KUMPULAN CERPEN BERHALA KARYA DANARTO
(Sebuah Studi Deskriptif Sebagai Upaya Memilih
Model Pengajaran Cerpen di LPTK)
TESIS
Diajukan sebagai syarat untuk mencapai gelar
Magister Pendidikan Pengajaran Bahasa Indonesia
pada Program Pascasarjana IKIP Bandung
Oleh:
EKARINI SARASWATI No. Induk: 9332024
Program Studi Pengajaran Bahasa Indonesia
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN BANDUNG
BANDUNG
▸ Baca selengkapnya: amanat dari cerpen tanah air karya martin aleida
(2)Disetujui dan Disahkan untuk Menempuh
Ujian Tahap II
Pembimbing I
Prof. Dr. H. Yus Rusyana
Pembimbing II
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
1.3.2 Manfaat Penelitian
1.4 Asumsi dan Pertanyaan Penelitian
1.4.1 Asumsi Penelitian
1.4.2 Pertanyaan Penelitian
1.5 Definisi Operasional
BAB II LANDASAN TEORI TENTANG SEMIOTIK, TRADISI DAN
PEMBARUAN, SERTA PENGAJARAN SASTRA
2.1 Pengantar
2.2 Teori Semiotik
2.2.1 Semiotik ala Peirce
2.2.2 Semiotik ala Saussure
2.3 Makna Karya Sastra
2.3.1 Makna dalam Pendekatan Semiotik
2.3.2 Makna Tasauf dalam Karya Danarto
2.4 Struktur Karya Sastra
2.4.1 Struktur Cerita
2.4.2 Tokoh
2.4.3 Ruang dan Waktu
2.4.4 Penguj aran
2.4.4.1 Kategori Modus
2.4.4.1.1 Pemfokusan 43
2.4.4.1.2 Jarak Pandangan
2.4.4.2 Kategori Tutur
2.5 Tradisi dan Pembaruan dalam Kesusastraan
49
2.6 Pendekatan Semiotik dalam Pengajaran Cerpen 51
2.6.1 Pengaj aran Cerpen
2.6.2 Pendekatan Semiotik dalam Pengajaran Cerpen
2.7 Model Pengajaran Cerpen
2.7.1 Pengertian Model Pengajaran
2.7.2 Pemilihan Model Mengajar
2.7.3 Model Mengaj ar Inquiri
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Pengantar
3.2 Objek Penelitian
3.3 Metode dan Teknik Penelitian
65
3.4 Instrumen Penelitian
3.5 Teknik Pengolahan Data
3.6 Model Analisis Cerpen
BAB IV PEMBAHASAN KUMPULAN CERPEN BERHALA
BERDASARKAN HASIL ANALISIS SEMIOTIK
4.1 Pengantar
4.2 Analisis Struktur Cerita
4.2.1 Urutan Tekstual Satuan Isi Cerita
4.2.3 Urutan "Logis" Peristiwa 118
4.3 Analisis Tokoh 132
4.3.1 Pembahasan Nama 132
4.3.2 Gambaran Fisis Tokoh 137
4.3.3 Gambaran Lingkungan Sosial 141
4.4 Analisis Ruang dan Waktu 163
4.4.2 Waktu 176
4.5 Pengujaran
189
4.5.1 Kategori Modus 189
4.5.1.1 Pemusatan Pandangan 189
4.5.1.2 Kedalaman Pandangan 190
4.5.1.3 Jarak Pandangan
4.5.2 Kategori Tutur
4.5.2.1 Penceritaan 192
4.5.2.3 Kehadiran Pencerita 193
1 Q1
4.6 Makna xr
BAB V DANARTO SEBAGAI PEMBARU TRADISI PENUISAN CERPEN
INDONESIA MUTAKHIR
5.1 Pengantar
5.2 Kedudukan Cerpen dalam Sejarah Kesusastraan Indonesia
5.3 Tradisi dan Pembaruan Cerpen Indonesia 210
5.3.1 Periode Sebelum Perang Dunia Kedua
212
5.3.2 Periode Pujangga Baru
215
5.3.3 Angkatan '45
217
5.3.4 Angkatan '66 dan Kontemporer
192
192
205
205
5.3.5 Tinjauan atas Kedudukan Kumpulan Cerpen Berhala
248
karya Danarto dalam Kerangka Tradisi dan Pembaruan 248
Penulisan Cerpen Indonesia
248
BAB VI MODEL PENGAJARAN
6.1 Dasar Pemikiran
6.2 Model Pengajaran Inquiri
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Pengantar
7.2 Kesimpulan
7.3 Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN:
Lampiran 1 Biografi Singkat Danarto
Lampiran 2 Lembaran Tes untuk Mahasiswa
Lampiran 3 Angket untuk Mahasiswa
Lampiran 4 Angket untuk Dosen
Lampiran 5 Hasil Penghitungan Uji Coba
Lampiran 6 Surat Tugas Penelitian
*esb*
252
252
255
263
263
264
268
271
275
278
297
298
299
Tabel 1.3 Pedoman Analisis 68
TABEL 1.4 Urutan Logis 131
TABEL 2.4 Nama Tokoh 136
TABEL 3.4 Gambaran Fisik Tokoh 140
TABEL 5.4 Ruang 175
TABEL 5.4 Waktu 188
TABEL 6.4 Kedalaman Pandangan: Fokus Dalam 191 TABEL 7.4 Kedalaman Pandangan: Fokus Luar 191
TABEL 8.4 Makna 203
TABEL 1.6 Validitas Item Soal 253
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Cerpen merupakan jenis sastra yang berkembang luas
dalam masyarakat. Banyak kumpulan cerpen yang telah terbit.
Bahkan ada majalah yang khusus memuat cerpen atau sebagian
besar isinya berupa cerpen. Di samping itu, berbagai majalah
hiburan atau bahkan hampir tiap surat kabar yang terbit di
Indonesia pada waktu-waktu tertentu menyediakan rubrik
khusus untuk cerpen (Yassin, 1985:3; Rosidi, 1983:10;
Damo-no, 1983:58; Sumarjo, 1983:27).
Ajip Rosidi (1959:3) mengatakan bahwa "di samping
puisi, bentuk cerpen adalah bentuk yang paling banyak
dige-mari dalam dunia kesusastraan Indonesia sesudah perang Dunia
Kedua." Bentuk cerpen tidak saja digemari oleh para
penga-rang, melainkan juga disukai oleh pembaca. Dalam waktu yang
relatif singkat seseorang dapat menikmati satu karya sastra
secara lengkap-utuh.
Kenyataan perkembangan sastra yang ada dalam masyarakat
ini seharusnya dijadikan salah satu faktor yang perlu
diper-timbangkan dalam menentukan materi pengajaran sastra di
sekolah. Dengan demikian, apa yang disajikan di sekolah
tidak terlalu jauh jaraknya dengan apa yang hidup dalam
novel, baik pengertiannya, sejarah perkembangannya dari satu
periode ke periode yang lain, maupun ulasan atau telaahnya
(Sarwadi, 1991:97).
Cerpen merupakan cerita fiksi bentuk prosa yang singkat
padat, yang unsur ceritanya berpusat pada satu peristiwa
pokok, sehingga jumlah tokoh dan pengembangan perilakunya
terbatas dan keseluruhan cerita memberikan kesan tunggal.
Karena bentuknya yang singkat itu, penyajian cerpen dalam
proses belajar-mengajar dimungkinkan berlangsung dalam waktu
yang relatif singkat juga.
Selain itu, cerpen memiliki khazanah cerita yang
bera-gam. Sejak awal kemunculannya pada tahun 1930-an cerpen
mengalami perkembangan subur. Banyak pengarang yang muncul
memiliki -berbagai keragaman, baik asal daerahnya, latar
sosial dan budaya serta profesinya, maupun pandangan hidup
dan keyakinan agamanya. Oleh karena itu, permasalahan yang
mengilhami atau menjadi topik penulisan cerpen beragam;
hampir semua sektor kehidupan menusia dalam masyarakat dapat
dicari pencerminannya dalam cerpen. Gambaran tentang kehi
dupan buruh, petani, nelayan, pedagang, guru, penganggur,
pejuang, pegawai, mahasiswa, pelajar, priyayi dan yang lain
dapat diperoleh dalam cerita pendek. Keanekaragaman cerita
itu dapat dimanfaatkan sebagai usaha memperluas cakrawala
pandangan siswa terhadap berbagai permasalahan hidup dalam
dipertimbangkan adalah cerpen-cerpen karya Danarto. Danarto
merupakan salah seorang cerpenis Indonesia yang memiliki
kedudukan yang baik dalam dunia kesusastraan Indonesia. Dari
segi kuantitas, Danarto sudah menulis banyak cerpen yang
dipublikasikan dalam berbagai koran dan majalah. Di antara
cerpen-cerpen tersebut ada yang sudah diterbitkan dalam
bentuk buku kumpulan cerpen: Godlob, Adam Ma'rifat, Berhala,
dan Gergasi. Walaupun dari segi kuantitas ini barangkali
Danarto tidak merupakan cerpenis yang terlalu produktif,
akan tetapi hal ini diimbanginya dengan kualitas
cerpen-cerpennya yang rata-rata menarik perhatian para pengamat dan
para ahli sastra Indonesia, baik dari dalam maupun dari luar
negeri.
Pengamat sastra dari Belanda, Prof. A. Teeuw
(1984:199), menyejajarkan Danarto dengan Budi Darma, Putu
Wijaya dan Iwan Simatupang sebagai penulis fiksi yang paling
berhasil dalam usaha pembaruan khususnya dalam hal teknik
fiksi, di samping sedikit banyak juga dalam hal isi. Pemba
ruan itu berlaku baik dalam penggarapan tema yang sudah
lebih mendalam mencapai relung gelap, lebih bebas dan lebih
menyentuh halus, maupun dalam bentuk.
