1
PENGEMBANGAN KOMODITAS MANGROVE BAGI
WILAYAH PESISIR DI PROVINSI ACEH
I.
Pendahuluan
Provinsi Aceh merupakan salah satu provinsi yang memiliki potensi dan kekayaan
sumber daya perikanan. Sektor perikanan di Provinsi Aceh memiliki luasan 56.329 Ha yang
terdiri dari lahan tambak, kolam, sawah, jaring apung, keramba, dan laut (Dinas Kelautan dan
Perikanan Provinsi Aceh, 2012).Wilayah pesisir Aceh memiliki panjang garis pantai 1.660
km dengan luas wilayah perairan laut seluas 295.370 km² terdiri dari laut wilayah (perairan
teritorial dan perairan kepulauan) 56.563 km² dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) 238.807
km².Wilayah pantai dan lautnya secara umum di pengaruhi oleh persimpangan arus dan
gerakan Samudera Hindia, Selat Malaka dan Laut Cina Selatan yang berinteraksi dengan
daratan pulau Sumatera, Semenanjung Malaka, Kepulauan Andaman dan Nicobar, sehingga
menampakkan ekosistem laut di sepanjang pesisir Aceh sangat sesuai bagi kehidupan,biota
laut.
Sektor perikanan merupakan salah satu sektor andalan Provinsi Aceh, lebih kurang
55% penduduk Aceh bergantung kepada sektor ini baik secara langsung maupun tidak
langsung (Yusuf, 2003). pengembangan sektor perikanan harus menjadi salah satu prioritas
pembangunan di Provinsi Aceh sehingga dapat memberikan dampak positif bagi
perkembangan ekonomi secara umum di kawasan ini.
Program dan kegiatan pembangunan sektor kelautan dan perikanan perlu dilakukan
perubahan dan penyesuaian agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat wilayah
pesisir Aceh. Dalam rangka memenuhi harapan tersebut, diperlukan kebijakan sektoral yang
strategis dan inovatif dengan menerapkan langkah-langkah terobosan yang efektif.
Kementrian Kelautan dan Perikanan mulai melakukan perubahan orientasi pembangunan dari
daratan ke lautan (maritime), yang disebut dengan Revolusi Biru. Pengembagan dari revolusi
biru melahirkan implementasi sistem pembangunan sektor kelautan dan perikanan terpadu
berbasis wilayah yang disebut dengan konsep minapolitan (KKP, 2011.).
Pembangunan perikanan yang berkelanjutan perlu mengacu pada 3 indikator (Friend,
2000), yaitu indikator ekologi, ekonomi, dan budaya. Ekologi berkaitan dengan konsep
2 meningkat sektor perikanan dan kelautan sebagai sumber daya perekonomian. Budaya adalah
memperkuat fondasi pembanguan sektor perikanan dengan menjaga nilai-nilai, tradisi, dan
kehidupan sosial masyarakat khususnya wilayah pesisir
Salah satu project pengembangan kawasan sektor perikanan pembangunan berbasis
minapolitan. Adapun salah satu tujuan Minapolitan adalah untuk pengembangan kawasan
pesesir melalui penataan lahan perikanan budidaya bebasisis ekosistem. Penataan lahan
tambak berbasi ekosistem dapat dikembangkan melalui model silvofishery dengan
pengembangan budidaya mangrove.
Karakteristik wilayah pesisisr terdiri dari berbagai macam habitat/ekosistem (serperti
pantai, mangrove, padang lamun, terumbu karang, dan estuaria) yang menghasilkan berbagai
sumberdaya dan jasa-jasa lingkungan bagai masyarakat, khususnya yang bermukim di pesisir.
Ekosistem mangrove yang terletak di wilayah pesisir memiliki berbagai macam manfaat bagi
kegiatan perikanan. Ekosistem mangrove tidah hanya melegkapi penyediaan makanan bagi
biodata dan pendauran biodata laut, tetapi juga menciptakan iklim laut yang cocock dengan
kondisi biota laut.
Hutan mangrove adalah salah satu komponen ekosistem penting bagi sumberdaya
kawasan pesisir. Hutan mangrove merupakan tipe hutan tropis yang khas tumbuh di
sepanjang pantai atau muara sungai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan
mangrove sebagai salah satu ekosistem wilayah pesisir dan lautan sangat potensial bagi
kesejahteraan masyarakat baik dari segi ekonomi, sosial dan lingkungan hidup. Sekarang ini
dalam keadaan kritis ketersediaannya. Hal ini disebabkan adanya degradasi hutan mangrove
akibat penebangan yang melampuai batas kemampuan kelestariannya. Hutan mangrove telah
mengalami konversi pemanfaatan untuk areal pertanian, pembangunan dermaga, perluasan
tambak udang dan ikan, dan pemukiman yan tidak memperhitungkan nilai-nilai ekologis.
