• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Cognitive Behavioral Therapy Terhadap Kadar Serotonin, Skor Depresi dan Kualitas Hidup Pasien Kanker Serviks JURNAL. JURNAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Cognitive Behavioral Therapy Terhadap Kadar Serotonin, Skor Depresi dan Kualitas Hidup Pasien Kanker Serviks JURNAL. JURNAL"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

1

“ PENGARUH COGNITIVE BEHAVIORAL THERAPY TERHADAP KADAR SEROTONIN, SKOR DEPRESI DAN KUALITAS HIDUP

PASIEN KANKER SERVIKS”

Muhamad Nasrudin, Supriyadi Hari Respati, Soetrisno. Departemen Obstetri dan Ginekologi

Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

ABSTRAK

Latar Belakang : Kanker serviks merupakan kanker pada serviks yang

disebabkan oleh infeksi human papilloma virus (HPV). Penderita kanker serviks khususnya stadium lanjut akan mengalami stres emosional yang dapat berlanjut ke arah depresi.

Tujuan : menganalisis pengaruh cognitive behavioral therapy terhadap kadar

serotonin, skor depresi dan kualitas hidup pasien kanker serviks stadium lanjut.

Metode Penelitian : experimental quasi pre post test design, variabel bebas

pasien kanker serviks stadium lanjut yang mendapat cognitive behavioral therapy dan variabel terikat kadar serotonin, skor depresi dan skor kualitas hidup.

Hasil : 15 subyek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi

dilakukan intervensi cognitive behavioral therapy dan dinilai kadar serotonin, skor depresi dan skor kualitas hidup sebelum dan sesudah terapi. Dari uji T didapatkan kadar serotonin dan skor kualitas hidup lebih tinggi sesudah terapi masing-masing (89.57±23.23 dan 219.43±33.42), (41.86±7.24 dan 85.13±14.62), skor depresi lebih rendah sesudah terapi (17.00±4.86 dan 11.20±4.94) yang secara statistik bermakna, p < 0,05.

Kesimpulan : Terdapat pengaruh cognitive behavioural therapy terhadap kadar serotonin, skor depresi dan skor kualitas hidup pada pasien kanker serviks dan secara statistik bermakna.

(2)

commit to user

"THE EFFECT OF COGNITIVE BEHAVIORAL THERAPY ON THE LEVEL OF SEROTONIN, SCORES OF DEPRESSION AND QUALITY OF

LIFE OF CERVICAL CANCER PATIENTS "

Muhamad Nasrudin. Supriyadi Hari Respati, Soetrisno. Obstetric and Gynaecology Departement

Faculty of Medicine Sebelas Maret University Surakarta

ABSTRACT

Background: Cervical cancer is cancer of the cervix caused by infection with

human papilloma virus (HPV). Patients with advanced-stage cervical cancer in particular will experience emotional stress that can go towards depression.

Objective: to analyze the effect of cognitive behavioral therapy on levels of

serotonin, depression scores and quality of life of patients with advanced cervical cancer.

Methods: This quasi experimental pre-post test design, the independent variable

of advanced cervical cancer patients who received cognitive behavioral therapy and the dependent variable levels of serotonin, depression scores and quality of life scores.

Results: 15 research subjects who meet the inclusion and exclusion criteria for

intervention cognitive behavioral therapy and graded levels of serotonin, depression scores and quality of life scores before and after treatment. From the T test found levels of serotonin and score higher quality of life after treatment respectively (89.57 ± 23:23 and 219.43 ± 33.42), (41.86 ± 7:24 and 85.13 ± 14.62), depression scores lower after therapy (17:00 ± 4.86 and 11:20 ± 4.94), with p <0.05.

Conclusion: There is the effect of cognitive behavioral therapy on levels of

serotonin, depression scores and quality of life scores in patients with cervical cancer and statistically significant.

(3)

commit to user Pendahuluan

Kanker serviks merupakan penyakit ganas pada serviks yang disebabkan oleh

infeksi human papilloma virus (HPV) group onkogenik resiko tinggi terutama

HPV 16 dan 18 serta filogeniknya. Lebih dari 95% kanker serviks adalah tipe

epithelial yang terdiri atas jenis karsinoma sel skuamosa dan adenokarsinoma

(Himpunan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 2013).

Kanker serviks menempati peringkat kedua teratas menurut World Health

Organization (WHO) yang menyebabkan kematian pada perempuan di dunia.

Setiap tahun terdapat 7,7 kasus per 100.000 wanita pertahun. Jumlah kematian

berkisar 2,3 per 100.000 wanita pertahun (National Cancer Institute, 2012).

Menurut International Agency for Research on Cancer (IARC) kanker serviks

merupakan kanker terbanyak di Indonesia yaitu sekitar 34,4 % dari seluruh

kejadian kanker. Sekitar 70% mengalami stadium lanjut dengan survival rate yang

rendah. Setiap tahun didapatkan 15.000 kasus baru dengan 8.000 kematian

(International Agency for Research on Cancer, 2005).

Di Indonesia kanker serviks merupakan jenis kanker paling banyak

menyerang wanita usia produktif. Pada usia 30-50 tahun perempuan yang sudah

kontak seksual akan berisiko tinggi terkena kanker serviks. Pasien dengan

diagnosis kanker serviks stadium lanjut masih mendominasi angka-angka tersebut

dikarenakan keterlambatan dalam diagnosis maupun keterlambatan pasien

mendatangi pusat-pusat pelayanan kesehatan yang ada. Hal tersebut terjadi

mengingat status sosial ekonomi yang rendah, derajat pendidikan yang rendah,

keterbatasan sarana dan prasarana serta sumber daya yang ada (Prawirohardjo,

2010).

Kanker serviks disebabkan oleh infeksi Human Papilloma Virus (HPV)

grup Onkogenik Risiko Tinggi, terutama HPV 16 dan 18 (Himpunan

Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 2013). Infeksi HPV merupakan infeksi

yang sangat penting pada perjalanan penyakit kanker serviks. Infeksi HPV

terdeteksi pada 99,7% kanker leher rahim. Onkoprotein E6 dan E7 yang

(4)

commit to user

Karsinogenesis bermula ketika DNA HPV tipe resiko tinggi kanker

berintegrasi dengan genom sel leher rahim yang menyebabkan terjadinya

mutasi (Tiro, 2007). HPV termasuk golongan parvovirus yang merupakan

virus DNA yang dapat memicu terjadinya perubahan genetik. HPV

berukuran kecil dengan diameter 55 nm, genomnya terbentuk oleh dua

rantai (double stranded) DNA yang dibentuk oleh kurang lebih 8000 bp.

Dari banyak tipe HPV, tipe 16 dan 18 mempunyai peranan yang sangat

penting melalui sekuensi gen E6 dan E7 dengan mengkode pembentukan

protein-protein yang penting dalam replikasi DNA (Prawiroharjo, 2010).

Terdapat beberapa faktor resiko antara lain (Rasjidi, 2009) :

- Usia muda dan multipartner seksual. Wanita dengan partner seksual yang

banyak dan wanita yang memulai hubungan seksual pada usia muda akan

meningkatkan risiko terkena kanker serviks. Karena sel kolumnar serviks lebih

peka terhadap metaplasia selama usia dewasa maka wanita yang berhubungan

seksual sebelum usia 18 tahun akan berisiko terkena kanker serviks lima kali

lipat. Keduanya, baik usia saat pertama berhubungan maupun jumlah partner

seksual adalah faktor risiko kuat untuk terjadinya kanker serviks.

- Usia > 35 tahun memiliki risiko tinggi terhadap kanker leher rahim. Pada usia

lanjut berhubungan dengan lamanya waktu pemaparan terhadap karsinogen

serta makin melemahnya sistem kekebalan tubuh akibat usia.

- Wanita yang merokok. Saat ini terdapat data yang mendukung bahwa rokok

sebagai penyebab kanker serviks dan hubungan antara merokok dengan kanker

sel skuamosa pada serviks (bukan adenoskuamosa atau adenokarsinoma).

Mekanisme kerja bisa langsung (aktivitas mutasi mukus serviks telah

ditunjukkan pada perokok) atau melalui efek imunosupresif dari merokok.

Bahan karsinogenik spesifik dari tembakau dapat dijumpai dalam lendir dari

mulut rahim pada wanita perokok. Bahan karsinogenik ini dapat merusak DNA

sel epitel skuamosa dan bersama infeksi HPV dapat mencetuskan transformasi

(5)

commit to user

- Riwayat penyakit kelamin seperti kutil genitalia. Virus HPV merupakan

penyebab utama terjadinya kanker leher rahim sehingga wanita yang

mempunyai riwayat penyakit kelamin beresiko terkena kanker leher rahim.

