• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEPEMIMPINAN PENDIDIKAN DI SEKOLAH SWASTA BERCIRI KHAS ISLAM.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KEPEMIMPINAN PENDIDIKAN DI SEKOLAH SWASTA BERCIRI KHAS ISLAM."

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

ix

DAFTAR ISI

PERNYATAAN ... i

PERSETUJUAN ... ii

ABSTRAK... iii

PENGANTAR ... iv

PENGHARGAAN ... vi

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi, Pokok Masalah, dan Pertanyaan Penelitian... 6

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Kegunaan Hasil Penelitian ... 10

E. Asumsi-asumsi Penelitian ... 11

F. Kerangka Konseptual Penelitian ... 12

BAB II KAJIAN TEORETIK KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH, BUDAYA ORGANISASI, DAN MUTU PENDIDIKAN SEKOLAH SWASTA ISLAM A. Kepemimpinan, Budaya Organisasi, dan Mutu Pendidikan dalam Telaah Administrasi Pendidikan ... 16

B. Konsep Kepemimpinan Kepala Sekolah ... 20

1. Pengertian dan Aspek-aspek Kepemimpinan ... 21

2. Visi, Etos Kerja, dan Sumber Kekuasaan sebagai Faktor Organisasional Kepemimpinan Kepala Sekolah ... 30

3. Upaya Kepala Sekolah dalam Mengembangkan Budaya Organisasi Sekolah ... 41

4. Kapasitas Manajerial dan Misi Profesional Kepemimpinan Kepala Sekolah ... 49

C. Konsep Budaya Organisasi ... 54

1. Pengertian dan Aspek-aspek Budaya Organisasi ... 54

(2)

x

D. Konsep Mutu Pendidikan ... 74

E. Konsep Manajemen Berbasis Sekolah ... 86

1. Pengertian dan Karakteristik MBS ... 86

2. Urgensi dan Tujuan MBS... 90

F. Konsep Sekolah Swasta dan Sekolah Swasta Berciri Khas Islam 95

G. Penelitian Terdahulu ... 105

H. Intisari Kajian Teoretik dan Posisi Komparatif Penelitian dengan Penelitian Terdahulu ... 112

BAB III PROSEDUR PENELITIAN A. Pendekatan ... 120

B. Latar dan Kategori Sumber Data Penelitian ... 122

C. Prosedur Sampling ... 124

D. Teknik Pengumpulan Data ... 125

E. Pengecekan Kesahihan Data ... 126

F. Teknik Analisis Data... 127

BAB IV DESKRIPSI, PEMBAHASAN, DAN MODEL KONSEPTUAL A. Kondisi Umum Daerah Penelitian dan Organisasi Al-Irsyad ... 131

1. Kondisi Umum Daerah Penelitian ... 131

2. Sejarah dan Identitas Organisasi Al-Irsyad ... 136

3. Struktur Organisasi Al-Irsyad ... 147

4. Pendidikan dalam Konstelasi Program Organisasi Al-Irsyad ... 151

B. Kepemimpinan Kepala Sekolah, Budaya Organisasi Sekolah, dan Mutu Pendidikan SMA Al-Irsyad Tegal... 160

1. Kepemimpinan Kepala SMA Al-Irsyad ... 160

2. Budaya Organisasi SMA Al-Irsyad ... 180

3. Mutu Pendidikan SMA Al-Irsyad ... 209

C. P e m b a h a s a n ... 231

(3)

xi

2. Kemampuan Kepala Sekolah dalam Mengembangkan

Budaya Organisasi Sekolah ... 235

3. Kapasitas Manajerial dan Misi Profesional Kepala Sekolah . 238

4. Budaya Organisasi Sekolah ... 249

5. Mutu Pendidikan ... 257

D. Model Konseptual ... 269

1. Asumsi Model ... 269

2. Kondisi Dasar Praksis Model Konseptual ... 272

3. Curah Pendapat untuk Validasi Model ... 286

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, SARAN DAN DALIL PENELITIAN A. K e si m pul a n ... 291

B. Im plik a si ... 295

C. S ar a n-s ar an ... 298

D. D alil Pe ne lit i a n ... 302

DAFTAR KEPUSTAKAAN ... 304

RIWAYAT HIDUP ... 313

(4)

xii

[image:4.595.113.509.188.750.2]

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

2.1. Model Tahapan Kehidupan Organisasi dari Sibbet ... 44

2.2. Ranah Misi Profesional Kepala Sekolah ... 53

2.3. Budaya Organisasi dalam Perspektif Fungsionalis-Objektif dan Interpretif-Subjektif ... 56

2.4. The Organizational Culture Inventory ... 63

2.5. Hubungan antara Orientasi Nilai dengan Karakteristik Organisasi ... 73

2.6. Pendidikan dalam Rangka Perjuangan Kemerdekaan ... 98

4.1. Penduduk Kota Tegal Usia Lima Tahun Keatas Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 133

4.2. Jumlah Murid dan Satuan Pendidikan TK,SD,SLTP,SMA di Tegal ... 134

4.3. Indikator Ketenegakerjaan di Kota Tegal ... 135

4.4. Perkembangan Jumlah Murid Baru Kelas I SMA Al-Irsyad Tegal ... 170

4.5. Budaya Organisasi SMA Al-Irsyad Berdasarkan Persepsi Warganya (Instrumen Lee Roy Beach) ... 201

4.6. Budaya Organisasi SMA Al-Irsyad Berdasarkan Persepsi Warganya (Instumen Stephen Robbins) ... 204

4.7. Posisi Bersaing SMA Al-Irsyad Tegal dengan SMA Swasta Lain... 206

4.8. Preferensi Murid dan Orangtua Murid Pemilih SMA Swasta Kota Tegal ... 207

4.9. Komponen Masukan Pendidikan SMA Al-Irsyad 1985-1990 ... 210

4.10. Komponen Masukan Pendidikan SMA Al-Irsyad 2000-2003 ... 213

4.11. Indikator Keluaran SMA Al-Irsyad Tegal ... 272

4.12. Siklus Jumlah Murid SMA Al-Irsyad Tegal ... 229

(5)

xiii

4.14. Ringkasan Hasil Pembahasan Kondisi Kepemimpinan Kepala Sekolah,

Budaya Organisasi Sekolah, dan Mutu Pendidikan SMA Al-Irsyad ... 262

[image:5.595.110.508.217.766.2]

DAFTAR GAMBAR Gambar Halaman 1.1. Kerangka Konseptual Penelitian ... 15

2.1. Yukl’s Analysis Power ... 38

2.2. Transformational vs Transactional Leadership ... 40

2.3. Leadership as Cultural Expression ... 42

2.4. Faktor-faktor Personal dan Situasional yang Mempengaruhi Eefektivitas Kepemimpinan ... 43

2.5. Kerangka Kepemimpinan Tiga Dimensi ... 47

2.6. Keterampilan yang Dibutuhkan pada Beragam Level Kepemimpinan 49

2.7. Tingkat Budaya ... 58

2.8. Budaya dalam Organisasi ... 59

2.9. Fungsi Dasar Budaya Organisasi ... 62

2.10. Variasi Teknologi Organisasi dari Perrow ... 67

2.11. Model Analisis Posisi Sistem Pendidikan ... 79

2.12. Posisi Sekolah Berdasarkan Kombinasi Biaya dan Mutu ... 84

2.13. Sistem Persekolahan Zaman Pemerintahan Hindia Belanda ... 97

2.14. Figure Framework 7S ... 104

4.1. Lambang Perhimpunan Al-Irsyad ... 141

4.2. Struktur Organisasi Pimpinan Pusat Perhimpunan Al-Irsyad ... 148

4.3. Struktur Organisasi Pimpinan Cabang Al-Irsyad Tegal ... 150

4.4. Skema Variabel Input Perencanaan Pendidikan Al-Irsyad Tegal ... 157

4.5. Proses Umum Pembahasan dan Penetapan Keputusan Pendidikan Al-Irsyad Tegal ... 159

4.6. Langkah Pengembangan Silabus dan Sistem Penilaian Berbasis Kompetensi di SMA Al-Irsyad Tegal ... 222

(6)

xiv

4.8. Dimensi dan Ekpresi Nilai Budaya Organisasi SMA Al-Irsyad ... 254 4.9. Profil Budaya Organisasi SMA Swasta Berciri Khas Islam ... 277 4.10. Profil Perbaikan Mutu Pendidikan di SMA Swasta Berciri Khas Islam 279 4.11. Model Konseptual Kepemimpinan Kepala Sekolah yang Berfungsi

(7)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Kategori Informasi Lapangan ... 314

2. Kisi-kisi Pengamatan ... 315 3. Kisi-kisi Wawancara ... 316 4. Angket Persepsi Warga Sekolah terhadap Budaya Organisasi Sekolah

(Modifikasi Instrumen Le Roy Beach) ... 317

5. Angket Persepsi Warga Sekolah terhadap Budaya Organisasi Sekolah

(Modifikasi Instrumen Stephen P. Robbins) ... 318

6. Angket Preferensi Murid dan Orang Tua Murid Pemilih SMA Swasta ...

319

7. Kategorisasi Informasi Hasil Pengamatan, Wawancara, dan Studi

Dokumentasi... 320

(8)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Penyelenggaraan sekolah swasta di Indonesia dilakukan oleh beragam

pihak. Dalam wadah Musyawarah Perguruan Swasta didapati sekolah-sekolah

yang berlatarbelakang keagamaan, kebudayaan/kedaerahan, sekolah yang

diselenggarakan oleh organisasi wanita, dan sekolah yang merupakan bagian

dari suatu organisasi besar dengan beragam latar belakang pula (Siagian, 1986).

