• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: PAPALELE Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon D 902007002 BAB VI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: PAPALELE Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon D 902007002 BAB VI"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

Bab Enam

Awal Mula Menjadi

Papalele

Pengantar

(2)

Motif dan alasan di balik keputusan 18 informan menjadi

papalele, saling berbeda satu sama lain. Kondisi ekonomis keluarga mendominasi alasan menjadi papalele. Sepuluh atau 55,5% informan memutuskan menjadi papalele setelah menikah dan anak mulai bersekolah. Alasan ini disebabkan oleh karena tidak ada pilihan pekerjaan lain untuk penghasilan keluarga. Sementara enam informan atau 33,3% sudah sejak remaja menjadi papalele karena turun-temurun dari orang tua. Artinya keterlibatan mereka tidak dapat dipungkiri bahwa kesejarahan orang tua sebagai papalele, berpengaruh terhadap keputusan mereka menjadi papalele. Satu informan atau 5,5% memutuskan menjadi papalele setelah suami meninggal dunia. Keluarga kehilangan sumber penghasilan, sehingga untuk melanjutkan hidup, papalele menjadi satu-satunya pilihan. Pada sisi lain, informan ini, tidak bisa menafikan bahwa sang ibu juga pernah menjadi papalele. Terakhir, satu informan: papalele laki-laki (5,55%) memutuskan menjadi papalele setelah tidak lagi mendapat pekerjaan. Dia menjadi papalele bersama dengan sang istri. Klasifikasi ini sesungguhnya menyajikan kombinasi antara kebutuhan ekonomi 61% dan latar belakang sejarah orang tua yang pernah menjadi papalele sebesar 39%.

Keputusan menjalani

Papalele

(3)

Sembilan informan memutuskan menjadi papalele setelah menikah dan saat ketika anak mulai bersekolah. Sebelum menikah ‘tante Evie mungkin tidak terlalu merasa memiliki tanggungan yang berat, karena apa yang menjadi keinginan dan kebutuhan secara pribadi masih bergantung pada orang tua. Tidak ada beban dan tanggung jawab yang harus diatasi. Namun ketika memasuki dan memulai rumah tangga, maka perkawinan telah menjadi ikatan tanggung jawab. Saat itu pula mulai dirasa-kan bahwa keluarga memerludirasa-kan perhatian dan harus dinaf-kahi. Perhatian itu merupakan wujud rasa tanggung jawab yang harus dilakukan dan tidak akan mungkin untuk dihindari. Apalagi dengan hadirnya anak dari buah perkawinan semakin menegaskan pentingnya tanggung jawab itu.

Papalele dimulai saat usia 28 tahun dan ketika anak sulung masuk Sekolah Menengah Pertama (SMP). Usia ‘tante

Evie’ sudah menginjak 49 tahun, saat saya mewawancarai beliau1. Menurut-nya tanggal 15 November nanti usianya genap

50 tahun. Tidak banyak perubahan fisik yang nampak di raut wajahnya, terutama bagi perempuan seperti dia yang sudah mencapai usia sekitar itu. Biasanya di usia seperti itu tanda-tanda penuaan sangat nampak pada bagian wajah seperti kulit yang mulai berkeriput atau kondisi fisik tubuh yang terlihat mulai melemah. ‘Tanta Evie’ masih terlihat segar secara fisik layaknya perempuan muda yang masih agresif dalam bekerja. Padahal kini ia telah mempunyai empat orang cucu dari empat orang anaknya. Menurut ‘tanta Evie’ papalele yang dia tekuni sebetulnya masih tergolong baru dimulai sekitar tahun 1980. Sebelum menekuni papalele dia lebih banyak mengurus keluar-ga dan menghabiskan waktu membantu suami mengurus kebun. Karena suaminya petani, maka perawatan hingga memanen hasil kebun selalu dilakukan bersama-sama, termasuk berusaha

(4)

menjual hasil panen kepada tetangga dan sebagian untuk konsumsi keluarga. Setelah anak yang pertama lulus Sekolah Dasar (SD) di Hatalai dan harus masuk Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Ambon, keinginan menjadi papalele semakin menguat di hatinya. Maklum saja anaknya yang akan melanjutkan sekolah harus tinggal di Ambon karena di Hatalai saat itu belum terdapat SMP. Dengan demikian tidak ada pilihan lain kecuali menjadi papalele untuk tambahan penghasilan keluarga.

Desakan kebutuhan biaya hidup merupakan pertimbang-an untuk menjadi papalele. Rupanya pertimbangan ‘tanta Evie’ untuk menjadi papalele dilandasi oleh pertimbangan kebutuhan keluarga yang semakin meningkat. Situasi semakin mendesak tatkala anak-anak mulai membutuhkan biaya ke jenjang sekolah lanjutan setelah selesai di Sekolah Dasar (SD). Bagi ‘tanta Evie’,

papalele bukan sekedar keinginan pribadi, tetapi karena pertimbangan kebutuhan keluarga. Artinya kebutuhan makan, minum, pakaian bagi keluarga harus dicukupi dan pentingnya biaya sekolah bagi anak-anak mutlak harus tetap dipenuhi. Sehingga bagi ‘tanta Evie’ dengan bertambahnya biaya seperti itu, sudah sepatutnya dicari jalan keluar untuk mengatasinya. Desakan kebutuhan inilah yang menjadi dasar memulai

(5)

Gambar 5.