- Paritas (jumlah kelahiran). Semakin sering melahirkan, maka akan berdampak

pada seringnya terjadi perlukaan di organ reproduksinya yang akhirnya

dampak dari luka tersebut akan memudahkan timbulnya infeksi human

papilloma virus (HPV) sebagai penyebab terjadinya penyakit kanker leher

rahim.

- Penggunaan kontrasepsi oral dalam jangka waktu lama. Efek penggunaan

kontrasepsi oral terhadap resiko kanker leher rahim masih kontroversional.

Pada stadium awal sebagian besar mengeluhkan keputihan berulang dan

berbau serta bercampur darah, menstruasi lebih banyak dari biasanya. Pendarahan

pasca coitus yang berlanjut menjadi metroragia, menoragia, dan menometroragia

(ACOG, 2015). Pada stadium lanjut, sel kanker menginvasi ke parametrium dan

jaringan di rongga pelvis. Hal ini dapat menimbulkan gejala perdarahan spontan

dan nyeri panggul yang dapat menjalar ke pinggul dan paha. Beberapa pasien

mengeluh nyeri berkemih, hematuria, dan perdarahan dari anus. Metastasis ke

kelejar getah bening inguinal dapat menimbulkan edema tungkai bawah. Invasi

dan metastasis juga dapat menimbulkan penyumbatan ureter distal yang

mengakibatkan gejala uremia (HOGI, 2013).

Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan histopatologi. Pada

anamnesis akan didapatkan beberapa gejala diatas. Pemeriksaan fisik meliputi

inspeksi, palpasi. Untuk pemeriksaan penunjang meliputi sistoskopi, rektoskopi,

IVP, foto thorak, USG, CT Scan dan MRI. Untuk kecurigaan metastase ke

kandung kemih dan rektum akan dilanjutkan dengan pemeriksaan sistoskopi dan

rektoskopi. Bila didapatkan pembesaran kelenjar getah bening inguinal atau

supraklavikula dapat dilakukan FNAB. Histopatologi didapatkan dari biopsi atau

(6)

commit to user

Penetapan stadium dilakukan dengan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan

penunjang.

Stadium 0 karsinoma insitu, karsinoma intraepithelial

Stadium I karsinoma masih terbatas di serviks

Stadium I A invasi kanker ke stroma hanya dapat dikenali secara

mikroskopik, kedalamam invasi kurang dari 5 mm

dan penyebaran horizontal maksimal kurang dari 7

mm

Stadium I A1 invasi ke stroma dengan kedalaman invasi kurang

dari 3 mm

Stadium I A2 invasi ke stroma dengan kedalaman invasi 3-5 mm

Stadium I B lesi lokal lanjut namun terbatas pada serviks

Stadium I B1 batas lesi secara klinis tidak lebih dari 4 cm

Stadium I B2 batas lesi secara klinis lebih dari 4 cm

Stadium II lesi keluar melewati uterus namun belum mencapai

dinding pelvis atau mencapai 2/3 proximal vagina

Stadium II A telah melibatkan vagina tetapi belum melibatkan

parametrium

Stadium II A1 lesi yang tampak kurang atau sama dengan 4 cm

Stadium II A2 lesi yang tampak lebih dari 4 cm

Stadium II B infiltrasi ke parametrium tetapi belum mencapai

dinding panggul

(7)

commit to user

mencapai 1/3 bawah vagina dan atau menyebabkan

hidronefrosis / kerusakan ginjal

Stadium III A tumor mencapai 1/3 distal dinding vagina namun

belum mencapai dinding panggul

Stadium III B penyebaran sampai dinding panggul dan atau

terdapat hidronefrosis dan kerusakan ginjal

Stadium IV A penyebaran ke organ sekitar

Stadium IV B penyebaran jauh

Terapi Kanker Serviks berdasarkan kriteria FIGO 2012 (Himpunan

Onkologi dan Ginekologi Indonesia, 2013).

Stadium

0 / karsinoma insitu

Konisasi (cold and hot knife).

Bila margin free, konisasi sudah adekuat pada yang

masih memerlukan fertilitas. Bila tidak free margin

re-konisasi.

Bila fertilitas tidak diperlukan, histerektomi total.

Bila hasil konisasi ternyata invasif, terapi sesuai

tatalaksana kanker invasif.

Stadium I A1

(LVSI Negatif)

Konisasi (cold knife) bila free margin (terapi

adekuat) apabila fertilitas dipertahankan.

Bila tidak free margin dilakukan rekonisasi atau

simple histerektomi. Histerektomi total apabila

fertilitas tidak dipertahankan.

Stadium I A1

(LVSI Positif)

Operatif

Trakhelektomi radikal dan limfadenektomi pelvik

apabila fertilitas dipertahankan.

(8)

commit to user

kontraindikasi medik dapat dilakukan radiasi.

Stadium I A2

II A1, I B1

Pilihan :

1.Operatif

Histerektomi radikal dengan limfadenektomi

pelvik.

Radioterapi (RT) / Kemoradiasi ajuvan kalau

terdapat faktor risiko yaitu metastasis KGB,

metastasis parametrium, batas sayatan tidak bebas

tumor, deep stromal invasion, LVSI dan faktor

resiko lainnya.

Apabila hanya metastasis KGB saja, radiasi

ajduvan hanya EBRT.

Bila tepi sayatan tidak bebas tumor / closed

margin, pasca radiasi eksterna dilanjutkan dengan

brakiterapi ovoid 2x10Gy.

2.Non-Operatif

Radiasi (EBRT dan brakiterapi).

Kemoradiasi (Radiasi : EBRT ditambah

kemoterapi konkuren dan brakiterapi).

Stadium I B2 dan II A2 Pilihan :

1.Neoajuvan Kemoterapi (tiga seri) dilanjutkan

radikal histerektomi dan pelvik limfadenektomi.

IB-2 dan IIA-2 yang direncanakan operasi tanpa

kontraindikasi dilakukan kemoterapi neoajuvan

terlebih dahulu dan dilakukan nilai ulang paska

kemoterapi neoajuvan untuk operabilitasnya.

2.Operatif histerektomi radikal dan pelvik

limfadenektomi.

Pemberian radioterapi (RT) / kemoradiasi ajuvan

(9)

commit to user

KGB, metastasis parametrium, batas sayatan,

tidak bebas tumor, deep stromal invasion, LVSI

dan faktor resiko lainnya.

Pasien yang menolak operasi  radiasi/

kemoradiasi definitif.

Radiasi atau kemoradiasi dengan Cisplatin

mingguan atau kemoradiasi Cisplatin-Ifosfamide

3 mingguan.

Stadium IIB Pilihan :

1.Neoajuvan Kemoterapi (tiga seri) dilanjutkan

radikal histerektomi dan pelvik limfadenektomi.

2. Radiasi atau kemoradiasi.

Stadium

IIIA-IIIB

Kemoradiasi, kemoterapi dan radiasi.

Catatan : Bila terdapat obstruksi ureter dilakukan

pemasangan DJ stent/nefrostomi dan hemodialisa.

Stadium IV A Radiasi dan atau kemoradiasi mingguan / 3

mingguan,

radiasi 4000cGY.

Respon (+) : Radiasi Eksterna dilanjutkan sampai 50

Gy ditambah BT 2x850cGy / 3x700cGy.

Respon (-) : Terapi dihentikan.

Catatan : Bila terdapat obstruksi ureter dilakukan

pemasangan DJ stent / Nefrostomi dan hemodialisa.

Stadium IV B Terapi Paliatif (radiasi pelvik / kemoterapi dapat

dipertimbangkan).

1.Tumor Primer dilakukan evaluasi keluhan dan

gejala.

2. Metastasis jauh

(10)

commit to user Nutrisi

Spiritual

Pendidikan keluarga

Catatan :

Bila terdapat obstruksi ureter dilakukan pemasangan

DJ stent / Nefrostomi dan hemodialisa.

Bila terdapat efusi pleura dilakukan pungsi atau

pemasangan WSD.

Bila terdapat ascites dilakukan pungsi ascites.

3 konsep istilah stres yaitu (Koolhaas, 2011) :

1) Konsep engineering

Stres merupakan karakteristik suatu lingkungan yang merusak atau

mengancam sehingga individu yang hidup dalam lingkungan tersebut akan

sakit. Istilah stres dalam konsep engineering ini yang dimaksud adalah stres

yang timbul sebagai jawaban terhadap lingkungan yang merusak atau

mengancam.

2) Konsep psikologis

Stres merupakan kondisi psikologis sebagai hasil interaksi antara individu

dan lingkungan hidupnya, dengan melibatkan proses kognitif dan emosional.

