• Tidak ada hasil yang ditemukan

ASUHAN KEPERAWATAN GANGGUAN OKSIGENASI PADA PASIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIS (PPOK) DI RUANG VI RUMAH SAKIT TK III Dr. REKSODIWIRYO PADANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ASUHAN KEPERAWATAN GANGGUAN OKSIGENASI PADA PASIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIS (PPOK) DI RUANG VI RUMAH SAKIT TK III Dr. REKSODIWIRYO PADANG"

Copied!
168
0
0

Teks penuh

(1)

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PADANG

ASUHAN KEPERAWATAN GANGGUAN OKSIGENASI PADA

PASIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIS (PPOK)

DI RUANG VI RUMAH SAKIT TK III

Dr. REKSODIWIRYO PADANG

KARYA TULIS ILMIAH

NIA ANGRAINI PUTRI 143110258

JURUSAN KEPERAWATAN

PROGRAM STUDI D III KEPERAWATAN PADANG TAHUN 2017

(2)

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PADANG

ASUHAN KEPERAWATAN GANGGUAN OKSIGENASI PADA

PASIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIS (PPOK)

DI RUANG VI RUMAH SAKIT TK III

Dr. REKSODIWIRYO PADANG

KARYA TULIS ILMIAH

Diajukan ke Program Studi D-III Keperawatan Politeknik Kesehatan Kemenkes Padang Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh

Gelar Ahli Madya Keperawatan

NIA ANGRAINI PUTRI 143110258

JURUSAN KEPERAWATAN

PROGRAM STUDI D III KEPERAWATAN PADANG TAHUN 2017

(3)
(4)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur bagi Allah SWT, yang dengan Nama-Nya bumi dihamparkan yang dengan Namanya langit ditinggikan. Segala puji bagi Allah SWT Sang Maha Cahaya Penguak Hidayah yang semua jiwa digenggam-Nya. kasih sayang-Mu yang mulia, sehingga peneliti dapat menyelesaikan Karya Tulis

Ilmiah yang berjudul “Asuhan Keperawatan Gangguan Pemenuhan Kebutuhan

Oksigenasi Pada Pasien PPOK di Ruang VI Paru Rumah Sakit TK III Dr.

Reksodiwiryo Padang”.

Dalam pembuatan Karya Tulis Ilmiah ini peneliti mendapatkan banyak bantuan dan masukan dari berbagai pihak, dan pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak H.Sunardi,SKM.,M.Kes, selaku Direktur Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan RI Padang.

2. Ibu Hj. Murniati Muchtar,SKM.,M.Biomed, selaku Ketua Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan Padang.

3. Ibu Ns. Idrawati Bahar,S.Kep,M.Kep selaku Ketua Program Studi Keperawatan Padang Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan RI Padang. 4. Ibu Ns. Yessi Fadriyanti,S.Kep,M.Kep selaku pembimbing yang telah banyak

memberikan bimbingan, arahan dan petunjuk sehingga peneliti dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini.

5. Ibu Herwati,SKM,M.Biomed selaku pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan dan petunjuk sehingga peneliti dapat

(5)

6. Seluruh Staf Dosen Jurusan Keperawatan yang telah membantu dalam proses penyusunan Karya Tulis Ilmiah.

7. Kepada “Mama dan Papa” tersayang yang telah memberikan dorongan,

semangat, do’a restu dan kasih sayang. Tiada kata yang dapat Ananda utarakan selain do’a semoga Allah SWT selalu memberikan rahmat dan

karunia-Nya kepada kita semua.

8. Teman-temanku yang senasip dan seperjuangan Mahasiswa Politeknik Kemenkes RI Padang Program Studi D-III Keperawatan Tahun 2014. Terima kasih atas dukungan dan bantuan yang telah diberikan.

Peneliti menyadari bahwa Karya Tulis Ilmiah ini masih banyak kekurangan dan masih jauh dari sempurna, oleh sebab itu peneliti mengharapkan saran dan masukannya untuk perbaikan Karya Tulis Ilmiah ini.

Akhirnya kepada-Nya jualah kita berserah diri. Semoga Karya Tulis Ilmiah ini dapat bermanfaat bagi kita semua khusunya profesi keperawatan.

Padang, Juni 2017

(6)
(7)
(8)
(9)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……… i

LEMBARAN PENGESAHAN……… ii

KATA PENGANTAR……….. iii

LEMBARAN ORINSINALITAS……… v

LEMBARAN PERSETUJUAN……… vi

ABSTRAK……… vii

DAFTAR ISI……… viii

DAFTAR GAMBAR……… x

DAFTAR TABEL……… xi

DAFTAR LAMPIRAN……… xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang………... 1

B. Rumusan Masalah……… 6

C. Tujuan Penelitian………. 6

D. Manfaat Penelitian……… 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Kebutuhan Dasar 1. Pengertian konsep dasar manusia………. 9

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan dasar manusia... 9

B. Konsep dasar gangguan pemenuhan oksigenasi pada pasien PPOK 1. Pengertian oksigenasi……… 10

2. Proses oksigenasi……… 11

3. Terapi oksigenasi……… 13

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi pernafasan…………. 16

5. Pemenuhan kebutuhan oksigenasi……… 19

6. Penatalaksanaan oksigenasi pada pasien PPOK a. Pengertian PPOK………. 21

b. Etiologi PPOK………. 22

c. Manifestasi klinis PPOK………. 23

d. Patofisiologis PPOK……… 24

e. Klasifikasi PPOK………. 25

f. Komplikasi PPOK……… 25

C. Konsep asuhan keperawatan gangguan pemenuhan oksigenasi pada pasien PPOK 1. Pengkajian……….. 28

2. Diagnosa Keperawatan………... 32

3. Intervensi Keperawatan………. 34

BAB III METODE PENELITIAN A. Desain penelitian……….. 40

B. Tempat dan Waktu Penelitian……….. 40

(10)

D. Alat dan Instrumen Pengumpulan Data………. . 41

E. Cara Pengumpulan Data……….. 43

F. Jenis-jenis Data……… 44

G. Cara Pemilihan Responden……….. 44

H. Rencana Analisa………... 44

BAB IV DESKRIPSI KASUS DAN PEMBAHASAN A. DESKRIPSI KASUS 1. Hasil Pengkajian……… 46

2. Rumusan Masalah Keperawatan………... 50

3. Rencana Keperawatan……… 52 4. Implementasi Keperawatan………... 54 5. Evaluasi Keperawatan……… 56 B. PEMBAHASAN KASUS 1. Pengkajian……….. 58 2. Diagnosa Keperawatan……….. 63 3. Rencana Keperawatan……… 65 4. Implementasi Keperawatan……… 67 5. Evaluasi Keperawatan……… 68

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan……….. 71

B. Saran………. 72 DAFTAR PUSTAKA

(11)

DAFTAR GAMBAR

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Intervensi Keperawatan NANDA, NIC-NOC ... 34

Tabel 4.1 Pengkajian Deskripsi Kasus ... 50

Tabel 4.2 Diagnosa Keperawatan ... 53

Tabel 4.3 Intervensi Keperawatan... 55

Tabel 4.4 Implementasi Keperawatan... 57

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Surat Permohonan Menjadi Responden Lampiran 2 : Informed Consent

Lampiran 3 : Surat Izin Penelitian

Lampiran 4 : Surat Selesai Melakukan Penelitian Lampiran 5 : Ganchart

Lampiran 6 : Jadwal Bimbingan Pembimbing 1 Lampiran 7 : Jadwal Bimbingan Pembimbing 2 Lampiran 8 : Asuhan Keperawatan Pasien PPOK

(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebutuhan dasar manusia merupakan unsur-unsur yang dibutuhkan oleh manusia dalam mempertahankan keseimbangan fisiologis maupun psikologis yang tentunya bertujuan untuk mempertahankan hidup dan kesehatan. Teori hirarki kebutuhan dasar manusia yang dikemukakan Abraham Maslow mengembangkan bahwa setiap manusia memiliki lima kebutuhan dasar yaitu kebutuhan fisiologis (oksigen, cairan, nutrisi, keseimbangan tubuh, eliminasi, tempat tinggal, istirahat dan tidur, serta kebutuhan seksual), kebutuhan rasa aman dan perlindungan terhadap ancaman, kebutuhan rasa cinta serta rasa memiliki dan dimiliki, kebutuhan aktualisasi diri (Alimul Hidayat, 2009).

Kebutuhan dasar manusia yang paling mendasar adalah kebutuhan oksigen. Oksigen (O2) merupakan gas yang sangat vital dalam kelangsungan hidup sel dan jaringan tubuh karena oksigenasi diperlukan untuk proses metabolism tubuh secara terus-menerus. Oksigen diperoleh dari atmosfer melalui proses bernafas (Tarwoto dan Wartonah, 2015). Pernafasan (respirasi) adalah peristiwa menghirup udara dari luar yang mengandung (oksigen) serta menghembuskan udara yang banyak mengandung karbondioksida sebagai sisa dari oksidasi keluar dari tubuh (Syaifuddin,2009)

Kebutuhan oksigenasi adalah kebutuhan dasar manusia dalam pemenuhan oksigenasi yang digunakan untuk kelangsungan metabolism sel tubuh, mempertahankan hidup dan aktivitas berbagai organ atau sel (Potter dan Perry, 2009). Oksigenasi (O2) merupakan gas yang sangat vital dalam

(15)

diperoleh dari atmosfer melalui proses pernafasan. Pada atmosfer, gas selain oksigen juga terdapat karbon dioksida (CO), nitrogen (N), dan unsure-unsur lain seperti argon dan helium (Tarwoto dan Wartonah, 2015).

