• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of DISPARITAS PUTUSAN HAKIM DALAM MENERAPKAN NOODWEER EXCES DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "View of DISPARITAS PUTUSAN HAKIM DALAM MENERAPKAN NOODWEER EXCES DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Open Access at : https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/jkh

Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial

Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja

970

DISPARITAS PUTUSAN HAKIM DALAM MENERAPKAN NOODWEER EXCES DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN

Muhammad Shalahuddin Al Ayyubi, Dian Esti Pratiwi Universitas Sebelas Maret

E-mail: shalahuddin12aa@gmail.com, dianesti_pratiwi93@staff.uns.ac.id Info Artikel Abstract

Masuk: 1 Desember 2022 Diterima: 15 Januari 2023 Terbit: 1 Februari 2023 Keywords:

author guidelines;

komunikasi hukum journal; article template

Disparities in the judge's decision still occur in application Noodweer Exces against the crime of torture resulting in death. In this study the authors examined and compared two cases, namely in Decision Number 103/Pid.b/2021/PN Gdt and Decision Number 1/Pid.Sus- Anak/2020/PN Kpn. The method that the author uses is normative juridical by using legal sources, namely the KUHP. The results of this study indicate that the disparity of judges in applying Noodweer Exces to the crime of persecution resulting in death caused by several factors, namely internal judges, social behavior of judges, the fulfillment of the elements of a crime, the age factor, and the recidivist factor.

Abstrak Kata kunci:

Disparitas, Putusan Hakim, Noodweer Exces

Corresponding Author:

Muhammad Shalahuddin Al Ayyubi, e-mail :

shalahuddin12aa@gmail.com

Disparitas putusan hakim masih terjadi dalam penerapan Noodweer Exces terhadap tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian. Dalam penelitian ini penulis meneliti dan membandingkan dua kasus yaitu dalam Putusan Nomor 103/Pid.b/2021/PN Gdt dan Putusan Nomor 1/Pid.Sus-Anak/2020/PN Kpn.

Metode yang penulis gunakan adalah yuridis norrmatif dengan menggunakan sumber hukum yaitu KUHP. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa disparitas hakim dalam menerapkan Noodweer Exces terhadap tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian disebabkan oleh beberapa faktor yaitu internal hakim, perilaku sosial hakim, faktor pemenuhan unsur-unsur tindak pidana, faktor usia, dan faktor residivis.

@Copyright 2023.

(2)

971 PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara hukum yang menerapkan criminal justice system dalam setiap penegakan hukum dari berbagai bentuk tindak pidana. Dari berbagai tindak pidana yang ada, hakim diberikan kebebasan dalam memutus suatu perkara tindak pidana. Hakim tidak bisa mendapatkan intervensi dari pihak lain.

Hakim merupakan pejabat negara yang memiliki wewenang untuk menerima, memeriksa, memutus perkara yang diberikan sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009. (Hermawan, 2021: 145) Selain itu, hakim juga wajib memberikan pertimbangan mengenai sifat baik dan jahat pada diri terdakwa. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia tidak memberikan ketentuan secara tegas mengenai apa yang menjadi dasar bagi hakim dalam menjatuhkan pidana kepada terdakwa. KUHP hanya menjadi pedoman dalam memberikan hukuman secara minimal maupun maksimalnya saja. Oleh karena itu, perlunya penjelasan secara tegas dalam Undang-Undang guna menghindari perbuatan sewenang-wenang hakim dalam menjatuhkan suatu putusan. (Aprita, 2019: 48).

Kesewenang-wenangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana, mengakibatkan perbedaan putusan dalam suatu tindak pidana yang sama. Hal tersebut sering menyebabkan terjadinya disparitas pidana. Disparitas pidana atau penjatuhan pidana yang berbeda kerap menjadi problematika penegakan hukum di Indonesia. Vonis pidana yang tidak sama merupakan bentuk dari diskresi hakim dalam menjatuhkan putusan. disisi lain penjatuhan pidana yang tidak sama juga dapat menyebabkan ketidakpuasan bagi terpidana sendiri maupun masyarakat.

