• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik habitat dan pola pertumbuhan kepiting kelapa (Birgus latro) di Pulau Ternate dan Kabupaten Halmahera Barat Provinsi Maluku Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Karakteristik habitat dan pola pertumbuhan kepiting kelapa (Birgus latro) di Pulau Ternate dan Kabupaten Halmahera Barat Provinsi Maluku Utara"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.5.2.4350

48

Karakteristik habitat dan pola pertumbuhan kepiting kelapa (

Birgus latro

)

di Pulau Ternate dan Kabupaten Halmahera Barat Provinsi Maluku Utara

Habitat characteristics and growth pattern of coconut crab (Birgus latro) in

Ternate Island and West Halmahera, North Maluku Province

Rugaya H. Serosero

1*

, Suryani

2

, Rina

1

1 Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas

Khairun Ternate, Jl.Kampus Gambesi, Kota Ternate Selatan Kode Pos 97719. *Corresponding author email: rugayaserosero@yahoo.co.id

2 Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Khairun Ternate,

Jl.Kampus Gambesi, Kota Ternate Selatan Kode Pos 97719.

Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik habitat dan pola pertumbuhan kepiting kelapa (Birgus latro) di Takome Pulau Ternate dan Idamdehe Kecamatan Jailolo Propinsi Maluku Utara. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April-Juli 2014. Data yang dikumpulkan adalah tekstur substrat dengan metode pipet, penentuan kandungan nitrat danfosfat tanah dengan metode spektofotometer, pengukuran panjang + rostrum (cp+r) kepiting kelapa dan pola pertumbuhannya. Selain it juga diukur suhu udara, suhu lubang dan kelembaban udara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Idamdehe memiliki karakteristik pantai yang curam, bahkan di beberapa lokasi penangkapan sangat terjal, sedangkan di lokasi Takome Pulau Ternate memiliki karakteristik pantai yang lebih landai. Tekstur substrat di lokasi Takome Pulau Ternate terdiri atas pasir (55,76 %), debu (18,4%) dan liat (25,84%) dan Stasiun Idamdehe memiliki tekstur pasir (49,17%), debu (25,61%) dan liat (25,22%)dankandungan bahan organik substrat (Total N) di Takome adalah 0,31% dan total P adalah 0,09% sedangkan di Idamdehe Total N adalah 0,19% dan Total P 0,02%. Suhu udara di lokasi Idamdehe berkisar 26-280C dan di Takome 27-280C. Kelembaban udara 73%-98% di Idamdehe dan 71%-90% di Takome. Parameter lingkungan berupa suhu udara, kelembaban udara, tekstur substrat dan kandungan bahan organik di kedua lokasi penelitian mendukung kehidupan kepiting kelapa di habitat alaminya. Pola pertumbuhan kepiting kelapa di kedua lokasi Idamdehe adalah allometrik negatif.

Kata kunci: Karakteristik habitat, Idamdehe, Takome, Birgus latro, isometrik, allometrik negatif

Abstract. This objectives of the present study were to evaluate the habitat characteristics and growth patterns of the coconut crabs in Takome and Idamdehe waters North Maluku Province. This study was conducted during April-July 2014. The collected data were the substrate texture, nitrate and phosphate contents of soil using spectrophotometric method, length + rostrum (cp+r) of coconut crabs and the growth patterns. In addition, the air temperature, hole temperature and humidity were also recorded during the study. The results showed that Idamdehe waters has precipitous coast, indeed very precipitous in several catching locations, while Takome waters in Ternate Island has sloping coast. The substrate texture of Takome waters in Ternate Island consisted of sands (55.76%), dusts (18.4%) and clays (25.84%), while Idamdehe waters has the substrate texture that consisted of sands (49.17%), dusts (25.61 %) and clays (25.22%). As for organic matter contents of the substrate, Takome waters has 0.31% in total N and 0.09% in total P, while Idamdehe waters has 0.19% in total N and 0.02 % in total P. The air temperature in Idamdehe waters ranged between 26-280C and in Takome waters ranged between 27-280C. Air humidity in Idamdehe waters was 73%-98% and in Takome waters was 71%-90%. The environmental parameters such as temperature, humidity, substrate texture and organic matter content in both locations are suitable for coconut crab growing. The growth pattern of coconut crabs in Idamdehe and Sulamadaha waters were allometric negative pattern.

(2)

DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.5.2.4350

49

Pendahuluan

Kepiting kelapa (Birgus latro) merupakan salah satu sumberdaya perikanan yang memiliki distribusi terbatas dan hanya ditemukan di beberapa wilayah di dunia. Penyebarannya meliputi kepulauan tropis di Indo Pasifik (Drew et al., 2010), Pulau Christmas, Samudera Hindia (Lavery et al., 1995; Stensmyr, 2005; Anagnostou dan Schubart, 2014), pulau karang di seluruh Indo Pasifik pada zona tropis dari pulau-pulau di lepas pantai Afrika ke kepulau-pulauan Gambier di Pasifik Timur (Brown dan Fielder, 1991; Wang et al., 2007; Drew et al., 2010), di daerah sub tropis di kepulauan Ryuku Jepang (Sato dan Yoseda, 2008; Hamasaki et al., 2009; Drew et al., 2010; Pulau Hatoma, Jepang (Sato and Yoseda, 2013). Sulistiono et al. (2007) menyatakan bahwa kepiting kelapa tidak dapat ditemukan pada seluruh perairan di Indonesia, hanya ditemukan pada daerah tertentu saja, terutama ditemukan di wilayah timur Indonesia yaitu di Sulawesi (Ramli, 1998, Refiani dan sulistiono, 2009; Handa et al., 2013), Maluku (Jahidin, 2010) dan Maluku Utara (Abubakar, 2009; Supyan et al., 2012; Serosero et al., 2014). Umunya habitat kepiting kelapa adalah pada daerah-daerah berbatu, goa, dan terdapat vegetasi. Jenis makanan yang disukai antara lain kelapa, pandan pantai, pisang, ubi, dan tanaman pantai lainnya. Meskipun demikian, tidak semua wilayah yang memiliki pantai bisa ditemukan kepiting kelapa.