Pemenuhan kebutuhan oksigen dapat terganggu apibala adanya masalah pada saluran pernafasan yaitu penyakit PPOK (penyakit paru obstruksi kronis) adalah PPOK derajat berat menggunakan terapi oksigen di rumah pada waktu aktivitas atau terus-menerus selama 15 jam terutama pada waktu tidur (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI, 2011).

Data prevalensi PPOK yang terkait dengan usia dan merokok bervariasi pada setiap negara di seluruh dunia. Berdasarkan pada kriteria yang ditetapkan oleh British Thoracic Society (BTS) prevalensi PPOK sebesar 7,6%, sedangkan menurut Europe Respiratory Society (ERS) dan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) prevalensinya berkisar antara 14% sampai 14,1%. Menurut WHO 2015, PPOK yang saat ini merupakan penyebab kematian ke-5 di seluruh dunia dan diperkirakan akan menjadi penyebab kematian ke-3 pada tahun 2020 (Murray, 2010).

World Health Organization (WHO) tahun 2015 memperkirakan, 65 juta orang di dunia menderita PPOK. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) menuliskan bahwa prevalensi PPOK berdasarkan meta-analisis yang dilakukan di 28 negara mendapatkan bukti bahwa prevalensi PPOK cukup tinggi pada perokok dan mantan perokok (3-11%) daripada mereka yang bukan perokok. Prevalensi juga meningkat pada usia diatas 40 tahun daripada mereka yang berusia dibawah 40 tahun, dan lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan. (GOLD, 2013). Prevalensi PPOK diperkirakan akan meningkat sehubungan dengan peningkatan usia harapan hidup penduduk dunia, pergeseran pola dari penyakit infeksi ke penyakit degeneratif serta meningkatnya kebiasaan merokok dan polusi udara (Santoso, 2010). Prevalensi terjadinya kematian

(16)

akibat rokok pada penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) pada tahun 2010 sebanyak 80-90 %. (Kasanah, 2011).

Angka penderita PPOK di Indonesia sangat tinggi, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 mencakup informasi prevalensi asma dan PPOK, di Indonesia tahun 2013 masing-masing 4,5 persen, 3,7 persen. Prevalensi asma tertinggi terdapat di Sulawesi Tengah (7,8%), diikuti Nusa Tenggara Timur (7,3%), DIY (6,9%), dan Sulawesi Selatan (6,7%). Prevalensi PPOK tertinggi terdapat di Nusa Tenggara Timur (10,0%), diikuti Sulawesi Tengah (8,0%), Sulawesi Barat, dan Sulawesi Selatan masing-masing 6,7 persen. Provinsi Sumatera Barat berada pada urutan ke-23 berdasarkan jumlah penderita PPOK di Indonesia dengan prevalensi PPOK di Sumatera Barat adalah (3,0%).

Angka kesakitan penderita PPOK berdasarkan hasil survey penyakit tidak menular oleh direktorat jenderal PPM & PL tahun 2004 menunjukkan PPOK menempati urutan pertama penyumbang angka kesakitan (35%), diikuti asma bronkial (33%), kanker paru (30%) dan lainnya (2%) (PDPI, 2011). Berdasarkan jumlah kunjungan pasien dengan PPOK di RSUP DR. M.Djamil Padang memiliki jumlah penderita PPOK cukup banyak, jumlah kunjungan pasien PPOK rawat jalan di Poliklinik Paru non infeksi RSUP Dr. M. Djamil Padang pada bulan Juli hingga November 2015 sebanyak 226 dari 943 kunjungan (Astika, 2016).

Dampak yang terjadi dengan kekurangan oksigenasi pada pasien PPOK menurut penelitian Kusyati 2006 mengalami batuk-batuk, sesak nafas akan mengganggu proses oksigenasi secara kronis dan menahun diakibatkan oleh tumpukan mucus yang kental dan mengendap menyebabkan obstruksi jalan nafas, sehingga asupan oksigen yang tidak adekuat. Menurut penelitian Agustina (2009) keluhan yang paling banyak yang dirasakan pasien PPOK adalah pemenuhan kebutuhan oksigenasi.

(17)

Pengkajian pada pasien dengan masalah PPOK ditemukan tanda dan gejala yang timbul diantaranya dispnea, batuk kronik, meningkatnya produksi sputum (GOLD, 2015). Pada asuhan keperawatan pasien dengan diagnosa PPOK akan muncul salah satu masalah yaitu ketidakefektifan bersihan jalan napas yang berhubungan dengan : Lingkungan; perokok, perokok pasif, terpajan asap, Obstruksi jalan napas; eksudat dalam alveoli, mucus belebihan, sekresi yang tertahan, spasme jalan napas, fisiologis; asma, infeksi, jalan napas alergik (NANDA, 2015).

Intervensi keperawatan yang dilaksanakan pada pasien penyakit paru obstruksi kronis untuk meningkatkan dan mempertahankan oksigenasi tercakup dalam domain keperawatan, yaitu pemberian dan pemantauan intervensi serta program yang terapeutik. Hal ini meliputi tindakan keperawatan mandiri, seperti perilaku peningkatan kesehatan dan upaya pencegahan, pengaturan posisi fowler atau semifowler, teknik batuk efektif, dan intervensi tidak mandiri, seperti pengisapan lendir (suction), fisioterapi dada, hidrasi, dan inhalasi serta terapi oksigen (Potter dan Perry, 2006).

Pemberian terapi oksigen dalam asuhan keperawatan, memerlukan dasar pengetahuan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi masuknya oksigen dari atmosfir hingga sampai ke tingkat sel melalui alveoli paru dalam proses respirasi. Perawat harus memahami indikasi pemberian oksigen, metode pemberian oksigen dan bahaya-bahaya pemberian oksigen (Harahap, 2005). Perawat melakukan pengamatan dan penilaian yang tepat selama terapi oksigen agar cedera pada pasien dapat dicegah. Perawat harus terus memantau kebutuhan oksigen dan menilai berapa persen oksigen harus diberikan, tujuannya adalah untuk menghindari hiperoksia atau hipoksia, dan fluktuasi (Solberg, 2010).

Terapi oksigen diberikan pada pasien dengan masalah PPOK dengan indikasi terjadi perubahan frekuensi atau pola nafas, perubahan atau

(18)

gangguan pertukaran gas, menurunnya kerja nafas. (Tarwoto dan Wartonah, 2015). Terapi oksigen pada pasien dengan masalah PPOK dibedakan untuk PPOK derajat sedang dan PPOK derajat berat. Pada PPOK derajat sedang oksigen hanya digunakan bila timbul sesak yang disebabkan pertambahan aktivitas, pada PPOK derajat berat yaitu terapi oksigen di rumah pada waktu aktivitas atau terus menerus selama 15 jam terutama pada waktu tidur, dosis oksigen yang diberikan pada pasien PPOK tidak lebih dari 2 liter (Hudoyo, 2014).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Agustina, Dewi, dan Dini dalam Jurnal Ilmiah Keperawatan (2009), tentang tingkat kepatuhan perawat dalam pemberian oksigen melalui nasal kanul sesuai SOP oksigenasi di ruang rawat inap RSUD Dr. Ramelan Surabaya. Hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa tingkat kepatuhan perawat dalam pemberian oksigen melalui nasal kanul sesuai SOP oksigenasi sebagian besar tidak mematuhi protap sesuai SOP oksigenasi, dari 35 responden (100%) didapatkan semua responden dinyatakan tidak patuh dalam pemberian oksigen melalui nasal kanul. (Agustina Dewi dan Dini dalam jurnal ilmiah keperawatan, 2009).

Berdasarkan hasil survey awal di ruang inap paru RSUP Dr.M.Djamil Padang yang dilakukan pada tanggal 12 Januari 2017 terdapat enam orang pasien PPOK dari sepuluh orang pasien dengan diagnosa medis PPOK, perawat dalam memberikan asuhan keperawatan khususnya pada pemenuhan kebutuhan oksigenasi tidak ditemukan perawat memberikan terapi oksigen sesuai dengan protapnya, misalnya dalam pemberian oksigen melalui nasal kanul tidak sesuai konsentrasi aliran yang ditentukan yaitu 1-6 liter/menit. Dalam memberikan terapi oksigen kepada pasien perawat tidak menilai terlebih dahulu tingkat sesak yang dialami pasien dan indikasinya. Setelah memberikan terapi oksigen, perawat tidak melakukan evaluasi terhadap tingkat sesak napas pasien setelah diberikan

(19)

asuhan keperawatan dalam pemenuhan oksigenasi belum sepenuhnya diterapkan.