(Hamka, 2018: 6) Masyarakat yang awam tentunya hanya akan menilai dengan membandingkan antara putusan satu dengan putusan lainnya, sehingga masyarakat menyimpulkan dengan mudah bahwa telah terjadi disparitas dalam penegakan hukum di Indonesia. (Hasan, 2020: 225)

Tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian masih sering terjadi ditengah masyarakat. Jika dikaji lebih dalam, terdapat beberapa kasus penganiayaan yang dilakukan dalam rangka membela diri secara terpaksa.

Pembelaan terpaksa dalam KUHP termasuk dalam alasan penghapus pidana. Alasan penghapus pidana adalah alasan yang membolehkan seorang untuk melakukan tindak pidana. Alasan penghapus pidana salah satunya adalah alasan pemaaf. Dalam alasan pemaaf kesalahan dari pelaku dihapuskan. Alasan pemaaf digolongkan menjadi tiga, diantaranya, ketidakmampuan bertanggung jawab, pembelaan terpaksa melampaui batas (Noodweer Exces), dan menjalankan perintah jabatan.

Pembelaan diri dalam tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian disebut juga dengan Noodweer Exces. (Aldama, 2022: 57) Dalam keterkaitannya dengan Noodweer Exces, masih sering terjadi disparitas hakim dalam menerapkan hal tersebut. Dalam suatu kasus penganiayaan yang mengakibatkan kematian, hakim memutuskan untuk menerapkan Noodweer Exces, akan tetapi tidak menerapkannya dalam putusan lain dengan tindak pidana yang sama. Hal ini tentu menimbulkan perasaan tidak adil ditengah masyarakat. Hal tersebut tidak sejalan dengan ajaran hukum pidana yaitu “kepentingan umum” yang memiliki arti bahwa yang menjadi utama adalah kepentingan masyarakat jika dibandingkan dengan kepentingan individu. (Sulistyono, 2018: 4) Oleh karena itu, disparitas pidana

(3)

972 merupakan bentuk dari ketidakadilan yang dilakukan hakim kepada para pencari keadilan.

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka penulis tertarik untuk mengangkat judul: “Disparitas Putusan Hakim dalam Menerapkan Noodweer Exces Dalam Tindak Pidana Penganiayaan yang Mengakibatkan Kematian.”

Berdasarkan judul tersebut maka penulis merumuskan masalah yaitu: “Mengapa terjadi disparitas Putusan Hakim dalam menerapkan Noodweer Exces pada penganiayaan yang mengakibatkan kematian?”

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan oleh penulis adalah metode yuridis normatif.

Metode ini merupakan metode yang dilakukan secara deduktif diawali dengan analisa terhadap pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah yang akan dikaji oleh penulis. Penelitian yuridis mengacu pada penelitian kepustakaan (library research), dan secara normatif dengan membahas asas-asas ilmu hukum pidana yang berkaitan dengan penelitian. (Marzuki, 2017: 34) HASIL DAN PEMBAHASAN

Putusan hakim adalah puncak dari suatu perkara yang sedang diperiksa dan diadili oleh hakim dimuka persidangan. Dalam membuat keputusan, hakim memperhatikan segala aspek, selalu berhati-hati, dan mengutamakan kecermatan, baik yang bersifat formal maupun materiil. Majelis hakim, dalam menjatuhkan suatu putusan, harus mengusahakan agar putusannya dapat diterima dengan lapang dada, baik dari terdakwa maupun korban, dan juga berbagai pihak yang berkaitan dalam suatu perkara. Hakim juga harus memberikan pertimbangan sesuai fakta dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan keadilan.