Kepiting kelapa adalah salah satu angota dari family Cyanobitidae dengan ukuran terbesar yang memiliki kemampuan hidup di darat. Kepiting ini melakukan seluruh aktivitas hidupnya di darat dan akan kembali ke laut ketika akan melakukan proses pelepasan telur (Amesbury, 1980; Fletcher et al., 1991). Larva planktonik ini berada di kolom air untuk jangka waktu 3-4 minggu sebelum mereka menetap sebagai bentik pada fase glaucothoe, akhirnya bermigrasi ke daratan (Reese dan Kinzie, 1968;. Schiller et al., 1991). Kepiting dewasa biasanya memiliki liang dan mungkin dibuat di suatu wilayah. Kepiting kelapa bisa tumbuh besar, hingga 4 kg, dan umurnya lebih dari 40 tahun (Fletcher et al., 1991).

Pertumbuhan kepiting kelapa ditentukan oleh kondisi lingkungan habitat yang sesuai dan memiliki ketersediaan makanan di habitatnya. Keberadaan kepiting kelapa pada habitatnya sering terganggu, terutama pada daerah yang berpenduduk karena sering ditangkap untuk dikonsumsi. Penangkapan yang berlebihan untuk konsumsi dan pembukaan hutan pesisir untuk berbagai kepentingan menyebabkan populasi kepiting kelapa di alam terus menurun. Pembukaan hutan mengakibatkan sumber makanan alami di habitatnya berkurang.

Kepiting kelapa memiliki rasa daging yang enak dan bergizi tinggi. Hasil uji proksimat daging kepiting kelapa di Pulau Ternate, Maluku Utara diperoleh kadar protein 21,77%, lemak 0,6%, air 74,43%, karbohidrat 1,43%, dan abu 1,78% (Serosero et al., 2014). Kepiting kelapa juga dipercaya sebagai aphrodisiac (perangsang gairah seksual) walaupun belum teruji secara klinis (Flechter, 1990).

Kepiting kelapa atau disebut sebut ketam kenari telah dilindungi oleh Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Satwa Liar. Meskipun telah ada larangan Pemerintah namum sumberdaya ini tetap dieksploitasi karena harga jualnya yang tinggi terutama kepiting kelapa betina dewasa. Oleh karean itu perlu langkah-langkah perlindungan terhadap spesies ini dengan mengembangkan kawasan konservasi dan pengembangan budidayanya (Wang et al., 2007).

Penelitian tentang kepiting kelapa telah dilakukan di beberapa lokasi di Indonesia, diantaranya di Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara (Ramli, 1995; Jahidin, 2010; Handa et al., 2013) dan di Maluku Utara (Sulistiono et al., 2009; Abubakar, 2009; Supyan et al., 2013). Khususnya di Maluku Utara, kajian yang sudah dilakukan hanya terfokus di salah satu kabupaten di Maluku Utara yaitu di Kabupaten Halmahera Tengah sehingga penelitian ini penting dilakukan untuk mengungkapkan karakteristik habitat kepiting kelapa di lokasi lain di Maluku Utara yaitu di lokasi Idamdehe Kabupaten Halmahera Barat dan lokasi Sulamadaha Pulau Ternate.

Maluku Utara merupakan daerah kepulauan yang memiliki potensi kepiting kelapa yang tinggi, namun jika pemanfaatan secara tidak ramah lingkungan akan mengancam keberlanjutannya. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan karakteristik habitat kepiting kelapa di Desa Takome, Pulau Ternate dan Desa Idamdehe, Kecamatan Jailolo Kabupaten Halmahera Barat Provinsi Maluku Utara, informasi ini penting dalam upaya untuk penetapan kebijakan konservasi kepiting kelapa.

