• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERTANGGUNGJAWABAN ISTRI SEBAGAI PELAKU KEKERASAN RUMAH TANGGA Studi Kasus Upaya Mediasi Dan Pencabutan di Kepolisian Resor Surabaya Selatan.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERTANGGUNGJAWABAN ISTRI SEBAGAI PELAKU KEKERASAN RUMAH TANGGA Studi Kasus Upaya Mediasi Dan Pencabutan di Kepolisian Resor Surabaya Selatan."

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum UPN ”Veteran” Jawa Timur

Oleh :

DONY EKO SETIAWAN

NPM. 0671010069

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”JAWA TIMUR FAKULTAS HUKUM

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM SURABAYA

(2)

iv

yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skrpsi ini. penulis mengambil judul“PERTANGGUNGJAWABAN ISTRI SEBAGAI

PELAKU KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA”.

Skripsi ini disusun guna memenuhi persyaratan sesuai kurikulum yang ada di fakultas hukum UPN “Veteran” Jawa Timur, dan untuk menambah wawasan, serta menerapkan dan membandingkan teori yang telah diterima dengan keadaan sebenarnya dimasyarakat.

Skripsi ini dapat terselesaikan atas bantuan, bimbingan dan dorongan oleh beberapa pihak. Pada kesempatan ini peneliti mengucapkan banyak terima kasih kepada 1. Terima kasih kepada Bapak Haryo Sulistiyantoro Dekan Fakultas Hukum

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

2. Terima kasih kepada Bapak Wadek I dan Wadek II Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur..

3. Bapak Subani, S.H., M.Si selaku Kepala Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

4. Prof. Dr. Wahyono S.H., M.S. selaku pembimbing utama yang selalu memberikan kemudahan dan solusi kepada penulis.

(3)

v

8. Ibu Kurnia selaku Kanit V PPA Kepolisian Resor Surabaya Selatan.

9. Seluruh Anggota Polisi dan Pegawai Kepolisian Resor Surabaya Selatan yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu, atas kerjasamanya dalam penulisan skripsi. 10. Bapak dan Ibu Dosen penguji proposal Fakultas Hukum Universitas Pembangunan

Nasional “Veteran” Jawa Timur.

11. Seluruh Bapak dan Ibu dosen Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional

“Veteran” Jawa Timur yang tidak bisa disebutkan penulis satu persatu

12. Seluruh Staf Tata Usaha fakultas hukum yang sabar dan ramah dalam melayani mahasiswa.

13. Kedua Orang Tua, yakni Bambang Supomo selaku ayah dan Mudjiana selaku ibu yang telah memberikan bantuan dana, dan doa..

14. Teman-teman mahasiswa dan orang terdekat khususnya kepada , Fajar, Wahib, Putu, Rudy, Reni, Lucia, Sigit, Kiki, Novi, Maya dan Ruben yang telah membantu dan memberikan saran masukan .

(4)
(5)

vii

HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI ... ii

KATA PENGANTAR...………... iv

DAFTAR ISI ... . vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

ABSTRAK ...xiii

BAB I PENDAHULUAN... 1

1. Latar Belakang Masalah... 1

2. Perumusan Masalah... 6

3. Tujuan Penelitian... 6

4. Manfaat Penelitian... 7

5. Kajian Pustaka A. Tindak Pidana KDRT... 8

B. Penanganan Tindak Pidana Oleh Kepolisian... 11

1. Penanganan... 11

2. Penyelidikan dan Penyidikan ... 11

3. Mediasi Dalam Penanganan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga ... 12

(6)

viii

B. Sumber Data ... 15

C. Metode Pengumpulan Dan Pengolahan Data ... 16

D. Metode Analisis Data ... 16

E. Sistematika Penulisan ... 17

BAB II PROSES PENANGANAN DAN PENCABUTAN LAPORAN KORBAN TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA ... 19

1. Tindak Pidana Kekerasan Yang Berkaitan Dengan Delik Aduan ... 19

2. Delik Aduan Dalam Tindak Pidana KDRT ... 24

3. Proses Penanganan Tindak Pidana KDRT... 26

4. Alur Skema Penyidikan Tindak Pidana KDRT ... 30

5. Kasus KDRT Antara Suami-Istri Serta Penanganannya Oleh Kepolisian Resor Surabaya Selatan... 33

a. Fakta Hukum ... 33

b. Analisa Hukum ... 34

c. Pertimbangan Hukum... 37

6. Faktor-Faktor Korban Mencabut Laporannya ... 37

7. Dampak Yang Dialami Korban KDRT ... 38

(7)

ix

A. Upaya Mediasi Dalam Proses Penyelesaian

Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga... 41

B. Dampak Positif dan Dampak Negatif Penyelesaian Perkara KDRT Melalui Mediasi... 46

C. Data Tabel Kasus KDRT Yang Terselesaikan ... 48

BAB IV PENUTUP... 49

A. Kesimpulan ... 49

B. Saran ... 51

DAFTAR PUSTAKA

(8)

Setiap perkawinan mempunyai tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan sejahtera, dan sudah menjadi kodrat manusia untuk diciptakan secara berpasangan. Hal ini sesuai dengan pasal 1 Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yang berbunyi : “Perkawinan ialah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita sebagai Suami atau Isteri dengan tujuan untuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

(9)

Keutuhan dan kerukunan rumah tangga dapat terganggu jika kualitas dan pengendalian diri tidak dapat dikontrol, yang pada akhirnya dapat terjadi kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul ketidaksamaan atau ketidakadilan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga tersebut.

Aparat kepolisian sebagai penegak hukum mempunyai tugas yang berat untuk menangani suatu tindak pidana yang ada terutama kekerasan dalam rumah tangga dan tindakan kekerasan yang terjadi di suatu wilayah terkait erat dengan situasi dan kondisi sosial, ekonomi, politik dan budaya masyarakatnya.1

Terjadinya tindak kekerasan yang dilakukan oleh istri terhadap suaminya ini menujukan bahwa KDRT tidak hanya dilakukan oleh seorang lelaki saja tetapi juga bisa dilakukan oleh perempuan ini terjadi karena kebutuhan hidup semakin tinggi dan penghasilan istri lebih besar sehigga istri merasa superior bisa melakukan segalanya dan ini yang biasanya memicu konflik rumah tangga dan aparat kepolisian sebagai penegak hukum mempunyai kewajiban untuk memberikan penanganan dan perlindungan kepada korban kekerasan dalam rumah tangga siapapun korbannya baik perempuan maupun laki-laki. Bentuk penanganan penyelesaiannya berupa penyelidikan di tahap awal laporan untuk memperoleh data-data dilapangan dan penyidikan dalam proses pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (untuk selanjutnya disebut BAP).2

1Yuarsi Susi Eja, et al,Menggagas Tempat Yang Aman Bagi Perempuan Cetakan 1, Pusat Studi

Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gajah Mada,Yogyakarta, 2002, h 13.

2 Wawancara dengan Kanit V PPA Inspektur Satu Ibu. Kurnia, Satuan Reserse Kriminal

(10)

Pengertian KDRT menurut Undang-undang nomor 23 tahun 2004, tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (yang selanjutnya disingkat dengan UU PKDRT) Pasal 1 ayat 1 yakni :

“Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual psikologis dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”.

b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian yang menetap dalam rumah tangga.

c. Orang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.

(11)

Dalam hal ini korban berhak melaporkan secara langsung KDRT kepada kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara atau korban memberikan kuasa kepada keluarga atau yang lain untuk melaporkan KDRT kepada pihak kepolisian, baik ditempat korban berada maupun ditempat kejadian perkara.

Kekerasan rumah tangga antara suami istri yang tidak menyebabkan luka halangan untuk menjalankan pekerjaannya atau luka berat termasuk delik aduan. Delik aduan adalah suatu penanganan kasus oleh pihak yang berwajib berdasarkan pada pengaduan korban.3

Delik aduan bisa ditarik kembali apabila si pelapor menarik laporannya, misalnya karena ada perdamaian atau perjanjian damai yang diketahui oleh penyidik bila telah masuk tingkat penyidikan. Penarikan aduan atau laporan yang terjadi dalam kasus KDRT didasarkan pada keadaan korban yang merasa ingin menyelamatkan rumah tangganya dari perceraian.

