• Tidak ada hasil yang ditemukan

DISTRIBUSI UKURAN PERKOTAAN DI INDONESIA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DISTRIBUSI UKURAN PERKOTAAN DI INDONESIA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA"

Copied!
109
0
0

Teks penuh

(1)

DISTRIBUSI UKURAN PERKOTAAN DI INDONESIA DAN

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

Oleh ANNISA FITRIA

H14104115

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

(2)

RINGKASAN

ANNISA FITRIA. Distribusi Ukuran Perkotaan di Indonesia dan Faktor-Faktor

yang Mempengaruhinya (dibimbing oleh MUHAMMAD FIRDAUS).

Kawasan perkotaan di Indonesia mengalami perkembangan yang pesat. Perkembangan ini antara lain dicerminkan oleh peningkatan pertumbuhan penduduk yang tinggal di kawasan perkotaan serta besarnya kontribusi sektor-sektor ekonomi yang digerakkan dari kawasan ini terhadap ekonomi nasional. Penduduk perkotaan yang digunakan untuk mengestimasi ukuran perkotaan suatu wilayah di Indonesia terlihat cenderung terkonsentrasi pada daerah tertentu. Hal tersebut mendorong dilakukannya penelitian mengenai distribusi ukuarn perkotaan di Indonesia.

Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji apakah rank-size rule berlaku di Indonesia. Ruang lingkup penelitian ini adalah kawasan perkotaan pada kota dan kabupaten di Indonesia yang dikelompokan ke dalam 25 provinsi. Pengelompokan dilakukan berdasarkan provinsi yang ada pada tahun awal penelitian dan Provinsi DKI Jakarta yang dimasukkan ke dalam Provinsi Jawa Barat. Provinsi yang baru lahir akibat proses pemekaran wilayah setelah tahun 2000 dimasukkan ke dalam provinsi sebelum pemekaran dilakukan.

Identifikasi rank-size rule di Indonesia dilakukan dengan membandingkan ukuran perkotaan aktual dengan ukuran perkotaan menurut prediksi rank-size rule. Berdasarkan hasil identifikasi diketahui bahwa rank-size rule selalu memberikan prediksi ukuran perkotaan yang lebih besar atau lebih kecil dari ukuran perkotaan aktual. Rank-size rule dapat dengan tepat memprediksi ukuran perkotaan jika nilai eksponen pareto, yang menggambarkan distribusi ukuran perkotaan, sama dengan satu. Kemudian menjadi penting untuk mengidentifikasi dan menganalisis mengapa nilai pareto ini tidak sama dengan satu dan cenderung berbeda pada setiap wilayah, serta faktor apa yang mempengaruhinya?.

Identifikasi distribusi ukuran perkotaan suatu wilayah dilakukan dengan mengestimasi nilai pareto eksponen yang diperoleh dari penerapan rank-size rule dengan menggunakan data penduduk perkotaan pada kota dan kabupaten di Indonesia tahun 1995, 2000 dan 2005. Berdasarkan hasil identifikasi nilai eksponen pareto yang diestimasi dengan regresi OLS dapat diketahui bahwa distribusi ukuran perkotaan di Indonesia semakin terpolarisasi. Hal ini ditunjukkan oleh nilai pareto yang terus menurun selama kurun waktu analisis. Secara umum, Pulau Jawa memiliki distribusi yang lebih merata dibandingkan pulau-pulau utama lainnya.

Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi ukuran perkotaan dengan menggunakan pendekatan efek tetap diperoleh hasil bahwa tingkat penghematan karena urbanisasi dan karena lokalisasi serta peningkatan rasio pengeluaran pemerintah untuk pembangunan terhadap penerimaan totalnya dan jumlah daerah administrasi yang cenderung meningkat mempengaruhi ukuran perkotaan tumbuh terkonsentrasi pada suatu daerah. Ukuran perkotaan di Indonesia cenderung lebih terdistribusi dengan merata pada wilayah yang

(3)

memiliki tingkat partisipasi angkatan kerja serta tingkat keterbukaan wilayah yang tinggi. Oleh karena itu, pemerintah perlu meningkatkan keterkaitan aktivitas ekonomi antara satu daerah dengan daerah lain antara lain dengan mendorong terciptanya pemisahan sistem manajemen dan sistem produksi. Hal tersebut dapat terealisasi dengan adanya dukungan sistem transportasi yang saling terintegrasi antar daerah.

(4)

DISTRIBUSI UKURAN PERKOTAAN DI INDONESIA DAN

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

Oleh ANNISA FITRIA

H14104115

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

(5)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa : Annisa Fitria

Nomor Registrasi Pokok : H14104115 Program studi : Ilmu Ekonomi

Judul Skripsi : Distribusi Ukuran Perkotaan di Indonesia dan Faktor- Faktor yang Mempengaruhinya

dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor Menyetujui, Dosen Pembimbing, Muhammad Firdaus, Ph.D NIP. 132 158 758 Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,

Rina Oktaviani, Ph.D

NIP. 131 846 872 Tanggal kelulusan:

(6)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Juli 2008

Annisa Fitria H14104115

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Annisa Fitria dilahirkan di Jakarta, 11 Juli 1986 sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan H. Abdul Fatah dan Hj. Srihartati. Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1998 di SD Negeri Guntur 01 Jakarta, kemudian pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2001 pada SMPN 57 Jakarta, dan pendidikan menengah atas diselesaikan pada tahun 2004 di SMUN 3 Jakarta.

Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi dengan harapan agar dapat memperoleh ilmu dan mengembangkan pola pikir. Institut Pertanian Bogor menjadi pilihan penulis dan diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama mengikuti pendidikan, penulis aktif dalam beberapa organisasi seperti Himpunan Profesi dan Peminat Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (HIPOTESA) pada kepengurusan tahun 2007.

(8)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur segalanya milik Allah SWT dan karena izin dari-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang merupakan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi di Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, dengan judul “Distribusi

Ukuran Perkotaan di Indonesia dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya”.

Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Muhammad Firdaus, Ph.D yang telah memberikan bimbingan baik secara teoritis maupun teknis serta menyisihkan waktu untuk penulis selama proses pengerjaan skripsi ini. Bapak D.S. Priyarsono, Ph.D sebagai dosen penguji dan Ibu Widyastutik, Ms.i sebagai perwakilan dari Komisi Pendidikan atas saran yang diberikan pada ujian sidang 9 Juli 2008.

Penulis juga berterima kasih kepada Irma A. atas saran yang diberikan serta telah bersedia menjadi pembahas dalam Seminar Hasil Penelitian. Angga O. atas bantuan dalam pengolahan data. A. Niken M., Maharani T.S., Della P.R., Dila V., Septi A., Hana A., Henni S., Noorish H., Ebrinda D.G., Fanya T.K., Amalia D.S.L., Rizki S.F., Arif R., yang membantu penulis dalam bertukar pikiran. Teman-teman di Ilmu Ekonomi 41, teman di Ginastri, teman-teman satu bimbingan, teman-teman-teman-teman di HIPOTESA 2007 khususnya Discussion and Analysis (DnA) Division, HMI Komisariat FEM, SES-C, dan pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Akhirnya penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua penulis yang selalu memberikan doa dan dukungan. Kakak-kakak penulis, Selvi A., Shandy Y.N., dan Fahrizal sebagai motivator dan teladan bagi penulis, serta keluarga besar.

Segala kesalahan yang terjadi pada skripsi ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis. Saran serta kritik yang bertujuan untuk memperbaiki kekurangan yang ada sangat penulis harapkan. Akhirnya semoga skripsi ini bermanfaat serta menambah pengetahuan kita.

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv DAFTAR LAMPIRAN ... v I. PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1 Perumusan Masalah ... 3 Tujuan ... 5 Manfaat Penelitian ... 6

Ruang Lingkup Penelitian ... 6

II. TINJAUAN STUDI TERDAHULU Penelitian Mengenai Pertumbuhan Kota dan Primate City ... 7

Penelitan Mengenai Distribusi Ukuran Perkotaan dengan Rank Size Rule ... 9

III. KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teori ... 11

Definisi Wilayah ... 11

Definisi Kota dan Perkotaan ... 12

Central Place Theory ... 13

Ukuran KotaDistribusi Ukuran Kota ... 18

Determinan Distribusi Ukuran Perkotaan ... 19

Metode Panel Data ... 24

(10)

IV. METODE PENELITIAN

4.1.Jenis dan Sumber Data ... 37

4.2.Perumusan Model ... 37

4.3.Metode Analisis Data ... 39

4.4.Evaluasi Model... 40

4.5.Definisi Operasional... 44

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Perkembangan Distribusi Ukuran Perkotaan di Indonesia... 47

5.2. Faktor Faktor yang Mempengaruhi Distribusi Ukuran Perkotaan ... 52

5.3. Implikasi Kebijakan ... 66

VI. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 70

Saran ... 70

DAFTAR PUSTAKA ... 72

(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman 1. Penduduk Perkotaan di Indonesia Tahun 1980, 1990, 2000 dan