Burton Raffel, pengamat kesusastraan Indonesia dari
Colorado, menyatakan dalam The Wall Street Journal yang
terbit di Hongkong, bahwa Danarto merupakan seorang
ekspri-mentari yang "karya-karyanya sangat modernistik, dipengaruhi
menarik di dunia. Kekuatan dan keistimewaannya bahkan
mele-bihi cerpen-cerpen terbaik yang dihasilkan pengarang Eropa
dan Amerika dewasa ini" {Waspada, 20 April 1980).
Harry Aveling, pengamat kesusastraan Indonesia dari
Australia, memberikan perhatian khusus dengan menerjemahkan
karya-karya Danarto ke dalam bahasa Inggris; di antara karya
terjemahannya adalah From Surabaya to Armagedon dan Crossing
the Border: Five Indonesian Short Stories. Karya terjema
hannya yang kedua telah beredar di Amerika serikat. Menurut
katalog The Cellar Bookshop, Danarto termasuk penulis yang
kedudukannya setaraf dengan William Blake (1757-1827),
penyair Inggris yang memproklamasikan imajinasi untuk
meng-atasi rasionalisme, artifisialitas, hukum moral dan
materi-alisme abad ke-18 (Kompas, 6 Mei 1987).
Selain pengamat asing, pengamat dalam negeri pun telah memberikan sambutan yang positif, di antaranya Sapardi Djoko
Damono. Damono menilai karya Danarto sebagai "trend baru
yang bernilai," di samping mendudukkan Danarto sebagai
pelo-por Angkatan 70 (Berita Buana, 5 Juli 1988).
Sementara itu, sambutan yang negatif pun tidak sedikit.
Arief Budiman (Minggu Pagi, Juli 1986), misalnya, menyatakan
bahwa cerpen Danarto termasuk "cerpen orang yang kesurupan."
Karena itu, karya Danarto dianggapnya bukan karya sastra.
Pernyataan yang hampir senada dilontarkan juga oleh Korry
sastra yang tinggi".
Kecaman kedua pengamat sastra di atas, ternyata, tidak
menggoyahkan kedudukan Danarto sebagai cerpenis yang handal.
Hal tersebut terbukti dengan banyaknya penghargaan sastra
yang telah diterimanya. Cerpen "Rintrik" yang dimuat di
majalah Horison pada 1968 dikukuhkan sebagai cerpen terbaik
versi majalah itu untuk tahun tersebut. Tim penilai SEA
Write Award Indonesia telah memilih Danarto sebagai
peme-nang sastra untuk tahun 1988 karena kreativitasnya pada lima
tahun terakhir. Di samping itu, kumpulan cerpen Danarto yang
ketiga, Berhala, dinilai sebagai karya sastra yang paling
menonjol dari segi pesan dan wawasan estetiknya. Terakhir,
kumpuan cerpen Berhala dinyatakan sebagai buku terbaik 1990
versi Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Mengingat pentingnya kedudukan Danarto dalam khazanah
kesusastraan Indonesia, maka Cerpen-cerpen Danarto penting
untuk ditelaah. Beberapa ulasan tentang cerpen Danarto telah
dilakukan di antaranya oleh Rayani Sriwidodo (1985) yang
menelaah Godlob dengan menggunakan pendekatan semiotik
Lotman, yang dimuat dalam buku Cerpen Indonesia Mutakhir
yang disunting oleh Pamusuk Eneste. Sriwidodo mengungkapkan
bahwa cerpen karya Danarto memiliki gaya yang khas seperti
sebuah lukisan yang penuh warna. Selain itu, dia juga
menin-jau Godlob sebagai karya sastra yang penuh dengan
Mangunwijaya (1982), dalam bukunya Sastra dan Religiositas, memandang Godlob sebagai sebuah karya sastra hasil
pergola-kan batin yang personal yang tidak setiap orang mampu untuk
memahaminya. Selanjutnya Prihatmi (1979) dalam makalahnya
yang disampaikan dalam seminar penelitian sastra menemukan
adanya keanehan-keanehan struktur yang terdapat di dalam
Godlob. Sumardjo (1974) dalam majalah Horison memberikan
tinjauan mengenai pengaruh mistik panteistik pada
cerpen-cerpen Danarto. Keempat pengulas di atas pada dasarnya
mengemukakan adanya dunia alternatif dalam cerpen-cerpen
Danarto. Namun, ulasannya baru berupa suatu garis besar dan
belum sampai mendalam, barangkali karena keterbatasan media
penyampai.
Hasil penelitian yang lebih mendalam dilakukan oleh
Tjitrosubono dkk. (1985) yang sudah dibukukan dengan judul
Memahami Cerpen-cerpen Danarto dan diterbitkan oleh P3B
Depdikbud. Tjitrosubono menelaah cerpen-cerpen Godlob dengan
menggunakan pendekatan struktur dan menggabungkannya dengan
pendekatan ekstrinsik. Hasil penelitian Tjitrosubono ini
bukan merupakan tesis. Penulis belum menemukan hasil peneli
tian tentang Danarto dalam bentuk tesis. Penemuan ini
dida-sarkan pada hasil penelusuran pustaka yang dilakukan penulis
selama ini di perpustakaan IKIP bandung, UGM Yogyakarta,
Pusat dokumentasi H.B. Yassin Jakarta, dan Pusat Pembinaan
takan bahwa penelitian cerpen Danarto hingga saat ini masih
sangat terbatas. Dari segi pendekatan pun, umumnya
peneli-tian-penelitian yang ada baru sebatas penelitian struktur
atau dari sudut tinjauan tertentu. Padahal, secara ideal,
penelitian sastra harus mengindahkan keutuhan karya sastra
sebagai suatu sistem tanda yang utuh. Menurut Culler (Teeuw,
1984:143), ilmu sastra yang sejati haruslah bersifat semio
tik, yaitu harus menganggap sastra sebagai sistem tanda.
Tugas semiotik bukanlah deskripsi tanda-tanda tertentu,
melainkan "to describe those conventions that underlie even
the most 'natural' modes of behavior and representation
(memerikan konvensi-konvensi yang melandasi ragam perilaku
dan pembayangan). Hal ini karena seluruh pengalaman dan
kebudayaan manusia berdasarkan tanda dan mempunyai dimensi
simbolik yang dominan.
Pendekatan semiotik yang memberi perhatian kepada aspek
konvensi sastra ini ternyata sejalan dengan tujuan pengajar
an sastra di sekolah yang justeru hendak mengakrabkan siswa
dengan karya sastra (apresiasi sastra). Ini berarti bahwa pengajaran sastra hendaknya mengantarkan siswa agar dapat mengenali konvensi yang mendasari karya sastra dan dapat mengantarkannya untuk memahami karya tersebut. Diharapkan
agar para siswa dibawa masuk menggauli karya sastra itu
sehingga tumbuh kepekaan dan perasaannya terhadap berbagai
unsur estetik yang terdapat di dalamnya (Sarwadi, 1991:98).
Berdasarkan pertimbangan ini, kiranya dapat dikatakan
bahwa pendekatan yang sangat baik untuk memahami karya
sastra sekaligus yang sesuai dengan tuntunan kurikulum
adalah pendekatan semiotik. Sebagai suatu pendekatan yang
memandang karya sastra dalam kerangka komunikasi, pendekatan
semiotik kiranya akan memberi tahu kita unsur-unsur serta
dimensi-dimensi apakah dalam cerpen yang harus diperhatikan agar makna yang terkandung di dalamnya dapat diungkapkan.
Ini penting agar apresiasi dapat lebih ditingkatkan.
1.2 Pembatasan dan Perwmisan Masalah
Permasalahan di atas masih terlalu luas karena belum
menunjukkan batas-batas yang jelas tentang jangkauan dan
kedalaman penelitian yang dilakukan. Agar lebih operasional,
maka masalah itu akan dibatasi dan kemudian dirumuskan
sehingga menjadi khusus dan operasional.
Masalah dikhususkan dengan beberapa pembatasn berikut.
Pertama, kumpulan cerpen karya Danarto yang dipilih adalah kumpulan cerpen Berhala yang merupakan kumpulan cerpen
ketiga. Hal ini disebabkan kumpulan cerpen tersebut menandai
suatu tahap penting dalam konteks kesastrawanan Danarto yang
cukup berbeda dengan kumpulan cerpen sebelumnya. Dalam
kumpulan cerpen
Berhala,
Danarto telah meninggalkan dunia
panteisme Jawa dan mulai terjun ke dunia nyata. Sebagaimana
ditegaskan oleh Umar Kayam dalam "Kata Pengantar"-nya untuk
meng-Hamlet, Salome, Abimanyu, melainkan orang-orang dari kehidu
pan sehari-hari kita". Di samping itu, Berhala lebih banyak
menggambarkan peristiwa-peristiwa aktual yang terjadi pada
masyarakat.
Pembatasan kedua berkenaan dengan pendekatan. Dari
berbagai kemungkinan pendekatan, penelitian ini dilakukan
dengan menggunakan pendekatan semiotik. Hal ini dilakukan karena pendekatan semiotik merupakan pendekatan yang paling
sesuai untuk memahami karya sastra (Teeuw, 1984:43).
Berkait-an dengBerkait-an ini, berdasarkBerkait-an pembatasBerkait-an ketiga, titik pusat
perhatian penelitian ini adalah untuk mencari ciri-ciri
menonjol yang selalu muncul dalam cerpen-cerpen Danarto.
Dengan perkataan lain, penelitian ini diarahkan untuk
menge-tahui konvensi-konvensi yang tergambar dalam cerpen-cerpen
Danarto untuk mengetahui pembaruan yang dilakukannya dalam
tradisi penulisan cerpen Indonesia.
