 72

A. Mekanisme Pelaksanaan Pengelolaan Benda Sitaan dan Barang Rampasan Negara di RUPBASAN ... 72

B. Bagaimana Upaya Yang Dilakukan Untuk Menyelesaikan Kendala Yang Terjadi Selama Pelaksanaan Pengelolaan Barang Sitaan Negara dan Barang Rampasan di RUPBASAN ... 115

BAB V PENUTUP ... 125

A. Kesimpulan ... 125

B. Saran ... ..126

DAFTAR PUSTAKA ……….133

(9)

DAFTAR TABEL

No. Tabel Judul Tabel Halaman

1 2

Klasifikasi Peempatan Barang Di Rupbasa Kelas 1 Makassar

Jadwal Pemeliharaan Basan dan Baran di RUPBASAN Makassar

118 130

(10)

ABSTRAK

Rizky Noor Khadafy, Nim : 4618101011, Analisis Tentang Pelaksanaan Pengelolaan Benda Sitaan Negara Dan Barang Rampasan Negara Di Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan) Kelas I Makassar (Dibimbing Oleh Marwan Mas dan Zulkifli Makkawaru)

Tujuan penelitian ini adalah agar memahami mengenai penanganan benda sitaan dan barang rampasan Negara yang dilaksanakan oleh Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara ( RUPBASAN) Kelas I Makassar dan mengetahui apa saja yang dialami serta dan mengetahui upaya penyelesaian setiap masalah yang dialami.

Penelitian bersifat deskriptif dan merupakan Hukum Empiris. Tempat penelitian dilaksanakan di kantor RUPBASAN kelas I Makassar. Hasil penelitian yang di peroleh dari wawancara pihak RUPBASAN dan pihak kejaksaan sedangkan data pendukung lainnya didapatkan dari bahan pustaka termasuk peraturan yang berlaku yang berkaitan dengan data yang sudah didapatkan pada saat pengumpulan data. Teknik analisis data menggunakan model interaktif dengan cara kualitatif menggunakan tiga tahapan yakni tahap mereduksi data, tahap penyajian data dan tahap menarik kesimpulan.

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dan kemudian dianalisis dapat disimpulkan bahwa langkah-langkah Penanganan benda sitaan dan barang rampasan di RUPBASAN Makassar terdiri atas :penerimaan benda sitaan dan barang rampasan, penelitian benda sitaan dan barang rampasan, pendaftaran benda sitaan dan barang rampasan, penyimpanan benda sitaan dan barang rampasan, pemeliharaan benda sitaan dan barang rampasan, pemutasian benda sitaan dan barang rampasan, penyelamatan benda sitaan dan barang rampasan, pengamanan benda sitaan dan barang rampasan, pengeluaran benda sitaan dan barang rampasan, dan penghapusan benda sitaan dan barang rampasan serta pelaporan benda sitaan dan barang rampasan.

Selama pelaksanaan Penanganan Benda Sitaan di RUPBASAN Kelas I Makassar masih terdapat masalah yakni tekendala dalam bidang internal maupun bidang eksternal. Sehingga dibutuhkan usaha penanganan kendala tersebut dalam proses Penanganan Benda Sitaan dan Barang Rampasan Negara di Rupbasan Kelas IMakassar.

Kata Kunci : barang sitaan,barang rampasan,Rupbasan,efektifitas

(11)

ABSTRACT

The purpose of this research is to understand the handling of confiscated objects and spoils of the State carried out by the Class I Makassar State Confiscated Objects Storage House (RUPBASAN) and to know what has been experienced and and to know the efforts to resolve any problems experienced. This research is descriptive and is an empirical law. The research place was conducted in the Class I RUPBASAN office Makassar. The results of the research were obtained from interviews with RUPBASAN and the prosecutor's office while other supporting data were obtained from library materials including applicable regulations relating to data that had been obtained at the time of data collection. The data analysis technique used an interactive model in a qualitative way using three stages, namely the stage of reducing data, the stage of presenting the data and the stage of drawing conclusions.

Based on the results of the research obtained and then analyzed, it can be concluded that the steps for handling seized objects and booty at RUPBASAN Makassar consist of: receiving confiscated objects and booty, researching seized objects and booty, registering confiscated objects and booty, storing seized objects. and booty, maintenance of confiscated objects and booty, mutilation of confiscated objects and booty, salvage of confiscated objects and booty, securing confiscated objects and booty, removing confiscated objects and booty, and eliminating confiscated objects and booty and reporting seized objects and booty.

During the implementation of the Handling of Confiscated Objects at RUPBASAN Class I Makassar there are still problems, namely obstacles in the internal and external fields. So that it takes an effort to deal with these obstacles in the process of handling Confiscated Objects and Confiscated State Goods at Class I Makassar Rupbasan.

Keywords: confiscated goods, booty, Rupbasan, effectiveness

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Ketentuan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 itu menjadi landasan konstitusional bahwa Indonesia adalah Negara yang berlandaskan hukum. Sebagai negara hukum, negara menjamin hak-hak segala warga negara, serta negara mewajibkan kepada seluruh warganya untuk menjunjung tinggi pemerintahan dan hukum yang diterapkan tanpa terkecuali. Setiap warga negara harus berkelakuan sesuai peraturan yang ada, baik peraturan tertulis maupun peraturan tidak tertulis. Sehingga jika nanti timbul permasalahan di masyarakat, hukum dapat menjadi pelarian permasalahan tersebut.

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana dianggap sebagai kodifikasi pertama produk Pemerintahan Nasional. Walaupun hanya satu Peraturan Perundang-undangan, namun undang-undang ini disebut sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). KUHAP bertujuan untuk melindungi Hak Asasi Manusia dan menjamin setiap warga negara bersamaan kedudukannya didepan hukum dan pemerintahan, serta wajib negara bersamaan kedudukannya di depan hukum dan pemerintahan, serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tanpa terkecuali.

Hukum Acara Pidana sebagai salah satu instrumen dalam sistem peradilan pidana yang pada pokoknya memiliki fungsi utama, yaitu :

(13)

1. Mencari dan menemukan kebenaran;

2. Pengambilan keputusan oleh hakim, dan

3. Pelaksanaan daripada putusan yang telah diambil. 1

Dalam pelaksanaannya mengenai Hukum Acara, KUHAP mengatur dan mengizinkan adanya beberapa upaya pemaksaan dalam proses penyidikan yakni penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat.

Berdasarkan Pasal 1 butir 16 dinyatakan :

“Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak terwujud untuk kepentingan pembuktian dan penyidikan, penuntutan, dan peradilan”.2

Dalam kaitan dengan penyitaan, adapun benda-benda yang dapat disita : 1. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagaian

diperoleh dari tindak Pidana atau sebagian hasil dari tindak pidana;

2. Benda yang telah digunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau mempersiapkannya;

3. Benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;

4. Yang dibuat khusus untuk melakukan tindak pidana

5. Dan benda lain yang berhubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan. 3

1R. Subekti dan Tjitrosoedibio, 2003,Kamus Hukum , Pradnya Paramitha, Jakarta. Hal : 53

2Pasal I butir 16 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

3Alahukum, wordpress.com/2013/09/22/masalah-penyitaan, pada tanggal 11 mei 2016 pukul 19.55

(14)

Kelima benda yang dimaksud diatas dapat digunakan dan dikategorikan sebagai alat bukti dan berfungsi dalam proses pemeriksaan suatu perkara pidana, sehingga dalam proses mendapatkan alat bukti dan menyitanya serta menempatkan batang sitaan tersebut diperlukan suatu tempat yang merupakan pusat penyimpanan segala macam barang sitaan.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah mengatur mengenai tempat sentral untuk penyimpanan benda sitaan, hal ini dijelaskan dalam pasal 44 ayat (1) yang berbunyi :

“Benda Sitaan Negara disimpan dalam Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara”. 4

Dengan adanya Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara ini, ditegaskan dalam Pasal 26 Peraturan Pemerintahan No. 27/1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana dan Peraturan Menteri Kehakiman Nomor:

M.05.UM.01.06 tahun 1983 tentangpengelolaan Benda Sitaan dan Barang Rampasan Negara.