Bencana Gempa Bumi dan Tsunami yang terjadi pada 26 Desember 2004 telah
menghancurkan hutan pantai dan hutan mangrove yang terdapat di wilayah pantai barat dan
pantai utara di Provinsi Aceh serta telah menyebabkan kerusakan parah atas tumbuhan pantai
yang tumbuh di sepanjang garis pantai di wilayah timur laut. Hilangnya sumber daya ini
memiliki dampak langsung terhadap kelangsungan hidup dari para korban tsunami yang
selamat serta dampak lanjutannya. Kenyataan menunjukkan bahwa betapa pentingnya peran
hutan mangrove secara ekologi sebagai penahan gelombang tsunami.
Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias sebagai badan yang diberi
3 mengeluarkan data yang lebih rinci tentang kerusakan di wilayah pesisir. Menurut data BRR,
bencana tsunami telah menyebabkan kerusakan mangrove seluas 174.590 ha, terumbu karang
(Coral Reef) 19.000 ha, dan hutan pantai 50.000 ha.
Berkaitan dengan pengelolaan mangrove secara ekologi kawasan perairan laut, maka
perencanaan harus didasarkan atas pengelolaan kawasan mangrove yang mendukung
komponen dan atribut ekologis mangrove (seperti bahan organic) terhadap kehidupan biota
laut. Pengembangan minapolitan dengan budidaya mangrove secara sektoral harus
mendapatkan perhatian dari para pengambil kebijakan di Provinsi Aceh. Fokus pembangunan
sektor perikanan dan kelautan harus memberikan dampak bagi lingkungan, kesejahteraan
masyarakat wilayah pesisir, meningkatkan hasil perikanan, dan menciptakan lapangan
pekerjaan. Berdasarkan hal tersebut, maka project pengembangan minapolitan melalui
budidaya mangrove harus menjelaskan terlebih dahulu mengenai:
1. Identifikasi posisi kuadran Provinsi Aceh dalam lingkup regional terhadap
pengembangan minapolitas budidaya mangrove dengan menggunakan analisis kuadran
daya saing-wealth serta analisis SWOT.
2. Menentukan strategi pengembangan komoditas mangrove dan membandingkan dengan
Program/kebijakan yang pernah dilakukan
3. Identifikasi rantai nilai komoditas mangrove berbasis blue economy
4. Tahapan-tahapan strategis membangun postur ekonomi Provinsi Aceh
II.
Landasan Teoritis
2.1. Wilayah Pesisir
Soegiarto (1976) dalam Dahuri et.al. (2001) mendefinisikan wilayah pesisir sebagai
daerah pertemuan antara darat dan laut, dengan batas daratan meliputi bagian kering maupun yang terendam air yang masih mendapat pengaruh sifat‐sifat laut, seperti angin laut, pasang
surut, dan perembesan air laut. Sebaliknya ke arah laut, wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses‐proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan
aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat.
Perkembangan dan pertumbuhan daerah‐daerah pantai dilandasi oleh berbagai macam
bentuk perkembangan dan pertumbuhan kegiatan sosial budaya, ekonomi, dan politik, yang
jelas akan termanifestasikan pada perkembangan fisiknya. Faktor‐faktor yang mempengaruhi
perkembangan dan pertumbuhan daerah pantai ini dengan sendirinya tidak sama untuk
4 pertumbuhan daerah pantai terjadi karena potensi sumber daya alam yang dimiliki oleh
daerah pantai yang dimanfaatkan secara ekonomis, seperti perikanan dan hasil laut lainnya
(Mulyadi,2005:). Indra (2011) dalam presentasi pengelolaan wilayah pesisir terpadu
menjelaskan ada 5 Zona utama dalam spektrum wilayah pesisir-laut
1. Zona Daratan (Inland areas) yang mempengaruhi lautan melalui sedimen dan bahan
pencemar yang terbawa oleh aliran sungai, aliran air permukaan (run-off), maupun
aliran air tanah (ground water).
2. Zona lahan pesisir (coastal land) meliputi lahan basah (wetlands), rawa-rawa
(marshes), pantai (beaches), gundukan pasir (sand dunes), dll; dimana kegiatan
manusia berlangsung dan secara langsung mempengaruhi perairan pesisir di
depannya.
3. Perairan pesisir (coastal waters) meliputi estuaria, laguna, padang lamun, terumbu
karang, dan laut dangkal, dimana pengaruh kegiatan-kegiatan di darat dominan.
4. Perairan lepas pantai (offshore waters); dari batas terluar perairan pesisir sampai 200
mil ke arah laut bebas (high seas).
5. Laut bebas (high seas); di luar batas jurisdiksi nasional atau the common heritage of
mankind.