Salah satu papalele (Piso.doc.2008)

Berjualan sebagai seorang papalele terlihat sederhana, namun memerlukan proses belajar. Baik dilakukan secara mandiri ataupun belajar dari orang tua dan dari rekan-rekan. Pada dasarnya semua informan mengakui bahwa mereka menjadi papalele tanpa belajar dan melihat pengalaman dari orang tua atau sesama rekan yang telah lebih duluan menjadi

papalele. Sebagaimana diungkapkan salah satu informan sebagai pengalaman pertama kali memulai papalele.

…beta blajar sandiri sa pa, mo kan orang Hatalae banya papalele, ia artinya beta ajar bajual jua, bajual-bajual lalu ada tamang panggel-panggel, artinya pi par batamang-batamang lalu su jadi par biasa lalu terus ni, ao mulai deng bajual yang didusun punya saja pa”

(6)

saya juga diajak dan kadang teman-teman mengajak dan ditemani berjualan akhirnya menjadi terbiasa hingga saat ini, yang diawali dengan menjual hasil dusun)2.

Pengalaman pertama papalele dimulai dengan menjual hasil kebun sendiri yang dipanen. Pengalaman pertama berusa-ha, tanpa menggunakan modal uang. Hasil kebun adalah modal usaha pertama kali. Bagi tanta Evi, hasil kebun merupakan produk unggulan yang dijadikan sebagai bahan jualan. Berbekal hasil kebun, mereka mencoba mencari tambahan penghasilan sekaligus mengatasi kebutuhan keluarga. Karena itu di antara

papalele pengalaman pertama berusaha berbeda satu dengan yang lain. Ada papalele yang memulai dengan langsung mem-beli dari orang lain; pedagang atau sesama papalele, tetapi ada juga yang mengawalinya dengan menjual hasil dusun sendiri. Cara menjual dengan mengambil buah-buahan dari hasil dusun sendiri merupakan cara ‘tanta Evie’ mengawali papalele. Sebagaimana yang dituturkan berikut ini:

…ao mo mulai tu beta seng bali, ia kalo ada dusun punya katong su pi bajual katong kasih orang borong akang lalu katong bali laeng katong pi jual lae... ia setiap hari katong pi bali di sana di pante Losari

(pada saat pertama kali berjualan saya tidak membeli dari orang lain, buah-buah dari hasil dusun saja yang dijual. Buah itu dijual secara borongan. Setelah buah terjual, saya beli buah yang lain lagi untuk dijual. Setiap hari saya selalu pergi membeli di tepi pantai Losari).

Mulai belajar dari mencari buah-buahan yang bentuk dan kualitasnya baik, melakukan tawar menawar saat membeli, menentukan jumlah kelompok buah yang dijual, hingga saat

(7)

menentukan harga jual. Itulah tahap belajar papalele pertama kali yang dilakukan tanta Evi. Pada awalnya buah yang dijual hanya dari hasil dusun dan kemudian bisa membeli buah yang lain dari pedagang lain untuk dijual. Bagi dia, buah hasil dari dusun sendiri merupakan modal awal untuk membeli buah lain yang bentuk kualitas yang baik. Setiap buah yang dibeli diatur lagi sesuai jumlah tertentu yang dinginkan. Kemudian dijual lagi ke konsumen. Akhirnya terbiasa hingga saat ini. Penga-laman ini disertai kemauan yang kuat dan saling melengkapi sehinga membentuknya menjadi papalele sampai saat ini.

Buah-buahan dari hasil panen dusun yang dimiliki dibawa ke pasar Ambon lalu dijual secara borongan kepada pedagang. Setelah keuntungan dari penjualan buah-buahan diperoleh, ia tidak segera pulang, tetapi ia mencari dan membeli buah-buah lagi untuk selanjutnya dijual kembali.

Umur Memulai

Papalele

(8)

Tabel 1.

Agihan Perbedaan Umur

Umur disaat…(thn) Informan

mulai sekarang

Lamanya

papalele (thn)

Mike’1 30 50 20

Tine’2 22 68 46

Evie’3 28 50 22

Lae’4 24 79 54

Rina’5 35 48 13

Anto’6 24 55 31

Le’7 39 52 13

Ting’8 20 70 50

Bae’9 25 60 35

Emi’10 26 53 27

Habsah’11 20 57 37

Tata’12 40 61 21

Joke’13 38 54 16

Jackia’14 38 53 15

Anci’15 32 58 26

Welly’16 27 61 34

Mien’17 14 52 38

Cum’18 23 55 32

Sumber: Penelitian lapangan; data diolah tahun 2008-2009

(9)

yang harus menghasilkan sesuatu atau pekerjaan. Demikian halnya dengan informan dalam penelitian ini, masa remaja sudah terpakai untuk melaksanakan tanggung jawab mencari penghasilan. ‘Tanta Mien’ (52 tahun) misalnya, satu dari tujuh informan yang di usia remaja sudah harus menjadi papalele

(lihat tabel). Menurutnya, di masa lalu ketika papalele harus ia jalani lebih pada pertimbangan untuk membantu membiayai kedua adiknya yang masih bersekolah. Karena kondisi keuang-an orkeuang-ang tua ykeuang-ang terbatas, sehingga tidak ada pilihkeuang-an lain kecuali harus menjadi papalele. Perjuangan bersama sang ibu, dia lakukan agar kedua saudaranya tetap bisa dibiayai berse-kolah. Jerih payah dari perjuangannya tidak sia-sia, sehingga kedua adiknya bisa menyelesaikan sekolah dan kini telah sukses bekerja di luar daerah; Timika dan Fak-Fak Papua. Setelah kedua adiknya sukses menamatkan pendidikan kini ‘tanta Mien’ tidak lagi menjadi papalele tetapi telah mengalihkan pekerjaan-nya sebagai ‘dukun bayi’ (bidan desa) di Hatalai.

