• Tidak ada hasil yang ditemukan

tesis full text dedhi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "tesis full text dedhi"

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PEMBERIAN KETOTIFEN TERHADAP

KADAR INTERLEUKIN 6 SERUM DAN SKOR NYERI

PADA OPERASI MASTEKTOMI

TESIS

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Magister Kedokteran Keluarga

Minat Utama: Ilmu Biomedik

Oleh

Dedhi Subandriyo S501008013

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(2)

i

(3)

ii

(4)
(5)

iv

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur ke hadirat Alloh, Tuhan Yang Maha Esa atas petunjuk

dan rahmat yang diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaian Tesis dengan

judul ”Pengaruh Pemberian Ketotifen Terhadap Kadar Interleukin 6 Serum

dan Skor Nyeri Pada Operasi Mastektomi”.

Tesis ini dimaksudkan sebagai penelitian yang merupakan salah satu persyaratan untuk mencapai derajat magister, maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapakan terima kasih sebesar-besarnya kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. Ravik Karsidi, Drs, MS selaku Rektor Universitas Sebelas Maret

Surakarta yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti pendidikan

di Universitas Sebelas Maret ini.

2. Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, MS selaku Direktur Program Pascasarjana

Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan kesempatan

untuk mengikuti program Magister di Program Pascasarjana Universitas

Sebelas Maret.

3. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr, SpPD-KR FINASIM, selaku Dekan

Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah

memberikan kesempatan untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter

Spesialis Fakultas kedokteran Universitas Sebelas Maret.

4. Dr. Hari Wujoso, dr. SpF, MM selaku Ketua Program Studi Magister

Kedokteran Keluarga Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan

(6)

v

kesempatan untuk mengikuti studi Program Magister Kedokteran

Keluarga dan selaku pembimbing metodologis yang dengan kesabarannya

membimbing dan meneliti Tesis ini sehingga menjadi lebih baik.

5. Ari Natali P. dr. MPH. Ph.D. selaku Sekretaris Program Studi Magister

Kedokteran Keluarga Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret

Surakarta yang telah memberikan kesempatan dan bimbingan studi pada

program Magister Kedokteran Keluarga.

6. Sugeng Budi Santosa, dr, SpAn. KMN selaku Kepala SMF Ilmu Anestesi

dan Terapi Intensif FKUNS/RSDM. Terima kasih atas segala bimbingan

dan masukan yang diberikan pada penulis dalam menyelesaikan karya tulis

ini.

7. Mulyo Hadi Sudjito dr, SpAn KNA selaku Ketua Program Studi

Pendidikan Dokter Spesialis Anestesi dan Terapi Intensif FKUNS/RSDM

dan selaku pembimbing substansi , atas kesediaannya meluangkan waktu

dan memberikan masukan dalam penyusunan tesis ini. Terima kasih telah

memberikan bimbingan dan arahan sehingga tesis ini dapat terselesaikan.

8. ”Guru-guruku” yang tidak pernah lelah mengajari, dan memberi

kesempatan penulis untuk menimba ilmu di IK Anestesiologi dan

Intensive Care UNS.

9. Kedua orang tua penulis, Bapak Endi Suwadji dan Ibu Titik Murgiati yang

sangat penulis hormati dan sayangi yang selalu memberi dukungan,

bantuan, perhatian, kasih sayang, dan tidak bosan-bosannya berdoa untuk

penulis agar penulis cepat dapat menyelesaikan pendidikan.

(7)

vi

10. Istri tercinta dan tersayang, Nurul Indarti Setyaningrum, yang tak pernah

lelah memberi dukungan, doa, cinta, kasih sayang, pengertian, dan

perhatiannya, serta anak-anaku, Ummu Abdillah Asy Syifa dan

Abdurrohman Afifi yang menjadikan hidup lebih berwarna selama penulis

menjalani pendidikan.

11. Kakak-kakakku yang penulis cintai dan sayangi, yang selalu memberi

dukungan agar penulis dapat menyelesaikan pendidikan.

12. Rekan-rekan residen anestesi yang telah membantu dan mendukung,

terkhusus dr. Frans Kausario dan dr. Arya Windhi yng telah membantu

dalam proses sampling.

13. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan Tesis ini yang tidak

dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih banyak kekurangan, untuk itu kritik

dan saran dari pembaca penulis harapkan sehingga lebih sempurna.

Surakarta, Agustus 2014

Dedhi Subandriyo, dr

(8)

vii ABSTRACK

Dedhi Subandriyo, S501008013. 2014. Pengaruh Pemberian Ketotifen Terhadap Kadar Interleukin 6 Serum dan Skor Nyeri Pada Operasi Mastektomi. Pembimbing I: Dr. Hari Wujoso, dr., MM, Sp.F. Pembimbing II: Mulyo Hadi Sudjito, dr., Sp.An, KNA. Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran, Program Studi Magister Kedokteran Keluarga, Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Background : Postsurgical chronic pain is the consquence of exaggerate and ongoing inflammation. Inflammatory processes after surgical incision are maintained through the release of inflammatory mediators by resident cell, including mast cell. Ketotifen as a mast cell stabilizer, had been proven inhibits mast cell degranulation, released several media tor, including proinflammatory cytokine interleukin 6..

Purpose : To proof effect of ketotifen in reduce interleukin 6 serum level and pain score in mastectomy procedure.

Methods : This is a clinical study setting withvdouble blind randomized controlled trial. Thirty patients were randomly devided in to two groups. K1, Ketotifen group, fiveteen patients with mastectomy procedure and get oral ketotifen. K2, fiveteen patients and get placebo. Before and on day 3th post operative, the patinets were examinated interleukin 6 serum level and pain score. The alteration il-6 serum level and pain score were analyzed with independent t-test.

Result : There was significant differences (p < 0.05), the alteration il-6 serum level and pain score of the ketotifen treated group (K1) was lower than control group (K1).

Conclusion Ketotifen play a role in preventing post operative pain, however administering oral ketotifen effective control exceed inflammatory response in post operativ which marked with inhibition interleukin 6 product .

Keywords : Ketotifen, interleukin-6, post operative pain.

(9)

viii ABSTRAK

Dedhi Subandriyo, S501008013. 2014. Pengaruh Pemberian Ketotifen Terhadap Kadar Interleukin 6 Serum dan Skor Nyeri Pada Operasi Mastektomi. Pembimbing I: Dr. Hari Wujoso, dr., MM, Sp.F. Pembimbing II: Mulyo Hadi Sudjito. dr., Sp.An, KNA. Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran, Program Studi Magister Kedokteran Keluarga, Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Latar Belakang : Nyeri kronis pasca bedah merupakan salah satu konskuensi dari

adanya proses inflamasi yang berlebihan. Proses inflamasi pasca bedah diawali dengan pelepasan mediator inflamasi oleh sel residen, dimana salah satunya adalah sel mast. Ketotifen sebagai agent stabilisasi sel mast, telah terbukti mencegah terjadinya degranulasi sel mast yang akan melepaskan berbagai mediator, termasuk sitokin proinflamasi interleukin 6.

Tujuan : Membuktikan pengaruh pemberian ketotifen terhadap penurunan kadar

interleukin 6 serum dan skor nyeri pada operasi mastektomi

Metode : Uji klinik dengan desain double blind randomized controlled trial. 30 pasien yang menjalani operasi mastektomi dibagi menjadi dua kelompok. K1, kelompok ketotifen terdiri dari 15 pasien yang menjalani operasi mastektomi dengan pemberian ketotifen oral perioperatif, dan K2, kelompok kontrol terdiri dari 15 pasien yang menjalani operasi mastektomi yang diberikan plasebo oral. Sebelum operasi dan hari ketiga setelah operasi pasien di periksa kadar interleukin 6 serum dan skor nyeri. Perubahan kadar interleukin 6 dan skor nyeri sebelum dan setelah operasi yang didapat di analisa dengan uji statistik independent t-test.

Hasil : Ada perbedaan yang bermakna (p < 0.05) dari perubahan kadar interleukin

6 dan skor nyeri pada kelompok yang diberi ketotifen yang lebih kecil jika dibandingkan dengan kelompok kontrol.

Kesimpulan : Ketotifen mempunyai peran dalam pencegahan nyeri paska operasi,

dimana ketotifen efektif mengendalikan reaksi inflamasi yang berlebihan paska operasi yang ditandai dengan hambatan produksi interleukin 6.

Kata Kunci : Ketotifen, interleukin-6, nyeri paska operasi.