Pengakuan hukum atas pentingnya keberadaan sekolah swasta, tersirat di

dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 54

ayat (1) UU tersebut menyatakan bahwa: “peran serta dalam pendidikan

meliputi peran serta perorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi,

pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan

pengendalian mutu layanan pendidikan”. Selain itu, ditandaskan pula dalam

Pasal 55 ayat (1), bahwa “masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan

berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan

kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan

masyarakat”.

Sekolah swasta berkembang cukup pesat. Jumlah sekolah swasta

berbanding sekolah negeri adalah sebagai berikut: TK 42.667: 230; SD 9.861:

136.332; SLTP 9.832: 11.244; dan SMA 4.699: 3.014. Sedangkan persentase murid

sekolah swasta, 98,83% di TK; 7,68% di SD, 36,77% di SLTP; dan 43,29% di SMA

(Supriadi, 2003). Sungguhpun demikian, perkembangan jumlah sekolah swasta

(9)

oleh beragamnya motivasi penyelenggaraan sekolah swasta yang menyebabkan

kelebihan-potensialnya tidak selalu menunjukkan kesamaan dalam kemampuan

dan ikhtiar perbaikan mutu pendidikan antarsekolah swasta.

Bagi sekolah swasta, pentingnya meningkatkan mutu pendidikan terkait

dengan sekurang-kurangnya tiga alasan kritis berikut ini. Pertama, peran serta

masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan nasional semakin luas,

sementara pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dari hari ke hari

semakin luas pula jangkauannya. Dengan demikian, perguruan swasta

dihadapkan pada tantangan untuk meningkatkan mutu dan mengembangkan

keunggulannya sehingga tetap menjadi pilihan bagi sebagian besar peserta didik

(Djojonegoro, 1996).

Kedua, pendidikan merupakan salah satu sektor yang berkembang pesat

sekaligus paling disoroti oleh masyarakat. Dalam pandangan Suryadi (1995),

hampir seluruh anggota masyarakat berkepentingan untuk memperoleh

kejelasan mengenai peningkatan fasilitas pendidikan, produktivitas sekolah,

kiprah sekolah dalam memeratakan kesempatan memperoleh pendidikan bagi

seluruh warga negara, dan derajat kesesuaian antara kemampuan bekerja

lulusan dengan bidang keterampilannya.

Ketiga, krisis pendidikan yang dihadapi dewasa ini berkisar pada krisis

manajemen. Kulminasi dari keseluruhan masalah manajemen tersebut adalah

masih rendahnya mutu pendidikan kita (Tilaar, 1994). Secara objektif, sistem

pendidikan kita sudah mengalami krisis mutu yang berkepanjangan paling

tidak sejak pertengahan tahun 1970-an (Suryadi, 1998). Angka putus sekolah di

(10)

menurut Suryadi, relatif bertahan dan tidak banyak berkurang dalam kurun

waktu sepuluh tahun terakhir.

Dengan anggapan bahwa NEM yang diperoleh murid merupakan alat

ukur yang representatif setidak-tidaknya untuk mutu keluaran pendidikan,

maka perolehan NEM yang rendah dapat pula dianggap sebagai penjelasan atas

rendahnya mutu pendidikan di sekolah. Angka-angka NEM yang rendah,

menurut Achmady (1995), menunjukkan masih rendahnya tingkat-penguasaan

peserta didik terhadap tugas-tugas belajar (learning tasks) yang dituntut oleh

kurikulum.

Terkait dengan fakta dan anggapan di atas, observasi awal yang penulis

lakukan menemukan bahwa mutu pendidikan SMA-SMA swasta Islam di

Provinsi Jawa Tengah relatif tertinggal dibanding SMA-SMA swasta lainnya.

Dinas Pendidikan di provinsi tersebut (Laporan Ebtanas 1998/1999)

mempertelakan, dari 110 SMA yang tergolong ke dalam 100 SMA terbaik dalam

perolehan NEM individual murid, terdapat 19 SMA swasta (program IPA) dan

12 SMA swasta (program IPS). Baik program IPA maupun IPS, peringkat

pertama ditempati oleh SMA Taruna Nusantara, peringkat di bawahnya adalah

SMA-SMA Katolik dan sebagian kecil SMA Islam.

Dari 114 murid yang tergolong 100 murid terbaik dalam perolehan NEM,

59 orang di antaranya berasal dari SMA Swasta (Taruna Nusantara, NEM

tertinggi 60,63 di peringkat 1 dan NEM terendah 53,75 di peringkat 100).

Kemudian, terdapat 40 murid SMA negeri (NEM tertinggi 56,86 di peringkat 16,

(11)

orang (NEM tertinggi 57,99 di peringkat 6, dan terendah 53,76 di peringkat ke

99).

Selanjutnya, observasi awal penulis terhadap suasana akademik

(khususnya dilihat dari upaya guru dan motivasi murid di dalam proses

pembelajaran) SMA swasta di Kota Tegal, menginformasikan bahwa SMA

swasta Islam di kota tersebut umumnya tergolong ke dalam tipe sekolah

perpaduan antara derajat motivasi murid rendah sampai cukup dengan

pelayanan guru tinggi. Keadaan demikian tidak terlepas dari tradisi penerimaan

dan preferensi murid baru selama ini, yang cenderung memperlakukan SMA

swasta Islam sebagai pilihan kedua setelah SMA lain yang mereka anggap

favorit.

Dalam kerangka agenda reformasi pendidikan sebagaimana diidentifikasi

oleh Zamroni (2000), perbaikan mutu pendidikan terkait dengan

dimensi-dimensi fondasional kultural, politik-kebijakan, teknis operasional, dan

kontekstual. Esensi reformasi pendidikan pada dimensi kultural adalah

mengembangkan norma baru tentang peran dan perilaku, dan mengembangkan

serta membiasakan sistem kolaborasi dalam proses pembelajaran.

Tuntutan peningkatan mutu dan reformasi segi kultural dalam pendidikan

di sekolah swasta, mengisyaratkan dua hal penting. Pertama, perlunya kehadiran

kepala sekolah yang memiliki kapasitas kepemimpinan sebagai pengembang

budaya organisasi sekolah. Kedua, perlunya pengembangan budaya organisasi

sekolah yang berorientasi perbaikan mutu secara berkelanjutan.

Setiap usaha perbaikan mutu pendidikan di sekolah, menurut Gaffar

(12)

Kemampuan manajemen pada tingkat satuan pendidikan, ikut menentukan

keseluruhan efektivitas penyelenggaraan pendidikan. Kemampuan manajemen

ini amat ditentukan oleh kemampuan manajerial kepala sekolah.

Kepala SMA swasta di Indonesia berjumlah 5.020 orang, yang terdiri atas

PNS dipekerjakan sebanyak 1.505 dan tetap yayasan 3.515 orang

(http://www.pdk.go.id, diakses 2003). Diperinci berdasarkan ijazah tertingginya,

sebagian besar Kepala SMA swasta di Indonesia berijazah Sarjana (Keguruan

2.932 orang; 476 Nonkeguruan). Selain itu, terdapat pula yang berlatarbelakang

D2 (159 orang); D3 (Keguruan 198 orang, Nonkeguruan 82 orang); Sarjana Muda

(Keguruan 792 orang, Nonkeguruan 311 orang); dan Pascasarjana 70 orang.

Untuk PNS yang dipekerjakan sebagai Kepala SMA Swasta, rata-rata

golongannya ialah Golongan III (974 orang) dan Golongan IV (531 orang).

Kenyataan di lapangan menunjukkan, para kepala sekolah tidak memiliki

cukup keberanian manajerial untuk memilih alternatif-alternatif yang lebih baik

dalam mengambil keputusan; mereka merasa kekurangberhasilan sekolahnya

seolah-olah bukan menjadi tanggung jawabnya (Wongkar sebagaimana dikutip

Suderadjat, 1997).

Berkenaan dengan aspek-aspek kekepalasekolahan di SMA swasta Islam

di daerah penelitian, observasi pendahuluan yang penulis lakukan menemukan

fakta berikut ini. Pertama, proses rekrutmen kepala sekolah dilakukan melalui

beragam jalur, yaitu kiriman dari pemerintah berupa PNS kependidikan yang

diperbantukan (dpk) sebagai kepala SMA swasta, guru dpk yang diangkat –atas

restu pemerintah– menjadi kepala sekolah oleh yayasan atau badan

(13)

yayasan, dan pensiunan guru atau kepala sekolah negeri yang “dimohon” oleh

yayasan untuk mengepalai SMA swasta. Beragam jalur rekrutmen kepala

sekolah tersebut dibingkai oleh ciri yang sama, bahwa mereka tidak

dipersiapkan secara khusus melalui pembekalan kompetensi kekepalasekolahan

yang memadai.

Kedua, pengelolaan pendidikan SMA swasta Islam berlangsung dalam

suasana kebijakan yang sedang bergeser dari kebijakan pendidikan sentralistik

menuju otonomi. Sisa-sisa tradisi kebijakan pendidikan sentralistik yang berupa

pembinaan pemerintah, telah mengakibatkan hampir seluruh mekanisme

pengelolaan pendidikan di SMA swasta Islam disamaratakan oleh Petunjuk

Teknis dan Petunjuk Pelaksanaan sebagaimana yang diberlakukan untuk SMA

negeri.