Sepuluh informan mulai menjadi papalele usia produktif. Umur rata-rata informan pada saat pertama kali mulai mene-kuni papalele antara 26-40 tahun (tabel 6). Terlepas dari pertim-bangan dan alasan yang diajukan, seperti alasan ekonomi untuk bekerja tetapi pada dasarnya usia seperti itu memang berada pada posisi ketika seseorang masih mampu bekerja dan sedapat-nya turut menghasilkan sesuatu. Bahwa kemudian informan memiliki tanggung jawab yang harus dilakukan kepada anggota keluarga sesungguhnya merupakan bagian dari tanggung jawab sosial yang diembannya (lihat bab lima).

Bertahan selama 55 tahun menjadi papalele demi untuk keluarga. Perjalanan panjang menjadi papalele lamanya waktu menjadi papalele dari para informan ini terlihat pada informan ‘mama Lae’. Sejak tahun 1954 ia sudah memulai menjalani

(10)

mulai dilakukan, ‘mama Lae’ dalam satu tahun terakhir tepat-nya di tahun 2007 baru saja berhenti menjadi papalele3.

Menu-rut ‘mama Lae’, sebetulnya ia masih ingin tetap menjalani

papalele, tetapi anak-anaknya meminta agar ia berhenti menjadi

papalele. Anak-anaknya telah sukses dengan pekerjaan dan keluarga mereka masing-masing, saatnya ia dan suaminya untuk beristirahat di rumah sambil menikmati sisa hidupnya. Itulah alasan yang dikemukakan anak-anaknya saat keluarga besar mereka berkumpul. Walaupun demikian, meski tidak lagi menjadi papalele, tetapi di Hatalai ‘mama Lae’ masih tetap aktif terlibat dalam kegiatan organisasi keagamaan di lingkungan jemaatnya.

Di antara papalele hanya satu informan yang tergolong baru menjalani pekerjaan ini. Menjadi papalele 13 tahun lalu, tetapi dianggap sebagai orang baru dalam pekerjaan ini. Semua

papalele di Hatalai juga sangat mengakui bahwa ia adalah salah satu orang yang baru saja memulai papalele. Pernyataan itu adalah pengakuan yang disampaikan ‘tanta Rina’. Bagi papalele

di Hatalai, ‘tanta Rina’ memang baru saja memulai papalele. Saat ini umurnya baru 48 tahun, dan mulai menjadi papalele di tahun 1996 saat usianya genap mencapai 35 tahun. Walaupun pada kenyataanya mungkin pula di Hatalai masih ada juga orang yang masih lebih baru menggeluti papalele.

Ketidaksetaraan

Gender

Dalam masyarakat kita, pendidikan formal tidak sebatas kebutuhan, melainkan telah menjadi kewajiban. Namun dalam masyarakat tertentu seperti Hatalai pada tahun-tahun sekitar 1950, pendidikan hanya dipahami sebagai satu identitas sosial yang hanya boleh diakses oleh kaum laki-laki, dan kalangan

(11)

keluarga yang tergolong mapan secara ekonomi, termasuk keluarga-keluarga yang diakui memiliki strata sosial tertentu seperti anggota keluarga raja dan keluarga pejabat pemerintahan saat itu.

Anak laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan ber-beda untuk sekolah. Terdapat tujuh belas informan yang harus meninggalkan bangku sekolah. ‘Mama Ting’, ‘mama Yoke’ dan ‘tanta Rina’, adalah tiga informan dari tujuh belas informan tersebut. Mereka tidak lagi bisa menikmati sekolah dan dengan terpaksa ditinggalkan hanya karena keterbatasan biaya. Orang tua tidak lagi bisa menyediakan biaya sekolah karena penghasil-an mereka ypenghasil-ang spenghasil-angat terbatas. Selain alaspenghasil-an itu, sebetulnya masih terdapat alasan dan pemahaman lain yang masih kuat dalam masyarakat Hatalai bahwa anak laki-laki yang lebih diutamakan untuk mengikuti pendidikan, sementara anak perempuan dibatasi. Pada masa lalu memang di Hatalai anak perempuan masih dianggap tidak memiliki peluang dan ke-mungkinan untuk berkembang dibandingkan dengan anak laki-laki. Pemahaman masyarakat seperti itu yang justru menekan dan membatasi peran serta mereka mendapatkan pendidikan. Pertimbangan orang tua seperti itu yang kemudian harus diterima oleh anak perempuan. Sebagaimana yang terucap dari informan:

…katong ni cuma sampe di skolah rayat (SR) sa; barang dong sandiri seng mau beta skolah lanjut. Kata; ana yang parang-puang tua mau pi kamana la?, padahal nama su tagantung mau pi ujian, kurang 3 hari lai e, la beta mara sampe saat ini su mati sampe di seberang sana beta tetap mara, kalau inga nasib. Beta mara sbab beta pung nasib bagus, mar dong sandiri seng mau”.4

(12)

(kita ini hanya sampai pada Sekolah Rakyat saja; karena orang tua sendiri tidak mau saya bersekolah lanjut. Menurut mereka (orang tua) anak perempuan yang sulung itu mau pergi kemana? Padahal nama saya sudah diumumkan untuk mengikuti ujian, kira-kira kurang tiga hari saja. Akibatnya saya sampai saat ini masih sangat marah, walaupun orang tua sudah meninggal dunia. Kalau mengingat lagi nasib saat itu. Saya marah karena saat itu nasib dan peluang saya sangat baik, tetapi orang tua tidak memberi kesempatan).