Konsep ini diilustrasikan sebagai kondisi psikologis seseorang mempunyai

tautan yang melebihi kemampuannya. Berdasarkan konsep ini stres

merupakan reaksi seseorang terhadap stressor.

3) Konsep medikofisiologis

Stres merupakan respon biologis individu terhadap stressor, yang dapat

(11)

commit to user

Konsep stres inilah yang dimaksud dalam paradigma psikoneuroimunologi.

Kehidupan penuh dengan stres yaitu stres akut (short term) dan stres kronis (long

term) (Soetrisno, 2009). Stres akut adalah reaksi yang segera terhadap ancaman

yang diketahui sebagai fight or fight. Ancaman (stressor) terdapat dalam berbagai

situasi misalnya kegaduhan dan bising.

Ada beberapa macam stressor yaitu:

1. Stressor fisik adalah stimulus fisik yang dapat menimbulkan stres misalnya:

trauma, operasi, kelelahan fisik, pemakaian obat kemoterapi dalam waktu yang

lama.

2. Stressor psikologis adalah suatu rangsangan psikologis yang dapat

menimbulkan stres pada pasien kanker serviks stadium lanjut misalnya :

ketakutan akan kematian, tidak percaya diri, kekhawatiran terhadap hasil

pemeriksaan.

3. Stressor sosial adalah stimulasi sosial yang dapat menimbulkan stres pada

pasien kanker serviks stadium lanjut seperti biaya pengobatan yang tinggi,

pendidikan yang rendah, isolasi sosial, gangguan komunikasi dengan pasangan

dan anak-anaknya.

Beberapa studi sudah banyak membuktikan bahwa stressor berkaitan dengan

disregulasi dari sistem imun. Khususnya penurunan proliferasi limfosit dan

pengurangan Natural Killer (NK) cell. NK-cell memiliki peranan yang penting

pada fungsi imun, termasuk mekanisme pertahanan pada infeksi virus dan sel

tumor. NK-cell berkurang pada keadaan stres melalui mekanisme neuroendokrin.

Sitokin termasuk interferon-ɣ dan interleukin-2 akan menghambat NK-cell dan

Limfosit Activated Killer (LAK). Stres memodulasi penambahan interferon-ɣ dan

interleukin-2 pade leukosit darah perifer. Penambahan dari interferon-ɣ dan

inteleukin-2 menyebabkan NK-cell, makrofag, sitokin menurun (IL 12, Tumor

Necrosing Factor/TNF, Interferon/IFN ), IL 10, Tumor Growth Factor/TGF 

meningkat. Mekanisme ini menyebabkan supresi imun sehingga menyebabkan

kemungkinan metastasis berkembang dan resiko terjadi infeksi meningkat

(12)

commit to user

Depresi adalah suasana hati yang buruk dan berlangsung selama kurun waktu

tertentu. Patofisiologi gangguan depresi mayor (Major Depressive

Disorders/MDD) belum jelas diketahui.

Etiologi gangguan depresi mayor :

Tidak ada penyebab tunggal dari gangguan depresi mayor. Terdapat tiga model

penjelasan etiologi depresi (PDSKJI, 2013) :

- Model biopsikososial (the biopsychosocial model)

Penyebab depresi terjadi interkoneksi dan interdependent dari faktor

biologis, psikologis, dan sosial. Model ini dapat efektif memprediksi

terjadinya keparahan dan kronisitas depresi dan memberi informasi subtipe

berdasar biopsikososial.

- Teori dari sistem (teori of system)

Terjadi karena kerentanan atau predisposisi untuk terjadi

ketidakseimbangan antara aktivasi dan inhibisi kepada beberapa fungsi

kognitif dan emosi dan antara beberapa kelompok neuron tertentu.

- Model diathesis stres (the diathesis stress model)

Menjelaskan tentang penyebab potensial depresi dan derajat kerentanan

individu untuk bereaksi terhadap penyebaran tersebut. Model ini

menjelaskan bahwa individu mempunyai kerentanan atau predisposisi

untuk menjadi depresi. Untuk menjadi gangguan depresi seseorang perlu

mempunyai kecenderungan bawaan untuk menjadi depresi dan harus

bertindak dengan kejadian kehidupan yang stres baik yang bersifat sosial,

psikologis, atau biologis.

Kriteria diagnostik gangguan depresi mayor

Kriteria diagnosis gangguan depresi mayor menurut DSM V adalah

sebagai berikut.

Lima atau lebih dari gejala di bawah ini sudah ada bersama-sama selama dua

(13)

commit to user

- Mood depresi sepanjang hari, hampir setiap hari, yang ditunjukkan oleh

laporan subyektif (misalnya perasaan sedih, kosong, tidak ada harapan)

atau observasi orang lain (misalnya terlihat menangis).

- Secara nyata terdapat penurunan minat atas seluruh atau hampir seluruh

rasa senang, aktivitas harian, hampir setiap hari.

- Kehilangan atau peningkatan berat badan yang nyata tanpa usaha khusus

atau penurunan dan peningkatan nafsu makan yang terjadi hampir setiap

hari.

- Sulit tidur atau tidur berlebih hampir setiap hari.

- Agitasi atau retardasi psikomotor hampir setiap hari.

- Kelelahan atau kehilangan energi hampir setiap hari.

- Perasaan tidak berguna atau rasa bersalah yang mencolok.

- Penurunan kemampuan untuk berfikir atau konsentrasi atau penuh

keraguan hampir setiap hari.

- Pikiran berulang tentang kematian, pikiran berulang tentang ide bunuh diri

dengan atau tanpa rencana yang jelas atau ada usaha bunuh diri atau

rencana melakukan bunuh diri yang jelas.

CBT adalah bentuk psikoterapi yang menekankan pentingnya peran

pikiran dalam bagaimana kita merasa dan apa yang akan kita lakukan. Istilah ”Cognitive Behavioral Therapy (CBT)” merupakan istilah yang sangat luas untuk kelompok terapi yang sejenis. Ada beberapa pendekatan terhadap CBT,

meliputi Rational Emotive Behaviour Therapy, Rational Living Therapy,

Cognitive Therapy, dan Dialectic Behavior Therapy (NACBT, 2008). Proses

kognitif merupakan faktor penentu bagi pikiran, perasaan dan perbuatan

(perilaku). Semua kejadian yang dialami berlaku sebagai stimulus yang dapat

dipersepsi secara positif (rasional) maupun negatif (irrasional) (Sudiyanto,

(14)

commit to user

Prinsip Dasar Cognitive Behavioral Therapy adalah (Martin et al, 2003) :

 Kognisi merupakan proses yang memperantarai dalam proses belajar

manusia.

 Pikiran, perasaan dan tingkah laku saling berhubungan secara kausal aktivitas kognitif seperti expectation, self statement, merupakan hal yang penting

dalam memahami dan memprediksikan psikopatologi dan perubahan terapi.

 Proses kognitif dapat diinterpretasikan ke dalam paradigma perilaku dan teknik kognitif dapat dikombinasikan dengan prosedur perilaku.

 Terapis bekerjasama dengan klien untuk menilai perilaku dan proses kognisi yang terganggu dan merencanakan pengalaman belajar baru untuk

memperbaiki kognisi, perilaku dan pola afektif.

Tujuan utama dalam teknik Cognitive Behavioral Therapy (CBT) adalah (Martin

et al, 2003) :

1. Membangkitkan pikiran-pikiran negatif/berbahaya, dialog internal atau

bicara sendiri (self-talk), dan interpretasi terhadap kejadian kejadian yang

dialami. Pikiran-pikiran negatif tersebut muncul secara otomatis, sering

diluar kesadaran pasien, apabila menghadapi situasi stres atau mengingat

kejadian penting masa lalu. Distorsi kognitif tersebut perilaku maladaptif

yang menambah berat masalahnya.

2. Terapis bersama klien mengumpulkan bukti yang mendukung atau

menyanggah interpretasi yang telah diambil. Oleh karena pikiran otomatis

sering didasarkan atas kesalahan logika, maka program CBT diarahkan

untuk membantu pasien mengenali dan mengubah distorsi kognitif. Pasien

dilatih mengenali pikirannya, dan mendorong untuk menggunakan

keterampilan, menginterpretasikan secara lebih rasional terhadap struktur

kognitif yang maladaptif.

3. Menyusun desain eksperimen (pekerjaan rumah) untuk menguji validitas

interpretasi dan menjaring data tambahan untuk diskusi di dalam proses

(15)

commit to user Teknik dalam CBT adalah (Martin et al, 2003) :

1. Cognitive Restructuring Methods :

Konsep dasar Cognitive Restructuring Methods yaitu untuk membantu

klien mengidentifikasi pikiran-pikiran buruknya, kemudian

menggantinya dengan pikiran-pikiran yang lebih rasional dan realistis.