Hakim dalam menjalankan profesinya, ibarat pisau bermata dua. Dengan tangannya, hakim dapat membebaskan hidup seseorang, dan dengan tangannya juga hakim dapat mengurung seseorang dalam penjara. Hakim dalam memutus suatu perkara, terkadang dapat menimbulkan dampak sosial di masyarakat.

Sebagian masyarakat optimis dan menaruh kepercayaan penuh terhadap hakim dalam menegakkan keadilan, akan tetapi ada masyarakat yang pesimis dan kecewa akan kinerja hakim dalam menegakkan keadilan. (Gulo, 2018: 20) Salah satu penyebab timbulnya kekecewaan ditengah mayarakat adalah ketika hakim dalam memutus suatu perkara menimbulkan pro dan kontra ditengah masyarakat, bahkan cenderung membela yang salah sehingga menimbulkan rasa tidak adil ditengah masyarakat. (Siregar, 2021: 227)

Disparitas putusan pidana yang dijatuhkan oleh hakim umumnya terjadi karena beberapa hal, diantaranya:

1. Dalam KUHP tidak ada pedoman secara umum, sehingga memberikan kebebasan bagi hakim dalam menetukan jenis pidana, baik itu pelaksaanaan pidananya, maupun berat atau ringan pidananya;

2. Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang menyatakan bahwa hakim bersifat bebas dan independen dalam memberikan putusan dan tidak boleh ada intervensi dari pihak manapun.

(4)

973 3. Perbedaan cara pandang hakim. Hakim yang memandang suatu perkara secara klasik, cenderung memberikan pidana yang lebih berat, karena hanya berfokus pada kesalahan dan pemberian efek jera pada terdakwa.

Ketiga faktor tersebut sering terjadi dalam persidangan dimanapun dan dengan hakim manapun. Sehingga dapat menimbulkan disparitas pidana pada kasus yang serupa.

Tindak Pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian masih sering terjadi ditengah masyarakat. Tindak pidana tersebut diatur dalam Pasal 351 ayat (3) KUHP. Dalam Pasal ini tidak menyebutkan pengertian dari penganiayaan yang mana seharusnya itu bisa menjadi tolak ukur. Pasal 351 KUHP hanya menyebutkan sanksi yang diberikan atas tindak pidana tersebut, yang diantaranya:

1. Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

2. Apabila perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

3. Apabila mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

4. Penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.

5. Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

Hukum pidana positif Indonesia mengatur mengenai pembelaan terpaksa dalam KUHP Pasal 49 yang berbunyi: (Tabaluyan, 2015:67)

1. Tiada pidana, barang siapa melakukan suatu perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, dikarenakan terdapat serangan atau berupa ancaman serangan yang sangat dekat dan melawan hukum pada saat itu.

2. Tiada pidana, barang siapa melakukan pembelaan terpaksa melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu.

Noodweer Exces atau pembelaan diri dalam keadaan terpaksa yaitu alasan meniadakan sifat melawan hukum pidana positif (wederrechtelijkheid atau onrechtmatigheid), maka meniadakan tindakan yang bersifat tindak pidana (straf uitsluitings-grond) disebut sebagai alasan pembenar dari suatu tindakan yang umumnya termasuk dalam tindak pidana (rechtvaardigingsgrond) atau dapat disebut dengan fait justificatif (Prodjodikoro, 1989:75)

Pembelaan terpaksa melampaui batas (Noodweer exces) dalam hukum pidana Indonesia merupakan perbuatan dalam konteks keadaan terpaksa (Noodweer) dalam upaya perlindungan diri dari tindak pidana. Noodweer merupakan suatu pembelaan darurat terhadap serangan, dimana serangan tersebut harus bersifat seketika dan bersifat melawan hukum. (Gea, 2016: 145) Nood artinya darurat sedangkan weer mempunyai arti darurat, sehingga dapat diartikan bahwa Noodweer adalah pembelaan yang dilakukan secara darurat oleh setiap orang terhadap serangan dari orang lain yang bersifat seketika dan melawan hukum.