5 2.2. Komoditas Mangrove
Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis dan merupakan komunitas
yang hidup di dalam kawasan yang lembab dan berlumpur serta dipengaruhi oleh pasang
surut air laut (Susiana, 2011).Komoditas perikanan yang sesuai untuk budidaya di air payau
kawasan mangrove adalah kepiting bakau (Scylla serrata), ikan bandeng (Chanos chanos),
udang windu (Penaeus monodon), udang vanamei (Penaeus vannamei), ikan patin
(Pangasius pangasius), ikan kakap (Lates calcarifer), rumput laut (Sidik, 2005)
Mangrove merupakan suatu ekosistem yang mempunyai peranan penting ditinjau dari
sisi ekologis maupun aspek sosial ekonomi. Hutan mangrove adalah tipe hutan yang
ditumbuhi dengan pohon bakau (mangrove) yang khas yang terdapat di sepanjang pantai atau
muara sunga dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Onrizal, 2010 ). Hutan mangrove
sebagai suatu ekosistem dan sumberdaya alam pemanfaatannya diarahkan untuk
kesejahteraan manusia. Untuk mewujudkan pemanfaatannya agar dapat berkelanjutan, maka
hutan mangrove perlu dijaga keberadaannya (Kusmana, 2005). Hutan mangrove di sepanjang
pesisir pantai dan sungai secara umum menyediakan habitat bagi berbagai jenis ikan. Hutan
mangrove sebagai salah satu lahan basah di daerah tropis dengan akses yang mudah serta
kegunanan komponen biodiversitas dan lahan yang tinggi menjadikan sumberdaya tersebut
sebagai sumberdaya tropis yang kelestariannya akan terancam. (Praktiko, 2002).
Sebagai habitat utama mangrove terletak di daerah pesisir dan ekosistem yang kaya
akan berbagai macam hewan yang saling berinteraksi diantara komponen habitat tersebut.
Wilayah pesisir juga merupakan Sebagai salah satu ekosistem pesisir, hutan mangrove
merupakan ekosistem yang unik dan rawan. Ekosistem ini mempunyai fungsi ekologis dan
ekonomis. Fungsi ekologis hutan mangrove antara lain sebagai pelindung garis pantai,
mencegah intrusi air laut, tempat hidup (habitat), tempat mencari makan (feeding ground),
tempat pengasuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground)
bagi aneka biota perairan, serta sebagai pengatur iklim mikro. Fungsi ekonomi hutan
mangrove antara lain sebagai penghasil keperluan rumah tangga, penghasil keperluan
industri, dan penghasil bibit. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, manusia biasanya
mengalihfungsikan hutan mangrove menjadi tambak, pemukiman, industri, dan sebagainya
(Kusmono, 1997)
Fungsi hutan mangrove dapat digolongkan menjadi tiga macam yaitu fungsi fisik,
fungsi ekologis dan fungsi ekonomis. Fungsi hutan mangrove secara fisik di antaranya :
6 perluasan lahan dengan adanya jerapan endapan lumpur yang terbawa oleh arus ke kawasan
hutan mangrove, mengendalikan laju intrusi air laut sehingga air sumur disekitarnya menjadi
lebih tawar, melindungi daerah di belakang mangrove dari hempasan gelombang, angin
kencang dan bahaya tsunami. (Bengen, 2001).
Mangrove di Indonesia dikenal mempunyai keragaman jenis yang tinggi, seluruhnya
tercatat sebanyak 89 jenis tumbuhan, 35 jenis diantaranya berupa pohon dan selebihnya
berupa terna (5 jenis), perdu (9 jenis), liana (9 jenis), epifit (29 jenis), dan parasit (2 jenis).
Beberapa contoh mangrove yang berupa pohon antara lain bakau (Rhizophora), api-api
(Avicenia), pedada (Sonneratia), tanjang (Bruguiera), nyirih (Xylocarpus), tengar (Ceriops),
buta-buta (Excoecaria) (Nontji, 2007). Pemetaan FA0 (2009), terdapat lima kelompok
tumbuhan mangrove yang digunakan, yaitu sebagai berikut:
1. Posisi rendah, dekat dengan Permukaan Laut (Mean Sea Level - MSL)
2. Posisi Menengah, dekat dengan Tingkat Ketinggian Air Pasang (Mean High
Water Neap level - MHWN)
3. Posisi atas, dekat dengan Tingkat Ketinggian Air Surut (Mean High Water Spring
level - MHWS)
4. Diantara ketinggian air pasang dan wilayah hutan pantai Umum, yang dapat
tumbuh pada salah satu dari wilayah diatas tetapi biasanya dikecualikan oleh
spesies lain.