Kondisi demikian mempersyaratkan kepemimpinan kepala sekolah yang

berkemampuan mengembangkan budaya organisasi sekolah swasta. Pentingnya

pengembangan budaya organisasi ditopang oleh sekurang-kurangnya dua

alasan berikut ini. Pertama, budaya organisasi sebagai salah satu subkomponen

dari profil kapabilitas manajemen, memuat unsur-unsur: (a) sikap organisasi

terhadap perubahan; (b) preferensinya terhadap risiko; (c) perspektif waktu; dan

(d) perspektif tindakan (Ansoff dan Mc. Donnell, 1990).

Kedua, apabila dikaitkan dengan implementasi kebijakan otonomi

pendidikan (di dalam kebijakan mana sekolah swasta dianggap mewakili model

pengelolaan sekolah otonom yang sesuai dengan konsep MBS), maka

pengembangan budaya organisasi sekolah swasta mengandung makna

(14)

pendidikan di sekolah; dan efektivitas pendidikan berdasarkan budaya sekolah

(Turney, 1992). Efektivitas pendidikan dari segi budaya organisasi sekolah

mengisyaratkan bahwa apapun gaya kepemimpinan yang dilaksanakan,

hendaknya memberi prioritas yang tinggi terhadap pengembangan kerja sama,

kesepakatan mengenai norma, kepercayaan, dan pengertian yang

didikembangkan sekolah sehingga semua kelompok mampu memberdayakan

outcomes pendidikan.

B. IDENTIFIKASI, POKOK MASALAH, DAN PERTANYAAN

PENELITIAN

Hasil observasi pendahuluan menggambarkan disparitas mutu keluaran

SMA swasta yang cukup lebar. Di daerah penelitian, terdapat sejumlah kecil

sekolah swasta yang secara akademik tergolong unggul di tengah-tengah

sejumlah besar sekolah swasta --termasuk SMA swasta Islam-- yang tergolong

tertinggal.

Di sekolah swasta, tak terkecuali SMA swasta Islam di daerah penelitian,

hakikat reformasi pendidikan dalam dimensi kultural belum dimaknai sebagai

ikhtiar meniadakan faktor-faktor yang tidak menguntungkan sekolah, seperti

rendahnya kreativitas dan inisiatif, kepemimpinan kepala sekolah bergaya

komando, dan budaya sekolah yang tidak kondusif untuk mencapai prestasi

(sarat persaingan, kurang kerja sama, tidak terbuka, guru terlalu dominan,

murid kurang aktif, kurang disiplin dan belajar keras).

Dengan ungkapan lain, sejauh ini kepemimpinan kepala sekolah swasta di

daerah penelitian belum ditampilkan secara optimal baik ke dalam kemampuan

(15)

kapasitas manajerial dan kesanggupan melaksanakan misi profesional

administrator pendidikan sesuai dengan persyaratan ambang kinerja

kepemimpinan kepala sekolah.

Identifikasi di atas mengantarkan penulis kepada kata kunci permasalahan

penelitian yang meliputi: (1) kepemimpinan kepala sekolah; dan (2) kemampuan

mengembangkan budaya organisasi; dalam kerangka pemenuhan tuntutan (3)

perbaikan mutu pendidikan. Pokok masalah penelitian yang dapat penulis

rumuskan ialah: bagaimanakah fungsionalisasi kepemimpinan pendidikan oleh

kepala sekolah dalam mengembangkan budaya organisasi sekolah dan

memperbaiki mutu pendidikan di SMA swasta Islam; dan model konseptual

kepemimpinan pendidikan yang bagaimanakah yang dianggap adaptif dilihat

dari kebutuhan pengembangan budaya organisasi sekolah dan perbaikan mutu

pendidikan di SMA swasta Islam?

Demi kebulatan informasi yang mewakili model empirik kepemimpinan

kepala sekolah, budaya organisasi, dan mutu pendidikan SMA swasta Islam itu,

selanjutnya pokok masalah tersebut di atas penulis perinci ke dalam pertanyaan

penelitian berikut ini.

1. Faktor-faktor organisasional manakah yang mendasari kemampuan

kepemimpinan kepala SMA swasta Islam? Pertanyaan ini difokuskan

kepada aspek-aspek: visi organisasi, etos kerja, dan sumber kekuasaan

kepala SMA swasta Islam.

2. Bagaimanakah upaya kepala SMA swasta Islam dalam mengembangkan

budaya organisasi dan memprakarsai perbaikan mutu pendidikan di

(16)

utama, dan tindakan strategik kepala sekolah dalam konteks pasang-surut

kehidupan sekolah baik sebagai organisasi maupun entitas budaya; dan

ikhtiar perbaikan mutu komponen sistem pendidikan di sekolah.

3. Bagaimanakah kapasitas kepemimpinan kepala SMA swasta Islam dalam

dimensi-dimensi keterampilan manajerial, misi profesional pengelola

satuan pendidikan, dan rutinitas pelaksanaan tugas manajerial di sekolah.

4. Bagaimanakah kondisi budaya organisasi yang dikembangkan oleh kepala

SMA swasta Islam? Pertanyaan ini merujuk kepada aspek-aspek:

(a) ragam nilai yang bersumber dari agama, diderivasi ke dalam visi

organisasi badan penyelenggara dan selanjutnya ditransformasi

menjadi nilai budaya organisasi sekolah;

(b) persepsi warga sekolah mengenai kondisi budaya organisasi sekolah

dilihat dari perspektif konsep nilai-nilai pembeda budaya organisasi

dan konsep pengukuran budaya organisasi;

5. Aspek-aspek mutu pendidikan manakah yang meningkat secara konsisten

sebagai produk aktualisasi kepemimpinan kepala sekolah dalam

mengembangkan budaya organisasi SMA swasta Islam? Aspek-aspek

mutu pendidikan dalam pertanyaan ini meliputi: (a) masukan; (b) proses;

(c) dan keluaran.

6. Bagaimanakah model konseptual kepemimpinan pendidikan yang

mencerminkan hubungan fungsional dengan pengembangan budaya

organisasi dan perbaikan mutu pendidikan SMA swasta Islam?

Pertanyaan ini merujuk kepada kemungkinan meracik elemen-elemen

(17)

konseptual yang diberangkatkan dari refleksi teoretik, seperangkat asumsi,

hasil penelitian terdahulu, dan sejumlah kondisi aktual yang seharusnya

direspons oleh sekolah swasta Islam, sekurang-kurangnya di daerah

penelitian.

C. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan menggali dan menghimpun informasi empirik

yang dapat menggambarkan kepemimpinan kepala SMA swasta Islam,

terutama dalam hubungannya dengan kemampuan mengembangkan budaya

organisasi dan memperbaiki mutu pendidikan. Secara rinci, penelitian ini

bertujuan untuk :

1. Memperoleh gambaran empirik kepemimpinan kepala SMA swasta Islam,

terutama dilihat dari aspek-aspek: (a) faktor-faktor organisasional yang

mendasari kemampuan kepemimpinan kepala SMA swasta Islam, yaitu

visi organisasi, etos kerja, dan sumber kekuasaan; (b) upaya kepala SMA

swasta Islam dalam mengembangkan budaya organisasi dan

memprakarsai perbaikan mutu pendidikan di sekolah; (c) kapasitas

kepemimpinan kepala SMA swasta Islam dalam dimensi-dimensi

keterampilan manajerial, misi profesional pengelola satuan pendidikan,

dan rutinitas pelaksanaan tugas manajerial di sekolah.

2. Memahami budaya organisasi sekolah yang dikembangkan atas upaya

kepala SMA swasta Islam, dengan cakupan: (a) ragam nilai yang

bersumber dari agama, yang diderivasi ke dalam visi organisasi badan

penyelenggara dan selanjutnya ditransformasi menjadi nilai budaya

(18)

organisasi sekolah dilihat dari perspektif konsep nilai-nilai pembeda

budaya organisasi dan konsep pengukuran budaya organisasi;

3. Mengetahui upaya perbaikan dan derajat kebermutuan pendidikan SMA

swasta Islam, yang meliputi sub-sub: (a) masukan; (b) proses; dan (c)

keluaran.

4. Menawarkan model konseptual kepemimpinan pendidikan yang secara

fungsional mampu mengembangkan budaya organisasi dan memperbaiki

mutu pendidikan SMA swasta Islam.

D. KEGUNAAN HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian ini diharapkan memiliki nilai guna baik secara teoretik

maupun kepentingan praktik administrasi pendidikan.

1. Secara teoretik, hasil penelitian ini dimaksudkan untuk memperkaya hasil

penelitian terdahulu yang berkenaan dengan profil kepemimpinan kepala

sekolah swasta, kebermutuan pendidikan, dan nilai-nilai budaya

organisasi sekolah swasta yang proaktif terhadap tuntutan perbaikan mutu

pendidikan.

2. Secara praktik, hasil penelitian ini diharapkan dapat diperlakukan sebagai

salah satu umpan balik bagi Depdiknas, Badan Penyelenggara Sekolah

Swasta, dan berbagai pihak yang bertanggung jawab terhadap

pemberdayaan kinerja kepala sekolah, guna merumuskan kebijakan dan

program-program akreditasi sekolah swasta, profesionalisasi kepala

(19)

E. ASUMSI-ASUMSI PENELITIAN

Penelitian mengenai kepemimpinan kepala sekolah, budaya organisasi,

dan mutu pendidikan sekolah swasta Islam ini didasarkan atas asumsi-asumsi

berikut berikut ini. Pertama, peningkatan mutu dan kepemimpinan pendidikan

harus dilihat sebagai inti revitalisasi kekhasan dan keunggulan sekolah swasta.