(Widhiana, 2011: 45) Dasar hukum dari pembelaan darurat ini terdapat pada Pasal 49 ayat 1 KUHP, dalam rumuan pasal tersebut oleh pembentuk Undang-undang Hukum Pidana dipergunakan perkataan “annrandig” jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang artinya “serangan”, jika kita melihat kalimat serangan yang ada pada Pasal 49 ayat 1 KUHP tersebut jangan selalu diartikan sebagai tindakan

(5)

974 kekerasan, akan tetapi tindakan kekerasan disini mempunyai arti tindakan yang merugikan kepentingan hukum orang lain seperti tubuh atau nyawa seseorang, harta benda, dan kehormatan. (Sanjaya et al., 2022: 409)

Noodweer Excess yang diatur dalam KUHP Pasal 49 memiliki unsur-unsur sebagai berikut:

1. Barang siapa;

2. Melakukan suatu pembelaan terpaksa;

3. Untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain;

4. Dikarenakan terdapat serangan atau berupa ancaman serangan yang sangat dekat;

5. Melawan hukum pada saat itu juga;

6. Pembelaan yang dilakukan melampaui batas;

7. Disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan tersebut Unsur pertama adalah “barang siapa”. Unsur ini berarti setiap individu, orang- perorangan, atau setiap orang sebagai subjek hukum yang memilki hak dan kewajiban dan dapat bertanggung jawab atas perbuatannya. (Muntaha, 2019: 88) Unsur yang kedua adalah “melakukan suatu pembelaan terpaksa”. Maksud dari unsur tersebut adalah ketika melakukan suatu pembelaan dalam bentuk pembelaan fisik, harus dilakukan dalam keadaan yang terpaksa. Unsur yang ketiga adalah

“Untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain”. Dalam melakukan pembelaan terpaksa, hal-hal yang boleh dibela adalah sebagaimana telah disebutkan dalam pasal tersebut yaitu kehormatan kesusilaan, dan harta benda baik itu milik sendiri atau milik orang lain.

Unsur yang keempat adalah “terdapat serangan atau berupa ancaman serangan yang sangat dekat”. Pembelaan terpaksa hanya boleh dilakukan apabila terdapat serangan yang sangat dekat. Sangat dekat berarti jarak antara serangan dengan korban sangatlah dekat sehingga sulit untuk dihindari. Unsur yang kelima adalah

“serangan bersifat melawat hukum pada saat itu juga”. Pembelaan terpaksa yang dilakukan tersebut harus bertentangan dengan hukum. Unsur yang keenam adalah

“Pembelaan yang dilakukan melampaui batas”. Makna dari melampaui batas adalah akibat dari pembelaan tersebut yang melebihi hal yang wajar seperti luka yang berat dan kematian pada korban. (Akbar, 2020: 3) Unsur yang terakhir adalah

“disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat”. Keguncangan jiwa yang hebat terjadi akibat perasaan cemas dan takut yang dialami pelaku terhadap akibat yang akan diterima setelahnya. Keguncangan jiwa yang hebat juga dapat terjadi karena perasaan marah yang amat besar akibat peristiwa yang terjadi kepadanya. Unsur- unsur Noodweer Exces tersebut harus terpenuhi apabila Noodweer Exces ini ingin diterapkan.

Penganiayaan yang mengakibatkan kematian adalah tindak pidana penganiayaan yang mana akibat kematian yang timbul bukanlah merupakan tujuan dari pelaku. Tindak pidana ini diatur dalam Pasal 351 ayat (3) KUHP. Unsur penganiayaan biasa yang mengakibatkan kematian apabila dilihat unsur-unsurnya, maka penganiayaan biasa yang mengakibatkan kematian yang diatur dalam Pasal 351 ayat (3) KUHP mempunyai unsur-unsur yang sama dengan penganiayaan dalam bentuk pokok yang sama yang diatur dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP, yaitu rumusannya “jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama

(6)

975 tujuh tahun”. Unsur-unsur penganiayaan biasa yang mengakibatkan kematian yaitu Unsur kesengajaan, Unsur perbuatan, dan Unsur akibat perbuatan berupa kematian.

Tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian, harus dapat dibuktikan bahwa pelaku tidak mempunyai kehendak untuk menimbulkan kematian. Dalam hal ini harus dapat dibuktikan, bahwa pelaku hanya bermaksud menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh saja. (David, 2018: 159) Sekalipun akibat berupa matinya orang tersebut dalam Pasal 351 ayat (3) KUHP bukan merupakan akibat yang dikehendaki, namun akibat kematian tersebut harus dapat dibuktikan bahwa akibat kematian itu benar-benar akibat dari perbuatan pelaku.

Dengan kata lain, antara perbuatan penganiayaan dengan akibat yang ditimbulkan harus ada hubungan kausalitas. Dalam hal ini, untuk membuktikan hubungan kausalitas antara penganiayaan dengan meninggalnya korban.

Penganiayaan yang berakibat kematian, apabila dikaitkan dengan disparitas Pidana, maka masih sering terjadi perbedaan pada putusan hakim terhadap kasus Tindak Pidana yang sama. Disparitas hakim dalam memutus suatu perkara seolah-olah menjadi bentuk dari suatu ketidakadilan bagi para pencari keadilan. Disparitas pidana adalah pemberlakuan pidana yang berbeda terhadap tindak pidana yang sama (same offence) atau terhadap tindak-tindak pidana yang sifat bahayanya dapat diperbandingkan (offences of comparable seriousness) tanpa dasar pembenaran yang jelas. (Sinambela, 2019: 40) Disparitas putusan hakim terjadi dalam kasus penganiayaan yang mengakibatkan kematian. Terdapat perbedaan putusan hakim dalam penerapan pembelaan terpaksa melampaui batas (Noodweer Exces). Pada putusan Pengadilan Negeri Gendong Tataan Nomor 103/Pid.b/2021/PN Gdt, Majelis hakim memutuskan untuk menerapkan Noodweer Exces atau pembelaan terpaksa yang melampaui batas. Berbeda dengan putusan Pengadilan Negeri Kepanjen Nomor Putusan Nomor 1/Pid.Sus-Anak/2020/PN Kpn, hakim memutuskan untuk tidak menerapkan Noodweer Excess pada kasus tersebut.

Kasus penganiayaan yang berakibat mati dalam putusan nomor 103/Pid.b/2021/PN Gdt, dalam kasus tersebut telah terjadi penganiayaan yang mengakibatkan kematian, yang dilakukan oleh terdakwa Nuryadin. Pada saat kejadian, Nuryadin hendak melihat adu ayam yang diadakan di desa kota jawa Kabupaten Peswaran. Korban Branhar pada saat itu hendak melihat adu ayam juga.

Pada saat berpapasan dengan Terdakwa, Korban merasa terdakwa melotot kearah korban, sehingga korban tidak terima. Setelah terjadi adu mulut, korban menyerang terdakwa menggunakan golok hingga melukai kedua pipi dan juga membuat pergelangan tangan terdakwa hampir terputus. Atas dasar penyerangan yang dilakukan oleh korban, terdakwa melakukan perlawanan dengan menusukkan pisau yang terselip di punggung korban kearah bagian leher bawah, ketiak, dan punggung korban, hingga korban akhirnya meninggal dunia. Berdasarkan kasus tersebut, penuntut umum memberikan dakwaan alternatif yaitu dengan Pasal 338 Kuhp tentang pembunuhan, dan Pasal 351 (3) KUHP tentang penganiayaan yang mengakibatkan kematian. Hakim dalam pertimbangannya menimbang bahwa ketika korban menyerang terdakwa, serangan tersebut membahayakan nyawa terdakwa terbukti dengan pergelangan tangan yang hampir putus, dan kelingking terdakwa yang terputus, sehingga serangan terdakwa terhadap korban dapat dikategorikan sebagai Noodweer Exces karena unsur-unsur pembelaan terpaksanya

(7)

976 terpenuhi. Sehingga majelis hakim memutuskan untuk menerapkan Noodweer Excess pada kasus tersebut.