(10)

ix DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ... i

PERNYATAAN ORISINALITAS DAN PUBLIKASI TESIS ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

a. Patofisiologi Inflamasi dan Nyeri ... 7

b. Persepsi Nyeri dan Nosisepsi ... 10

c. Mediator Inflamasi dan Modulasi Nyeri ... 11

(11)

x

J. Jadwal Kegiatan dan Organisasi Penelitian ... 63

(12)

xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Jalur pelepasan dan metobolisme asam arakidonat ... 15

Gambar 2.2 Imunofisiologi nyeri inflamasi ... 16

Gambar 2.3 Biosintesis prostanoid ... 20

Gambar 2.4 Biosintesis leukotriene ... 22

Gambar 2.5 Imunofisiologi pasca cidera saraf tepi ... 24

Gambar 2.6 Respon mediator inflamasi ... 32

Gambar 2.7 Numeric Pain Intensity Scale ... 36

Gambar 2.8 Visual Analogue Scale ... 36

Gambar 2.9 Wong Baker Faces Pain Rating Scale ... 37

Gambar 2.10 Alur Ikatan sitokin dengan nosiseptor ... 38

Gambar 2.11 Asal dan diferensiasi sel mast... 45

Gambar 2.12 Pertumbuhan sel mast dan distribusinya di jaringan ... 46

Gambar 2.13 Aktivasi sistim imun dan sensitisasi nosiseptor ... 47

Gambar 2.14 Respon kanal calcium selama aktivasi sel mast ... 48

Gambar 2.15 Degranulasi sel mast mengeluarkan berbagai mediator kimia .... 51

Gambar2.16 Proses degranulasi yang dimediasi reseptor Fc RI sel mast ... 52

Gambar2.17 Kerangka Teori ... 53

Gambar2.18 Kerangka Konsep ... 54

Gambar 3.1 Alur Penelitian ... 59

Gambar 4.1 Perubahan Kadar IL 6 Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol ... 75

Gambar 4.2 Perubahan VAS Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol ... 78

(13)

xii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Perkiraan kejadian nyeri kronis pasca bedah ... 27

Tabel 4.1. Uji Normalitas Data Demografi ... 65

Tabel 4.2 Distribusi Umur, Tinggi Badan dan Berat Badan Responden ... 66

Tabel 4.3 Independen Sample Tes perubahan kadar IL 6 ... 67

Tabel 4.4 Uji Mann Whitney Sample Tes Variabel VAS ... 68

(14)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat Pernyataan Persetujuan (Informed Consent)

Lampiran 2 Formulir dan Check List Penelitian

Lampiran 3 Hasil Penelitian dan Analisis Statistik

Lampiran 4 Lembar Konsultasi Tesis

Lampiran 5 Ethical clearance

(15)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Trauma pembedahan akan menghasilkan perubahan biokimia lokal

komplek yang ikut andil dalam suatu proses inflamasi dan nyeri akut pasca

operasi, dan dalam beberapa kasus berlanjut ke nyeri kronik pasca operasi.

Cedera jaringan akan mengakibatkan peningkatan sitokin proinflamasi yang

akan menyebabkan sensitisasi sistim syaraf sentral maupun perifer, yang

mengarah kepada terjadinya hiperalgesia (Buvanendran dan Kroin, 2010).

Anestesi lokal, opioid, maupun cyclooxygenase (COX) inhibitor dapat mengontrol nyeri pasca operasi baik selama ataupun segera setelah

pembedahan. Secara umum penanggulangan nyeri perioperatif dengan

memberikan obat-obat tersebut di atas, dan non steroid anti inflamasi drugs (NSAID) yang bekerja pada jalur cyclooxygenase (COX) inhibitor, baik COX-1 maupun COX-2 paling banyak digunakan, namun pada hambatan pada jalur

lipoxigenase (LOX) belum banyak perhatian padahal leukotrien yang

dihasilkan dari jalur ini memiliki andil yang besar dalam proses inflamasi

bahkan proses inflamasi yang sudah timbul diperberat dengan kehadiran

leukotrien ini akibat kemampuannya sebagai kemotaktik. Kemotaktik adalah

kemampuan mediator kimia yang dapat mengundang sel-sel imunologis

migrasi ke daerah inflamasi seperti netrofil, basofil, makropage dan sel mast

yang mengeluarkan berbagai mediator kimia yang dapat menyebakan

(16)

2

inflamasi, nyeri akut bahkan timbulnya nyeri kronis pasca operasi (Smyth &

Fitzgerald, 2012, Baratawidjaja, 2006). Nyeri yang menetap sampai setelah

luka operasi sembuh bisa menjadi suatu masalah. Hal tersebut dikenal sebagai

nyeri kronis pasca bedah, yang berlangsung antara tiga sampai enam bulan

pasca operasi (Kehlet et al., 2006). Disebutkan antara 10 sampai 50% pasien mengalami nyeri kronis pasca bedah, setelah menjalani proses pembedahan

seperti operasi hernia, mastektomi atau lumpektomi, bedah thorak, amputasi

kaki, maupun coronary artery bypass grafting (CABG) (Tillu et al., 2012). Terjadinya inflamasi setelah incisi pembedahan diawali dengan

adanya produksi prostaglandin, prostasiklin dan leukotrien. Leukotrien memicu

datangnya sel-sel lekosit seperti netrofil, basofil dan sel mast yang melepaskan

mediator inflamasi terutama yang diperankan oleh sel mast, sehingga proses

inflamasi yang terjadi bertambah hebat (Smyth & Fitzgerald, 2012). Beberapa

mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast, telah diketahui

menghasilkan nosisepsi selama periode pasca operasi (Yasuda et al., 2013). Sel mast yang teraktivasi dapat mengeluarkan histamin, berbagai

macam mediator inflamasi seperti beberapa eichosanoid, proteoglycan,

protease, serta beberapa kemokin dan sitokin proinflamasi seperti tumor necrosing factor-α (TNF-α), interleukin (IL)-6, IL-4, IL-13, dan transforming growth factor-β. TNF-α dan Iδ-6 dari sel mast meningkatkan migrasi lekosit dan memperberat lesi inflamasi. Walaupun memiliki fungsi yang bermanfaat

dalam hal pertahanan diri, sitokin proinflamasi bisa memacu terjadinya kondisi

patologis ketika diproduksi secara berlebihan (Kim et al., 2006).

(17)

3

Dijelaskan bahwa nyeri kronik pasca bedah adalah konsekuensi baik

dari proses inflamasi yang berlebihan maupun suatu manifestasi dari nyeri

neuropati yang disebabkan oleh cedera pembedahan pada syaraf perifer (Kehlet

et al., 2006). Kejadian nyeri kronis pasca bedah relatif tinggi, dan hal itulah yang mendorong dipertimbangkannya usaha untuk mengendalikan proses

inflamasi pasca bedah sebagai usaha untuk mengurangi kejadian nyeri kronis

pasca bedah (Buvanendran & Kroin, 2010).

Ketotifen merupakan obat antialergi yang bekerja sebagai antagonis

reseptor histamin, efek lain yang menguntungkan dari obat ini berhubungan

dengan aksinya menghambat pelepasan mediator-mediator pro-inflamasi dari

sel Mast, basofil dan netrofil. Dari penelitian Novianto (2013) telah

membuktikan efektifitas ketotifen dalam mencegah degranulasi sel Mast pada

tikus wistar yang dilakukan insisi pembedahan dan penelitian Apandi (2013)

menyebutkan ketotifen efektif menurunkan pelepasan histamin yang dipicu

oleh pemberian pelumpuh otot Atrakurium. Ketotifen menghambat pelepasan

mediator sel Mast dengan cara kombinasi, memblokade influks Ca++ dari

Extracellular ke Intracellular dan dengan mencegah penurunan cyclic adenosine monophosphate (c-AMP) yang dapat menghambat degranulasi sel Mast. Mekanisme calcium-dependent adalah metode utama degranulasi, meski beberapa mediator pro-fibrotik dari sel Mast juga disekresi lewat mekanisme

Ca+ +- independent (Monument et al., 2012).

Penelitian ini bermaksud menganalisisi pengaruh pemberian

ketotifen dalam mengurangi reaksi inflamasi yang dimediasi oleh interleukin 6

(18)

4

yang memiliki peran terjadinya nyeri kronis pasca operasi, sehingga bisa

digunakan sebagai alternatif atau terapi tambahan dalam pencegahan terjadinya

proses inflamasi sehingga dapat mengurangi nyeri pasca operasi. Pengambilan

sampel dilakukan pada pasien dengan operasi mastektomi disebabkan hampir

setiap hari dilakukan di Instalasi Bedah Sentral RS. Dr. Moewardi dan resiko

terjadinya nyeri kronis paska operasi pada pasien ini juga tinggi.

B. RUMUSAN MASALAH

Apakah ada pengaruh pemberian ketotifen terhadap penurunan kadar

interleukin 6 serum dan skor nyeri pada operasi mastektomi?

C. TUJUAN PENELITIAN

Membuktikan pengaruh pemberian ketotifen terhadap penurunan kadar

interleukin 6 serum dan skor nyeri pada operasi mastektomi.

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sumbangan teori dalam upaya

menerangkan tentang pengaruh pemberian ketotifen pasca operasi pada

reaksi inflamasi dan nyeri kronis.

2. Apabila penelitian ini terbukti, maka dapat dijadikan sebagai dasar untuk

menjelaskan bahwa hambatan produksi interleukin 6 dengan menggunakan

ketotifen bisa digunakan sebagai pencegahan inflamasi atau nyeri pasca

operasi.

(19)

5 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KAJIAN TEORI 1. NYERI

a. Patofisiologi Inflamasi Dan Nyeri

Nyeri merupakan salah satu tanda adanya prosesinflamasi. Inflamasi

adalah respon dari suatu organisme terhadap patogen dan alterasi mekanis

dalam jaringan, berupa rangkaian reaksi yang terjadi pada tempat jaringan

yang mengalami cedera, seperti karena terbakar, luka operasi atau terinfeksi.