Pembatasan keempat berkenaan dengan arah penelitian
ini. Penelitian ini dilaksanakan dan diarahkan terutama
untuk kepentingan pengajaran sastra, bukan untuk kepentingan
teori sastra begitu saja. Secara khusus, penelitian ini
diarahkan untuk memilih sebuah model pengajaran sastra,
yaitu model pengajaran cerpen Danarto. Untuk tujuan ini,
analisis semiotik atas cerpen akan menentukan suatu model
pengajaran yang diajukan sebagai alternatif untuk pengajaran
sastra (cerpen) pada jenjang SI di LPTK.
yang ingin dicoba dijawab dalam penelitian ini adalah
ciri-ciri apakah yang terdapat dalam kumpulan cerpen Berhala yang
perlu diperhatikan agar pengapresiasian cerpen-cerpen terse
but dapat dilakukan dengan lebih baik. Secara khusus, perma
salahan utama itu dapat diuraikan menjadi tiga permasalahan
pokok berikut.
1) Ciri-ciri apakah yang menonjol dalam cerpen-cerpen Berha
la karya Danarto?
2) Bagaimanakah akibat ciri-ciri khusus itu terhadap tradisi
dan pembaruan penulisan cerpen Indonesia?
3) Model pengajaran yang bagaimanakah yang paling sesuai
untuk mengajarkan cerpen-cerpen Berhala di Lembaga Pendi
dikan Tinggi Keguruan?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ciri-ciri
khusus yang terdapat dalam kumpulan cerpen Berhala yang
kiranya sangat menentukan keberhasilan pembacaannya. Secara
khusus, tujuan penelitian ini dapat dirinci menjadi tiga
tujuan berikut.
1) Untuk memperoleh deskripsi tentang ciri-ciri yang menon
jol dalam cerpen-cerpen Berhala.
2) Untuk memperoleh deskripsi tentang akibat ciri-ciri
khusus itu terhadap tradisi dan pembaruan penulisan
cerpen Indonesia.
3) Untuk memperoleh model pengajaran cerpen-cerpen Berhala
Kependi-dikan (LPTK).
1.3.2 Manfaat Penelitian
Dengan mencapai ketiga tujuan di atas, penelitian ini
diharapkan dapat memberikan manfaat kepada pengajaran sastra
(khususnya cerpen) pada jejang pendidikan SI. Kegunaan ini
dapat ditarik dari dua segi penelitian ini: dari segi hasil
dan dari segi proses. Dari segi hasil, penelitian ini dapat
memberikan manfaat berupa uraian semiotik cerpen-cerpen
Danarto berikut model pengajaran cerpen, sebagai bandingan
bagi uraian dan model yang lain. Dari segi proses, peneli
tian ini dapat memberikan manfaat berupa cara menguraikan
cerpen dengan pendekatan semiotik seperti yang dilakukan
dalam penelitian ini, sebagai bandingan dengan cara mengu
raikan yang lain. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan
dapat memberikan alternatif yang dapat membuka
kemungkinan-kemungkinan yang lebih baik untuk pengajaran cerpen pada
jenjang SI.
1.4 Asumsi dan Pertanyaan Penelitian
1.4.1 Asumsi Penelitian
Perumusan masalah dan penentuan tujuan penelitian di
atas didasarkan kepada beberapa asumsi berikut.
1) Cerpen merupakan suatu sistem tanda yang utuh, yang untuk
kepentingan teoretis, dapat dianalisis ke dalam berbagai
unsur dan aspek yang membangunnya.
2) Di antara berbagai unsur dan aspek yang membangun
menentukan makna cerpen tersebut dan ikut mempengaruhi
tradisi dan pembaruan penulisan cerpen Indonesia.
3) Ciri khusus/menonjol yang menentukan pemahaman itu meru
pakan kriteria utama untuk memilih model pengajaran
cerpen untuk perguruan tinggi (khususnya LPTK).
Asumsi-asumsi ini secara lebih luas berkenaan dengan
kerangka teori yang melandasi penelitian ini dan yang
diurai-kan pada Bab II (Kerangka Teori).
1.4.2 Pertanyaan Penelitian
Agar penelitian ini lebih jelas dan diketahui kedalaman
serta keluasan ruang lingkup penelitiannya, maka berdasarkan
asumsi di atas, masalah penelitian yang sudah diajukan perlu
dirumuskan dalam bentuk pertanyaan penelitian. Hal ini
penting agar tidak terjadi kesalahpahaman di dalam menentu
kan hal-hal apa saja yang diteliti dan hal-hal apa saja yang
tidak diteliti.
Berkenaan dengan masalah pertama tentang ciri-ciri yang
menonjol dalam cerpen Danarto, pertanyaan penelitiannya
adalah sebagai berikut.
1) Ciri-ciri apakah yang menonjol dalam cerpen-cerpen Berha
la berkenaan dengan penggarapan struktur cerita?
2) Ciri-ciri apakah yang menonjol dalam cerpen-cerpen Berha
la berkenaan dengan penggarapan penokohan?
3) Ciri-ciri apakah yang menonjol dalam cerpen-cerpen Berha
la berkenaan dengan penggarapan ruang dan waktu?
4) Ciri-ciri apakah yang menonjol dalam cerpen-cerpen Berha
5) Bagaimanakah gambaran makna yang muncul dari
cerpen-cerpen Berhala?
Berkenaan dengan masalah kedua tentang pengaruh
ciri-ciri yang menonjol dalam cerpen Danarto terhadap tradisi dan
pembaruan penulisan cerpen Indonesia, pertanyaan penelitian
nya adalah sebagai berikut.
6) Bagaimanakah pengaruh ciri-ciri khusus itu terhadap
tradisi dan pembaruan penulisan cerpen Indonesia?
7) Ciri-ciri manakah (aspek-aspek cerpen apakah) yang paling
berpengaruh terhadap pembaruan tradisi penulisan cerpen
Indonesia?
Berkenaan dengan masalah ketiga tentang model pengajar
an cerpen yang paling sesuai untuk mengajarkan cerpen-cerpen
Danarto, pertanyaan penelitiannya adalah sebagai berikut.
8) Bagaimanakah model pengajaran yang efektif untuk menga
jarkan cerpen-cerpen Danarto di perguruan tinggi (LPTK)
berdasarkan hasil uji coba tes yang telah dilakukan?
1.5 Definisi Operasional
Untuk lebih menjelaskan maksud penelitian ini, penulis
terlebih dulu perlu mendefinisikan beberapa istilah/kata
kunci seperti terdapat pada judul penelitian ini.
Analisis. Analisis adalah penyelidikan suatu peristiwa
(karangan, perbuatan, dan sebagainya) untuk mengetahui apa
sebab-sebab dan duduk perkaranya. Penyelidikan itu dilakukan
dengan memecahkan atau menguraikan, paling tidak secara
parsial, setiap hal yang kompleks ke dalam berbagai
cerpen sebagai suatu karangan atau teks.
Semiotik. Semiotik merupakan suatu pendekatan yang
digunakan untuk menganalisis karya sastra berdasarkan sistem
tanda dalam komunikasi. Sesuai dengan adanya tiga aspek
teks, maka dapat dibedakan tiga ruang lingkup semiotik:
sintaksis semiotik, semantik semiotik, dan pragmatik semio
tik. Penelitian semiotik dalam tesis ini pertama-tama mela
kukan analisis sintaksis, baru kemudian diikuti oleh anali
sis semantik dan pragmatis.
Cerpen. Cerpen adalah singkatan untuk cerita pendek.
Cerita pendek dibatasi sebagai suatu jenis sastra fiksi
prosa yang lebih kecil dari novel dan novelet, yang ditandai
oleh adanya konsentrasi pada gagasan tunggal. Adapun cerpen
yang diteliti dalam tesis ini adalah kumpulan cerpen Berha
la, kumpulan cerpen ketiga Danarto, yang diterbitkan oleh
Pustaka Firdaus, tahun 1987.
Memilih. Yang dimaksudkan dengan kata ini adalah
tinda-kan menentutinda-kan salah satu di antara berbagai pilihan. Dalam
tesis ini pemilihan dilakukan terhadap salah satu model
pengajaran di antara model pengajaran yang sudah ada. Pemil
ihan ini dilakukan dengan berpedoman pada tujuan pengajaran
sastra, hakikat pendekatan semiotik, dan ciri-ciri cerpen
Danarto.
Model Pengajaran. Model Pengajaran dalam tesis ini
diartikan sebagai suatu pola yang digunakan oleh pengajar
dalam proses pembelajaran agar tercipta interaksi yang baik
METODOLOGI PENELITI
3.1 Pengantar
Untuk menjawab pertanyaan penelitian yang telah
diru-muskan, maka perlu metodologi penelitian yang tepat dan
sesuai. Untuk itu, pada bab ini akan diuraikan tentang objek
penelitian, metode dan teknik penelitian, instrumen peneli
tian, teknik pengolahan data, dan model analisis cerpen.
3.2 Objek Penelitian
Sesuai dengan permasalahan penelitian yang sudah dike
mukakan pada Pendahuluan, objek khusus (formal) dari peneli
tian (atau subjek penelitian) ini berpusat pada ciri-ciri
yang menonjol pada cerpen-cerpen Danarto yang terkumpul pada
kumpulan cerpen
Berhala.
Objek utama ini akan dilihat pula
dari segi implikasinya terhadap tradisi dan pembaharuan
dalam cerpen Indonesia serta terhadap pembentukan model
pengajaran cerpen.
Adapun yang dijadikan objek penelitian sebagai sumber
data adalah kumpulan cerpen Danarto yang terkumpul dalam
Berhala,
terbitan Fustaka Firdaus, cetakan pertama, tahun
1987. Kumpulan cerpen ini terdiri atas 13 cerpen, yaitu (1)
"!",
(2) "Panggung", (3) "Pelajaran Pertama Seorang
Warta-wan",
(4) "Memang Lidah Tak Bertulang",
(5) "'Anakmu bukan
lah anakmu', Ujar Kahlil Gibran",
(6) "Selamat Jalan, Nek",
(7) "Dinding Ibu",
(8) "Pundak yang Begini Sempit",
(9) "Gameretak dan Serpihan-serpihan", (10) "Dinding Anak",
(11) "Pagebluk", (12) "Langit Menganga", dan (13) "Cendera
Mata".