Salah satu kasus yang terjadi di wilayah Polres Surabaya Selatan. Subagiyo, seorang kepala rumah tangga melaporkan kepada polisi menjadi korban KDRT yang dilakukan oleh istrinya sendiri yang bernama Poniyem, sehingga menyebabkan luka ringan akibat pukulan benda tumpul berupa tongkat pramuka yang dipukulkan ke kepala korban. Berdasarkan dari laporan Bapak

3

(12)

Subagiyo4, maka polisi sebagai aparat Negara berhak diwajibkan memberikan perlindungan dan penindakan terhadap pelaku tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu yang tertuang dalam : Pasal 28G ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa :

“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”.

Pasal 28H ayat (2) Undang-undang Dasar Tahun 1945 menentukan bahwa: “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.”

Subagiyo sebagai korban KDRT berhak mendapatkan keadilan dan perlindungan. Dari laporan tersebut pihak Kepolisian akan menindak lanjuti dan memproses kasus tersebut ke tahap penyelidikan dan penyidikan. Dalam proses penyidikan akan dilakukan mediasi atau gelar perkara, Beberapa kasus ditemukan bahwa oknum-oknum kepolisian juga menganjurkan pihak korban untuk melakukan mediasi karena pertimbangan kehormatan keluarga.5

4 Wawancara dengan Kanit V PPA Inspektur Satu Ibu . Kurnia, Satuan Reserse Kriminal

Kepolisian Resort Surabaya Selatan, Jalan Dukuh Kupang XVI/26-28 Surabaya

5

(13)

Proses mediasi dapat dilakukan oleh korban untuk mencabut laporannya walaupun dalam KUHAP tidak diatur tetapi dalam prakteknya mediasi tetap bisa dilakukan megingat kasus ini dalam ruang lingkup rumah tangga dan bersifat delik aduan karena pihak korban memikirkan dampak yang lebih serius bila kasus tersebut diteruskan yakni pertimbangan kesejahteraan anak-anak dan apabila terjadi perceraian, maka proses pun akan dihentikan dan sebaliknya apabila laporannya tidak dicabut maka proses penyidikan akan dilanjutkan yang nantinya berkas yang sudah lengkap dari pihak kepolisian atau P 21 akan dilimpahkan ke kejaksaan untuk dilakukan penuntutan.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, rumusan masalah yang akan diteliti adalah :

1. Mengapa korban KDRT menarik pengaduan terhadap pelaku, khususnya yang berkaitan dengan delik aduan ?

2. Mengapa proses mediasi dipilih dalam tindak pidana KDRT, padahal tidak diatur di dalam KUHAP ?

3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian skripsi ini adalah :

(14)

b. Untuk mengetahui proses mediasi yang dilakukan oleh Kepolisian untuk menangani kasus KDRT walaupun di dalam KUHAP tidak diatur tetapi mediasi tetap ditawarkan sebelum proses penyelidikan dan penyidikan karena ruang lingkupnya yaitu keluarga.

4. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian skripsi ini adalah : a. Manfaat Teoritis :

1. Dapat mengetahui, menganalisis proses pencabutan tidak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga khususnya delik aduan dan mengetahui alasan mengapa korban mencabut laporannya.

2. Dapat mengetahui dan menganalisis apa saja bentuk penanganan tindak pidana yang berkaitan dengan KDRT di tingkat kepolisian

b. Manfaat Praktis :

1. Bagi kepolisian adalah diharapkan agar selalu memberikan pengarahan dan pemahaman kepada masyarakat mengenai dampak-dampak KDRT yang sering terjadi di tengah-tengah masyarakat agar tidak terjadi karena apabila terjadi sangat merugikan pihak keluarga mereka sendiri.

(15)

3. Bagi Korban adalah agar korban lebih bisa menjaga diri dan mawas diri dikemudian hari dalam menyikapi persoalan rumah tangganya agar lebih berhati hati dalam bersikap.

5. Kajian Pustaka

A Tindak Pidana dan KDRT

Menurut asas-asas hukum pidana di Indonesia, dikemukakan bahwa suatu tindak pidana adalah suatu pelanggaran norma-norma yang oleh pembentuk undang-undang ditanggapi dengan suatu hukuman pidana. Sifat-sifat yang ada di dalam setiap tindak pidana adalah Sifat-sifat melanggar hukum. Tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum.6

Di dalam tindak pidana disebutkan bahwa perbuatan mana yang dipandang sebagai perbuatan pidana menganut azas legalitas (principle of legality), azas yang menentukan bahwa tiap-tiap perbuatan pidana harus ditentukan sebagai demikian oleh suatu aturan undang-undang hal ini didasarkan pada ketetuan Pasal 1 ayat 1 KUHP, yaitu yang menyebutkan nullum delictum sine praevina lege poenali yang artinya adalah Peristiwa pidana tidak akan ada, jika ketentuan pidana dalam undang-undang tidak ada terlebih dahulu.7

Tindak pidana adalah melakukan sesuatu tindak pidana yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang

6 Wirjono Prodjodikoro, Tindak-tindak pidana tertentu di Indonesia, Cetakan kedua, Refika

Aditama Bandung, 2003, h 1

7

(16)

dan diancam dengan pidana. Untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang dan ancam pidana oleh peraturan perundang-undangan, harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat. Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum. Jadi dapat secara tegas dikatakan bahwa ketentuan-ketentuan hukum yag melarang perbuatan tertentu harus tertulis dalam peraturan hukum pidana positif.8

Menurut ketentuan Pasal 1 angka (1) UU PKDRT, merumuskan sebagai berikut :

“Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.”

Tindakan kekerasan terhadap korban dalam lingkup rumah tangga merupakan salah satu bentuk kekerasan yang seringkali terjadi pada korban kekerasan rumah tangga dan tindakan ini seringkali dikaitkan dengan penyiksaan baik fisik maupun psikis yang dilakukan oleh pelaku dimana yang menjadi korban dalam tindak KDRT tersebut adalah orang-orang yang mempunyai hubungan dekat dengan pelaku.

Ruang lingkup korban dalam KDRT menurut Pasal 2 Undang-undang PKDRT adalah :

8 R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Pidana, Cetakan ke-IV, Raja Grafindo Persada,

(17)

a. Suami, isteri, dan anak.

b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian yang menetap dalam rumah tangga. c. Orang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga

tersebut.

Secara umum berdasarkan ketentuan tersebut korban KDRT tidak hanya perempuan tetapi bisa juga pria, anak, pembantu dan juga pihak lain yang ada didalam ruang lingkup rumah tangga. Akan tetapi sebagian besar korban KDRT adalah perempuan atau istri namun sekarang banyak juga ditemukan korbannya yaitu pihak suami ini terjadi karena pihak istri merasa mempunyai peran yang lebih dialam keluarga sehingga menimbulkan salah paham dalam keluarga tersebut dan menimbulkan konflik yang berujung KDRT.

Posisi korban bersifat dilematis dalam kekerasan rumah tangga jika seorang korban menuntut keadilan melalui jalur hukum atas tindakan yang dideritanya, tuntutan itu dalam prakteknya mengundang sejumlah konsekuensi.9 faktor kehormatan keluarga yang membuat korban memilih tidak melanjutkan kekerasan yang mereka alami,korban cenderung mencabut laporannya dengan pertimbangan keluarga mereka bisa terselesaikan dari dampak yang lebih buruk sepeti perceraian.

9

(18)

B. Penanganan Tindak Pidana oleh Pihak Kepolisian 1) Penanganan

Secara umum pengertian penanganan adalah Suatu tindakan untuk mengatasi suatu masalah dengan cara-cara tertentu yang telah dikonsep sebelumnya untuk mengatasi masalah tertentu10.

Prosedur penanganan perkara pidana diawali dengan adanya pengaduan atau pelaporan oleh pihak yang berkepentingan, selanjutnya dilakukan proses penyelidikan dan penyidikan oleh pihak kepolisian. Tugas pokok kepolisian adalah memelihara keamanan dalam negeri dan penyidikan tindak pidana termasuk dalam tugas pokok kepolisian negara dalam bidang peradilan. Menurut pasal 1 ayat 1 KUHAP, penyidik adalah pejabat polisi negara republik indonesia yang diberi kewenanggan oleh undang-undang ini untuk melakukan penyidikan. Kewenangan dan wewenang polisi sebagai penyidik sangat penting karena polsi harus membuat pertimbangan tindakan apa yang akan diambil pada saat yang sangat singkat pada penanggapan kasus delik.