Di dalam kerangka revitalisasi itu, diperlukan suatu proses pengembangan

budaya organisasi yang mendukung.

Prinsip-prinsip kerja seperti peningkatan mutu yang berkelanjutan,

kemandirian, kepuasan pelanggan, dan sebagainya, hanya mungkin

dikembangkan secara operasional di dalam budaya organisasi yang memuat

nilai-nilai yang sesuai dengan prinsip-prinsip kerja itu. Demikian pula halnya

dengan konsep-konsep dan kebijakan terakhir dalam pengelolaan pendidikan

seperti MBS, pada hakikatnya dapat dijalankan dengan baik di dalam suasana

kerja satuan pendidikan yang secara kultural telah menyediakan nilai-nilai

pendukung MBS. Dengan demikian, secara akademik dan dalam kerangka ilmu

administrasi pendidikan, penelaahan budaya organisasi menjadi penting untuk

dilakukan.

Kedua, urgensi budaya organisasi sebagai bahan penelaahan administrasi

pendidikan dapat diterangkan dengan argumen bahwa sekolah sebagai

organisasi sekaligus entitas budaya. Dalam pandangan teori sistem sosioteknik,

sekolah adalah organisasi terbuka sehingga memiliki konsekuensi tambahan

yang lebih kompleks daripada organisasi tertutup. Sebagai organisasi terbuka,

sekolah dipengaruhi oleh dua kekuatan eksternal yang sangat menentukan

(20)

Teori sistem sosioteknik memandang organisasi pendidikan sebagai

struktur yang secara internal merupakan unikum tersendiri, dan pada saat yang

bersamaan ia pun merupakan bagian interaksi dengan suprasistem yang

melingkupinya. Konsekuensi keberadaan sekolah sebagai organisasi terbuka

adalah kesediaan untuk berubah ke arah yang makin membaik. Secara kultural,

konsekuensi itu diisyaratkan dalam pernyataan Sanusi (1991), bahwa

peningkatan dalam besarnya organisasi dan usaha pendidikan, akan meminta

perubahan-perubahan mendasar pada semua segi dan tingkat administrasinya

serta peningkatan dalam kemampuan teknik-manajerial para pejabatnya.

Ketiga, sebagai salah satu subkomponen dari profil kapabilitas manajemen,

budaya organisasi memuat unsur-unsur:

(a) sikap organisasi terhadap perubahan, apakah bermusuhan, pasif,

atau mudah dipengaruhi perubahan.

(b) preferensinya terhadap risiko, sebagai kelompok apakah mereka

menghindari risiko, toleran atau mencarinya, yaitu hanya menginginkan risiko yang sudah biasa atau mencari risiko yang penuh romantika.

(c) perspektif waktu, apakah manajemen melihat masalah dengan

percaya pada sejarah masa silam, lebih ingin menanganinya sesuai dengan kondisi sekarang, atau lebih melihat ke masa depan.

(d) perspektif tindakan, apakah perhatian dan energi organisasi

dipusatkan pada operasi internal atau pada lingkungan eksternal (Ansoff dan Mc. Donnell, 1990)

Keempat, pengembangan budaya organisasi dan perbaikan mutu

pendidikan mengandung makna dan senafas dengan konteks strategi

transformasi budaya untuk mutu. Manajemen mutu menjadi bagian penting

dari keseluruhan aspek transformasi budaya yang dimaksud. Bahkan sistem

(21)

F. KERANGKA KONSEPTUAL PENELITIAN

Istilah kerangka konseptual (Miles & Huberman, 1992) identik dengan

kerangka berpikir atau paradigma, yang memiliki peranan sebagai theoretical

perspective; a systematic sets of beliefs; penetapan boundaries of study (Lincoln &

Guba, 1985); dan penetapan itu berfungsi sebagai theoretical leads dalam

menemukan dan mengembangkan hipotesis baru dan proposisi mengenai apa

yang dilihat dan didengar (Schatman & Strauss, 1973).

Berdasarkan pengertian di atas, kerangka konseptual penelitian ini

dibangun dengan maksud melakukan eksplorasi dan konfirmasi di tingkat

empirik mengenai tindakan kepemimpinan kepala sekolah, ciri-ciri budaya

organisasi sekolah, dan kebermutuan pendidikan di SMA swasta berciri khas

Islam. Tampilan aspek-aspek termaksud, diidentifikasi dari hubungan

fungsional antara kepemimpinan kepala sekolah dengan budaya organisasi

sekolah dan mutu pendidikan di sekolah.

Kategori informasi mengenai kepemimpinan kepala sekolah mencakup

faktor-faktor organisasional (visi, etos kerja, dan sumber kekuasaan) pembentuk

kemampuan kepemimpinan kepala sekolah; kemampuan mengembangkan

budaya sekolah; kapasitas manajerial dan misi profesional kepala sekolah.

Kategori informasi mengenai budaya organisasi sekolah meliputi nilai-nilai

yang diderivasi dari tuntunan Islam ke dalam budaya organisasi penyelenggara

sekolah (Perhimpunan Al-Irsyad), dan ditransformasi menjadi nilai-nilai budaya

sekolah; aspek-aspek kekuatan dan kohesivitas budaya organisasi sekolah yang

dipersepsikan oleh warga sekolah. Kategori iniformasi ini dikonsepsikan sebagai

(22)

Sedangkan kategori informasi mengenai kebermutuan pendidikan di

sekolah meliputi aspek-aspek upaya strategik yang ditempuh sekolah dalam

memperbaiki mutu pendidikan; derajat mutu subsistem-subsistem masukan,

proses, dan keluaran pendidikan. Kebermutuan pendidikan di sekolah, dalam

penelitian ini dipahami sebagai resultan dari tindakan kepemimpinan kepala

sekolah dan budaya organisasi sekolah yang dikembangkan atas prakarsa

kepala sekolah.

Temuan yang diharapkan dari pengungkapan kategori-kategori tersebut

ialah sebuah model empirikmengenai keunggulan sekolah swasta dilihat dari

kepemimpinan kepala sekolah, profil budaya organisasi, dan cakupan mutu

pendidikannya. Model empirik tersebut selanjutnya dijadikan dasar pengajuan

model konseptual untuk memaksimalkan keunggulan itu. Apabila diperluas

dengan bingkai-bingkai teori dan masalah penelitian, kerangka konseptual

(23)

KE A D A A N EM PIR IKA L (KA SUS SM A A L- IR SYA D TEGA L)

KON D ISI BUD A YA OR GA N ISA SI SEKOLA H

R A GA M N IL A I YA N G D ITR A N SFOR M A SI D A R I A J A R A N ISL A M D A N VISI OR GA N ISA SI; K EK UA TA N D A N K OH ESIVITA S BUD A YA OR GA N ISA SI

P ER BA IKA N M UTU

P EN D ID IKA N D I

SEKOLA H

M A SUK A N , P R OSE S, K EL UA R A N ,

UP A YA M EN GEM BA N GK A N BUD A YA OR GA N ISA SI

SEK OL A H FA K TOR – FA K TOR

OR GA N ISA SION A L YA N G M EN D A SA R I

K EM A M P UA N M EM IM P IN

K A P A SITA S M A N A J ER IA L D A N M ISI P R OFE SION A L

KE P EM IM P IN

A N KEP ALA

SEKOLA H

TEOR I D A N M A SA LAH

K EP A L A SEK OL A H

SEBA GA I P EM IM P IN P EN D ID IK A N

OR GA N ISA SI, BUD A YA SEK OL A H SWA STA

M UTU P EN D ID IK A N

TE M UA N P E N ELITIAN

M OD EL K ON SEP TUA L K E P EM IM P IN A N K E P A L A SEK OL A H YA N G BER FUNGSI P EN GEM BA N GA N BUD A YA OR GA N ISA SI D A N P E R BA IK A N M UTU P EN D ID IK A N D I SM A SWA STA ISL A M

(24)

Ga m b a r 1 .1 .

(25)

120 BAB III

PROSEDUR PENELITIAN

A. PENDEKATAN

Penelitian ini mengandalkan pendekatan kualitatif (postpositivisme)

rasionalistik, yaitu suatu metode yang mendudukkan objek spesifik dalam

totalitas holistik (Muhadjir, 2000). Pokok-pokok pendekatan kualitatif

rasionalistik sebagaimana diuraikan oleh Muhadjir, diringkaskan berikut ini.

Pertama, berpikir rasionalistik. Berbeda dengan positivisme yang hanya

mengakui realitas empiri sensual, rasionalisme mengenal pula empiri logik atau

teoretik, dan empiri etik, meskipun keduanya sama-sama menganut faham

monisme bahwa realitas itu tunggal. Dengan kata lain, rasionalisme mengakui

realitas dalam perspektif sensual, perspektif logik-teoretik, dan perspektif etik.

Kedua, konseptualisasi teoretik itu penting, tetapi harus disadari bahwa

kemampuan konseptualisasi teoretik bukan sekadar memparsialkan objek,

melainkan melihat kesatuan holistiknya.

Ketiga, perlunya grand concepts sebagai landasan penelitian. Sifat holistik

yang dituntut oleh pendekatan rasionalistik adalah digunakannya konstruksi

pemaknaan atas empiri sensual, logik ataupun etik. Argumentasi dan

pemaknaan atas empiri (termasuk hasil-hasil penelitian terdahulu) menjadi

penting sebagai landasan penelitian kualitatif rasionalistik.