3.3 Metode dan Teknik Penelitian
Metode yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari
dua metode, yaitu metode penelitian deskriptif-analitis dan
metode eksperimen. Metode deskriptif analitis dipilih karena
penelitian ini berusaha mendeskripsikan dan
menginterpreta-sikan apa yang dianalisis (Webest,1982:119). Dalam peneli
tian semacam ini, peneliti menjadi partisipan; peneliti
memasuki dunia data yang ditelitinya, mencoba menganalisis
konsep-konsep yang ada di dalamnya, dan terus-menerus mem
buat sistematisasi objek yang ditelitinya, yaitu apa makna
yang terkandung di dalam kumpulan cerpen
Berhala
karya
Danarto.
Penelitian ini dikongkretkan lewat dua tahap pembacaan,
yaitu pembacaan
heuristik
dan pembacaan
hermeneutik
(Riffaterre, 1978:5-6). Pada pembacaan heuristik, yakni
tahap pembacaan tingkat pertama, yang memiliki peran penting
adalah kompetensi linguistik pembaca. Artinya pada tahap
ini, pembaca diharapkan dapat mengartikan setiap satuan
linguistik yang digunakan yang semuanya itu sesuai dengan
konvensi bahasa yang berlaku. Selanjutnya pada pembacaan
hermeneutik, yakni pembacaan tahap kedua, pembacanya diha
rapkan dapat mencari makna yang terkandung dalam teks yang
dibacanya. Kemampuan itu sangat ditentukan oleh kompetensi
sulit baginya untuk dapat mencari makna teks tersebut. Pada
tahap pembacaan hermeneutik ini, pembaca diharapkan mampu
menafsirkan makna teks sesuai dengan konvensi sastra dan
budaya yang melatarbelakanginya.
Selanjutnya, digunakan metode eksperimen. Hal ini
dilakukan karena ingin mengetahui pengaruh variabel tertentu
terhadap suatu kelompok dalam kondisi yang dikontrol secara
ketat (Nasution, 1991:47). Yang dijadikan variabel bebas
dalam penelitian ini adalah tes yang berisi analisis salah
satu cerpen
Berhala
dengan pendekatan semiotik dan variabel
tergantungnya adalah mahasiswa SI jurusan bahasa Indonesia
FKIP UNPAS angkatan 1993.
Adapun penelitian ini dilakukan melalui sejumlah
tahap-an sebagai berikut.
1) Menentukan fokus objek penelitiannya (menelaah ciri-ciri
yang menonjol pada kumpulan cerpen
Berhala
karya Danarto.
2) Menentukan naskah yang dipakai sebagai objek penelitian.
3) Melakukan tinjauan pustaka di perpustakaan terhadap buku
dan terbitan yang ada kaitannya dengan objek penelitian,
baik berupa buku-buku tentang teori semiotik, sejarah
kesusastraan Indonesia dan kedudukan Danarto di dalamnya,
maupun komentar dan kupasan tentang karya-karya Danarto.
4) Menganalisis objek penelitian yakni menyelidiki ciri-ciri
yang menonjol pada kumpulan cerpen
Berhala
karya Danarto
secara semiotik. Analisis dimulai dari segi struktur
naratif yang diawali dengan analisis sintaksis naratif
semantik yang menyangkut unsur cerita yang asosiasinya di
dalam pikiran pembaca (tokoh dan ruang dan waktu);
analisis pragmatik difokuskan pada aspek pengujaran atau
penceritaannya. Yang terakhir adalah analisis makna
tasauf yang isyarat-isyaratnya dapat dilihat pada
struktur naratif.
5) Menafsirkan hasil analisis dalam hubungannya dengan
pembaruan yang dilakukan Danrto dalam tradisi penulisan
cerpen Indonesia.
6) Menarik implikasi dari langkah (5) dan (6) di atas untuk
mengajukan model pengajaran cerpen.
7) Karena penelitian ini tidak semata-mata penelitian pusta
ka tetapi juga penelitian lapangan untuk mencari model
pengajaran cerpen, maka langkah selanjutnya membuat
instrumen tes untuk diujicobakan di kelas jurusan Bahasa
Indonesia FKIP UNPAS angkatan 1993.
8) Untuk mencari faktor-faktor penunjang, maka dilakukan
wawancara kepada pengajar mata kuliah serta memberikan
angket pendapat kepada mahasiswa.
8) Menyimpulkan dan melaporkan.
3.4 Instrumen Penelitian
Untuk melaksanakan teknik penelitian digunakan instru
men penelitian yang terdiri dari jenis instrumen sebagai
berikut.
1) Pedoman Analisis Teks
tiap-tiap cerpen. Adapun pedoman itu adalah sebagai berikut
TABEL 1.3 PEDOMAN ANALISIS
No. POKOK ANALISIS PENJELASAN
1. Aspek Struktur
a. Struktur Cerita Peristiwa-peristiwa apa yg
terdapat dalam cerpen tsb?
c. Penokohan Tokoh siapa yg penting? Bagaimana gambaran fisik tokoh?
Bagaimana peranan dalam lingkungan sosialnya?
d.Ruang dan Waktu Kapan dan di mana cerita itu terjadi?
e. Penguj aran Bagaimana modus dan tutur
yang terdapat dalam kum pulan cerpen Berhala?
2. Aspek Makna Makna tasauf yang bagaima
nakah yang tercermin
di dalam kumpulan cerpen
Berhala?
2) Pedoman Wawancara
Pedoman wawancara diberikan kepada pengajar yang
meme-gang mata kuliah apresiasi sastra. Tujuannya untuk mengeta
hui jenis pendekatan mengajar yang selama ini digunakannya.
3) Tes
Tes analisis semiotik salah satu cerpen Berhala karya
Danarto untuk diujicobakan kepada mahasiswa SI Jurusan
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Gunanya untuk menge
tahui kemampuan mahasiswa tentang semiotik sehingga tes
tersebut dapat digunakan untuk menciptakan model pengajaran
3.5 Teknik Pengolahan Data
Ada dua jenis data yang digunakan dalam penelitian ini,
yaitu data kualitatif tentang ciri-ciri yang menonjol pada
cerpen Danarto dan data kuantitatif tentang hasil tes. Dalam
hal data kualitatif, pengolahan data dilakukan dengan
peng-klasifikasian dan penafsiran makna. Adapun untuk data kuan
titatif digunakan prosedur berikut ini.
Alat pengukur pada umumnya harus memenuhi syarat utama,
yaitu alat tersebut harus valid (sahih) dan reliabel (dapat
dipercaya). Suatu alat ukur dikatakan valid jika alat terse
but mengukur apa yang ingin diukur olrh alat tersebut.
Untuk memperoleh instrumen (alat ukur) yang valid,
peneliti telah berusaha menyusun item-item dengan memperha
tikan topik yang akan diajarkan. Kemampuan yang akan diuji
mencakup aspek ingatan (CI), pemahaman (C2), aplikasi (C3),
dan analisis (C4) berdasarkan domain kognitif dari Bloom
(1971) .
Agar tes dapat dikerjakan oleh semua testi, maka
sebe-lum dilakukan uji coba alat tes tersebut perlu dikoreksi
oleh para ahli. Item-item tes beserta penyelesaiannya diko
reksi dan ditimbang dengan teliti oleh pembimibng yang
seka-ligus sebagai orang yang ahli dalam bidangnya (Sastra Indo
nesia) . Dengan demikian secara logis dapat dikatakan bahwa
tes tersebut telah memiliki validitas isi dan siap untuk
diuj icobakan.
Setelah dilakukan proses penimbangan pada keseluruhan
semester V (FKIP UNPAS) yang telah mempelajari mata kuliah
apresiasi sastra. Uji coba dilakukan pada tanggal 4 Januari
1995. Uji coba dilakukan untuk mengetahui validitas item,
daya pembeda, indeks kesukaran dan reliabilitas tes.
Sebuah item dikatakan valid apabila mempunyai dukungan
yang besar terhadap skor total. Skor pada item menyebabkan
skor total menjadi tinggi atau rendah (Suharsimi, 1993:72).
Dengan kata lain dapat dikemukakan bahwa sebuah item mempu
nyai validitas yang tinggi jika skor pada item mempunyai
kesejajaran dengan skor total. Kesejajaran ini dapat
dihi-tung dengan menggunakan rumus korelasi Product Moment dengan
angka kasar:
N E XY - (E X) (E Y)
rXY
/ [(NEX2 - (EX)2][ NEY2 - (EY)2]
Jika harga r hitung < harga kitik dalam tabel, maka korelasi
tersebut tidak signifikan.
Sedangkan untuk menghitung daya pembeda soal (item),
digunakan tabel critical ratio determining significance of
statistic. Untuk menentukan daya pembeda soal berarti
(signifikan) atau tidak, dicari dulu derajat kebebasan (dk)
dengan rumus:
dk = (nt - 1) = (nr - 1) nt= nr = 27% x N = n
kemudian digunakan rumus:
Mt - Mr
T = EXh 2 + EX„ 2
P
/
L_
n (n - 1)
Mt
= rata-rata skor dari kelompok tinggi
M = rata-rata skor dari kelompok rendah
E Xt 2 = Jumlah kuadrat deviasi skor kelompok tinggi
E X 2 = Jumlah kuadrat deviasi skor kelompok rendah
n = 27% jumlah tester (N)
Suatu soal mempunyai daya pembeda yang berarti (signifikan),
jika I hitung s I tabel (Pratiknyo, 1985:12).