Berdasarkan uraian diatas, semakin meningkatnya angka kesakitan dan kematian pada penderita PPOK, dan perlunya pengobatan serta pentingnya perawatan pemantauan terapi oksigen yang optimal, maka peneliti

melakukan studi kasus mengenai “Asuhan Keperawatan Gangguan

Pemenuhan Kebutuhan Oksigenasi pada pasien dengan PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronis) di Ruang VI Paru R umah Sakit TK III Dr. Reksodiwiryo Padang Tahun 2017”.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah penelitian adalah “Bagaimana Asuhan Keperawatan

Pemenuhan Kebutuhan Oksigenasi pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronis di Ruang VI Paru Rumah Sakit TK III Dr. Reksodiwiryo Padang Tahun 2017”

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Mampu mendeskripsikan asuhan keperawatan pemenuhan oksigenasi pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronis di Ruang VI Paru Rumah Sakit TK III Dr. Reksodiwiryo Padang Tahun 2017

2. Tujuan Khusus

a. Mampu mendeskripsikan hasil pengkajian keperawatan pemenuhan kebutuhan oksigenasi pada pasien dengan PPOK di Ruang VI Paru Rumah Sakit TK III Dr. Reksodiwiryo Padang Tahun 2017.

b. Mampu mendeskripsikan rumusan diagnosa keperawatan pemenuhan kebutuhan oksigenasi pada pasien dengan PPOK di

(20)

Ruang VI Paru Rumah Sakit TK III Dr. Reksodiwiryo Padang Tahun 2017.

c. Mampu mendeskripsikanrencanaan keperawatan pemenuhan kebutuhan oksigenasi pada pasien dengan PPOK di Ruang VI Paru Rumah Sakit TK III Dr. Reksodiwiryo Padang Tahun 2017.

d. Mampu mendeskripsikan tindakan keperawatan pemenuhan kebutuhan oksigenasi pada pasien dengan PPOK di Ruang VI Paru Rumah Sakit TK III Dr. Reksodiwiryo Padang Tahun 2017.

e. Mampu mendeskripsikan evaluasi keperawatan pemenuhan kebutuhan oksigenasi pada pasien dengan PPOK di Ruang VI Paru Rumah Sakit TK III Dr. Reksodiwiryo Padang Tahun 2017.

D. Manfaat Penelitian 1. Aplikatif

a. Bagi Lahan/ Rumah Sakit

Laporan karya tulis ilmiah ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pikiran bagi perawat dalam meningkatkan pelayanan

terhadap “Asuhan Keperawatan Gangguan Pemenuhan Oksigenasi

pada Pasien PPOK di Ruang VI Paru Rumah Sakit TK III Dr. Reksodiwiryo Padang Tahun 2017”.

b. Bagi Peneliti

Kegiatan penelitian ini dapat bermanfaat bagi peneliti untuk menambah pengetahuan dan wawasan dalam melakukan asuhan keperawatan pemenuhan kebutuhan oksigenasi pada pasien dengan PPOK serta dalam menulis karya tulis ilmiah.

(21)

2. Pengembangan Keilmuan a. Bagi Institusi

Data dan hasil yang diperoleh dari laporan karya tulis ilmiah ini dapat digunakan sebagai bahan perbandingan dan pembelajaran di jurusan Keperawatan Padang khususnya mengenai penerapan asuhan keperawatan gangguan pemenuhan oksigenasi pada pasien PPOK.

c. Bagi Penelitian

Selanjutnya Hasil penelitian laporan karya tulis ilmiah ini dapat memberikan masukan bagi penelitian berikutnya untuk menambah pengetahuan dan data dasar dalam penelitian selanjutnya.

(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Asuhan Kebutuhan Oksigenasi Pada Pasien PPOK 1. Konsep Kebutuhan Dasar Manusia

a. Konsep Dasar Manusia

Kebutuhan dasar manusia merupakan unsur-unsur yang dibutuhkan oleh manusia dalam mempertahankan keseimbangan fisiologis maupun psikologis yang tentunya bertujuan untuk mempertahankan hidup dan kesehatan. Teori hirarki kebutuhan dasar manusia yang dikemukakan Abraham Maslow mengembangkan bahwa setiap manusia memiliki lima kebutuhan dasar yaitu kebutuhan fisiologis (oksigen, cairan, nutrisi, keseimbangan tubuh, eliminasi, tempat tinggal, istirahat dan tidur, serta kebutuhan seksual), kebutuhan rasa aman dan perlindungan terhadap ancaman, kebutuhan rasa cinta serta rasa memiliki dan dimiliki, kebutuhan aktualisasi diri (Alimul Hidayat, 2009).

Kebutuhan oksigenasi adalah kebutuhan dasar manusia dalam pemenuhan oksigenasi yang digunakan untuk kelangsungan metabolism sel tubuh, mempertahankan hidup dan aktivitas berbagai organ atau sel (Potter dan Perry, 2009). Oksigenasi (O2) merupakan gas yang sangat vital dalam kelangsungan hidup sel dan jaringan tubuh karena oksigen diperlukan untuk proses metabolism tubuh secara terus-menerus. Oksigenasi diperoleh dari atmosfer melalui proses pernafasan. Pada atmosfer, gas selain oksigen juga terdapat karbon dioksida (CO), nitrogen (N), dan unsure-unsur lain seperti argon dan helium (Tarwoto dan Wartonah, 2015).

b. Faktor yang mempengaruhi kebutuhan dasar manusia

(23)

1) Penyakit : adanya penyakit dalam tubuh dapat menyebabkan perubahan kebutuhan, baik secara fisiologis maupun psikologis, karena beberapa fungsi organ tubuh memerlukan pemenuhan kebutuhan lebih besar dari biasanya.

2) Hubungan keluarga : hubungan keluarga yang dapat meningkatkan pemenuhan kebutuhan dasar karena adanya saling percaya, merasakan kesenangan hidup tidak ada rasa curiga dan lai-lain. 3) Konsep diri : konsep diri manusia memiliki peran dalam

pemenuhan kebutuhan dasar. Konsep diri yang positif memberikan makna dan keutuhan (Wholeness) bagi seseorang. Konsep diri yang sehat menghasilkan perasaan positif terhadap diri. Orang yang merasa positif tentang dirinya akan mudah berubah, mudah mengenali kebutuhan dan mengembangan cara hidup yang sehat, sehingga mudah memenuhi kebutuhan dasarnya.

4) Tahap perkembangan : sejalan dengan meningkatkan usia, manusia mengalami perkembangan. Setiap tahap perkembangan tersebut memiliki kebutuhan yang berbeda, baik kebutuhan psikologis, social, maupun spiritual, mengingat berbagai fungsi organ tubuh juga mengalami proses kematangan dengan aktivitas yang berbeda.

2. Konsep Oksigenasi

a. Pengertian Oksigenasi

Oksigen merupakan gas yang sangat vital dalam kelangsungan hidup sel dan jaringan tubuh karena oksigen diperlukan untuk proses metabolisme tubuh secara terus menerus. Oksigen diperoleh dari atmosfer melalui proses bernapas. Di atmosfer, gas selain oksigen juga terdapat karbon dioksida, nitrogen, dan unsur-unsur lain seperti argon dan helium (Tarwoto & Wartonah, 2015).

Pemenuhan kebutuhan oksigenasi tubuh sangat ditentukan oleh adekuatnya system pernafasan, system kardiovaskuler, dan system hematologi. System pernafasan atau respirasi berperan dalam

(24)

menjamin ketersediaan oksigen untuk kelangsungan metabolism sel-sel tubuh dan pertukaran gas. System kardiovaskuler berperan dalam proses transportasi oksigen melalui aliran darah dan system hematologi yaitu sel darah merah yang sangat berperan dalam oksigenasi karena di dalamnya terdapat hemoglobin yang mampu mengikat oksigen (Tarwoto & Wartonah, 2015).

Kebutuhan oksigenasi merupakan kebutuhan dasar manusia yang digunakan untuk kelangsungan metabolism sel tubuh, mempertahankan hidup dan aktivitas berbagai organ atau sel (Alimul, 2009). Kebutuhan tubuh terhadap oksigen merupakan kebutuhan yang sangat mendasar dan mendesak. Tanpa oksigen dalam waktu tertentu, sel tubuh akan mengalami kerusakan yang menetap dan menimbulkan kematian. Otak merupakan organ yang sangat sensitif terhadap kekurangan oksigen. Otak masih mampu menoleransi kekurangan oksigen antara tiga sampai lima menit. Apabila kekurangan oksigen berlangsung lebih dari lima menit, dapat terjadi kerusakan sel otak secara permanen (Kozier dan Erb dalam Asmadi 2008).

b. Proses Oksigenasi

Menurut Alimul Hidayat 2009 mengatakan proses pemenuhan kebutuhan oksigenasi tubuh terdiri atas tiga tahap, yaitu ventilasi, difusi gas, dan transportasi gas.

1) Ventilasi

Ventilasi merupakan proses keluar dan masuknya oksigen dari atmosfer ke dalam alveoli atau dari alveoli ke atmosfer. Proses ventilasi dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu:

a) Adanya perbedaan tekanan antara atmosfer dengan paru, semakin tinggi tempat maka tekanan udara semakin rendah, demikian sebaliknya, semakin rendah tempat tekanan udara semakin tinggi.

(25)

b) Adanya kemampuan toraks dan paru pada alveoli dalam melaksanakan ekspansi atau kembang kempis.

c) Adanya jalan napas yang dimulai dari hidung hingga alveoli yang terdiri atas berbagai otot polos yang kerjanya sangat dipengaruhi oleh sistem saraf otonom (terjadinya rangsangan simpatis dapat menyebabkan relaksasi sehingga vasodilatasi dapat terjadi, kerja saraf parasimpatis dapat menyebabkan kontraksi sehingga vasokontriksi atau proses penyempitan dapat terjadi).

d) Refleks batuk dan muntah

e) Adanya peran mukus siliaris sebagai barier atau penangkal benda asing yang mengandung interveron dan dapat mengikat virus. Pengaruh proses ventilasi selanjutnya adalah complience dan recoil. Complience merupakan kemampuan paru untuk mengembang. Kemampuan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu adanya surfaktan yang terdapat pada lapisan alveoli yang berfungsi menurunkan tegangan permukaan dan adanya sisa udara yang menyebabkan tidak terjadinya kolaps serta gangguan toraks. Surfaktan diproduksi saat terjadi peregangan sel alveoli dan disekresi saat kita menarik napas, sedangkan recoil adalah kemampuan mengeluarkan CO2 atau kontraksi menyempitnya paru. Apabila complience baik namun recoil terganggu, maka CO2 tidak dapat keluar secara maksimal. Pusat pernapasan, yaitu medula oblongata dan pons, dapat memengaruhi proses ventilasi, karena CO2 memiliki kemampuan merangsang pusat pernapasan. Peningkatan CO2 dalam batas 60 mmHg dapat merangsang pusat pernapasan dan bila pCO2 kurang dari sama dengan 80 mmHg dapat menyebabkan depresi pusat pernapasan.