2005 ... 1 2. Kerangka Identifikasi Autokorelasi ... 43 3. Distribusi Ukuran Perkotaan di Indonesia Tahun 1995, 2000

dan 2005 ... 49 4. Distribusi Ukuran Perkotaan di Indonesia Menurut Prediksi

Rank-Size Rule Tahun 1995, 2000 dan 2005 ... 50 5. Hasil Uji Hausman ... 60 6. Estimasi Pengaruh Karakteristik Wilayah Terhadap Distribusi

Ukuran Perkotaan dengan Pendekatan Efek Tetap Pembobotan dan White Cross Section Covariance ... 61 7. Nilai Koefisian Intersep Pengaruh Karakteristik Wilayah

(12)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Kontribusi Sektoral Terhadap PDB Indonesia ... 2

2. Distribusi Penduduk Perkotaan pada 5 Pulau Utama di Indonesia Tahun 1995, 2000 dan 2005 ... 5

3. Perkembangan Pusat Pelayanan ... 14

4. Model Sistem K = 7 ... 15

5. Distribusi Ukuran Kota dengan Model Central Place ... 16

6. Grafik Estimasi dengan Pendekatan Pooled Least Square ... 27

7. Grafik Estimasi dengan Pendekatan Within Group Estimator .... 29

8. Skema Kerangka Pemikiran dan Alur Penelitian ... 36

9. Nilai Eksponen Pareto Indonesia Tahun 1995, 2000 dan 2005 .. 51

10. Nilai Rata-rata Eksponen Pareto 5 Pulau Utama Tahun 1995, 2000 dan 2005 ... 52

11. Nilai Eksponen Pareto Menurut Provinsi Tahun 1995, 2000 dan 2005 ... 53

12. Tingkat Kepadatan Jalan Provinsi Tahun 1995, 2000 dan 2005 ... 54

13. Tingkat Penghematan Urbanisasi Tahun 1995, 2000 dan 2005 .. 55

14. Tingkat Penghematan Lokalisasi Tahun 1995, 2000 dan 2005 .. 56

15. Tingkat Penghematan Spesialisasi Tahun 1995, 2000 dan 2005 56 16. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Perkotaan Tahun1995, 2000 dan 2005 ... 57

17. Tingkat Pendapatan per Kapita Tahun 1995, 2000 dan 2005 ... 58

18. Persentase Pengeluaran Pembangunan terhadap Penerimaan Total Pemerintah Provinsi Tahun 1995, 2000 dan 2005 ... 58

19. Jumlah Kota/Kabupaten Tahun 1995, 2000 dan 2005 ... 59

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Grafik Ukuran Perkotaan Aktual dan Ukuran Perkotaan

Prediksi Rank-Size RuleTahun 1995, 2000 dan 2005 ... 75 2. Distribusi Ukuran Perkotaan Aktual Tahun 1995, 2000

dan 2005 ... 77 3. Nilai Eksponen Pareto Provinsi Tahun 1995, 2000 dan 2005 ... 90 4. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Distribusi

Ukuran Perkotaan dengan Pengujian Hausman ... 91 5. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Distribusi

Ukuran Perkotaan dengan Pendekatan Fixed Effect, Pembobotan dan White Cross Section Covariance ... 92 6. Uji Kenormalan ... 93

(14)

I. PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Kawasan perkotaan terus mengalami perkembangan yang pesat dalam pertumbuhan populasi penduduknya. Secara kuantitatif, data menunjukkan bahwa jumlah penduduk perkotaan di Indonesia mengalami pertumbuhan dari sekitar 32.8 juta atau 22.3 persen total penduduk nasional pada tahun 1980, meningkat menjadi 55.4 juta atau 30.9 persen di tahun 1990, dan 86.6 juta atau 42 persen pada tahun 2000. Pada tahun 2025 diperkirakan 68.3 persen penduduk Indonesia akan mendiami kawasan perkotaan1.

Tabel 1. Penduduk Perkotaan di Indonesia Tahun 1980, 1990, 2000 dan 2005

Jumlah penduduk (dalam juta jiwa) Pertumbuhan (dalam persen)

1980 1990 2000 2005 1980-1990 1990-2000 2000-2005

Total 147.0 179.2 206.2 219.2 2.2 1.5 0.6

Perkotaan 32.8 55.4 6.6 105.8 6.9 5.6 2.2

Sumber: Sensus Penduduk (SP) 1980, 1990, 2000 dan Survey Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2005

Tabel 1 memperlihatkan selama kurun waktu sepuluh tahun (1980-1990), angka pertumbuhan penduduk perkotaan sebesar 6.9 persen per tahun. Itu berarti jauh lebih tinggi daripada angka pertumbuhan penduduk secara nasional, yaitu 2.2 persen per tahun. Demikian juga pada periode 1990-2000, angka pertumbuhan penduduk perkotaan mencapai 5.6 persen per tahun yang juga melebihi pertumbuhan penduduk nasional yang hanya sebesar 1.5 persen per tahun.

Pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi tersebut disebabkan oleh tiga faktor yaitu pertambahan jumlah penduduk yang secara alami terjadi melalui proses kelahiran, migrasi penduduk dari pedesaan ke perkotaan dan adanya

(15)

perubahan status kawasan pedesaan menjadi perkotaan. Para ahli kependudukan memperkirakan bahwa pertumbuhan penduduk di kawasan perkotaan terutama akibat dari migrasi penduduk ke kawasan ini serta adanya perubahan status pedesaan menjadi perkotaan.

Besarnya arus migrasi penduduk ke kawasan perkotaan dan perubahan kawasan pedesaan menjadi perkotaan, tidak terlepas dari bentuk pembangunan yang memperlihatkan besarnya peranan perkotaan dalam aktivitas ekonomi. Aktivitas ekonomi yang digerakkan dari kawasan ini merupakan tulang punggung pembangunan Indonesia dan memberikan kontribusi yang besar dalam pertumbuhan ekonomi. Hal ini dicerminkan oleh besarnya kontribusi sektor-sektor sekunder dan sektor-sektor tersier, terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Gambar 1. Kontribusi Sektoral Terhadap PDB Indonesia2

Gambar 1 memperlihatkan kontribusi sektor-sektor ekonomi terhadap PDB. Jika pada tahun 1960, sektor sekunder hanya memberikan kontribusi sebesar 15.05 persen maka kemudian pada tahun 2000 kontribusi itu meningkat hingga hampir setengah dari komposisi PDB.

2 Tahun 1970-2000: www.publication.worldbank.org/wdi dan tahun 2005: BPS

0 20 40 60 80 100 1 2 3 4 5 Tahun P e rs e n ta se PRIMER SEKUNDER TERSIER 1970 1980 1990 2000 2005

(16)

Sektor sekunder dan tersier merupakan sektor yang memiliki pengaruh terbesar dalam perekonomian Indonesia. Naik atau turun produktivitas pada kedua sektor ini memberikan efek yang meluas bagi perekonomian. Seperti yang terjadi pada tahun 1997. Akibat guncangan yang terjadi pada ekonomi perkotaan berdampak besar bagi perekonomian Indonesia.

Keberadaan berbagai kegiatan ekonomi baik sekunder maupun tersier serta fungsi-fungsi pelayanan yang lebih memadai menimbulkan daya tarik bagi penduduk untuk bermigrasi ke kawasan ini. Pada sisi lain, pengelompokan kegiatan, fasilitas dan penduduk serta berpusatnya berbagai keputusan yang menyangkut publik merupakan faktor yang menarik bagi kegiatan ekonomi (Prabatmodjo, 2000). Hal ini merupakan akibat dari pertimbangan para pelaku ekonomi, akan pentingnya kedekatan secara spasial untuk menghasilkan efisiensi yang mempengaruhi penentukan lokasi usaha maupun tempat tinggal.

Perkotaan memiliki nilai strategis dalam perkembangan suatu negara. Perkotaan tidak hanya berperan sebagai pemusatan penduduk serta berbagai fungsi sosial, ekonomi, politik dan administrasi, tetapi juga potensial sebagai instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan pada tingkat nasional dan regional (Prabatmodjo, 2000). Oleh karena itu, perkembangan perkotaan perlu dicermati.

1.2. Perumusan Masalah

Dalam tinjauan teori ekonomi regional, besarnya kota-kota dapat ditentukan dengan cara merangking pusat-pusat yang bersangkutan menurut jumlah penduduknya atau yang dikenal dengan rank-size rule. Rank size rule menggambarkan distribusi ukuran perkotaan pada suatu wilayah mengikuti pola

(17)

tertentu yang ditunjukkan oleh suatu nilai pareto (eksponen pareto). Penelitian yang pernah mengestimasi nilai pareto ini menunjukkan bahwa negara-negara di kawasan Amerika Utara dan Eropa memiliki nilai pareto yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara di kawasan lainnya, artinya negara-negara di Amerika Utara dan Eropa cenderung memiliki distribusi ukuran perkotaan yang lebih merata dibandingkan kawasan lainnya. Hal ini menimbulkan tanda tanya yaitu apakah distribusi ukuran perkotaan yang relatif lebih merata berkaitan dengan karakteristik yang dimiliki kedua kawasan tersebut, mengingat keduanya relatif memiliki karakteristik yang hampir sama?.

