BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1
.
KESIMPULAN
5.1.1. Kesenjangan Keberadaan Guru Perempuan
Dalam Kepemimpinan Sebagai Kepala
Sekolah
Realita kesenjangan keberadaan kepala sekolah
perempuan di kota Ambon terjadi karena mereka
sendiri (guru perempuan) tidak terbuka bagi
pengembangan diri mereka. Perempuan lebih merasa
puas menjalankan peran sebatas menjadi guru, melihat
peran kepala sekolah sebagai “beban” kerja yang berat.
5.1.2. Kesenjangan Keberadaan Kepala Sekolah
Perempuan Dalam Proses Pemilihan Kepala
Sekolah
Realita kesenjangan kepala sekolah perempuan
dalam seluruh rangkai proses pemilihan kepala sekolah
di kota Ambon dapat dilihat dalam dua aspek, yakni:
Pertama. Internal, Guru perempuan sendirilah yang
telah merasa kalah sebelum memasuki proses
ragu-ragu; adanya pengalaman masa lalu yang tidak adil
terhadap perempuan, prasangka negatif terhadap
kepemimpinan perempuan; Kedua. Eksternal,
ketidaktransparan terhadap hasil tes LPMP;
berperannya partai politik, adanya politik uang,
kedekatan dengan pemerintah (misalnya walikota dan
kepala dinas). Kedua aspek tersebut saling berkaitan
ditenggarai sebagai penyebab perempuan selama ini
terpinggirkan dan didiskriminasi.
5.1.3. Kesenjangan Keberadaan Kepala Sekolah
Perempuan Dalam Kompetensi Kepala
Sekolah
Kompetensi kepala sekolah sebagai ukuran
kualitas seseorang dalam penerapannya ternyata
antara kepala sekolah laki-laki dan perempuan
memiliki perbedaan.
5.1.3.1. Kompetensi Kepribadian
Kepala sekolah perempuan dalam penerapan
kompetensi kepribadian lebih memiliki sifat keibuan,
sabar dan telaten, lebih berhati-hati, banyak
pertimbangan, kurang berani mengambil keputusan,
dalam mengatasi masalah lebih menggunakan
perasaan, bersikap lebih tertutup dan kurang
kurang telaten, lebih berwibawah, berani mengambil
resiko, dalam mengambil keputusan lebih rasional,
lebih terbuka dansangat memiliki keinginan untuk
mengembangkan karirnya.
5.1.3.2. Kompetensi Manajerial
Kepala sekolah perempuan dalam penerapan
kompetensi manajerial jauh lebih baik dalam
menyusun perencanaan, pengorganisasian dan kontrol.
Akan tetapi perempuan membutuhkan waktu yang
relative lama karena banyak pertimbangan, Sedangkan,
kepala sekolah laki-laki dalam membuat perencanaan
lebih bersifat umum namun lebih cepat daripada
perempuan. Selain itu dalam pengelolahan
administrasi, monitoring dan pelaporan pelaksanaan
kegiatan sekolah perempuan lebih rapi dan mudah
dideteksi pekerjaannya oleh pengawas. dalam bidang
manajemen sarana dan prasarana kepala sekolah
perempuan lebih memperhatikan lingkungan sekolah di
banding dengan kepala sekolah laki-laki. perempuan
dalam pelaksanaaan Manajemen keuangan dianggap
lebih baik teliti, berhati-hati dalam pengecekan dan
persetujuan pembiayaan kegiatan. Sebaliknya, kepala
sekolah laki-laki kurang teliti, kurang mau mengecek
ulang dan cenderung lebih cepat dalam memberikan
5.1.3.3. Kompetensi Kewirausahaan
Kepala sekolah perempuan dalam penerapan
kompetensi kewirausahan lebih inovatif dalam
pengembangan dan pengelolahan sumberdaya demi
menunjang kebutuhan sekolah dibandingkan dengan
laki-laki yang merasa sulit berinovasi. Kepala sekolah
laki-laki lebih mempercayakan pengelolahan
kewirausahaan sekolah kepada bawahannya.
5.1.3.4. Kompetensi Supervisi
Kepala sekolah perempuan dalam penerapan
kompetensi supervisi terkait dengan perencanaan
akademik untuk meningkatkan profesionalisme para
guru sebagai anak buahnya lebih memiliki perencanaan
yang menyeluruh, satu persatu anak buahnya
mendapat penilaian, indikator dan skoring yang jelas,
demikian pula dalam pelaksanaan cukup cermat, jeli
dan lengkap. Sedangkan, laki-laki dalam melakukan
supervisi pendidikan menekankan aspek-aspek yang
bersifat global dan umum, kurang teliti, kurang jelas.