2) Difusi Gas

Difusi gas merupakan pertukaran antara oksigen di alveoli dengan kapiler paru dan CO2 di kapiler alveoli. Proses pertukaran ini

(26)

dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu luasnya permukaan paru, tebal membran respirasi/ permeabilitas yang terdiri atas epitel alveoli dan interstitial (keduanya dapat memengaruhi proses difusi apabila terjadi proses penebalan), perbedaan tekanan dan konsentrasi O2 (hal ini sebagaimana O2 dari alveoli masuk ke dalam darah oleh karena tekanan O2 dalam rongga alveoli lebih tinggi dari tekanan O2 dalam darah vena pulmonalis masuk dalam darah secara difusi), pCO2 dalam arteri pulmonalis akan berdifusi ke dalam alveoli, dan afinitas gas (kemampuan menembus dan saling mengikat hemoglobin).

3) Transportasi Gas

Transportasi gas merupakan proses pendistribusian O2 kapiler ke jaringan tubuh dan CO2 jaringan tubuh ke kapiler. Pada proses transportasi, O2 akan berikatan dengan Hb membentuk oksihemoglobin (97%) dan larut dalam plasma (3%), sedangkan CO2 akan berikatan dengan Hb membentuk karbominohemoglobin (30%), larut dalam plasma (5%), dan sebagian menjadi HCO3 yang berada dalam darah (65%). Transportasi gas dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu curah jantung (cardiac output), kondisi pembuluh darah, latihan (exercise), perbandingan sel darah dengan darah secara keseluruhan (hematokrit), serta eritrosit dan kadar Hb. (Alimul Hidayat, 2009).

c. Terapi Oksigenasi

Terapi oksigen pertama kali dipakai dalam bidang kedokteran pada tahun 1800 oleh Thomas Beddoes, kemudian dikembangkan oleh Alvan Barach pada tahun 1920 untuk pasien dengan hipoksemia dan penyakit paru obstrukif kronik. Terapi oksigen adalah pemberian oksigen lebih dari udara atmosfer atau FiO2 > 21%. Tujuan terapi oksigen adalah mengoptimalkan oksigenasi jaringan dan mencegah

(27)

napas dan kerja otot jantung, serta memperthankan PaO2 > 60 mmHg atau SaO2 > 90%. (Tarwoto & Wartonah, 2015).

Menurut Tarwoto dan Wartonah (2011), Pemberian oksigen atau terapi oksigen dapat dilakukan melalui metode berikut ini :

1) Sistem aliran rendah

Pemberian oksigen dengan mengggunakan system ini ditujukan pada pasien yang membuthkan oksigen tetapi masih mampu bernapas normal. Contih pemberian oksigen dengan aliran rendah adalah sebagai berikut :

a) Nasal kanula, diberikan dengan kontinu aliran 1-6 liter/menit dengan konsentrasi oksigen 24-44%.

(1) Keuntungan : toleransi klien baik, pemasangannya mudah, klien bebas untuk makan dan minum, harga lebih murah (Asmadi, 2008).

(2) Kerugian : mudah lepas, tidak dapat memberikan konsentrasi oksigen lebih dari 44%, suplai oksigen berkurang bila klien bernapas dari mulut, mengiritasi selaput lender, nyeri sinus (Asmadi, 2008).

b) Sungkup muka sederhana (simple mask), diberikan kontinu atau selang-seling 5-10 liter/menit dengan konsentrasi oksigen 40-60%.

(1) Keuntungan : konsentrasi oksigen yang diperoleh lebih tinggi dari nasal kanula, system humidifikasi dapat ditingkatkan (Asmadi, 2008).

(2) Kerugian : umumnya tidak nyaman bagi klien, membuat rasa panas, sehingga mengiritasi mulut dan pipi, aktivitas makan dan bicara terganggu, dapat menyebabkan mual dan muntah sehingga dapat menyebabkan aspirasi, jika aliran rendah dapat menyebabkan penumoukan karbondioksida (Asmadi, 2008).

(28)

c) Sungkup muka dengan kantong rebreathing. Sungkup ini memiliki kantong yang terus mengembang baik pada saat inspirasi dan ekspirasi. Pada saat pasien inspirasi, oksigen masuk dari sungkup melalui lubang antara sungkup dan kantong reservoir, ditambah oksigen dari udara kamar yang masuk dalam lubang ekpirasi pada kantong. Aliran oksigen 8-12 liter/menit, dengan konsentrasi 60- 80%.

(1) Keuntungan : konsentrasi oksigen lebih tinggi dari sungkup muka sederhana, tidak mengeringkan selaput lender (Asmadi, 2008).

(2) Kerugian : kantong oksigen bisa terlipat, menyebabkan penumpukan oksigen jika aliran lebih rendah (Asmadi, 2008).

d) Sungkup muka dengan kantong non-rebreathing. Sungkup ini mempunyai 2 katup; 1 katup terbuka pada saat inspirasi dan tertutup pada saat ekspirasi, dan 1 katup yang fungsinya mencegah udara kamar masuk pada saat inspirasi dan akan membuka pada saat ekspirasi. Pemberian oksigen dengan aliran 10-12 liter/menit, konsentrasi oksigen 80-100%.

(1) Keuntungan : konsentrasi oksigen yang diperoleh hampir 100% karena adanya katup satu arah antara kantong dan sungkup sehingga kantong mengandung konsentrasi oksigen yang tinggi dan tidak tercampur dengan udara ekspirasi, dan tidak mengeringkan selaput lender (Asmadi, 2008).

(2) Kerugian : kantong oksigen bisa terlipat, berisiko untuk terjadinya keracunan oksigen, serta tidak nyaman bagi klien (Asmadi, 2008).

2) Sistem Aliran Tinggi

Sistem ini memungkinkan pemberian oksigen dengan FiO2 lebih stabil dan tidak terpengaruh oleh tipe pernapasan, sehingga dapat

(29)

Contoh dari system aliran tinggi adalah dengan ventury mask atau sungkup muka dengan ventury dengan aliran sekitar 2-15 liter/menit. Prinsip pemberian oksigen dengan ventury adalah oksigen yang menuju sungkup diatur dengan alat yang memungkinkan konsentrasi dapat diatur sesuai dengan warna alat, misalnya: warna biru 24%, putih 28%, jingga 31%, kuning 35%, merah 40%, dan hijau 60%. (Tarwoto & Wartonah, 2015).

d. Faktor – faktor yang mempengaruhi fungsi pernafasan

Menurut Tarwoto dan Wartonah (2015) banyak faktor yang mempengaruhi fungsi pernafasan misalnya yang berkaitan dengan kemampuan ekspansi paru dan diafragma, kemampuan transportasi atau perfusi. Faktor – faktor tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Posisi tubuh

Pada keadaan duduk atau berdiri pengembangan paru dan pergerakan diafragma lebih baik dari pada posisi datar atau tengkurap sehingga pernafasan lebih mudah. Ibu hamil atau tumor abdomen dan makan sampai kenyang akan menekan diafragma ke atas sehingga pernafasan lebih cepat.

2. Lingkungan

Oksigen di atmosfer sekitar 21 %, namun keadaan ini tergantung dari tempat atau lingkungannya, contohnya : pada tempat yang tinggi, dataran tinggi, dan daerah kutub akan membuat kadar oksigen menjadi kurang, maka tubuh akan berkompentensasi dengan meningkatkan jumlah pernafasan. Lingkungan yang panas juga akan meningkatkan pengeluaran oksigen.

3. Polusi udara

Polusi udara yang terjadi baik karena industry maupun kendaraan bermotor berpengaruh terhadap kesehatan paru-paru dan kadar oksigen karena mengandung karbon monoksida yang dapat merusak ikatan oksigen dengan hemoglobin.

(30)

4. Zat allergen

Beberapa zat allergen dapar mempengaruhi fungsi pernafasan, seperti makanan, zat kimia, atau benda sekitar yang kemudian merangsang membrane mukosa saluran pernafasan sehingga mengakibatkan vasokontriksi atau vasodilatasi pembuluh darah, seperti pada pasien asma.

5. Gaya hidup dan kebiasaan

Kebiasaan merokok dapat menyebabkan penyakit pernafasan seperti emfisema, bronchitis, kanker, dan infeksi paru lainnya. Penggunaan alcohol dan obat-obatan mempengaruhi susunan saraf pusat yang akan mendepresi pernafasan sehingga menyebabkan frekwensi pernafasan menurun.

6. Nutrisi

Nutrisi mengandung unsure nutrient sehingga sumber energy dan untuk memperbaiki sel-sel yang rusak. Protein berperan dalam pembentukan hemoglobin yang berfungsi mengikat oksigen untuk disebarkan ke seluruh tubuh. Jika hemoglobin berkurang atau anemia, maka pernafasan akan lebih cepat sebagai kompensasi untuk memenuhi kebutuhan oksigen tubuh.