Gagal mewujudkan cita-cita melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Alasan ekonomis selalu menjadi yang utama pada setiap keluarga, wajar saja kalau kemudian anak-anak tidak dapat melanjutkan sekolah. Dalam kasus ini, ‘mama Ting’ tidak sendiri mengalami nasib seperti itu, beberapa infor-man yang lain juga harus menerima nasib yang sama. Andai saja mereka bisa melanjutkan sekolah, bukan tidak mungkin keadaan seperti sekarang ini tidak akan terjadi.

(13)

tangga. Pandangan tersebut sangat berbeda dengan anak laki-laki yang diberikan peluang dan kesempatan untuk lebih jauh menikmati pendidikan. Laki-laki di Hatalai menjadi simbol keluarga, yang terwujud melalui tingkat pendidikan yang diperoleh, sehingga laki-laki dianggap mampu mengangkat derajat sosial keluarga di lingkungannya.

Lingkungan sosial budaya yang cenderung kuat memposi-sikan perempuan secara lemah untuk mendapatkan akses pendidikan, tentu memberikan resiko keterbatasan terhadap pandangan yang lebih luas. Tekanan nilai-nilai itu kemudian didukung oleh aspek ekonomis dan latar belakang kehidupan orang tua yang serba terbatas secara ekonomis mengakibatkan anak perempuan serba terbatas mengakses pendidikan dan pekerjaan yang lebih layak.

Kebaya sebagai Pakaian Khas

Papalele

Bagi anak perempuan di Hatalai setelah lulus Sekolah Dasar (SD) dan tidak melanjutkan sekolah wajib menggunakan kebaya. Anak perempuan di Hatalai yang melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi seperti Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) diperlakukan ber-beda dengan anak perempuan yang hanya Sekolah Dasar (SD). Pembeda perlakuan ini pada pakaian yang dikenakan, blus dan rok bagi mereka yang melanjutkan sekolah, kebaya bagi mereka yang tidak melanjutkan sekolah.

Penggunaan kebaya menjadi kewajiban dan tradisi masya-rakat setempat. Orang tua telah menjustifikasi anak perempuan yang tidak lagi dapat melanjutkan sekolah harus berkebaya, seperti halnya kebaya yang dikenakan ‘mama Welly’5 (61

(14)

tahun). Menurutnya sejak dulu di bawah tahun 1950, setiap anak yang tidak mendapat kesempatan bersekolah, diwajibkan mengenakan kebaya. Saat itu orang tua selalu beranggapan bahwa anak perempuan hanya bisa tinggal dan menetap di rumah. Tamat Sekolah Dasar hanya bisa dicapai ‘mama Welly’ di usia 12 tahun. Masih menurut ‘mama Welly’, setelah selesai Sekolah Dasar, sekitar dua sampai tiga tahun hanya bisa ber-main menghabiskan waktu. Saat usia sudah mencapai 15 tahun orang tua mewajibkan ia memakai kebaya, sebagai prasyarat untuk mulai memikul bakul untuk berjualan.

Hal yang sama juga ditegaskan oleh ‘mama Bae’6(60

tahun) sebagai berikut:

…beta mulai pake kabaya dari mulai Getsasi tahun 1965 la 1968 beta sidi, pake kabaya seng pake sandal. Mo mama yang suru te, barang waktu itu, nona-nona yg seng skolah tarus tu pake kabaya. ..katong pake kabaya tu voor pi bajual atau kalau umpama mau jadi ibu rumah tangga, pake kaeng deng kabaya, tapi yang skolah tu pake baju deng spatu. Mama antua su seng mau beta skolah tu, la pi bajual te...

(saya mulai memakai kebaya saat mulai mengikuti Katekisasi7 tahun 1965, kemudian tahun 1968 saya di

Tabiskan sebagai anggota Sidi Gereja. Biasanya kalau memakai kebaya tidak menggunakan sandal; kaki tanpa alas. Kebaya ini disuruh oleh ibu, karena pada waktu itu, anak perempuan (nona-nona) yang tidak bersekolah lagi

6 Wawancara tanggal 23 April 2009

7 Katekisasi adalah pendidikan Formal Gerejawi di lingkup Gereja Protestan

(15)

harus memakai kebaya. Pakai kebaya menurut ibu, untuk pergi berjualan atau kalau saatnya akan menjadi ibu rumah tangga. Sementara yang masih sekolah pakai baju dan sepatu. Karena ibu tidak mau saya bersekolah, akhirnya harus berjualan).

Kebaya menjadi identitas dan ciri papalele. Uraian di atas sesungguhnya lebih menekankan penggunaan kebaya karena alasan akses pendidikan bagi anak-anak perempuan. Pada sisi lain kebaya menjadi penegasan untuk perempuan yang menjadi

papalele di pasar. Bentuk dari pekerjaan yang harus ditekuni karena tidak lagi ada kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan lain yang lebih baik. Mungkin akan timbul pertanyaan lain berkenaan dengan anak perempuan yang tidak sekolah lanjut tetapi telah mengenakan pakaian biasa misalnya blus dan rok?. Kasus seperti ini terjadi pada salah satu informan ‘mama Yoke’ yang sempat bersekolah sampai kelas dua di Sekolah Menengah Pertama (SMP). Karena kesempatan sekolah itu, dia telah terbiasa mengenakan baju. Rupanya kebaya telah menjadi ciri dari papalele sebagaimana yang dikemukakannya seperti berikut:

Kasus:

‘Mama Yoke’ mulai melakoni papalele sekitar 17 tahun lalu. Pertimbangan ekonomis menjadi alasannya karena sang suami telah meninggal dunia di tahun 1993 bersa-maan dengan itu anak nomor dua mulai masuk Sekolah Menengah Atas di Ambon. Dia sendiri hanya bisa me-nempuh pendidikan sampai di kelas dua SMP dengan alasan yang sama; ekonomi orang tua. Ayahnya hanya pekerja bangunan dan ibu hanya papalele.