Keempat, ragam tata pikir logik. Metode penelitian kualiatif rasionalistik

mengenal tata pikir logik lain di samping tata pikir relasi yang mendominasi

pendekatan positivistik. Uraian ragam tata pikir logik yang dikemukakan oleh

(26)

Kelima, desain penelitian kualitatif rasionalistik bertolak dari kerangka

teoretik yang dibangun dari pemaknaan hasil penelitian terdahulu, teori-teori

yang dikenal, buah pikiran para pakar, dan dikonstruksi menjadi sesuatu yang

mengandung sejumlah problematik yang perlu diteliti lebih lanjut.

Keenam, penarikan kesimpulan dan pemaknaan. Membuat kesimpulan

bagi rasionalisme tidak sekadar menyajikan hasil analisis fragmentarik,

melainkan menyajikan sesuatu yang dapat menjadi bagian penting dari suatu

konstruksi lebih besar; kesemuanya itu mengarah ke membangun suatu tesis

baru, atau lebih jauh lagi membangun teori baru.

Rasionalisme lebih mengarah ke monisme teoretik daripada pluralisme

teoretik. Teori dalam bentuk verbal tidak lain dari suatu proposisi, suatu

pendapat, yang diharapkan mampu mewadahi semua kasus empiri yang

relevan. Bagi rasionalisme mencari makna secara ontologik bergerak antara yang

empirik sensual, yang logik, dan yang etik; secara epistemologik menggunakan

berpikir reflektif, verstehen, pola pikir divergensi, kreatif, inovatif untuk

mendapatkan makna yang lebih jauh dari sekadar signifikansi.

Bloom sebagaimana yang dikutip oleh Muhadjir (2000) mengajukan tiga

tipe pemahaman: (1) pemahaman terjemahan, terbatas pada pengubahan simbol

dari hitungan statistik ke verbal, dari bahasa satu ke bahasa lain; (2) pemahaman

penafsiran, sudah mulai menjangkau yang tersirat; (3) pemahaman ekstrapolasi,

sudah menghubungkan antara yang tersurat dan tersirat dengan sesuatu di

luarnya. Jenis pemahaman yang disebut terakhir ini merupakan pemahaman

dari pendekatan kualitatif rasionalistik.

(27)

mendukung tercapainya tujuan penelitian ini, yaitu memperoleh pemahaman

yang mendalam mengenai dimensi dan hubungan interaktif antara

kepemimpinan kepala sekolah dengan budaya organisasi dan kebermutuan

pendidikan. Lebih lanjut, temuan empirik tersebut secara induktif akan

diabstraksi ke dalam model konseptual dan teori mengenai kepemimpinan

pendidikan sekolah swasta yang relevan bagi penguatan budaya dan

peningkatan mutu pendidikan di sekolah.

Sesuai dengan kedalaman informasi yang ingin penulis peroleh dari

lapangan, penelitian ini memilih rancangan studi kasus. Studi kasus berupaya

mencari kebenaran ilmiah dengan cara mempelajari secara mendalam dan

dalam jangka waktu yang lama. Di dalam studi kasus, menurut Muhadjir (2000),

bukan banyaknya individu dan juga bukan rerata yang menjadi dasar penarikan

kesimpulan, melainkan didasarkan ketajaman peneliti melihat kecenderungan,

pola, arah, interaksi banyak faktor dan hal lain yang memacu atau menghambat

perubahan.

Harton dan Hunt sebagaimana dikutip oleh Muhadjir (2000) membedakan

studi kasus sebagai studi longitudinal menjadi dua tipe yaitu retrospektif dan

prospektif. Rancangan penelitian ini lebih merupakan tipe studi kasus yang

disebut terakhir, yaitu yang: (1) mengambil objek perkembangan normal baik

individu, kelompok, atau satuan sosial lain; (2) digunakan untuk keperluan

penelitian, mencari kesimpulan, dan diharapkan dapat ditemukan pola,

kecenderungan, arah, dan lainnya; dan yang dapat digunakan untuk membuat

perkiraan-perkiraan perkembangan masa depan; (3) jumlah subjeknya biasanya

(28)

tertentu.

B. LATAR DAN KATEGORI SUMBER DATA PENELITIAN

Penelitian ini memilih lokasi di Kota Tegal, salah satu kota di Provinsi Jawa

Tengah yang memiliki ciri-ciri geografi, topografi, iklim, dan sifat perkotaan

yang sama dengan beberapa kota besar di sepanjang Pantai Utara Pulau Jawa.

Dari segi sifat perkotaannya, yaitu maritim, perdagangan, dan industri,

keberadaan Kota Tegal menjadi daya tarik masyarakat sub-urban untuk mencari

alternatif sumber nafkah mereka.

Jumlah penduduk berdasarkan usia sekolah di Kota Tegal mencapai 64.783

jiwa dengan proporsi 31.627 jiwa (usia SD); 16.100 jiwa (usia SLTP); 17.056 jiwa

(usia Sekolah Menengah). Dari jumlah tersebut, angka partisipasi murni (APM)

masing-masing kelompok usia sekolah itu menunjukkan perbedaan

antar-kecamatan. Di Tegal Barat, APM SD 81,41; APM SLTP 75,18; dan APM SM 59,17.

Di Kecamatan Tegal Timur, angka tersebut masing-masing berkisar 94,72; 103,73;

38,32; dan 110,83. Untuk Kecamatan Tegal Selatan, 61,4; 38,32; dan 30,12.

Sedangkan di Kecamatan Margadana APM masing-masing kelompok usia

sekolah itu adalah 90,98; 46,69; dan 17,31 (Dinas Diknas Kota Tegal, 2003).

Sekolah yang dijadikan latar penelitian ini ialah SMA Al-Irsyad yang

berlokasi di Jalan Gajahmada Tegal. Sesuai dengan misi induk organisasinya,

sekolah tersebut memiliki tradisi keorganisasian dan posisi hasil pendidikan

yang berbeda dengan sekolah lainnya. Ada tiga kategori informasi utama yang

harus didapatkan melalui penelitian ini, yaitu profil kepemimpinan kepala

sekolah, kecenderungan budaya organisasi sekolah, dan kebermutuan

(29)

Keseluruhan informasi yang diperlukan itu selanjutnya dapat

diringkaskan ke dalam tiga kategori sumber data penelitian ini, yaitu manusia,

dokumen, tindakan, dan wadah. Secara internal, kategori sumber data manusia

meliputi fungsionaris Badan Penyelenggara, Kepala Sekolah, Guru, dan murid.

Sedangkan, manusia sebagai sumber data eksternal adalah orang-orang di luar

sistem organisasi penyelenggara dan sekolah, tetapi secara langsung atau tidak

mereka itu turut mempedomani, mempengaruhi, menyokong kelangsungan,

dan memperoleh manfaat dari pendidikan sekolah tersebut. Mereka itu terdiri

atas para alumni, donatur, pengurus organisasi penyelenggara sekolah swasta

lain, pengurus BMPS Daerah, aparatur Kantor Dinas Pendidikan Daerah, Dewan

Pendidikan Kota, dan Badan Akreditasi Sekolah di daerah.

Kategori sumber data dokumentasi dapat berupa keterangan tertulis yang

berkenaan dengan risalah kesejarahan organisasi, administrasi keorganisasian,

administrasi persekolahan, data statistik, dan risalah lainnya yang relevan.

Kategori sumber data tindakan merupakan kategori sumber data yang meliputi

mekanisme administrasi pendidikan di tingkat sekolah, refleksi kemampuan

kepemimpinan kepala sekolah dalam upaya memperkuat budaya organisasi

dan meningkatkan mutu pendidikan di sekolah. Sedangkan kategori sumber

data wadah meliputi organisasi dan wadah-wadah lain tempat responden

berinteraksi, mengambil peran, dan memperoleh kemanfaatan baik untuk

tugasnya maupun untuk kepuasan sosial-psikologinya.

C. PROSEDUR SAMPLING

Khusus terhadap kategori sumber data manusia, dipilih sejumlah sampel

(30)

pada setiap tahap pengumpulan data. Dengan demikian, dari tahap yang satu ke

tahap pengumpulan data berikutnya, jumlah sampel bertambah mengacu

kepada proses bola salju, dan dianggap cukup ketika kebutuhan data dan

informasi sudah terpenuhi.

Sedangkan kepurposifan sampel ditentukan berdasarkan pertimbangan

kecocokan informasi kontekstual yang diperlukan dengan konstruk

dimensi-empirik masalah penelitian. Prosedur sampling yang penulis jalankan ini

didasarkan atas beberapa alasan. Pertama, hubungan antara peneliti dengan

fakta-fakta kontekstual harus erat. Kedua, maksud sampling adalah menjaring

sebanyak mungkin informasi dari berbagai macam sumber dan konstruknya,

dan menggali informasi yang akan dijadikan dasar perancangan/pemunculan

teori. Ketiga, tujuannya bukan memusatkan diri pada perbedaan-perbedaan yang

akan dikembangkan ke dalam generalisasi, tetapi memerinci kekhususan yang

ada ke dalam ramuan konteks yang unik (Moleong, 1996; Lincoln dan Guba,

1985; Glaser dan Strauss, 1984).

D. TEKNIK PENGUMPULAN DATA

1. Pengamatan

Dalam hal ini penulis memilih tipe pengamatan terbuka, di mana

kehadiran penulis diketahui secara terbuka oleh subjek dan mereka pun secara

sukarela memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengamati peristiwa

yang terjadi dan hal-hal yang mereka lakukan. Meskipun demikian, penulis

tidak meleburkan diri menjadi pemeranserta dalam latar pengamatan, tetapi

(31)

2. Wawancara

Penggunaan wawancara dalam pengumpulan data penelitian ini penulis

tujukan untuk mengkonstruksi mengenai manusia, kejadian, kegiatan,

organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian, dan lain-lain kebulatan.