7. Peningkatan aktivitas tubuh

Aktivitas tubuh membutuhkan metabolism untuk menghasilkan energy. Metabolism membutuhkan oksigen sehingga peningkatan metabolism akan meningkat kebutuhan lebih banyak oksigen. 8. Gangguan pergerakan paru

Kemampuan pengembangan paru juga berpengaruh terhadap kemampuan kapasitas dan volume paru. Penyakit yang mengakibatkan gangguan pengembangan paru di antaranya adalah pneumotoraks dan penyakit infeksi paru menahun.

9. Obstruksi saluran pernafasan

Obstruksi saluran pernafasan seperti pada penyakit asma dapat menghambat aliran udara masuk ke paru-paru

(31)

Menurut Alimul Hidayat (2009) mengatakan faktor – faktor yang mempengaruhi kebutuhan oksigenasi sebagai berikut:

1. Saraf otonomik

Rangsangan meningeal dan parasimpatik dari saraf otonomis dapat mempengaruhi kemampuan untuk dilatasi dan konstruksi. Hal ini dapat terlihat simpatis maupun parasimpatis. Ketika terjadi rangsangan, ujung saraf dapat mengeluarkan neurotransmitter (untuk simpais dapat mengeluarkan noradrenalin yang berpengaruh pada bronkodilatasi dan untuk parasimpatis mengeluarkan asetikolin yang berpengaruh pada bronkhokontriksi). Karena pada saluran pernafasan terdapat reseptor adrenergic dan reseptor koligenik.

2. Hormone dan obat

Semua hormone termasuk derivate catecholamise dapat melebarkan saluran pernafasan. Obat yang tergolong parasimpatis, seperti sulfas atropine dan ekstrak belladonna, dapat melebarkan saluran pernafasan. Sedangkan obat yang menghambat adregenik tipe beta (khususnya beta-2), seperti obat yang tergolong penyakat beta nonselektif, dapat memepersempit saluran pernafasan (Bronkhokontriksi).

3. Alergi pada saluran pernafasan

Banyak faktor yang dapat menimbulkan alergi, antara lain debu yang terdapat dalam hawa pernafasan, bulu binatang, serbuk benang sari bunga, kapuk, makanan, dan lain-lain. Faktor – faktor ini menyebabkan bensin bila terdapat rangsangan di daerah nasal: batuk bila di saluran pernafasan bagian atas, bronkhokotriksi pada asma bronkhiale dan rhinitis bila terdapat di saluran pernafasan bagian bawah.

4. Perkembanga

Tahap perkembangan anak dapat mempengaruhi jumlah kebutuhan oksigenasi, karena usia organ dalam tubuh berkembang seiring usia perkembangan. Hal ini dapat terlihat pada bayi usia premature,

(32)

yaitu adanya kecenderungan kekurangan pembentukan surfaktan. Setelah anak tumbuh dewasa, kemampuan kematangan organ juga berkembang seiring bertambahnya usia.

5. Lingkungan

Kondisi lingkungan dapat mempengaruhi kebutuhan oksigen seperti faktor alergi, ketinggian tanah, dan suhu. Kondisi tersebut mempengaruhi kemampuan adaptasi.

6. Perilaku

e. Pemenuhan Kebutuhan Oksigenasi pada pasien PPOK

Penatalaksanaan eksaserbasi akut di rumah sakit dapat dilakukan secara rawat jalan atau rawat inap, unit gawat darurat, atau ruang ICU (PDPI, 2009).

1) Bronkodilator : Albuaterol (proventil, ventolin), isoetarin (bronkosol, bronkometer)

2) Terapi Oksigen : Sesuai indikasi hasil AGD dan toleransi klien. Terapi oksigen dibedakan untuk PPOK derajat sedang dan berat. a) Pada PPOK derajat sedang oksigen hanya digunakan bila timbul sesak yang disebabkan pertambahan aktivitas.

b) Pada PPOK derajat berat yaitu terapi oksigen di rumah pada waktu aktivitas atau terus menerus selama 15 jam terutama pada waktu tidur, dosis oksigen yang diberikan tidak lebih dari 2 liter/menit.

3) Ventilasi Mekanik

4) Bantu pengobatan pernafasan (Fisioterapi dada)

Menurut Alimul Aziz (2009) Fisioterapi dada merupakan tindakan keperawatan yang dilakukan dengan cara postural drainase, clapping,

(33)

Tindakan ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi pola pernapasan dan membersihkan jalan napas.

a) Postural drainase : tindakan memiringkan tubuh pasien ke arah kiri dan ke arah kanan untuk membersihkan paru bagian kiri dan kanan. Memiringkan tubuh pasien ke kiri dan tubuh bagian belakang kanan disokong dengan satu bantal untuk membersihkan bagian lobus tengah. Tindakan postural drainase dilakukan kurang lebih 10-15 menit dan observasi tanda vital selama prosedur.

b) Clapping : clapping dilakukan dengan cara kedua tangan menepuk punggung pasien secara bergantian untuk merangsang terjadinya batuk. Apabila pasien batuk, anjurkan untuk menampung lender pada pot sputum, clapping dilakukan dengan hingga lendir bersih. c) Vibrating : vibrating dilakukan dengan cara anjurkan pasien untuk

menarik napas dalam dan mengeluarkannya secara perlahan. Kedua tangan perawat diletakkan dibagian atas samping depan cekungan iga, kemudian digetarkan secara perlahan, dan lakukan berkali-kali hingga pasien terbatuk. Bila pasien terbatuk hentikan sebentar dan anjurkan pasien mengeluarkan lendir dan manmpungnya di pot sputum, vibrating dilakukan sampai lendir bersih.

3. Konsep PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik)

a. Pengertian PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik)

PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik) adalah penyakit kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran nafas yang bersifat progresif nonreversible atau reversible parsial. PPOK (Penyakit Paru

(34)

Obstruksi Kronik) terdiri dari Bronkitis kronis dan emfisema atau gabungan keduanya (PDPI 2011)

Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) telah merumuskan definisi dari PPOK yaitu penyakit yang dapat diobati dan dicegah, ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran nafas yang biasanya progresif dan berhubungan dengan respon inflamasi jalan nafas dan paru-paru akibat partikel berbahaya atau gas (GOLD, 2015).

PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik)adalah penyakit yang ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran pernafasan yang tidak sepenuhnya reversible. Hambatan aliran udara ini bersifat progresif dan berhubungan dengan respon inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun atau berbahaya (KEMENKES RI No. 1022/menkes/sk/xi/2008 tentang pedoman pengendalian penyakit paru obstruksi kronis, 2008).

PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik) adalah penyakit kronis saluran pernafasan yang ditandai dengan hambatan aliran udara khusunya ekspirasi dan bersifat progresif lambat. Semakin lambat (semakin lama dan semakin memburuk). Disebabkan oleh pejanan resiko seperti merokok dan polusi usdara di dalam maupun di luar ruangan.

Penyakit paru-paru obstrutif kronis/PPOK merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya (Irman, 2009).

Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) merupakan satu kelompok penyakit paru yang mengakibatkan obstruksi yang menahun dan persisten dari jalan napas di dalam paru, yang termasuk dalam kelompok ini adalah : bronchitis, emfisema paru, asma terutama yang menahun, bronkiektasis

(35)

Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) adalah jumlah gangguan yang mempengaruhi pergerakan udara dan keluar paru. Gangguan yang penting adalah bronchitis obstruktif, efisema dan asma bronchial (Arif Muttaqin, 2008).

b. Etiologi PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik)

Menurut GOLD (2014), Faktor resiko penyakit paru obstruktif kronis sebagai berikut :

a. Pajanan dari Partikel

1) Merokok : merokok merupakan penyebab PPOK terbanyak (95% kasus) di Negara berkembang. Perokok aktif dapat mengalami hipersekresi mucus dan obstruksi jalan napas kronik. Perokok pasif juga menyumbang symptom saluran napas dan PPOK dengan peningkatan kerusakan paru-paru akibat menghisap partikel dan gas-gas berbahaya.

2) Polusi; Indoor, polutan indoor yang penting anatara lain SO2 NO2 dan CO yang dihasilkan dari memasak dan kegiatan pemanasan, zat-zat organic yang menguap dari cat, karpet, bahan percetakan dan alergi dari gas dan hewan peliharaan.

3) Polusi; Outdoor, peningkatan kendaraan sepeda motor di jalan raya meneyebabkan peningkatan polusi udara yang dapat memicu terjadinya PPOK b. Genetik Defisiensi Alpha 1-antitrypsin, factor resiko dari genetic memberikan konstribusi 1-3% pada pasien PPOK. c. Riwayat infeksi saluran pernapasan berulang

c. Manifestasi Klinis PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik)

Menurut GOLD (2015), mengatakan manifestasi klinis penyakit paru obstruktif kronis sebagai berikut :

(36)

Dyspnea gejala kardinal PPOK, merupakan penyebab utama kecacatan dan kecemasan terkait dengan penyakit klien PPOK yang khas menggambarkan dyspnea mereka sebagai rasa peningkatan usaha bernapas, berat, kelaparan udara, atau terengah-engah.

b. Batuk

Batuk kronis seringkali gejala pertama dari PPOK, sebagai konsekuensi dari merokok atau paparan lingkungan. Awalnya, batuk mungkin intermiten, tetapi kemudian hadir setiap hari, sering sepanjang hari. Batuk kronis pada PPOK dapat menjadi produktif. c. Produksi Sputum

Klien PPOK umumnya meningkatkan jumlah kecil dari sputum setelah serangan batuk. Produksi reguler dari sputum selama 3 bulan atau lebih dalam 2 tahun berturut-turut. Produksi sputum seringkali sulit untuk mengevaluasi karena pasien mungkin menelan dahak daripada meludahkan. Kehadiran sputum purulen mencerminkan peningkatan mediator inflamasi, dan perkembangannya dapat mengidentifikasi timbulnya eksaserbasi bakteri.

d. Mengi dan Dada Sesak

Mengi dan sesak dada adalah gejala tidak spesifik yang mungkin berbeda antara hari, dan selama satu hari. Mengi terdengar mungkin timbul pada tingkat laring dan tidak perlu disertai kelainan auskultasi. Atau, inspirasi luas atau mengi ekspirasi dapat hadir dengan mendengarkan dada. Dada sesak sering mengikuti tenaga, berotot dalam karakter, dan mungkin timbul dari kontraksi isometrik otot interkostal. Tidak adanya mengi atau sesak dada tidak mengecualikan diagnosis PPOK, juga tidak adanya gejala ini mengkonfirmasikan diagnosis asma.

e. Fitur tambahan di Penyakit berat

Kelelahan, penurunan berat badan dan anoreksia adalah masalah umum pada pasien dengan PPOK berat dan sangat berat.