2) Penyelidikan dan Penyidikan

Tindakan pertama yang akan dilakukan oleh Pihak Kepolisian, setelah adanya laporan oleh pihak korban, adalah dengan melaksanakan Proses penyelidikan, proses penyelidikan adalah Serangkaian tindakan penyelidikan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang di duga sebagai tindak

10

(19)

pidana guna menentukan dapat atau tindakannya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

Setelah melakukan Proses penyelidikan, kemudian Kepolisian melakukan proses penyidikan, proses penyidikan adalah Serangkaian tindakan penyidikan dalam hal dan menurut tata cara yang diatur oleh undang-undang ini

untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti ini dapat membuat

terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.11

Hasil penyidikan suatu perkara yang dilakukan oleh polisi dilaporkan dalam bentuk BAP yang selanjutnya dilimpahkan kepada jaksa, untuk kemudian akan dilakukan penuntutan. Setelah bukti dan saksi dianggap lengkap, pihak kejaksaan akan memberikan P.21 yang artinya berkas acara tersebut sudah lengkap dan bisa segera dilakukan proses penuntutan.12

3) Mediasi dalam Penanganan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Mediasi adalah Cara penyelesaian dengan melibatkan pihak ketiga, yaitu pihak ketiga yang dapat diterima (accertable) Artinya para pihak yang berselisih mengizinkan pihak ketiga untuk membantu para rihak yang berselisih dan membantu para pihak untuk mencapai penyenyelesaian. Walaupun didalam KUHAP mediasi tidak diatur tetapi dalam prakteknya dalam menangani tindak pidana KDRT mediasi ditawarkan sebelum berlanjut

11Andi Hamzah,op.cit, h. 118.

12 Wawancara dengan Kanit V PPA Inspektur Satu Ibu . Kurnia, Satuan Reserse Kriminal

(20)

ke dalam proses penyelidikan dan penyidikan pihak kepolisian menawarkan mediasi karena ruang lingkup KDRT sendiri berada dalam ruang lingkup rumah tangga yang biasanya mereka tidak melanjutkan proses pelaporan karena lebih mementingkan dampak yang diterima oleh pihak korban apabila kasus tersebut tetap dilanjutkan.13

4) Delik Aduan

Delik aduan adalah suatu perkara atau kasus yg baru dapat di telusuri, di tanggani, ditindak oleh pihak berwajib Polri, Jika sudah ada laporan dan pengaduan yang secara resmi di lakukan oleh pihak korban dalam arti kata lain Polisi baru akan bertindak atau melanjuti kasus tersebut kalau ada pengaduan resmi dari pihak atau individu yang merasa dirugikan kepada pihak berwajib,didalam KDRT delik aduan hanya dalam ruang lingkup suami istri saja yang tidak menyebabkan luka parah untuk mengerjakan sesuatu. Dalam kasus KDRT sering hanya sampai proses mediasi saja karena kebanyakan korban mencabut laporan karena pertimbangan keluarga.14

5) Pertanggungjawaban Pidana

Hukum pidana menentukan yang dinamakan dengan pertanggungjawaban pidana yang dibatasi dengan ketentuan-ketentuan UU pertanggungjawaban menjurus pada pemidanaan petindak. Jika telah menentukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsurnya yang

13 Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Adat, Hukum Syariah, dan Hukum

Nasional, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2009, h. 69

14

(21)

ditentukan dalam UU dilihat dari sudut terjadinya suatu tindakan yang terlarang atau diharuskan. Asas pertanggungjawaban pidana adalah tidak dipidanakan jika tidak ada kesalahan.15

Dalam bahasa asing pertanggungjawaban pidana disebut sebagai ”toerker baarheid criminal resposibility, criminal liability”.

Pertanggungjawaban pidana dimaksud untuk menentukan apakah seorang tersangka atau terdakwa dipertanggungjawabkan suatu tindak pidana yang terjadi atau tidak.16

6. Metode Penelitian Hukum a. Jenis Dan Tipe Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan di dalam penelitian ini menggunakan “metode penelitian hukum normatif, yaitu mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau kaidah yang berlaku dalam masyarakat, dan menjadi acuan perilaku setiap orang”.17

Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum deskriptif bersifat pemaparan dan bertujuan untuk memperoleh gambaran (deskripsi) lengkap tentang keadaan hukum di tempat tertentu dan pada saat tertentu yang terjadi dalam masyarakat.18 Jadi dalam penelitian ini menggunakan metode

15 Moeljatno,op.cit, h. 153.

16 CST. Kansil,Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2000,

h. 221.

17 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,

2004, h. 52.

18

(22)

penelitian hukum normatif dan tipe penelitian menggunakan penelitian hukum diskriptif.

b. Sumber Data

Sumber data yang digunakan untuk penelitian ini adalah data sekunder. “Data Sekunder meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bila perlu bahan hukum tersier. Data sekunder pada dasarnya adalah data normatif terutama yang bersumber dari perundang-undangan ”.19

a. “Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat secara umum (perundang-undangan) atau mempunyai kekuatan mengikat bagi pihak-pihak berkepentingan (kontrak, konvensi, dokumen hukum, dan putusan hakim)”.20Bahan penelitian ini terdiri dari beberapa perundang-undangan:

1. Norma atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.

2. Peraturan Perundang-undangan, yaitu Undang-undang.

Berdasarkan teori di atas, maka Bahan hukum primer yang penulis gunakan adalah :

1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-undang

Hukum Pidana.

19IbidI,h.151 20

(23)

3. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang- undang Hukum Acara Pidana.

4. Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian negara Republik Indonesia.

5. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam rumah Tangga.

b. ”Bahan Hukum Sekunder, yaitu : Bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer (buku ilmu hukum, jurnal hukum, laporan hukum, dan media cetak atau elektronik)”21.

c. ”Bahan Hukum tersier, yaitu : bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, (contohnya : Rancanngan Undang-undang, kamus hukum, dan ensiklopedia)”.22

c. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan untuk menganalisis data ini adalah data sekunder yaitu studi kepustakaan, dengan cara mempelajari buku-buku, Undang-undang, KUHP, Peraturan Pemerintah yang berkenaan dengan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga.23

d. Metode Analisis Data

Metode yang digunakan untuk menganalisis data adalah “metode kualitatif, yaitu menguraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang

21Ibid,h. 82 22Ibid, h. 82 23

(24)

teratur, runtun, logis, tidak tumpang tindih, dan efektif, sehingga memudahkan interpretasi data dan pemahaman hasil analisis,kemudian hasilnya akan dimanfaatkan untuk membahas permasalahan yang diajukan alam skripsi ini24 e. Sistematika Penulisan

Skripsi dengan judul ”Pertanggungjawaban Istri Sebagai Pelaku Kekerasan dalam Rumah Tangga Studi Kasus di Wilayah Kepolisian Resor Surabaya Selatan”, dalam pembahasannya dibagi menjadi IV (empat) bab, sebagaimana yang diuraikan di bawah ini :

Bab I, adalah merupakan Pendahuluan dan di dalamnya menguraikan tentang latar belakang masalah dan berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka dirumuskan permasalahan. Selanjutnya disajikan tujuan dan manfaat penelitian sebagai sasaran yang ingin dicapai melalui penelitian ini. Pada Kajian Pustaka yang merupakan landasan dari penulisan skripsi, yang kemudian diuraikan definisi yang berkaitan dengan judul di atas. Selanjutnya diuraikan tentang Metode Penelitian yang merupakan salah satu syarat mutlak dalam setiap penelitian, yang intinya mengemukakan tentang jenis dan tipe penelitian, sumber data, metode pengumpulan dan pengolahan data, serta metode analisis data, dengan pertanggungjawaban sitematika.

Bab II, merupakan pembahasan mengenai rumusan masalah yang ada pada bab I, yaitu: proses penanganan dan pencabutan laporan oleh korban tindak pidana KDRT yang berkaitan dengan delik aduan yang meliputi : tindak pidana

24

(25)

KDRT yang berkaitan dengan delik aduan, penanganantindak pidana KDRT menjelaskan sedikit mengenai proses pelaporan, penyelidikan, penyidikan, hingga proses mediasi dan pencabutan laporan, kasus KDRT yang terjadi di Polres suabaya selatan, faktor-faktor pencabutan laporan, dampak-dampak korban KDRT,sampai hak-hak korban KDRT.

Bab III, berisi tentang pembahasan rumusan masalah yang kedua dan ketiga, yaitu: proses mediasi yang dalam penyelesaian tindak pidana KDRT walaupaun tidak diatur dalam KUHAP yang meliputi: upaya mediasi dalam penyelesaian tindak pidana KDRT, kelebihan dan kekurangan proses mediasi, tabel data KDRT yang diselesaikan melalui mediasi.