Bahan dan Metode

Waktu dan lokasi

Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan, yaitu pada bulan April-Juli 2014. Lokasi penelitian ini di Desa Takome Pulau Ternate dan Desa Idamdehe Kecamatan Jailolo Kabupaten Halmahera Barat (Gambar 1). Pengukuran parameter lingkungan habitat kepiting kelapa yang terdiri atas suhu udara

(3)

DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.5.2.4350

50

denganmenggunakan termometer dan kelembaban udara dengan menggunakan higrometer yang dilakukan secara insitu dan dilakukan dengan 3 kali ulangan pada kedua lokasi. Pengambilan sampel substrat dengan cara mengambil substrat pada lubang sebagai habitat kepiting kelapa (digali sekitar 5cm) kemudian dikompositkan dan dimasukkan ke kantong plastik berlabel sesuai stasiun penelitian. Sampel selanjutnya di bawa ke laboratorium Proling IPB untuk dilakukan analisis tekstur substrat dengan menggunakan metode pipet (Junaedi, 2010; Tangketasik et al., 2012) dan kandungan bahan organik berupa Nitrat dan Fosfat dengan menggunakan metode spektrofotometer.Penentuan tekstur substrat yang terdiri dari persentase pasir, liat dan debu serta kelas tekstur berdasarkan klasifikasi USDA (United States Department of Agriculture). Batasan kelas-kelas tekstural digambarkan dalam diagram segitiga tekstur (Hanafiah, 2005). Pengamatan jenis vegetasi dilakukan dengan survei jelajah yaitu dengan menjelajahi habitat kepiting kelapa kemudian diidentifikasi berdasarkan petunjuk Kitamura et al. (2012).

Gambar 1. Peta lokasi penelitian. (a) Desa Idamdehe Kecamatan Jailolo, Kabupaten Halmahera Barat (b) Desa Takome, Pulau Ternate.

Pengukuran karakter morfomertik

Karakter morfometrik yang diukur adalah panjang cephalotoraks (cp+r) dan berat tubuh(Gambar 2). Jumlah sampel yang digunakan 20 ekor (N=20). Selanjutnya dianalisis hubungan panjang cephalotoraks dengan berat tubuh dengan menggunakan regresi linier sederhana (Effendie, 1979) :

W = aLb, persamaan tersebut dilinierkan menjadi : Log W = Log a + b Log L keterangan:

W = berat kepitingkelapa (gram) L = panjang cephalotoraks (cp+r) (mm) a dan b konstanta

Gambar 2. Cara pengukuran panjang (CT + R) (Fletcher, 1990)

a b

(a)

(4)

DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.5.2.4350

51

Pola pertumbuhannya ditentukan berdasarkan nilai slope b sebagai berikut, jika nilai b= 3 menunjukkan pola pertumbuhan isometrik. Nilai b≠ 3 menunjukkan pola pertumbuhan allometrik (jika b>3 = allometrik positif) yaitu pertumbuhan berat lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan panjang dan jika b<3 = allometrik negatif yaitu pertumbuhan panjang lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan berat.

Hasil dan Pembahasan

Karakteristik habitat

Desa Idamdehe memiliki karakteristik pantai yang curam, bahkan di beberapa lokasi penangkapan sangat terjal. Lokasi ini terletak pada dataran yang lebih tinggi dari garis pantai dan terdapat tebing-tebing yang curam hingga ketinggian 10 meter dari garis pantai. Kepiting kelapa biasanya ditemukan di daerah yang terdapat tebing dari batu karang dan lubang dengan diameter yang bervariasi antara 15-30 cm, di lubang tersebut biasanya terdapat kepiting kelapa yang menggunakan lubang sebagai tempat berlindung.

Karakteristik habitat di Pantai Takome Pulau Ternate menujukkan karakteristik pantai yang lebih landai dibandingkan dengan di Desa Idamdehe. Habitat kepiting kelapa di lokasi ini sangat dekat dengan garis pantai. Kepiting kelapa juga membuat lubang di balik akar-akar kayu, celah-celah batu di pantai dan lubang-lubang di tanah. Karakteristik habitat di kedua lokasi penelitian (Gambar 3).

a b

d e f

Gambar 3. Kondisi lubang dan lokasi penangkapan kepiting kelapa (a,b,c) di Desa Idamdehe Kecamatan Jailolo Kabupaten Halmahera Barat dan

(d, e, f)di Desa Takome, Pulau Ternate

Karakteristik habitat di Idamdehe, terdiri atas vegetasi kelapa (Cocos nucifera), pandan pantai (Pandanus odorifer) dan semak belukar. Vegetasi tanaman ini merupakan tanaman yang buahnya sering menjadi makan bagi ketam kelapa. Sedangkan di Takome, vegetasi tanaman didominasi oleh pohon kelapa, hal ini karena di sekitar lokasi penangkapan kepiting kenari terdapat areal perkebunan kelapa milik warga. Selain tanaman kelapa juga terdapat pandan pantai (P. odorifer), ketapang (Terminalia catappa) dan semak-semak. Reruntuhan batang pohon yang mulai membusuk juga merupakanhabitat yang disukai kepiting kelapa. Hasil penelitian menunjukan bahwa makanan utama kepiting kelapa adalah kelapa. Meskipun merupakan introduksi, keberadaan vegetasi kelapa sangat penting bagi kelangsungan hidup ketam kenari. Menurut Flechter (1990) kepiting kelapa bersifat omnivora dan scavenger. Makanan utama adalah daging kelapa dan buah dari jenis Pandanus, Canarium spp., Sagu (Arenga listen), Terminalia, Barringtonia dan Artocarpus.