Bagaimana dengan distribusi ukuran perkotaan di Indonesia? Pada kurun waktu 1995 hingga 2005 tidak mengherankan Pulau Jawa mendominasi populasi penduduk perkotaan dengan proporsi yang terus meningkat. Gambar 2 memperlihatkan sebanyak lebih dari setengah penduduk perkotaan di Indonesia berada di Pulau Jawa. Gambar tersebut juga menunjukkan bahwa penduduk perkotaan di Indonesia semakin terkonsentrasi pada pulau ini.

Hasil SUPAS 1995 memberikan gambaran mengenai pertumbuhan penduduk perkotaan yang semakin terkonsentrasi tidak hanya terjadi antar pulau, tapi juga semakin terkonsentrasi pada daerah tertentu. Sebagian besar penduduk yang pindah selama lima tahun terakhir ke kota-kota besar berasal dari kawasan perkotaan, sedangkan sisanya berasal dari pedesaan3. Sebagai contoh, migran yang masuk ke DKI Jakarta selama periode 1990-1995, 61.7 persen berasal dari perkotaan. Pola yang sama juga terlihat di Kota Medan, Bandung, dan Surabaya,

(18)

dimana migran masuk yang berasal dari perkotaan masing-masing 70.9 persen, 62. 4 persen, dan 53.2 persen.

Perkembangan perkotaan yang seperti ini mengindikasi pertumbuhan yang tidak paralel, dimana kota-kota besar cenderung untuk tumbuh lebih cepat dari kota-kota di bawahnya. Hal ini menimbulkan kekhawatiran munculnya eksternalitas negatif pada pertumbuhan perkotaan di Indonesia, yang pada awalnya diharapkan mampu mendorong efisiensi dalam perekonomian regional justru berjalan kearah yang sebaliknya. Pada tahap lanjut, dekonsentralisasi menjadi lebih efisien karena dua hal (Henderson, 2000). Pertama, perekonomian telah mampu memperluas jangkauan infrastruktur dan sumberdaya pengetahuan sampai ke daerah pinggiran. Kedua, daerah dengan konsentrasi diawal yang tinggi berubah menjadi biaya tinggi dan lokasi-lokasi yang dipenuhi dengan kemacetan sehingga menimbulkan disefisiensi bagi produsen dan konsumen.

1.3 Tujuan

Penduduk perkotaan yang digunakan untuk mengestimasi ukuran perkotaan suatu wilayah di Indonesia terlihat cenderung terkonsentrasi pada

68.1 17.2 5 5.2 4.6 68.5 16.9 4.6 4.8 5.3 68.7 16.1 4.9 4.9 5.5 0 20 40 60 80 100 1 2 3 4 5 Pulau Utama P er se n ta se Series1 Series2 Series3

Jawa Sumatera Kalimantan Sulawesi Lainnya

1995 2000 2005

Sumber: SP 2000 dan SUPAS 1995 dan 2005

Gambar 2. Distribusi Penduduk Perkotaan pada 5 Pulau Utama di Indonesia Tahun

1995, 2000 dan 2005 (dalam persentase)

(19)

dalam penelitian ini adalah:

1. Mengkaji apakah rank-size rule berlaku di Indonesia. 2. Mengidentifikasi distribusi ukuran perkotaan di Indonesia.

3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi ukuran perkotaan di Indonesia.

1.4 Manfaat Penelitian

Dengan memahami distribusi ukuran perkotaan di Indonesia diharapkan hasil dari penelitian dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi para pembuat kebijakan untuk mengatur dan mengelola tingkat pertumbuhan perkotaan dan distribusinya, sehingga dapat mengurangi dampak negatifnya terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini menggunakan data 25 provinsi di Indonesia tahun 1995, 2000 dan 2005. Jumlah unit cross section yang digunakan dalam penelitian ini mengikuti jumlah provinsi yang ada pada tahun awal penelitian (1995) dikurangi Timor-Timor serta Provinsi DKI Jakarta yang dimasukkan ke dalam Provinsi Jawa Barat. Provinsi yang baru lahir akibat proses pemekaran wilayah setelah

(20)

II. TINJAUAN STUDI TERDAHULU

2.1 Penelitan Mengenai Pertumbuhan Kota dan Primate City

Penelitian mengenai distribusi ukuran perkotaan tidak dapat terlepas dari penelitian mengenai pertumbuhan kota dan primate city. Junius (1999) dalam ”Primacy and Economic Development: Bell Shaped or Parallel Growth of Cities” mengidentifikasi pola pertumbuhan kota, apakah membentuk primasi (terkonsentrasi) ataukah tumbuh secara paralel. Junius (1999) menggunakan data penduduk perkotaan pada 70 negara.

Rasio primasi diestimasi dengan membagi populasi kota terbesar terhadap total populasi perkotaan. Berdasarkan hubungan antara tingkat primasi dan pembangunan ekonomi yang diperoleh dari kurva bell shaped, Junius (1999) menyimpulkan bahwa indeks primasi pada suatu negara berhubungan erat dengan faktor sejarah. Negara yang sudah lama merdeka cenderung memiliki konsentrasi perkotaan yang lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara yang baru merdeka. Kondisi sistem transportasi yang ada juga turut mempengaruhi konsentrasi perkotaan, sedangkan keterbukaan ekonomi dan kebebasan politik memberikan pengaruh yang kurang signifikan.

Menggunakan metode GMM, Henderson (2000) dalam ”The Effect of Urban Concentration in Economic Growth” mengidentifikasi determinan dari konsentrasi perkotaan dengan menggunakan data 80 negara-negara di dunia tahun 1960 hingga 1995 (interval 5 tahun). Henderson (2000) menjelaskan bahwa konsentarasi perkotaan pada suatu wilayah meningkat seiring dengan kenaikan pendapatan. Ketika pendapatan meningkat, kemudian terjadi peningkatan

(21)

kepadatan jalan menyebabkan berkurangnya tingkat primasi secara signifikan. Faktor perdagangan internasional dan tingkat desentralisasi politik menyebabkan berkurangnya konsentrasi penduduk perkotaan di wilayah tertentu.

Prabatmodjo (2000) mengidentifikasi perkembangan urbanisasi di Indonesia dengan menggunakan data tahun 1971 dan 1980. Dalam tulisannya yang berjudul “Perkotaan Indonesia pada Abad ke-21: Menuju Urbanisasi Menyebar?” menyatakan secara umum kota-kota besar memiliki kontribusi tinggi dalam pertambahan penduduk perkotaan.

Distribusi perkotaan di Indonesia relatif seimbang dengan tingkat primasi yang relatif rendah. Bentuk kepulauan, yang menghasilkan rintangan ruang yang signifikan, lebih memungkinkan berkembangnya kota-kota di luar Jawa serta menghindarkan tingkat primasi yang berlebihan. Meskipun demikian, Jawa memiliki lebih banyak kota dengan penduduk diatas sepuluh ribu jiwa dibandingkan dengan pulau lain. Indonesia secara umum telah masuk pada tahap advanced primate city yaitu kota-kota metropolitan sudah mulai jenuh karena keterbatasan ruang. Di lain pihak, kota-kota menegah mulai meningkat perannya sebagai konsentrasi penduduk.

Penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan kota di Indonesia pernah dilakukan oleh Mulatip dan Brodjonegoro (2002), dengan menggunakan data tahun 1990 yang mencakup 56 kota. Penelitiannya yang berjudul “Determinan Pertumbuhan Kota”, pertumbuhan kota diestimasi dengan pertumbuhan jumlah angkatan kerja dan pertumbuhan jumlah penduduk. Dengan menggunkan analisi regresi, Mulatip dan Brodjonegoro (2002) menyimpulkan bahwa kepadatan penduduk, spesialisasi ekonomi mempengaruhi pertumbuhan

(22)

kota secara negatif. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan kota secara positif ditunjukkan oleh tingkat penghematan karena urbanisasi, tingkat penghematan karena lokalisasi dan tingkat pendidikan penduduk.

2.2. Penelitan Mengenai Distribusi Ukuran Perkotaan dengan Rank Size Rule

Duranton (2002) menyatakan dalam “City Size Distribution As a Consequence of Growth Process” bahwa ukuran distribusi penduduk di banyak negara mengikuti suatu pola yang umum. Beberapa teori mengenai distribusi ukuran kota memungkinkan menghitung pola tersebut dengan menggunakan mekanisme ekonomi seperti adanya penghematan karena agglomerasi dan biaya kepadatan. Duranton (2002) menyimpulkan bahwa inovasi merupakan mesin penggerak dibalik tumbuh atau tidaknya kota. Kota tumbuh atau tidak sejalan dengan berhasil atau gagalnya industri-industri yang ada di dalamnya dalam melakukan inovasi.

Crampton (2005) menggunakan data 14 negara di Eropa mengestimasi tingkat primasi dan distribusi ukuran perkotaan dengan penerapan rank-size rule. Dalam penelitiannya yang berjudul ”The Rank Size Rule in Europe”, Crampton (2005) menyimpulkan bahwa negara yang memiliki pemerintahan relatif keras (strong) dan memiliki sejarah regional city-state memiliki pola distribusi ukuran perkotaan yang anti-primate.