Tipe wawancara informal seperti yang disarankan oleh Patton (1980) atau

wawancara tak terstruktur sebagaimana dianjurkan oleh Lincoln dan Guba

(1981), lebih sering digunakan oleh penulis daripada tipe wawancara yang

lainnya. Wawancara informal memiliki sifat yang cukup relevan untuk

memelihara kewajaran suasana dan kebersahajaan proses wawancara.

Wawancara tak terstruktur dapat dipertimbangkan penggunaannya,

apabila pewawancara: (a) berhubungan dengan “orang penting”; (b) ingin

menanyakan sesuatu secara lebih mendalam kepada subjek tertentu; (c) tertarik

untuk mengungkapkan motivasi, maksud atau penjelasan dari responden; dan

(d) mau mencoba mengungkapkan pengertian suatu peristiwa atau keadaan

tertentu.

3. Kajian Dokumen dan Kepustakaan

Dalam penelitian ini, pengumpulan data melalui penggunaan teknik kajian

dokumen akan penulis tekankan pada deskripsi isi dokumen. Kalaupun untuk

dokumen tertentu mengharuskan dilakukannya analisis isi, maka hal itu akan

penulis lakukan sebatas penapsiran berdasarkan perspektif penulis sendiri, dan

dikonfirmasi dengan pendapat responden tertentu. Kajian kepustakaan, penulis

lakukan untuk pengayaan konsep, teori, dan landasan metodologik penelitian

(32)

E. PENGECEKAN KESAHIHAN DATA

Untuk penelitian ini penulis hanya akan mengecek kriteria derajat

kepercayaan, kebergantungan dan kepastian. Teknik triangulasi terhadap sumber

dan member check, akan penulis gunakan untuk mengecek derajat kepercayaan,

sedangkan kebergantungan dan kepastian, akan diperiksa dengan teknik audit

trail.

Sebagaimana diarahkan oleh Patton (1987), teknik triangulasi terhadap

sumber dapat ditempuh dengan cara-cara: (a) membandingkan data hasil

pengamatan terhadap data hasil wawancara; (b) membandingkan pernyataan

subjek di depan umum dengan apa yang dikatakannya secara pribadi; (c)

membandingkan apa yang dikatakan orang-orang mengenai situasi penelitian

dengan apa yang mereka katakan sepanjang waktu; (d) membandingkan

keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan

orang lain dari berbagai latar belakang; dan (e) membandingkan hasil

wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan.

Member check penulis lakukan dengan cara meminta pendapat dan

penilaian dari para anggota yang terlibat dalam proses pengumpulan data,

mengenai data, kategori analitik, penapsiran, dan kesimpulan penelitian. Dalam

hal audit trail penulis memperlakukan para pembimbing disertasi ini sebagai

auditor yang memeriksa dan memberi umpan balik kepada penulis berkenaan

dengan temuan penelitian, segi-segi metodologik, dan keseluruhan prosedur

penelitian.

F. TEKNIK ANALISIS DATA

(33)

Kegiatan utama yang penulis lakukan selama pengolahan data di lapangan

adalah pencatatan dan refleksi. Seluruh data dan informasi hasil kajian

dokumen, hasil wawancara dan pengamatan yang terhimpun dari setiap tahap

pengumpulan data, penulis catat dalam catatan lapangan dan setiap helai catatan

dibubuhi catatan reflektif dari penulis.

Catatan lapangan mendeskripsikan diri subjek, rekonstruksi dialog, latar

fisik, catatan peristiwa khusus, gambaran kegiatan, dan perilaku pengamat.

Sedangkan dalam bagian reflektif memuat refleksi bagian mengenai analisis,

metode, dilema etik dan konflik, kerangka berpikir, klarifikasi; atau, menurut

Bogdan dan Bilken (1982) memuat kerangka berpikir dan pendapat peneliti,

gagasan, dan kepeduliannya.

2. Penyusunan Satuan dan Kategorisasi

Penyusunan satuan, penulis lakukan dengan cara mengidentifikasi

kumpulan data (yang terekam dalam catatan lapangan) atas dasar jenis subjek

pemberi informasi, waktu dan tempat diperolehnya informasi, dan teknik

pengumpulan data yang digunakan. Melalui proses ini, setiap helai catatan

lapangan yang merekam deskripsi dan refleksi tadi selanjutnya penulis

persiapkan ke arah pemrosesan berikutnya, yaitu kategorisasi.

Di tahap kategorisasi ini penulis memilah-milah satuan catatan lapangan

dan mengelompokkannya ke dalam kategori-kategori sebagaimana dibentuk

dalam kerangka konseptual penelitian ini. Kategori-kategori yang dimaksud

adalah sebagai berikut:

(1) Karakteristik dan perilaku kepemimpinan kepala sekolah, terutama dilihat

(34)

kepala sekolah, yaitu landasan visi organisasi, landasan akhlak sebagai etos

kerja, dan landasan sumber kekuasaan; (b) upaya kepala sekolah dalam

mengelola budaya organisasi dan memprakarsai perbaikan mutu

pendidikan di sekolah; dan (c) kapasitas kepemimpinan kepala sekolah

dalam dimensi-dimensi keterampilan manajerial, misi profesional

pengelola satuan pendidikan, dan rutinitas pelaksanaan tugas manajerial

di sekolah.

(2) Budaya organisasi sekolah yang meliputi: (a) ragam nilai yang bersumber

dari agama, yang diderivasi ke dalam visi organisasi badan penyelenggara

dan selanjutnya ditransformasi menjadi nilai budaya organisasi sekolah;

(b) persepsi warga sekolah mengenai kekuatan dan kohesivitas budaya

organisasi sekolah dilihat dari perspektif konsep nilai-nilai pembeda

budaya organisasi dan konsep pengukuran budaya organisasi;

(3) Upaya perbaikan dan derajat kebermutuan pendidikan di sekolah, yang

(35)

3. Pemaknaan dan Penyimpulan

Pemaknaan pada tarap empiri sensual atas data dan informasi yang

ditemukan dalam penelitian ini, dapat dilihat hasilnya dalam deskripsi

masing-masing kategori. Untuk membangun sistem-kategori yang satu sama lain berpola

hubungan interaktif, penulis melakukan pemaknaan empiri logik dan

penyimpulan dinamik. Sesuai dengan rancangan organisasional yang telah

dikemukakan dalam kerangka konseptual penelitian ini, maka sistem-kategori

yang ingin dihasilkan melalui pemaknaan empiri logik dan penyimpulan

dinamik ini meliputi: kondisi persekolahan yang diteliti; kesalingbergantungan

antara perilaku kepemimpinan kepala sekolah dengan pengorganisasian seluruh

sumber daya sekolah; kecenderungan dinamika budaya organisasi sekolah

dilihat dari perspektif elemen-elemen esensialnya yang berupa nilai-nilai, proses

internalisasi, modus ekspresi, kekuatan dan kohesivitas, persepsi warga sekolah;

dan keterhubungan antara budaya organisasi dengan kebermutuan pendidikan

di sekolah dilihat dari sub-subsitem masukan, proses, keluaran, dan dampaknya.

Selanjutnya, pemaknaan pada tarap empiri etik adalah upaya reflektif

penulis terhadap keseluruhan informasi, deskripsi kategori, dan hubungan logik

dalam sistem-kategori tadi. Hasil pemaknaan etik paling grounded yang ingin

diungkap ialah, nilai-nilai unggulan kepemimpinan kepala sekolah dalam

konteks penguatan budaya organisasi sekolah dan perbaikan mutu pendidikan

di sekolah. Hasil pemaknaan tersebut selanjutnya penulis konfirmasikan

kembali kepada konsep dan teori yang telah dikonstruksi sebelumnya.

Akhirnya, tesis baru yang ingin dibangun setelah pemaknaan etik adalah

(36)

budaya organisasi sekolah dan perbaikan mutu pendidikan di sekolah swasta

Islam. Kebermaknaan model konseptual yang dimaksud penulis perkuat

dengan sejumlah asumsi dan kondisi yang harus direspon oleh sekolah swasta

Islam, dan divalidasi melalui curah pendapat dengan kalangan praktisi, birokrat,

(37)

291 BAB V

KESIMPULAN, IMPLIKASI, SARAN DAN DALIL PENELITIAN

A. KESIMPULAN

Keseluruhan deskripsi, pembahasan, dan pengajuan model konseptual di

dalam disertasi ini, merupakan upaya penulis menjawab pokok masalah

sekaligus mencapai tujuan penelitian sebagaimana yang telah dituangkan dalam

bab pertama. Semua itu, penulis sarikan dalam kesimpulan berikut ini.

Pertama, kepemimpinan kepala sekolah. Kemampuan memimpin pada

Kepala SMA swasta berciri khas Islam yang diteliti, tidak terlepas dari

faktor-faktor organisasional yang membentuk dan mendewasakannya. Faktor-faktor-faktor

yang dimaksud terdiri atas etos kerja, visi organisasi badan penyelenggara

sebagai salah satu ormas Islam bercorak pembaharu, dan sumber kekuasaan

yang mendasari legitimasi jabatan kepala sekolah.

Faktor-faktor organisasional tersebut lebih lanjut menjadi elemen inti bagi

kapasitas kepemimpinan kepala sekolah, yang meliputi kapasitas pengembang

budaya organisasi sekolah, kapasitas adminstrator pendidikan, dan kapasitas

manajer satuan pendidikan.