Radang atau inflamasi merupakan satu dari respon utama sistem kekebalan

terhadap infeksi dan iritasi. Inflamasi distimulasi oleh faktor kimia

(histamin, bradikinin, serotonin, leukotrien, dan prostaglandin) yang

dilepaskan oleh sel yang berperan sebagai mediator radang di dalam sistem

kekebalan untuk melindungi jaringan sekitar dari penyebaran infeksi

(Murphy at al, 2007)

Perkembangan pengetahuan mengenai mekanisme nyeri telah

membawa kita pada perbaikan penatalaksanaan klinis terhadap nyeri. Di

masa mendatang diharapkan penatalaksanan nyeri dapat langsung menuju

sasaran sesuai proses patofisiologi yang menyebabkan gejala nyeri yang

spesifik (Marsaban et al, 2009).

Inflamasi mempunyai tiga peran penting dalam perlawanan terhadap

infeksi yaitu memungkinkan penambahan molekul dan sel efektor ke lokasi

(20)

6

infeksi untuk meningkatkan performa makrofag menyediakan rintangan

untuk mencegah penyebaran infeksi mencetuskan proses perbaikan untuk

jaringan yang rusak (Janeway at al, 2001, Baratawidjaja, 2006, Murphy at

al, 2007).

Respon inflamasi dapat dikenali dari rasa sakit, kulit lebam, demam

dan lainnya, yang disebabkan karena terjadi perubahan pada pembuluh

darah di area infeksi/lesi yaitu pembesaran diameter pembuluh darah,

disertai peningkatan aliran darah di daerah infeksi. Hal ini dapat

menyebabkan kulit tampak lebam kemerahan dan penurunan tekanan darah

terutama pada pembuluh kecil, aktivasi molekul adhesi untuk merekatkan

endotelia dengan pembuluh darah, kombinasi dari turunnya tekanan darah

dan aktivasi molekul adhesi, akan memungkinkan sel darah putih bermigrasi

ke endotelium dan masuk ke dalam jaringan. Proses ini dikenal sebagai

ekstravasasi (Murphy at al, 2007).

Bagian tubuh yang mengalami inflamasi memiliki tanda-tanda

sebagai berikut: tumor atau membengkak, calor atau menghangat, dolor

atau nyeri, rubor atau memerah, functio laesa atau daya pergerakan menurun, dan kemungkinan disfungsi organ atau jaringan (Janeway at al,

2001, Murphy at al, 2007).

Nyeri hampir selalu merupakan manifestasi dari proses patologi

yang sering menjadi keluhan utama yang dirasakan pasien sehingga mencari

pertolongan ke dokter atau praktisi kesehatan lain. Rencana penangan nyeri

itu sendiri harus ditujukan terhadap proses yang mendasari dari timbulnya

(21)

7

nyeri tersebut, termasuk dalam usaha mengontrol nyeri yang terjadi. Pasien

biasanya menerima penatalaksanaan nyeri dari dokter umum atau spesialis

setelah diagnosis ditegakkan dan penanganan terhadap proses penyakit yang

mendasari nyeri tersebut mulai dilakukan (Morgan et al., 2006)

Marsaban et al (2009) membedakan beberapa tipe atau jenis nyeri, yaitu pertama nyeri nosiseptif yang disebabkan oleh aktivasi nosiseptor

(reseptor nyeri) sebagai respon terhadap respon yang berbahaya, kedua

adalah nyeri neuropatik yaitu nyeri yang disebabkan oleh sinyal yang

diproses di sistem syaraf perifer atau pusat yang menggambarkan kerusakan

sistim syaraf. Terdapat beberapa hal yang sama pada pola nyeri yaitu pola

distribusi temporal dan spasial, karakteristik nyeri (superfisial dan dalam),

gejala-gejala klinis yang diakibatkannya, dan petunjuk-petunjuk penting

lainnya yang dapat mengarahkan ke suatu diagnosis dan penatalaksanaan.

Nyeri akibat kerusakan jaringan bisa terjadi karena ada kerusakan

jaringan itu sendiri (nyeri nosiseptif), karena adanya reaksi inflamasi

(inflammatory pain), dan bisa juga karena adanya kerusakan jaringan syaraf yang disebut nyeri neuropatik (neuropatic pain). Nyeri pasca bedah adalah suatu nyeri akut yang termasuk nyeri patologik dan terjadi oleh sebab

kerusakan jaringan dan reaksi inflamasi. Sensasi nyeri yang dirasakan pasca

bedah bisa disebabkan oleh karena ada sensitisasi syaraf perifer dan

sensitisasi syaraf sentral. Dari segi perjalanan waktu, nyeri terbagi atas nyeri

akut dan nyeri kronik, dimana nyeri pasca bedah termasuk dalam nyeri akut.

Nyeri akut selalu disebabkan oleh adanya kerusakan jaringan (nosiseptif),

(22)

8

sedangkan nyeri kronik tidak selalu disebabkan oleh adanya nosiseptif ini.

Nyeri akut yang tidak ditangani dengan baik bisa berkembang menjadi nyeri

kronik (Lalenoh, 2009)

b. Persepsi Nyeri dan Nosisepsi

Salah satu fungsi saraf yang penting adalah menyediakan informasi

tentang adanya ancaman bahaya atau cedera. Stimulasi suhu (>42oC), kimia

(misalnya pH, produk plasma) atau kerusakan mekanis pada ujung sensorik

perifer akan menimbulkan keluhan secara verbal dan usaha menghindar

pada manusia. Nosiseptor adalah aferen-aferen primer yang berespon

terhadap stimulasi yang berbahaya dan intens. Pertama, stimulasi nyeri

mencetuskan aktivitas pada grup aferen primer di neuron-neuron ganglion

sensorik (nosiseptor). Melalui sistem spinal dan berbagai sistem

intersegmental, informasi tersebut mengakses pusat supraspinal di batang

otak dan talamus. Sistem poyeksi ini mewakili dasar rangsangan somatik

dan visera yang memberikan hasil berupa usaha menarik diri atau keluhan

verbal (Marsaban et al, 2009)

Nosisepsi merupakan istilah yang menunjukkan proses penerimaan

informasi nyeri yang dibawa dari reseptor perifer di kulit dan viseral ke

korteks serebri melalui penyiaran neuron-neuron. Neuron-neuron sensorik

pada akar dorsal ganglia mempunyai ujung tunggal yang bercabang ke

akson-akson perifer dan sentral. Akson perifer mengumpulkan input

sensorik dari reseptor jaringan, sementara akson sentral menyampaikan

(23)

9

input sensorik tersebut ke medula spinalis dan batang otak. Akson sensorik

(aferen nosiseptif) tersebar luas di seluruh tubuh (kulit, otot, persendian,

visera, meninges) dan terdiri dari tiga macam serabut saraf (Marsaban et al,

2009)

c. Mediator Inflamasi dan Modulator Nyeri

Kerusakan jaringan seperti misalnya akibat infeksi, inflamasi atau iskemia, akan memicu produksi berbagai mediator yang bekerja langsung melalui ligant-gated ion chennel atau dapat pula melalui reseptor metabotropik yang berkaitan dengan sistem second messenger untuk dapat mengaktifkan dan atau mensensitasi nosiseptor. Sistem ini diatur secara khusus dengan memperhatikan hubungan linier antara intensitas rangsangan, aktivitas pada nosiseptor, besar pengaruh pelepasan transmiter spinal dan aktivitas neuraon yang memproyeksi medula spinalis ke otak (Marsaban et al, 2009).

Jumlah mediator inflamasi dan nyeri semakin bertambah dan tidak hanya terbatas dengan mediator-mediator seperti yang di atas, tetapi juga berbagai sitokin, kemokin dan faktor-faktor pertumbuhan yang harus diperhatikan. Akhir-akhir ini diidentifikasi kepentingan relatif untuk setiap perbedaan mediator dan mekanisme kerja pada saat nyeri. (Marsaban et al, 2009)

Tahap proses terjadinya nyeri sebagai berikut : 1. Transduksi

(24)

10

dan prostaglandin. Zat kimia ini terlepas ke dalam cairan ekstraseluler yang melingkupi nosiseptor. Kerusakan membran sel akan melepaskan senyawa

phospholipid yang mengandung asam arakhidonat dan terjadi aktivasi ujung

aferen nosiseptif. Asam arakhidonat atas pengaruh prostaglandin (PG)

endoperoxide synthase akan membentuk cyclic endoperoxide (PGG2 dan

PGH2) akan membentuk mediator inflamasi sekaligus mediator nyeri

tromboksan (TXAβ), prostaglandin (PGEβ, PGβα), prostasiklin (PGIβ).