Adapun pelaksanaan pengelolaan benda sitaan dan barang rampasan negara diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Nomor : E1.35.PK.03.10 Tahun 2002 Tentang Petunjuk Pelaksanaan dan petunjuk Teknis Pengelolaan Benda Sitaan Negara dan Barang Rampasan Negara.

Rumah pemyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan), adalah tempat benda yang disita oleh negara untuk keperluan proses peradilan. Proses peradilan

4Pasal 44 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

(15)

adalah proses pemeriksaan perkara pada semua tingkatan pemeriksaan yaitu pemeriksaan di tingkat penyidikan, penuntutan dan pengadilan. 5

Berdasarkan Pearturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Nomor 16 Tahun 2014 Tentang Tata cara Pengelolaan Benda Sitaan Negara dan Barang Rampasan Negara pada Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara.Pada Pasal 19

ayat (1) : Dinyatakan bahwa Kepala Rupbasan wajib melakukan pemeliharaan terhadap fisik Basan dan Baran secara rutin dan berkala serta dicatat dalam buku pemeliharaan,

ayat (2): Dinyatakan bahwa standar Pemeliharaan dilakukan sesuaidengan standar yang ditetapkan Direktur Jenderal Pemasyarakatan. 6

Dalam pemeriksaan perkara Pidana banyak sekali penyidik harus melakukan upaya paksa seperti penyitaan benda atau barang dari suatu alat bukti milik tersangka. Tingkat sedikit dalam suatu kasus pidana yang sedang ditangani oleh penyidik banyak barang bukti yang rusak bahkan hilang, hal ini bisa terjadi karena berbagai penyebab, diantaranya kurang baiknya pemeliharaan barang bukti yang dilakukan oleh pihak RUPBASAN dan juga adanya penyalahgunaan barang bukti yang telah disita seperti digunakan untuk kepentingan oknum individu ataupun dijual oleh aparat penegak hukum selain itu juga fungsi pengeluaran dan pemusnahan benda sitaan negara agar benda sitaan negara lebih terjamin dan terjaga dari kerusakan ataupun hilangnya benda sitaan tersebut.

Dari pertimbangan-pertimbangan di atas penulis ingin mengadakan penelitian guna mengetahui secara lebih mendalam mengenai mekanisme

5Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Ham RI 2015, Jakarta. Hal : 1

6Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Nomor 16 Tahun 2014, Pasal 19 Ayat 1,2.

(16)

pelaksanaan pengelolaan benda sitaan negara dan barang rampasan negara di Rupbasan serta untuk mengetahui kendala yang timbul dalam pelaksanaan dan upaya penyelesaiannya agar dalam Pelaksanaan pengelolaan Benda Sitaan Negara dan Barang Rampasan Negara di RUPBASAN dapat berjalan sesuai fungsinya, maka diperlukan suatu kerja sama yang baik dari berbagai instansi yang berkaitan seperti Pengadilan, Kepolisian dan Kejaksaan serta instansi lainnya untuk menyerahkan benda-benda sitaan untuk disimpan di RUPBASAN agar keamanannya dapat terjaga dan terlindungi. Sehingga di dalam penulisan proposal ini penulis mengambil Judul Tentang : “ANALISIS TENTANG PELAKSANAAN PENGELOLAAN BENDA SITAAN NEGARA DAN BARANG RAMPASAN NEGARA DI RUMAH PENYIMPANAN BENDA SITAAN NEGARA (RUPBASAN) MAKASSAR”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana pelaksanaan pengelolaan benda sitaan negara dan barang rampasan Negara di Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara yang dilakukan RUPBASAN) Makassar?

2. Bagaimana upaya yang dilakukan untuk menyelesaikan kendala yang terjadi selama pelaksanaan pengelolaan barang sitaan Negara dan barang rampasan di RUPBASAN Makassar?

C. Tujuan Penelitian

(17)

Adapun tujuan yang akan di capai dan diperlukan penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui lebih dalam mengenai pengelolaan benda sitaan yang dilakukan oleh Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (RUPBASAN) Makassar.

b. Untuk mengetahui kendala apa saja yang dialami oleh RUPBASAN Makassar.

D. Manfaat Penelitian

Selain dari tujuan diata terdapat juga manfaat yang akan dicapai dalam penelitian tersebut yaitu sebagai berikut :

a. Melatih Teoritis

1) Melatih kemampuan penulis dalam melakukan penelitian baik secara observasi literatur maupun observasi lapangan dengan di dukung wawasan yang didapat.

2) Dapat menerapkan teori-teori dan mengkorelasikan dengan kejadian- kejadian dilapangan selama penelitian berlangsung.

b. Manfaat Praktis

1) Diharapkan dapat menjadi sebuah pertimbangan bagi pihak RUPBASAN Makassar dalam pengelolaan benda sitaan sesuai dengan peraturan yang berlaku.

2) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran, baik bagi para praktisi maupun masyarakat umum yang

(18)

ingin mengetahui tentang pengelolaan benda sitaan di RUPBASAN Makassar

(19)

BAB II

KAJIAN TEORI DAN KERANGKA KONSEPTUAL

A. Landasan Teori 1. Teori Negara Hukum

Perkembangan teori negara hukum merupakan produk sejarah, disebabkan rumusan atau pengertian negara hukum berkembang telah mengikuti perkembangan umat manusia. Secara sederhana negara hukum dapat diartikan sebagai negara yang didasarkan pada hukum. Artinya kekuasaan negara tersebut didasarkan dan dibatasi oleh hukum. Kekuasaan itu didasari oleh rakyatnya karena dilandasi hukum. 7

Pengertian Indonesia sebagai negara hukum dapat dikaji dalam penjelasan UUD RI 1945, dalam perubahan UUD 1945 Pasal 1 ayat (3), berbunyi “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Konsekuensi ketentuan ini adalah bahwa setiap sikap, kebijakan dan perilaku alat Negara dan penduduk harus berdasarkan dan sesuai dengan hukum. Sekaligus ketentuan ini untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan dan arogansi kekuasaan, baik yang dilakukan oleh alat negara ataupun penduduk. 8

Dalam kepustakaan Indonesia, istilah negara hukum merupakan terjemahan langsung dari Rechtsstaat. Di zaman modern konsep negara hukum di negara Eropa Kontinental dikembangkan oleh antara lain Immanuel

7Idrus Affandi, 1998,Tata Negara, Jakarta, PT. Balai Pustaka (Persero). Hal :82

8Ni’matul Huda, 2007, Lembaga Negara Dalam Masa Transisi Demokrasi, Yogyakarta, UII Press,. Hal: 61-62.

(20)

Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu “Rechtsstaat”. 9

Sedangkan dalam tradisi. Anglo Amerika, Konsep Negara Hukum dikembangkan oleh A.V. Dicey dengan sebutan “The Rule Of Law”. Menurut Julius Stahl, konsep negara hukum yang disebutkannya dengan istilah

“Rechtsstaat” itu mencakup empat elemen penting, yaitu : 10 1. Perlindungan Hak Asasi Manusia

2. Pembagian Kekuasaan

3. Pemerintahan Berdasarkan Undang-Undang 4. Peradilan Tata Usaha Negara.

Ciri-ciri di atas menunjukkan bahwa ide sentral rechtsstaat adalah pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia yang bertumpu atas prinsip kebebasan dan persamaan. Adanya Undang-Undang Dasar akan memberikan jaminan konstitusional terhadap asas kebebasan dan persamaan.