Bukti-bukti empirik menginformasikan bahwa faktor-faktor itu lebih

memenuhi basis mental kognitif kepala sekolah daripada mencair di basis

hubungan-hubungan sosial antarwarga sekolah. Dari segi etos kerja, sangat

kelihatan bahwa corak hubungan kontraktual antara kepala sekolah dengan

badan penyelenggara sekolah jauh lebih mencolok daripada semangat mencari

keridhaan Allah swt, yang pada tingkat kognitif telah lama dipahaminya sebagai

(38)

yang diderivasi dari mabadi’ organisasi. Sejauh ini ia belum diperankan sebagai

rujukan untuk merintis masa depan. Dengan ungkapan lain, visi pendidikan

yang telah dirumuskan dan dikomunikasikan oleh kepala sekolah, tidak dapat

sepenuhnya dipahami dan difungsikan sebagai pedoman gerakan dan orientasi

peningkatan mutu pendidikan.

Adapun pengakuan atas kekuasaan kepala sekolah, pada awalnya lebih

bersumber pada legitimasi dari badan penyelenggara, kemudian berubah

menjadi bersumber pada keahlian dan pengalaman, tetapi dalam perkembangan

lebih lanjut sumber kekuasaan kepala sekolah itu menunjukkan pergeseran

menjadi coersive power. Oleh karena itu, mudah dimengerti apabila upaya kepala

sekolah dalam mengembangkan budaya organisasi sekolah tidak membuahkan

perubahan suasana akademik yang berarti di sekolah.

Sebagai administrator pendidikan, kapasitas kepemimpinan kepala

sekolah tersebut masih berkutat di sekitar tugas-tugas rutin yang pada

umumnya berstrategi jangka pendek. Peran kepemimpinan yang diperlukan

untuk memperkuat budaya organisasi dan perbaikan mutu pendidikan di

sekolah, tidak muncul secara eksplisit dalam perilaku dan perbuatan kepala

sekolah.

Kepala sekolah, dalam batas-batas tertentu memang berusaha

mengidentifikasi ciri khas pendidikan ke dalam layanan pendidikan,

meningkatkan layanan, dan membangun jaringan kerja eksternal, meskipun

suasana kerja yang dikondisikannya menunjukkan lebih banyak kekakuan. Pada

periode selanjutnya, gaya kepemimpinan bergeser ke delegatif, tetapi gagal

(39)

dan respons kepemimpinan untuk perubahan tidak tampil optimal sehingga

rutinitas dan stagnasi pemikiran kepala sekolah menggejala.

Pada semua periode kepemimpinan kepala sekolah, keterampilan

manajerialnya dicirikan oleh porsi techincal skill yang terlalu lebar dibanding

conceptual skill dan human skill. Sedangkan dilihat dari refleksi misi profesional

kepala sekolah, ditemukan kondisi yang menggambarkan tidak optimalnya

kemampuan dalam administrasi sekolah (kemampuan tujuan, kemampuan

proses, kemampuan teknis manajerial), memadainya pengetahuan dalam

administrasi sekolah, tetapi lemah dalam komitmen terhadap administrasi

sekolah.

Kedua, budaya organisasi sekolah. Seperangkat nilai budaya organisasi

Al-Irsyad yang diturunkan menjadi budaya organisasi sekolah Al-Al-Irsyad meliputi

nilai hidup muslim, nilai keilmuan, dan nilai kemoderenan. Berdasarkan posisi

kompetitif dan daur kehidupan organisasi SMA Al-Irsyad, yang kemudian

didukung oleh informasi mengenai persepsi warga sekolah terhadap budaya

organisasi SMA Al-Irsyad, terungkap kecenderungan pergeseran karakteristik

budaya organisasi SMA Al-Irsyad dari kuat dan hohesif menuju lemah dan tidak

kohesif. Artinya, sebagai nilai intrinsik, budaya organisasi sekolah yang diteliti

mengalami krisis dalam peranan sebagai pedoman perilaku komunitasnya.

Sebagai nilai instrumental, budaya organisasi sekolah tersebut melemah dalam

daya-antarnya kepada pencapaian tujuan amal usaha pendidikan.

Ketiga, mutu pendidikan. Sekolah swasta Islam di daerah seperti SMA

Al-Irsyad Tegal, belum mampu mencukupi asumsi dan kondisi kebermutuan

(40)

efektivitas sekolah, MBS, dan analisis posisi sistem pendidikan. Masukan

mentah yang berupa murid baru, dipersepsikan sebagai komponen yang

unstandard di dalam sistem pendidikan dan pembelajaran SMA Al-Irsyad.

Meskipun demikian, sekolah tersebut telah memiliki cukup modalitas untuk

memperjuangkan mutu pendidikan, yang berupa komitmen badan

penyelenggara, pengalaman sejarah, ketersediaan dan kecukupan

komponen-komponen masukan instrumental, dan masukan lingkungan. Dalam konteks

itulah maka peningkatan mutu proses pendidikan dan pembelajaran menjadi

pilihan strategi perbaikan mutu pendidikan di sekolah swasta tersebut.

Keempat, model konseptual kepemimpinan kepala sekolah. Belajar dari

kasus SMA Al-Irsyad Tegal, diajukannya model konseptual kepemimpinan

kepala sekolah yang berfungsi pengembangan budaya organisasi dan perbaikan

mutu pendidikan di sekolah swasta berciri khas Islam, ditopang oleh sejumlah

asumsi dan kondisi faktual. Asumsi-asumsi yang dimaksud berkenaan dengan

faktor-faktor modalitas potensi sekolah, kondisi pendidikan makro yang

meniscayakan perlunya perbaikan mutu pendidikan di sekolah swasta, posisi

kepala sekolah dalam manajemen sekolah, modus kualifikasi dan kompetensi

kepala sekolah dalam konteks kinerjanya, substansi dan pentingnya

pengembangan budaya organisasi sekolah berdasarkan perspektif otonomi

sekolah.

Sedangkan kondisi faktualnya ialah urgensi kebutuhan pengembangan

kompetensi profesional kepala sekolah sebagai pengelola satuan pendidikan,

dan perlunya dukungan budaya sekolah yang kuat dan kohesif untuk perbaikan

(41)

kebermutuan pendidikan --sebagai isu utama kebijakan pendidikan sekaligus

inti aspirasi masyarakat-- perlu diperbaiki secara berkelanjutan sejalan dengan

“kepatuhan” mengakomodasi pelestarian ciri khasnya.

Berpijak pada asumsi dan kondisi faktual itu, maka model konseptual

yang penulis kemukakan mengandung pemikiran hipotetik mengenai

hubungan fungsional antara kepemimpinan kepala sekolah dengan budaya

organisasi sekolah dan perbaikan mutu pendidikan di sekolah. Kepemimpinan

kepala sekolah dibangun oleh elemen-inti yang berupa: visi, etos kerja, dan

sumber kekuasaan. Kapasitas kepemimpinan yang harus dimiliki oleh kepala

sekolah meliputi tiga dimensi, yaitu pengembang budaya, manajer satuan

pendidikan, dan administrator pendidikan.

Budaya organisasi sekolah dengan seperangkat nilai yang diyakini dan

dikomunikasikan antarwarga sekolah, tidak boleh berhenti sebatas identitas,

asumsi, dan keyakinan yang mengakar pada basis mental-kognitif, tetapi harus

pula dimengerti dan diaktualisasi sampai basis sosial dan basis material. Oleh

karena itu, pengembangan budaya organisasi sekolah seharusnya berfokus

kepada penajaman fungsi-fungsi dinamisnya, yaitu: (1) pelayanan dan

penyediaan peluang kepada warga sekolah; (2) profesionalisme dan dukungan

sekolah untuk upaya-upaya melakukan pekerjaan terbaik; (3) penempatan dan

pencitraan diri (positioning) sekolah dalam lingkungan persaingan dan upaya

pencapaian misinya. Sedangkan perbaikan mutu pendidikan --terutama dalam

arti peningkatan mutu proses pembelajaran, dalam konstelasi model konseptual

ini lebih diposisikan sebagai resultan dari bekerjanya model kepemimpinan dan

(42)

B. IMPLIKASI

Pertama, implikasi fundasional. Penelitian ini berusaha memahami dan

merekonstruksi model kepemimpinan kepala sekolah swasta yang berfungsi

pengembangan budaya organisasi sekolah dan perbaikan mutu pendidikan.

Fokusnya adalah nilai-nilai yang dapat dijadikan rujukan berpikir,

berhubungan, dan menyatakan diri. Secara filosofis, nilai-nilai tersebut berada di

wilayah aksiologi, sehingga ia harus selalu terlibat dan mempedomani perilaku

manusia pada tataran mental kognitif, sosial, dan material.

Keislaman sebagai ciri khas sekolah swasta yang menjadi setting penelitian

ini tidak mungkin dilepaskan dari kewajiban memupuk nilai-nilai tadi. Sejauh

diturunkan menjadi kriteria, suatu nilai akan mengandung perdebatan di

wilayah pemberlakuannya. Dalam model yang penulis konsepkan, terdapat

seperangkat nilai yang diturunkan dari Islam seperti : (1) mencari keridlaan

Allah sebagai kriteria etos kerja kepala sekolah; (2) ikhlas, fastabiqul khairat,

mengabdi, berjuang, dan berprestasi sebagai kriteria hidup warga sekolah.