Terbentuk pula leukotrien (LT) atas pengaruh 5-lipooksigenase. Setelah kerusakan jaringan timbul mediator nyeri atau inflamasi berupa substansi P, PGs, LTs dan bradikinin. Dari sel mast dilepaskan histamin. Kombinasi senyawa ini menimbulkan vasodilatasi lokal dan peningkatan permeabilitas vaskuler lokal sehingga membantu gerakan cairan ekstravasasi ke dalam ruang interstisial jaringan rusak. Proses ini mengawali mekanisme respon inflamasi yang merupakan langkah pertama dalam proses pertahanan jaringan dan reparasi luka. Mediator juga mengaktifkan nosiseptor. PGs dan LTs tidak langsung mengaktifkan melainkan mensensitisasi nosiseptor agar dapat distimuli oleh senyawa lain seperti bradikinin, histamin sehingga terjadi hiperalgesia, yaitu respon stimuli yang meningkat, pada kondisi normal sudah menimbulkan sakit. Pelepasan mediator kimiawi terus menerus dapat menyebabkan stimulasi dan sensitisasi terus menerus pula sehingga terjadi hiperalgesia, alodina dan proses berakhir sesudah terjadi proses penyembuhan. Selanjutnya leukotrien D4 (LTD4) mengaktifkan makrofag dan basofil yang akan menstimuli dan meningkatkan pelepasan eikosanoid, yaitu metabolit yang terlepas akibat terjadinya metabolisme

(25)

11

asam arakhidonat. Leukotrien D4 juga melepas substansi P dan secara tidak langsung bekerja pada neuron sensoris dengan menstimuli sel lain untuk melepaskan bahan neuron aktif. Lekosit PMN melepaskan leukotrien B4 (LTB4). Keduanya berperan dalam sensitisasi nosiseptor. Pada inflamasi,

sistem imun akan melepaskan sitokin proinflamasi : interleukin Iδ1 , Iδ6,

TNF, IFN. Sitokin ini dengan cepat akan berinteraksi dengan saraf perifer

melalui mediator. Iδ1 berinteraksi dengan neuron sensoris, mengaktifkan

eikosanoid dalam sel seperti fibroblas dan menyebabkan terlepasnya prostaglandin. Platelet dan sel mast melepas serotonin yang langsung mengaktifkan atau mensensitisasi nosiseptor dan menimbulkan hiperalgesia. Proses transduksi dapat dihambat oleh obat anti inflamasi non steroid (AINS) (Setiabudi, 2005).

2. Transmisi

Impuls akan ditransmisi oleh serabut aferen nosiseptif primer

lewat radiks posterior menuju kornu posterior medula spinalis. Serabut

perifer terdiri dari serabut sensorik, motorik somatik, motorik otonomik.

Serabut aferen primer nosiseptif khusus yang menghantarkan impuls

nosiseptif terdapat di kulit, periosteum, sendi, ligamen, otot dan visera.

Serabut yang menghantarkan impuls nosiseptif hanya serabut A dan C,

yang tidak bermielin atau bermielin halus. Stimulus yang dapat direspon

adalah stimulus mekanik, mekanotermal dan polimodal. Impuls di neuron

aferen primer melewati radiks posterior menuju medula spinalis pada

berbagai tingkat dan membentuk badan sel dalam ganglia radiks

(26)

12

gelatinosa (lamina II, III), lamina V dan lamina IV. Impuls ditransmisi ke

neuron sekunder dan masuk ke traktus spinotalamikus lateralis. Kornu

posterior berfungsi sebagai jalur masuk desendens dari otak untuk

melakukan modulasi impuls dari perifer. Impuls selanjutnya disalurkan

ke daerah somatosensorik di korteks serebri. Proses transmisi dapat

dihambat oleh anestetik lokal (Sudrajad, 2006)

3. Modulasi

Impuls setelah mencapai kornu posterior medula spinalis akan

mengalami penyaringan intensitas. Sistem pengendali modulasi ini

adalah sistem gerbang kendali spinal atau the gate control theory of pain.. Apabila impuls melebihi ambang sel transmisi maka akan melewati sistem kendali gerbang spinal dan diteruskan ke pusat

supraspinal di korteks somatosensoris. Substansi yang bekerja sebagai

modulator penghambat nyeri di medula spinalis yaitu dinorfin, enkefalin,

noradrenalin, dopamin, serotonin dan gamma amino butyric acid

(GABA). Sedangkan substansi yang meningkatkan nyeri yaitu substansi

P, adenosin triphosphate (ATP) dan asam amino eksitatori (Sudrajad, 2006)

4. Persepsi

Sel transmisi didalam sistim gerbang spinal kendali nyeri

menerima impuls sensoris yang datang dari perifer. Apabila impuls

melebihi atau sama dengan ambang sel transmisi, impuls nosiseptif

tersebut dapat melewati sistim gerbang kendali dan diteruskan ke

(27)

13

pusat supraspinal yang lebih tinggi di korteks somatosensoris, kortek

transisional dan sebagainya. Semua impuls nyeri sensoris perifer serta

sinyal kognitif pada korteks afeksi dan kognisi akan berintergrasi dan

menimbulkan persepsi yang diterima sebagai pengalaman nyeri. Secara

sederhana persepsi adalah hasil integrasi dari apa yang ada pada pusat

kognisi, pusat afeksi dan sistem sensoris diskriminatif yang dirasakan

oleh individu, serta bagaimana cara individu tersebut menghadapinya

(Setiabudi, 2005).

Pada awal fase transduksi yang dipicu adanya mediator inflamasi

yang dihasilkan dari kerusakan jaringan seperti prostaglandin, leukotrien

dan prostasiklin yang merupakan hasil metabolisme dari asam arakidonat

(Gambar 2.1). Semakin besar kerusakan jaringan yang ada semakin besar

pula mediator inflamasi yang dihasilkan dan semakin luas juga proses

inflamasi yang terjadi sehingga akibat yang ditimbulkan yaitu nyeri juga

akan semakin besar dirasakan (Baratawidjaja, 2006; Mansjoer, 2003)

Sindroma nyeri inflamasi dan nyeri neuropati dianggap sesuatu yang

berbeda. Inflamasi merupakan fenomena yang khas, yang melibatkan

kaskade dari sel-sel imun , seperti sel mast, netrofil, makrofag dan

limfosit-T. Sel-sel imun tersebut menghasilkan komponen-komponen sebagai

mediator nyeri. Beberapa tipe sel imun juga berperan penting dalam

patogenesa dan berubahnya karakter proses nosisepti pada nyeri neuropatik

perifer. Walaupun peran dan waktu pemunculan sel-sel tersebut belum jelas

benar, mereka tampak bersamaan pada saat proses inflamasi terjadi. Gambar

(28)

14

2.2 menjelaskan, pasca cidera sel mast dan makrofag diaktifkan, beberapa

blood-born immune cells termasuk netrofil dilibatkan dalam usaha melakukan aksi algesik baik secara langsung di nosiseptor maupun tidak

langsung dengan melepaskan berbagai mediator imun (Thacker et al., 2007).

Gambar 2.1 Jalur pelepasan dan metabolisme asam arakidonat

(Sumber: Smyth & Fitgerald, 2012)

(29)

15

Gambar 2.2 Imunofisiologi nyeri inflamasi (Sumber : thacker et al., 2007).

Dalam responnya terhadap cidera,sel-sel imun setempat teraktivasi

dan blood-borne immune cells dikerahkan ketempat cidera. Disamping sebagai pertahanan, sel imun berperan juga dalam munculnya sensitisasi

nosiseptor perifer melalui sintesa dan pelepasan mediator inflamasi serta

interaksinya dengan neurotransmiter dan reseptor-reseptornya. Sel-sel imun

,sel glia dan sel saraf membentuk jaringan yang terintegrasi yang

meengkoordinir respon imun dan memodulasi eksitabilitas dari jalur nyeri

(Ren & Dubner, 2010).

Asam arakidonat merupakan prekusor eikosanoid yang paling

penting dan terbanyak, merupakan asam lemak 20-karbon (C20) yang

mengandung emapat ikatan ganda yang dimulai pada posisi omega-6 untuk

menghasilkan asam 5,8,11,1eikosatetraenoat (dinyatakan dengan C20:

4-6). Eikosanoid sendiri adalah hasil produk oksigenasi asam lemak rantai

(30)

16

ditemukan bersama prekusornya pada berbagai jenis tumbuhan. Agar

sisntesis eikosanoid dapat terjadi, mula-mula asam arakidonat harus

dilepaskan atau dimobilisasi dari fosfolifid membran oleh satu atau lebih

lipase dari tipe fosfolipase A2 (PLA2) (Gambar 2.1). Setidanya ada tiga

fosfolipase yang memperantarai pelepasan arakidonat dari lipid membran:

PLA2 sitosol, PLA2 sekretori dan PLA2 yang tak bergantung pada kalsium.

Selain itu, arakidonat juga dilepaskan oleh kombinasi fosfolipase C dan

lipase digliserida (Smyth & Fitgerald, 2012)

Setelah terjadinya mobilisasi, asam arakidonat dioksigenasi melalui

empat jalur terpisah: jalur siklooksigenase (COX), lipoksigenase (LOX),

epoksigenase P450 dan isoproston. Sejumlah faktor menentukan jenis

eikosanoid yang disisntesis yaitu spesies, jenis sel dan fenotipe tertentu sel.

(Smyth & Fitgerald, 2012)

a. Jalur siklooksigenase

Dua isozim COX yang unik mengubah asam arakidonat menjadi

endoperoksida prostaglandin. Sintase PGH-1 (COX-1) diekspresikan

secara konstan pada kebanyakan sel tanpa adanya. rangsangan dari luar.