2.3. Analisis SWOT
Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk
merumuskan strategi suatu usaha. Analisis SWOT ini didasarkan pada logika yang
memaksimalkan kekuatan (Strenghts) dan peluang (Opportunitis) namun secara bersamaan
dapat meminimalkan kelemahan (Weakness) dan ancaman (Threats). Proses pengambilan
keputusan yang strategis selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi dan
kebijakan perusahaan. Dengan demikian perencanaan strategi harus menganalisis
factor-faktor strategi perusahan (kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman) dalam kondisi yang
ada saat ini.
Menurut Rangkuti (2008) Analisis ini membandingkan antara faktor internal (kekuatan
dan kelemahan) dan Faktor eksternal (peluang dan ancaman). Analisis SWOT digunakan
untuk membandingkan faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal terdiri dari
7 SWOT merupakan alat pencocokan yang penting untuk membantu para stake holder
mengembangkan empat tipe strategi: Strategi SO (Strengths-Opportunities), Strategi WO
Opportunities), Strategi ST (Strengths-Threats), dan Strategi WT
(Weaknesses-Threats). Dalam analisis SWOT (Rangkuti, 2008) dilakukan perbandingan antara faktor-faktor strategis internal maupun eksternal untuk memperoleh strategi terhadap
masing-masing faktor tersebut.
Alat yang digunakan dalam menyusun faktor-faktor strategis untuk pengembangan daerah
dapat dilakukan dengan matriks SWOT. Matriks ini menggambarkan bagaimana peluang dan
ancaman dari sisi eksernal serta kekuatan dan kelemahan dari sisi internal daerah. Berikut
ini tabel Matrik berdasarkan rangkuti (2008), yang menghasilkan empat set kemungkinan
8 Berdasarkan Matriks SWOT diatas maka didapatkan 4 langkah strategi yaitu sebagai
berikut :
1. Strategi SO
Strategi ini dibuat berdasarkan kondisi daerah, yaitu dengan memadukan dan
memanfaatkan seluruh kekuatan untuk merebut peluang sebesar-besarnya. Strategi
SO menggunakan kekuatan kekayaan alam untuk memanfaatkan peluang eksternal.
2. Strategi ST
Strategi ini menggunakan kekuatan yang dimiliki daerah untuk mengatasi
ancaman. Strategi ST menggunakan kekuatan internal perusahaan untuk menghindari
atau mengurangi dampak ancaman eksternal.
3. Strategi WO
Strategi ini diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada dengan cara
meminimalkan kelemahan. Strategi WO bertujuan untuk memperbaiki kelemahan
potensi alam dengan memanfaatkan peluang eksernal .
4. Strategi WT
Strategi ini didasarkan pada kegiatan yang bersifat defensif program dan berusaha
meminimalkan kelemahan serta menghindari ancaman. Strategi WT bertujuan untuk
mengurangi kelemahan internal dengan menghindari ancaman eksternal.
2.4. Analisis Rantai Nilai (Value Chain)
Womack, Jones et all, dalam Porter (1992) mendefinisikan Value Chain Analysis
(VCA) sebagai berikut : ”Analisis rantai nilai adalah teknik yang banyak diterapkan dalam
bidang manajemen operasi, teknik manajemen proses dan manajemen rantai pasokan, untuk
analisis dan perbaikan berikutnya dari pemanfaatan sumber daya dan aliran produk dalam
proses manufaktur”. Sedangkan Shank dan Govindarajan, dalam Porter (1993),
mendefinisikan Value Chain Analysis merupakan alat untuk memahami rantai nilai yang
membentuk suatu produk.
Rantai nilai berasal dari aktivitas – aktivitas yang dilakukan, mulai dari bahan baku
sampai ke tangan konsumen, termasuk juga pelayanan purna jual. Analisis value chain
merupakan alat analisis strategis yang digunakan untuk memahami secara lebih baik terhadap
keunggulan kompetitif, untuk mengidentifikasi dimana value (nilai) pelanggan dapat
ditingkatkan atau penurunan biaya, dan untuk memahami secara lebih baik hubungan
9 Tujuan dari analisis value chain adalah untuk mengidentifikasi tahap – tahap value chain
dimana perusahaan dapat meningkatkan value (nilai) untuk pelanggan atau untuk
menurunkan biaya. Penurunan biaya atau peningkatan nilai tambah dapat membuat
perusahaan lebih kompetitif (Hansen, Mowen, 2000). Porter dalam Mauludin (2010)
memaparkan analisis value chain mempunyai 3 (tiga) tahapan, yaitu:
1. Mengidentifikasi aktivitas Value Chain
2. Mengidentifikasi Cost driver pada setiap aktivitas nilai
3. Cost driver merupakan faktor yang mengubah jumlah biaya total, oleh karena itu tujuan pada tahap ini adalah mengidentifikasikan aktivitas dimana perusahaan mempunyai
keunggulan biaya, baik saat ini maupun keunggulan biaya potensial. Misalnya agen
asuransi mungkin menemukan bahwa Cost driver yang penting adalah biaya pencatatan
berdasarkan pelanggan.