Agar tes dapat digunakan, setiap soal harus diselidiki
tingkat kesukarannya. Soal-soal yang terlalu mudah atau
terlalu sukar harus direvisi atau diganti. Untuk menentukan
indeks kesukaran soal bentuk pilihan berganda digunakan
r u m u s :
o
Ik = (St + S )
K n 2 n ( o - 1 )
di mana:
Ik = Indeks kesukaran soal
St
= Banyaknya jawaban yang salah, dibuat oleh kelompok
tinggi
Sr
= Banyaknya jawaban yang salah, dibuat oleh kelompok
rendah
o = banyaknya pilihan (option)
n = 27% dari populasi (N)
Soal dikatakan:
a. mudah sekali jika 0 <. Ik < 0,16
b. mudah jika 0,16 <; Ik < 0,50
c. sedang jika 0,50 < Ik < 0,84
Seperti yang telah dikatakan bahwa suatu tes yang baik
selalu valid juga harus reliabel. Ngalim Purwanto (1985:138)
mengatakan bahwa reliabilitas adalah ketetapan atau
ketelitian suatu alat evaluasi. Oleh karena itu, suatu tes
dikatakan reliabel apabila tes tersebut selalu memberikan
hasil yang tetap (konsisten) dan selalu dapat dipercaya.
Untuk menguji reliabilitas tes digunakan rumus K-R 20:
r n
i rS2 " ^
I
n - 1 S2
r-,-, = reliabilitas tes secara keseluruhan
p = proporsi subjek yang menjawab item dengan benar
q = proporsi subjek yang menjawab item dengan salah (q =
1 -p)
Epq = Jumlah hasil perkalian antara p dan q
n = banyaknya item
S = standar deviasi dari tes (standar deviasi adalah akar
varian)
S
=
/ (x± - X) 2
N - 1
3.6 Model Analisis Cerpen
Sebagai gambaran tentang pelaksanaan analisis cerpen,
berikut ini dikemukakan sebuah model analisis. Analisis
dilakukan terhadap cerpen "!". Karena cerpen ini sudah
termuat pada Lampiran Tes, maka cerpen tersebut tidak akan
3.6.1 Analisis Struktur Cerita
3.6.1.1 Struktur secara Tekstual
Langkah pertama adalah mencari peristiwa-peristiwa yang
membangun struktur cerpen. Peristiwa-peristiwa tersebut
diuraikan kembali ke dalam sekuen-sekuen. Adapun
sekuen-sekuen yang membangun cerpen di atas adalah sebagai berikut:
1. Perombakan rumah yang kelima
1.1 Sikap Ayah: sebagai seorang Jawa yang kaya akan
perlam-bang Ayah memandori sendiri pemperlam-bangunan pagar besi.
1.2 Sikap anggota keluarga: sepakat merombak rumah dengan
model Spanyol atas usul saya.
2. Deskripsi tentang keadaan keluarga tempat saya
dibe-sarkan.
3. Pandangan saya terhadap Zizit adiknya.
3.1 Wataknya: berbeda dengan saudara yang lain.
3.2 Kedudukan di keluarga: sebagai anak emas.
4. Deskripsi ruangan yang terdapat di dalam rumah hasil
desain Ayahnya.
5. Rumah selesai dibangun.
5.1 Selamatan: kenduri nasi tumpeng bersama para tetangga.
5.2 Yang mengejutkan: munculnya gerombolan pengemis di pintu
gerbang.
5.3 Makan di restoran: Seluruh keluarga makan di restoran
yang paling mahal
5.3.1 Kebiasaan saya: Setelah kenyang makan saya segera ke
kamar hotel paling tinggi dan menggorok tenggorokan
6. Konflik antara saya dengan Zizit:
7. Ayah pingsan
8. Situasi di Rumah Sakit.
Sekuen-sekuen tersebut apabila digambarkan adalah
sebagai berikut:
8
1 . a
b
1 2 .3 4 5 6 7
c 1 1 1 2 1 1 l 3
3.6.2 Struktur secara Logis
Pada cerpen pertama "!" yang menjadi fungsi utama
adalah pembangunan pagar besi yang dianggap oleh Ayahnya
sebagai lambang orang kaya. Cerita berkembang dengan banyak
nya gerombolan pengemis memenuhi pagar besi untuk menerima
pemberian dari Zizit. Keadaan ini mengakibatkan konflik
antara saya dengan Zizit yang mengakibatkan Ayahnya terkena
serangan jantung. Pada sekuen terakhir tampak cerita
diakhiri dengan kejadian yang tidak masuk akal.
Dokter-dokter dan juru rawat-juru rawat itu
menunduk. Maka menghamburlah kami masuk dengan
tangis-tangisan yang menyayat yan gdisambut suara tenor
yang mengalunkan Come back to Sorento dari mulut yang
tubuhnya berdiri tegap di atas tempat tidur dan
meren-tang-rentangkan tangannya. Seolah-olah mmau mengejawan-tahkan Mario Lanza , suara Ayah yang merdu itu diiringi
dua biola, satu selo, satu bas satu mandolin dan satu
terompet. Para pemain musik itu senantiasa menyungging-kan senyuman. Musik kamar dari lantai tujuh ini
berku-mandang ke mana-mana.
Ibu bengong dan terisak-isak. Zizit bengong dan
terisak-isak. Adik-adik bengong dan terisak-isak.
Kakak-kakak bengong. Cucu-cucu bengong. Aku amat sangat bengong, terisak-isak dan geleng-geleng.
Ayah menyanyi terus. sebab nyanyiannya belum sele-sai. Musik mengiringi terus. Karena suasananya berisik,
karena isakan-isakan, maka Ayah sambil pamer terus
an kertas yang sengaja dipasang di dinding,
bertulis-kan: "Harap tenang. Ada konser." (hal. 12 alinea 2-4).
3.6.2 Analisis Tokoh
3 . 6 . 2 . 1 Tokoh-tokoh
Tokoh yang ditampilkan pada cerpen ini terdiri dari
saya, Zizit dan ayah. Ayah merupakan tokoh utama, Zizit
tokoh lawan, dan Saya tokoh pendamping.
Kami sering tersenyum bila melihat Ayah memandori sendiri pembangunan pagar besi rumah kami. Ayah adalah
khas orang Jawa, kaya akan perlambang. Setelah perom-bakan rumah kali ini yang ke-4) selesai, maka lahirlah rumah baru kami; gaya Spanyol. Saya menganggap rumah
kami termasuk salah sebuah yang bergaya Spanyol yang
terbagus di Jakarta. Begitulah gaya demi gaya telah
melanda ibu kota. Dan gaya itu melahirkan mode. Dan
mode ini segera diikuti oleh banyak orang. Mungkin
kawan dekat. Atau saudara atau orang-orang lain. Tapi semuanya telah menghantarkan hasrat yang sama:
disetu-juinya mode terbaru. Sebenarnya sayalah orang pertama
yang punya usul untuk merombak rumah kami dengan selera yang terbaru itu.
Adikku, Zizit, perempuan yang elok inilah yang paling berbeda wataknya dengan kami semuanya. Zizit inilah yang menolak apa-apa yang kami terima. Paling
menentang apa saja yang kami setujui. Kadang-kadang
tampak rewel dan selalu bertingkah. Tapi harus kuakui bahwa itu prasangka buruk kami saja.
3 . 6 . 2 . 2 Gambaran Fisik Tokoh
Pada cerpen ini tidak banyak dikemukakan masalah fisik
tokoh. Dari ketiga tokoh utama hanya Zizit yang diberikan
pandangan sekilas tentang keterangan fisiknya. Namun,
kete-rangan itu pun hanya satu kata, yaitu elok.
Adikku, Zizit, perempuan yang elok inilah yang paling berbeda wataknya dengan kami semuanya. (hal 2,
alinea 2)
Di sini digambarkan bahwa Zizit adalah seorang wanita
dijelaskan lebih lanjut.
3.6.2.3 Gambaran Lingkungan Sosial
cerpen ini menceritakan kehidupan keluarga kaya dengan
berbagai fasilitas yang mereka punya, di antaranya rumah
yang dimiliki sebanyak lima buah juga mobil yang dimiliki
tiap anggota keluarga:
Rumah kami ada lima. Yang tiga dikontrakkan kepada
keduataan-kedutaan asing. Yang satu lagi untuk jaga-jaga kalau ada keperluan mendadak, misalnya tiba-tiba
datang saudara jauh yang harus menginap. Syukur kami
dapat sebuah rumah murah dari perumnas, setelah melalui undian yang bertele-tele dan bikin gerah. (hal.l alinea
kedua)
Kami punya mobil sendiri-sendiri. Ibu dengan Mercy
450 SEL, yang saya ganti jadi 280 (ha! ha! ha!) supaya
boleh beredar di jalan raya. Mobil ayah BMW> Mobilku VW safari. Adik-adikku ada yang VW Golf. Ada yang jip. Tapi adikku si Zizit ini ketika minta Mercy yangpaling mahal, yang sama mahalnya dengan punya Ibu, dia ternya
ta cuma main-main saja. Tidak serius minta. Tapi ayah sudah terlanjur membelikannya. Dan Mercynya itu pun
nongkrong, nganggur. (hal3 alinea...)
Selain itu, kebiasaan mereka makan di restoran yang
paling mahal:
Dengan selesainya gapura, berarti selurh keindahan
rumah kami makin memancar dan tentu mengundang
keka-guman siapa saja. Untuk memujanya, aku membakar-bakar
hati ayah supaya suka mentraktir kami ke restoran yang
paling enak dan paling mahal. Ayah setuju. Kami memilih restoran di sebuah hotel yang sudah menjadi langganan
kami. (hal.4 alinea 3)
Kami memesan makanan-makanan yang paling enak dan
paling mahal. Tentu saja tak ketinggalan anggur yang
paling yahud dan sampanye. (hal.4 alinea 4)
Mereka merupakan keluarga besar dengan anak 11 orang
dan suku asli Jawa:
(0, hiya. Baiklah kuceritakan sedikit tentang ke
bertahan 11. Kakak-kakakku ada 6, yang aku sering lupa
atau tertukar nama-namanya. Aku nomor 7 dengan Adikku 4, yang sering juga aku lupa atau tertukar nama-nama
mereka.Seluruh Kakak-kakakku sudah berkeluarga dan punya rumah sendiri-sendiri. Aku dengan Adik-adikku
belum menikah semuanya. Aku di tingkat pertama di suatu fakultas pertanian. Adik-adikku di SMA, SMP dan SD. Adikku yang persis di bawahku duduk di kelas II SMA,
punya keinginan menikah mudaan dari Ibu. Suatu
cita-cita untuk menumbangkan supremasi Ibu yang menikah
ketika berusia 20. (hal. 1, alinea 4)
Dari sekian jumlah keluarga itu yang menjadi tokoh
cerita adalah Ayah, saya, dan Zizit. Ayah digambarkan seba
gai orang Jawa yang kaya akan perlambang:
... Ayah adalah khas orang Jawa, kaya akan perlambang.