Sebaliknya, sintase PGH-2 (COX-2) dapat dirangsang, ekspresinya

sangat bervariasi bergantung pada stimulus. COX-2 merupakan produk

gen respon dini yang terangsang secara bermakna oleh shear stress, faktor pertumbuhan, promotor tumor dan sitokin. COX-1 menghasilkan

prostanoid unruk perlindungan seperti sitoprotekti epitel lambung,

sedangkan COX-2 merupakan sumber utama prostanoid pada inflamasi

(31)

17

dan kanker. Terdapat proses fisiologis dan patofisiologis yang

melibatkan masing-masing enzim secara unik dan ada keadaan lain

ketika keduanya berfungsi secara sinergis. Contohnya, COX-2 epitel

merupakan sumber utama prostasiklin vaskular, sedangkan prostanoid

yang berasal dari COX-2 ginjal penting untuk perkembangan ginjal yang

normal dan pemeliharaan fungsinya. Varian COX-3 telah ditemukan

pada anjing, namun kelihatannya tidak berhubungan secara fungsional

dengan spesies lainnya (Smyth & Fitgerald, 2012, Baratawidjaja, 2006)

Sintase sangat penting karena pada tahap inilah obat antiinflamasi

nonsteroid menimbulkan efek terapeutiknya. Indometasin dan sulindac

bersifat sedikit selektif untuk COX-1. Meklofenamat dan ibuprofen

kira-kira sama kuatnya untuk COX-1 dan COX-2, sedangkan celecoxib,

diklofenak, refecoxib, limiracoxib dan etoricoxib menghambat COX-2

dengan selektivitas yang meningkat. Aspirin mengasetilasi dan

menghambat kedua enzim secara kovalen. Dosis rendah (<100 mg/hari)

menghambat khususnya, namun tidak secara ekslusif untuk COX-1,

sedangkan pada dosis yang lebih tinggi dapat menghambat COX-1 dan

COX-2 (Smyth & Fitgerald, 2012).

Prostaglandin, tromboksan dan prostasiklin yang secara

keseluruhan disebut sebagai prostanoid dibentuk melalui kerja isomerase

dan sintase. Prostaglandin berbeda satu dengan yang lainnya karena dua

hal: substituen cincin pentana (yang dinyatakan dengan hurup terakhir,

misal, E dan F pada PGE dan PGF) dan jumlah ikatan ganda pada rantai

(32)

18

samping (dinyatakan dengan subscript, misal PGE1 dan PGE2.

Prostasiklin (PGI2, epoprostenol) disintesis terutama oleh endotel

vaskular dan merupakan suatu vasodilatator kuat dan inhibitor agregasi

trombosit (Smyth & Fitgerald, 2012).

Gambar 2.3 Biosintesis prostanoid (prostaglandin, tromboksan dan

prostasiklin) (Sumber: Smyth & Fitgerald, 2012)

Tromboksan (TXA2) memiliki efek agregasi trombosit dan

vasokontriksi. Oleh karena itu antagonis TXA2 dan inhibitor sintesisnya

(33)

19

penggunaan klinis obat-obat ini (kecuali aspirin) masih harus dipastikan

(Smyth & Fitgerald, 2012).

b. Jalur lipoksigenase

Metabolisme asam arakidonat oleh 5-,12-, dan 15-lipoksigenase

(LOX) menghasilkan produk asam hidroperoksieikosatetraenoat

(HPETE) dan leukotrien (Gambar 2.4). arakidonat yang dimetabolisme

melalui penggabungan molekul oksigen oleh 5-LOX, disertai dengan

protein pengaktivasi 5-LOX (FLAP) kemudian menghasilkan epoksida

leukotrien A4 (LTA4) yang tidak stabil. Zat antara ini dapat berubah

menjadi dihidroksi leukotrien B4 atau berkonjugasi dengan glutation

untuk menghasilkan leukotrien C4 (LTC4) yang mengalami degradasi

bertahap pada gugus gulation oleh peptidase untuk membentuk LTD4

dan LTE4. Ketiga produk ini dikenal sebagai leukotrien sisteinil atau

peptidoleukotrien. Secara neuroendokrin LTC4 dan LTD4 merangsang

sekresi LHRH dan LH (Smyth & Fitgerald, 2012).

LTC4 dan LTD4 merupakan bronkokontriktor yang poten

menyebabkan peningkatan permeabilitas mikrovaskular, eksudasi

plasma dan sekresi mukus di saluran napas dan dikenal sebagai

komponen utama dari substansi bereaksi-lambat anafilaksis (SRS-A)

yang disekresikan pada asma dan anafilaksis. Kedua leukotrien ini juga

yang berperan penting dalam kemampuan mengundang sel-sel inflamasi

bermigrasi ke tempat dimana jaringan atau sel mengalami kerusakan

(34)

20

atau inflamasi yang disebut efek kemotaktik (Smyth & Fitgerald, 2012,

Crawley et al, 1995).

LTC4 dan LTD4 efek pada jantung dapat mengurangi kontraktilitas

miokardium dan aliran darah koroner yang menyebabkan depresi

miokardium (Smyth & Fitgerald, 2012).

Gambar 2.4 Biosistesis leukotrien (LT): LTC4, LTD4 dan LTE4 secara

keseluruhan dikenal sebagai leukotrien sisteinil (CysLTs). glutamil

transpeptidase (GT), glutamil leukotrienase (GL) (Sumber: Smyth &

Fitgerald, 2012)

(35)

21

Leukotrien diyakini berperan pada patogenesis peradangan terutama

pada penyakit-penyakit kronis seperti asma dan irritable bowel disease

(Madsen et al, 1992). Leukotrien memiliki peran yang sangat besar terhadap

patofisiologi terjadinya penyakit-penyakit inflamasi berat dan pemilihan

obat anti lipoxigenase aktivity merupakan pilihan yang tepat dalam penanganan penyakit inflamasi (Kumaraswamy & Satish 2008).

Leukotrien juga diprediksi memiliki andil terhadap timbulnya nyeri

kronis pasca operasi, ini dikaitkan dengan kemampuan leukotrien sebagai

mediator kemotaktik. Trauma pembedahan menghasilkan pelepasan

berbagai macam mediator inflamasi dari sel mast (seperti prostaglandin,

interleukin 6 dan sitokinnya) dan hal ini dapat mensensitisasi aferen sensoris

dan menyebabkan nyeri. Biasanya proses ini berkurang seiring dengan

penyembuhan luka. Dalam beberapa kasus, dikatakan bahwa proses

inflamasi ini menetap (contohnya proses inflamasi disekitar mesh yang

dipasang pada herniarepair), menyebabkan perubahan plastisitas di medula

spinalis. Mekanisme ini sebenarnya bukan merupakan faktor penyebab pada

kebanyakan pasien dengan nyeri kronis pasca bedah (Niraj & Rowbotham,

2011).

Sindroma nyeri inflamasi dan nyeri neuropati dianggap sesuatu yang

berbeda. Inflamasi merupakan fenomena yang khas, yang melibatkan

kaskade dari sel-sel imun , seperti sel mast, netrofil, makrofag dan

limfosit-T. Sel-sel imun tersebut menghasilkan komponen-komponen sebagai

mediator nyeri. Beberapa tipe sel imun juga berperan penting dalam

(36)

22

patogenesa dan berubahnya karakter proses nosisepti pada nyeri neuropatik

perifer. Walaupun peran dan waktu pemunculan sel-sel tersebut belum jelas

benar, mereka tampak bersamaan pada saat proses inflamasi terjadi. Gambar

2.1 menjelaskan, pasca cidera sel mast dan makrofag diaktifkan, beberapa

blood-born immune cells termasuk netrofil dilibatkan dalam usaha melakukan aksi algesik baik secara langsung di nosiseptor maupun tidak

langsung dengan melepaskan berbagai mediator imun (Thacker et al., 2007).

Dalam responnya terhadap cidera,sel-sel imun setempat teraktivasi,

dan blood-borne immune cells dikerahkan ketempat cidera. Disamping sebagai pertahanan, sel imun berperan juga dalam munculnya sensitisasi

nosiseptor perifer melalui sintesa dan pelepasan mediator inflamasi serta

interaksinya dengan neurotransmiter dan reseptor-reseptornya. Sel-sel imun

,sel glia dan sel saraf membentuk jaringan yang terintegrasi yang

mekoordinir respon imun dan memodulasi eksitabilitas dari jalur nyeri (Ren

& Dubner, 2010).

(37)

23

Gambar 2.5. Imunofisiologi pasca cidera saraf tepi (Sumber : thacker et al., 2007).

Seperti terlihat pada gambar 2.5, pasca cidera terjadi aktivasi sel-sel

imun residen, elemen-elemen non neural ( sel Schwann, sel mast, netrofil,

makrofag dan sel T) ikut terlibat serta berproliferasi dan melepaskan TNFα,

IL-1 , Iδ-6, 2, histamin, PGE2 dan NGF yg memicu serta mempertahankan

abnormalitas sensoris pasca cidera (thacker et al., 2007).

Hingga saat ini dikenal ada dua macam nyeri persisten kronis, yaitu

nyeri nosiseptif dan nyeri neuropati. Nyeri nosiseptif berhubungan dengan

proses peradangan akibat cidera jaringan, sedangkan nyeri neurogenik

timbul akibat kerusakan saraf perifer atau saraf sentral. Pada nyeri

(38)

24

pada serabut A dan serabut C yang bertanggung jawab terhadap sensitisasi,

penyertaan nosiseptor yang normalnya tidak aktif, aktivasi kanal ionik dan

reseptor membran (Pace et al, 2006).