Penelitian mengenai rank-size rule masih sangat terbatas. Penelitian yang dilakukan Rossen dan Resnick (1980) yang berjudul “The Size Distribution of Cities: An Examination of Pareto Law and Primacy” merupakan penelitian yang cukup penting. Rossen dan Resnick (1980) mengidentifikasi distribusi ukuran

(23)

kota pada 44 negara di dunia dengan menggunakan data tahun 1970. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa nilai eksponen pareto berkisar antara 0.88 hingga 1.96. Hasil ini membuktikan bahwa secara empiris ukuran kota selalu lebih besar ataupun lebih kecil dari ukuran kota yang diprediksi rank-size rule.

Soo (2002) memperbarui penelitian Rossen dan Resnick (1980) dengan menambah jumlah negara yang diteliti menjadi 73 negara (salah satunya Indonesia). Dalam penelitiannya yang berjudul ”Zipf’s Law for Cities: A Cross Country Investigation” menggunakan dua definisi kota yaitu menggunakan pendekatan kota menurut definisi administratif dan kota menurut konsep agglomerasi. Distribusi ukuran kota pada suatu negara dapat diestimasi dengan sebuah nilai eksponen pareto yang diperoleh dari rumusan rank-size rule. Nilai ini diestimasi dengan dua pendekatan yaitu regresi OLS dan Hill Estimator. Soo (2002) juga meneliti faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan dalam nilai pareto ini antar negara.

Hasil estimasi nilai pareto terbesar dipegang oleh Kuwait yaitu sebesar 1.719. Nilai pareto ini berasosiasi dengan banyaknya kota-kota kecil dan tidak adanya kota primasi di Kuwait. Hasil investigasi terhadap 6 benua utama menghasilkan bahwa secara rata-rata, negara-negara di Kawasan Eropa, Amerika Utara dan Oceania memiliki nilai pareto diatas 1.2, sedangkan negara-negara di Asia, Afrika dan Amerika Latin memiliki rata-rata nilai pareto dibawah 1.1.

Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi ukuran kota yang dilakukan Soo (2002) menunjukkan bahwa faktor ekonomi politik seperti kebebasan sipil, pengeluaran pemerintah, keterlibatan pada perang dunia dan usia

(24)

negara tersebut merdeka, lebih baik dalam menjelaskan perbedaan dalam nilai pareto dibandingkan dengan faktor ekonomi geografi seperti derajat skala ekonomi, biaya transportasi, nilai tambah produk non pertanian dan perdagangan internasional.

(25)

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Definisi Wilayah

Teori ekonomi regional memberikan tekanan akan pentingnya memasukkan dimensi lokasi dalam menganalisis masalah-masalah ekonomi. Dalam menerangkan unsur lokasi tersebut, teori ekonomi regional memakai konsep region (wilayah). Konsep wilayah mempunyai tiga macam pengertian, yaitu (Adisasmita, 2005):

1. Konsep Homogenitas

Wilayah homogen diartikan sebagai suatu konsep yang menganggap bahwa wilayah-wilayah geografis dapat dikaitkan bersama-sama sehingga dapat dipandang sebagai sebuah wilayah tunggal. Ciri atau karakteristik tersebut dapat bersifat ekonomi, geografis, dan dapat bersifat sosial atau politis. Misalnya konsep homogenitas berdasarkan kesamaan pendapatan per kapita, kesamaan kepribadian masyarakat yang khas, kesamaan topografi wilayah, ataupun kesamaan sejarah, budaya dan sebagainya.

2. Konsep Nodalitas

Wilayah dibedakan atas perbedaan struktur tata ruang dimana terdapat hubungan saling ketergantungan yang bersifat fungsional. Keadaan ini dapat dibuktikan dengan mobilitas penduduk, arus produksi dan arus barang, pelayanan ataupun arus komunikasi dan transportasi. Hubungan saling keterkaitan ini terlihat pada hubungan antara pusat dengan wilayah belakangnya (inti dengan hinterland).

(26)

3. Konsep Administrasi atau Wilayah Program

Pengelompokan yang dilakukan berdasarkan kepentingan administrasi pemerintahan, dimana batas-batas daerah ditentukan oleh struktur administrasi pemerintahan tertentu. Wilayah perencanaan merupakan suatu wilayah pengembangan, dimana program-program pembangunan dilaksanakan.

Penelitian ini menggunakan definisi wilayah menurut konsep administrasi. Hal ini berkaitan dengan ketersediaan data yang dikumpulkan berdasarkan wilayah administrasi.

3.1.2. Definisi Kota dan Perkotaan

Pendefinisian tentang kota tidak selalu tepat dan tergantung pada pendekatannya. Pendekatan dari segi ekonomi melihat kota sebagai pusat pertemuan lalu lintas ekonomi, perdagangan, kegiatan industri serta tempat perputaran uang yang bergerak dengan cepat dan dalam volume yang banyak (Marbun, 1994). Dalam konteks administrasi pemerintahan di Indonesia, kota adalah pembagian wilayah administratif setelah provinsi. Selain kota, pembagian wilayah administratif setelah provinsi adalah kabupaten.

Berbeda dengan definisi kota secara administratif, definisi perkotaan menurut BPS yaitu wilayah yang memiliki kepadatan penduduk mencapai 5 ribu jiwa atau lebih per kilometer persegi, jumlah rumah tangga dengan pola usaha pertanian maksimum 25 persen dan menunjukkan adanya delapan atau lebih jenis fasilitas perkotaan, seperti sekolah, pasar, rumah sakit, jalan aspal dan listrik. Baik kabupaten maupun kota (dalam pengertian administrasi) memiliki wilayah perkotaan. Adanya keunggulan komparatif, skala ekonomi dalam produksi dan

(27)

agglomerasi ekonomi pada suatu wilayah, membentuk suatu tekanan pasar sehingga terbentuk wilayah dengan ciri-ciri perkotaan (Sullivan, 2000).

Dalam UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa kawasan perkotaan dapat dibedakan atas empat hal, yaitu:

(a) Kawasan perkotaan yang berstatus administratif kota.

(b) Kawasan perkotaan yang merupakan bagian dari daerah kabupaten. (c) Kawasan perkotaan baru yang merupakan hasil pembangunan yang

mengubah kawasan perdesaan menjadi kawasan perkotaan.

(d) Kawasan perkotaan yang menjadi bagian dari 2 atau lebih daerah yang berbatasan sebagai satu kesatuan sosial, ekonomi dan fisik perkotaan.

3.1.3. Central Place Theory

Walter Christaller memperkenalkan sebuah teori yang dikenal sebagai Central Place Theory. Teori ini menjelaskan mengenai bagaimana susunan dari besaran kota, jumlah kota, dan distribusinya dalam satu wilayah (Priyarsono, Sahara dan Firdaus, 2007).

Teori central place memiliki tiga konsep fundamental yaitu konsep ambang batas (threshold), lingkup (range) dan hierarki (Richardson dalam Adisasmita, 2005).

1. Ambang Batas (Threshold)

Suatu pusat memiliki ambang batas tertentu dalam memberikan pelayanan. Sebuah pusat yang kecil akan memberikan penawaran pelayanan yang lebih terbatas jika dibandingkan dengan pusat yang lebih besar. Tidak mudah untuk mengukur ambang batas. Untuk mengukur ambang batas digunakan jumlah orang yang membutuhkannya.

(28)

2. Lingkup (range)

Keberadaan ambang batas suatu pusat menimbulkan jangkauan pelayanan. Lingkup (range) digambarkan sebagai area (luas jangkauan area yang dilayani) dari kepusatan suatu pusat. Jangkauan ini dapat juga dianalogikan sebagai asal konsumen yang diukur dari jarak tempat tinggal pembeli menuju ke pusat pelayanan tempat konsumen membeli barangnya. Jangkauan pelayanan dipengaruhi oleh harga barang, biaya transportasi, tingkat kebutuhan terhadap barang yang akan dibeli, selera konsumen, dan kesempatan memilih.

3. Hierarki

Hasil penelitian Christaller menunjukkan bahwa pemenuhan kebutuhan penduduk membentuk hierarki pelayanan, dengan sebuah pusat utama yang didukung oleh beberapa pusat pelayanan dengan skala yang lebih rendah.

Hubungan antara ambang batas, lingkup dan hierarki dapat dijelaskan dalam suatu sistem geometri dimana angka tiga yang diterapkan secara arbiter memiliki peran yang sangat berarti, sehingga disebut sistem k=3 dari Christaller (Priyarsono, et.al., 2007).

Sumber: Hoover dan Giarratani, 2002

Gambar 3. Perkembangan Pusat Pelayanan

(29)

Mula-mula terbetuk area perdagangan yang berbentuk lingkaran-lingkaran. Setiap lingkaran memiliki pusat dan menggambarkan ambang batas masing-masing dengan jangkauan yang tidak tumpang tindih serta terdapat area yang tidak terlayani (Bagian A Gambar 3). Kemudian muncul adanya kompetisi yang mengakibatkan perebutan jangkauan pelayanan. Hal tersebut mengakibatkan adanya penciutan jangkauan sebagaimana yang tercipta sebelumnya (Bagian B Gambar 3). Dengan tumpang tindihnya area perdagangan mengakibatkan jangkauan pelayanan yang semula berupa lingkaran mengalami penyesuaian sehingga berbentuk heksagonal (Bagian C Gambar 3).