(26)

BERKAITAN DENGAN DELIK ADUAN

1. Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang Berkaitan dengan

Delik Aduan

Tindak pidana adalah suatu pelanggaran norma-norma yang oleh

pembentuk undang-undang ditanggapi dengan suatu hukuman pidana, sifat-sifat

yang ada di dalam setiap tindak pidana adalah sifat melanggar hukum. Tidak ada

suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum.25

Menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 UU PKDRT, merumuskan sebagai

berikut :

“Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap

seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

KDRT adalah kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga.

Merujuk kepada penganiayaan terhadap anak ataupun orang dewasa, juga antara

(27)

suami istri, tanpa memperhatikan jenis kelamin pelakunya bahkan seorang istri

yang menganiaya suaminya sendiri.26

Kekerasan berbasis gender menjadi isu paling persoanal, tetapi sekaligus

juga menjadi isu paling politis ketika membicarakan kekerasan berbasis gender

orang bisa sangat bersifat defensif dan tertutup karena suatu permasalahan

keluarga yang dialami.27

Tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya dilakukan oleh

suami terhadap istri melainkan juga dilakukan oleh istri terhadap suami ini

menunjukan bahwa wanita juga bisa menjadi pelaku tindak pidana kekerasan

dalam rumah tangga peristiwa ini mungkin sangat jarang terjadi tetapi tidak bisa

dipungkiri bahwa kasus ini benar-benar terjadi walaupun dalam ruang lingkup

keluarga dan temasuk delik aduan ini merupakan fenomena baru diera modern

saat ini faktor ini terjadi karena lemahnya suami sebagi kepala rumah tangga yang

tidak bisa mengatur dan mengontrol rumah tangganya dan bisa juga apabila pihak

istri merasa kuat dalam segala hal seperti pendapatan finansial.

Tindak kekerasan terhadap korban dalam rumah tangga dibedakan

kedalam 4 (empat) macam :

1. Kekerasan fisik

26 Wawancara dengan Kanit V PPA Inspektur Satu Ibu . Kurnia, Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resort Surabaya Selatan, Jalan Dukuh Kupang XVI/26-28 Surabaya

(28)

Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit

atau luka berat. Perilaku kekerasan yang termasuk dalam golongan ini antara

lain adalah menampar, memukul, meludahi, menarik rambut (menjambak),

menendang, menyudut dengan rokok, memukul/melukai dengan senjata, dan

sebagainya. Biasanya perlakuan ini akan nampak seperti bilur-bilur, muka

lebam, gigi patah atau bekas luka lainnya.

2. Kekerasan psikologis / emosional

Kekerasan psikologis atau emosional adalah perbuatan yang mengakibatkan

ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk

bertindak, rasa tidak berdaya dan / atau penderitaan psikis berat pada

seseorang. Perilaku kekerasan yang termasuk penganiayaan secara emosional

adalah penghinaan, komentar-komentar yang menyakitkan atau merendahkan

harga diri, mengisolir istri dari dunia luar, mengancam atau ,menakut-nakuti

sebagai sarana memaksakan kehendak.

3. Kekerasan seksual

Kekerasan jenis ini meliputi pengisolasian (menjauhkan) korban dari

kebutuhan batinnya, memaksa melakukan hubungan seksual, memaksa selera

seksual sendiri, tidak memperhatikan kepuasan pihak korban atau memaksa

istri atau suami untuk berhubungan badan padahal dalam keadaan sakit.

4. Kekerasan ekonomi

Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya,

(29)

perjanjian wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada

orang tersebut. Contoh dari kekerasan jenis ini adalah tidak memberi nafkah,

bahkan menghabiskan uang korban untuk keperluan pelaku tanpa melihat

kemampuan. Sebagian besar suami sering bereaksi pasif dan apatis terhadap

tindak kekerasan yang dihadapi ataupun tindakan pelecehan yang mereka

alami khususnya dalam hal pemenuhan kebutuhan hidup, ini disebabkan

karena pihak suami malu dengan gajinya yang kalah besar dibandingkan gaji

istri yang lebih besar ini yang biasanya menimbulkan kecemburuan diantara

mereka apabila tidak diatasi dengan baik.

Memantapkan kondisi tersembunyi terjadinya tindak kekerasan pada

suami yang diperbuat oleh istri. Kenyataan ini menyebabkan minimnya respon

masyarakat terhadap tindakan yang dilakukan istri dalam ikatan pernikahan.

Korban memendam sendiri persoalan tersebut, tidak tahu bagaimana

menyelesaikan dan semakin yakin pada anggapan yang keliru. Istri yang dominan

terhadap suami mempunyai peran yang lebih di dalam rumah tangganya, seperti

mempunyai gaji yang lebih besar dibanding suami dan merasa superior. Keluarga

merupakan suatu institusi sosial paling kecil dan bersifat otonom, sehingga

menjadi wilayah domestik yang tertutup dari jangkauan kekuasaan publik karena

bersifat pribadi mereka malu untuk sekedar melapor kepada pihak kepolisian

karena pihak suami merupakan pemimpin rumah tangga dan dianggap superior

apabila terjadi kekerasan yang dialaminya suami cenderung hanya memendamnya

(30)

Posisi korban bersifat dilematis dalam kekerasan rumah tangga jika

seorang korban menuntut keadilan melalui jalur hukum atas tindakan yang

dideritanya, tuntutan itu dalam prakteknya mengundang sejumlah konsekuensi.28

KDRT adalah kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga.

Merujuk kepada penganiayaan terhadap anak ataupun orang dewasa, juga antara

suami istri, tanpa memperhatikan jenis kelamin ataupun pelakunya. Sedangkan

kemungkinan menjadi obyek kekerasan pada umumnya adalah anggota rumah

tangga yang terlemah, baik sebagai obyek langsung maupun sebagai obyek

pengganti. Tiap anggota rumah tangga mempunyai potensi menjadi subyek dalam

tindak kekerasan itu, khususnya bagi mereka yang mempunyai :

1.Kepribadian kurang dewasa.

2.Tendensi agresif dan tidak mampu menggontrol dorongan agresifnya. 3.Gangguan kejiwaan bisa karena tekanan pekerjaan dan gaya hidup

yang tidak sehat.

4.Merasa berkuasa karena mempunyai kekuasaan29

Penganiayaan dalam lingkup rumah tangga merupakan tindakan kejahatan

terhadap martabat manusia yang ancaman hukumannya cukup berat, tindakan

penganiayaan yang dilakukan di tengah-tengah keluarga, oleh suami terhadap istri

atau sebaliknya, dan yang dilakukan oleh kedua atau salah satu orang tua terhadap

anak–anak mereka maupun orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut, baik dengan maksud mendidik atau

memberi pelajaran dan mendisiplinkan apabila menimbulkan luka-luka atau

28 Yuarsi Susi Eja, et al, Menggagas Tempat Yang Aman Bagi Perempuan Cetakan 1, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gajah Mada,Yogyakarta, 2002, h 97

29

(31)

meninggalnya korban maka hal ini tetap merupakan tindakan yang dapat dihukum

sesuai dengan pasal-pasal penganiayaan yang terdapat dalam UU PKDRT.

2. Delik Aduan dalam Tindak Pidana KDRT

Delik aduan adalah suatu perkara atau kasus yang baru dapat di telusuri, di

tanggani, dan ditindak lanjuti oleh pihak yang berwajib,yaitu Polri. Apabila ada

laporan dan pengaduan yang secara resmi di lakukan oleh pihak korban dalam arti

kata lain polisi baru akan bertindak atau melanjuti kasus tersebut kalau ada

pengaduan resmi dari pihak atau individu yang merasa dirugikan kepada pihak

berwajib, di dalam Kekerasan Dalam Rumah Tangga delik aduan hanya dalam

ruang lingkup suami istri saja yang tidak menyebabkan luka parah untuk

mengerjakan sesuatu.

Dalam kasus KDRT sering hanya sampai proses mediasi saja karena

kebanyakan korban mencabut laporan karena pertimbangan keluarga.30 Delik

aduan bisa ditarik kembali apabila si pelapor menarik laporannya, misalnya

karena ada perdamaian atau perjanjian damai yang diketahui oleh penyidik bila

telah masuk tingkat penyidikan. Penarikan aduan atau laporan biasanya terjadi

dalam kasus KDRT di mana si korban merasa masih ingin menyelamatkan rumah

tangganya dari perceraian. Hal ini didasarkan pada ketentuan pasal-pasal berikut:

Pasal 51 UU PKDRT, yang dirumuskan sebagai berikut :

“Tindak pidana kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) merupakan delik aduan.”

30

(32)

Pasal 52, merumuskan bahwa :

”Tindak pidana kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) merupakan delik aduan.”