Hasil yang sama juga dilaporkan oleh Handa et al. (2013) yang melakukan penelitian ketam kelapa di Menui bahwa kepiting kelapa disana menyukai habitat dengan vegetasi yang didominasi oleh kelapa serta terdapat sarang atau gua-gua kecil serta memiliki tipologi pantai yang berbatu. Haing (1984)

dalam Jahidin (2010) menambahkan bahwa habitat yang paling disenangi B. latro adalah vegetasi pantai

(a) (b) (c)

(5)

DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.5.2.4350

52

dengan semak-belukar area supralitoral, menghuni gua atau lubang bebatuan dan mencari makan pada malam hari (nokturnal). Hasil penelitian Supian et al. (2013) di Pulau Uta menyatakan bahwa Pulau Uta memiliki topografi sangat datar dan berelevasi rendah dengan ketinggian lahan maksimal 2 meter diatas permukaan laut. Daratan pulau mayoritas ditumbuhi oleh pohon pinus (Pinus), pandan (Pandanus), bintangur (Calophyllum inophyllum) dan kayu besi (Eusiderorylon zwageri). Pada bagian tengah pulau terdapat rawa-rawa dengan vegetasi pohon kelapa yang tumbuh rapat di pinggiran rawa.

Kepiting kelapa cenderung untuk menempati daerah tertentu selama makanan tersedia secara lokal dan jarang mencari makan lebih dari 100 m atau lebih dari liang mereka atau tempat persembunyiannya (Harms, 1937 dalam Fletcher, 1990). Kepiting kelapa dapat hidup nomaden ketika makanan sulit diperoleh (Helfman, 1973 dalam Fletcher, 1990). Kepiting kelapa merupakan hewan yang melakukan aktivitas di siang dan malam hari namun pada lokasi yang dihuni manusia kepiting kelapa cenderung bersembunyi pada siang hari dan aktif di malam hari.

Kepiting kelapa dewasa akan membentuk kelompok-kelompok untuk mengetahui benda-benda asing yang ditemuinya dan menghindari konflik antara jenis dengan menggunakan perilaku agonistik (Helfman, 1977). Tingkah laku agonistik adalah semua tingkah laku yang mengarah pada terjadinya perkelahian pada hewan-hewan satu spesies (Price, 1975 dalam Susilowati dan Rahayu, 2007). Pada dasarnya tingkah laku agonistik merupakan kompetisi untuk beberapa sumber yaitu makanan, air, pasangan dan tempat tinggal untuk tempat bersarang, perlindungan selama musim dingin atau terhadap predator (Drickamer and Vesey 1982 dalam Susilowati dan Rahayu, 2007.

Kepiting kelapa membutuhkan habitat yang sesuai sebagai tempat berlindung, mencari makan kelapa selalu membuat lubang sebagai tempat untuk berlindung dari sengatan matahari, menjaga kelembaban tubuh serta untuk menghindari diri dari predator.

Tekstur tanah menunjukkan kasar halusnya tanah, ditentukan berdasarkan perbandingan butir-butir (fraksi) pasir (sand), debu (silt) dan liat (clay). Fraksi pasir memiliki ukuran yang lebih kasar yaitu 2 mm-50 µ lebih besar dibanding debu (50 µ - 2 μ) dan liat (lebih kecil dari 2 μ). Dengan ukurannya yang lebih kasar menyebabkan tanah yang didominansi oleh pasir akan lebih cepat menyerap air (memiliki kapasitas infiltrasi dan permeabilitas tinggi) dibandingkan dengan tanah yang didominasi oleh fraksi debu dan liat. Debu merupakan fraksi tanah yang paling mudah tererosi karena selain mempunyai ukuran yang relatif halus, fraksi ini juga tidak mempunyai kemampuan untuk membentuk ikatan (tanpa adanya bantuan bahan perekat) karena tidak mempunyai muatan. Fraksi liat berukuran halus namun karena mempunyai muatan maka fraksi ini dapat membentuk ikatan. Fraksi halus (dalam bentuk sedimen tersuspensi) juga dapat menyumbat pori-pori tanah di lapisan permukaan. Akibatnya infiltrasi akan menurun sehingga aliran permukaan akan meningkat. Jika tanah demikian mempunyai agregat yang mantap, yakni tidak mudah terdispersi, maka penyerapan air ke dalam tanah masih cukup besar, sehingga aliran permukaan dan erosi menjadi relatif tidak berbahaya (Arsyad, 2000)

Hanafiah (2005) menyatakan bahwa kelas tekstur substrat dapat dikelompokkan kedalam duabelas kelas tekstur yaitu pasir, pasir berlempung, lempung berpasir, lempung, lempung liat berpasir, lempung liat berdebu, lempung berliat, lempung berdebu, debu, liat berpasir, liat berdebu dan liat. Hasil analisis tekstur substrat di lokasi Takome, Pulau Ternate terdiri atas pasir (55,76 %), debu (18,4%) dan liat (25,84%) dan Stasiun Idamdehe memiliki tekstur pasir (49,17%), debu (25,61%) dan liat (25,22%). Kedua lokasi memiliki tekstur substrat yang didominasi oleh pasir dengan komposisi debu dan liat relatif sama. Berdasarkan segitiga tekstur tanah (Hanafiah, 2005), kedua lokasi memiliki tekstur yang sama yaitu lempung liat berpasir. Vanini (2003) menyatakan bahwa umumnya kepiting kelapa ditemukan di daerah dengan tekstur tanah berpasir, di sela-sela lubang sarang persembunyian kepiting kelapa atau di sela-sela akar vegetasi kelapa yang substratnya berpasir. Jahidin (2010) menemukan komposisi substrat yang didominasi debu dan liat banyak ditumbuhi pohon kelapa sehingga dapat menyediakan tempat berlindung bagi ketam kelapa berumur muda dalam perkembangannya.