Kasus yang kedua adalah Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen Nomor 1/Pid.Sus-Anak/2020/PN Kpn, telah terjadi penganiayaan yang mengakibatkan kematian terhadap korban Misnan yang dilakukan oleh Terdakwa Zainul Afandik.

Pada saat kejadian, Zainul afandik mengendarai motor bersama temannya, saksi Amelia Vina. Saat melewati melewati jalanan di ladang tebu Serangan desa Gondang legi Kulon Kabupaten Malang, Terdakwa dan saksi dihadang oleh Korban yaitu Misnan dan temannya MAD. Korban mengancam akan merampas motor terdakwa dan menyetubuhi saksi amaelia vina. Terjadi negosiasi dalam rentang waktu 20 menit dalam kondisi tersebut. karena merasa dipojokkan oleh korban, terdakwa mengeluarkan pisau dan menusuk korban sebanyak 3 (tiga) kali. Keesokan harinya korban sudah tidak bernyawa. Penuntut umum dalam kasus tersebut mendakwa dengan Pasal 351 KUHP ayat 3 (tiga) tentang penganiayaan yang mengakibatkan kematian. Berdasarkan pertimbangan hakim dengan didukung bukti dan fakta persidangan, hakim memutuskan untuk tidak menerapkan Noodweer Excess.

Berdasarkan kedua kasus tersebut, terjadi disparitas putusan hakim dari dua kasus tindak pidana yang sama. Dalam kasus pertama, Noodweer Excess diterapkan oleh hakim dengan diperkuat pertimbangan bahwa pembelaan yang dilakukan korban dalam rangka melindungi dirinya dari serangan yang sangat dekat. Sehingga seluruh unsur-unsur dari pembelaan terpaksanya terpenuhi.

berbeda dengan putusan dalam kasus kedua, Noodweer Excess tidak diterapkan oleh hakim karena unsur-unsur pembelaan terpaksanya tidak terpenuhi secara menyeluruh. Hakim mempertimbangkan bahwa ada kesempatan bagi terdakwa untuk melarikan diri ketika dihadang oleh korban, akan tetapi terdakwa memilih balik menyerang korban karena marah dan kesal. Sehingga pembelaan yang dilakukan terdakwa tidak dalam keadaan terpaksa/ keadaan yang darurat.

Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa Noodweer Excess hanya dapat diterapkan ketika semua unsur-unsur pembelaan terpaksanya terpenuhi. Hakim dalam menerapkan Noodweer Excess dalam suatu perkara pidana wajib untuk memastikan seluruh unsur-unsur pembelaan terpaksanya terpenuhi. Apabila tidak terpenuhi, tentu hakim tidak dapat menerapkan Noodweer Excess tersebut.

Berdasarkan penjelasan diatas, maka faktor-faktor yang mengakibatkan terjadinya disparitas putusan hakim dalam penerapan Noodweer Excess terhadap tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian adalah:

1. Faktor internal hakim, apakah hakim tersebut menganut paham hukum klasik, atau hukum modern;

2. Faktor perilaku sosial hakim, apabila hakim merasa memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari masyarakat, sehingga dapat sewenang-wenang dalam memutus suatu perkara;

3. Faktor tindak pidananya, dalam memutus suatu perkara hakim harus memastikan seluruh unsur-unsur tindak pidana yang dalam hal ini adalah penganiayaan yang mengakibatkan kematian, sudah terpenuhi atau tidak sebelum menentukan apakah terdakwa bersalah atau tidak;

4. Faktor selanjutnya masih berkaitan dengan faktor diatas, bahwa dalam menerapkan Noodweer Excess unsur-unsur pembelaan terpaksanya harus

(8)

977 terpenuhi, apabila salah satu unsurnya saja tidak terpenuhi maka Noodweer Excess tidak dapat diterapkan.