"Orang kaya harus ditandai dengan pagar besi," kata
Ayah pada suatu hari di taman. Kami manggut-manggut sedikit.
"Kaya harta. Kaya ilmu pengetahuan. Kaya kemuliaan," sambung beliau. (hal. 2, alinea 4).
Ayah seorang yang kaya, namun pekerjaannya di mana
tidak dijelaskan:
... Pagi jam 7 Ayah berangkat ke kantor. Kantor mana, itu rahasia kami. Pulang jam 4 atau sering jam 19.00...
(hal. 8, alinea 2).
Saya adalah anak ketujuh yang sedang berkuliah di
fakultas pertanian tingkat pertama. Tempat Universitas,
tidak dijelaskan.
....Aku nomor 7 dengan Adikku 4, yang sering juga aku
lupa atau tertukar nama-nama mereka.Seluruh
Kakak-kakakku sudah berkeluarga dan punya rumah
sendiri-sendiri. Aku dengan Adik-adikku belum menikah semuanya.
Aku di tingkat pertama di suatu fakultas pertanian ... (hal. 2, alinea 1)
Bila makan di restoran suka melakukan kebiasaan
memun-tahkan kembali makanan yang telah ditelannya di kamar hotel
paling tinggi:
Kubisikkan sesuatu dan pelayan itu mengangguk lalu
pergi. Aku menghindar. Aku sedikit terhuyung. Mencari
terbuka. AKu masuk. Kutekan nomor lantai yang paling tinggi. Tiba di sana pelayan yang tadi sudah menunggu. Ia buru-buru membukakan pintu sebuah kamar. Aku masuk dan langsung menuju ke teras kamar itu. Aku menengok ke
bawah sejenak... Gelap. Lampu jalanan dan mobil-mobil nampak seperti mainan yang lalu lalang, hilang-hilang nampak. Semuanya seperti tanpa tujuan.
Kurenggut senter dari tangan pelayan. Sementara jari telunjuk tangan kananku menyontok-nyontok tenggorokanku lebih kuat. Tenggorokanku seperti loud speaker yang mengumandangkan lagu ho-ek...ho-ek...ho-ek dan ...
makanan danminuman yang lezat-lezat itu pun berhamburan
ke luar. Mereka itu langsung terjun ke bawah. Ada yang
gumpalan. Ada yang cair. Melayang dari ketinggian
sekian puluh meter dengan diikuti sinar lampu senter,
nampak ada yang berkilat seperti emas. Juga keperak-perakan. Sejenak seperti menggeliat lalu lenyap dan
entah diterbangkan ke mana. Yang menyenangkan adalah karena barang yang menghambur itu meninggalkan bau yang
seeeedooooap penuh aroma yang akan senantiasa bikin rindu untuk berbuat lagi. Pelayan menyeringai dan
menjauh. (hal. 5, alinea 4-5 )
Selain itu ia memiliki kebiasaan jelek lain, yaitu
gonta-ganti pacar, bioskop, restoran, disco, butik, salon
serta pernah memberikan uang dengan cara melemparkannya pada
sekelompok orang miskin sehingga mereka saling berebutan.
Dan itu menyenangkan dirinya:
...Aku seorang kaya, Zizit. Aku dapat menggunakan kekayaanku untuk apa saja. Tiap hari aku bisa
gonta-ganti mobil. Pacar. Bioskop. Restoran. Hotel. Disco.
Butik. Salon. Dan kesenangan yang lain. Bahkan sering
aku ngentutin duit berpuluh-puluh ribu. Aku pernah
nginjak-injak uang lima juta! Tiap hari aku lebih mampu
memberikan uang lebih banyak daripada kamu kepada
gerombolan pengemismu itu. Pernah tak setahumu kusebar
sepuluh ribu uang logam dari lima puluh perakan, hanya karena aku kepingin mereka berebut, berantem, cakar-cakaran, terkam-menerkam, cokot-cokotan,
tendang-ten-dangan, gigit-gigitan! Demi Tuhan, aku bisa segala-galanya... (hal. 9, alinea 2)
Tokoh yang ketiga adalah Zizit adik langsung saya yang
memiliki sifat yang berbeda dengan saudar-saudara lainnya:
Zizit inilah yang menolak apa-apa yang kami terima. Paling menentang apa saja yang kami setujui. Kadang-kadang tampak rewel dan selalu bertingkah.
seman-gat untuk mandiri, semangat untuk berjuang, semangat sama rasa sama rata. Aku yakin dia memiliki akal sehat,
meskipun sering membingungkan kami. Mungkin karena kami
malas berpikir.
Adikku sama sekali membenci filsafat. Apalagi filsa-fat Jawa. Sesungguhnya aku melihat adikku juga dikenda-likan filsafat. Betapa tidak. Dia sering bicara tentang pandangan hidupnya.
Dia ke mana-mana lebih suka pakai bis. Perkataan lebih suka sangat tidak tepat, menurut dia, naik bis adalah suatu kewajiban, tegasnya. Dia memiliki alasan
yang bagus-bagus untuk itu. Solidaritas, mengurangi
kemacetan. Kesederhanaan. Rasa tanggung jawab.
Namun demikian, Zizit sesungguhnya adalah anak emas
dalam keluargakami. Kasih ayah dan ibu kadang berlebi-han. Melebihi kasih kepada kakak-kakaknya dan adik-adiknya. Maupun kasih kepada cucunya. Mungkin karena sifatnya yang kami duga istimewa. (hal 3, alinea 2-5)
Ketiga tokoh ini memiliki hubungan keluarga yang unik.
Ayah dan saya memiliki hubungan sebagai pria dewasa:
"Ayah mesih sanggup membuat anak?" tanyaku.
"Tentu!" tukasnya, Tapi kenapa kamu bertanya tentang
itu tiba-tiba?" Kami tertawa terbahak-bahak. Orang-orang melihat kami. (hal. 10, alinea 3)
Mereka berdua juga memiliki banyak kesamaan.
Ayah melirik kepadaku sambil menyunggingkan senyum di antara kunyahannya. Aku membalasnya. Seperti Ayah mau menyatakan keheranannya bahwa jawaban Zizit kali
ini begitu halus.(hal 11 alinea 2)
Mendengar ini aku tertegun. Agak lemas. Berarti
siasat yang kuatus rapi berantakan juga akhirnya. Satu-satunya orang yang diandalkan untuk menyelamatkan Ayah,
kok bicaranya masih seperti itu. Kulihat matanya
meman-carkan bukan saja kegigihannya dalam pertempuran, yang
terus-menerus dengan Ayah, tapi seperti ia juga melihat adanya musuh-musuh dalam selimut, yang justru mungkin
paling tangguh: aku. mungkin. Aku tidak tahu apakah dia
tahu bahwa aku dengan Ayah bak apel dibelah dua. Punay
kepentingan-kepentingan sama. Segalanya persis. Selera.
Cita-cita. Hobi. Kebiasaan. (hal. 12, alinea 1)
Sedangkan, Zizit merupakan seteru bagi mareka. Dia
memiliki sifat yang berbeda sehingga sering timbul perbedaan
pendapat di antara mereka sekalipun ayahnya selalu
membang-gakannya. Pada bagian berikut dapat dilihat bagaimana Zizit
dan kemuliaannya:
"Kaya harta. Kaya ilmu pengetahuan. Kaya kemuliaan," sambung beliau. Kulirik Zizit. Dia mencibir sedikit. Aku tak kuat menahan ketawa. Mengingatkan akan Tuti
yang selalu mencibiri dosennya di belakang buku
dik-tatnya.
"Hus! Jangan tertawa! Kamu menyindir,ya!" tukas
Ayah. Sekuat-kuatnya aku menutup mulutku. Yang
menjeng-kelkan adalah karena Zizit tak tergoda sedikit pun
untuk, walaupun hanya tersenyum. Adikku ini memang
paling. Paling srgala-galanya.
"Coba, kalau biaya pagar baru ini untuk fakir
miskin...," celetuknya.
Seperti Beliau sudah dapat membaca tentang hal-hal bahwa tak mungkin ia mendekati Zizit di waktu yang begini. Misalnya saja, Ayah menegurnya tentang
cara-cara menghadapi pengemis. Dan kontan Ayah mendapat
semprotan jawaban yang begitu pasti dan sepertinya tak
tergoyahkan. Kalau begini, tinggal kekaguman Ayah saja
yang ada untuknya. (hal 2, alinea 2)
Sementara itu hubungan antara saya dengan Zizit
diwar-nai dengan keakraban antara kakak dan adik:
"Sebentar lagi kamu lulus SMA," kataku kepada Zizit
pada suatu hari. "Dan kamu tetap gigih mau
mennumbang-kan rekor Ibu. Itu 'kan bolek kuartikan bahwa kamu
sekarang udah punya pacar."
Adikku terbahak dan buru-buru lari ke dapur dengan
teriakan atau nyanyian yang tidak jelas. Tapi
melantun-kan kegenitan. Melihat reaksi ini, aku seperti sudah
dapat mengambil kesimpulan bahwa dia sudah punya pacar.Lalu pacarnya siapa dan disembunyikan dimana? Sialan.
Dapat lolos juga dia dari mata-mata kami. Ah, sudahlah.