Adanya pembagian kekuasaan untuk menghindari penumpukan kekuasaan dalam satu tangan yang sangat cenderung pada penyalahgunaan kekuasaan yang berarti pemerkosaan terhadap kebebasan dan persamaan. 11

Sedangkan A.V.Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap Negara Hukum yang disebutkannya dengan istilah “The Rule Of Law”, yaitu : 12

9Padmo Wahjono, 2019,Ilmu Negara Suatu Sidtematik, Sinar Grafika.. Hal: 30.

10Ibid.

11Ibid.

12Ibid. Hal : 72

(21)

1. Supremacy of Law, supremasi hukum untuk menentang pengaruh dari arbitrary power dan meniadakan kesewenangan-wenangan, prerogatif atau discretionary authority yang luas dari pemerintah.

2. Equaliaty before the law, persamaan di hadapan hukum atau penundukan yang sama dari semua golongan kepada ordinary law of the land yang dilaksanakan oleh ordinary court; ini berarti bahwa tidak ada orang yang berada diatas hukum; tidak ada peradilan administrasi Negara.

3. Due Process of Law, melalui proses hukum; ini berarti setiap yang dirumuskan dan ditegaskan dalam konstitusi merupakan konsekuensi dari hak-hak individu untuk menjamin kepastian hukum.

Keempat prinsip “rechtsstaat” yang dikembangkan oleh Julius Stahl tersebut di atas pada pokoknya dapat digabungkan dengan ketiga prinsip

“Rule of Law” yang dikembangkan oleh A.V.Dicey untuk menandai ciri-ciri Negara Hukum modern di zaman sekarang. 13

Dalam paham Negara hukum yang demikian, harus di buat jaminan bahwa hukum itu sendiri dibangun dan ditegakkan menurut prinsip-prinsip demokrasi. Oleh karena itu, prinsip supremasi hukum dan kedaulatan hukum itu sendiri, pada dasarnya berasal dari kedaulatan rakyat (demokratishe rechsstaat). Hukum tidak boleh dibuat, ditetapkan, ditafsirkan, dan

ditegakkan berdasarkan kekuasaan belaka (machtsstaat). Prinsip Negara hukum tidak boleh ditegakkan dengan mengebaikan prinsip demokrasi yang diatur dalam Undang-Undang Dasar. Oleh karena itu, perlu ditegaskan pula

13Ibid.

(22)

bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat yang diberlakuakn menurut Undang-Undang Dasar yang diimbangi penegasan Indonesia adalah Negara hukum yang berkedaulatan atau demokrasi. 14

2. Teori Pengawasan

Agar pelaksanaan pengelolaan benda sitaan dapat berjalan dengan baik dan sesuai peraturan yang berlaku, tentu saja tidak semudah yang direncanakan. Lebih dari itu, dalam pengelolaannya tentu memerlukan sebuah pengawasan. Penjelasan lebih detail tentang pengawasan dapat dilihat dari pendapat Arifin Abdul Rahman bahwa maksud dari pengawasan itu adalah : 15 1. Untuk mengetahui apakah segala sesuatu berjalan sesuai dengan rencana

yang telah ditetapkan.

2. Untuk mengetahui apakah segala sesuatu telah berjalan sesuai prinsip- prinsip yang telah ditetapkan.

3. Untuk mengetahui apakah kelemahan-kelemahan serta kesulitan-kesulitan dan kegagalan-kegagalannya, sehingga dapat diadakan perubahan untuk memperbaiki serta mencegah pengulangan kegiatan yang salah.

4. Untuk mengetahui apakah segala sesuatu berjalan efisien dan apakah tidak dapat diadakan perbaikan-perbaikan lebih lanjut sehingga mendapat efisien yang lebih benar.

Dengan pengawasan dapat diketahui sampai dimana penyimpangan, penyalahgunaan, kebocoran, pemborosan, penyelewengan,

14Jimly Asshiddiqie, 2016, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta, Fakuktas Universitas Indonesia. Hal : 57.

15Vivtor M Situmorang dan jusuf juhrif, 1995, Aspek Hukum Pengawasan Melekat, Jakarta, PT.

Rineka Cipta. Hal : 23.

(23)

dan lain-lain kendala di masa yang akan datang. Jadi keseluruhan dari pengawasan adalah kegiatan membandingkan apa yang sedang atau sudah dikerjakan dengan apa yang direncanakan sebelumnya, karena itu perlu kriteria, norma, standar dan ukuran tentang hasil yang ingin dicapai. 16

Dari pengertian pengawasan ditas, terdapat hubungan yang erat antara pengawasan dan perencanaan, karena pengawasan dianggap sebagai aktivitas untuk menemukan, mengoreksi penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan dan hasil yang dicapai dari aktivitas-aktivitas yang direncanakan. Dalam hubungan ini, Harold Koontz dan Cyriel P. Donel berpendapat bahwa perencanaan dan pengawasan merupakan dua sisi mata uang yang sama.

Dengan demikian jelas bahwa tanpa rencana, maka pengawasan tidak mungkin dapat dilaksanakan, karena tidak ada pedoman atau petunjuk untuk melakukan pengawasan itu. Rencana tanpa pengawasan akan cenderung memberi peluang timbulnya penyimpangan- penyimpangan, penyelewengan dan kebocoran tanpa ada alat untuk mencegah, oleh karena itu diperlukan adanya pengawasan.

Pengawasan merupakan salah satu fungsi manajemen yang sangat penting, sehingga berbagai ahli manajemen dalam memberikan pendapatnya tentang fungsi manajemen selalu menempatkan unsur pengawasan sebagai fungsi yang penting. 17Kasus-kasus yang terjadi dalam banyak bidang adalah tidak diselesaikannya suatu penugasan, tidak

16Rahardjo Adisasmita, 2011, Pengelolaan Pendapatan & Anggaran Daerah, Penerbit : Graha Ilmu, Yogyakarta.

17Ibid.

(24)

ditepatinya waktu dalam penyelesaian suatau anggaran yang berlebihan dan kegiatan-kegiatan lain yang menyimpang dari rencana.

Untuk menjaga dan memelihara benda-benda yang disita, maka bendatersebut harus dijaga dan dikoordinasikan dengan baik dalam hal penyimpangan. Hal ini berarti bahwa harus ada semacam tempat atau lembaga resmi yang merupakan fasilitas dalam menjaga dan memelihara keamanan benda atau barang yang disita. Sesuai dengan isi dari pasal 44 KUHAP yang menyatakan bahwa :

1) Benda sitaan disimpan dalam rumah penyimpangan benda sitaan negara.

2) Penyimpangan benda sitaan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan tanggungjawab atasnya ada pada pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan dan benda tersebut dilarang untuk dipergunakan oleh siapapun juga.

Pasal 44 KUHAP ayat (1) menyatakan bahwa tidak ada tempat lain untuk menyimpan dan mengelola benda sitaan dengan baik kecuali di Rumah penyimpanan Benda Sitaan. Sedangkan dalam Pasal 44 KUHAP ayat (2) menyatakan bahwa benda sitaan yang telah diletakkan di dalam RUPBASAN haruslah dirawat dan dikelola dengan sebaik-baiknya, tujuannya tidak lain untuk menghindari penyalahgunaan atau penyelewengan wewenang dan jabatan.