(37)

d. Patofisiologi PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik)

Obstruksi jalan napas menyebabkan reduksi aliran udara yang beragam bergantung pada penyakit. Penyakit bronchitis kronis dan bronkhiolitis, terjadi penumpukan lendir dan sekresi yang sangat banyak sehingga menyumbat jalan napas. Pada emfisema, obstruksi pada pertukaran oksigen dan karbon dioksida terjadi akibat kerusakan dinding alveoli yang disebabkan oleh overekstensi ruang udara dalam paru. Pada asma jalan napas bronchial menyempit dan membatasi jumlah udara yang mengalir ke dalam paru.

Penyakit paru obstruktif kronis dianggap sebagai penyakit yang berhubungan dengan interaksi genetik dengan lingkungan. Merokok, polusi udara dan paparan di tempat kerja (terhadap batu bara, kapas, dan padi-padian) merupakan faktor resiko penting yang menunjang terjadinya penyakit ini. Prosesnya dapat terjadi dalam rentang lebih dari 20-30 tahun. Penyakit paru obstruktif kronis juga ditemukan terjadi pada individu yang tidak mempunyai enzim yang normal untuk mencegah penghancuran jaringan paru oleh enzim tertentu.

Penyakit paru obstruktif kronis merupakan kelainan dengan kemajuan lambat yang membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menujukkan awitan (onset) gejala klinisnya seperti kerusakan fungsi paru. Penyakit paru obstruktif kronis dapat dapat memperburuk perubahan fisiologi yang berkaitan dengan penuaan dan mengakibatkan obstruksi jalan napas misalnya pada bronchitis serta kehilangan daya pengembangan (elastisitas) paru misalnya pada emfisema. Oleh karena itu terdapat perubahan tambahan dalam rasio ventilasi perfusi pada klien lansia dengan penyakit paru obstruktif kronis (Arif Muttaqin, 2008).

e. Klasifikasi PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik)

Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) 2014, PPOK diklasifikasikan berdasarkan derajat berikut.

(38)

a. Derajat 0 (berisiko)

Gejala klinis : Memiliki satu atau lebih gejala batuk kronis, produksi sputum, dan dispnea. Ada paparan terhadap faktor resiko. Spirometri : Normal

b. Derajat I (PPOK ringan)

Gejala klinis : Dengan atau tanpa batuk, dengan atau tanpa produksi sputum. Sesak napas derajat sesak 0 sampai derajat sesak 1. Spirometri

: FEV1/FVC < 70%, FEV1 ≥ 80%.

c. Derajat II (PPOK sedang)

Gejala klinis : Dengan atau tanpa batuk, dengan atau tanpa produksi sputum, sesak napas derajat sesak 2 (sesak timbul pada saat aktivitas). Spirometri : FEV1/FVC < 70%; 50% < FEV1 < 80%.

d. Derajat III (PPOK berat)

Gejala klinis : Sesak napas derajat sesak 3 dan 4, Eksaserbasi lebih sering terjadi. Spirometri : FEV1/FVC < 70%; 30% < FEV1 < 50%. e. Derajat IV (PPOK sangat berat)

Gejala klinis : Pasien derajat III dengan gagal napas kronik disertai komplikasi kor pulmonale atau gagal jantung kanan. Spirometri FEV1/FVC < 70%; FEV1 < 30% atau < 50%.

f. Komplikasi PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik)

Menurut Irman (2009), komplikasi yang ditimbulkan pada klien dengan penyakit paru obstruktif kronis sebagai berikut :

a. Hipoksemia

Pada awalnya klien akan mengalami perubahan mood, penurunan konsentrasi, dan menjadi pelupa. Pada tahap lanjut akan timbul sianosis.

b. Asidosis Respiratori

Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnea). Tanda yang muncul antara lain nyeri kepala, fatigue, latergi, dizziness, dan takipnea.

(39)

c. Infeksi respiratori

Infeksi pernapasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mukus dan rangsangan otot polos bronchial serta edema mukosa. Terbatasanya aliran udara akan menyebabkan peningkatan kerja napas dan timbulnya dispnea.

d. Gagal jantung

Terutama kor pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru), harus diobservasi terutama pada klien dengan dispnea berat.

e. Kardiak disritmia

Timbul karena hipoksemia, penyakit jantung lain, efek obat atau asidosis respiratori.

f. Status Asmatikus

Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asma bronchial. Penyakit ini sangat berat, potensial mengancam kehidupan, dan sering kali tidak berespon terhadap terapi yang diberikan.

B. Konsep Asuhan Keperawatan Gangguan Pemenuhan Kebutuhan Oksigenasi Pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronis

1. Pengkajian Keperawatan

Menurut Alimul Hidayat (2009) dan Arif Muttaqin (2008) pengkajian keperawatan pada gangguan pemenuhan kebutuhan oksigenasi adalah sebagai berikut:

a. Riwayat Pengkajian

Pengkajian riwayat keperawatan pada masalah kebutuhan oksigen pada pasien PPOK meliputi:

1) Ada tidaknya riwayat merokok dan riwayat batok kronis. Bertempat tinggal atau bekerja diarea dengan polusi udara berat. 2) Adanya riwayat atau factor pencetus eksaserbasi yang meliputi

allergen, stress emosional, peningkatan aktifitas fisik yang berlebihan, serta infeksi saluran pernafasan.

3) Pada pengkajian ditemukan pasien anoreksia, penurunan berat badan, dan kelemahan adalah hal yang umum terjadi.

(40)

4) Pada tahap pengkajian lanjut ditemukan pasien sesak nafas, didapatkan kadar oksigen rendah (hipoksemia) dan karbon dioksida yang tinggi (hiperkapnea). Pasien rentan terhadap reaksi inflamasi dan infeksi akibat pengumpulan sekresi. Setelah infeksi terjadi, pasien mengalami mengi yang berkepanjangan saat ekspirasi.

b. Pola Batuk dan Produksi Spontan

Pengkajian pada pola batuk dilakukan dengan cara menilai batuk termasuk batuk kering, keras, dan kuat dengan suara mendesing. Pengkajian juga dilakukan klien mengalami sakit pada tenggorokan saat batuk kronis dan produktif serta saat dimana klien sedang makan, merokok, atau saat malam hari. Pengkajian terhadap lingkungan, tempat tinggal klien (berdebu, penuh asap, dan adanya kecendrungan mengakibatkan alergi) perlu dilakukan. pengkajian sputum dilakukan dengan cara memeriksa warna, kejernihan, dan apakah bercampur darah terhadap sputum yang dikeluarkan oleh klien.

c. Pengkajian fisik

Menurut Arif Muttaqin (2009) mengatakan sebagai berikut : 1) Inspeksi

Menetukan tipe jalan nafas, seperti menilai nafas spontan melalui hidung, mulut, oral, nasal, kemudian menentukan status kondisi seperti kebersihan, ada atau tidaknya secret, perdarahan, bengkak atau obstruksi mekanik.

a. Menentukan tipe jalan napas, seperti menilai napas spontan melalui hidung, mulut, oral, nasal, kemudian menentukan status kondisi seperti kebersihan, ada atau tidaknya secret, perdarahan, bengkak, atau obstruksi mekanik.

b. Penghitungan frekuensi pernapasan; frekuensi pernapasan dalam waktu satu menit. Pada pasien PPOK terlihat adanya usaha dan peningkatan frekuensi pernapasan.

(41)

d. Pengkajian irama pernapasan. Pada pasien PPOK terlihat bentuk dada barrel chest akibat udara yang terperangkap, penipisan masa otot, bernapas dengan bibir yang dirapatkan, dan pernapasan abnormal yang tidak efektif.

e. Pengkajian terhadap dalam/dangkalnya pernapasan. Pasien PPOK ditemukan adanya dispnea terjadi saat beraktivitas bahkan pada saat aktivitas kehidupan sehari-hari

2) Palpasi

Pemeriksaan ini bertujuan untuk mendeteksi kelainan seperti nyeri tekan yang dapat timbul akibat luka, peradangan setempat, metastasis tumor ganas, pleuritis, atau pembengkakan dan benjolan pada dada. Melalui palpasi dapat diteliti gerakan dinding thoraks pada saat inspirasi dan ekspirasi terjadi. Palpasi pada pasien dengan PPOK yaitu ekspansi meningkat dan taktil fremitus biasanya menurun.