Bahan organik tanah merupakan komponen penting penentu kesuburan tanah, terutama di daerah tropika dengan suhu udara dan curah hujan yang tinggi. Kandungan bahan organik yang rendah menyebabkan partikel tanah mudah pecah oleh curah hujan dan terbawa oleh aliran permukaan sebagai

erosi, yang pada kondisi ekstrim mengakibatkan terjadinya desertifikasi. Stevenson (1982) menyatakan

bahwa bahan organik tanah merupakan salah satu bahan pembentuk agregat tanah, yang mempunyai peran sebagai bahan perekat antar partikel tanah untuk bersatu menjadi agregat tanah, sehingga bahan organik penting dalam pembentukan struktur tanah. Pengaruh pemberian bahan organik terhadap

struktur tanah sangat berkaitan dengan tekstur tanah. Rice, 2002 dalam Supriyadi, 2008 bahwa bahan

(6)

DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.5.2.4350

53

suhu udara dan curahhujan yang tinggi. Kandungan bahan organik cenderung meningkat dengan meningkatnya kandungan liat. Tingginya kandungan liat juga berpotensi tinggi untuk formasi agregat. Agregat makro akan melindungi bahan organik dari mineralisasi lebih lanjut.

Hasil analisis laboratorium ditemukan bahwa kandungan bahan organik substrat (Total N) di Takome adalah 0,31% dan total P adalah 0,09% sedangkan di Idamdehe Total N adalah 0,19% dan Total P 0,02%. Berdasarkan kisaran nilai tersebut menunjukkan bahwa kandungan bahan organik di lokasi Idamdehe dan lokasi Sulamadaha berada pada klas yang sangat rendah karena nilainya <2% (Supriyadi, 2008). Bahan organik yang rendah dipengaruhi oleh substrat dasar atau partikel substrat itu sendiri. Substrat dasar yang dengan partikel kasar memiliki kandungan bahan organik yang rendah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ita dan Wibowo (2009) bahwa adanya perbedaan ukuran partikel sedimen memiliki hubungan dengan kandungan bahan organik, dimana perairan dengan sedimen yang halus memiliki persentase bahan organik yang tinggi karena kondisi perairan yang tenang yang memungkinkan pengendapan sedimen lumpur yang diikuti oleh akumulasi bahan-bahan organik dasar perairan, sedangkan sedimen yang kasar memiliki kandungan organik yang rendah karena partikel yang lebih kasar susah untuk mengendap.

Hakim et al. (1998) menyatakan bahwa sumber utama bahan organik berasal dari jaringan tanaman berupa akar, batang, ranting, daun dan bunga, dan buah. Selanjutnya jaringan tanaman ini mengalami dekomposisi dan akan terangkut kelapisan bawah tanah. Sumber lain dari kandungan bahan organik tanah yaitu berasal dari hewan. Faktor-faktor yang mempengaruhi kadar bahan organik tanah antara lain kedalaman tanah, iklim, dan tekstur tanah. Kedalaman tanah menentukan kadar bahan organik, dimana kadar bahan organik terbanyak berada pada lapisan tanah bagian atas atau pada permukaan tanah yaitu setebal 20 cm (15-20%). Semakin ke bawah semakin berkurang kandungan bahan organiknya karena akumulasi bahan organik terkonsentrasi di lapisan bagian atas. Faktor iklim yang berpengaruh adalah suhu dan curah hujan, dimana semakin ke daerah dingin (lintang tinggi) maka kadar bahan organik semakin tinggi pula. Tekstur tanah juga berperan yaitu semakin tinggi jumlah liat maka semakin tinggi pula kandungan bahan organik yang terdapat dalam tanah. Tanah berpasir memungkinkan oksidasi yang baik sehingga bahan organik cepat habis.

Parameter kualitas habitat lainnya yang diukur adalah suhu u dara dan kelembaban udara. Pengukuran suhu udara pada siang hari di lokasi Idamdehe berkisar 26-280C dan di Takome 27-280C. Kepiting kelapa menyukai kondisi habitat yang tidak kering sehingga hewan ini aktif pada malam hari untuk menghindari sinar matahari di siang hari. Handa et al. (2013) menyatakan kisaran suhu di lokasi penangkapan kepiting kelapa pada siang dan malam hari berkisar antara 26-32oC. Suhu tanah pada periode siang hari berkisar 26-30oC, sedangkan pada malam hari berkisar antara 25-29oC. Secara keseluruhan, perbedaan suhu di lokasi penelitian tidak signifikan karena berada dalam kisaran yang relatif sama karena kedua lokasi ini ditutupi oleh vegetasi kelapa dan vegetasi lainnya yang tumbuh di sekitarnya.