Realita di lapangan yang muncul adalah banyak sekali pejabat yang dengan wewenangnya dapat menguasai bahkan menikmati benda sitaan yang ada di dalam RUPBASAN. Oleh karena itu banyak sekali benda sitaan yang rusak bahkan hilang tanpa jelek, benda sitaan tadi ada yang veralih menjadi milik

(25)

pejabat pribadi ada pula yang sudah rusak dan tak layak pakai. Atas alasan tersebut, KUHAP memberi catatan penting agar tidak ada penyelewengan lagi.

Begitu pentingnya pengawasan dalam suatu RUPBASAN sehingga keberhasilan atau kinerja suatu RUPBASAN menjadi ukuran, sampai dimana pelaksanaan pengawasan terhadap RUPBASAN tersebut. Bahkan dalam praktek manajemen modern pengawasan tidak dapat lagi dipisahkan dengan fungsi-fungsi manajemen lainnya.

Fungsi Pengawasan adalah untuk mencegah sekecil dan sendiri mungkin terjadinya suatu penyimpangan dalam pelaksanaan suatu pekerjaan atau tugas.

Persoalannya tanpa pengawasan, proses pelaksanaan suatu pekerjaan atau tugas bisa saja menyimpang atau bertentangan dari prosedur dan ketentuan yang berlaku.18

Adapun fungsi pengawasan untuk pengelolaan benda sitaan adalah : 1. Untuk menegakkan integritas dan pengelolaan benda sitaan.

2. Memastikan pengelola danpengelolaan benda sitaan dapat berjalan dengan baik, sesuai dan tertib akan peraturan yang terkait.

Dari uraian diatas sangatlah jelas bahwa pengawasan yang dilakukan tidak hanya dimaksudkan untuk menjamin keadilan, kebenaran dan penegakan hak asasi manusia bagi masyarakat, akan tetapi juga untuk menciptakan sebuah ketaatan dan kedisiplinan dalam kinerja.

B. Tinjauan tentang penyedikan dan penyidikan Perkara Pidana a) Penyidikan Perkara Pidana

18http://tesisdesertasi.blogpot.com/2010/08/pengertian-pengawasan.html. Akses pada tanggal 23 mei 2016 Pukul 12.33 WIB

(26)

Pinyedikan berarti serangkaian tindakan mencari dan menemukan sesuatu keadaan atau peristiwa yang berhubungan dengan kejahatan dan pelanggaran tindak pidana atau yang diduga sebagai perbuatan tindak pidana. Pencarian dan usaha menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana, bermaksud untuk menentukan sikap pejabat penyelidik, apakah peristiwa yang ditemukan dapat dilakukan “penyidikan” atau tidak sesuai dengan cara yang diatur oleh KUHAP (Pasal 1 butir 5).

Dari penjelasan diatas, “penyidikan” merupakan tindakan tahap pertama permulaan pentidikan, penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi penyidikan. Penyelidikan merupakan bagian yang tak terpisah dari fungsi penyidikan. Penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan yang berupa penangkapan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum.

Jadi, sebelum dilakukan penyidikan, dilakukan terlebih dahulu penyidikan oleh pejabat penyelidik, dengan maksud dan tujuan mengumpulkan “bukti permulaan” atau “bukti yang cukup” agar dapat dilakukan lanjut penyidikan.19

Jika diperhatikan dengan seksama, motivasi dan tujuan penyedikan, merupakan tuntutan dan tanggung jawab kepada aparat penyidik, untuk tidak melakukan tindakan penegakan hukum yang merendahkan harkat martabat manusia. Sebelum melangkah melakukan pemeriksaan penyidikan

19Martiman Prodjohamidjojo, 1998, Penyelidikan dan Penyidikan, Ghalia Indonesia, Jakarta. Hal : 45.

(27)

seperti penangkapan atau penahanan, harus lebih dulu berusaha mengumpulkan fakta dan bukti, sebagai landasan lanjut penyidikan.

Tuntutan dan tanggung jawab moral yang demikian sekaligus menjadi peringatan bagi aparat penyidik untuk bertindak hati-hati. Sebab kalau kurang hati-hati melakukan penyidikan, bisa terjadi akibat yang fatal pada tingkat penyidikan yang akan menyeret tindakan penangkapan dan penahanan yang dilakukan ke muka sidang “Praperadilan”.

Karena sebagaimana digariskan KUHAP, memberi hak kepada tersangka/terdakwa menuntut ganti rugi dan rehabilitas atas tindakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan yang berlawanan dengan hukum. Kalau begitu sangat beralasan untuk tidak melanjutkan penyidikan ke tingkat penyidikan, jika fakta dan bukti belum memadai di tangan penyidik.

Lebih baik kegiatan itu dihentikan atau masih tetap dibatasi pada usaha-usaha mencari dan menemukan kelengkapan fakta, keterangan, dan barang bukti agar memadai untuk lanjutkan penyidikan.20

Siapa berwenang melakukan penyidikan diatur dalam Pasal 1 butir 4 KUHAP, penyidikan adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang diberi wewenangan oleh undang-undang ini untuk melakukan penyidikan.

Selanjutnya sesuai dengan Pasal 4 KUHAP, yang berwenang melaksanakan fungsi penyelidikan adalah “setiap pejabat Polisi Negara Republik

20Andi Hamzah, 2002, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika.

(28)

Indonesia”. Tegasnya : penyelidik adalah setiap pejabat Polri. Jaksa atau pejabat lain tidak berwenang melakukan penyidikan. 21

Dari penegasan bunyi Pasal 4 KUHAP, dijernihkan aparat yang berfungsi dan berwenang melalukan penyelidikan, hanya pejabat Polri, tidak dibenarkan adanya campur tangan dari instansi atau pejabat lain.

1) Fungsi dan Wewenang penyidik

Fungsi dan wewenang penyidik meliputi ketentuan yang disebut pada Pasal 5 KUHAP, yang dapat dipisahkan ditinjau dari beberapa segi a) Fungsi dan Wewenang Berdasarkan Hukum

Ini diatur pada Pasal 5 KUHAP, berdasar ketentuan ini fungsi dan wewenang aparat penyelidik :

1. Menerima Laporan atau Pengaduan 2. Mencari Keterangan dan Barang Bukti 3. Tindakan Lain Menurut Hukum b) Kewenangan Berdasar Perintah Penyidik

Kewajiban dan wewenang ini bersumber dari “perintah” penyidik yang dilimpahkan kepada penyelidik. Tindakan dan kewenangan Undang-Undang melalui penyelidik dalam hal ini, lebih tepat merupakan tindakan “melaksanakan perintah” penyidik, berupa : 1. Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan,

dan penyitaan;

2. Pemeriksaan dan penyitaan surat ;

21Yahya Harahap, 2000, Pembahasan, Permasalahan dan penerapan KUHAP Edisi Kedua (Penyidikan dan Penuntutan), jakarta, Sinar Grafika. Hal : 103

(29)

3. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;

4. Membawa dan menghadapkan seseorang pada penyidik.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 102 ayat (2) KUHAP, dalam hal tertangkap tangan, penyelidik dapat bertindak melakukan segera apa yang disebut dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b tanpa mendapat perintah dari pejabat penyidik. Hal ini logis dan realistis, demi untuk segera dapat menangani dengan baik dan sempurna tugas penyelidikan. Pemberian wewenang yang demikian pada keadaan tertangkap tangan, efektif, dan efisien. 22

c) Kewajiban Berdasarkan Perintah Penyidik

Kewajiban dan wewenang ini bersumber dari “perintah” penyidik yang dilimpahkan kepada penyelidik. Tindakan dan kewenangan Undang-Undang melalui penyidikan dalam hal ini, lebih tepat merupakan tindakan “melaksanakan perintah” penyidik, berupa : 1. Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan,

dan penyitaan;

2. Pemeriksaan dan penyitaan surat;

3. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;

4. Membawa dan mengadakan seseorang pada penyidik.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 102 ayat (2) KUHAP, dalam hal tertangkap tangan, penyelidik dapat bertindak melakukan segera apa yang disebut dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b tanpa mendapat

22M.Yahya Harahap. Ibid.Hal:108.