Meskipun secara teoretik nilai-nilai itu dapat dialirkan sejak tataran mental

kognitif, hubungan-hubungan sosial, sampai wujud fisik material, tetapi secara

praksis akan selalu dipertanyakan konteks keberlakukannya: komitmen, proses,

atau hasil ? Dengan demikian, pada dimensi fundasional hasil penelitian ini

mengimplikasikan perlunya revitalisasi dan fungsionalisasi keseluruhan nilai itu

sebagai landasan filosofis dan konsepsional yang memberi bentuk khas pada

kepemimpinan kepala sekolah, budaya sekolah, dan proses bekerjanya

(43)

Revitalisasi dan fungsionalisasi nilai-nilai hendaknya dipahami sebagai

proses pencarian, pendialogan, dan penyesuaian secara berkelanjutan antara

substansi nilai-nilai dengan konteks dinamisasi manajemen sekolah. Hal ini

sangat penting mengingat pada tingkat konseptual dan praksis akan selalu

terjadi ketegangan antara nilai yang diderivasi dari agama dengan nilai yang

ditumbuhkan oleh perspektif rasionalitas bukan agama.

Kedua, implikasi struktural. Kaji ulang terhadap kebijakan seleksi dan

pengembangan kapasitas kepala sekolah swasta berciri khas Islam sangat

diperlukan terutama untuk menjamin ketepatan dan keterukuran kemampuan

kepala sekolah dalam mengembangkan layanan pendidikan yang sesuai dengan

visi dan orientasi pendidikan sekolah swasta Islam. Kaji ulang kebijakan

seyogianya dilakukan secara komprehensif menyentuh aspek-aspek

perencanaan, prosedur, persyaratan, pembiayaan, dan target-target yang harus

dicapai melalui program pengembangan.

Kebijakan seleksi dan pengembangan kapasitas kepala sekolah tersebut

dimaksudkan terutama untuk mengubah perilaku kepemimpinan kepala

sekolah yang kurang responsif terhadap pembaharuan menjadi kepemimpinan

yang berkesanggupan mentransformasi faktor-faktor potensi strategik sekolah

ke dalam penguatan budaya organisasi sekolah dan kegairahan peningkatan

mutu proses pendidikan di sekolah. Sebagai produk kebijakan seleksi dan

pengembangan kapasitas kepala sekolah, perubahan kemampuan

kepemimpinan kepala sekolah itu harus pula berdampak pada meluasnya

peluang para guru, baik peluang memimpin sekolah maupun kesempatan

(44)

Temuan penelitian ini mengimplikasikan pula perlunya peninjauan

kembali terhadap pola pembinaan kelembagaan sekolah swasta. Sebagai salah

satu instrumen pembinaan, penilaian kinerja sekolah oleh Badan Akreditasi

Sekolah (Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota) cenderung memperlakuan

sekolah swasta tidak berbeda dengan sekolah negeri. Konstruk dan rincian

indikator kinerja sekolah sebagaimana yang dirumuskan oleh Badan Akreditasi

Sekolah, secara konseptual kelihatan memiliki prediktibilitas yang tinggi untuk

mengukur mutu sekolah. Tetapi, karena alat pembuktian untuk masing-masing

indikator itu sebagian terbesar lebih berupa dokumen tertulis, maka ia tidak

mampu menjelaskan proses-proses yang sebenarnya berlangsung di sekolah.

Dengan demikian, formulasi yang lebih akurat dan menyentuh apsek-aspek

substansi kinerja sekolah, merupakan hal yang sangat diperlukan dalam

peninjauan kembali sistem dan instrumen evaluasi kelembagaan sekolah swasta.

Ketiga, implikasi operasional. Komponen sistem dan gugus kinerja sistem

pembelajaran di sekolah swasta berciri khas Islam seperti SMA Al-Irsyad tidak

dapat diasumsikan sebagai kondisi yang linier, dalam arti bahwa semuanya

berada dalam kadar mutu yang sama tinggi. Komponen masukan mentah yang

berupa murid baru (lulusan SMP/MTs), selalu saja berada pada tarap yang

rendah terutama diukur dari nilai ujian akhir sekolah asal mereka. Dalam

kondisi demikian, mutu proses pembelajaranlah yang dapat dijadikan pilihan

strategik perbaikan mutu pendidikan di SMA swasta Islam. Konsekuensi dari

pilihan strategi tersebut ialah perlunya perencanaan layanan pembelajaran yang

(45)

Rasionalitas perencanaan itu dicerminkan misalnya dalam target-target

hasil belajar yang yang harus dicapai, modus layanan belajar dan pemecahan

kesulitan belajar, program-program penguatan kompetensi guru sebagai

pengelola proses pembelajaran. Dengan kata lain, seluruh upaya peningkatan

mutu proses pembelajaran dilakukan by design, bukan asal menjalankan rutinitas

belaka. Umpan balik yang berguna untuk melakukan perbaikan dan

peningkatan, sebaiknya dihimpun melalui evaluasi program secara

berkelanjutan. Evaluasi seperti itu dapat ditempuh melalui berbagai sarana dan

media, di antaranya adalah diskusi dan curah pendapat antarguru secara

terjadwal. Dengan cara demikian, peningkatan mutu proses pembelajaran akan

lebih dipahami sebagai ikhtiar dan tanggung jawab kolektif warga sekolah.

C. SARAN-SARAN

Berdasarkan kesimpulan dan implikasi hasil penelitian ini, selanjutnya

penulis mengajukan saran-saran berikut ini. Pertama, kepada badan

penyelenggara disarankan untuk mempertahankan pola rekrutmen kepala

sekolah yang diberlakukan selama ini, yaitu membuka peluang kepada calon

dari lingkungan internal dan eksternal sekolah. Cara seperti itu memungkinkan

badan penyelenggara lebih leluasa menyeleksi calon kepala sekolah berdasarkan

pertimbangan dan penilaian yang komprehensif. Aspek lain yang seharusnya

mendapat perhatian badan penyelenggara ialah, kesinambungan pembinaan

kepala sekolah. Hampir menjadi tradisi di sekolah-sekolah Al-Irsyad Tegal,

sekali calon kepala sekolah dinyatakan lulus seleksi dan dikukuhkan menjadi

kepala sekolah, selanjutnya kepala sekolah tersebut menerima tanggung jawab

(46)

jawab penuh secara positif memungkinkan kepala sekolah memiliki keleluasaan

berpikir dan bergerak melaksanakan fungsi-fungsi kepemimpinan dan

manajerialnya untuk mengembangkan sekolah yang dipimpinnya.

Meskipun demikian, bukan berarti bahwa pembinaan, terutama

pengawasan dari badan penyelenggara, kemudian diperlonggar. Pengawasan

dalam bidang pengelolaan biaya pendidikan, adalah hal yang tetap penting

untuk dilakukan, mengingat sebagian terbesar biaya itu bersumber dari

masyarakat secara langsung. Bentuk pengawasan biaya pendidikan oleh badan

penyelenggara lebih kepada penyediaan perangkat aturan pengelolaan biaya

pendidikan, dan model pertanggungjawabannya. Sedangkan pelaksanaan

pengawasan sebaiknya diserahkan kepada Komite Sekolah, yang salah satu

fungsinya ialah melaksanakan pengawasan atas pendidikan di sekolah.

Kedua, kepemimpinan kepala sekolah swasta yang berciri khas Islam

seperti SMA Al-Irsyad seyogianya berkomitmen kepada tiga hal, yaitu

menerjemahkan visi pendidikan, mengembangkan budaya sekolah, dan

menginternalisasi semangat perbaikan mutu pendidikan secara berkelanjutan.

Komitmen penerjemahan visi pendidikan hendaknya ditunjukkan dalam

kesediaannya mengkomunikasikan visi kepada seluruh warga sekolah dan

menerapkannya ke dalam pengelolaan layanan serta substansi isi proses

(47)

Komitmen pengelolaan budaya sekolah harus dicairkan dalam

kemampuannya mentransformasi nilai-nilai khas menjadi faktor-faktor

fungsional bagi kohesivitas dan kekuatan budaya sekolah. Sedangkan komitmen

internalisasi semangat perbaikan mutu secara berkelanjutan, seyogianya

ditunjukkan melalui keterampilan konseptual, keterampilan insani,

keterampilan teknikal, dan keterampilan komunikasi kepala sekolah dalam

proses-proses penyelenggaraan rutinitas administrasi sekolah dengan kejelasan

dan keterukuran target pencapaiannya.

Gambar

Tabel                                                                                                                                Halaman
Gambar                                                                                                                          Halaman

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa risiko usaha bank (Non Performing Loan, Loan to Deposit Ratio, Capital Adequacy Ratio, dan Net Interest Margin) berpengaruh

Susan Stainback dalam Sugiyono (2011:244) mmenyatakan bahwa “Analisis data merupakan hal yang kritis dalam proses penelitian kualitatif. Analisis digunakan untuk memahami

Inilah yang menjadi gejala baru dalam fenomena media massa dewasa ini. yakni, pemusatan kepemilikan media atau biasa

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 6 ayat (1) Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 39 Tahun 2013 tentang Penetapan

Untuk pengereman motor induksi satu fasa pada Tugas Akhir ini menggunakan pengereman dinamik (dynamic braking) yang efektif dilakukan dengan cara menginjeksikan arus dari

Tinggi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015.

Siapa yang merekomendasikan saya tentang Grand Keude Kupie Uleekareng.. dan

Pada menu ini terdapat daftar admin yang berhak mengakses menu Administrator seperti ditunjukkan dalam Gambar 4.3.. Gambar 4.3 Halaman