Ada dua jenis Cognitive Restructuring Methods :

a. Ellis ‘s Rational-Emotive (Behavior) Therapy

- Masalah emosi berasal dari pernyataan irrasional ketika

menghadapi kejadian yang tidak sesuai dengan harapannya.

- Mengajarkan klien mengubah pikiran irrasional menjadi pikiran

rasional yang lebih positif dan realistis.

- Menantang pikiran irrasional dengan memberikan interpretasi

rasional terhadap kejadian buruk yang menimpa klien.

- Memberikan tugas rumah.

b. Beck’s Cognitive Therapy

- Gangguan emosi karena adanya disfungsi berpikir (dichotomous

thinking, overgeneralization, magnification)

- Mengidentifikasi disfungsi berpikir dan asumsi maladaptif yang

menjelaskan emosi yang tidak menyenangkan.

- Menetralisir disfungsi berpikir→ testing realitas

- Memberikan tugas rumah

2. Self Instructional Coping Methods

Konsep Self Instructional Coping Methods yaitu mengganti pikiran

negatif menjadi positif. Self instruction → untuk mengubah perilaku

Langkah-langkah dalam Self Instructional Coping Methods :

- Mengidentifikasi stimulus yang menyebabkan stres → negative self

(16)

commit to user

- Melalui modelling atau behaviour rehearsal → klien belajar self-talk

untuk menetralisir negative self statement ketika situasi yang

menimbulkan stres muncul.

- Mengajarkan klien self instruction (misalnya menarik napas

panjang).

- Mengajarkan klien self reinforcing setelah berhasil menguasai

situasi.

3. Problem – Solving Methods

Asumsi dasar problem solving mengandung proses perilaku, baik

overt (tampak), atau kognitif yang menyediakan berbagai alternatif

respon efektif untuk menyelesaikan situasi problematis, dan

meningkatkan kemungkinan memilih respon-respon yang paling efektif

dari berbagai alternatif tersebut.

Indikasi Cognitive Behavioral Therapy meliputi:

1. Skizofrenia

2. Depresi

Saat ini CBT telah diterapkan secara umum diseluruh dunia, dalam

pelayanan kesehatan pemerintah maupun swasta, terutama di Amerika

Serikat, Kanada, Inggris, Australia dan Eropa Utara. Untuk CBT, depresi

bisa dilakukan tanpa kombinasi dengan obat ataupun dengan kombinasi

(CARMHA, 2007).

3. Gangguan Bipolar

CBT untuk gangguan bipolar dilaporkan pertama kali tahun 1990,

dimana didapatkan bukti bahwa CBT dapat mengurangi kejadian

kekambuhan. Kemudian diikuti dengan banyak penelitian lain yang telah

membuktikan keefektifan CBT sehingga penggunaannya untuk gangguan

bipolar semakin meluas (CARMHA, 2007).

4. Gangguan Kecemasan

Meliputi gangguan obsesif kompulsif, agorafobia, fobia spesifik,

(17)

commit to user

menjadi terapi psikologis pilihan untuk jenis gangguan ini. Berkurangnya

keparahan gejala dan berkurangnya jumlah obat yang dibutuhkan pada

waktu selanjutnya telah dibuktikan melalui program individual dari CBT

dan penerapan relaksasi (CARMHA, 2007).

5. CBT juga telah terbukti efektif dalam penelitian-penelitian untuk

gangguan makan, kecanduan, hipokondriasis, disfungsi seksual,

pengendalian kemarahan, gangguan pengendalian impuls, perilaku

antisosial, kecemburuan, pemulihan pelecehan seksual, gangguan

kepribadian, tambahan pada masalah kesehatan kronis, kecacatan fisik,

atau gangguan mental, penatalaksanaan stres umum, gangguan

kepribadian pada anak dan remaja, masalah hubungan pribadi dan

keluarga (Frogatt, 2006).

Terdapat hubungan antara stres dan imunitas tubuh pada beberapa penelitian

yang telah dilakukan sebelumnya pada pasien kanker. Tekanan psikologis yang

dapat mengganggu kemampuan memperbaiki DNA seluler yang rusak pada sel

kanker dan hambatan pada proses apoptosis. Diagnosis serta penatalaksanaan

kanker serviks stadium lanjut dalam jangka waktu yang panjang merupakan

stressor akut dan kronis tersendiri yang bisa berakibat pada penurunan kualitas

hidup penderita. Hal tersebut akan mempengaruhi regulasi neuroimun yang

mempromosikan proses inflamasi yang berperan pada gejala dan proses

metastasis. Stres yang berkepanjangan yang disertai dengan afek negatif dan

gangguan kehidupan sosial akan berpengaruh pada perubahan perilaku (Suzanne,

2004).

Serotonin (5-hydroxytryptamine, 5-HT) adalah hormon/senyawa kimia yang

berfungsi sebagai neurotransmitter dari satu bagian otak ke bagian otak lain.

Serotonin berperan aktif dalam mengirim pesan emosional, mengatur perilaku dan

respon psikologis terhadap stressor lingkungan dan telah lama terlibat dalam

patofisiologi terjadinya depresi. Faktor yang memiliki peran penting terjadinya

(18)

commit to user

SERT), bertanggung jawab untuk reuptake serotonin dari ruang ekstraselular ke

dalam neuron presinaptik, dan berfungsi sebagai tombol pengatur sinyal

serotonergik. Serotonin (5-hydroxytryptamine, 5-HT) disintesis dineuron-neuron

serotonergis dalam sistem saraf pusat. Hormon ini dipercaya sebagai pemberi

perasaan nyaman dan senang (Maximino, 2012).

Sebagai neurotransmitter, lebih dari 40 juta aktivitas sel otak baik secara

langsung atau tidak langsung dipengaruhi oleh serotonin. Serotonin

didistribusikan secara luas, sehingga mempengaruhi keadaan psikologis dan

mempengaruhi beberapa fungsi tubuh seseorang. Fungsi serotonin di dalam otak

adalah mempengaruhi mood/perasaan seseorang, mempengaruhi keinginan/hasrat

seseorang terhadap aktivitas, memunculkan rangsang lapar, mengantuk, mengatur

suhu tubuh dan berperan penting dalam aktivitas memori dan proses pembelajaran

(Maximino, 2012).

Serotonin juga mempengaruhi fungsi sistem kardiovaskuler dan sistem

endokrin. Serotonin diproduksi dalam neuron presinaptik secara hidroksilasi dan

dekarboksilasi dari L-triptopan. Serotonin kemudian masuk ke dalam vesikel,

yang akan disimpan sampai diperlukan untuk neurotransmisi. Setelah adanya

stimulasi axon, serotonin dilepaskan menuju intrasinaptik, reseptor serotonin

presinaptik berfungsi untuk menghambat exositosis vesikel. Serotonin berikatan

dengan reseptor postsinaptik untuk memberikan efek neurotransmisi. Mekanisme

reuptake mengembalikan serotonin ke dalam sitoplasma neuron presinaptik yang

kemudian disimpan di vesikel. Serotonin dimetabolisme oleh monoamino

oksidase sub type A (MAO-A) menjadi asam hidroksi indol asetik yang

diekskresikan melalui urin (Holmes, 2014).

Sistem serotonin berperan dalam patofisiologi gangguan stres seperti

kecemasan dan depresi. Modulasi serotonergik dari respon akut terhadap stres dan

adaptasi terhadap stres kronis dimediasi oleh berbagai molekul mengendalikan

pengembangan serotonin neuron, sintesis, penyimpanan vesikular monoamina

transporter, sekresi pada presinaptik dan postsynaptic reseptor, reuptake dan

(19)

commit to user

Serotonin berasal dari dorsal dan median raphe nukleus yang terletak di otak

tengah. Saat terjadi paparan stres, aktivitas serotonin meningkat terbukti dengan

meningkatnya ekspresi gen di dorsal raphe nukleus. Banyak literatur juga

menunjukkan bahwa konsentrasi cairan ekstraseluler serotonin meningkat di

kedua dorsal raphe nukleus dan target kortikolimbik sistem serotonin, termasuk

mPFC, amigdala dan hippocampus (Jasinka, 2012).

Sekresi serotonin terjadi akibat adanya stres dan akan dibawa dari ruang

ekstraselular oleh serotonin transporter (SERT). SERT memiliki peran penting

dalam menentukan besarnya dan durasi aktivitas serotonin pada reseptor

presinaptik dan postsinaptik. SERT memiliki peran penting ekstrasinaptik dalam

mengatur kadar serotonin transmisi. Terdapat bukti bahwa kadar SERT dalam

mPFC dan amigdala menurun pada pasien yang mengalami depresi. Perubahan

kadar SERT reuptake merupakan mekanisme penting dimana sistem serotonin

dapat mengatur jumlah serotonin sinaptik yang ditimbulkan oleh stres (Stephen,

2008).