(30)

perintah dari pejabat penyidik. Hal ini logis dan realistis, demi untuk segera dapat menangani dengan baik dan sempurna tugas penyelidikan. Pemberian wewenang yang demikian pada keadaan tertanggap tangan, efektif, dan efisien. 23

d) Kewajiban Penyelidik Membuat dan Menyampaikan Laporan Penyelidik wajib menyampaikan hasil pelaksanaan tindakan sepanjang yang menyangkut tindakan yang disebut pada Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b. Pengertian laporan hasil pelaksanaan tindakan penyelidikan, harus merupakan “laporan tertulis”. Jadi disamping adanya laporan lisan, harus diikuti laporan tertulis demi untuk adanya pertanggungjawabkan dan pembinaan pengawasan terhadap penyelidik, sehingga apa saja pun yang dilakukan penyelidik tertera dalam laporan tersebut. 24

C. Tahap Penyidikan

a) Kapan Penyelidikan Dimulai

Menurut KUHAP, penyelidikan diintrodusir dengan motivasi perlindungan hak asasi manusia dan pembatasan ketat terhadap penggunaan upaya paksa, dimana upaya paksa baru digunakan sebagai tindakan yang terpaksa dilakukan, penyidikan mendahului tindakan-tindakan lain yaitu untuk menetukan apakah suatu peristiwa yang diduga tindak pidana dapat dilakukan penyidikan atau tidak. Dengan demikian , penggunaan upaya

23M.Yahya Harahap, 2014, Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika, Jakarta .Hal : 107-`108.

24Ibid. Hal : 108.

(31)

paksa dapat dibatasi hanya dalam keadaan terpaksa demi kepentingan yang lebih luas.25

Adapun hal yang perlu diperhatikan untuk memulai melakukan penyelidikan didasarkan pada hasil penilaian terhadap informasi dan data- data yang diperoleh.

Sedangkan informasi atau data-data yang diperlukan untuk melakukan penyelidikan dapat diperoleh melalui :

1. Sumber – sumber tertentu yang dapat dipercaya

2. Adanaya laporan langsung kepada penyidik dari orang yang mengetahui telah terjadi suatu tindak pidana

3. Hasil berita acara yang dibuat oleh penyelidik.

Sumber-sumber informasi yang dapat dipergunakan sangat banyak, sumber tersebut dapat berupa orang, tulisan dalam mas media, instansi/perusahaan dan sebagainya.

Laporan langsung yang diterima dari orang yang mengetahui terjadinya suatu tindak pidana dapat berupa laporan tertulis dan dapat juga berupa laporan lisan yang oleh penyelidik yang menerima laporan dituangkan dalam Berita Acara Penerimaan Laporan.26

b) Tujuan Penyelidikan

Adapun tujuan daripada penyelidikan adalah untuk mendapatkan atau mengumpulkan keterangan, bukti atau data-data yang akan digunakan untuk:

25Moch. Faisal Salam, 2001, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Jakarta, Sinar Grafika. Hal : 31.

26Anton.M.Moeliono, 2008, Hukum Acara Pidana, Jakarta, Perusahaan Umum Balai Pustaka.

(32)

1. Menentukan apakah suatu peristiwa yang terjadi merupakan suatu tindak pidana atau bukan.

2. Siapa yang dapat dipertanggung jawabkan (secara pidana) terhadap tindak pidana tersebut.

3. Merupakan persiapan untuk melakukan penindakan.

Untuk mengadakan penyidikan maka penyelidik maka penyelidik harus mempunyai pengetahuan tentang unsur-unsur suatu tindak pidana dan siapa pelakuinya. Bila penyelidikan kurang menguasainya, maka arah penyelidikan menjadi kurang terarah dan tidak menentu yang memungkinkan untuk menghasilakan suatu kesimpulan yang keliru.

Hasil dari penyidikan yang baik, akan dapat dipergunakan untuk persiapan pelaksanaan penindakan, yaitu dengan pengertian bahwa apabila penyelidikan telah selesai, maka penyidik telah mempunyai gambaran tentang calon tersangka yang perlu diperiksa dan/atau ditangkap, ditahan, saksi-saksi yang perlu dipanggil, tempat-tempat yang perlu digeledah, barang bukti yang diamankan atau sita.

c) Sasaran Penyelidikan

Berdasarkan uraian diatas maka dapat ditentukan sasaran penyelidikan yaitu:

1. Orang yang telah melakukan tindak pidana

2. Benda/barang/surat yang dipergunakan untuk mengadakan penyidikan maupun untuk barang bukti dalam sidang pengadilan.

3. Tempat/bangunan/alat angkut dimana suatu kejahatan telah dilakukan.

(33)

d) Cara Penyelidikan

Untuk melakukan penyelidikan dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut yaitu :

1. Dengan melakukan penyelidikan secara terbuka.

Penyelidikan dilakukan dengan cara terbuka apabila keterangan- keterangan/ data-data atau bukti-bukti yang diperlukan mudah untuk mendapatkan dan dengan cara tersebut dianggap tidak akan mengganggu dan menghambat proses penyelidikan selanjutnya.

2. Dengan melakukan penyelidikan secara tertutup

Apabila penyelidikan dilakukan secara tertutup, penyelidikan harus dapat menghindari diri dari tindakan-tindakan yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Undang-Undang. Untuk mengadakan penyelidikan secara tertutup maka penyidik terlebih dahulu menguasai teknik penyelidik secara tertutup itu.

e) Penyelidik

Agar tujuan dapat dicapai sesuai dengan rencana, maka sebelum melakukan kegiatan penyelidikan, terlebih dahulu disusun suatu rencana penyelidikan. Semua kegiatan selanjutnya harus mengacu kepada rencana yang telah disusun tersebut agar terarah dan terkendali denganbaik

Di dalam KUHAP tidak diperinci tentang penyusunan rencana penyelidikan yang berbentuk pola dari suatu rencana penyelidikan. Untuk itu dalam rangka mengadakan penyelidikan, rencana penyedikan dapat

(34)

menggunakan sistem yang dipergunakan dalam dunia intellijen dengan penesuaian seperlunya. Rencana penyelidikan tersebut adalah : 27

1. Sumber informasi yang perlu dihubungi (orang, instansi, badan, tempat dll)

2. Informasi atau alat bukti apa yang dibutuhkan dari sumber tersebut ( yang bermanfaat untuk pembuktian tindak Pinada).

3. Cara memperoleh informasi atau alat bukti tersebut (terbuka, tertutup, wawanvara, introgasi, pemotretan dan sebagainya).

4. Petugas Pelaksanaan.

5. Batas waktu kegiatan.

f) Laporan Hasil Penyelidikan

Setelah penyelidikan selesai dilakukan, penyedik mengolah data- data yang telah terkumpul dan berdasarkan hasil pengolahan tersebut, disusun suatu laporan hasil penyelidikan dimana laporan tersebut memuat : 1. Sumber data/keterangan;

2. Data/keterangan apa yang diperoleh dari setiap sumber tersebut;

3. Barang bukti;

4. Analisa;

5. Kesimpulan tentang benar tidaknya telah terjadi tindak pidana dan siapa pelakunya;

6. Saran tentang tindakan-tindakan apa yang perlu dilakukan dalam tahap penyidikan selanjutnya.

27Moch.Faisal Salam, 2001, Hukum Acara Pidana Dalam Teori Dan Praktek, Jakarta, Sinar Grafika. Hal : 35.