4. Mengembangkan keunggulan kompetitif dengan mengurangi biaya atau menambah nilai
Gambar 2. Pendekatan Value Chain (Mauludin, 2010)
2.5. Konsep Blue Economy
konsep “Blue Economy” oleh Gunter Pauli melalui bukunya The Blue Economy : 10
years, 100 innovations, and 100 million jobs (2010), mencoba menawarkan solusi untuk menjawab tantangan bahwa sistem ekonomi dunia yang cenderung eksploitatif dan secara
nyata telah merusak lingkungan. Gunter Pauli memaparkan 3 (tiga) hal yang menjadi esensi
blue economy.
a. Learning From Nature : Konsep Blue Economy mencontoh pada alam, bekerja sesuai dengan apa yang disediakan alam dengan efisien tanpa mengurangi tapi
justru memperkaya alam (shifting from scarcity to abundance). Pemasok
Keuangan Penelitian &
Pengembangan
Input budidaya Pengolahan & Konsumen
Pabrik
Pengecer &
Eksportir
10 b. The Logic of Ecosystems : dimana cara kerja ekosistem dijadikan model blue economy, yaitu seperti air mengalir dari gunung membawa nutrien dan energi untuk
memenuhi kebutuhan dasar kehidupan seluruh komponen eksistem (limbah dari
sesuatu akan menjadi makanan bagi yang lain, limbah dari suatu proses menjadi
bahan baku/sumber energi bagi yang lain).
c. Inspired by 100 Innovations : ada 100 inovasi ekonomi praktis yang mengilhami blue economy dengan prinsip mencontoh cara kerja ekosistem. Ekosistem selalu
bekerja menuju tingkat efesiensi lebih tinggi untuk mengalirkan nutrien dan energi
tanpa emisi dan limbah untuk memenuhi kebutuhan dasar bagi semua kontributor.
Kementerian Kelautan dan Perikanan saat ini tengah serius mewujudkan prinsip Blue
Economy dalam pengelolaan suumberdaya kelautan dan perikanan. Prinsip utama dari blue economy tersebut diantaranya adalah : 1) kepedulian terhadap lingkungan (pro-enviroment) karena memastikan bahwa pengelolaannya bersifat zero waste; 2) menjamin keberlanjutan
(sustainable); 3) menjamin adanya social inclusiveness; 4) terciptanya pengembangan inovasi
bisnis yang beragam ( multiple cash flow). Ditengah perjuangan mencapai visi pembangunan
kelautan dan perikanan yang berdaya saing dan berkelanjutan untuk kesejahteraan
masyarakat, perlu adanya konsep pembangunan perikanan di bidang budidaya yang sejalan
dengan prinsip blue economy (Dirjen Perikanan Budidaya KKP, 2012).
Ada tujuh manfaat dari pengelolaan sektor kelautan dan perikanan yang berbasis pada
blue economy. Pertama, meningkatnya nilai tambah (Added value) produk kelauatan dan perikanan yang diikuti oleh peningkatan daya saing; kedua, terciptanya modernisasi sistem
hulu dan hulir; ketiga, menguatnya para pelaku usaha industri kelautan dan perikanaan;
keempat, terfokusnya industri pada komoditas unggulan sesuai dengan permintaan pasar dan sebaran sumberdaya alam; kelima, menjamin keberlanjutan; keenam, mendorong
transformasi social dengan merubah cara berfikir dan berprilaku masyarakat sesuai
karakteristik masyaraakat industry yang modern; ketujuh, sebagai penghela percepatan
sistem produksi perikanan nasional yang berorientasi pada trend pasar global dan lokal
(ekonomibiru.com)
III.
Posisi Kuadran Daya-Wealth Mangrove Aceh
Peningkatan produksi dari hasil tangkapan alam dan ini akan meningkatkan
pendapatan masyarakat petani ikan. Mencegah erosi pantai dan intrusi air laut ke darat
11 pesisir (coastal green belt) serta ikut mendukung program mitigasi dan adaptasi perubahan
iklim global karena mangrove akan mengikat karbondioksida dari atmosfer dan melindungi
kawasan pemukiman dari kecenderungan naiknya muka air laut. Mangrove akan mengurangi
dampak bencana alam, seperti badai dan gelombang air pasang, sehingga kegiatan berusaha
dan lokasi pemukiman di sekitarnya dapat diselamatkan.