Serotonin dibersihkan dari ruang ekstraselular oleh SERT reuptake dan

kembali ke sel dan mengalami deaminasi oksidatif menjadi inert metabolit oleh

enzim monoamine oxidase A (MAO-A) di mitokondria. Kadar MAO-A

ditentukan oleh ketersediaan serotonin (Holmes, 2014).

World Health Organization (WHO) tahun 2002 telah mengembangkan

sebuah instrumen untuk mengukur kualitas hidup seseorang yaitu WHO Quality

of Life-BREF (WHOQOL-BREF) (WHO, 2012). WHOQOL-BREF terdiri dari

empat domain yaitu fisik, psikologik, sosial dan lingkungan. Definisi kualitas

hidup menurut WHO (1991) adalah persepsi individu terhadap posisinya dalam

kehidupan sesuai dengan sistem budaya dan nilai-nilai tempat mereka hidup

dalam kaitannya dengan kepentingannya, tujuan hidupnya, harapannya dan

standar yang ingin dicapainya. Quality of Life (QoL) atau konsep dasar kualitas

hidup merupakan subyektivitas pasien dalam hal penghargaan diri terhadap

kepuasan pribadinya (Oktavianus et al, 2007). Ini menunjukkan bahwa nilai yang

subyektif tersebut berfungsi untuk membandingkan harapan pribadi yang

(20)

commit to user

et al, 2003). Kualitas hidup pada dasarnya bersifat istimewa pada masing-masing

individu. Kualitas hidup ini dapat mencerminkan perspektif biopsikososial pasien

terhadap penyakit mereka dan juga berhubungan secara paralel terhadap intervensi

multidisiplin yang dilakukan dalam sebuah pengobatan (Burckhardt et al, 2003).

Sejumlah penelitian membuktikan bahwa ada beberapa faktor yang

mempengaruhi kualitas hidup seseorang, yaitu umur, jenis kelamin, beratnya

psikopatologi, efek samping obat, respon subjektif pasien terhadap obat dan

penyesuaian psikososial pasien. Pengukuran kualitas hidup telah digunakan dalam

penelitian kesehatan untuk mengidentifikasi kebutuhan pasien, memfasilitasi

perencanaan suatu program, serta memonitoring kemajuan klinis dan hasil

pengobatan (Tempier et al, 2001).

Hal yang penting adalah, penilaian kualitas hidup juga merefleksikan perhatian yang lebih serius pada definisi kesehatan menurut WHO (1948) : “Suatu keadaan fisik, mental dan kesejahteraan sosial yang bukan hanya terbebas dari adanya penyakit”. Penilaian kualitas hidup memberikan suatu langkah ke depan untuk mencapai tujuan tersebut (WHOQOL Group 1994). Kuesioner kualitas

hidup versi singkat 100 atau yang lebih dikenal sebagai

WHOQOL-BREF yang terdiri dari 4 domain. Kuesioner versi Indonesia ini, telah diuji

validitas dan realibilitasnya (WHO, 2012). Dari hasil analisis diskriminan skor

domain WHOQOL-BREF menunjukkan nilai koefisien fungsi diskriminan sebagai

berikut:

Z = 0,61 (D1) – 0,143 (D2) + 0,01 (D3) – 0,164 (D4)

Sehingga dapat dicari fungsi group centroid sebagai berikut:

1,107 – 0,264 = 0,4215 2

(21)

commit to user

Tingkat kualitas hidup diukur berdasarkan skor WHOQOL-BREF :

1. Buruk : skor 0-53

2. Baik : skor 54-130

Masih ada anggapan bahwa kemoterapi mempunyai risiko sampai terjadinya

suatu kematian, sehingga menimbulkan kecemasan. Keadaan seperti ini bisa

menimbulkan suatu respon tubuh berupa stres yang berlebihan. Stres sebelum

pengobatan dengan kemoterapi sampai saat ini menjadi fokus utama, mengingat

dampak negatif dari adanya respon tubuh tersebut. Peran dari CBT pada

pengobatan pasien dengan kanker serviks stadium lanjut, diharapkan dapat

menurunkan tingkat stres pada pasien yang akan menjalani pengobatan. Hal

tersebut sangat berdampak positif karena memberikan ketenangan sehingga dapat

menurunkan tingkat stres pada pasien dengan kanker serviks stadium lanjut.

Psikoterapi merupakan salah satu modalitas terapi yang dapat diandalkan

dalam tatalaksana pasien kanker serviks stadium lanjut. Psikoterapi dilakukan

dengan percakapan dan observasi. Percakapan dengan seseorang dapat mengubah

pandangan, keyakinan serta perilakunya secara mendalam. Pada kebanyakan

wanita yang didiagnosis dengan kanker serviks dapat menyebabkan stres yang

luar biasa yang dapat menimbulkan depresi, kecemasan, kebingungan, kemarahan

dan perasaan bersalah. American Cancer Society telah mengidentifikasi empat

faktor yang dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien dengan kanker dan

keluarganya, yaitu faktor sosial, psikologis, fisik, dan spiritual. Diagnosis dan

pengobatan kanker dapat mengakibatkan gangguan kualitas hidup termasuk fisik,

psikologi dan sosial. Aspek psikososial meliputi perubahan pola hidup, ketakutan

serta ketidaknyamanan psikososial. Ketidaknyamanan psikososial termasuk

kecemasan, kemarahan, perasaan bersalah, dan depresi. Hal-hal tersebut dapat

menetap dan berubah seiring waktu tergantung dari tingkat keparahan penyakit

(22)

commit to user

Anggapan bahwa kanker merupakan penyakit yang mematikan

menyebabkan rasa takut yang mengakibatkan pasien mengalami stres

berkepanjangan yang akhirnya menjadi depresi. Keluarga juga sering

memandang demikian sehingga mereka mengisolasi pasien kanker. Karena

banyak orang yang beranggapan bahwa pasien kanker tidak layak untuk

dipekerjakan sehingga sulit bagi individu dengan riwayat kanker untuk

kembali bekerja atau untuk bekerja mencari pekerjaan baru. Persepsi pasien

tentang penyakitnya dan stigma keluarga tersebut dapat menyebabkan

depresi pada pasien kanker serviks. Menurut teori CBT bahwa pengalaman

seseorang menyebabkan depresi dengan aktifnya skema yang maladaptif.

CBT sebagai psikoterapi yang berfokus pada masalah, dirancang untuk

mengurangi gejala dan membina keyakinan bahwa seseorang memiliki

kontrol atas pikiran, keyakinan, sikap dan keterampilan untuk membantu

pasien selama pengobatan kanker. Hasil penelitian dengan evaluasi jangka

panjang menunjukkan bahwa efek positif CBT khususnya untuk klien post

kanker bertahan sampai beberapa tahun setelah pemberian terapi (campbell,

2012).

Dengan pemberian psikoterapi yang menerapkan sistematika terpadu,

bermaksud mengembangkan dan memanfaatkan kemampuan pasien agar

dapat berpikir benar dan tepat, sehingga pasien menjadi mahir dalam

memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapinya (problem-solving) juga

diharapkan dapat mengganti tingkah laku yang terlalu kompulsif dan

emosional dengan tingkah laku yang bercorak lebih konstruktif serta mampu

mengembangkan nilai-nilai dan sikap-sikap yang lebih selaras, lebih mampu

mandiri dan bertindak secara lebih dewasa sehingga pasien dapat beradaptasi

secara sosial di masyarakat. Dengan demikian pasien mampu menjalankan

peran sosialnya dengan lebih baik sehingga terjadi peningkatan dalam

(23)

commit to user

Pasien Kanker Serviks Stadium Lanjut

Stres Biologis Stres Psikologis Stres Sosial

Depresi

Cognitive Behavioral Therapy (CBT)

Aktivitas VMPFC Aktivitas amygdala

Aktivitas amygdala Aktivitas VMPFC

Aktivitas DRVL

Aktivitas DRVL Kadar 5-HT Transporter

Kadar 5-HT Transporter Aktivitas DRD

Aktivitas DRD

Aktivitas DRV

Aktivitas DRV Sekresi Serotonin

Kadar Serotonin N /

Kualitas Hidup Skor BDI

[image:23.595.94.560.77.784.2]

Skor BDI Kualitas Hidup

Gambar 1. Kerangka konsep

Keterangan : VMPFC : ventromedial prefrontal cortex DRVL : Dorsal Raphe ventrolateral DRD : Dorsal raphe dorsal

(24)

commit to user KETERANGAN :

Pasien kanker serviks stadium lanjut, sangat berpotensi mengalami stres baik

stres psikologis, stres biologis serta stres sosial. Stressor yang terjadi dapat

menimbulkan depresi melalui beberapa mekanisme. Sinyal kognitif persepsi stres

berjalan ke otak melewati jalur sensorik, auditorik dan visual, mencapai thalamus,

kemudian ke korteks sensoris dan terus berlanjut ke korteks transisional untuk

proses kontrol kognitif. Setelah proses di korteks selesai, selanjutnya sinyal

tersebut diproyeksikan ke hipokampus untuk disimpan sebagai memori, selain itu

sinyal tersebut juga diproyeksikan ke amigdala, ventromedial prefrontal korteks.