3) Perkusi

Pengkajian ini bertujuan untuk menilai normal atau tidaknya suara perkusi paru. Terdapat beberapa suara perkusi sebagai berikut: a) Sonor, bunyinya seperti kata “dug-dug”.

b) Redup, dianggap sebagai suara tidak normal

c) Pekak, adalah suara yang terdengar seperti memperkusi paha, terdapat pada rongga pleura yang berisi nanah, tumor pada permukaan paru.

d) Hipersonor, bunyi perkusi apabila udara relative lebih padat, ditemukan pada emfisema dan pneumonotoraks.

e) Timpani, bunyinya seperti ucapan “dang-dang”. Suara ini menunjukkan bahwa di bawah tempat yang diperkusi terdapat penimbunan udara, seperti pada pneumonotoraks.

Perkusi pada pasien PPOK didapatkan suara normal sampai hipersonor sedangkan diafragma mendatar atau menurun.

(42)

4) Auskultasi

Pengkajian ini untuk menilai adanya suara napas, di antaranya adalah suara napas dasar dan suara napas tambahan.

1) Suara napas dasar

Merupakan suara napas pada orang dengan paru yang sehat, seperti :

a) Vesikuler, adalah ketika suara inspirasi lebih keras dan lebih tinggi nadanya. Suara vesikuler dapat didengar pada sebagian paru.

b) Bronkhial, suara yang didengar pada waktu inspirasi dan ekspirasi, bunyinya bisa sama atau lebih panjang, antara inspirasi dan ekspirasi terdengar jarak pause yang jelas. Suara bronchial terdengar di daerah trakea dekat bronkus, dalam keadaan tidak normal bisa terdengar seluruh daerah paru.

c) Bronkovaskular, suara yang terdengar antara vesikuler dan bronchial, ketika ekspirasi menjadi lebih panjang, hingga hampir menyamai inspirasi. Suara ini lebih jelas terdengar pada manubrium sterni. Pada keadaan tidak normal juga terdengar pada daerah lain dari paru.

2) Suara napas tambahan

Merupakan suara yang terdengar pada dinding thoraks berasal dari kelainan

dalam paru, termasuk bronkus, alveoli, dan pleura. Suara tambahan seperti :

a) Ronkhi, yaitu suara yang terjadi dalam bronchi karena penyempitan lumen bronkus.

b) Mengi (wheezing), yaitu ronkhi kering yang tinggi, terputus nadanya, dan panjang, terjadi pada asma.

c) Ronkhi basah, yaitu suara berisik yang terputus akibat aliran udara yang melewati cairan (ronkhi basah, halus,

(43)

sedang, atau kasar tergantung pada besarnya bronkus yang terkena dan umumnya terdengar pada inspirasi).

d) Krepitasi, adalah suara seperti hujan rintik-rintikyang berasal dari bronkus, alveoli, atau kavitasi yang mengandung cairan.

a) Krepitasi halus menandai adanya eksudat dalam alveoli yang membuat alveoli saling berlekatan.

b) Krepitasi kasar, terdengar seperti suara yang timbul bila meniup dalam air. Suara ini terdengar selama inspirasi dan ekspirasi. Gejala ini dijumpai pada bronchitis. Pada pasien PPOK sering didapatkan adanya bunyi napas ronkhi dan wheezing sesuai tingkat keparahan obstruksi pada bronkiolus.

d. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium seperti Hemoglobin (Hb) dan Hematokrit (Ht) meningkat. Jumlah eritrosit meningkat, eosinofil dan total IgE serum meningkat. Pulse Oksimetri, SaO2 oksigenasi menurun.

e. Pemeriksaan diagnostic

1) Radiologi Thoraks foto (AP dan lateral)

Menunjukkan adanya hiperinflasi paru, pembesaran jantung, dan bendungan area paru. Pada emfisema paru didapatkan diafragma dengan letak yang rendah dan mendatar.

2) Bronkografi

Menunjukkan dilatasi bronkus, kolap bronkhiale pada ekspirasi kuat.

3) Pengukuran Fungsi Paru

Kapasitas inspirasi menurun, volume residu meningkat pada emfisema, bronchitis, dan asma.

4) Analisa Gas Darah

PaO2 menurun, PCO2 meningkat, sering menurun pada asma. Nilai pH normal, asidosis, alkalosis, respiratorik ringan sekunder.

(44)

5) Angiografi

Pemeriksaan ini untuk membantu menegakkan diagnosis tentang keadaan paru, emboli atau tumor paru, aneurisma, emfisema, kelainan congenital.

6) Radio Isotop

Bertujuan untuk menilai lobus paru, melihat adanya emboli paru. Ventilasi scanning untuk mendeteksi ketidaknormalan ventilasi, misalnya pada emfisema.

2. Kemungkinan Diagnosa keperawatan pada pasien PPOK

Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada gangguan pemenuhan kebutuhan oksigenasi pada pasien dengan peyakit paru obstruktif kronis menurut NANDA (2015) adalah sebagai berikut :

a. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan : 1) Lingkungan: perokok, perokok pasif, terpajan asap.

2) Obstruksi jalan napas: adanya jalan napas buatan, benda asing dalam jalan napas, eksudat dalam alveoli, mucus belebihan, penyakit paru obstruktif kronis, sekresi yang tertahan, spasme jalan napas.

3) Fisiologis: asma, infeksi, jalan napas alergik.

b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan ventilasi perfusi, perubahan membrane alveolar-kapiler.

c. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan hiperventilasi, keletihan otot pernapasan, sindrom hipoventilas.

(45)
(46)
(47)

3. Intervensi Keperawatan

Tabel 2.1 Intervensi Keperawatan

NO Diagnosa Keperawatan Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC) 1. Ketidakefektifan

bersihan jalan napas Definisi:

Ketidakmampuan

membersihkan sekresi atau obstruksi dan saluran napas untuk mempertahankan

bersihan jalan napas. Batasan Karakteristik:

a) Batuk yang tidak efektif b) Dispnea c) Gelisah d) Ortopnea e) Penurunan bunyi napas f) Perubahan frekuensi napas g) Perubahan pola napas h) Sianosis i) Sputum dalam jumlah yang berlebihan j) Suara napas tambahan k) Tidak ada batuk

Faktor yang Berhubungan: a) Lingkungan 1) Perokok 2) Perokok pasif 3) Terpajan asap b) Obstruksi jalan napas 1) Adanya jalan napas buatan NOC: Respiratory status: ventilation Setelah dilakukan asuhan keperawatan diapatkan Kriteria Hasil: a. Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara napas ang bersih, tidak ada sianosi dan dyspneu (mampu

mengeluarkan

sputum, mampu

bernapas dengan mudah, tidak ada pursed lips)

b. Menunjukkan jalan napas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama napas, frekuensi pernapasan dalam rentang normal, tidak ada suara napas abnormal) c. Mampu mengidentifikasi dan mencegah faktor yang menghambat jalan napas NIC a) Airway Suctioning a. Pastikan kebutuhan oral/ trakeal suctioning b. Auskultasi suara napas sebelum dan sesudah suction c. Informasikan ke pasien dan keluarga tentang suction d. Gunakan universal precaution/ prinsip steril: sarung tangan, kacamata dan masker e. Instruksikan ke pasien beberapa napas dalam sebelum suction f. Bila terjadi hiperoksigenas i sampai 100%, gunakan ventilator atau resusitasi manual g. Lakukan alat-alat disposibel yang steril pada saat melakukan

(48)

2) Benda asing dalam jalan napas 3) Mucus berlebihan 4) Sekresi yang tertahan 5) Spasme jalan napas c) Fisiologis 1) Disfungsi neuromuscular 2) Infeksi 3) 3) Jalan napas alergik prosedur suction h. Anjurkan napas dalam dan istirahat i. Hentikan suction bila bradikardi, peningkatan saturasi oksigen j. Gunakan durasi singkat pada saat menghisap sekret dan respon b) Airway Management a) Posisikan pasien untuk memaksimalk an ventilasi b) Lakukan fisioterapi dada bila perlu c) Keluarkan sekret dengan batuk atau suction d) Auskultasi suara napas, catat bila ada suara tambahan e) Berikan bronkodilator bila perlu Poltekkes Kemenkes Padang f) Monitor status respirasi dan status O2

(49)

a. Monitor pola napas, irama, kedalaman dan usaha napas b. Perhatikan gerakan dan kesimetrisan, menggunakan otot bantu, dan adanya retraksi otot intercostals dan supraclavicula r c. Monitor bunyi napas, misalnya mendengkur d. Monitor pola napas e. Catat lokasi trakea f. Auskultasi bunyi napas, catat peningkatan ventilasi g. Monitor saturasi oksigen h. Monitor kemampuan pasien dalam batuk efektif 2. Gangguan pertukaran gas

Definisi: kelebihan atau defisit oksigenasi dan/atau eliminasi karbondioksida pada membran alveolar-kapiler. Batasan Karakteristik: a. Dispnea

b. Gas darah arteri abnormal

NOC

Respiratory status: gas exchange Setelah dilakukan asuhan keperawatan didapatkan Kriteria Hasil: a. Mendemonstrasikan peningkatan ventilasi dan oksigenasi yang adekuat Respiratory status: NIC Respiratory Monitoring a. Monitor pola napas, irama, kedalaman dan usaha napas b. Perhatikan gerakan dan kesimetrisan, menggunakan otot bantu, dan adanya retraksi