Sumber: Priyarsono, et al., 2007

Christaller melihat sistem k=3 menjadi tidak realistik dan berinovasi menggunakan K=7, dimana pusat dari beberapa wilayah yang lebih rendah berada di dalam heksagonal dari pusat yang lebih tinggi (Gambar 4). Ia kemudian mengaitkan teorinya ini dengan susunan orde perkotaan. Kota yang dapat memberikan pelayanan yang besar dan beragam dinyatakan sebagai kota orde I, sedangkan makin rendah pelayanan yang tersedia maka orde kotanya juga semakin rendah (Priyarsono, et.al., 2007).

(30)

Central Place Theory mengidentifikasi pengaruh kekuatan pasar terhadap terbantuknya hierarki sistem perkotaan. Hal ini menjelaskan mengapa ada kota yang lebih besar dari yang lain (Sullivan, 2000).

Gambar 5, menunjukkan ukuran distribusi kota-kota dalam suatu wilayah. Garis tegak lurus menunjukkan populasi kota (populasi) dan garis mendatar menunjukkan peringkat (rank) kota. Kota terbesar (orde I) memiliki populasi 20.000 jiwa, kota orde II memiliki populasi 10.000 jiwa, kota orde III memiliki populasi 5000 jiwa. Secara total, wilayah ini terdapat 11 kota dengan rincian terdapat sebuah kota berpopulasi 20.000 jiwa, dua buah kota berpopulasi 10.000 jiwa dan 8 kota berpopulasi 5.000 jiwa. Berdasarkan hal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa distribusi ukuran kota dalam suatu wilayah menunjukkan semakin tinggi orde suatu kota maka jumlahnya akan semakin sedikit.

Penelitian Chritaller diawali dengan menetapkan beberapa asumsi, yakni: 1. Daerah yang akan menjadi wilayah penelitian merupakan wilayah yang

homogen, datar, dan penduduk dapat mencapai semua arah tanpa hambatan. 0 5000 10000 15000 20000 25000 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Rank S iz e Sumber: Sullivan (2000)

(31)

2. Pelanggan bertindak rasional serta memiliki daya beli yang sama dan tersebar secara merata pada seluruh daerah. Mereka hanya akan membeli barang dari pusat yang terdekat dari tempat tinggalnya (prinsip minimisasi biaya).

Beberapa ahli telah menyampaikan kritik terhadap Teori Central Place ini, antara lain penggunaan asumsi bahwa keadaan penduduk adalah homogen, termasuk tindakan yang mengabaikan kebutuhan individu. Walaupun terdapat kelemahan-kelemahan pada teori ini, namun teori Central Place tetap memberikan sumbangan yang berarti untuk memahami pola dan keteraturan keruangan serta hirarki pusat pelayanan.

3.1.4. Ukuran Kota

Pada dunia nyata, model hierarki sistem perkotaan dalam teori central place dirumuskan dalam bentuk rank-size rule, dimana ukuran besarnya kota-kota dapat ditentukan dengan cara merangking pusat-pusat yang bersangkutan menurut jumlah penduduknya (Adisasmita, 2005). Rumusan ini pertama kali diperkenalkan oleh Auerbach pada tahun 1913 (Gabaix dan Ionnides, 2003). Rank-size rule menggambarkan hubungan antara ukuran populasi kota dan peringkatnya dengan bentuk yaitu:

Rank x Size = Constant atau

dimana rank adalah peringkat kota ke-n, size adalah ukuran kota ke-n dan constant adalah ukuran kota terbesar. Misalkan, populasi penduduk di kota terbesar adalah 16 juta maka rank-size rule menduga bahwa populasi penduduk di (3.1.4.2) Constant

Size Rank =

(32)

kota terbesar kedua adalah setengah dari populasi penduduk di kota terbesar pertama, dan populasi penduduk di kota terbesar ke-n adalah seper-n kali dari populasi penduduk di kota besar pertama. Penelitian secara empiris menyimpulkan bahwa ukuran kota-kota secara nyata selalu lebih besar ataupun lebih kecil dari prediksi rank-size rule.

3.1.5. Distribusi Ukuran Kota

Rank-size rule dapat dengan tepat memprediksi ukuran kota-kota, jika pangkat dari size sama dengan 1. Pada perkembangan secara empiris, nilai ini bervariasi di setiap wilayah, sehingga rumus ini menjadi:

Rank =

dimana nilai α atau yang dikenal sebagai eksponen pareto, menunjukkan distribusi ukuran kota suatu wilayah. Persamaan tersebut dapat ditransformasi ke dalam bentuk persamaan log menjadi:

log Rank = log Constant – α log Size

Jika nilai α semakin mendekati tak hingga, maka semua kota pada wilayah tersebut memiliki ukuran yang sama. Persamaan diatas lebih dikenal sebagai Zipf’s Law.

Perkembangan penelitian mengenai distribusi ukuran kota dengan penerapan rank-size rule seringkali menggunakan populasi penduduk pada kawasan perkotaan, seperti pada Junius (1999), Duranton (2000), Crampton (2005). Dalam tinjauan ekonomi perkotaan, jumlah penduduk pada kawasan perkotaan menggambarkan ukuran perkotaan (Sullivan, 2000). Distribusi ukuran perkotaan menggambarkan bagaimana penduduk perkotaan tersebar pada suatu wilayah sehingga membentuk peringkat tertentu.

(3.1.5.1) Constant

Size α

(33)

3.1.6. Determinan Distribusi Ukuran Perkotaan

Pada awalnya semua wilayah memiliki tingkat pembangunan yang sama, namun masing-masing berbeda dalam karakteristik dasarnya. Tiap-tiap wilayah memiliki kekuatan yang berbeda dalam mendukung tiap bagian dalam wilayahnya, menyebabkan terbentuklah suatu sistem kota kewilayahan (regional system of cities) (Sulivan, 2000). Kota yang satu dikatakan lebih besar dari yang lain yaitu apabila ia dapat menyediakan lebih banyak barang dan jasa yang tidak hanya dapat memenuhi kebutuhan internal tapi juga dapat melayani wilayah di sekitarnya.

Perkembangan kota merupakan bagian integral dari perkembangan suatu wilayah ekonomi yang lebih besar (Sullivan, 2000), maka distribusi ukuran perkotaan merupakan akibat dari suatu proses pertumbuhan (Duranton, 2002). Berdasarkan hal tersebut maka distribusi ukuran perkotaan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:

1. Congestion Effect

Analisis pengaruh kepadatan terhadap distribusi ukuran perkotaan sangat terkait dengan sistem transportasi yang ada (Soo, 2002). Untuk mencapai suatu lokasi tertentu, seorang agen ekonomi harus mengeluarkan biaya perjalanan yang bukan hanya biaya dalam satuan moneter tapi juga biaya akibat lamanya perjalanan. Jika diasumsikan biaya per satuan jarak adalah sama, maka perbedaan biaya transportasi antara wilayah satu dengan yang lain dipengaruhi oleh biaya akibat lamanya perjalanan.

Untuk mengestimasi pengaruh kondisi trasportasi terhadap distribusi ukuran perkotaan yaitu dengan menggunakan tingkat kepadatan jalan.

(34)

Kepadatan Jalan =

Ketika tersedia sistem transportasi yang memadai, maka biaya perjalanan dapat lebih rendah, hal tersebut menyebabkan penduduk akan lebih tersebar. Peningkatan kepadatan jalan berpengaruh positif terhadap distribusi ukuran perkotaan.

2. Efek Penghematan Agglomerasi

Penghematan agglomerasi merupakan eksternalitas secara geografi dalam aktivitas perekonomian. Semakin besar aktivitas perekonomian di suatu lokasi tertentu akan membuat industri atau tenaga kerja akan berpindah ke lokasi tersebut. Agglomerasi menyebabkan pertumbuhan pada suatu wilayah terkonsentrasi pada suatu daerah. Agglomerasi secara umum dikelompokkan menjadi dua, yaitu penghematan karena lokalisasi dan urbanisasi (Sullivan, 2000). Bradley dan Gans (1998) menambah jenis agglomerasi dengan penghematan karena spesialisasi.

2.1. Penghematan Urbanisasi

Agglomerasi ini ditandai dengan pengelompokkan berbagai macam industri pada lokasi yang sama. Kondisi ini akan menyebabkan terjadinya pemusatan tenaga kerja yang mempunyai keahlian beragam dan dengan demikian akan mudah terjadinya pelimpahan pengetahuan. Selain itu, industri juga dapat memanfaatkan skala ekonomi dalam pengadaan barang dan jasa yang digunakan sebagai input antara.

Efek urbanisasi ekonomi terhadap distribusi ukuran perkotaan diestimasi dengan indeks primasi, yaitu kekuatan daya tarik kota terbesar pada suatu wilayah terhadap daerah-daerah di sekitarnya. Semakin tinggi nilai indeks primasi maka

Panjang Jalan

(35)

wilayah tersebut memiliki persebaran penduduk yang cenderung berkumpul pada suatu daerah tertentu, sehingga peningkatan tingkat primasi pada suatu wilayah berpengaruh negatif terhadap distribusi ukuran perkotaan.