Selama inflamasi dan neuropati terjadi perubahan fenotipik serabut

ganglion dorsalis yaitu terjadi peningkatan eksitabilitas, perubahan sinyal

sistem imun di SSP, dan modifikasi endokrin sehingga setelah kerusakan

jaringan, nosiseptor menjadi hipereksitabel. Interaksi sel-sel imun dan sel

glia dengan sistem saraf akan merubah sensitivitas nyeri dan memediasi

transisi nyeri akut ke nyeri kronis (Ren & Dubner, 2010).

Nyeri berhubungan dengan segala kerusakan dari permukaan kulit.

Intensitas dan durasi dari nyeri tergantung sifat trauma itu sendiri, proses

penyembuhan, dan faktor dari individu. Pelepasan mediator nyeri

merupakan mekanisme dalam menanggapi nyeri tersebut sehubungan

dengan adanya stimulus perifer tersebut. Berbagai macam mediator nyeri

yang dikeluarkan sangat berguna dalam proses penyembuhan luka selama

beberapa waktu, tetapi dilaporkan bahwa pelepasan mediator nyeri yang

terjadi terus menerus melewati periode inflamasi akan menyebabkan efek

yang kurang baik atau merusak proses penyembuhan luka itu sendiri

(Widgerow & Kalaria, 2012).

(39)

25

Gambar 2.6. Respon mediator inflamasi (Sumber : Widgerow & Kalaria, 2012).

Pembebasan mediator nyeri yang berlebihan bisa menyebabkan

hipersensitisasi pada nosiseptor, hiperinflamasi seluler, perubahan matrik

ekstraseluler, dan potensial mengakibatkan terjadinya jaringan fibrotik yang

berlebihan. Pada keadaan nyeri kronis bisa jadi disebabkan oleh pelepasan

mediator yang terjadi berlarut-larut (Widgerow & Kalaria, 2012).

(40)

26 d. Nyeri Kronis Pasca Bedah

Nyeri kronis pasca bedah adalah nyeri yang menetap setidaknya

selama tiga bulan setelah tindakan bedah berlangsung. Nyeri yang timbul

akibat konsekuensi dari suatu keganasan atau infeksi kronis tidak termasuk

dalam definisi ini. Nyeri kronis pasca bedah bisa terjadi pada operasi besar

seperti amputasi, penggantian sendi, dan lain sebagainya, ataupun

operasi-operasi kecil seperti operasi-operasi hernia dan vasektomi (Akkaya & Ozkan, 2009)

Kebanyakan referensi menyebutkan kurang lebih 80% pasien

mengalami nyeri pasca operasi yang pengobatannya tidak adekuat. Telah

diamati bahwa 50% pasien mungkin menderita nyeri kronis pasca operasi

termasuk depresi ringan dan katastropi akibat nyeri (Harsoor, 2011).

Nyeri kronis pasca bedah terjadi melalui mekanisme kompleks yang

belum jelas. Berbagai mekanisme bertanggung jawab atas sindroma nyeri

yang berbeda, bahkan setelah suatu tindakan operasi yang sama (Akkaya &

Ozkan, 2009).

Saat ini banyak data dari berbagai penelitian mengenai seberapa

sering kejadian nyeri kronis pasca operasi. Tabel 2.1 menyajikan salah satu

contoh dari penelitian tentang data kejadian nyeri kronis pasca operasi dari

berbagai macam prosedur pembedahan. Tetapi, dari berbagai penelitian,

estimasi seberapa sering kejadian nyeri kronis pasca operasi dari

masing-masing prosedur sangat lebar, sebagai contoh, mastektomi 20-30%,

amputasi 50-85%, histerektomi 30%, bedah jantung 30-55%, hernia

5-35%, dan torakotomi 5-65% (Niraj & Rowbotham, 2011)

(41)

27

Nyeri kronis pasca bedah dapat disebabkan oleh inflamasi yang

sedang berlangsung maupun sebagai manifestasi nyeri neuropatik akibat

cedera saraf perifer besar pada saat tindakan bedah. Pada nyeri yang

disebabkan oleh inflamasi terjadi peningkatan kepekaan rasa sakit sebagai

respon terhadap cedera jaringan dan inflamasi. Hal ini terjadi akibat

pelepasan mediator inflamasi, yang kemudian menurunkan ambang

nosiseptor penginervasi jaringan yang mengalami inflamasi tersebut

(sensitisasi perifer). Bila terjadi peningkatan rangsangan (eksitabilitas)

neuron sistem saraf pusat (sensitisasi sentral), nyeri inflamasi dapat timbul

sebagai respon berlebihan terhadap input sensoris biasa. Nyeri neuropatik

merupakan nyeri yang timbul setelah cedera saraf dan sistem transmisi

sensorik di sumsum tulang belakang dan otak (Akkaya & Ozkan, 2009).

(42)

28

Tabel 2.1. Perkiraan kejadian nyeri kronis pasca bedah (Sumber : Niraj & Rowbotham, 2011).

Dalam praktek klinis, sebagian besar nyeri kronis pasca bedah

merupakan nyeri neuropatik. Cedera saraf utama yang melewati lokasi

operasi merupakan salah satu prasyarat terjadinya nyeri kronis pasca bedah.

Pada sekelompok kecil pasien, respon peradangan kontinu dapat

memberikan kontribusi terhadap timbulnya nyeri inflamasi persisten,

misalnya nyeri yang terjadi setelah operasi hernia inguinalis mesh.

Berdasarkan temuan elektromiografi setelah dilakukan torakotomi, terdapat

cedera saraf interkostal di sekitar tempat insisi hingga 50-100%. Selain itu,

tingkat kerusakan saraf, yang dinilai berdasarkan adanya perubahan ambang

(43)

29

bekas operasi torakotomi, berkorelasi dengan intensitas nyeri kronis

(Akkaya & Ozkan, 2009).

Namun, terdapat penelitian klinis yang bertentangan dengan

penelitian di atas. Maguire et al. dalam Taylan & Derya (2009) melakukan uji elektrofisiologi terhadap pasien yang akan dilakukan torakotomi

sebelum, segera setelah operasi, minggu ke enam pasca operasi dan bulan

ketiga pasca operasi. Mereka tidak menemukan adanya hubungan antara

cedera saraf interkostal dan nyeri kronis. Perlu dilakukan penelitian lebih

lanjut mengenai kontribusi sistem saraf pusat dan perifer untuk mengetahui

pada tingkat mana suatu lesi dapat menimbulkan neyri neuropatik melalui

cedera saraf serta cedera jaringan selain saraf yang rawan menimbulkan

nyeri neuropatik (Akkaya & Ozkan, 2009).

Strategi yang bagus untuk mencegah terjadinya nyeri kronis pasca

bedah adalah dengan dengan mengidentifikasi faktor-faktor yang mungkin

menjadi penyebab meningkatnya kejadian nyeri kronis pasca bedah. Jika ini

bisa dilakukan, maka intervensi yang spesifik bisa kita lakukan. Beberap

faktor yang yang dilaporkan berhubungan dengan terjadinya nyeri kronis

pasca bedah adalah :

a. Nyeri praoperasi

Beratnya nyeri sebelum operasi telah menunjukkan di beberapa

penelitian berhubungan dengan timbulnya yeri kronis pasca bedah. Hal

ini pertama kali dikemukakan sehubungan dengan phantom limb pain

setelah amputasi. Disebutkan juga terdapat hubungan yang kuat pada

(44)

30

prosedur pembedahan hernia dan torakotomi (Niraj & Rowbotham,

2011).

Dalam penelitian pada pasien yang menjalani operasi hernia, Page

et al. menemukan bahwa sekitar seperempat dari seluruh jumlah pasien tidak merasakan sakit saat beristirahat sebelum operasi hernia, setengah

jumlah pasien merasakan sakit ringan, dan sisanya merasakan nyeri

ringan sampai sedang saat beristirahat sebelum operasi (Akkaya &

Ozkan, 2009).

b. Cedera syaraf

Lesi pada syaraf perifer juga sering dikaitkan dengan kejadian

nyeri kronis pasca bedah. Hal ini faktor yang paling penting pada

beberapa penelitian pasca torakotomi, dan kejadian kerusakan syaraf

telah memperlihatkan sebagai prediksi yang signifikan setelah hernia

repair. Kerusakan syaraf sering berhubungan dengan tanda klasik dari

nyeri neuropatik (Niraj & Rowbotham, 2011).

c. Proses inflamasi yang menetap

Trauma pembedahan menghasilkan pelepasan dari berbagai macam

mediator inflamasi (seperti prostaglandin, sitokin) dan hal ini dapat

mensensitisasi aferen sensoris dan menyebabkan nyeri. Biasanya proses

ini berkurang seiring dengan penyembuhan luka. Dalam beberapa kasus,

dikatakan bahwa proses inflamasi ini menetap (contohnya proses

inflamasi disekitar mesh yang dipasang pada herniarepair), menyebabkan

perubahan plastisitas di medula spinalis. Mekanisme ini sebenarnya

(45)

31

bukan merupakan faktor penyebab pada kebanyakan pasien dengan nyeri

kronis pasca bedah (Niraj & Rowbotham, 2011).

d. Kuatnya nyeri pada awal pasca operasi

Kuatnya nyeri pada awal pasca operasi menjadi hal yang sangat

penting pada beberapa situasi. Efek yang diberikan juga bervariasi

tergantung prosedur yang dijalani. Sebagai contoh, nyeri yang

berlangsung selama 30 hari pasca operasi dilaporkan menjadi prediktor

yang signifikan pada operasi hernia repair, tetapi penelitian lain pada torakotomi hal itu tidak terjadi (Niraj & Rowbotham, 2011).