(hal 3, alinea 1)
Sementara itu, mereka sering terlibat pertengkaran yang
dahsyat karena perbedaan pandangan di antara mereka. Berikut
ini dapat dilihat bagaimana kakaknya yang mengangungkan
kekayaan sedangkan Zizit yang senang menyantuni pengemis:
"Zizit! Buka matamu lebar-lebar, sayang! Buka!" bentakku dalam keadaan mendidih," Aku seorang kaya,Zizit. Aku dapat menggunakan kekayaanku untuk apa saja.
Tiap hari aku bisa gonta-ganti mobil. Pacar. Bioskop.
Restoran. Hotel. Disco. Butik. Salon. Dan kesenangan
yang lain. Bahkan sering aku ngentutin duit
berpuluh-puluh ribu. Aku pernah nginjak-injak uang lima juta!
Tiap hari aku lebih mampu memberikan uang lebih banyak
tak setahumu kusebar sepuluh ribu uang logam dari lima
puluh perakan, hanya karena aku kepingin mereka bere-but, berantem, cakar-cakaran, terkam-menerkam,
_coJcot-cokotan, tendang-tendangan, gigit-gigitan! Demi Tuhan,
aku bisa segala-galanya. Tapi aku tidak mau mereka
mengotori pemandanganku. Mengotori tempatku. Bikin risi
aku. Aku seorang yang bersih sudah sepantasnyamenghin-dari yang kotor-kotor. Adakah hakku untuk tidak sudi
melihat mereka. Hakku, Zizit!"
"Buka matamu lebar-lebar, sayang! Buka! Lihat! Lihat mereka! berbondong-bondong, compang-camping, bau pre-ngus, menjijikan, berpura-pura menderita dengan tangan
menadah! Bah! Memangnya ini kuburan?!!!" Aku tarik
napas sejenak:" Perhatikan, sayang! Pagar besi
ornamen-tik dengan gapura monumental yang manis dan indah,hanyalah untuk kuburan, sayang. Kamu ingat kuburan besar dan terkenal? Tak lupa dengan pagar besi dan
gapura yang indah. Dan gerombolan pengemis itu datang
kemari, untuk memperoleh sedekah dari orang-orang yang berziarah maupun yang dikuburkan. Seperti kebiasaan yang mereka lakukan di kuburan-kuburan sebenarnya."
(hal 8, alinea 2)
3.6.3 Analisis Ruang dan Waktu
3.6.3.1 Analisis Ruang
Pada cerpen "!" peristiwa terjadi di Jakarta di sebuah
rumah besar yang bergaya Spanyol.
Kami sering tersenyum bila melihat Ayah memandori
sendiri pembangunan pagar besi rumah kami. Ayah adalah
khas orang Jawa, kaya akan perlambang. Setelah perom-bakan rumah kali ini yang ke-4) selesai, maka lahirlah rumah baru kami; gaya Spanyol. Saya menganggap rumah
kami termasuk salah sebuah yang bergaya Spanyol yang terbagus di Jakarta. Begitulah gaya demi gaya telah melanda ibu kota. Dan gaya itu melahirkan mode. Dan mode ini segera diikuti oleh banyak orang. Mungkin
kawan dekat. Atau saudara atau orang-orang lain. Tapi
semuanya telah menghantarkan hasrat yang sama:
disetu-juinya mode terbaru. Sebenarnya sayalah orang pertama
yang punya usul untuk merombak rumah kami dengan selera
yang terbaru itu.
Pada suatu sore kembali kami bersama-sama menikmati teh sambil menyerap keindahan yang dipancarkan oleh
pagar dan gapura ciptaan Ayah itu. Aku berdiri di dekat
Zizit. Aku ngobrol seadanya. Tentu saja aku tak pernahceritatentang kelakuanku di restoran hotel langganan kami itu. Zizit menenteng cangkir mendekati gapura. Aku
mengikutinya. Dielus- deriji pagar gapura itu satu per
satu. Ayah mendekat. ibu dengan Adik-adikku tetap duduk
7, alinea 1)
di restoran
Dengan selesainya gapura, berarti selurh keindahan
rumah kami makin memancar dan tentu mengundang
keka-guman siapa saja. Untuk memujanya, aku membakar-bakar
hati ayah supaya suka mentraktir kami ke restoran yang
paling enak dan paling mahal. Ayah setuju. Kami memilih
restoran di sebuah hotel yang sudah menjadi langganan
kami. Maka beriring-iringan kami berangkat dengan mobil masing-masing, seluruh keluarga. Ibarat keluarga besar
Godfather dalam seri satu dan dua,yang video kasetnya
sudah aku tonton berkali-kali. Hanya para Cucu dan
Zizit yang tidak ikut. Dalam mobil, Zizit ternyata jadi
bahan tertawaan. Ketika salah seorang Kakak bertanya,
kenapa Zizit tidak ikut. Aku menjawab, karena ada alasan politis yang sangat diperhitungkannya.
Kubisikkan sesuatu dan pelayan itu mengangguk lalu
pergi. Aku menghindar. Aku sedikit terhuyung. Mencari lift. Kutekan tanda panah yang menunjuk ke atas. Lift
terbuka. AKu masuk. Kutekan nomor lantai yang paling
v tinggi. Tiba di sana pelayan yang tadi sudah menunggu.
Ia buru-buru membukakan pintu sebuah kamar. Aku masuk
dan langsung menuju ke teras kamar itu. Aku menengok ke bawah sejenak... Gelap. Lampu jalanan dan mobil-mobil nampak seperti mainan yang lalu lalang, hilang-hilang
nampak. Semuanya seperti tanpa tujuan. (hal 45, alinea 3)
di jalan raya,
Dia ke mana-mana lebih suka pakai bis. Perkataan
lebih suka sangat tidak tepat, menurut dia, naik bis adalah suatu kewajiban, tegasnya. Dia memiliki alasan
yang bagus-bagus untuk itu. Solidaritas, mengurangi
kemacetan. Kesederhanaan. Rasa tanggung jawab. Saat
yang tak terlupakan oleh kami adalah ketika aku mengan-tar Ayah ke airport, mau ke Jepang. Dilampu bang-jo
(traffic-light) ketika Mercy kami berhenti, kami lihat Zizit menggelantung di pintu bis PPD karena berjubelnya
penumpang. Ayah terkejut dan ada keinginan
memanggil-nya, tapi durungkannya. Beliau lalu menunduk. Matanya memerah. Mungkin baru sekali itulah aku melihat Ayah
menangis. (hal 3 alinea 2)
di rumah sakit.
Karena kritis, akhirnya Ayah terpaksa diopname di
rumah sakit. Kami memilih kamar yang agak besar karena
Ibu mau ikut tidur menungguinya. Zizit juga. Akhirnya aku ikut juga menginap meskipun sebenarnya dokter
melarang. Takut terjadi pertengkaran lagi. Tapi kami
sudah berjanji akan baik-baik. Bahkan bersumpah lagi.
keja-3.6.3.2 Analisis Waktu
Di dalam cerpen ini penunjuk waktu hanya merupakan
penggambaran suasana bukan penunjuk waktu sebenarnya, seper
ti berapa lama kejadian itu berlangsung:
Pada suatu sore kembali kami bersama-sama menikmati
teh sambil menyerap keindahan yang dipancarkan oleh
pagar dan gapura ciptaan Ayah itu.Aku berdiri di dekat
Zizit. Aku ngobrol seadanya. Tentu saja aku tak pernah
cerita tentang kelakuanku di restoran hotel langganan kami itu. Zizit menenteng cangkir mendekati gapura. Aku
mengikutinya. Dielus-elusnya deriji pagar gapura satu
per satu. Ayah mendekat. Ibu dengan Adik-adikku tetap
duduk di teras. Beberapa pengemis berkumpul di depan.
(hal.7, alinea 1)
3.6.4 Pengujaran
Sebagaimana semua cerpen di dalam kumpulan cerpen
Berhala ini, cerpen "!" menggunakan sudut pandang orang
pertama (Saya). Cerita diawali oleh renungan (pandangan)
tokoh Saya terhadap perbuatan ayahnya dan keadaan
keluarga-nya. Sampai akhir cerita, semua peristiwa ditinjau dari
sudut pandang tokoh Saya tersebut.
3 . 6 . 5 Makna
Ditinjau dari segi struktur cerita, penokohan, serta
ruang dan waktu, maka makna cerpen ini berpusat pada
perten-tangan kaya dan miskin, yang ditampilkan melalui pandangan
Ayah dan Saya di satu pihak dan Zizit di pihak lain. Digam
barkan seorang ayah yang bangga akan kekayaannya dan
kebang-gaannya itu lebih dipertegas dengan membangun rumah bergaya
Spanyol yang berpagar besi. Kebanggaan seorang ayah ini
menyayangkan uang pembangunan pagar besi itu. Menurutnya
uang sebanyak itu dapat digunakan untuk menghidupi orang
miskin.
Pada akhir cerita, pertentangan tersebut memuncak pada
keadaan sang Ayah yang kritis sehingga harus diopname di
rumah sakit. Di rumah sakit inilah muncul renungan si ayah
tentang makna kekayaan ketika ia terhenyak oleh citra
peku-buran. Kuburan tentunya melambangkan dunia batas, antara
dunia yang tampak dan dunia tak tampak yang melampaui dunia
yang tampak.
Dengan demikian, dalam cerpen ini ada suatu simbol
bahwa kehidupan di dunia ini adalah fana. Ini bisa dilihat
pada peristiwa pertengkaran anta Zizit dengan kakaknya. Di
sini pengarang mengungkapkan gagasannya lewat kakak Zizit
(saya) yang mengironikan pagar besi dan gapura rumah seperti
kuburan.
"Buka matamu lebar-lebar, sayang! Buka! Lihat! Lihat mereka! berbondong-bondong, compang-camping, bau
pre-ngus, menjijikan, berpura-pura menderita dengan tangan menadah! Bah! Memangnya ini kuburan?!!!" Aku tarik
napas sejenak:" Perhatikan, sayang! Pagar besi ornamen-tik dengan gapura monumental yang manis dan indah,
hanyalah untuk kuburan, sayang. Kamu ingat kuburan
besar dan terkenal? Tak lupa dengan pagar besi dan gapura yang indah. Dan gerombolan pengemis itu datang kemari, untuk memperoleh sedekah dari orang-orang yang
berziarah maupun yang dikuburkan. Seperti kebiasaan yang mereka lakukan di kuburan-kuburan sebenarnya."