Kelembaban udara 73%-98 % di Idamdehe dan 71%-90 % di Takome. Kepiting kelapa untuk hidup membutuhkan kondisi lingkungan yang lembab atau tidak terlalu kering untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu, ketam kenari aktif di malam hari sedangkanpada siang hari kepiting kelapa cenderung berlindung dalam lubang dan batang pohon. Whiten et al. (1987) bahwa untuk menghindari kehilangan air dari tubuhnya, Birgus latro aktif pada malam hari. Robertson (1991), menyatakan bahwa pada malam hari dengan kisaran suhu 23-26oC, kepiting kelapa dapat beraktivitas selama 11 jam. Birgus latro menghindari aktivitas pada siang hari karena menghindari sinar matahari secara langsung (Wallacea, 2002).

Pola pertumbuhan kepiting kelapa hasil tangkapan

Pengukuran karakter morfometrik panjang (CP+r) dan berat tubuh kepiting kelapa dari dua lokasi penelitian yaitu Takome dan Idamdehe (Gambar 4). Hubungan panjang dan berat kepiting kelapa di lokasi Idamdehe memiliki persamaan y = 2,347x + 0,303 dengan nilai R2= 0,924 dan di lokasi Takome Pulau Ternate adalah y = 1,503x + 1,249 dengan nilai R2 = 0,968. Hal ini menunjukkan bahwa parameter panjang memberikan kontribusi yang sangat signifikan (R2= 0,924 dan R2 = 0,968) terhadap berat kepiting kelapa.

(7)

DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.5.2.4350

54

(a) (b)

Gambar 4.(a) Hubungan panjang kepiting kelapa di lokasi Idamdehe dan (b)Hubungan panjang kepiting kelapa di Takome

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan nilai b untuk ketam kelapa di Idamdehe adalah 2,35 dan di Takome adalah 1.50, keduanya menunjukkan pola pertumbuhan alomtrik negartif. Pola pertumbuhan allometrik merupakan pertambahan panjang dan berat yang tidak seimbang. Kepiting kelapa seperti halnya organisme krustacea lain, untuk tumbuh kepiting kelapa harus melakukan aktivitas ganti kulit atau moulting. Menurut Fletcher et al. (1991) bahwa berkaitan dengan aktifitas moulting, kepiting kelapa biasanya membuat sebuah lubang perlindungan dengan cara menggali lubang dan membuat lorong bawah tanah di daerah berpasir pada jarak tertentu dari daerah normalnya yaitu hábitat berbatu. Ketika mulai menggali, kepiting kelapa menggunakan chelaenya yang besar untuk mengeluarkan tanah dan meninggalkan gundukan tanah pada pintu masuknya. Lubang-lubang ini terkadang rumit, menyulitkan bagi kepiting kelapa itu sendiri dan berada dibawah bebatuan dan pohon-pohon, membuat sulit untuk mengetahui keberadaan kepiting ini jika diamati melalui permukaan. Jarak rata-rata antara pintu masuk dengan ruang moulting berkisar 1 meter dan tidak terdapat hubungan antara ukuran kepiting kelapa dengan panjang dari lubang tersebut. Ruang akhirnya berada 50 cm dari permukaan tanah, meskipun kepiting kelapa lebih kecil sanggup menggali lebih dalam daripada kepiting kelapa berukuran besar.

Setelah moulting kepiting kelapa akan memakan exuvium dari cangkangnya. Jika kepiting kelapa tidak makan exuvium dari cangkangnya, maka cangkang yang baru tidak mencapai derajat kekerasan seperti cangkang sebelumnya(Fletcher et al., 1990). Selanjutnya dikatakan bahwa umumnya yang dimakan dahulu adalah bagian dada yang tipis, bagian capit merupakan bagian terakhir yang dimakan. Hanya beberapa bagian kecil dari cangkang yang masih tersisa ketika kepiting keluar dari lubang persembunyiannya. Kepiting kelapa besar membutuhkan waktu sekitar tiga sampai empat minggu untuk mengeraskan cephalothoraksnya

Penentuan tingkat pertumbuhan pada kepiting kelapa seperti pada krustasea lainnya terjadi kesulitan karena exoskeletonnya akan hilang pada saat terjadi moulting. Oleh karena itu diperlukan metode penandaan yang tepat sehingga meskipun terjadi moulting tanda yang berikan tidak hilang. Birgus latro memiliki tingkat pertumbuhan yang lambat (Drew et al., 2013). Flechter (1990) menambahkan bahwa kepiting kelapa memiliki pertumbuhan yang lambat dan dapat mencapai umur 30-40 tahun.

Kesimpulan

Idamdehe memiliki karakteristik habitat yang lebih curam dan terjal sedangkan di Lokasi Takome lebih datar. Hasil analisis kualitas substrat yang terdiri atas tekstur substrat menunjukkan bahwa kedua lokasi penelitian memiliki tekstur yang sama yaitu lempung liat berpasir, sedangkan kandungan bahan organik (Total N) di Takome adalah 0,31% dan total P adalah 0,09% sedangkan di Idamdehe Total N adalah 0,19% dan Total P 0,02%. Parameter lingkungan lainnya berupa suhu udara dan kelembaban udara di kedua lokasi penelitian sangat mendukung kehidupan kepiting kelapa di habitat alaminya. Pola pertumbuhan kepiting kelapa dikedua lokasi adalah allometrik negatif.

Ucapan Terima Kasih

Terima kasih kami sampaikan kepada Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Direktorat Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan yang telah membiayai penelitian ini melalui kegiatan Riset Dasar (Fundamental) Tahun 2014. Terima kasih juga kami sampaikan kepada tim peneliti lapangan di Lokasi Idamdehe, Kabupaten HalmaheraBarat dan Lokasi Takome, Pulau Ternate.