Banyak penelitian terhadap nyeri kronis pasca bedah

mempublikasikan tentang pentingnya perawatan adekuat nyeri pasca

operasi pada periode akut (Akkaya & Ozkan, 2009).

e. Faktor genetik

Dalam populasi umum, kepekaan terhadap nosiseptif fisiologis dan

nyeri klinis dapat berbeda pada masing-masing individu. Dengan

demikian, dalam generasi yang berbeda serta tingkat pengalaman

merasakan nyeri yang berbeda, masing-masing individu dapat

memperlihatkan respon yang berbeda pula (Akkaya & Ozkan, 2009).

f. Faktor Pembedahan

Beberapa faktor bedah penting yang mungkin berkaitan dengan

terjadinya nyeri kronis pasca bedah, yaitu: durasi operasi, teknik bedah

(laparoskopi vs bedah terbuka), lokasi dan jenis sayatan, pengalaman ahli

bedah, dan tempat di mana intervensi bedah dilakukan. Peters et al.

(46)

32

menemukan lebih banyak nyeri kronis yang terjadi setelah operasi lama

yang berlangsung lebih dari 3 jam (Akkaya & Ozkan, 2009).

g. Faktor Psikososial

Terdapat banyak artikel yang berhubungan dengan efek faktor

psikososial pada nyeri pasca operasi akut. Katz et al. menyimpulkan bahwa kecemasan pra operasi adalah faktor risiko dalam terbentuknya

nyeri sampai 30 hari setelah operasi payudara. Insiden nyeri pasca

operasi akut dipengaruhi oleh catastrophization (Keyakinan negatif dan respon berlebihan) (Akkaya & Ozkan, 2009).

e. Proses Penyembuhan Luka

Penyembuhan luka merupakan proses kompleks dan dinamis dari

perbaikan struktur sel dan jaringan. Penyembuhan luka melibatkan

berbagai proses dengan urutan : hemostasis, inflamasi akut, regenerasi sel

parenkim, migrasi dan proliferasi sel parenkim, sintesis protein ECM,

remodeling jaringan ikat dan komponen parenkim, kolagenasi dan

akuisisi kekuatan kekuatan luka (Winarto, 2005)

proses penyembuhan luka secara sederhana dibagi menjadi tiga

fase. Yang pertama adalah fase inflamasi, kemudian diikuti oleh fase

proliferasi,dan diakhiri dengan fase maturasi atau remodeling

(Prasetyono, 2009).

1. Fase Inflamasi

Fase inflamasi terjadi sejak hari pertama terjadinya luka

sampai kira-kira hari kelima pasca trauma. Fase inflamasi dimulai

(47)

33

dengan adanya peristiwa hemostasis yang terjadi dalam beberapa jam

setelah trauma, dengan konstriksi pembuluh darah dan pembentukan

formasi jala fibrin, sementara itu terjadilah reaksi inflamasi (Guo &

Dipietro, 2010).

Vasokonstriksi akan diikuti dengan vasodilatasi kapiler,

dengan dihasilkannya serotonin dan histamin oleh sel mast yang

meningkatkan permeabilitas kapiler. Lekosit untuk selanjutnya akan

mengeluarkan sitokin proinflamasi dan faktor pertumbuhan untuk

mengaktifkan proses inflamasi. Fase awal dari proses inflamasi

ditandai dengan perekrutan neutrofil yang mempunyai peran penting

untuk fagositosis dan mensekresi protease untuk membunuh bakteri

serta membantu proses degradasi jaringan nekrotik. Lebih jauh,

neutrofil berfungsi sebagai chemoattractans dari sel-sel yang lain untuk terlibat dalam proses inflamasi (Reinke & Sorg, 2012).

2. Fase Proliferasi

Fase proliferasi terjadi kira-kira hari ketiga sampai hari

kesepuluh pasca trauma. Fokus utama proses penyembuhan pada fase

ini adalah penutupan luka dan perbaikan jaringan vaskuler (Reinke &

Sorg, 2012).

Fase ini ditandai dengan pembentukan jaringan granulasi pada

luka. Jaringan granulasi merupakan kombinasi dari elemen seluler

termasuk fibroblas dan sel inflamasi, bersamaan dengan timbulnya

(48)

34

kapiler baru tertanam dalam jaringan longgar ekstraseluler dari matrik

kolagen, fibronektin, dan asam hialuronik (Sudrajad, 2006)

Proses epitelisasi dimulai dari tepi luka oleh sel punca dari

folikel rambut dan kelenjar keringat. Proses ini diaktivasi oleh jalur

sinyal dari sel epitel dan nonepitel pada tepi luka yang melepaskan

beberapa sitokin dan faktor pertumbuhan seperti EGF, KGF, IGF-1,

dan NGF (Reinke & Sorg, 2012).

3. fase maturasi

fase ini berlangsung dari hari ke-7 dan bisa berlangsung lebih

dari satu tahun. Segera setelah matrik ekstraseluler terbentuk maka

dimulailah reorganisasi. Kolagen berkembang cepat menjadi faktor

utama pembentuk matriks. Serabut kolagen pada permulaan

terdistribusi acak membentuk persilangan dan beragregasi menjadi

bundel-bundel fibril yang secara perlahan menyebabkan penyembuhan

jaringan dan meningkatkan kekakuan dan kekuatan ketegangan.

Sesudah lima hari periode jeda, dimana saat ini bersesuaian dengan

pembentukan jaringan granulasi awal dengan matriks sebagian besar

tersusun dari fibronektin dan asam hialuronidase, terjadi peningkatan

cepat dari kekuatan tahanan luka karena fibrogenesis kolagen.

Pencapaian kekuatan tegangan luka berjalan lambat. Sesudah 3

minggu kekuatan penyembuhan luka mencapai 20% dari kekuatan

akhir. Bagaimanapun, kekuatan akhir penyembuhan luka tetap kurang

dibanding dengan kulit yang tidak pernah terluka, dengan kekuatan

(49)

35

tahanan maksimal jaringan parut hanya 70 % dari kulit utuh

(Sudrajad, 2006).

Remodeling aktif jaringan parut akan terus berlangsung sampai

satu tahun dan tetap berjalan dengan lambat seumur hidup. Pada proses

remodeling terjadi reduksi secara perlahan pada vaskularisasi dan

selularitas jaringan yang mengalami perbaikan sehingga terbentuk jaringan

parut kolagen yang relatif avaskuler dan aseluler. Pengerutan luka yang

terjadi karena pergerakan ke dalam dari tepi luka juga merupakan faktor

berpengaruh dalam penyembuhan luka dan harus dibedakan dengan

kontraktur (Sudrajad, 2006).

f. Pengukuran Intensitas Nyeri :

1. Verbal Rating Scale : Metode ini menggunakan suatu word list untuk mendeskripsikan nyeri yang dirasakan. Pasien disuruh memilih kata –

kata atau kalimat yang menggambarkan karakteristik nyeri yang

dirasakan dari word list yang ada. Penilaian ini ada beberapa kriteria : - Tidak nyeri (none)

- Nyeri ringan (mild)

- Nyeri sedang (moderat)

- Nyeri berat (severe)

- Nyeri sangat berat ( very severe)

2. Numerical Rating Scale : Metode ini menggunakan angka – angka untuk

menggambarkan range intensitas nyeri dari angka 0-10. “0”

(50)

36

menggambarkan tidak ada nyeri. Sedangkan “10” menggambarkan nyeri

hebat. Gambar 2.7 Numeric Pain Intensity Scale

3. Visual analogue Scale : metode ini paling sering digunakan untuk mengukur intensitas nyeri, dengan menggunaan garis sepanjang 10 cm

yang menggambarkan keadaan tidak nyeri sampai nyeri yang sangat

hebat. Pasien menandai angka pada garis yang menggambarkan intensitas

nyeri yang dirasakan. Metode ini tidak dapat digunakan pada anak

dibawah 8 tahun. Gambar 2.8 Visual analogue Scale

4. McGill Pain Questionare : metode ini menggunakan chek list untuk

mendeskripsikan gejala-gejala nyeri ysng dirasakan. Metode ini

menggambarkan nyeri dari berbagai aspek antara lain sensorik, afektif,

dankognitif. Intenitas nyeri digambarkan dengan menggunakan ranking

dari 0-3.

5. Faces Pain Scale : metode ini dengan cara melihat mimic wajah pasien

(51)

37

Gambar 2.9. Wong Baker Faces Pain Rating Scale

2. INTERLEUKIN 6

Istilah limfokin pertama kali digunakan pada tahun 1960 untuk

golongan protein yang diproduksi oleh limfosit B dan T yang diaktifkan.

Ternyata sel-sel lain seperti makrofag, eosinofil, sel mast, sel endotel, dan

epitel juga memproduksi sitokin. Oleh karena itu istilah yang lebih tepat

adalah sitokin. Sitokin merupakan protein sistim imun yang mengatur

interaksi antar sel dan memacu reaktivitas imun, baik pada imunitas

nonspesifik maupun spesifik (Baratawidjaja, 2006).