(35)

g) Penyidikan Perkara Pidana

Penyidik adalah pejabat Polri atau pejabat Pegawai Negeri “tertentu”

yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang KUHAP memberikan definisi penyidikan sebagai berikut :

“Serangkaian tindakan penyidikan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang Tindak Pinada yang terjadi dan guna menemukan tersangkahnya”.

Pengetahuan dan pengertian Penyidik perlu dinyatakan dengan pasti dan jelas, karena hal itu langsung menyinggung dan membatasi hak-hak asasi Manusia. Bagian-bagian hukum Acara Pidana yang menyangkut penyidikan adalah sebagai berikut :

1. Ketentuan tentang alat-alat berikut;

2. Ketentuan tentang diketahuinya terjadinya delik;

3. Pemeriksaan ditempat kejadian;

4. Pemanggilan tersangka atau terdakwa;

5. Penahanan Sementara.

6. Penggeledahan;

7. Pemeriksaan atau interogasi;

8. Berita Acara (penggeledahan,interogasi, dan pemeriksaan ditempat) 9. Penyitaan;

10. Penyampingan Perkara;

(36)

11. Pelimpahan perkara kepada Penuntut Umum dan pengembaliannya kepada penyidik untuk disempurnakan.

D. Tinjauan Tentang Alat Bukti dan Sistem Pembuktian a. Alat Bukti

Alat bukti adalah suatu hal (barang atau non barang) yang ditentukan olehUndang-Undang yang dapat dipergunakan untuk memperkuat dakwaan, tuntutan atau gugatan.28

Alat-alat bukti dan kekuatan pembuktian dalam KUHAP masih tetap sama dengan yang tercantum dalam HIR yang pada dasarnya sama dengan ketentuan dalam Ned. Strafvordering yang mirip pula dengan alat bukti di negara-negara Eropa Kontinental.29

Menurut Pasal 184 KUHAP, alat-alat bukti ialah : 1) Keterangan Saksi

Pada umumnya semua orang dapat menjadi saksi. Kekecualian menjadi saksi tercantum dalam Pasal 186 KUHAP berikut :30

a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama- sama sebagai terdakwa;

b. Saudarah dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudarah ibu atau saudarah bapak, juga mereka yang

28Bambang Waluyo, 1998, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta. Sinar Grafika.

29Andi Hamzah, 2018, Hukum Acara Pidana Indonesia edisi kedua, Jakarta. Sianr Grafika. Hal : 254

30Ibid:256.

(37)

mempunyai hubungan karena perkawinan, dan anak-anak saudarah terdakwa sampai derajat ketiga;

c. Suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.

Ditentukan oleh Pasal 170 KUHAP bahwa mereka yang karena pekerjaan, harkat, martabat, atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat meminta dibebaskan dari kewajiban memberi keterangan sebagai saksi.

Bahwa jika tidak ada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang jabatan atau pekerjaan yang dimaksud, maka seperti ditentukan oleh ayat ini, hakim yang menentukan sah atau tidaknya alasan yang dikemukan untuk mendapatkan kebebasan tersebut.

Karena Pasal 170 KUHAP yang mengatur tentang hal tersebut diatas mengatakan “dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberikan keterangan sebagai saksi” maka berarti jika mereka bersedia menjadi saksi karena harus menyimpan rahasia jabatan atau karena martabatnya merupakan kekecualian relatif.31

Dalam hal kewajiban saksi mengucapkan sumpah atau janji, KUHAP masih mengikuti peraturan lama (HIR), dimana ditentukan bahwa pengucapan sumpah merupakan syarat mutlak suatu kesaksian sebagai alat bukti.

31Andi Hamzah, 2014, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika. Hal: 258.

(38)

Dalam Pasal 160 ayat (3) KUHAP dikatakan bahwa sebelumnya memberikan keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain dari sebenarnya.

Pengucapan sumpah itu merupakan syarat mutlak, dapat dibaca dalam Pasal 161 ayat (1) dan (2) KUHAP sebagai berikut :

“dalam hal saksi atau ahli tanpa alasana yang sah menolak untuk bersumpah atau berjanji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 160 ayat (3) dan ayat (4), maka pemeriksaan terhadapnya tetap dilakukan, sedang ia dengan surat penetapan hakim ketua sidang dapat dikenakan sandera dutempat rumah tahanan Negara paling lama empat belas hari”.

Penjelasan Pasal 161 ayat (2) tersebut menunjukkan bahwa pengucapan sumpah merupakan syarat mutlak.

“keterangan Saksi atau ahli yang tidak disumpah atau mengucapkan janji, tidak dapat dianggap sebagai alat bukti yang sah, tetapi hanyalah merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim”.32

Dalam Pasal 185 ayat (5) KUHAP dinyatakan bahwa baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi. Di dalam penjelasan Pasal 185 ayat (1) dikatakan : “ dalam keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari orang lain atau testimonium de auditu”

32Andi Hamzah, ibid. Hal : 259.

(39)

b. Sistem Pembuktian

pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting Acara Pidana. Dalam hal ini pun Hak Asasi Manusia dipertaruhkan. Bagaimana akibatnya seseorang yang didakwa berdasarkan alat bukti yang ada disertai keyakinan hakim, padahal tidak benar. Untuk inilah maka hukum Acara Pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materi, berbeda dengan hukum acara perdata yang cukup puas dengan kebenaran formal.

Dalam menilai kekuatan pembuktian alat-alat bukti yang ada, dikenal beberapa sistem atau teori pembuktian, diantaranya adalah sebagai berikut :

1) Sistem Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Positig Pembuktian yang didasarkan melalui kepada alat-alat pembuktian yang disebut Undang-Undang, disebut sistem pembuktian berdasar Undang-Undang secara Positif (Positief wettelijk bewijstheorie).

Dikatakan secara Positif, karena hanya didasarkan kepada Undang- Undang melalui. Artinya jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut oleh Undang-Undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Sistem ini disebut juga Teori pembuktian formal (formele bewijstheorie).Sistem atau Teori Pembuktian berdasarkan Undang-undang secara Positif ini berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subyektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut Peraturan-peraturan pembuktian

(40)

yang keras. Dianut di Eropa pada waktu berlakuknya asas inkisitor (inquisitoor) dalam Acara Pidana. 33Teori pembuktian ini sekarang tidak mendapat penganut lagi. Teori ini terlalu banyak mengandalkan kekuatan pembuktian yang disebut Undang-undang.

2) Sistem Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hukum Melulu

Disadari bahwa alat bukti berupa pengakuan terdakwa sendiri pun tidak selalu membuktikan kebenaran. Pengakuan pun kadang tidak menjamin terdakwa benar-benar telah melakunan perbuatan yang didakwakan. Oleh karena itu, diperlukan bagaimanapun juga keyakinan hakim sendiri

Bertolak pangkal dari pemikiran itulah, maka teori berdasarkan keyakinan hakim melulu yang didasarkan keyakinan hati nuraninya sendiri ditetapkan bahwa terdakwa telah melakukan putusan didakwakan. Dengan sistem ini, pemidanaan dimungkinkan didasarkan kepada alat-alat bukti dalam Undang-undang

3) Sistem Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Atas Alasan Yang Logis.