Pasal 53, merumuskan bahwa :

”Tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 yang dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya merupakan

delik aduan.”

Sanksi bagi para pelaku tindak pidana KDRT khususnya yang

berhubungan dengan kekerasan antara suami istri yang tidak menyebabkan luka

berat atau kematian masuk dalam delik aduan diatur dalam UU PKDRT dengan

ketentuan sebagai berikut:

Pasal 44 ayat 4 yang dirumuskan sebagai berikut :

”Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteriatau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 5.000.000.00 (lima juta rupiah).”

Pasal 45 ayat (2).

”Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4(empat)bulan atau denda paling banyak Rp 3.000.000.00 (tiga juta rupiah).”

Pasal 46.

(33)

sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana

penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp

36.000.000.00 (tiga puluh enam juta rupiah”.

Ketentuan pasal-pasal di atas yang menyebutkan tentang ancaman sanksi

yang dapat dikenakan untuk pelaku tindak pidana KDRT adalah pidana penjara

atau denda. Ketentuan sanksi pidana denda dalam hal ini bukan ketentuan

pengganti dari ketentuan pidana penjara, jadi kedua sanksi tersebut wajib dijalani

oleh pelaku tindak pidana KDRT.

Beberapa alasan pencabutan delik aduan dalam kasus KDRT diantaranya

pelaku masih menjadi tulang punggung keluarga, kemudian alasan yang adanya

upaya mediasi yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak dalam kasus KDRT

tersebut.

3. Proses Penanganan Korban Tindak Pidana KDRT

Aparat kepolisian sebagai penegak hukum mempunyai tugas yang berat

untuk menangani suatu tindak pidana yang ada terutama kekerasan dalam rumah

tangga dan tindakan kekerasan yang terjadi di suatu wilayah terkait erat dengan

situasi dan kondisi masyarakatnya semakin banyaknya kekerasan yang terjadi di

dalam ruang lingkup keluarga menuntut kepolisian semakin terpacu untuk

mengurangi angka kekerasan dalam rumah tangga, apabila terjadi tindak pidana

KDRT yang dialami oleh korban maka korban secara langsung bisa melapor ke

kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara atau

(34)

terjadinya KDRT kepada pihak kepolisian baik di tempat kejadian perkara

ataupun di tempat korban berada untuk melapor ke bagian Sentra Pelayanan

Kepolisian (selanjutnya disebut SPK) untuk tahap awal pelaporan untuk ditindak

lanjuti.

Prosedur-prosedur yang harus dilakukan oleh korban untuk melapor ke

Kepolisian Resor Surabaya Selatan, berkaitan dengan terjadinya tindak pidana

kekerasan dalam rumah tangga, yaitu :

1.Identitas diri pelapor : korban haruslah melapor terlebih dahulu pada bagian

SPK (Sentra Pelayanan Kepolisian) dengan membawa identitas diri.

2.Setelah korban melapor, pihak Kepolisian akan memberikan bukti lapor bahwa

korban telah melapor Ke Kepolisian Resor Surabaya Selatan.

3.Kemudian laporan tersebut akan diajukan kepada pihak Reskrim untuk

dilaksanakan penyelidikan selanjutnya berdasarkan atas Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP) sebagai dasar hukumnya,

yaitu Pasal 5a dan Pasal 5b Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.31

Setelah diterimanya laporan mengenai adanya tindakan KDRT kepolisian

segara menindaklanjuti dengan membuat surat pemanggilan pertama kepada

pelaku dan korban untuk mengetahui duduk perkaranya sebelum melanjutkan

kedalam proses penyelidikan ditahap awal dan penyidikan untuk penyusunan

BAP setelah mengetahui kronologi yang sebenarnya apabila korban mengalami

(35)

luka yang serius polisi akan langsung menindak dengan melakukan penangkapan

kepada pelaku karena dianggap membahayakan korban dan ancaman

hukumannya diatas lima tahun, jika korban hanya mengalami luka ringan maka

polisi akan memberikan gambaran pemahaman terhadap korban mengenai sanksi

pidana dan dampak-dampak yang akan dialami oleh kedua pihak, apabila kasus

tersebut berkaitan dengan delik aduan, maka kepolisian akan menawarkan

mediasi kepada korban dan pelaku. Apabila mediasi ditolak maka proses akan

dilanjutkan dengan sesuai prosedur yang berlaku sesuai dengan KUHAP.

Proses penyelidikan tindak pidana KDRT yang dilakukan oleh Kepolisian

Resor Surabaya Selatan, sebagaimana yang dimaksud dalam KUHAP, adalah :

Pasal 1 ayat 5 KUHAP, merumuskan sebagai berikut :

“Serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut tata cara yang diatur di dalam undang-undang ini.”

Setelah laporan korban diserahkan ke pihak Resor Kriminal unit V PPA

(Perlindungan Perempuan Dan Anak), selanjutnya akan dilakukan proses

penyelidikan, antara lain :

1. Para anggota Resor Kriminal unit V dibantu dengan Kepala SPK (Sentra

Pelayanan Kepolisian) yang semuanya berjumlah 5 anggota, yang terdiri

atas: 3 anggota Resor Kriminal unit V PPA dan 2 anggota SPK menuju ke

TKP (Tempat Kejadian Perkara).

2. Memeriksa saksi yang secara tidak sengaja melihat kejadian tersebut dan

(36)

3. Melakukan penangkapan kepada pelaku Kekerasan Dalam Rumah Tangga

apabila ancaman hukumannya diatas 5 tahun.

4. Mencari barang bukti yang ada di TKP.32

(37)

4. Alur Skema Penyidikan Tindak Pidana KDRT

Apabila laporan dicabut maka perkara

ini selesai sampai proses mediasi

Apabila korban mengalami kekerasan, maka

akan dilakukan visum ke Labfor

Apabila laporan tidak dicabut maka

akan dilanjutkan untuk proses

(38)

Keterangan Alur Skema

Proses penyidikan terhadap pelaku dan atau tersangka tindak pidana

KDRT yang dilakukan oleh pihak Kepolisian Polres Surabaya Selatan dalam

prakteknya adalah sebagai berikut :

a. Korban berhak melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian baik ditempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara atau korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau yang lain untuk melaporkan kepada pihak kepolisian baik ditempat korban berada maupun ditempat kejadian perkara.

b. Setelah dibuatnya laporan tersebut pihak kepolisian memanggil korban untuk dilakukan mediasi atau gelar perkara, fungsinya adalah:

1) Memberitahukan kedudukan antara korban dan pelaku.

2) Dampak yang akan dialami oleh korban, apabila proses mediasi tidak tercapai.

3) Pemberitahuan mengenai sanksi pidana yang akan diterima oleh pelaku.

c. Apabila dalam proses mediasi korban tidak mencabut laporannya maka proses penyidikan akan berlanjut, sedangkan apabila mencabut laporannya maka proses akan dihentikan sampai proses mediasi.

d. Setelah itu dilakukan visum ke Laboratorium Forensik yang digunakan sebagai alat bukti dalam penyidikan, kemudian polisi melakukan pemanggilan terhadap pelaku untuk proses penyidikan apabila korban mengalami kekerasan fisik.

e. Yang dilanjutkan dengan :

1) Penyidikan/BAP, dimana di dalam melakukan proses penyidikan maupun BAP tersebut waktunya tidak tentu, untuk semua kasus.

2) Melengkapi administrasi penyidikan.

3) Dibuatkan SP2HP (Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan) yang ditujukkan kepada keluarga korban oleh pihak kepolisian.

4) Apabila dianggap tidak membahayakan jiwa korban, maka selama dalam proses penyidikan polisi tidak harus menahan tersangka.