Gambar 3. Kuadran Daya Saing-Wealth
Kuadran I : merupakan situasi yang menguntungkan. Daerah memiliki kekayaan alam dan daya saing sehingga sehingga strategi yang diterapkan dalam kondisi ini adalah mendukung
kebijakan pertumbuhan yang agresif
Kuadran II : Meskipun menghadapi berbagai ancaman, daerah masih memiliki kekuatan dari segi internal yaitu potensi kekayaan alam. Strategi yang harus diterapkan adalah
menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang jangka panjang dengan cara strategi
diversifikasi (produk/pasar).
Kuadran III : Daerah menghadapi peluang pasar yang sangat besar, tetapi di lain pihak menghadapi beberapa kendala/kelemahan internal dari segi potensi kekayaan sumber daya
alam. Fokus strategi ini yaitu meminimalkan masalah-masalah pengelolaan dan pemanfaatan
sumber daya alam serta merebut pasar yang lebih baik (turn around).
Kuadran IV : Situasi yang sangat tidak menguntungkan, dimana daerah menghadapi masalah dayaa saing yang rendah dan potensi yang terbatas (minimum). Fokus strategi yaitu
melakukan tindakan penyelamatan agar terlepas dari kerugian yang lebih besar (defensive). II.
Revitalisasi (revitalization
strategy)
I. Keberlanjutan
(sustaining strategy
III. Pembalikan Turnaround
Strategy
12 3.1. Analisis Kuadran Daya Saing Komoditas Mangrove
Provinsi Aceh berada di kuadran 2 dengan karakteristik memiliki kekayaan yg tinggi
tapi daya saingnya mulai menurun. Kekayaan sektor perikanan dan kelautan Aceh memiliki
potensi besar, karenana sebagaian besar berada di wilayah pesisir.
Gambar 4. Lokasi rencana pengembangan kawasan minapolitan
Berdasarkan Kepmen-KP/ Nomor 35/ 2013 Tentang Kawasan Minapolitan Provinsi Aceh
terbagi dalam 5 Kabupaten, yaitu:
1. Aceh Selatan: Kecamatan Kluet Selatan, Kecamatan Kluet Timur,Kecamatan Pasie
Raja, Kecamatan Kluet Utara, Kecamatan Kluet Tengah,
2. Aceh Utara: Tanah Jambo Aye Seunuddon, Baktiya, Baktiya Barat, Muara Batu,
Dewantara, Aceh Tenggara, Kecamatan Lawe Bulan, Kecamatan Deleng Pokhisen,
Kecamatan Babusalam, Kecamatan Lawe Sumur, Kecamatan Bambel, Kecamatan
Darul hasanah, Kecamatan Lawe Alas
3. Aceh Timur: Kecamatan Darul Aman, Kecamatan Peureulak, Kecamatan Idi rayeuk,
Kecamatan Idi Timur, Kecamatan Peudawa, Kecamatan Peureulak Barat, Pusat
PeleIangan ikan di Idi
4. Aceh Barat Daya: Kecamatan Susoh, Kecamatan Manggeng, Kecamatan Batee,
Kecamatan Lembah Sabil
5. Bireun :Kecamatan Jangka, Kecamatan Gandapura, Kecamatan Peusasangan,
13 Gambar 5. Profil Wilayah Pantai Bagian Barat Provinsi Aceh
Gambar 6. Profil Wilayah Pantai Bagian Timur Provinsi Aceh
Pengelolaan mangrove bagi wilayah pesisi perlu direvitalisasi melalui:
1. Review komitmen hubungan secara regional: Pemerintah Indonesia dan Pemerintah
Aceh perlu melakukan komitmen pengembangan sektoral mangrove. Beberapa
daerah secara regional telah banyak melakukan pengembangan mangrove dan
masuk dalam kawasan minapolitan. Berdasarkan hal tersebut perlu adanya
pengembangan mangrove bagi kawasan pesisir Aceh secara otonomi.
2. Promosi investasi : Daerah dengan karakteriskik kuadaran II memiliki kelemahan
pada sisi promosi. Meskipun kuat secara potensi alam, namun lemahnya promosi
investasi dapat menjadi ancaman bagi pengembangan Mangrove.
3. Promosi inovasi: Pengembangan Mangrove perlu dilakukan dengan adopsi inovasi
14 mangrove dengan perencanaan strategis, alternatif pengembangan, dan pola
pengembangan terpadu dapat memperkuat posisin Aceh dalam promosi inovasi.
4. Penguatan prasarana: Revitalisasi pengembangan mangrove melalui penguatan
prasarana dapat memberikam dampak bagi pengembangan tersebut dan
memperkuat akses wilayah pesisir. Pengembangan yang terhambat muncul ketika
prasaran tidak didukung dengan baik, dan lemahnya kebijakan infrastruktur publik
wilayah pesisir. Kondisi wilayah pesisir yang rentan akan alam dan musim dengan
adanya pengembangan mangrove dapat meminimalisir kerusakan prasarana tambah,
turunnya perikanan tangkap, dan wisata pesisir-laut.