(16)

pengecualian. Orang tua tidak mewajibkan ia mengena-kan kebaya, mengingat ia sempat melanjutmengena-kan sekolah. Hingga saat ia mulai kawin dan berumah tangga pun ia tidak mengenakan kebaya.

Setelah kawin hingga suami meninggal ia akhirnya memutuskan menjadi papalele. Mengingat keluarga dan anak-anak harus tetap nifakahi. Papalele menjadi kepu-tusan dan tekadnya serta ketersediaan hasil di dusun yang juga banyak. Setelah memutuskan menjalani papalele, ia sempat berpikir apakah tetap memakai baju atau kebaya. Dari kedua pertanyaan itu akhirnya ia memutuskan untuk mengenakan kebaya. Menurut ‘Mama Yoke’ kalau harus ke pasar papalele dengan memakai baju terasa rasa aneh. Baginya sebagai orang desa rasa-rasanya dengan memakai baju tidaklah cocok untuk berjualan. Terlebih lagi kalau harus keku (memikul di kepala) bakul sangat tidak sesuai.

Kebaya adalah pakaian yang sangat cocok untuk ber-jualan. Ia pun sempat bertanya kepada sang ibu tentang pakaian yang akan dikenakan. Ibunya tidak mewajibkan dan memaksa untuk menggunakan kabaya. Akhirnya sejak menjadi papalele, kebaya baru ia kenakan, itu pun terbatas untuk papalele. Menurut ‘Mama Yoke’ penggu-naan kebaya lebih dekat dengan papalele. Kebaya hanya digunakan dan dipakai kalau akan berjualan. Sementara kegiatan rutin di rumah dan kegiatan lainnya, ia tetap menggunakan pakaian biasa.

Pengetahuan Berdagang: Bisnis Turun-temurun

(17)

ini tidak pasti, tetapi cukup untuk membiayai kebutuhan rutin keluarga. Tujuh informan ternyata belajar papalele dari orang tua (ibu) dan telah temurun. Karena sifatnya yang turun-temurun sejak orang tua sebelumnya, maka dapat dikatakan sebagai keluarga papalele. Secara umum papalele terus melembaga namun tidak terbentuk secara formal. Proses pelem-bagaan ini sangat mungkin dipengaruhi oleh lingkungan keluar-ga, dan ajakan orang tua. Berikut penuturan salah satu infor-man:

…beta inging sandiri to, barang katong biking apa di rumah, dong jual katong lia, supaya dapa pengalaman, katong tar karja katong mau dapa uang dar mana, antua su seng mau beta skolah tu, la pi bajual, antua biasa tandeng-tandeng jualan la katong lia, kalau musing buah katong buah paling banyak… dusun banya, durian banya, langsa banya, manggustang banya-banya, hala sampe karong-karong ka seng keku bawa, cuma beta lia la beta iko sandiri… katong tandeng… kalau durian deng manggustang tu katong jalan ronda…. nanti besok ada lai, jadi musti jalan ronda, tanya-tanya di rumah-rumah orang Cina8. –

(saya berkeinginan sendiri, karena dirumah mau mengerjakan apa. Mereka jual kita melihat dan belajar supaya bisa mendapat pengalaman, apalagi kita tidak bekerja mau mendapatkan uang dari mana. Orang tua tidak mau saya bersekolah, lalu pergi berjualan saja. Ibu biasanya menetap (‘tandeng’) lalu kita melihat. Karena dusun/kebun banyak yang menghasilkan buah, duren, langsat, manggis hasilnya harus dipikul hingga berkarung-karung, terkadang juga harus ‘keku’ (menjun-jung di kepala). Semua itu cuma dari pengalaman melihat sendiri, kemudian kita ‘tendeng’. Khusus untuk buah manggis atau duren harus ‘baronda’, karena buah masih tersedia banyak. Sehingga harus ‘baronda’ ke rumah orang-orang Cina (Tionghoa)).

(18)

Pengalaman yang serupa juga dikemukakan oleh Lae Parera9 (79 tahun) yang memiliki pengalaman yang sama sejak

berusia muda.

…jadi sewaktu muda itu lai beta pung mama mencari di pasar par kasih piara katong ana 11, lalu beta kaweng itu lalu langsung papalele te kira-kira umur 24 taong lai su papalele iko dari beta mama. jadi kalo macam seng musim buah-buah beta harus papalele. ...lalu antua ajar beta tuh, antua ajar cuma katong lia antua biking toh.... seng carita lai tu e, sampe di Ambon bali jualan bale jual.... tar ajar hitong... tar ajar lai... jadi antua bajual bagini, lalu harus papalele jadi papalele tarus sah. Beta pi pasar bali buah-buah tu…jadi maksud beta antua papalele par piara katong... sakarang dari antua lalu beta papalele te.... papalele toh, kalo seng ada musim buah-buah. kalo musim buah-buah beta jual katong pung sandiri, jadi seng bali lai, tapi kalo seng ada musim beta musti pi di Ambon bali jualan....bali langsa dari orang Hative itu bali karong-karong.... dolo itu kan pante pasar ..itu turun dalam air masing, par dong sandar deng parao pake semang tuh baru angka ka dara….... la kalo bali salak dari orang Amahusu, buah basar tawar kalo akang jatuh harga tawar bagini...lansa-lansa dari Hative tuh...saratus barapa sah... bali karong-karong... bali ribu-ribu... jadi sampe beta su kaweng lama baru antua mati.