2.2 Penghematan Lokalisasi

Penghematan lokalisasi merupakan penghematan yang muncul akibat pengelompokan berbagai perusahaan dalam industri yang sama di satu lokasi. Dengan berada di satu lokasi maka produktivitas dapat meningkat melalui tersedianya input antara sehingga terjadi skala ekonomi dalam produksi (scale economies in production), kesesuaian pasar tenaga kerja (labor market pooling) dan terjadinya aliran pengetahuan antar perusahaan yang akhirnya dapat mendorong terjadinya pengembangan inovasi (knowledge spillovers). Semakin tinggi tingkat lokalisasi pada suatu wilayah maka wilayah tersebut akan cenderung tumbuh dengan konsentrasi pada daerah tertentu, sehingga tingkat lokalisasi yang tinggi akan berpengaruh negatif terhadap distribusi ukuran perkotaan.

2.3. Penghematan Spesialisasi

Spesialisasi ini berhubungan dengan komposisi sektoral dalam perekonomian. Spesialisasi berhubungan dengan suatu tingkat dimana suatu wilayah terkonsentrasi pada sektor produksi tertentu. Adanya spesialisasi kegiatan produksi meningkatkan produktivitas input tenaga kerja. Hal ini dipengaruhi oleh peningkatan keterampilan tenaga kerja sebagai akibat dari pekerjaan dilakukan secara berulang.

(36)

Spesialisasi ini juga menyebabkan tenaga kerja membutuhkan waktu yang relatif lebih singkat untuk berpindah dari satu tugas ke tugas lainnya (Sullivan, 2000). Semakin tinggi tingkat spesialisasi maka wilayah tersebut akan cenderung untuk tumbuh terkonsentrasi pada daerah tertentu, dan sebaliknya sehingga peningkatan tingkat spesialisasi pada suatu wilayah berpengaruh negatif terhadap distribusi ukuran perkotaan.

3. Kondisi Sumber Daya Manusia

Kondisi para agen ekonomi (SDM) pada suatu wilayah turut mempengaruhi distribusi ukuran perkotaan, karena mereka adalah pembuat keputusan lokasi aktivitasnya dilakukan. Dalam menentukan lokasi tempat tinggalnya, sebuah rumah tangga menghadapi dua kondisi yaitu memilih sesuai selera dengan terkendala biaya. Bagi perusahaan, dalam menentukan lokasi usahanya memiliki pertimbangan tertentu dengan tujuan memaksimalkan keuntungan dengan sumber daya yang tersedia.

Untuk mengestimasi pengaruh kondisi SDM pada suatu wilayah terhadap distribusi ukuran perkotaan menggunakan pendekatan pendapatan per kapita (Soo, 2002) dan tingkat partisipasi angkatan kerja yang memungkinkan adanya inisiatif-inisiatif usaha baru (Duranton, 2002). Tingkat pendapatan per kapita dihitung dengan rasio PDRB total terhadap jumlah penduduk. Sedangkan tingkat partisipasi angkatan kerja dihitung dengan persentase angkatan kerja terhadap penduduk usia kerja. Dengan pendapatan yang tinggi, rumah tangga dapat menentukan lokasi tempat tinggal menurut selera. Hal ini menyebabkan pendapatan berpengaruh positif terhadap distribusi ukuran perkotaan. Dengan jumlah sumber daya manusia yang melimpah, perusahaan dapat melakukan

(37)

ekspansi usaha ke setiap daerah, sehingga dengan tingkat partisipasi angkatan kerja yang besar akan berpengaruh positif terhadap distribusi ukuran perkotaan.

4. Peran Pemerintah

Peran pemerintah terhadap pertumbuhan berhubungan dengan efisiensi pemerintah dalam menyediakan fasilitas publik. Untuk dapat menyediakan barang publik, pemerintah memerlukan biaya yang diperoleh dari pendapatan. Semakin besar pendapatan yang diperoleh pemerintah berkorelasi dengan semakin besarnya kemampuan pemerintah dalam menyediakan fasilitas publik. Hal ini berdampak positif terhadap distribusi ukuran perkotaan.

Di Indonesia, sejak masa desentralisasi telah melahirkan daerah administrasi baru melalui prosedur pemekaran wilayah. Untuk mengestimasi situasi ini yaitu dengan menggunakan jumlah pembagian daerah administrasi kota/kabupaten dalam suatu provinsi. Semakin banyak pembagian daerah administrasi diharapkan dapat mendorong wilayah untuk tumbuh secara lebih merata. Hal ini mungkin terjadi karena penambahan daerah administrasi juga menghasilkan pusat pelayanan baru. Munculnya daerah administrasi yang baru menyebabkan cakupan pengawasan pemerintahan kota/kabupaten menjadi lebih sempit, sehingga pembangunan dapat lebih terarah. Peningkatan jumlah daerah administrasi kota/kabupaten berpengaruh positif terhadap distribusi ukuran perkotaan.

5. Keterbukaan Wilayah

Dalam konsep regional menurut kesatuan ekonomi secara nasional mudah mengasumsikan suatu perekonomian tertutup, namun menjadi hampir mustahil menerapkan konsep region menurut provinsi jika mengasumsikan adanya

(38)

peekonomian tertutup. Implikasinya yaitu analisa ekonomi regional harus mengantisipasi keluar masuknya barang/jasa antar wilayah. Untuk mengestimasi tingkat keterbukaan wilayah yaitu dengan menjumlahkan nilai ekspor dan impor dan membaginya dengan PDRB

Efek keterbukaan wilayah terhadap distribusi ukuran perkotaan adalah positif (Soo, 2002). Hal ini mungkin terjadi jika dengan wilayah yang relatif terbuka dalam aktivitas ekonominya akan memacu masing-masing daerah untuk tumbuh.

3.1.7. Metode Panel Data

Kelemahan penggunaan pendekatan cross section yaitu membutuhkan penyokong dari pendekatan time series. Sebagai contoh, analisis mengenai pertumbuhan ekonomi suatu wilayah yang ditinjau melalui pertumbuhan PDRB, tingkat investasi dan tingkat konsumsi. Jika hanya menggunakan data cross section, yang diamati hanya pada suatu saat, maka tingkat pertumbuhan wilayah-wilayah tersebut antar waktu tidak dapat dilihat. Di lain sisi, penggunaan time series juga menimbulkan persoalan tersendiri melalui peubah-peubah yang diobservasi secara serentak (aggregat) dari satu unit individu dapat memberikan hasil estimasi yang bias. Berdasarkan latar belakang tersebut, dewasa ini muncul perhatian dalam penggunaan pendekatan panel data, yaitu menggunakan informasi dari kedua pendekatan tersebut (cross section dan time series).

Terdapat dua keuntungan penggunaan model panel data dibandingkan data time series dan cross section saja (Verbeek, 2004). Pertama, dengan mengkombinasikan data time series dan cross section dalam panel data membuat (3.1.5.1) Ekspor + Impor

PDRB Total Keterbukaan Wilayah =

(39)

jumlah observasi menjadi lebih besar, dan dapat melihat perubahan peubah penjelas sepanjang dua dimensi (individu dan waktu), pendugaan yang berdasarkan panel data seringkali lebih akurat dibandingkan sumber data lain. Menurut Hsiao (2004), data panel dapat memberikan data yang informatif, mengurangi kolinearitas antar peubah, meningkatkan derajat kebebasan yang artinya meningkatkan efisiensi.

Kedua, keuntungan dari penggunaan panel data adalah mengurangi masalah identifikasi. Panel data lebih baik dalam mengidentifikasi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat diatasi dalam data cross section saja atau data time series saja. Panel data mampu mengontrol heterogenitas individu. Dengan metode ini estimasi yang dilakukan dapat secara eksplisit memasukkan unsur heterogenitas individu. Panel data juga lebih baik untuk studi dynamics of adjustment. Hal ini berkaitan dengan observasi cross section yang berulang, maka data panel lebih baik dalam mempelajari perubahan dinamis.

Terdapat dua pendekatan dalam metode panel data, yaitu Fixed Effect Model (FEM) dan Random Effect Model (REM). Keduanya dibedakan berdasarkan ada atau tidaknya korelasi antara komponen error dengan peubah bebas.

Misalkan:

yit = αi + Xit β + εit (3.1.7.1) dan one way komponen error dispesifikasikan dalam bentuk:

εit = λi + uit (3.1.7.2)

sedangkan untuk two way, komponen error dispesifikasi dalam bentuk:

(40)

dimana uit diasumsikan tidak berkorelasi dangan Xit. One way komponen error hanya memasukkan komponen error yang merupakan efek dari individu (λi),

sedangakan pada two way telah memasukkan efek dari waktu (µi) ke dalam

komponen error. Jadi dengan tidak adanya korelasi antara uit dan Xit , maka perbadaan antara FEM dan REM terletak pada ada atau tidaknya korelasi antara λi

dan µi dengan Xit.