(39)

ke Kejaksaan Negeri, dilakukan ijin sita/geledah, untuk di bawa ke Pengadilan Negeri.

g. Apabila semua berkas perkara selesai, dikirim ke Kejaksaan Negeri dan berkas perkara dinyatakan P.21 (lengkap) tersangka dan barang bukti tersebut dilimpahkan ke Kejaksaan.33

Berdasarkan ketentuan tersebut serta ketentuan-ketentuan lainnya yang

tercantum dalam KUHAP mengenai penyidikan dari suatu tindak pidana yang

menjadi landasan serta pegangan bagi setiap penyidik dan penyelidik dalam hal

utama adalah membuat terang tindak pidana yang terjadi dan menemukan

tersangkanya. Jelaslah bahwa yang menjadi tujuan untuk menemukan

tersangkanya dimulai dengan penyelidikan untuk mencari dan mengumpulkan

bukti sehingga diperoleh “bukti permulaan yang cukup”.34

Proses penyidikan terhadap tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah

Tangga memang sedikit berbeda dengan tindak pidana biasa pada umumnya

karena berada dalam lingkup keluarga dan apabila tidak menimbulkan luka

serius dan kematian masuk dalam delik aduan yang ancaman hukumannya di

bawah lima tahun penjara.35

33 ibid

34 Irawati Harsono, Penanganan Polri Terhadap Kasus Perdagangan Perempuan dan Anak, Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, Jakarta, 2004, h. 20

(40)

5. Kasus KDRT Antara Suami-Isteri Serta Penanganannya Oleh Kepolisian

Resor Surabaya Selatan

a. Fakta hukum

Berdasarkan kasus KDRT yang didapat dari Unit V Perlindungan

Perempuan dan Anak Polres Surabaya Selatan yang terjadi antara Subagyo

berumur 45 tahun dan istrinya nyonya Poniyem berumur 40 tahun di wilayah

Surabaya Selatan. Subagyo yang beralamat di jalan Dukuh Pakis no 69,

Subagyo melaporkan dirinya, sebagai korban KDRT, ke aparat Kepolisian. di

wilayah Polres Surabaya Selatan .Urutannya sebagai berikut berawal dari

perselisihan kecil antara subagyo dan poniyem mengenai masalah uang

kontrakan yang belum dibayar karena sudah jatuh tempo, awalnya subagyo

bekerja sebagi tukang ojek didaerah terminal bungurasih dan semenjak

terserang setruk ringan subagyo tidak lagi bekerja sehingga untuk memenuhi

kebutuhan hidupnya dia hanya bisa berjualan toko kecil di depan kontrakan

mereka dan istrinya bekerja sebagi tukang cuci, berawal dari poniyem yang

pulang dari bekerja sekitar jam 12.00 wib poniyem bertanya kepada suaminya

mengenai uang sewa kontrakan sudah ada apa belum dan suaminya

menjawab dibayar pakai daun saja mendapat jawaban yang tidak enak

poniyem naik pitam dan mengayunkan tongkat pramuka yang ada

disebelahnya kekepala suaminya dan setelah itu menyeret korban ke pelataran

rumah seraya menendang bagian kepalanya setelah kejadian itu poniyem

(41)

tetengga korban langsung memberi pertolongan kepada korban dan korban

diantarkan menuju Polres surabaya selatan untuk melaporkan kejadian

tersebut.

b. Analisa Hukum

Tindak pidana yang dilakukan poniyem adalah tindak pidana KDRT

karena ruang lingkupnya keluarga. Setelah adanya laporan yang masuk dan

diproses, kemudian polisi segera melakukan penyelidikan dan penyidikan

mengingat kasus ini adalah KDRT polisi sangat hati-hati dalam

penanganannya karena ruang lingkupnya keluarga memerlukan penanganan

khusus tetapi bagaimanapun juga polisi harus tetap bertindak tegas dengan

segera melakukan visum kepada Subagyo di Laboratorium Polda Jatim agar

bekas luka tidak hilang dan lebih mudah untuk diidentifikasi, setelah hasil

visum keluar Subagyo mengalami kekerasan fisik ringan, yang menyebabkan

luka memar akibat pukulan benda tumpul yaitu tongkat pramuka sebagai alat

untuk memukul korban yang dilakukan oleh istrinya. Setelah mengetauhui

hasil visum polisi segera menjemput pelaku dirumah saudaranya atas

informasi korban karena hanya pengaiayaan ringan dan ancaman hukumanya

dibawah 5 tahun maka pelaku tidak ditahan.

Hal ini apabila ditinjau menurut ketentuan Pasal 5 UU PKDRT Jo

Pasal 6 UU PKDRT yakni :

(42)

a. Kekerasan fisik. b. Kekerasan psikis. c. Kekerasan seksual.

d. Penelantaran dalam rumah tangga.

Luka yang dialami oleh korban merupakan kekerasan fisik sesuai

dengan ketentuan Pasal 6 UU PKDRT diatas yakni: ”kekerasan fisik, adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat.”

Polisi kemudian melakukan proses gelar perkara kepada kedua pihak

dan untuk proses mediasi apabila proses mediasi dilakukan dan diterima maka

kasus ini selesai karena korban mencabut laporannya, apabila kasus tersebut

tidak dicabut maka proses dilanjutkan seperti biasa

Kemudian polisi membuat BAP, dan setelah BAP dibuat kemudian

polisi memberikan SP2HP (Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil

Penyidikan) yang ditujukan kepada keluarga korban. Dalam kasus bapak

subagyo dalam proses penyidikan tersangka tidak dilakukan penahanan

terhadap pelaku yaitu Nyonya Poniyem hal ini karena tersangka dianggap tidak

membahayakan jiwa korban. Dan ketentuan pidana yang dikenakan untuk

tersangka dalam hal ini Nyonya Poniyem adalah Pasal 44 ayat 4

Undang-undang PKDRT, yang dirumuskan sebagai berikut :

“Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan

oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp. 5.000.000, 00

(lima juta rupiah).”

(43)

telah diatur dalam UU PKDRT Pasal 51 , yang dirumuskan sebagai berikut :

“tindak pidana kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam pasal 44 ayat (4) merupakan delik aduan.”

Selanjutnya didalam proses penyidikan kemudian Subagyo melakuakn

mediasi dan memutuskan mencabut laporannya karena ingin memaafkan

suaminya untuk menyelamatkan hubungan rumah tangga mereka dari

perceraian, setelah laporan dicabut kasus tersebut tidak diteruskan dan

dinyatakan selesai oleh pihak Kepolisian karena kasus ini termasuk delik aduan.

Proses pencabutan delik aduan yang dilakukan oleh korban:

1. Polisi menjadi fasilitator dalam proses mediasi.

2. Apabila mediasi diterima maka kedua belah pihak dipertemukan untuk

membuat surat perjanjian yang isinya melakukan perdamaian dan mencabut

laporan yang telah dibuat.

3. Setelah surat pernyataan dibuat maka surat tersebut akan diajukan kepada

kapolres untuk mendapat pertimbangan dan persetujuan.

4. Setelah surat keluar maka secara sah laporan tersebut telah dicabut

5. Korban berjanji tidak akan mempermasalahkan perkara diatas dikemudian

hari dan pelaku berjanji tidak akan mengulangi perbuatan tersebut

dikemudian hari.36

(44)

c. Pertimbangan Hukum

Secara kepastian hukum memang poniyem melakukan suatu tindak

pidana yang melangar pasal 44 ayat 4 yang ancaman hukumannya di bawah 5

tahun dan kasus ini termasuk delik aduan dimana laporannya bisa dicabut

kembali apabila ada kesepakatan mediasi antara dua pihak yang bertikai dan

akhirnya korban mencabut laporannya itu merupakan hak korban mungkin

karena pertimbangan tertentu mengapa korban mencabut laporannya, karea

korban mempuyai anak yang harus dinafkahi dan mereka lebih mementingkan

kehidupan mereka selanjutnya daripada meneruskan kasusnya korban juga

berjanji lebih bisa menerima keaadaan suaminya dan lebih bersabar dalam

meghadapi suatu cobaan, ini merupakan suatu dinamika keaadaan masyarakat

kelas bawah karena sangat retan sekali terhadap permasalahan rumah tangga

yang berakhir dengan konflik rumah tangga yang disertai dengan kekerasan

karena emosi sesaat, dikemudian hari polisi harus lebih bijak dalam

memberikan penanganan tindak pidana KDRT agar tidak dipersulit dalam

penyelesaian kasus KDRT yang berkaitan dengan delik aduan.

6. Faktor-Faktor Korban Mencabut laporannya

Penyelesaian kasus tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang

berkaitan dengan suami istri yang banyak diselesaikan menggunakan cara mediasi

untuk menyelesaiakan permasalahan mereka asalkan tidak menimbulkan

kematian atau luka serius semua diserahkan kepada korban apakah mencabut

(45)

bersifat proaktif dalam menghadapi permasalahan ini karena ruang lingkupnya

rumah tangga apalagi delik aduan dimana korban bisa mencabut laporannya.