(50)

c. Gelisah d. Hiperkapnia e. Hipoksemia f. Hipoksia g. Napas cuping hidung h. Penurunan karbondioksida i. pH arteri abnormal j. Pola pernapasan abnormal (mis; kecepatan, irama, kedalaman) k. Sianosis l. Takikardia Faktor yang berhubungan: g) Ketidakseimbanga n ventilasi perfusi h) Perubahan membrane alveolar kapiler ventilation Kriteria Hasil: a. Memelihara kebersihan paru-paru dan bebas dari tanda-tanda distress

pernapasan b. Mendemonstrasika

n batuk efektif dan suara napas yang bersih, tidak ada sianosis dan dypsneu (mampu mengeluarkan sputum, mampu bernapas dengan mudah, tidak ada pursed lips) Vital sign status Tanda-tanda vital dalam normal otot intercostals dan supraclavicular c. Monitor bunyi napas, misalnya mendengkur d. Monitor pola napas e. Catat lokasi trakea f. Auskultasi bunyi napas, catat peningkatan ventilasi g. Monitor saturasi oksigen h. Monitor kemampuan pasien dalam batuk efektif Oxygen Therapy a) Periksa mulut, hidung, dan sekret trakea b) Pertahankan jalan napas yang paten c) Atur peralatan oksigenasi d) Monitor aliran oksigen c) Vital Sign Monitoring Respiratory Monitoring a. Monitor TD, nadi, suhu, dan RR

b. Monitor vital sign saat pasien berbaring, duduk, dan berdiri

c. Auskultasi TD pada kedua

(51)

d. Monitor TD, nadi, RR, sebelum, selama, dan setelah aktivitas e. Monitor kualitas dari nadi f. Monitor frekuensi dan irama pernapasan g. Monitor pola pernapasan abnormal h. Monitor suhu, warna, dan kelembaban kulit i. Monitor sianosis perifer j. Monitor adanya cushling triad (tekanan nadi yang melebar, bradikardi, peningkatan sistolik) k. Identifikasi penyebab dari perubahan vital sign Ketid 3. Ketidakefektifan pola napas Definisi: inspirasi dan/atau ekspirasi yang tidak member ventilasi adekuat. Batasan karakteristik: a. Bradipnea b. Dispnea c. Fase ekspirasi memanjang d. Ortopnea e. Penggunaan otot bahu pernapasan f. Penurunan tekanan NOC: Respiratory status: Ventilation Setelah dilakukan tindakan keperawatan didapatkan Kriteria Hasil: a. Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara napas yang bersih, tidak ada sianosis dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, mampu bernapas dengan NIC Oxygen Therapy a. Periksa mulut, hidung, dan sekret trakea b. Pertahankan

jalan napas yang paten c. Atur peralatan oksigenasi d. Monitor aliran oksigen e. Pertahankan posisi pasien f. Observasi tanda-tanda

(52)

ekspirasi g. Penurunan tekanan inspirasi h. Pernapasan bibir i. Pernapasan cuping hidung j. Pola napas abnormal (mis; irama, frekuensi, kedalaman) k. Takipnea faktor yang Berhubungan: a. Hiperventilasi b. Keletihan otot pernapasan c. Sindrom hipoventilasi

mudah, tidak ada pursed lips)

Respiratory status: Airway patency

a. Menunjukkan jalan napas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama napas, frekuensi pernapasan dalam rentang normal, tidak ada suara napas abnormal) Vital Sign Status

a. Tanda-tanda vital dalam rentang normal (tekanan darah, nadi, pernapasan) hipoventilasi g. Monitor adanya kecemasan pasien terhadap oksigenasi Vital Sign Status

a. Monitor TD, nadi, suhu, dan RR

b. Monitor vital sign saat

(53)

BAB III

METODE PENELITIAN

A.Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Desain penelitian deskriptif adalah suatu metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan utama untuk membuat gambaran tentang suatu keadaan objektif. Metode penelitian deskriptif digunakan untuk memecahkan atau menjawab permasalahan yang sedang dihadapi pada situasi sekarang (Setiadi,2007). Desain Penelitian deskriptif dilakukan pada satu kasus yaitu penerapan asuhan keperawatan gangguan pemenuhan kebutuhan oksigenasi pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronis di Ruang VI Paru Rumah Sakit TK III Dr. Reksodiwiryo Padang Tahun 2017.

B.Tempat Dan Waktu Penelitian

Tempat penelitian dilakukan di Ruang VI Paru R umah Sakit TK III Dr. Reksodiwiryo Padang Tahun 2017. Waktu penelitian dilakukan pada tanggal 03 Juni sampai 07 Juni 2017. Penelitian akan dilakukan selama 5 hari.

C. Populasi dan Sampel 1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek yang diteliti atau subjek yang diteliti. Populasi dari penelitian ini adalah seluruh pasien dengan PPOK di Ruang VI Paru Rumah Sakit TK III Dr. Reksodiwiryo Padang Tahun 2017. 2. Sampel

Sampel terdiri dari bagian populasi yang dapat dipergunakan sebagai subjek penelitian melalui sampling. Sampling adalah proses menyeleksi porsi dari populasi yang dapat mewakili populasi yang ada. Adapun sampel terdiri dari dua pasien dengan kriteria sebagai berikut:

Adapun kritreria sampel dalam penelitian sebagai berikut : 1. Kriteria inklusif

(54)

b. Pasien dengan masalah gangguan oksigenasi

c. Pasien dengan diagnose penyakit paru obstruksi kronis 2. Kriteria ekslusif

a. Keluarga pasien tidak bersedia pasien menjadi responden b. Pasien dirawat kurang dari 5 hari

D. Alat dan Instrumen Pengumpulan Data

Alat atau instrument pengumpulan data yang digunakan adalah format tahapan proses keperawatan klien mulai dari pengkajian sampai evaluasi. Cara pengumpulan data dimulai dari anamnesa, pemeriksaan fisik dan studi dokumentasi.

Proses keperawatan meliputi: 1. Pengkajian

Pengkajian dilakukan ketika pasien baru masuk pertama kalinya di fasilitas kesehatan (rumah sakit). Bentuk yang umumnya dipakai dalam format pengkajian sebagai berikut:

a. Format anamnesa

Format Tanya jawab biasanya pertanyaan-pertanyan yang bersifat bersifat umum (identitas pasien seperti nama, nama orang tua, pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua ataupun riwayat kesehatan pasien seperti penyakit yang pernah di derita pasien), ataupun yang lebih pribadi (seperti status keuangan, spiritual dan seksual orang tua). b. Pengkajian lanjutan

Pengkajian lanjutan dilakukan secara terus menerus selama proses keperawatan diberikan, sehingga data ini adalah data yang up to date. Data ini dapat dicatat dalam format tertentu yang disebut dengan flow sheet. Contoh dalam pengkajian lanjutan adalah pengkajian tanda-tanda vital yang diambil dalam periode tertentu. Format flow sheet memungkinkan perawatan untuk melihat apakah terdapat perubuhan pada kondisi pasien periode yang berbeda.

(55)

2. Diagnose keperawatan

Diagnose keperawatan dapat ditegakkan jiak data-data yang telah ada di analisa. Kegiatan pendokumentasian diagnose keperawatan sebagai berikut:

a. Analisa data

Dalam analisa data mencangkup data pasien, masalah dan penyebabnya. Data pasein terdiri atas data subjektif yaitu data yang didapatkan saat interaksi dengan pasien, biasanya apa yang dikeluhkan oleh pasien, dan data objektif yaitu data yang diperoleh perawat dari hasil pengamatan dan pemeriksaan fisik.

b. Menegakkan diagnose

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menegakkan diagnose adalah PES (Problem+Etiologi+System) dan menggunakan istilah diagnose keperawatan yang di buat dari daftar NANDA.

3. Intervensi

Rencana keperawatan terdiri dari beberapa komponen sebagai berikut: a. Diagnose yang diprioritaskan

b. Tujuan dan criteria hasil c. intervensi

4. Implementasi

Implementasi keperawatan terdiri dari beberapa komponen : a. Tanggal dan waktu dilakukan implementasi keperawatan b. Diagnose keperawatan

c. Tindakan keperawatan berdasarkan intervensi keperawatan d. Tanda tangan perawat pelaksana

5. Evaluasi

Evaluasi ekperawatan terdiri dari beberapa komponen : a. Tanggal dan waktu dilakukan evaluasi keperawatan b. Diagnose keperawatan

Gambar

Tabel 2.1  Intervensi Keperawatan
Tabel 4.2  Diagnosa Keperawatan

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini, antara lain, karena : (1) Agama Islam mewajibkan adanya peradilan syariah Islam dalam kehidupan beragama, bermasyarakat, dan bernergara; (2) Jumlah penduduk

Pada Bab ini akan dibahas seluruh hal yang berkaitan dengan kondisi saat ini, mulai dari tempat, kondisi ekonomi Regional Provinsi Sumatera Selatan , kondisi alur pelayaran

Sedangkan untuk agama non Islam alasan untuk mengajukan perceraian karena perpindahan agama tidak bisa diterima karena tidak adanya aturan yang mengatur bahwa hal

Diharapkan dengan melakukan positivisasi hukum Islam dalam pembangunan hukum nasional akan dapat menanggulangi per- masalahan bangsa karena pijakan yang digunakan untuk

IDI Cab. Mengajukan permohonan untuk memperoleh Surat Rekomendasi Melanjutkan Pendidikan Spesialis ……….. Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa saat ini saya

Pada diagram batang diatas dapat dijelaskan bahwa, dengan menggunakan perekat tar kayu sengon nyala efektif yang dihasilkan selama percobaan adalah selama 90

Peran orangtua dalam memberikan dan me- nerapkan pendidikan seks kepada anak tunagra- hita sangat dibutuhkan, karena sebagai anak yang dilahirkan tunagrahita secara fisik

Berdasarkan Perpres Nomor 54 Tahun 2010 beserta perubahannya Pasal 83 Ayat (1) Kelompok Kerja ULP menyatakan Pelelangan / Seleksi Sederhana gagal apabila : d) tidak ada