(sewaktu saya masih berusia muda, ibu saya bekerja; papalele untuk memelihara dan memberi hidup untuk kita sebelas bersaudara. Saya kawin dan langsung menja-di papalele kira-kira umur 24 tahun, mengikuti ibu. Pada saat tidak musim buah, saya harus papalele. Lalu ibu mengajarkan saya, tapi hanya dengan mengikuti dan melihat tanpa mengajari melalui cerita atau mengajari cara menghitung. Menuju ke Ambon membeli dan lalu menjual lagi. Akhirnya saya papalele seterusnya. Bisanya kalau musim buah dari dusun/kebun, saya menjualnya

(19)

tanpa harus membeli lagi. Tetapi kalau tidak musim, saya harus ke Ambon untuk mencari dan membeli buah. Biasanya kami membeli dalam jumlah yang banyak, berkarung-karung di penjual salak dari Amahusu atau buah langsat negeri Hative. Saya menjalani papalele cukup lama bersama ibu, lalu beberapa waktu kemudian Ia meninggal dunia).

Kepedulian orang tua karena anak tidak memiliki peker-jaan. Pada saat orang tua mengajak anaknya untuk turut serta menjadi papalele, sesungguhnya memiliki pertimbangan khusus. Mungkin saja mereka sangat menyadari bahwa anak mereka tidak lagi bisa bekerja di bidang formal karena pendidikan yang terbatas. Ajakan mereka merupakan bentuk tanggung jawab yang mulai dialihkan dengan harapan bahwa dalam keterbatasan anak-anaknya mereka tetap bisa memiliki penghasilan untuk menghidupi keluarga kelak. Apa yang dilakukan ‘mama Tine’ dan ’mama Lae’, adalah satu-satunya pilihan, karena mereka pun menyadari bahwa hidup masa depan harus terus diperjuangkan, baik sebelum dan sesudah memiliki keluarga.

Proses Adaptasi Menjadi

Papalele

Papalele secara turun-temurun tidak hanya sebatas pada ikatan keluarga inti, tetapi berpengaruh pula pada keluarga besar. Sub tema sebelumnya menegaskan tentang proses

(20)

tersebut bisa saja terjadi dalam keluarga yang lebih besar. Termasuk mereka yang kawin dan menyatu dan menjadi bagian dari keluarga itu.

Empat informan adalah pendatang yang berasal dari desa lain kemudian kawin dan menjadi papalele. Mama Le, Mike, Anto dan Rina, adalah empat informan yang bukan orang yang terlahir dan dibesarkan di Hatalai. Mereka berempat berasal dari desa berbeda dan kawin lalu menetap menjadi orang Hatalai. Mama Le berasal dari desa Naku yang berjarak sekitar enam kilometer dari Hatalai. Mike berasal dari desa Kilang yang bisa ditempuh dalam jarak sekitar tiga hingga empat kilometer dari Hatalai. Dua desa tersebut masih satu kecamatan dengan Hatalai. Mama Anto berasal dari dusun Tuni desa Urimessing yang paling dekat dengan Hatalai dan berjarak hanya sekitar dua kilometer. Walaupun jarak desa ini sangat dekat dengan Hatalai tetapi berbeda wilayah kecamatan yakni Kecamatan Sirimau. Sementara tanta Rina berasal dari dusun seri Desa Airlow di Kecamatan Nusaniwe. Jarak antara Hatalai dengan dusun ini diperkirakan bisa mencapai 26 kilometer atau lebih yang jika ditempuh dengan menggunakan kendaraan angkutan umum harus dua kali berganti jalur trayek kendaraan.

(21)

asalnya yang pada umumnya saat itu tidak ada yang menjadi

papalele. Walaupun kemudian dalam perkembangannya di desa tersebut sudah banyak ditemui papalele di sana, sebagaimana diungkapkan10;

…dari rumah bujang seng ada papalele, beta itu seng tahu, katong samua seng, cuma sampe di sini (Hatalae) baru terbiasa disini. Seng la barang di rumah di Kilang tu toh...katong orang Kilang tuh toh...dolo-dolo seng tahu papalele, mo blakangan ini baru ada, su banya lae, tapi di Hatalae seng, mo orang sini dong dari dolo paskali su papalele tuh.

(…dari rumah kami semasa bujang tidak ada yang menjadi papalele, bahkan saya sendiri tidak tahu cara papalele. Kita semua sekeluarga tidak papalele, hanya ketika tiba di sini (Hatalai) baru terbiasa menjadi papalele. Karena rumah bujang di Kilang, kita orang negeri Kilang itu sejak dulu tidak pernah papalele. Baru pada tahun belakangan ini sudah ada yang papalele. Sebaliknya bagi orang-orang di negeri Hatalai ini sudah sejak dahulu menjadi papalele).