Selanjutnya VMPFC dan amigdala akan menginduksi interaksi dorsal raphe.

Rangsangan terhadap dorsal raphe nukleus ventrolateral menyebabkan aktivitas

DRVL meningkat menyebabkan inhibisi sekresi serotonin oleh dorsal raphe

dorsal (DRD) dan dorsal raphe ventral (DRV). DRVL juga menyebabkan sekresi

serotonin transporter meningkat sehingga reuptake serotonin ekstrasellular

meningkat menyebabkan menurunnya kadar serotonin.

Akibat menurunnya kadar serotonin terjadi inhibisi sistem imun berupa

menurunnya aktivitas NK sel, sel T dan sitokin proinflamasi menyebabkan

meningkatnya proses apoptosis, angiogenesis dan perkembangan serta metastasis

sel tumor yang berdampak terhadap meningkatnya kejadian rekurensi, mortalitas

dan komorbiditas akibatnya harapan hidup menjadi menurun sehingga skor BDI

meningkat dan kualitas hidup menurun. Sebaliknya jika diberikan intervensi

dengan CBT diharapkan terjadi peningkatan kadar serotonin yang mengaktivasi

sistem imun berupa meningkatnya aktivitas NK sel, sel T dan sitokin proinflamasi

menyebabkan menurunnya proses apoptosis, angiogenesis dan perkembangan

serta metastasis sel tumor yang berdampak terhadap menurunnya kejadian

rekurensi, mortalitas dan komorbiditas akibatnya harapan hidup menjadi

(25)

commit to user Hipotesis

1. Terdapat pengaruh intervensi psikoterapi Cognitive Behavioral Therapy (CBT)

terhadap peningkatan kadar serotonin pasien kanker serviks stadium lanjut.

2. Terdapat pengaruh intervensi psikoterapi Cognitive Behavioral Therapy (CBT)

terhadap penurunan skor BDI pasien kanker serviks stadium lanjut.

3. Terdapat pengaruh intervensi psikoterapi Cognitive Behavioral Therapy (CBT)

(26)

commit to user Metode penelitian

Jenis Penelitian Jenis penelitian adalah experimental quasi pre and posttest

group design. Tempat dan Waktu Penelitian di Bangsal dan Poliklinik Kebidanan

dan Kandungan RSUD dr.Moewardi Surakarta dan Laboratorium Prodia, dimulai

bulan maret 2015 sampai terpenuhi jumlah sampel. Populasi adalah keseluruhan

subyek dalam penelitian (Sastroasmoro, 2008). Sebagai populasi dalam penelitian

ini adalah pasien dengan kanker serviks stadium lanjut yang menjalani perawatan

di poli rawat jalan dan rawat inap di bangsal Kebidanan dan Kandungan di RSUD

dr. Moewardi Surakarta, yang memenuhi kriteria retriksi untuk mendapatkan

sampel yang homogen.

Kriteria Inklusi meliputi Pasien dengan diagnosis kanker serviks stadium lanjut

(IIB-IV), mengalami depresi untuk pertama kali (dinilai dari skor BDI) tanpa

riwayat pengobatan sebelumnya, dapat berkomunikasi dengan baik, bisa

berbahasa Indonesia, bersedia mengikuti penelitian. Kriteria Eksklusi meliputi

Menderita gangguan mental berat (psikotik), menderita kanker pada organ lain,

sedang hamil, pernah menjalani pengobatan depresi

Berdasarkan kriteria inklusi tersebut dilakukan pengumpulan sampel dengan

metode non probability sampling karena lebih praktis dan lebih mudah untuk

dilakukan pada penelitian klinis. Jenis metodenya digunakan cara consecutive

sampling, yaitu semua subyek yang datang secara berurutan dan memenuhi

kriteria inklusi dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah subyek yang

diperlukan terpenuhi. Cara ini dianggap metode non probability sampling yang

paling baik dan termudah.

Besar sampel untuk mencari besar sampel dengan rumus :

n = pccv22 + − pc 2

Rule of Thumb (Gerald van Belle, 2007) dimana pc adalah perubahan

(27)

commit to user

n = .. 22 + − . 2

n = .. + − . 2

n = 18 (1,64)

n = 29,52 ~ 30

Sehingga dalam studi ini penulis membutuhkan sekitar 30 subyek yang

memenuhi kriteria retriksi dan dibagi menjadi 2 kelompok : 15 subyek sebelum

perlakuan psikoterapi Cognitive Behavioral Therapy (CBT) dan 15 subyek lagi

setelah perlakuan psikoterapi Cognitive Behavioral Therapy (CBT).

Variabel Bebas adalah Pasien dengan kanker serviks stadium lanjut yang

mendapatkan Cognitive Behavioral Therapy dengan variabel Terikat kadar

hormon serotonin, skor Beck Depression Inventory dan kualitas hidup.

Prosedur Penelitian :

- Memohon ijin kepada direktur RSUD dr.Moewardi Surakarta untuk

melakukan penelitian.

- Memohon ijin untuk ethical clearance.

- Memilih kelompok penelitian yang merupakan pasien kanker serviks

stadium lanjut (IIB-IV) yang mengalami depresi serta memenuhi kriteria

inklusi yang memeriksakan diri di RSUD dr.Moewardi Surakarta.

- Kelompok studi merupakan kelompok yang memenuhi kriteria inklusi dan

eklusi yang sudah ditetapkan kemudian diperiksa kadar serotonin serum,

skor depresi dan skor kualitas hidup sebelum dan sesudah pemberian

cognitive behavioral therapy.

- Pemeriksaan kadar serotonin serum dilakukan di laboratorium klinik prodia

di surakarta.

(28)

commit to user

Pada penelitian ini data dikumpulkan dengan cara observasi. Data yang

dikumpulkan diuji di laboratorium klinik prodia setelah didapat dari hasil

pengambilan sampel darah pasien dengan kanker serviks. Kemudian diolah

dengan bantuan komputer. Uji Statistik Uji beda pre post test variabel

penelitian ini menggunakan uji t kemudian data diolah dengan menggunakan

program SPSS. Analisis Data Menggunakan analisis uji t, yaitu melakukan uji

beda :

- Kadar serotonin sebelum dibandingkan dengan sesudah cognitive

behavioral therapy pada pasien kanker serviks stadium lanjut.

- Skor depresi yang menggunakan skor BDI sebelum dan sesudah terapi

cognitive behavioral therapy

- Kualitas hidup menggunakan WHOQOL-BREF sebelum dan sesudah

terapi cognitive behavioral therapy

- Perbedaan signifikan dengan nilai p < 0,05, dan nilai yang sangat

(29)

commit to user Hasil Penelitian

Subjek penelitian adalah 15 pasien kanker Serviks stadium lanjut yang

melakukan kemoterapi di RSUD Dr.Moewardi Surakarta yang dilakukan

pemeriksaan serotonin, penghitungan skor depresi dan kualitas hidup sebelum dan

sesudah psikoterapi Cognitive Behavioral Therapy (CBT) yang semuanya

memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Dari data didapatkan bahwa umur

penderita kanker serviks yang melakukan psikoterapi Cognitive Behavioral

Therapy (CBT) terbanyak berumur > 50 tahun sebanyak 11 kasus (73.3%),

bekerja 9 kasus (60%), tidak sekolah 6 kasus (40,0%) dan paritas multigravida 9

kasus (60.0%).

Data kadar serotonin sebelum perlakuan mempunyai nilai p = 0.138 dan

setelah adanya perlakuan nilai p = 0.321 oleh karena nilai p > 0.05 yang berarti

data dari kedua kelompok tersebut berdistribusi normal, sehingga uji statistik

dilakukan dengan menggunakan uji parametrik yaitu uji T berpasangan.

Kadar serotonin sebelum perlakuan nilai mean 89,57 ± 23,23 dan kadar

serotonin setelah perlakuan sebesar 219,43 ± 33,42. Sedangkan uji T menunjukan

nilai p = 0.000 < 0.05, yang berarti ada perbedaan sangat bermakna kadar

serotonin sebelum dan setelah adanya perlakuan.