Menurut definisinya sitokin adalah polipeptida yang diproduksi

sebagai respon terhadap mikroba dan antigen lain yang diperantarai dan

mengatur reaksi imunologik dan reaksi inflamasi. Banyak sitokin yang telah

diidentifikasi, baik dari struktur molekul maupun fungsinya. Beberapa

diantaranya merupakan mediator utama yang meningkatkan reaksi

imunologik yang melibatkan makrofag, limfosit, dan sel-sel lainnya, jadi

berfungsi sebagai imunomodulator spesifik maupun non-spesifik. Pada 2nd International Lymphokin Workshop di Swiss tahun 1979, dicapai kesepakatan untuk memberi satu nama generik kepada mediator-mediator

tersebut yang ternyata mempunyai sifat biokimia dan sifat biologik serta

fungsi yang serupa. Nama yang disepakati adalah intrleukin yang berarti

(52)

38

adanya komunikasi antar sel leukosit. Hingga sekarang telah ditemukan

beberapa jenis interleukin yaitu IL-1 hingga IL-35, dan berbagai percobaan

telah dilakukan untuk menentukan fungsi masing-masing (Kresno, 2010).

Sitokin proinflamasi diinduksi berbagai sel atas pengaruh mikroba,

trauma atau kerusakan sel penjamu. Sitokin mengawali, mempengaruhi dan

meningkatkan respon imun nonspesifik. Makrofag dirangsang oleh INF- ,

TNF-α, dan Iδ-1 disamping juga memproduksi sitokin-sitokin tersebut.

IL-1, IL-6, dan TNF-α merupakan sitokin proinflamasi dan inflamasi spesifik.

Disamping itu dikenal sitokin-sitokin yang berfungsi dalam diferensiasi dan

fungsi serta mengontrol sel sistim imun dan jaringan (Baratawidjaja, 2006).

Gambar 2.10 Alur ikatan sitokin dengan nosiseptor

Interleukin-6 merupakan sitokin proinflamasi yang berperan dalam

maturasi dan aktivasi neutrofil, maturasi makrofag, serta deferensiasi dari

limfosit-T sitotoksik dan sel NK. IL-6 adalah salah satu mediator yang

paling awal dan penting dalam induksi dan mengontrol sintesa protein fase

(53)

39

akut pada trauma, infeksi, pembedahan, dan luka bakar. Setelah terjadi

cedera, konsentrasi plasma IL-6 bisa dideteksi dalam 60 menit dengan

konsentrasi puncak antara 4 sampai 6 jam, dan dapat bertahan sampai 10

hari. IL-6 dipertimbangkan sebagai marker yang sangat relevan dari derajat

kerusakan jaringan dalam prosedur pembedahan yang berhubungan dengan

morbiditas pasca operasi (Oliveira et al., 2011).

3. KETOTIFEN

Ketotifen merupakan derivat dari benzocycloheptathiophene yang

mempunyai efek anti histamin dan anti anafilaktik. Hal itu ditunjukkan

dengan kemampuan ketotifen dalam mengeblok pelepasan mediator dari sel

mast peritonium tikus secara in vitro. Ketotifen mencegah terjadinya

pelepasan histamin dan leukotrien dari basofil dan jaringan paru, untuk

menjadi antagonis histamin pada reseptor H1, untuk menghambat ambilan

kalsium, untuk memblok reaksi anafilaktik kulit pasif, dan untuk mencegah

asma baik yang disebabkan oleh obat atau yang disebabkan oleh alergen.

Beberapa penelitian tentang ketotifen menunjukkan efek yang yang

bermanfaat dalam terapi asma (Sayeed, 2011).

Ketotifen fumarat merupakan obat antihistamin dan antialergi yang

telah diketahui menghambat degranulasi sel mast melalui mekanisme

calcium-dependent, dan memblok histamin secara non kompetitif pada

reseptor H1. Ketotifen telah disetujui oleh FDA sebagai terapi tambahan

pada dewasa dan anak diatas 15 tahun dengan asma, dan baru-baru ini FDA

(54)

40

mengijinkan ketotifen dipakai sebagai terapi alergi pada mata (Monument et al., 2012).

a. Struktur Kimia

Ketotifen memiliki nama bangun yaitu

4-(1-metilpiperidin-ylidene)- 4,9-dihidro-10H-benzo [4,5] siklopenta [1,2-b] tiofen-10-satu

hydrogen (E)-butadiana. Formula molekul dari ketotifen adalah

C23H23NO5S, dan memiliki berat molekul 425,49742 (Serna, 2006).

b. Mekanisme Kerja

Infiltrasi dan degranulasi sel mast memiliki peran dalam proses

inflamasi. Degranulasi sel mast akan melepaskan berbagai macam

mediator inflamasi seperti sitokin, endothelin, growth factor dan enzim

proteolitik. Sehubungan dengan antagonis resptor histamin, beberapa

efeknya kemungkinan berhubungan dengan inhibisi terhadap pelepasan

sel mast dan derivat netrofil mediator inflamasi. Pada banyak penelitian

dan kondisi klinis, ketotifen tercatat mampu mengurangi degranulasi sel

mast dan mengurangi pelepasan histamin, protease sel mast,

myeloperoxidase leukotriens, PAF dan bermacam-macam prostaglandin.

Ketotifen juga menghambat agregasi polimorfonuklear dan migrasi serta

mengurangi respon inflamasi. Hal ini secara langsung akan mengurangi

fungsi eosinofil dan viabilitasnya (Khurana et al., 2011).

Ketotifen melakukan blokade secara non kompetitif terhadap

ikatan histamin 1 dengan reseptornya dan menghambat degranulasi sel

mast yang diperantarai oleh kalsium. Ketotifen merupakan agen

(55)

41

stabilisator sel mast yang mencegah degranulasi sel mast dengan cara

mencegah influk transmembran dari ion kalsium. Ketotifen dapat

memblokade pelepasan mediator oleh sel mast tikus secara in vitro.

(Khurana et al., 2011). Ketotifen juga memblok konsentrasi cyclyc-AMP (c-AMP) yang diperlukan pada saat akhir degranulasi vesikel (Monument

et al., 2010)

Ketotifen menghambat produksi sitokin dari sel TH2. NO adalah

modulator sel Mast yang menginduksi aksi pro-inflamasi. Sel Mast juga

berperan pada kerusakan ginjal melalui aktivasi lokal sistem

renin-angitensin dalam nefrophati IgA. Sekresi sitokin dari sel Mast dan sel

Th2 seperti TGF-B yang memfasilitasi produksi IgA. Disini ada

peningkatan IL-4,5,6 yang merupakan sitokin dari sel TH2 dan sel Mast.

Produksi IgA intestinal yang berlebihan diketahui sebagai salah satu

penyebab nefrophati IgA. Ketotifen mengaktivasi distribusi NOS di

lapisan luar korteks dan glomerulus dan menyebabkan penurunan

resistensi pembuluh darah renal (Young-Sun et al., 2009).

c. Farmakokinetik

Ketotifen diabsorbsi dengan baik setelah pemberian secara oral,

mencapai kadar puncak dalam plasma dalam 2-4 jam setelah pemberian.

Namun demikian, belum ada informasi yang cukup mengenai absorbsi

dari ketotifen sediaan tablet lepas lambat. Karena adanya efek first-pass metabolism, bioavailabilitas obat ini hanya 50%. Kadar puncak dalam plasma setelah dosis oral multipel sebesar 1mg, 2 kali sehari adalah 1.92

Gambar

Tabel 2.1. Perkiraan kejadian nyeri kronis pasca bedah ....................................
Gambar 2.1  Jalur pelepasan dan metabolisme asam arakidonat
Gambar 2.2 Imunofisiologi nyeri inflamasi (Sumber : thacker et al., 2007).
Gambar 2.3  Biosintesis prostanoid (prostaglandin, tromboksan dan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil wawancara dengan Mahasiswa jurusan Hukum dan Ekonomi Syariah yaitu mereka masing masing mempunyai teman didunia maya yang sebelumnya memang sudah

Smartphone merupakan salah satu jenis media baru yang paling banyak kita jumpai dimana pun dan kapan pun sehingga media baru ini tidak asing lagi bagi

“ Pengaruh Risiko, Manfaat Dan Kemudahan Penggunaan Terhadap Kepercayaan Nasabah Dalam Menggunakan Internet Banking di Pekanbaru (Studi Kasus pada Nasabah Bank Mandiri)

DAFTAR PEMILIH TETAP PEMILIHAN GUBERNUR DAN WAKIL GUBERNUR PROVINSI ACEH SERTA BUPATI DAN WAKIL BUPATI KABUPATEN ACEH BESAR TAHUN 2017 PROVINSI KABUPATEN/KOTA.. KECAMATAN

Berdasarkan hasil analisis data yang diperoleh dan pembahasan yang dilakukan pada bab sebelumnya didapat kesimpulan sebagai berikut: (1) Tidak ada pengaruh yang signifikan

2) Komisi dua negara, yaitu Komisi Kebenaran dan Persahabatan tidak berkaitan dengan keadilan dan seharusnya tidak menjadi alasan atau penyimpangan dari proses-proses peradilan.

Penghubung sistem merupakan media penghubung yang memungkinkan sumber-sumber daya mengalir dari satu subsistem ke subsistem yang lainnya Keluaran (output) dari satu