5. Faktor usia terdakwa, apakah terdakwa termasuk kategori sudah dewasa, apakah masih anak anak, sehingga dapat menjadi pertimbangan hakim dalam menentukan hukuman;

6. Faktor pengulangan tindak pidana atau residivis. Apakah terdakwa sudah pernah melakukan tindak pidana yang sama sebelumnya. Hal ini juga dapat menjadi pertimbangan hakim dalam menentukan hukuman.

Berdasarkan faktor-faktor tersebut maka disparitas putusan hakim dalam memutus suatu perkara dapat terjadi kapan saja dan dipengadilan mana saja.

PENUTUP Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa masih terjadi disparitas hakim dalam memutus perkara dalam suatu tindak pidana yang sama. Hal tersebut terjadi karena beberapa faktor baik itu internal hakim, perilaku sosial hakim, faktor pemenuhan unsur-unsur tindak pidana, faktor usia, dan faktor residivis. Faktor-faktor tersebut menjadi alasan mengapa masih terjadi disparitas hakim dalam memutus suatu tindak pidana yang sama. Berkaitan dengan disparitas hakim dalam penerapan Noodweer Excess dalam tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian, unsur pemenuhan tindak pidana nya menjadi alasan utama hakim dalam menentukan berat ringannya hukuman yang diterima terdakwa.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka peneliti memberikan rekomendasi, bahwa disparitas hakim dalam memutus suatu perkara tindak pidana yang sama masih akan terus terjadi kedepannya. Maka hakim dalam memutus suatu perkara harus mengutamakan dan menjunjung tinggi rasa keadilan baik itu bagi korban, pelaku, dan juga masyarakat secara umum. Apabila hakim tidak melakukan hal tersebut, maka akan timbul kekecewaan dalam masyarakat sehingga kepercayaan masyarakat terhadap hakim sebagai ujung tombak keadilan di negeri ini akan hilang.

DAFTAR PUSTAKA

Akbar, Munif Bary, Kriminalisasi Terhadap Pelaku Tindakan Pembelaan Diri Yang dijadikan Terngsangka Dalam Perspektif Hukum Pidana, Disertasi Fakultas Hukum Universitas Pasundan, 2020.

Aldama, Nugraheni, Artha Febriansyah, Isma Nurillah, Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas (Noodweer Exces) Sebagai Alasan Penghapus Pidana (Putusan No 41/Pid. B/2019/PN Rno, Putusan No 34/Pid. B/2020/PN Mll, dan Putusan No 103/Pid. B/2021/PN Gdt). Diss. Sriwijaya University, 2022.

Aprita, Serlika, and Rio Adhitya, Penerapan “Asas Keadilan” Dalam Hukum Kepailitan Sebagai Perwujudan Perlindungan Hukum Bagi Debitor, Jurnal Hukum Media Bhakti, 48, 2019

GEA, Rani Angela, Penerapan Noodweer (Pembelaan Terpaksa) Dalam Putusan Hakim/Putusan Pengadilan. USU Law Journal, 142-155, 2016.

(9)

978 Gulo, Nimerodi, Disparitas dalam penjatuhan pidana. Masalah-Masalah

Hukum, 47(3), 215-227, 2018.

Hamka, Disparitas Putusan Hakim Dalam Perkara Tindak Pidana Penganiayaan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Sungguminasa) (Doctoral dissertation, Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar),2018.