5. Reshaping budget: Penganggaran dengan wilayah regional kuadran II harus di dorong dengan dukungan budged. Bagi pengembangan ekosistem mangrove,
budged untuk green economy bisa dilakukan fokus untuk keseimbangan alam yang
berkelanjutan (pro environment) melalui konsep PDB hijau.
6. Simplifikasi regulasi : Regulasi yang diatur dalam pengembangan mangrove dapat
dilakukan melalui perundang-undangan, Kementrian, dan Peraturan Daerah (dalam
Aceh disebut Qanun). Regulasi yang berbelit sering mengakibatkan sulitanya
pengembangan sektoral wilayah, karena adanya cost of transaction yang besar,
sehingga regulasi menjadi fondasi pengembangan mangrove yang bernilai bisnis.
7. Investasi di SDM: Investasi SDM sangat indentik dengan modal sosial, artinya
masyarakat wilayah pesisir perlu diperkuat modal sosial bagi pengembagan
mangrove. Investasi SDM dapat mendukung pengembangan mangrove secara
kearifan lokal dan membuka sektor-sektor lapangan pekerjaan.
3.2. Analisis SWOT Pengembangan Mangrove
Berdasarkan posisi pengembangan mangrove Aceh di kuadran II, adapun analisis
SWOT pengembangan mangrove Provinsi Aceh dapat dijabarkan dalam matriks SWOT
15 Tabel 2. Matriks Analisis SWOT Pengembangan Mangrove Wilayah Pesisir
3. Peran pemerintah Aceh dalam pengelolaan
16
Berdasarkan tabel matriks SWOT, maka pilihan strategi menjadi penting untuk
melihat kondisi di internal provinsi untuk pengembangan mangrove (potensi) dan kondisi
eksternal dalam daya saing komoditi mangrove. Potensi dan kekayaan alam saja tidak cukup,
diperlukan strategi pengembangan dan alternatif-alterbatif. Matriks SWOT dapat dijadikan
acuan untuk melihat dan menangkap permasalahan kedalam bentuk-bentuk
program/kebijakan.
Pengembangan mangrove wilayah pesisir sangat potensi bagi perekonomian sektoral
Aceh dan Nasional. Strategi yang telah disusun dalam matriks SWOT harus dikaji dengan
melibatkan komponen stake holder (pemerintah Aceh, legistatif Dinas Perikanan dan
Kelautan, Dinas Pariwisata, Bapeda Provinsi Aceh, lembaga penelitian kampus, LSM,
masyarakat wilayah pesisir). Program dan kebijakan rehabiltasi mangrove yang sudah ada
dilanjutkan dan dilakukan evaluasi, adopsi pengembangan mangrove di daerah lain juga perlu
17 Gambar 7. Alur Pengembangan Mangrove Berdasarkan Analisis SWOT
IV.
Program-Program Pengembangan Ekosistem Mangrove di Aceh
4.1. Program dan Kebijakan yang sudah dilakukan
Kebijakan pemerintah dalam menggalakkan komoditas ekspor perikanan, turut andil
dalam merubah sistem pertambakan yang ada dalam wilayah kawasan hutan. Empang parit
yang semula digarap oleh penggarap tambak petani setempat, berangsur beralih
“kepemilikannya” ke pemilik modal, serta merubah menjadi tambak intensif yang tidak
berhutan lagi (Bratamihardja, 1991 dalam Anwar dan Gunawan, 2006). Pengelolaan
budidaya ikan/udang di tambak melalui konsep silvofishery, disamping sangat efisien juga Posisi Mangrove Aceh dalam Kuadran
DayaSaing Wealth
Daya Saing Potensi Kekayaan/Sumber
Daya
Peluang Ancaman Kekuatan
Kelemahan
Analisis SWOT
Strategi Pengembangan Mangrove Pengembangan Mangrove Wilayah
Pesisir Aceh
Kebijakan/Program yang sudah ada
18 mampu menghasilkan produktivitas yang cukup baik dengan hasil produk yang terjamin
keamanannya karena merupakan produk organik (non-cemical).
Kebijakan pengelolaan hutan mangrove di Indonesia disusun berdasarkan analisis
terhadap isu-isue pokok yang dihadapi dalam implemantasi pengelolaan ekosisitem hutan
mangrove. Ada beberapa isu pokok dalam penyususnan strategi pengelolaan hutan mangrove
di Indonesia antara lain (Strategi Nasional hutan Mangrove Indonesia, 2004):
1. Isu ekologi meliputi lebih dari 50% dari total luas hutan mangrove Indonesia rusak
sehingga fungsi ekologis menurun, konservsi dan rehabilitasi yang diharapkan mampu
meningkatkan fungsi ekologi masih dianggap beban bukan tanggung jawab dan upaya
untuk rehabilitasi mangrove yang rusak masih belum mampu mengimbagi laju
kerusakan yang terjadi.