Kepala sekolah perempuan dalam hal menegur lebih
halus dan berhati-hati. Sedangkan, laki-laki lebih
5.1.3.5. Kompetensi Sosial
Kepala sekolah perempuan dalam penerapan
kompetensi sosial: relasi dengan bawahan lebih
berperasaan, mudah tesinggung dan sensitif.
Sedangkan kepala sekolah laki-laki lebih memakai
pikiran. Selain itu, dalam partisipasi sosial dengan
lingkungan sekitar sekolah, kepala sekolah perempuan
lebih sering melibatkan dirinya di bandingkan dengan
kepala sekolah laki-laki.
5.1.4. Kesenjangan Keberadaan Kepemimpinan
Perempuan Sebagai Kepala Sekolah
Berkaitan Dengan Budaya Patriakhal.
Kesenjangan keberadaan kepala sekolah
perempuan mengerucut dalam anggapan bahwa guru
laki-laki lebih pantas dan tepat untuk menjadi kepala
sekolah (posisi utama/ruang publik) dibandingkan
dengan guru perempuan yang hanya tepat untuk
menjadi seorang guru (Subordinatif/”kelas dua”/ruang
domestik). Asumsi tersebut mengindikasikan telah
terbentuknya pola pikir patriakhi yang masih melekat
dalam masyarakat secara khusus berimplikasi pada
5.2. SARAN
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka beberapa
saran dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Penyebab kesenjangan keberadaan perempuan
dalam kepemimpinan kepala sekolah terletak
pada dirinya sendiri. Atas dasar itu maka,
penting jika guru-guru perempuan harus bisa
membuka diri dan lebih mengikuti perkembangan
zaman yang sudah semakin berubah dan lebih
menyadari bahwa dirinya adalah manusia yang
bermartabat dan haknya sama dengan guru
laki-laki sehingga guru perempuan juga memiliki
kesempatan yang sama dan dapat
diperhitungkan posisi dan perannya dalam dunia
pendidikan di kota Ambon.
2. Peran dan tanggungjawab seorang kepala sekolah sebagai pemimpin bagi guru-guru yang lain dapat
menjadi sarana tak langsung sebagai upaya
pengkaderan bagi guru perempuan yang
dipandang memiliki potensi yang dapat
dikembangkan dalam memenuhi kompetensi
untuk menjadi kepala sekolah. Dengan demikian,
Kontrol terhadap proses pemilihan yang akan
berjalan.
3. Keterwakilan kepala sekolah perempuan dan
laki-laki dalam kepemimpinan pendidikan mesti
didukung oleh kinerja Badan Kepegawaian
Daerah (BKD) dan Baperjakat dari pemerintah
kota Ambon untuk secara konkrit memediasi cara
kerja proses pemilihan kepala sekolah dengan
sistim yang transparan agar terhindar dari
dugaan-dugaan adanya penyimpangan bagi
kepentingan instansi atau organisasi-organisasi
tertentu.
5.3. KETERBATASAN
Penelitian Kesenjangan Keberadaan Perempuan
Dalam Kepemimpinan Kepala Sekolah Menengah
Pertama Di Kota Ambon ditekankan tentang penyebab
kesenjangan keberadaan perempuan dalam
kepemimpinan kepala sekolah, kesenjangan dalam
proses pemilihan, kesenjangan dalam kompetensi
kepala sekolah, dan kesenjangan dalam budaya
patriakhal. Penulis menyadari masih ada hal lain yang
dapat dituangkan dalam penulisan tesis ini dan dapat
diperdalam lagi yaitu mengenai dukungan keluarga dan
lingkungan sebagai suatu bentuk dukungan bagi guru
perempuan untuk mengembangkan karir. Keterbatasan
tentang kesenjangan proses pemilihan kepala sekolah
secara khusus mengenai kinerja TIM dan Baperjakat
sebagai penanggung-jawab pelaksana seleksi yang
belum transparan dalam proses penentuan hasil seleksi
dari guru-guru.
Kekurangan ini dapat menjadi penelitian lanjutan
untuk melengkapi penelitian awal ini terkait dengan
Kesenjangan Kepemimpinan Perempuan Dalam
Kepemimpinan Kepala Sekolah di Sekolah Menengah