Data Skor BDI sebelum perlakuan mempunyai nilai p = 0,197 dan data skor

BDI setelah perlakuan nilai p = 0,061 oleh karena nilai p > 0.05 yang berarti data

tersebut adalah berdistribusi normal, sehingga uji statistik dilakukan dengan

menggunakan uji parametrik yaitu uji T berpasangan.

Skor BDI sebelum perlakuan nilai mean 17,00 ± 4,86 dan skor BDI setelah

perlakuan sebesar 11,20 ± 4,94. Sedangkan uji T menunjukan nilai p = 0.000 <

0.05, yang berarti ada perbedaan sangat bermakna skor BDI sebelum dan setelah

adanya perlakuan.

Data Skor kualitas hidup sebelum perlakuan mempunyai nilai p = 0.56 dan

(30)

commit to user

tersebut adalah berdistribusi normal, sehingga uji statistik dilakukan dengan

menggunakan uji parametrik yaitu uji T berpasangan.

Skor kualitas hidup sebelum perlakuan nilai mean 41,86 ± 7,24 dan setelah

perlakan sebesar 85,13 ± 14,62. Sedangkan uji T menunjukan nilai p = 0.000

< 0.05, yang berarti ada perbedaan sangat bermakna skor kualitas hidup

sebelum dan setelah adanya perlakuan.

Pembahasan

Penelitian yang dilakukan di RS.Dr.Moewardi menggunakan sampel pasien

kanker serviks stadium lanjut yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi setelah

dilakukan analisis data menunjukkan adanya perbedaan kadar serotonin pada

pasien kanker serviks stadium lanjut sebelum dan sesudah diberikan psikoterapi

CBT. Dengan nilai rerata kadar serotonin setelah psikoterapi CBT lebih tinggi

dibandingkan sebelum psikoterapi CBT. Uji statistik didapatkan nilai p = 0,000

yang berarti terdapat perbedaan yang sangat bermakna kadar serotonin sebelum

dan setelah psikoterapi CBT. Hasil ini menunjukkan bahwa pemberian psikoterapi

CBT pada pasien kanker serviks terbukti efektif meningkatkan kadar serotonin

yang dapat meningkatkan harapan hidup.

Pada penelitian lain yang dilakukan oleh lehtonen tahun 2011 mengenai

pemberian psikoterapi pada pasien yang mengalami depresi didapatkan

peningkatan kadar serotonin sehingga tingkat depresi menjadi berkurang

menunjukkan perbedaan yang bermakna dengan p = 0,003 (lehtonen, 2011).

Penelitian lain yang juga dilakukan di RS.Dr.Muwardi pada pasien kanker serviks

stadium lanjut yang membandingkan perbedaan kadar kortisol setelah terapi CBT

dibandingkan sebelum terapi menunjukkan nilai p = 0,001 yang berarti terdapat

perbedaan yang sangat bermakna setelah mendapat terapi CBT (Irianto, 2015).

Pasien kanker serviks stadium lanjut mengalami stres emosional yang luar

biasa berakibat menurunnya kualitas hidup wanita tersebut karena penjalani

pengobatan yang panjang. Pasien kanker serviks yang menjalani kemoterapi

(31)

commit to user

penurunan kadar serotonin. Stres akut akan menurunkan kadar serotonin secara

akut dan menghambat sistem imun, serta stressor psikologis juga menurunkan

kadar serotonin secara bertahap dan menghambat sistem imun (Soetrisno, 2009).

Skor BDI pasien kanker serviks stadium lanjut menunjukkan adanya

perbedaan sebelum dan setelah psikoterapi CBT dengan nilai rerata setelah

psikoterapi CBT lebih rendah dibandingkan sebelum psikoterapi CBT. Uji

statistik didapatkan nilai p = 0,000 yang berarti ada perbedaan yang sangat

bermakna skor BDI sebelum dan setelah psikoterapi CBT. Hasil ini menunjukkan

bahwa pemberian psikoterapi CBT dapat menurunkan skor BDI pada pasien

kanker serviks stadium lanjut. Menurunnya skor BDI setelah diberikan psikoterapi

CBT dapat menurunkan tingkat depresi dan dapat meningkatkan kualitas hidup

pasien.

Penelitian yang dilakukan oleh Garlick dkk tahun 2011 mengenai pemberian

psikoterapi pada pasien kanker payudara didapatkan penurunan tingkat depresi

dibandingkan sebelum pemberian psikoterapi dimana didapatkan p = 0,002 yang

secara statistik bermakna (Garlick et al, 2011). Juga terdapat penelitian lain yang

dilakukan oleh Breitbart dkk tahun 2010 mengenai pemberian psikoterapi pada

pasien kanker juga didapatkan penurunan tingkat depresi sesudah diberikan

psikoterapi dengan p = 0,006 yang secara statistik bermakna (Breitbart et al,

2010).

Wanita yang didiagnosis dengan kanker serviks khususnya stadium lanjut

akan mengalami stres emosional yang mengakibatkan menurunnya kualitas hidup

wanita tersebut karena harus menjalani pengobatan dalam jangka waktu lama

dengan tingkat kesembuhan yang rendah. Emosi yang dapat ditimbulkan yaitu

depresi karena ketidakpastian hidup dan keraguan mengenai masa depan,

kecemasan, kebingungan. Kemarahan karena kehilangan fungsi reproduksi dan

peluang untuk mempunyai keturunan, perasaan bersalah karena aktivitas seksual

terdahulu yang dapat menyebabkan kanker, perasaan bersalah bercampur dengan

kekhawatiran mengenai aktivitas seksual di masa depan yang akan terganggu

setelah pengobatan kanker (Prawirohardjo, 2010). Hal ini tentu saja dapat

(32)

commit to user

Dari analisis skor kualitas hidup dengan menggunakan skala

WHOQOL-BREF menunjukkan adanya peningkatan setelah diberikan psikoterapi CBT

dengan uji statistik didapatkan nilai p = 0,000 yang berarti ada perbedaan yang

sangat bermakna skor kualitas hidup sebelum dan sesudah psikoterapi CBT.

Mengukur kualitas hidup menggunakan instrumen WHOQOL-BREF dapat

diandalkan dan valid. Hal ini sesuai pada penelitian yang dilakukan oleh

oktavianus dkk (2007) tentang validitas dan reliabilitas WHOQOL-BREF untuk

mengukur kualitas hidup dengan hasil penelitian menunjukkan distribusi setiap

domain adalah simetris dan tidak didapatkan efek floor dan ceiling. Validitas

diskriminan, validitas konstruktif dan konsistensi internal menunjukkan hasil yang

baik dari skor keempat domain sehingga instrumen ini dapat diandalkan

(Oktavianus dkk, 2007).

Penelitian yang dilakukan oleh stipancic dkk dimana dilakukan intervensi

psikoterapi pada pasien depresi dibandingkan kontrol kemudian dinilai kualitas

hidup sebelum dan sesudah intervensi psikoterapi terjadi peningkatan kualitas

hidup pasien depresi dibandingkan kontrol, didapatkan p = 0,000 dimana secara

statistik bermakna ( Stipancic, 2010).

Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa adanya intervensi psikoterapi

CBT pada pasien kanker serviks stadium lanjut dapat meningkatkan kadar

serotonin, menurunkan skor depresi dan meningkatkan skor kualitas hidup.

Serotonin merupakan neurotransmitter dari satu bagian otak ke bagian otak

lainnya yang diduga berberan aktif dalam mengatur sikap terhadap respon dari

paparan stres dan berhubungan dengan kejadian depresi yang dapat

mempengaruhi kualitas hidup. Saat terjadi paparan stres, aktivitas serotonin

meningkat terbukti dengan meningkatnya ekspresi gen di dorsal raphe nukleus.

CBT merupakan salah satu pedoman terapi pada pasien depresi. Terapi ini

membantu seseorang mengidentifikasi pikiran-pikiran negatif sebagai pikiran

yang salah dan menyimpang kemudian mencari pikiran pengganti yang lebih

positif yang membuat seseorang merasa lebih baik. Selain itu CBT juga

(33)

commit to user

mencari alternatif-alternatif yang mungkin ada dan menemukan kesimpulan yang

berimbang dan rasional tentang kekuatan validitas pikiran negatif tersebut.

Keterbatasan penelitian ini adalah :

a) Tidak menggunakan subjek penelitian dengan karakteristik yang sama

seperti stadium kanker serviks, status gizi, hasil laboratorium, riwayat

kehidupan keluarga yang dapat memberikan pengaruh terhadap risiko

stres yang dialami oleh pasien.