Hasan, Zainuddin, Firmansyah, Disparitas Penerapan Pidana Terhadap Pelaku Penyalahgunaan Narkotika, 225, 2020

Hermawan, Risa Sylvya Noerteta, and Hendra Setyawan Theja, "Independensi Hakim Memutus Perkara Tindak Pidana Korupsi dalam Perspektif Perma No. 1 Tahun 2020 Jo. Undang-undang No. 48 Tahun 2009, Al-Qanun: Jurnal Pemikiran dan Pembaharuan Hukum Islam 24.1, 145-169, 2021.

Hutagaol, David, Sanksi Pidana Terhadap Penganiayaan Yang Menyebabkan Kematian Menurut Pasal 353 KUHP, Lex Crimen 7.4, 159, 2018.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Marzuki, P. M., 2021, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Prenadamedia Group, Jakarta Muntaha, 2019, Hukum Pidana Malpraktik: Pertanggungjawaban dan Penghapusan

Pidana, Sinar Grafika, Jakarta

Prodjodikoro, wirjono, 1989, Asas-asas hukum pidana di Indonesia, Eresco, Bandung Sanjaya, I Gede Windu Merta, I Nyoman Gede Sugiartha, I Made Minggu Widyantara, Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas (Noodweer Exces) dalam Tindak Pidana Pembunuhan Begal Sebagai Upaya Perlindungan Diri, Jurnal Kosnstruksi Hukum, 409, 2022.

Sinambela, Yogi Prasetya. Disparitas Putusan Hukuman Mati Terhadap Pelaku Tindak Pidana Peredaran Gelap Narkotika. Disertasi, 40, 2019.

Siregar, Sitorus, Frensh, Penetapan Tersangka Terhadap Korban Tindak Pidana Pencurian Yang Melakukan Pembelaan Terpaksa (Noodweer) Dalam Hukum Pidana Indonesia, 227,2021.

Sulistiyono, Rosyid Aji Galamahta, Praktik Pengesampingan Perkara Pidana Dengan Alasan Demi Kepentingan Umum Oleh Jaksa Agung Republik Indonesia, 2018.

Tabaluyan, Pembelaan Terpaksa Yang Melampaui Batas Menurut Pasal 49 KUHP, Lex Crimen, 4(6), 2015.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indoneisa Tahun 1945

Widhiana, I Gede, 2011, Hukum Pidana: Materi Penghapus, Peringan, dan Pemberat Pidana, Bayumedia Publishing, 2011

Referensi

Dokumen terkait

Mekanisme lisis pada hifa patogen ditandai dengan berubahnya warna hifa patogen menjadi jernih dan kosong karena isi sel dimanfaatkan oleh agen hayati sebagai nutrisi serta

Melihat kondisi rendahnya hasil belajar siswa di SMPN 2 Keruak Kabupaten Lombok Timur beberapa upaya dilakukan salah satunya adalah menerapkan penggunaan aplikasi

Berdasarkan hal tersebut diatas perlu kiranya dibahas tentang: pengaturan tentang organisasi ke masyarakat di Indonesia, kedudukan Organisasi Kemasyarakatan asing di

bersama.Sebagai fungsi manajemen komunikasi, public relations berusaha mengembangkan komunikasi antara organisasi dengan publiknya demi mempertahankan goodwill

Elastisitas penawaran output (jagung) baik di Provinsi Jawa Timur maupun di Jawa Barat terhadap perubahan harga sendiri adalah elastis, sedangkan terhadap perubahan harga

Asal ibu dan bapak memberikan kesempatan yang berimbang untuk anak berlatih berbahasa dengan orang lain maupun orangtuanya, maka tidak ada yang perlu

Berdasarkan ketiga alat tangkap yaitu bubu, arad, dan gillnet dapat dilihat dalam aktivitas nelayan sehari- hari banyak dan luasnya area penangkapan rajungan di perairan

Jenis Soal Soal 3.1 Mendiskusik anunsur- unsur tata letak berupa garis, ilustrasi, tipografi, warna, gelap- terang, tekstur, dan ruang 3.1.1 Menjelaskan unsur-unsur