Menurut Teori ini, hakim dapat memutus seseorang bersalah berdasar keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Jadi putusan hakim dijatuhkan dengan suatu motivasi.Sistem ini

33Andi Hamzah. Ibid. Hal : 247

(41)

berpangkal tolak pada keyakinan hakim, tetapi keyakinan itu harus didasarkan kepada suatu kesimpulan (conclusie) yang logis,yang tidak didasarkan kepada Undang-Undang, tetapi menurut pilihannya sendiri tentang pelaksanaan pembuktian mana yang ia pergunakan.

4) Sistem Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Negarif.

KUHAP menganut sistem atau teori pembuktian berdasarkan Undang- Undang Negatif (negatif wettelijk). Hal tersebut dapat disimpulkan dari Pasal 183 KUHAP, yang berbunyi sebagai berikut :

“Hakim tidak boleh menjatuhkan Pidana kepada seorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak Pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

Dari kalimat tersebut nyata bahwa pembuktian harus didasarkan kepada Undang-Undang (KUHAP), yaitu alat bukti yang sah tersebut dalam Pasal 184 KUHAP, disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti tersebut.Sebenarnya sebelum diberlakukannya KUHAP, ketentuan yang sama telah ditetapkan dalam Undang-Undang Pokok tentang Kekuasaan Kehakiman (UUPKK) Pasal 6 yang berbunyi sebagai berikut :

“Tiada seorang Pun dapat dijatuhi Pidana, kecuali apabila Pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut Undang-Undang mendapat keyakinan, bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya”.

(42)

Kelemahan rumus Undang-Undang ini ialah disebut alat Pembuktian bukan alat-alat Pembuktian, atau seperti dalam Pasal 183 KUHAP disebut dua alat bukti.Dalam sistem atau Teori pembuktian yang berdasar Undang-Undang secara Negatif ini, pemindahan berdasarkan kepada pembuktian berganda, yaitu pada peraturan Undang-Undang dan pada keyakinan hakim, dan menurut Undang- undang, dasar keyakinan hakim itu bersumberkan pada peraturan Undang-undang.34

E. Tinjauan Tentang Barang Bukti a. Pengertian Barang Bukti

Penanganan perkara pidana mulai dilakukan oleh penyidik setelah menerima laporan atau pengaduan dari masyarakat ataupun diketahui sendiri tentang terjadinya tindak pidana, kemudian dituntut oleh Penuntut umum terhadap terdakwa terbukti atau tidak.

Bagian yang paling penting dalam proses perkara pidana adalah mengenai persoalan pembuktian, karena dari jawaban soal inilah tergantung apakah tertuduh akan dinyatakan bersalah atau dibebaskan. 35

Untuk kepentingan pembuktian tersebut maka keberadaan benda- benda yang tersangkut dalam suatu tindak pidana, sangat diperlukan. Benda- benda tersebut lazim dikenal dengan istilah “Barang Bukti”.

Barang Bukti atau corpus delicti adalah barang bukti kejahatan, meskipun barang bukti itu mempunyai peranan yang sangat penting dalam

34Andi Hamzah. Ibid.Hal :252.

35Ratna Nurul Afiah, 2018, Barang Bukti Dalam Proses Pidana, Jakarta, Sinar Grafika. Hal : 14.

(43)

proses pidana, namun apabila kita simak dan kita perhatikan satu persatu peraturan perundang-undangan maupun pelaksanannya, tidak ada satu pasalpun yang memberikan definisi atau pengertian mengenai barang bukti.36

Sebagai patokan dapat kita ambil pengertian barang bukti menurut Andi Hamzah dalam bukunya yang berjudul Kamus Hukum sebagai berikut :

“istilah barang bukti dalam perkara pidana yaitu barang mengenai mana delik dilakukan (objek delik) dan barang dengan mana delik dilakukan yaitu alat yang dipakai untuk melakukan delik misalnya pisau yang dipakai untuk menikam orang. Termasuk juga barang bukti ialah hasil dari delik, misalnya uang negara yang dipakai (korupsi) untuk membeli rumah pribadi, maka rumah pribadi tersebut merupakan barang bukti atau hasil delik”.37

Disamping itu ada pula barang yang bukan merupakan obyek, alat atau hasil delik, tetapi dapat pula dijadikan barang bukti sepanjang barang tersebut mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana misalnya pakaian yang dipakai korban pada saat ia dianiaya atau dibunuh.

Pasal 183 KUHAP menyatakan bahwa hakim tidak boleh menjatuhi pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua

36Ibid.Hal : 14

37Ibid. Hal : 15.

(44)

alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya. 38

Pelaku dan perbuatannya serta barang bukti merupakan suatu kesatuan yang menjadi fokus daripada usaha mencari dan menemukan kebenaran materiil. Meskipun barang bukti mempunyai peranan penting dalam perkara bukanlah berarti bahwa kehadiran barang bukti itu mutlak selalu ada dalam perkara pidana, sebab ada pula tindak pidana tanpa adanya barang bukti, misalnya penghinaan secara lisan (Pasal 310 ayat (1) KUHAP). Dalam hal demikian hakim melakukan pemeriksaan tanpa barang bukti.

b. Hubungan Antara Barang Bukti dengan Alat Bukti

Secara limitatif alat bukti yang sah dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP adalah :

1. Keterangan saksi;

2. Keterangan ahli;

3. Surat;

4. Petunjuk;

5. Keterangan terdakwa.

Hal ini berarti bahwa diluar ketentuan tersebut tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah.

Selanjutnya berkaitan dengan alat bukti dalam Pasal 181 KUHAP mengatur pemeriksaan barang bukti dipersidangan sebagai berikut :

38Ibid.

(45)

1. Hakim ketua sidang memperlihatkan kepada terdakwa segala barang bukti dan menanyakan kepadanya apakah ia mengenal benda itu dengan memperhatikan ketentuan Pasal 45 Undang-Undang ini.

2. Jika perlu benda itu diperlihatkan juga oleh hakim ketua sidang kepada saksi.

3. Apabila dianggap perlu untuk pembuktian, hakim ketua sidang membacakan atau memperlihatkan surat atau berita acara kepada terdakwa atau saksi dan selanjutnya minta keterangan seperlunya tentang hal itu.

Dengan adanya kedua pasal tersebut maka barang bukti dan alat bukti mempunyai hubungan yang erat.

Apabila dikaitkan antara Pasal 184 ayat (1) KUHAP dengan Pasal 181 ayat (3) KUHAP, maka barang bukti itu akan menjadi : 39

1) Keterangan saksi, jika keterangan tentang barang bukti itu dimintakan Kepada saksi.

2) Keterangan terdakwa, jika keterangan tentang barang bukti itu dimintakan kepada terdakwa.

Hal ini disebabkan karena dalam KUHAP Pasal 188 ayat (2) tidak dicantumkan lagi “ Pemeriksaan atau Pengamatan sendiri oleh hakim”

sehingga barang bukti tidak lagi menjadi petunjuk.

Dasar hukum pemeliharaan benda sitaan dan barang rampasan Negara diatur dalam : 40

39Ratna Nurul Afifah, 2014, Barang Bukti Dalam Proses Pidana edisi kedua, Jakarta, Sinar Grafika. Hal : 20-21.