1. Fixed Effect Model (FEM)

FEM muncul ketika antara efek individu dan periode memiliki korelasi dengan Xit atau memiliki pola yang sifatnya tidak acak. Asumsi ini membuat komponen error dari efek individu dan waktu dimasukkan ke dalam konstanta intersep, yaitu:

untuk one way error component: yit = αi + λi + Xit β + uit

dan untuk two way error component: yit = αi + λi + µi + Xit β + uit

Untuk menggambarkan FEM dapat menggunakan empat pendekatan sebagai berikut:

1.1. Pooled Least Square (PLS)

Pada prinsipnya, pendekatan ini adalah menggunakan gabungan dari seluruh data (pooled), sehingga terdapat NxT observasi, dimana N menunjukkan jumlah unit cross section yang digunakan dan T menunjukkan jumlah titik waktu

yang digunakan, yang diregresikan dengan model: yit = αi + Xit β + uit (3.1.7.6)

dimana αi bersifat konstan untuk semua observasi, atau αi = α, dan dirumuskan:

(3.1.7.4)

(41)

dimana

Dengan mengkombinasikan atau mengumpulkan semua data dan data time series,

memberikan hasil estimasi yang lebih efisien, sehingga:

Pendekatan ini memiliki kelemahan yaitu dugaan parameter Hal ini ditunjukkan dari arah kemiringan (gradien)

garis regresi dari masing

Gambar 6. Grafik Estimasi dengan Pendekatan

(3.1.7.7

dan

Dengan mengkombinasikan atau mengumpulkan semua data

time series, dapat meningkatkan derajat kebebasan sehingga dapat hasil estimasi yang lebih efisien, sehingga:

Pendekatan ini memiliki kelemahan yaitu dugaan parameter

Hal ini ditunjukkan dari arah kemiringan (gradien) PLS yang tidak sejajar dengan garis regresi dari masing-masing individu.

Slop yang bias ketika

k Estimasi dengan Pendekatan Pooled Least Square (3.1.7.7)

Dengan mengkombinasikan atau mengumpulkan semua data cross section dapat meningkatkan derajat kebebasan sehingga dapat

Pendekatan ini memiliki kelemahan yaitu dugaan parameter β akan bias. yang tidak sejajar dengan

Slop yang bias ketika fixed effect diabaikan (3.1.7.9) (3.1.7.8)

(42)

Parameter yang bias ini disebabkan karena

observasi yang berbeda pada periode yang sama, atau tidak dapat membedakan observasi yang sama pada periode yang berbeda.

1.2. Pendekatan Within Group (WG) Estimator

Pendekatan ini mengasumsikan bahwa intersep akan berbeda untuk masing-masing group yang berbeda, misalk

dimana

dan

kurangi dengan pers (3.1.7.1), maka diperoleh:

atau

sehingga,

Berdasarkan persamaan (3.1.7.12) terlihat bahwa

WG tidak memiliki konstanta intersep. Untuk mengilustrasikan bagaimana pendekatan WG bekerja dapat dilihat pada Gambar 7.

Parameter yang bias ini disebabkan karena PLS tidak dapat membedakan berbeda pada periode yang sama, atau tidak dapat membedakan observasi yang sama pada periode yang berbeda.

Within Group (WG) Estimator

Pendekatan ini mengasumsikan bahwa intersep akan berbeda untuk masing group yang berbeda, misalkan diberikan:

kurangi dengan pers (3.1.7.1), maka diperoleh:

Berdasarkan persamaan (3.1.7.12) terlihat bahwa FEM dengan pendekatan tidak memiliki konstanta intersep. Untuk mengilustrasikan bagaimana

bekerja dapat dilihat pada Gambar 7.

tidak dapat membedakan berbeda pada periode yang sama, atau tidak dapat membedakan

Pendekatan ini mengasumsikan bahwa intersep akan berbeda untuk

dengan pendekatan tidak memiliki konstanta intersep. Untuk mengilustrasikan bagaimana (3.1.7.10) (3.1.7.11)

(3.1.7.12)

(43)

Kelebihan dari

bias, tetapi kelemahannya adalah nilai var ( (βPLS) sehingga dugaan

ini dapat dibuktikan dengan pertama, didefinisikan:

dapat dilihat bahwa: diketahui bahwa:

sehingga, variance dari penduga

Gambar 7. Grafik Estimasi dengan Pendekatan

Kelebihan dari WG ini adalah dapat menghasilkan parameter

bias, tetapi kelemahannya adalah nilai var (βWG) cenderung lebih besar dari var ) sehingga dugaan WG menjadi relatif lebih tidak efisien. Untuk melihat hal ini dapat dibuktikan dengan pertama, didefinisikan:

dari penduga β dengan pendekatan WG adalah: Grafik Estimasi dengan Pendekatan Within Group Estimator

h dapat menghasilkan parameter β yang tidak ) cenderung lebih besar dari var menjadi relatif lebih tidak efisien. Untuk melihat hal

adalah: Within Group Estimator

(44)

Dari persamaan (3.1.7.14) dapat dilihat bahwa var( dari var(β) pada PLS

tidak dapat mengakomodir karakteristik

dari tidak dimasukkannya konstanta intersep ke dalam model.

1.3. Least Square Dummy Variable (LSDV)

Metode ini berusaha merepresentasikan perbedaan intersep menambah dummy variable

diketahui persamaan awal seperti pada persamaan (3.1.7.1) dan diketahui kelompok dummy variable

dengan memasukkan sejumlah

yit

persamaan (3.1.7.15) dapat diestimasi dengan pendekatan parameter βLSDV.

Kelebihan pendekatan ini (

parameter β yang tidak bias dan efisien. Tetapi kelemahannya jika jumla observasinya besar maka akan sulit menduga persamaan regresinya karena penggunaan peubah dummy

Untuk menguji apakah intersep konstan atau tidak dapat menggunkan test dengan hipotesis sebagai berikut:

H0 : α1 = α2 = α3 = ....

=

=

Dari persamaan (3.1.7.14) dapat dilihat bahwa var(β) pada PLS pada persamaan (3.1.7.9). Kelemahan lain tidak dapat mengakomodir karakteristik time-invariant pada FEM dari tidak dimasukkannya konstanta intersep ke dalam model.

Least Square Dummy Variable (LSDV)

Metode ini berusaha merepresentasikan perbedaan intersep

dummy variable. Untuk mengilustrasikan pendekatan ini misalkan diketahui persamaan awal seperti pada persamaan (3.1.7.1) dan diketahui

dummy variable dgit = 1 (g = i).

dengan memasukkan sejumlah dgit = 1 (g = i), persamaan (3.1.7.1) menjadi:

persamaan (3.1.7.15) dapat diestimasi dengan pendekatan OLS sehingga diperoleh

Kelebihan pendekatan ini (LSDV) adalah dapat menghasilkan dugaan yang tidak bias dan efisien. Tetapi kelemahannya jika jumla observasinya besar maka akan sulit menduga persamaan regresinya karena

dummy yang terlalu banyak.

Untuk menguji apakah intersep konstan atau tidak dapat menggunkan dengan hipotesis sebagai berikut:

= ... = αN

uit

) pada WG lebih besar pada persamaan (3.1.7.9). Kelemahan lain dari WG adalah FEM, seperti terlihat

Metode ini berusaha merepresentasikan perbedaan intersep dengan . Untuk mengilustrasikan pendekatan ini misalkan diketahui persamaan awal seperti pada persamaan (3.1.7.1) dan diketahui

.1.7.1) menjadi:

sehingga diperoleh

) adalah dapat menghasilkan dugaan yang tidak bias dan efisien. Tetapi kelemahannya jika jumlah unit observasinya besar maka akan sulit menduga persamaan regresinya karena

Untuk menguji apakah intersep konstan atau tidak dapat menggunkan f-(3.1.7.14)

(45)

H1 : minimal ada sepasang yang tidak sama ( a menggunakan F-statistik dimana: = koefisien determinasi = koefisien determinasi k = banyaknya peubah

Jika nilai F-Stat hasil pengujian lebih besar dari

melakukan penolakan terhadap hipotesa nol sehingga hipotesi bahwa konstan dapat ditolak.

1.4. Two Way Fixed Effect Model

Model ini disusun berdasarkan fakta bahwa terkadang hanya berasal dari observasi individu tetapi juga berasal dari model dasar yang digunakan adalah:

dimana merepresentasikan Jika masing

diasumsikan berbeda, sehingga dengan menambahkan sejumlah peubah dummy yang merepresentasikan efek waktu diperoleh persamaan:

Hipotesis ini dapat secara langsung digunakan untuk menguji apakah lebih baik menggunakan PLS ataukah LSDV. Dasar penolakan terhadap H

: minimal ada sepasang yang tidak sama ( ai = aj ; untuk i = j).

statistik

= koefisien determinasi LSDV

= koefisien determinasi Pooled Least Square banyaknya peubah

hasil pengujian lebih besar dari F-tabel, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap hipotesa nol sehingga hipotesi bahwa

konstan dapat ditolak.

Two Way Fixed Effect Model

Model ini disusun berdasarkan fakta bahwa terkadang fixed hanya berasal dari observasi individu tetapi juga berasal dari time model dasar yang digunakan adalah:

merepresentasikan time effect.