Posisi korban bersifat dilematis dalam kekerasan rumah tangga jika

seorang korban menuntut keadilan melalui jalur hukum atas tindakan yang

dideritanya, tuntutan itu dalam prakteknya mengundang sejumlah konsekuensi.37

Faktor-faktor mengapa korban mencabut laporannya:

a. Karena faktor ekonomi, pelaku adalah tulang punggung bagi keluarga apabila

korban meneruskan laporannya maka otomatis kesejahteraan keluarga tersebut

akan timpang untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka selanjutnya.

b. Karena faktor keharmonisan keluarga korban merasa ingin menjaga

keharmonisan rumah tangganya dan menyelamatakan pernikahan mereka dari

perceraian, karena apabila kasus tersebut dilanjutkan pasti akan mengarah

pada proses perceraian.

c. Karena faktor anak, korban mementingkan kehidupan mereka dikemudian

hari untuk tumbuh kembang anak dikemudian hari ini sangat penting untuk

mental anak dikemudian hari.

7. Dampak Yang Dialami Korban KDRT

Kekerasan rumah tangga dapat menimbulkan berbagai dampak negatif

bagi diri Dampak yang dialami pihak korban setelah terjadinya tindak pidana

kekerasan dalam korban dan anak-anaknya, yakni :

(46)

1. Kekerasan fisik umumnya berakibat langsung, seperti cidera, luka, cacat pada

tubuh dan atau kematian.

2. Kekerasan emosional atau psikologis umumnya sulit terlihat dan jarang

diperhatikan tetapi membawa dampak yang jauh lebih serius dibanding

bentuk kekerasan yang lain. Akibat psikis ringan yang dialami antara lain

ketakutan, perasaan malu, terhina dan terasing. Sedangkan akibat psikis yang

lain yang dialami antara lain perasaan rendah diri, hilangnya konsep diri dan

kehilangan rasa percaya diri. Akibat-akibat psikis tersebut tentu saja tidak

baik bagi perkembangan mental para korban karena menghambat

potensi-potensi diri yang seharusnya berkembang.

3. Kekerasan seksual dapat menimbulkan gangguan pada fungsi reproduksi, haid

tidak teratur, sering mengalami keguguran, dan kesulitan menikmati

hubungan seksual.38

Korban KDRT biasanya mempunyai beban moral yang sangat berat

setelah terjadinya kejadian tersebut mereka menutup diri dari masyarakat karena

mereka malu dengan kejadian yang mereka alami menurut sebagian masyarakat

kejadiaan tersebut merupakan aib yang sangat memalukan rumah tangga mereka

dianggap tidak harmonis lagi dan kondisi ini sangat berdampak buruk bagi korban

karena korban semakin tertekan, maka dibutuhkan penanggana yang serius dari

(47)

masyarakat untuk memulihkan kepercayaan diri korban untuk memulai kehidupan

rumah tangga yang harmonis demi terciptanya rumah tangga yang bahagia.

8. Hak-Hak Korban KDRT

Hal ini dikaitkan dengan ketentuan Pasal 18 UU PKDRT tentang

kewajiban Kepolisian untuk memberikan pelayanan kepada korban. Pelayanan

yang dapat diberikan oleh pihak kepolisian terhadap korban KDRT adalah :

“Kepolisian wajib memberikan keterangan kepada korban tentang hak korban untuk mendapatkan pelayanan dan pendampingan.”

Pasal 10 UU PKDRT disebutkan mengenai hak-hak korban yakni :

Korban berhak mendapatkan :

a. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.

b. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis.

c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban.

d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan paraturan perundang-undangan dan

(48)

41

KUHAP

A. Upaya Mediasi Dalam Proses Penyelesaian Tindak Pidana Kekerasan

Dalam Rumah Tangga

Tidak semua tindak pidana harus diselesaikan di meja pengadilan ada

pengecualian dalam penyelesaian suatu tindak pidana tertentu misalnya KDRT

dimana ruang lingkupnya adalah rumah tangga atau keluarga yag memerlukan

perhatian khusus karena pelaku dan korban saling mengenal bahkan

mempunyai hubungan darah dengan pelaku.39

Memfungsikan hukum pidana sebagai mekanisme utama penyelesaian

perkara menunjukkan adanya kesalahan pikir dan keterbatasan berpikir di

kalangan oknum penegak hukum. Kesalahan pikir terletak pada pemfungsian

hukum pidana sebagai senjata utama (primum remidium) untuk menyelesaikan

segala kasus hukum yang masuk ke meja para penegak hukum. Padahal, fungsi

hukum pidana adalah sebagai senjata pemungkas (ultimum remidium) ketika

cara-cara lain untuk menyelesaikan masalah hukum yang terjadi gagal

menyelesaikannya padahal dilihat dari permasalahannya. Sebelumnya perlu

dikemukakan beberapa alasan bagi dilakukannya penyelesaian perkara pidana

di luar pengadilan pidana sebagai berikut:

39

(49)

1. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori delik aduan dan

dicabut oleh korbannya.

2. Pelanggaran hukum pidana tersebut memiliki pidana denda sebagai

ancaman pidana dan pelanggar telah membayar denda tersebut.

3. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk tindak pidana di bidang

hukum administrasi yang menempatkan sanksi pidana sebagai ultimum

remedium .

4. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori ringan dan aparat

penegak hukum menggunakan wewenangnya untuk melakukan diskresi .

5. Pelanggaran hukum pidana biasa yang dihentikan atau tidak diproses ke

pengadilan (deponir) oleh Jaksa Agung sesuai dengan wewenang hukum

yang dimilikinya.

6. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori pelanggaran hukum

pidana adat yang diselesaikan melalui lembaga adat. Sedangkan

kelemahan dari penggunaan sistem ini adalah, dapatnya menjadi sumber

penyalahgunaan wewenang dari para penegak hukum, khususnya apabila

diskresi dibelokkan menjadi ”komoditi.40

Khusus dalam perkara KDRT tidak harus diselesaikan dalam

pengadilan, bisa dilakukan dengan cara kekeluargaan atau mediasi, apabila

korban menghendaki dan asalkan tidak menimbulkan kematian atau luka

40

(50)

serius. Penyelesaian perkara KDRT ini berkaitan dengan delik aduan yang ada

didalam tindak pidana KDRT.41

Mediasi adalah cara penyelesaian dengan melibatkan pihak ketiga,

yaitu pihak ketiga yang dapat diterima (accertable), artinya para pihak yang

berselisih mengizinkan pihak ketiga untuk membantu para pihak yang

berselisih dan membantu para pihak untuk mencapai penyelesaian.42 Dalam hal

ini aparat yang berwenang yaitu polisi karena menghindari keputusan sepihak

yang dilakukan oleh salah satu pihak dan melindungi korban dari intervensi

pelaku didalam mediasi tersebut karena semua keputusan ada ditangan korban

menerima mediasi atau tidak. Penyelesaian dengan mengunakan cara mediasi

penyelesaiaan perselisihan lebih banyak muncul dari keinginan dari inisiatif

para pihak yang bertikai dan mediator dalam hal ini polisi hanya membantu

kesepakatan-kesepakatan yang terjadi dalam mediasi dan menjadi fasilitator.

Proses mediasi biasa digunakan dalam perkara perdata yang ada karena

merupakan salah satu cara menyelesaikan perkara yang lebih cepat,43 tetapi

dalam prakteknya mediasi juga digunakan untuk menyelesaikan perkara pidana

terutama pekara KDRT terutama yang berkaitan dengan delik aduan karena

ruang lingkupnya antara suami istri, tetapi ini dikembalikan kepada korban

apakah mau menerima mediasi atau tidak apabila korban menerima mediasi

maka akan dilanjutkan dengan proses pencabutan laporan oleh korban.

41

Wawancara dengan Kanit V PPA Inspektur Satu Ibu . Kurnia, Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resort Surabaya Selatan, Jalan Dukuh Kupang XVI/26-28 Surabaya

42

Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Adat, Hukum Syariah, dan Hukum Nasional, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2009, h. 39.

43

(51)

Proses mediasi bisa menjadi salah satu upaya hukum yang dapat

dilakukan dalam peradilan pidana untuk penyelesaian kasus KDRT. Mediasi

dianggap lebih sesuai dengan UU PKDRT yang bersifat preventif dan represif

dalam menyelesaikan kasus KDRT. Penyelesaian melalui peradilan pidana

yang diterapkan selama ini dianggap terlalu kaku dan justru menimbulkan

berbagai masalah baru. Penyelesaian proses peradilan selama ini dirasakan

belum memberikan rasa adil bagi tujuan berumah tangga yang harmonis karena

selalu berakhir dengan pidana penjara yang akhirnya merontokkan sendi

harmonisasi serta keseimbangan hak korban, nafkah bagi anak-anak terpidana

serta kelangsungan hidup berumah tangga seterusnya karena memikirkan

dampaknya apabila tindak pidana tersebut berlanjut, mungkin pilihan ini sangat

sulit bagi korban KDRT karena menyangkut keharmonisan dan keutuhan

keluarga mereka pada umumnya dikemudian hari karena bagaimanapun juga

korban harus memikirkan kehidupan mereka selanjutnya apalagi kalau pelaku

adalah tulang punggung keluarga tumpuaan bagi keluarganya dan terlebih lagi

korban tidak bekerja dan menggantungkan nasibnya pada pelaku ini pilihan

sulit bagi korban.