(46)

1. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana. (Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209);

2. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3614);

3. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana;

4. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166 tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);

5. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Republik Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 Tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 90, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5145);

40Direktorat Jenderal Pemasyaraktan Kementerian Hukum dan HAM RI “pemeliharaan Benda Sitaan Dan Barang Rampasan Negara dirumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara”.hal :2

(47)

6. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2015 Tentang Organisasi Kementerian Negara;

7. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH- 05.OT.01.01 Tahun 2010 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 676);

8. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 16 Tahun 2014 Tentang Tata cara Pengelolaan Benda Sitaan dan Barang Rampasan Negara. (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 876);

9. Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia;

10. Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Nomor PAS- 140.PK.02.01 Tahun 2015 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengelolaan Benda Sitaan dan Barang Rampasan Negara.

F. Tinjauan Tentang Penyitaan Barang Bukti a. Pengertian Penyitaan

Dalam uraian dimuka telah dapat dijelaskan bahwa barang bukti dapat diperoleh penyidik dari tindakan penghgeledaan, pemeriksaan surat dan penyitaan atau diserahkan sendiri secara langsung oelh saksi pelapor atau tersangka pelaku tindak pidana,dapat pula berupa barang temuan. 41

41Ibid. Hal : 69.

(48)

Tindakan selanjutnya yang dilakukan yang dilakukan terhadap benda yang tersangkut perkara pidana itu adalah menahannya untuk sementara guna kepentingan pembuktian dalam penyidik, penuntutan dan sidang peradilan. Tindakan penyidikan tersebut oleh Undang-Undang tentang hukum acara pidana disebut “penyitaan”, yang dalam bahasa belanda dikenal dengan istilah “In Beslagneming”.42

Pasal 1 butir 16 KUHAP menjelaskan mengenai pengertian penyitaan yaitu serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan.

Menurut Pasal 134 Hukum Acara Pidana Belanda definisi penyitaan adalah : “ Dengan penyitaan sesuatu benda diartikan pengambilalihan atau penguasaan benda itu guna kepentingan acara pidana. 43

Setiap penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua Pengadilan Negeri setempat.

Dalam pelaksanaannya penyitaan dapat dilakukan oleh :

a) Penyidik atas perintah penyidik (Pasal 5 ayat (1) huruf b point 1 KUHAP).

b) Penyidik (Pasal 7 ayat (1) huruf d KUHAP ).

c) Penyidik pembantu (Pasal 11 KUHAP).

42Ibid.

43Ibid. Hal : 70.

(49)

Tindakan penyitaan dilakukan berdasarkan laporan polisi, berita acara pemeriksaan di Tempat Kejadian Perkara (TKP) dan atau Laporan Hasil Penyidikan dan atau Berita Acara Pemeriksaan Saksi dan atau Berita Acara Pemeriksaan tersangka, dan penyidik memperoleh keterangan tentang adanya benda-benda lain dapat dan perlu disita guna kepentingan penyidik, penuntutan dan pembuktian yang bersangkutan di sidang pengadilan.

b. Pengertian Benda Sitaan Negara dan Barang Rampasan Negara

Mengenai benda-benda yang disimpan di RUPBASAN diatur dalam Pasal 27 PP N0.27 Tahun 1983 jo. Pasal 1 ayat (1) Peraturan Meneteri Kehakiman RI Nomor M.05.UM.01.06 Tahun 1983 yang menyatakan bahwa didalam RUPBASAN ditempatkan benda yang disimpan untuk keperluan barang bukti dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, termasuk barang yang dinyatakan dirampas berdasarkan putusan hakim. 44

Selanjutnya yang dimaksud benda sitaan Negara berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Nomor : E1.35.PK.03.10 Tahun 2002 adalah benda yang disita penyidik, penuntut umum atau pejabat yang karena jabatannya mempunyai wewenagan untuk menyita barang guna keperluan barang bukti dalam proses peradilan.

Sedangkan yang dimaksud barang rampasan Negara berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Nomor : E1.35.PK.03.10 Tahun 2002 adalah barang bukti yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dirampas untuk Negara yang selanjutnya dieksekusi dengan cara :

44Ibid, Hal : 106.

(50)

a) Dimusnahkan :

1. Dibakar sampai habis;

2. Ditenggelamkan ke dasar laut sehingga tidak bisa diambil lagi;

3. Ditanam didalam tanah;

4. Diuruskan sampai di RUPBASAN untuk barang bukti dalam perkara lain.

b) Ditelang untuk Negara.

c) Diserahkan kepada instansi yang ditetapkan untuk dimanfaatkan.

d) Disimpan di RUPBASAN untuk barang bukti dalam perkara lain.

c. Benda – benda Yang Dapat Disita

Benda yang dapat disita berupa “yang dipergunakan untuk melakukan delik” dikenal “dengan mana delik dilakukan” dan “benda yang menjadi obyek delik” dikenal dengan “mengenai mana delik dilakukan”.

Sedangkan secara umum benda yang dapat disita dapat dibedakan menjadi : 1) Benda yang dipergunakan sebagai alat untuk melakukan Tindak

Pidana (disebut juga instrumenta delicti);

2) Benda yang diperoleh atau hasil dari suatu tindak pidana (disebut juga corpora delicti);

3) Benda-benda lain yang secara tidak langsung mempunyai hubungan dengan Tindak Pidana, tetapi mempunyai alasan yang kuat untuk bahan pembuktian;

(51)

4) Barang bukti pengganti, misalnya obyek yang dicuri itu adalah uang kemudian dengan uang tersebut tersangka membeli radio, dalam hal ini radio tersebut disita untuk dijadikan barang bukti pengganti.

Berdasarkan ketentuan Pasal 39 KUHAP bahwa benda yang dapat disita meliputi :

a) Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak Pidana atau sebagai hasil dari tindak Pidana (ayat (1) huruf a), misal : rumah atau simpanan uang di bank hasil korupsi.

b) Benda yang dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak Pidana atau untuk mempersiapkan (ayat (1) huruf b ), misal : pisau atau senjata api yang digunakan untuk membunuh.

c) Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak Pidana (ayat (1) huruf c ), misal : mobil yang digunakan teman tersangka untuk menghalangi petugas yang sedang mengejar tersangka mengejar tersangka.

d) Benda yang khusus dibuat atau untuk diperuntukkan melakukan tindak Pidana (ayat (1) huruf d), misal : kunci palsu yang dibuat tersangka untuk membuka rumah.

e) Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan (ayat (1) huruf e), misal : sepatu , tas, baju, pakaian dalam korban yang ditemukan oleh Penyidik.

Referensi

Dokumen terkait

Masalah ini akan lebih menantang untuk dikaji manakala tidak hanya kenyataan bahwa di wilayah Polsek Metro Pamulang tersebut peran FKPM tidak berjalan, tapi justru ada satu

Alamat : Gedung Gajah Unit Z,Jl.Dr.Sahardjo No.111 Tebet, Jakarta Selatan

Sampel hasil proses aglomerasi yang diuji XRD yaitu briket yang telah diaglomerasi dengan menggunakan muffle furnace dengan variasi jenis fluks berupa dolomit, cangkang kerang

B- Jika hadir mengikuti perkuliahan minimal 80% dari jumlah perkuliahan, mengumpulkan tugas individu dan kelompok terlambat dua hari dari tanggal presentasi yang

Hasil penelitian menunjukkan ikan Tor tambroides yang diberi pakan dengan kandungan protein sebesar 35% dan 50% memiliki pertumbuhan panjang, bobot, laju

Survei akan dilakukan untuk mendapatkan data primer dan data sekunder yang dibutuhkan dalam analisa kinerja ruas jalan seperti data lalu lintas, data geometric jalan, hambatan

Berdasarkan hasil data yang sudah diuji secara statistik pada pretest, diperoleh hasil bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada tingkat penguasaan konsep

Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengembangkan sebuah pendekatan baru yang dapat mendeteksi serangan DDoS secara efisien, berdasarkan pada karakteristik