Kesimpulan :

Dari hasil penelitian ini dapat diambil kesimpulan bahwa :

1. Terdapat peningkatan kadar serotonin pasien kanker serviks stadium lanjut

yang mendapatkan Psikoterapi Cognitive Behavioral Therapy (CBT)

2. Terdapat penurunan skor depresi pasien kanker serviks stadium lanjut yang

mendapatkan Psikoterapi Cognitive Behavioral Therapy (CBT)

3. Terdapat peningkatan skor kualitas hidup pasien kanker serviks stadium

lanjut yang mendapatkan Psikoterapi Cognitive Behavioral Therapy (CBT)

Saran

1. Disarankan psikoterapi Cognitive Behavioral Therapy (CBT) dapat

diterapkan pada pasien kanker serviks stadium lanjut di rumah sakit dengan

harapan dapat memperbaiki kualitas hidup pasien sehingga dapat

meningkatkan five survival rate.

2. Perlunya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai intervensi psikoterapi

Cognitive Behavioral Therapy (CBT) pada kanker serviks stadium lanjut

dengan mengendalikan variabel-variabel perancu lain (vital sign,

Hemoglobin, ureum, creatinin, gula darah sewaktu ,dll.)

(34)

commit to user

DAFTAR PUSTAKA

Akechi, 2008. Psychotherapy for Depresion Patient Who Are Incurable (Review).

The Cochrane Collaboration Library Issue

6.http://www.theocochranelibrary.com.

American College of Obstetricians and Gynaecologist, 2015. Cervical Cancer.

Woman Health Care Physicians.

Burckhardt P.T and Anderson K.L, 2003. The Quality of Life Scale (QOLS).

Reliability, Validity and Utilization. Health and Quality of Life Outcomes.

Vol.1

Campbell C, 2012. A Systematic Review of Cognitif Behavioral Intervention in

Advanced Cancer, University of Virginia, Departement of Acute and

Specialty Care.

Carmha, 2007. Cognitive Behavioural Therapy. Faculty of Health Sciences Simon

Fraser University.

Emillya S, 2015. Pengaruh Psikoterapi Realitas Terhadap Peningkatan Serotonin

dan Penurunan Skor Depresi. Tesis. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Froggat W, 2006. A Brief Introduction to Cognitive Behavioural Therapy, Author.

New Zealand.

Gerald van Belle. 2007. STRUTS : Statistical Rules of Thumb, Department of

Environmental Health and Biostatistics University of Washington.

Himpunan Onkologi Ginekologi Indonesia. 2013. Panduan Pelayanan Klinik

Kanker Ginekologi. Jakarta : Himpunan Onkologi Ginekologi Indonesia.

Holmes A 2014. Genetic variation in cortico-amygdala serotonin function and

risk for stress-related disease. Neuroscience Behaviour.Natioal Institute of

(35)

commit to user

IARC, 2005. Cervical Cancer Screening. International Agency for Research on

Cancer World Health Organization. IARC Press.

International Federation of Gynaecology and Obstetrics, 2012. Cancer of The

Cervix Uteri. International Journal of Gynaecology and Obstetrics.

Elsevier Ireland.

Irianto B, 2015. Pengaruh Cognitive Behavioural Therapy (CBT) Terhadap Kadar

Kortisol dan Skor Beck Depression Inventory Pada Pasien Kanker Serviks

Stadium Lanjut. Tesis, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Jasinska A 2012. Serotonin transporter gene, stres and rapheraphe interactions: a molecular mechanism of depression. Trends in Neurosciences.Elsevier.

Koolhas J, 2011. Stress Revisited : A Critical Evaluation of The Stress Concept.

Neuroscience of Behavioural Reviews. Elsevier.

Lehtonen J, 2011. Serotonin, vital effect, psychotherapy, theoritical backgrouned

and limitary findings. University of Eastern. Finlandia.

Martin, Garry, Pear and Joseph, 2003. Behaviour Modification. What It Is and

How To Do It, 7th Edition. Pearson Education International. New Jersey.

Maximino C, 2012. Serotonin and Anxiety. Serotonin in The Nervous System of

Vertebrae. Springer briefs in Neuroscience pp 15-36

National Association of Cognitive Behavioural Therapy, 2008. What is Cognitive

Behavioural Therapy? http://www.NACBT.com.

Oktavianus C, Novia I, Sudharmana, Rina K. Kusumaratna dan Adi Hidayat,

2007. Validitas dan reliabilitas World Health Organization Quality of

Life-BREF untuk mengukur kualitas hidup lanjut usia. UNIVERSA

(36)

commit to user

Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia, 2013. Panduan

Gangguan Depresi Mayor. Jakarta : Perhimpunan Dokter Spesialis

Kedokteran Jiwa Indonesia.

Prawiroharjo S, 2010. Buku Acuan Nasional Onkologi dan Ginekologi. Jakarta :

Balai Penerbit Bina Pustaka Jakarta : 442-54.

Rasjidi I, 2009. Epidemiologi Kanker Serviks, Indonesian Journal of Cancer 3 (3)

: 108

Rippetoe M, Kilgoe L, 2006. Practical Programming for Strenght Training. USA

Satroasmoro Sudigdo, 2008. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta :

Sagung Seto. Edisi ke-3

Soetrisno, 2009. Ekspresi Heat Shock Protein 60,70,90 dan Kortisol pada

Persalinan Ibu Primigravida yang Mendapat Psikokuratif. Disertasi.

Surabaya : Universitas Airlangga.

Stefan G, 2012. The Efficacy of Cognitive Behavioural Therapy : A Review of

Metaanalysis. National Institute of Health. 36(5) : 427-440

Stephan M, 2008. The Potensial Rule of Corticotropin Releasing Factor

Receptor-1 Antagonist In Psychiatric Disorder.

Stipancic M, Renner W, Schutz P, Dond R, 2010. Effect of Neuro-Linguistic

Psychotherapy on psychological difficulties and perceived quality of life.

British Association for Counseling and Psychotherapy.

Sudiyanto A, 2007. Bimbingan Teknis Psikiatri : Cognitive Behavioural Therapy

(CBT). FK UNS.

Suparno 2007. Pengaruh Stressor Psikologik Terhadap Distribusi Transporter

Serotonin dan Indeks Apoptosis Hipokampus yang Dimediasi oleh

(37)

commit to user

Surveillance Epidemiology and End Result Program (SEER), 2012. Cervix Uteri

Cancer. National Cancer Institute.

Suzanne C, 2004. Psychological Stress and The Human Immune System : A

Meta-analitic Study of 30 Years of Inquiry. National Institute of Health.

Psychol Bull 130 (4) : 601-630.

Tempier R, Pawlink N, 2001. Influence of Novel and Conventional Antipsychotic

Medication on Subjective Quality of Life.Journal of Psychiatry

Neuroscience. Vol. 26

Tiro, J.A., Meissner, H.I., Kobrin, S. & Chollette, V., 2007. What do Women in

the US know about Human Papillomavirus and Cervical Cancer. Cancer

Epidemiology, Biomarkers & Preventions, 16(2): 288-294.

WHOQOL User Manual, 2012. Programme On Mental Health. Division of

Mental Health and Prevention of Substance Abuse World Health

Organization.

Wilding, 2010. Cognitive Behavioural Therapy. A Teach Your Self Guide. Mc

Graw-Hill.

(38)

Gambar

Gambar 1. Kerangka konsep

Referensi

Dokumen terkait

Contoh : risiko pasar dengan risiko kredit akan menghasilkan teknik kuantifikasi yang berbeda sehingga pengukuran pun berbeda.. Tipe Risiko Definisi

Segenap big family prodi D3 Kebidanan angkatan 2014 dibawah naungan Universitas Islam Sultan Agung Semarang yang selama 3 tahun ini banyak sekali memberikan

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala berkat, rahmat dan karunia yang telah dilimpahkan-Nya sehingga penulis mampu

Middleton (1988 ; 79) dalam bukunya yang berjudul Marketing In Travel &amp; Tourism mengatakan bahwa komponen dari total produk pariwisata sebagai suatu usaha, terutama bila

Sedangkan pada perhitungan nilai LFG dengan formula Counahan-Barratt pada tabel III didapatkan dua puluh enam kasus penurunan fungsi ginjal yang perlu peninjauan ulang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI.. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN

Jumlah Missfile dan Dokumen Rekam Medis yang Tidak Menggunakan Tracer saat Pe ga bila da Pe ge balia Doku e Reka Medis……….1. Standar Operasional Prosedur Penjajaran, Tracer

Setiap orang dapat mempunyai jawaban yang berbeda, karena itu pilihlah jawaban yang sesuai dengan diri anda. Karena tidak ada jawaban yang dianggap salah, semua jawaban yang