Kepastian hukum seorang pelaku KDRT secara jelas telah melanggar

hukum akan tetapi pelaku mempunyai hubungan keluarga dan banyak kasus

KDRT yang tidak sampai disidang, karena kasus ini merupakan delik aduan.

Sehingga si korban bisa saja mencabut lagi laporan saat masih di kepolisian44

44

(52)

Kepolisian Resort Surabaya Selatan dalam menangani proses

penyelesaian perkara KDRT antara suami-istri khususnya yang berhubungan

dengan delik aduan, sebelum masuk kedalam proses penyelidikan dan

penyidikan oleh pihak kepolisian memangil kedua belah pihak yang bertikai

untuk dimintai keterangan tentang kronologi awal, berdasarkan keterangan

kedua pihak polisi akan melanjutkan proses penyelidikan dan penyidikan,

peran polisi sangat penting untuk memberikan dukungan kepada korban pada

saat proses penyidikan berlangsung, biasanya korban merasa tertekan terhadap

apa yang telah terjadi. Apabila dalam proses penyidikan berlangsung korban

dan pelaku melakukan mediasi maka polisi akan memfasilitasi sebagai

mediator dan mengawasi jalannya mediasi agar korban tidak dirugikan

dikemudian hari dan setelah mediasi dibuat dilanjutkan dengan pencabutan

laporan, mediasi terjadi apabila ada kesepakatan antara pihak korban dan

pelaku yaitu :

1. Terjadinya kesepakatan damai antara kedua belah pihak.

2. Pelaku berjanji tidak akan melakukan perbuatan serupa

dikemudian hari.

3. Korban bersedia mencabut laporan yang dibuat.45

Proses mediasi dibuat dihadapan polisi sebagai mediator agar polisi

bisa melihat jalannya proses mediasi agar berjalan lanca dan menghidarkan

dari kecurangan-kecurangan yang terjadi atau kesepakatan sepihak yang

(53)

dilakukan oleh pelku terhadap korban karena mediasi dibuat untuk

melindungi hak-hak korban.

B. Dampak Positif dan Negatif Perkara KDRT Melalui Mediasi

Kepastian hukum tindak pidana KDRT merupakan tindak pidana

biasa tetapi didalam prakteknya tindak pidana KDRT memerlukan

perlakuaan dan penanganan khusus karena ruang lingkup KDRT adalah

kelurga mereka sendiri sehingga butuh penanganan khusus untuk

menyelesaikan tindak pidana ini, mungkin korban ingin memberikan efek

jera kepada pelaku dengan melaporkan perbuatan pelaku agar pelaku tidak

seenaknya dalam bertindak karena perbuatan tersebut mengarah pada tindak

pidana tetapi setelah adanya peristiwa tersebut dan korban melaporkan

pelaku kepada polisi diharapkan pelaku sadar akan perbuatannya ketika

dalam proses penyidikan berlangsung polisi menanyakan kepada korban

apakah kasusnya dilanjutkan atau melakukan mediasi tetapi semua itu

dikembalikan kepada korban apakah melakukan mediasi atau tidak,

alternatif penyelesaian KDRT dalam ruang lingkup rumah tangga seperti

mediasi lebih banyak digunakan dalam sebagian besar penyelesaian kasus

KDRT karena dianggaap lebih bisa diterima karena bagaimanapun juga

sebenarnya antara korba dan pelaku masih saling membutuhkan utuk

melajutkan rumah tangga mereka walaupun korban disakiti

Dampak posif proses mediasi:

1. Proses mediasi ditempuh untuk penyelesaian tindak KDRT

(54)

mempunyai waktu yang singkat dalam prosesnya

penyelesaiannya.

2. Tidak memerlukan banyak biaya karena apabila diteruskan

hingga pengadilan akan butuh banyak biaya.

3. Dianggap lebih memberikan keadilan bagi pihak yang

berselisih karena adanya kesepakatan antara dua pihak

sehinga terjadi mediasi46

Penyelesaian secara mediasi oleh beberapa orang dan lembaga

swadaya masyarakat dan komnas HAM diangap tidak berpihak pada korban,

karena perlakuan yang diperbuat oleh pelaku dianggap sebagai pembiaran

tanpa adanya sanksi pidana yang diberikan dan telah melangar hukum sesuai

dengan kepastian hukum. Tetapi itu semua dikembalikan pada korban

apakah ingin melakukan mediasi atau tetap melanjutkan kasus tersebut

Dampak negatif proses mediasi:

1. Pelaku terhindar dari sanksi pidana karena laporan dicabut ini

diangap tidak memberikan efek jera bagi pelaku.

2. Tidak berlaku untuk semua tidak pidana hanya pidana yang

berkaitan dengan delik aduan.

3. Bukan jaminan pelaku tidak akan melakukan perbuatan yang

serupa dikemudian hari.47

46 Ibid 47

(55)

C. Data Perkara KDRT Yang Terselesaikan pada Bulan Januari

Tabel 1. Data Kriminalitas di Polres Surabaya Selatan

Data yang diperoleh dari Polres Surabaya Selatan untuk kasus yang

telah terselesaiakan pada bulan Januari sampai Juni 2009 sebesar 22 kasus,

dari 22 kasus yang terselesaikan sebanyak 10 kasus diselesaikan lewat

mediasi, sebanyak 12 kasus diselesaikan di Pengadilan karena bukan delik

(56)

49

Berdasarkan hasil pembahasan dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa

kekerasan dalam rumah tangga adalah kekerasan yang terjadi dalam lingkup

rumah tangga. Merujuk kepada penganiayaan terhadap anak ataupun orang

dewasa, juga antara suami istri, tanpa memperhatikan jenis kelamin ataupun

pelakunya.

Tindak pidana kekerasan rumah tangga yang terjadi saat ini tidak hanya

terjadi pada perempuan saja tetapi dalam perkembangganya perkara kekerasan

dalam rumah tangga juga dilakukan oleh istri terhadap suami ini menunjukan

bahwa wanita juga bisa menjadi pelaku tindak pidana kekerasan dalam rumah

tangga peritiwa ini mungkin sangat jarang terjadi tetapi tidak bisa dipungkiri

bahwa kasus ini benar-benar terjadi walaupun dalam ruang lingkup keluarga

dan temasuk delik aduan.

Kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi antara suami istri yang

tidak menimbulkan luka serius atau kematian masuk kedalam delik aduan.

Delik aduan bisa ditarik kembali apabila si pelapor menarik laporannya

dikarenakan beberapa faktor yaitu,

Faktor-faktor mengapa korban mencabut laporannya:

Referensi

Dokumen terkait

Tugas akhir ini memaparkan pengaruh kecepatan pengadukan dan temperatur tuang terhadap kekuatan impak, dan tarik komposit matriks aluminium berpenguat pasir

menerima , kata nerima pada kalimat tersebut adalah kata tidak baku, namun dalam kaidah nonformal kata tersebut disyahkan, tapi karena di dalam penelitian ini

Salah satunya cerita tentang Gua Sarang Burung Pallas Baruni, didalam cerita rakyat ini memperlihatkan karakter sang suami secara halus didalam menuntut haknya

Belajar pada dasarnya bukanlah hanya suatu tujuan saja, tetapi merupakan suatu proses kegiatan untuk mencapai tujuan (Sobur, 2003). Pada hakikatnya, belajar itu suatu proses

1) Terwujudnya inovasi layanan pengelolaan limbah radioaktif yang handal yang sesuai dengan prinsip keamanan, keselamatan dan kesehatan kerja. Untuk mencapai Sasaran

Pemberian Informasi Obat dapat meningkatkan pengetahuan pasien dalam penggunaan obat yang tepat dan memotivasi pasien untuk menggunakan obat sesuai dengan anjuran

Foto 4.1.2(b) : Ragam hias pasusuk’ yang terdapat di rumah adat tongkonan di kawasan adat Situs Buntu Pune, bentuk seperti ini juga ditemukan pada duni di Situs

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa langkah pembelajaran dengan menerapkan strategi REACT dalam model pembelajaran Think Pair Share (TPS) yang dapat meningkatkan keaktifan