Menyatu dengan suami serta keluarganya dan menjadi

papalele. Karena menikah tanta Mike harus mengikuti suami dan menetap di Hatalai. Sebagai anggota keluarga besar dari sang suami, ia harus sedapat mungkin menyesuaikan diri dengan keluarga suami. Sebelum kawin sebagai orang bujangan yang tidak memiliki pekerjaan tetap, waktu lebih banyak hanya dihabiskan di rumah membantu pekejaan orang tua. Sejak menikah dan mengikuti suami kebiasaan masa mudanya pun hilang karena tanggung jawab sebagai istri mendampingi suami. Ia sendiri saat itu tidak bekerja mengingat pendidikan hanya sampai Sekolah Dasar. Pendidikan rendah seperti itu sulit untuk

(22)

mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Karena itu pilihan menjadi papalele mungkin merupakan cara terbaik untuk membantu suami mencari tambahan penghasilan. Kebetulan saja saat ibu mertunya juga adalah papalele. Setiap hari mertua-nya selalu harus pergi papalele mencari penghasilan guna membiayai kehidupan yang masih ditanggung oleh sang mertua. Keadaan demikian membuat dia merasa tidak nyaman sehingga ia pun berusaha agar beban berkurang dan jalan keluarnya adalah menjadi papalele bersama mertua.

Mulai mendalami dan belajar menjadi papalele dari ibu mertua. Pertama kali saat menjadi papalele, tanta Mike mengi-kuti sang mertua dengan membawa hasil kebun keluarga sendiri ketika musim buah tiba. Mengingat dusun dan kebun milik suami mempunyai banyak tanaman buah dan hasil panen juga banyak. Aneka buah seperti manggis, duren, dan salak selalu dibawa untuk dijual ke pasar. Tidak hanya menjual hasil kebun milik sendiri tetapi manakala buah hasil kebun telah habis terjual, dia membeli buah dari orang lain lalu dijual lagi. Keadaan itu terus berlangsung sebagaimana yang disampaikan-nya:11

…seng, ini dong pung Oma ni, mulai-mulai iko antua dong toh, biasa tuh deng hasil sendiri dolo, mo kalo musim hasil, musim duriang, manggustang, kalo punya sandiri, bawa jual sandiri… iya kalo buah dusung su abis disini bagitu, seng ada buah lai la mulai iko-iko orang Hatalae toh, bali-bali, bali baru bale jual..lalu terbiasa-terbiasa, mo bali di pasar-pasar sa, dari orang apa saja.

(Neneknya anak-anak papalele, awalnya belajar ikut Nenek, dengan membawa dan menjual hasil kebun sendiri, biasanya kalau musim buah duren manggis. Saat hasil kebun sudah habis dan tidak ada lagi di Hatalai,

(23)

saya mulai mengikuti teman-teman membeli buah di pedagang pasar kemudian menjual lagi dan akhirnya terbiasa hingga saat ini).

Papalele

: Profesi Tanpa Batas Umur

Masih produktif papalele di usia yang sudah semakin tidak lagi produktif. Ukuran kerja seseorang dalam menghasil-kan sesuatu sering dilihat dari umur yang mungkin saja mencer-minkan kemampuan menghasilkan sesuatu. Di saat umur sese-orang telah mencapai 60 tahun ke atas mungkin telah dianggap sebagai golongan usia yang tidak lagi bisa bekerja untuk meng-hasilkan sesuatu. Walaupun kadang-kadang pada pekerjaan tertentu usia 60 tahun ke atas masih berkesempatan bekerja, tetapi pekerjaan papalele mungkin masih bisa kita maklumi saat di usia seperti ini mereka masih tetap bekerja. Alasan dan motif terhadap usia yang terus bertambah bagi mereka yang masih menjadi papalele ternyata juga berbeda. Salah satu di antara alasan itu adalah fisik yang dianggap masih bisa bekerja dan perasaan kejiwaan yang telah menyatu dengan pekerjaan ini.

(24)

seperti yang disampaikan ‘mama Welly12’ 61 tahun: ‘sampe beta

ni ada badang tar sadap; saki jua mar beta ada pigi ni, seng pi tambah saki, mo dari pada katong tinggal dudu di rumah mo labe bae pi jua (walaupun saya sementara kondisi badan tidak terasa enak; sakit, tetap saja pergi papalele, kalau tidak pergi semakin tambah sakit, karena itu dari pada hanya di rumah saja duduk lebih baik pergi papalele).

Dukungan Keluarga Menjadi

Papalele

Kesediaan dan mendukung istri menjadi papalele. Sikap permisif suami terhadap pekerjaan istri karena sebagian waktu dihabiskan di luar rumah tidak bisa dianggap hal biasa. Suami sebagai pimpinan keluarga memberikan kesempatan kepada istri mencari penghasilan tambahan bagi keluarga yang didasari oleh pertimbangan bahwa penghasilannya tidak mencukupi. Kesedian tersebut harus diikuti pula dengan kesediaan suami mengatur dan mengurusi keluarga. Mengingat masih kuatnya pemahaman dalam masyarakat bahwa laki-laki sebagai kepala keluarga adalah pemberi dan pencari nafkah sementara perem-puan sebagai ibu rumah tangga yang tugasnya mengatur segala urusan dalam keluarga.