(hal 8, alinea 1)
Akhirnya ayahnya merasa disadarkan dengan kuburan yang
identik dengan kematian. Cerita ditutup dengan adegan ayah
sedang menyanyi dengan gaya penyanyi opera. Adegan ini
dengan Tuhan dengan cara menyanyi.
Dokter-dokter dan juru rawat-juru rawat itu menunduk.
Maka menghamburlah kami masuk dengan tangis-tangisan
yang menyayat.... yang disambut suara tenor yang
menga-lunkan Come back to Sorento dari mulut yang tubuhnya
berdiri teap di atas tempat tidur dan
merentang-rentangkan tangannya. Seolah-olah mengejawantahkan
Mario Lanza, suara Ayah yang merdu itu diiringi dua biola, satu selo, satu bas, satu mandolin dan satu terompet. Para pemain musik itu senantiasa
menyungging-kan senyuman. Musik kamar dari lantai tujuh ini
berku-mandang ke mana-mana. (hal 13 alinea 2)
DANARTO SEBAGAI PEMBARU TRADISI PENULISAN
CERPEN INDONESIA MUTAKHIR
5.1 Pengantar
Pada bab IV kita telah dikemukakan hasil analisis
terhadap kumpulan cerpen Berhala karya Danarto secara
semiotik. Dari hasil analisis itu terlihat bahwa
cerpen-cerpen Danarto berbeda dengan cerpen-cerpen-cerpen-cerpen konvensional
yang sering ditemui pada sebagian besar media massa. Menurut
Teeuw (1989:199), itu merupakan suatu bentuk pembaruan yang
dilakukan Danarto. Di mana sebenarnya letak pembaruan yang
dilakukan oleh Danarto? Pada bab ini penulis mencoba mencari
pembaruan yang dilakukan oleh Danarto dalam kedudukannya
sebagai sastrawan Mutakhir dibandingkan dengan
pembaru-pembaru sebelumnya.
Sebelum menginjak pada uraian tentang tradisi dan
pembaruan penulisan cerpen Indonesia, terlebih dulu akan
diuraikan masalah kedudukan cerpen dalam khazanah kesusas
traan Indonesia. Hal ini penting mengingat cerpen Indonesia,
berbeda dengan novel dan roman, tidak langsung dapat diteri-ma oleh diteri-masyarakat sastra Indonesia. Setelah itu baru penu
lis menguraikan tradisi penulisan cerpen Indonesia mulai
dari M. Kasim hingga penulis cerpen mutakhir seperti Fadli
Rasyid. Pada periode M. Kasim hingga Angkatan '45 uraian
didasarkan pada pendapat Ajip Rosidi, sedangkan pada
angkatan '66 hingga mutahir uraian didasarkan pada pendapat
Teeuw, Idrus dan Wildan Yatim. Tentu penemuan para ahli ini
tidak bisa diterima begitu saja karena beberapa orang ahli
sastra lain banyak mempertanyakannya. Walaupun demikian,
pengamatan mereka itu dapat dijadikan sebagai gambaran umum
tentang tradisi penulisan cerpen Indonesia. Untuk
melengkap-inya, penulis mengambil pendapat dari para ahli lain di
antaranya Teeuw, Jacob Sumarjo dan H.B.Yassin.
5.2 Kedudukan Cerpen dalam Sejarah Kesusastraan Indonesia
Di Indonesia, cerpen baru diakui sebagai suatu karya
sastra setelah Perang Dunia kedua. Ajip Rosidi, 19 82:10) menyatakan bahwa apabila oleh pengarang sebelum perang,
bentuk cerpen hanya digunakan dan dianggap sebagai
bentuk-samping saja daripada roman yang biasanya mesti ditulis
seseorang sebelum ia diakui sebagai pengarang, maka oleh
para pengarang sesudahnya, bentuk cerpen itu menduduki
tempat utama dalam dunia Kesusastraan Indonesia.
Lima belas tahun sebelumnya orang baru disebut penga
rang apabila dia telah mengarang sebuah roman. Armijn Pane
misalnya sekalipun dia telah mengarang cerpen, kritik dan
esei sastra, namun dia lebih dikenal sebagai pengarang novel
Belenggu
daripada sebagai pengarang cerpen
Kisah Manusia.
Demikian halnya dengan Sutan Takdir Alisyahbana yang dikenal
lewat roman-romannya sekalipun dia telah mengarang cerpen.
Setelah masa itu kemudian dunia berbalik dan pandangan
para pengamat sastra berubah. Roman bukan merupakan suatu
Beberapa pengarang banyak yang dikenal karena
cerpen-cerpennya. Riyono Pratikno, Nugroho Notosusanto, Subagio
Sastrowardoyo, Sukanto S.A., M. Alwi Dahlan, Nh. Dini,
Mahbub Djunaedi, Bokor Hutasuhut, Terbit Sembiring, Abas
Kartadinata, Darius Marpaung, Amyus Nn., Trisnoyuwono, A.A.
Navis, Sarosi, Yusach Ananda dan lain-lain adalah nama-nama
yang pertama-tama dan terutama dikenal sebagai penulis
cerpen.
Di samping itu, adalah hal yang biasa pula kalau
seorang pengarang di samping menulis novel atau roman,
terutama juga menulis cerpen. Akhdiat K. Miharja misalnya di
samping terkenal sebagai pengarang roman
Atheis,
juga banyak
menulis cerpen. Begitu pula Mochtar Lubis, di samping dike
nal sebagai pengarang novela
Tak Ada Esok
dan Jalan
Tak Ada
Ujung,
juga banyak menulis cerpen di antaranya dua buah
kumpulan cerpennya
Si Jamal
dan Cerita-cerita
Lain
dan
Perempuan.
Kedudukan cerpen seperti itu dikarenakan bahwa lewat
cerpen banyak segi-segi kehidupan yang dapat digali.
Tema-tema karangan setelah Perang Dunia kedua tidak hanya
menyia-sati lelucon-lelucon saja tetapi dengan tajam menyoroti
setiap sudut bidang kehidupan yang luas ini. Dalam
cerpen-cerpen Abas Kartadinata, Sarosi dan Sugiarta Sriwibawa dapat
dijumpai usaha untuk mengungkap hakikat hidup di balik yang
serba nyata ini.
Keberanian menyelidiki hidup ini dilakukan secara
soal-soal "cabul" saja, melainkan meluas hampir ke dalam
segala bidang bahkan sudut kehidupan manusia, ke segi-segi
terpencil daerah pergaulan masyarakat Indonesia. Mereka
bercerita tentang tukang becak dan tentang menteri, tentang
tukang es, tentang guru dan tentang koruptor, tentang
pra-jurit dan tentang penakut, tentang penghianat dan tentang
pahlawan. Begitu pula yang menjadi latar belakang cerita
mereka boleh dikatakan hampir seluruh bidang kehidupan
manusia Indonesia: kota besar dengan segala kesibukan, desa
dengan penderitaan rakyatnya, masyarakat ketentaraan yang
penuh kejantanan, masyarakat penerbangan, masyarakat gelap
tukang judi atau adu ayam, buruh, petani dan sebagainya.
Momen yang sangat penting dalam perubahan kedudukan
cerpen ini adalah penerbitan majalah khusus cerpen (Rosidi,
1982:10; Jassin, 1982:3). Pencetus pertama adalah Chairil
Anwar, namun pemikirannya tidak sampai terwujud karena
kematian telah lebih dulu merenggutnya. Pada tahun 1953
terbit majalah
Kisah
dengan redaktur pertama-tama M. Belfas,
kemudian ditambah pula oleh Idrus dan H.B. Jassin. Dan yang
patut dicatat pula ialah direkturnya: Sudjati S.A. Sekalipun
majalah
Kisah
mengingkari maksud semula untuk menerbitkan
cerpen saja, namun lewat majalah ini cerpen menemukan bumi
yang subur di Indonesia.
Pada tahun 1955 terbit pula majalah bulanan cerpen
Prosa.
Majalah ini hanya mengalami masa penerbitan empat
kali saja, karena kebuntuan masalah materi dan isi. Beberapa
merupakan "majalah bulanan yang ingin memberikan sumbangan
kepada pengembangan cerita-cerita
Indonesia "di bawah
pimpinan Nugroho Notosusanto. Meski majalah ini lebih tipis
daripada
Kisah,
namun dalam nilai ia memperlihatkan
perkem-bangan yang makin baik. Tetapi,
Tjerita
pun tidak panjang
usianya. Maka untuk beberapa lama, tidak ada suatu majalah
cerpen yang berpretensi sastra terbit. Namun, atas usaha
para pecinta dan desakan para peminat akhirnya terbitlah
Sastra yang merupakan reinkarnasi
Kisah,
bukan saja karena
persamaan pengasuhnya (Drs. H.B. dan M. Balfas), tetapi juga
karena persaman isinya. Meski mengutamakan cerpen, Sastra
menyediakan diri untuk menampung tulisan-tulisan dan buah
tangan yang meliputi segala bidang kegiatan sastra, seperti
puisi, esei,kritik, terjemahan danlain-lain. Seperti juga
Kisah,
Sastra
menyediakan hadiah untuk para penyumbang yang
dianggap telah memberikan buah tangan terbaik setiap tahun.
Dengan terbitnya berbagai majalah cerpen, maka pada
waktu itu banyak pengarang muda yang bermunculan. Pada masa
itu keadaan dan suasana
sastra majalah
(seperti diistilahkan
oelh Nugroho Notosusanto) tidak menguntungkan bagi mereka
yang menulis ropman atau novel. Kecenderungan lebih banyak