Jika masing-masing pengaruh individu (αi) dan

berbeda, sehingga dengan menambahkan sejumlah yang merepresentasikan efek waktu diperoleh persamaan:

is ini dapat secara langsung digunakan untuk menguji apakah lebih baik menggunakan PLS ataukah LSDV. Dasar penolakan terhadap H0

, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap hipotesa nol sehingga hipotesi bahwa α adalah

fixed effect tidak time-effect, sehingga

) dan time-effect (γt)

berbeda, sehingga dengan menambahkan sejumlah zsit = 1 (s = t) yang merepresentasikan efek waktu diperoleh persamaan:

(3.1.7.16)

(3.1.7.17)

(3.1.7.18) is ini dapat secara langsung digunakan untuk menguji apakah lebih baik

(46)

Penambahan sejumlah masalah pada penggunaan

kebebasan, yang pada akhirnya akan semakin mengurangi efisiensi dari parameter yang diestimasi.

2. Random Effect Model (REM)

REM muncul ketika antara efek individu dan periode tidak berkorelasi dengan Xit atau memiliki pola yang sifatnya acak. Asumsi ini membuat komponen error dari efek individu dan waktu dimasukkan ke dalam

untuk one way error component: yit = αi + Xit β + uit+

dan untuk two way error component: yit = αi + Xit β + uit+

Beberapa asumsi yang biasa digunakan dalam REM, yaitu:

untuk semua i,t

untuk semua i,t, dan j

untuk i = j dan t = s

untuk i = j

dimana:

untuk one way error component

τi =λi

Penambahan sejumlah dummy variable ke dalam persamaan menyebabkan masalah pada penggunaan two way fixed effect yaitu berkurangnya derajat yang pada akhirnya akan semakin mengurangi efisiensi dari parameter

Random Effect Model (REM)

muncul ketika antara efek individu dan periode tidak berkorelasi memiliki pola yang sifatnya acak. Asumsi ini membuat komponen dari efek individu dan waktu dimasukkan ke dalam error, dimana:

error component: + λi

two way error component: + λi + µi

Beberapa asumsi yang biasa digunakan dalam REM, yaitu:

untuk semua i,t, dan j

one way error component

ke dalam persamaan menyebabkan yaitu berkurangnya derajat yang pada akhirnya akan semakin mengurangi efisiensi dari parameter

muncul ketika antara efek individu dan periode tidak berkorelasi memiliki pola yang sifatnya acak. Asumsi ini membuat komponen

dimana:

Beberapa asumsi yang biasa digunakan dalam REM, yaitu:

(3.1.7.19)

(47)

dan untuk two way error component

τi =λi + µi

Dari semua asumsi, asumsi yang paling penting berhubungan dengan REM adalah nilai harapan dari xit untuk setiap τi adalah 0, atau E(τi xit) = 0. untuk menguji asumsi ini yaitu dengan menggunakan Haussman Test. Karena berkaitan dengan ditolak atau diterimanya asumsi ada atau tidaknya korelasi antara komponen error dengan peubah bebas, maka Haussman test dapat secara langsung digunakan untuk memilih antara FEM atau REM dengan hipotesis sebagai berikut:

H0: E(τi xit) = 0

Tidak ada korelasi antara komponen error dengan peubah bebas (REM). H1: E(τi xit) = 0

Komponen error memiliki korelasi dengan peubah bebas (FEM).

Sebagai dasar penolakan H0 maka digunakan statistik hausman dan

membandingkannya dengan Chi square. Statistik Hausman dirumuskan dengan: H = (βREM – βFEM ) (MFEM –MREM)-1 (βREM – βFEM ) ~ χ2 (k)

dimana:

Madalah matrik kovarians untuk parameter β k adalah degrees of freedom

Jika nilai H hasil pengujian lebih besar dari χ2 – tabel, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap H0 sehingga model yang digunakan adalah

model fixed effect, begitu juga sebaliknya. Terdapat dua jenis pendekatan dalam REM, yaitu:

(48)

2.1. Pendekatan Between Estimator

Pendekatan ini berkaitan dengan dimensi antar data (differences between individual), yang ditentukan sebagaimana OLS estimator pada sebuah regresi dari rata-rata individu y dalam nilai x secara individu. Between estimator konsisten untuk N tak hingga, dengan asumsi bahwa peubah bebas dengan error tidak saling berkorelasi atau E (xit, εi = 0) begitu juga dengan nilai rata-rata error E (xit, εi =

0).

2.2. Generalized Least Square (GLS)

Pendekatan GLS mengkombinasikan informasi dari dimensi antar dan dalam (between dan within) data secara efisien. GLS dapat dipandang sebagai rata-rata yang dibobotkan dari estimasi between dan within dalam sebuah regresi.

3.2. Kerangka Pemikiran Operasional

Kawasan perkotaan di Indonesia mengalami perkembangan yang pesat. Perkembangan ini antara lain dicerminkan oleh peningkatan pertumbuhan penduduk yang tinggal di wilayah perkotaan serta meningkatnya kontribusi sektor-sektor ekonomi yang digerakkan wilayah ini terhadap ekonomi nasional. Secara teoritis, peningkatan wilayah perkotaan dapat menciptakan kemudahan-kemudahan bagi masyarakat untuk mengakses sarana dan prasarana modern serta peningkatan efisiensi ekonomi melalui tercipta eksternalitas dari lahirnya agglomerasi-agglomerasi ekonomi di perkotaan. Peningkatan ini juga menimbulkan permasalahan-permasalahan perkotaan yang semakin kompleks. Kompleksitas permasalahan perkotaan pada dasarnya dapat diatasi melalui perencanaan perkotaan yang terpadu melalui terciptanya sistem perkotaan.

(49)

Berdasarkan publikasi BPS, penduduk perkotaan, sebagai alat untuk mengestimasi ukuran perkotaan, cenderung terkonsentrasi pada daerah tertentu. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi ukuran perkotaan di Indonesia apakah mengikuti rank-size rule atau tidak serta mengidentifikasi pola distribusi ukuran perkotaan dengan mengestimasi dengan nilai pareto eksponen (α) antar provinsi melalui penerapkan formula rank-size rule.

Penelitian ini juga bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor apa saja yang perlu diperhatikan agar pertumbuhan perkotaan pada setiap daerah di Indonesia tumbuh secara paralel. Untuk tujuan melihat perkembangan distribusi ukuran perkotaan serta perubahan-perubahan karakteristik ekonomi wilayah dilakukan dengan metode analisis deskriptif kualitatif.

Untuk merumuskan karakteristik-karakeristik ekonomi yang signifikan mempengaruhi distribusi ukuran perkotaan yaitu dengan menggunakan metode panel data. Diduga faktor yang dapat mempengaruhi distribusi ukuran perkotaan menjadi lebih merata adalah pengaruh dari tingkat kepadatan jalan, tingkat partisipasi angkatan kerja, tingkat pendapatan per kapita, pengeluaran pemerintah untuk pembangunan, jumlah daerah administrasi dan tingkat keterbukaan wilayah. Distribusi ukuran perkotaan diduga dipengaruhi secara negatif oleh tingkat penghematan agglomerasi yaitu peningkatan pada penghematan karena urbanisasi, penghematan karena lokalisasi dan penghematan karena spesialisasi.

Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi suatu rekomendasi kebijakan agar terwujud keseimbangan ukuran perkotaan di masa yang akan datang sehingga pembangunan antar daerah terjadi secara hirarkis dalam suatu sistem

(50)

pembangunan perkotaan nasional. Secara skematis kerangka pemikiran operasional dan alur penelitian dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar

Tabel 1. Penduduk Perkotaan di Indonesia Tahun 1980, 1990, 2000 dan 2005   Jumlah penduduk (dalam juta jiwa)  Pertumbuhan (dalam persen)  1980  1990  2000  2005  1980-1990 1990-2000 2000-2005
Gambar 1.  Kontribusi Sektoral Terhadap PDB Indonesia 2
Gambar 3. Perkembangan Pusat Pelayanan
Gambar 4. Model Sistem K = 7
+7

Referensi

Dokumen terkait

merupakan salah satu media yang sering diakses untuk dibaca oleh para remaja sehingga pendekatan edukasi terkait melalui webcomic dapat menjangkau para remaja

Analisis pembiayaan merupakan proses awal dari penyaluran dana yang dilakukan oleh bank syariah.. menganalisis pengajuan pembiayaan nasabah akan berdampak positif

Menurut Kustandi (2013: 5) mengemukakan bahwa pembelajaran adalah suatu kegiatan yang bertujuan, tujuan ini harus searah dengan tujuan belajar siswa dan kurikulum.

Nilai difusivitas panas bahan merupa- kan salah satu sifat panas yang dibutuhkan untuk menduga laju perubahan suhu bahan sehingga dapat ditentukan waktu optimum yang

Dari uraian yang telah disajikan pada bab – bab sebelumnya, setelah melakukan analisis pada struktur bangunan gedung rumah sakit R K Charitas, maka dapat

Pengujian rancang bangun sistem pemeliharaan ternak ayam broiler pada kandang tertutup dilakukan untuk melihat proses keseluruhan dari alat mulai dari

Kawasan budidaya ikan air tawar di bukit Matok Kabupaten Melawi ini berfungsi sebagai tempat budidaya pembenihan ikan air tawar melalui teknik budidaya yang dilakukan di

b. Menetapkan program satuan layanan dan satuan kegiatan pendukung setiap kali akan melakukan pelayanan kepada peserta didik. Menetapkan layanan informasi melalui ceramah