(8)

DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.5.2.4350

55

Daftar Pustaka

Abubakar, Y. 2009. Studi biologi reproduksi sebagai dasar pengelolaan kepiting kelapa (Birgus latro) di Pulau Yoi, Kecamatan P. Gebe, Maluku Utara.

Amesbury, S. S. 1980. Biological studies on the coconut crab (Birgus latro) in the Marina Island. Marine Laboratory Technical Report No. 66, University of Guam. Guan. 39 p.

Anagnostou, C., C. D. Schubart. 2014. Morphometric characterisation of a population of adult coconut crabs Birguslatro(Decapoda: Anomura: Coenobitidae) from Christmas Island in the Indian Ocean. Raffles Bulletin of Zoology Supplement, 30: 136–149.

Arsyad, S. 2000. Konservasi tanah dan air. Lembaga Sumberdaya Informasi –Institut Pertanian Bogor. IPB Press. Bogor.

Brown, I. W., D. R. Fielder. 1991. The coconut crab : aspects of the biology and ecology of Birgus latro in the Republic of Vanuatu. Australian Centre for International Agricultural Research. Canberra, Australia. 128 p.

Drew, M. M., M. J. Smith, B. S. Hansson. 2013. Factors influencing growth of giant terrestrial. Inter-Research Aquatic Biology 19(2), 129-141.

Drew, M. M, S. Harzsch, M. Stensmyr, S. Erland, B. S. Hansson. 2010. A review of the biology and ecology of the robber crab, Birgus latro (Linnaeus, 1767) (Anomura : Coenpbitidae. ELSEVIES Zoologischer Anzeiger, 249: 45-67.

Effendi, M .I. 1979. Metode biologi perikanan. Penerbit Yayasan Dewi Sri. Bogor. 111 hal.

Flechter, J. W, I. W. Brown, D. R., Fielder. 1990. Growth of the coconut crab Birgus latro in Vanuatu. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology, 141(1): 63-78.

Fletcher, J. W., I. W. Brown, D. R., Fielder. 1991. Chapter 3: Moulting and growth charateristics. In: Brown IW, Fielder DR (eds) The coconut crab: aspects of Birguslatrobiology and ecology in the Republic of Vanuatu, Vol 8. Australian Centre for International Agricultrual Research, Canberra, p 35–60.

Hakim, N., M. Y. Nyakpa, A. M. Lubis, S. G. Nugroho, M. A. Diha, Go Ban Hong, H. H. Bailey. 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Penerbit Universitas Lampung. 488 p.

Hamasaki, K., M. Sugizaki, S. Kitada, S. 2009. Effect of temperature on survival and development period of coconut crab (Birgus latro) larvae reared in the laboratory. Aquaculture 292: 259-263.

Hanafiah, A. K. 2005. Dasar-dasar ilmu tanah. Raja Grafindo Persada, Jakara. 360 hal.

Handa, A. H, L. Sara, E. Ishak. 2013. Kepadatan relatif dan pola penyebaran ketam kelapa Birgus latro di Menui Kepulauan Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah.

Helfman, G. S. 1977. Agonistic behaviour of the coconut crab, Birgus latro (L.). Zeitschrift für Tierpsychologie, 43(4): 425–438.

Ita. R., E. K. Wibowo. 2009. Substrat dasar dan parameter oseanografi sebagai penentu keberadaan gastropoda dan bivalvia di Pantai Sluke Kabupaten Rembang. Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro, 14(1): 50-59.

Jahidin. 2010. Estimasi populasi ketam kenari (Birgus latro) Pulau Siompu. Berkala Penelitian Hayati, 15: 139-142.

Junaedi, H. 2010. Perubahan Sifat Fisika Ultisol Akibat Konversi Hutan Menjadi Lahan Pertanian. J.Hidrolitan, 1(2) :10-14.

Kitamura, S. C. Anwar, A. Chaniago, S. Baba. 2012. Buku panduan mangrove di Indonesia-Bali dan Lombok. Departemen Kehutanan Indonesia, Jepang International Cooperation Agency (JICA), The International Society for Mangrove Ecosystem (ISME).

Lavery, S., C. Moritz, D. R. Fielder. 1995. Changing patterns of population structure and gene flow at different spatial scales in Birgus latro (the coconut crab). Heredity, 74: 531-541.

Ramli, M. 1995. Studi preferensi habitat kepiting kelapa (Birgus Latro L.) dewasa di Pulau Siompu dan Liwutongki di Buton, Sulawesi Tenggara. Tesis.Institut Pertanian Bogor. 63 hal.

Reese, B. S., R. A. Kinzie. 1968. The larval development of the coconut or robber crab Birguslatro L. in the laboratory (Anomura: Paguridae). Crustaceana Suppl., 2: 117-144.

Refiani, S., Sulistiono. 2009. Struktur morfologis dan histologis gonad kepiting kelapa (Birguslatro). Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia, 16(1): 1-6.

Robertson, M. 1991. Husbandry and moulting behaviour of the Robber or Coconut crab. Int. Zoo Y6, 30: 60-67.