Saling berkomunikasi dan meminta persetujuan menjadi kunci untuk saling mendukung. Wajar saja kalau suami dan istri ketika akan memutuskan sesuatu selalu terjadi komunikasi di antara keduanya. Dapat dibayangkan seandainya komunikasi tersebut tidak terjadi maka bukan tidak mungkin akan muncul masalah dalam keluarga. Apalagi ditambah dengan penghasilan rutin yang diperoleh perempuan setiap waktu selalu ada dan bahkan lebih dari yang dicari laki-laki. Maka secara psikologis, sang suami akan merasa tersaingi bahkan bisa menimbulkan

(25)

pertengakaran yang bisa berakibat pada hal yang tidak diingin-kan. Untuk menghindarinya maka harus ada pembicaraan dan saling mendukung di antara keduanya sebagaimana dituturkan oleh ‘mama Le13’:

…katong bicara la paitua seng kabaratang mar antua dorong pa, antua bilang karena dasar gaji akang kacil, la dia tanya to kalo se bisa bajual ka seng? gampang sa, padahal katong kalo di Naku-Kilang malu kalo bajual bagini-samua malu kalo bajual-bajual bagini. Tapi karena dukong dari paitua sandiri tolong bisa ka seng, supaya gaji tu katong bisa biking apa kah, apakah, bagitu pa...la beta jua setuju akang, deng tarnyata bajual ni enak lai”.

(kami berdua saling berdiskusi kemudian suami tidak keberatan, malahan turut mendorong. Suami mengata-kan karena kondisi dasar gaji yang kecil, maka beliau bertanya dan meminta kesediaan saya untuk berjualan seperti ini. Bagi saya itu mudah saja, padahal ketika kita masih di negeri Naku sangat merasa malu kalau berjual-an. Negeri Naku-Kilang semua orang pasti malu. Tetapi dukungan penuh suami saya setuju. Ini agar penghasilan dari gaji bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan lain dan ternyata papalele itu enak).

Proses komunikasi menjadi andalan yang terbangun di antara suami dan istri, bahkan dari pernyataan ini terkesan bahwa tawaran itu muncul dari pihak laki-laki sebagai kepala keluarga. Pengakuan dan keterbukaan karena penghasilan yang terbatas menjadi keprihatinan bersama, sehingga diperlukan jalan keluar untuk mengatasi masalah tersebut. Kesetujuan dan kesediaan menerima dukungan juga menjadi dasar bahwa masalah keluarga harus ditanggung bersama. Bahkan budaya ‘malu’ yang selama ini kuat melekat pada sang istri ketika masih

(26)

bujangan di desa sendiri harus ditinggalkan. Kesepakatan keduanya tidak hanya terbatas pada kesediaan berjualan saja, tetapi juga kesediaan menerima tanggung jawab yang sama untuk keluarga.

Kesimpulan

Secara umum dalam bab ini terlihat secara jelas dua alasan utama informan menjadi papalele. Alasan pertama berkaitan dengan meningkatnya kebutuhan keluarga sebagai akibat dari kesepakatan informan memasuki rumah tangga dan hadirnya anak dengan kebutuhan yang semakin meningkat. Alasan kedua yang tidak kalah penting adalah keikutsertaan informan men-jadi papalele karena aspek sejarah dari orang tua yang sebe-lumnya telah menjadi papalele.

Kedua alasan tersebut, merupakan bagian dari strategi rumah tangga untuk pemenuhan kebutuan hidup (livelihood strategy). Sebagai orang desa, keterbatasan mendapat pekerjaan yang lebih baik sangat terbatas, karena tingkat pendidikan rata-rata informan hanya tamatan Sekolah Dasar (SD). Bagi infor-man menjadi papalele, dan bekerja keras mencari penghasilan, kebutuhan hidup keluarga yang serba terbatas dapat terpenuhi. Dari delapan belas informan, hanya satu di antara mereka yang pada akhirnya keluar dari pekerjaan ini. Alasan keluar dari pekerjaan papalele karena kedua adiknya telah menamatkan pendidikan. Pekerjaan baru yang ditekuni adalah sebagai dukun bayi (biang bayi). Dengan demikian secara keseluruhan nam-paknya dapat dipahami bahwa menjadi papalele adalah peker-jaan pokok para informan.

(27)

busana dan peralatan jualan yang masih tradisional dan apa adanya. Busana ‘kebaya’ telah menjadi simbol bagi para infor-man sebagai akibat ketidak-setaraan gender dalam masyarakat ketika itu. Ketidak-setaraan gender nampak pada kesempatan pendidikan hanya diprioritaskan bagi anak laki-laki. Sehingga anak perempuan dengan terpaksa harus menerima keberadaan mereka dalam status sosial yang terpinggirkan. Papalele adalah mata pencaharian—pekerjaan pokok sebagai satu-satunya pilih-an bekerja.

(28)

Gambar

Tabel 1. Agihan Perbedaan Umur

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan pati resisten pada mi gandum utuh dan menentukan kadar gizi pada mi, meliputi kadar air, kadar abu, lemak, protein

Tujuan utama penelitian ini adalah menentukan pengaruh tepung gandum utuh varietas DWR-162 terhadap daya cerna pati biskuit.. Nilai tersebut memenuhi syarat mutu

Sehubungan dengan hal tersebut, Perpustakaan Umum Kabupaten Karanganyar sebagai penyedia informasi dituntut untuk memenuhi kebutuhan pemakai dengan

Pengelolaan sumber • Perencanaan, pemantauan, dan pengendalian sistem pendukung dan pelayanan sumber.. Pengelolaan

c. Daftar Upah dan Harea Bahan Adafl)dc<:,.da Ada/Tidelcdda Adaffi,M 4 Surat Kuasa Bila Diperlukan Ada/Tidak Ada Ada/Tidak Ada Ada/Tidak Ada 5 Surat

Mata bor helix kecil ( Low helix drills ) : mata bor dengan sudut helix lebih kecil dari ukuran normal berguna untuk mencegah pahat bor terangkat ke atas

Disemprotkan ( Jet Application of Fluid ), pada proses pendinginan dengan cara ini cairan pendingin disemprotkan langsung ke daerah pemotongan (pertemuan antara

[r]