(9)

DOI: http://dx.doi.org/10.13170/depik.5.2.4350

56

Schiller, C., D. R. Fielder, I. W. Brown, A. Obed. 1991. Reproduction, early life-history and recruitment. In: Brown IW, Fielder DR (eds) The coconut crab: aspects of Birguslatrobiology and ecology in Vanuatu. ACIAR Monograph 8,Canberra, p 13–35.

Sato, T., K. Yoseda. 2013. Reproductive migration of the coconut crab Birgus latro. Plankton Benthos Research, 8(1): 49-54.

Sato, T., K. Yoseda. 2008. Reproduction season and female maturity size of coconut crab Birgus latro on Hatoma Island, southern Japan. Fisheries Science, 74: 1277-1282.

Serosero, R., Suryani, Rina. 2014. Analisis proksimat kepiting kelapa (Birgus latro) selama pemeliharaan dalam wadah terkontrol. Jurnal Marikultur, 2(2).

Stensmyr, M. C., S. Erland, E. Hallberg, R. Walle, P. Greenaway, B. S. Hansson. 2005. Insect-like olfactory adaptations in the terrestrial giant robber crab. Current Biology, 15: 116–121.

Steel, R. G. D., J. H. Torrie. 1993. Prinsip dan prosedur statistika. Suatu pendekatan biometrik. Penerbit PT. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama. 748 p.

Stevenson, F. T. 1982. Humus Chemistry. John Wiley and Sons, Newyork. 443 p.

Sulistiono, R. Refiani, F. Y. Tantu, Muslihudin. 2007. Kajian Awal Penangkaran Ketam Kelapa (Birgus latro). Jurnal Akuakultur Indonesia, 6 (2): 183-189.

Supriyadi, S. 2008. Kandungan bahan organik sebagai dasar pengelolaan tanah di lahan kering Madura. Embyo, 2(5), 176-183.

Supyan, Sulistiono, R. Etty. 2013. Karakteristik habitat dan tingkat kematangan gonad kepiting kelapa (Birgus latro) di Pulau Uta, Propinsi Maluku Utara. Aquasains, 2(1): 74-81.

Susilowati, S. E. Rahayu. 2007. Petunjuk Kegiatan Praktikum Tingkah Laku Hewan. Malang : FMIPA UM.

Tangketasik, A., N. M. Wikarniti, N. N. Soniari, I. W. Narka. 2012. Kadar bahan organik tanah pada tanah sawah dan tegalan di Bali serta hubungannya dengan tekstur tanah. AGROTROP, 2(2): 101- 107.

Vannini, M., C. Stefano, B. Roberto, L. Giana. 2003. Cardisoma carnifex (Brachyura): Where have all the babies gone?. Journal of Crustacean Biology, 23(1) : 55-59.

Wallacea, 2002. A preliminary survey of The Cocunut Crab Birgus latro on Hogo Island. http://www.operationwallacea.com/2002%20coconut%20crabs.html [23 Mei 2015].

Wang, F. L., H. L. Hsieh, C. P. Chen. 2007. Larval growth of the coconut crab Birgus latro with a discussion on the development mode of terresterial hermit crabs. Journal of Crustacean Biology, 27(4): 616-625.

Whitten, A. J, M. Mustafa., G. S., Henderson. 1987. Ekologi Sulawesi. Gadjah Mada University Press. 844 hal.

Received: 5 Februari 2016 Accepted: 20 Juni 2016

Gambar

Gambar 1. Peta lokasi penelitian. (a) Desa Idamdehe Kecamatan Jailolo, Kabupaten Halmahera Barat   (b) Desa Takome, Pulau Ternate
Gambar 3. Kondisi lubang dan lokasi penangkapan kepiting kelapa   (a,b,c) di Desa Idamdehe Kecamatan Jailolo Kabupaten Halmahera Barat dan
Gambar 4.(a) Hubungan panjang kepiting kelapa di lokasi Idamdehe dan   (b)Hubungan panjang kepiting kelapa di Takome

Referensi

Dokumen terkait

Substrat lumpur mangrove memberikan pengaruh terbaik terhadap ketiga parameter tersebut, sehingga untuk mengoptimalkan tingkat kelangsungan hidup dan laju

Adapun beberapa saran dalam penelitian ini adalah (1) model pembelajaran discovery learning berbantuan macromedia flash 8 dapat menjadi salah satu alternatif

Setelah melakukan proses ETL dari database sumber (data source) atau data staging, didapatkan data dari hasil data ETL yang disimpan pada MySQL. Hasil pengolahan ETL

3DVDU PRGDO PHPHJDQJ SHUDQDQ SHQWLQJ GDODP SHUHNRQRPLDQ VXDWX QHJDUD .HJLDWDQ GL SDVDU PRGDO EHJLWX PDUDN GDQ FRPSOLFDWHG PDND VDQJDW PHPEXWXKNDQ KXNXP \DQJ PHQJDWXUQ\D DJDU NHJLDWDQ

[r]

Jika telah habis batas waktu sewa, pemohon dapat mengajukan permohonan perpanjangan sewa ke Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang Kota Madiun.. Jika sewa sudah

Alasan penggunaan COBIT adalah hasil evaluasi memperlihatkan bahwa model-model standard selain COBIT tidak mempunyai cakupan yang luas.Penelitian ini bertujuan untuk