2. isu ekonomi yang meliputi adanya perbedaan pemahaman tentang nilai dan fungsi
ekosistem mangrove diantara penentu kebijakan dan masyarakat, pemahaman
masyarakat lokal dan perencanaan pengelolaan ekosisitem mangrove belum optimal,
sebagaian besar kondisi masyarakat disekitar ekosisitem mangrove masih tergolong
miskin serta kegiatan pemanfaatan sumberdaya mangrove yang ramah lingkungan
masih kurang.
3. Isu kelembagaan meliputi koordinasi di antara lembaga terkait dalam pengelolaan
ekosisitem mangrove belum efektif.
4. Isu keempat adalah isu peraturan perundang–undangan pengelolaan ekosisitem
mangrove yang belum memadai, penegakan hukun dalam pengelolaan ekosisitem
mangrove belum efektif dan belum adanya payung-payung yang memadai untuk
strategi nasional pengelolaan ekosisitem mangrove nasional.
Di dalam undang-undang No.27 tahun 2007 tentang pengolahan wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil pada bagian ketiga pasal 9 ayat 3 diamanatkan bahwa perencanaan rencana
zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dilakukan dengan mempertimbangkan
keserasian, dan keseimbangan daya dukung ekosistem, fungsi pemanfaatan dan fungsi
perlindungan, dimensi ruang dan waktu, dimensi teknologi dan sosial budaya, serta fungsi
pertahanan dan keamanan.
Selain pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, kebijakan pembangunan
minapolitan juga mendukung program pengembangan kawasan mangrove. Menurut Pedoman
19 dapat ditetapkan dan dikembangkan sebagai kawasan minapolitan apabila memenuhi
beberapa persyaratan sebagai berikut:
1. Kesesuaian dengan Renstra Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan atau Rencana
Zonasi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3K)
kabupaten/kota, serta Rencana Pengembangan Investasi Jangka Menengah Daerah
(RPIJMD) yang telah ditetapkan.
2. Memiliki komoditas unggulan di bidang kelautan dan perikanan dengan nilai ekonomi
tinggi.
3. Letak geografis yang strategis dan secara alami memenuhi persyaratan untuk
pengembangan produk unggulan kelautan dan perikanan
4. Terdapat unit produksi, pengolahan dan atau pemasaran dan jaringan usaha yang aktif
berproduksi, mengolah dan atau memasarkan yang terkonsentrasi di suatu lokasi dan
mempunyai matarantai produksi pengolahan dan atau pemasaran yang saling terkait.
5. Tersedianya fasilitas pendukung berupa aksesibilitas terhadap pasar, permodalan,
sarana dan prasarana produksi, pengolahan dan atau pemasaran, keberadaan
lembaga-lembaga usaha dan fasilitas penyuluhan dan pelatihan.
Empat kebijakan utama yang menjadi acuan dari program rehabilitasi dan
rekonstruksi di bidang lingkungan hidup dan sumber daya alam di Aceh, yaitu: (1)
memulihan kembali daya dukung lingkungan dan mengamankan lingkungan eksisting;
(2) memulihkan kembali kegiatan perekonomian masyarakat yang mengandalkan sumber
daya alam; (3) melibatkan masyarakat dan menggunakan pranata sosial dan budaya lokal
dalam menghadapi bencana dan kegiatan pembangunan; dan (4) emulihkan kembali
sistem kelembagan sumber daya alam dan lingkungan hidup di tingkat pemerintah.
1. Green Coast Project/Post Tsunami Project in Aceh and Nias (2005-2009)
Wetlands International (WI-IP) adalah bagian dari jaringan global Wetlands
International, yang merupakan Organisasi Non-Pemerintah dan bekerja secara global,
regional, nasional hingga lokal untuk mencapai tujuan konservasi dan pemanfaatan lahan
basah secara bijaksana, sebagai bentuk sumbangan bagi terwujudnya pembangunan
secara berkelanjutan. Project WI-IP bertujuan merehabilitasi ekosistem pesisir yang
digabungkan dengan upaya-upaya penciptaan mata pencaharian alternatif di Aceh-Nias.
Tidak kurang dari 75 kelompok masyarakat telah menerima dana bantuan dari Green
20 (pendekatan Bio-rights). Sekitar 4350 orang mendapat manfaat secara langsung dari
adanya proyek ini, dan seluruh masyarakat sekitar pesisir pada umumnya merasakan
manfaat-manfaat dari kondisi lingkungan yang telah direhabilitasi. Lebih dari 1000
hektar kawasan pesisir NAD-Nias telah berhasil di-reforestasi dengan lebih dari 1,9 juta
tanaman mangrove dan pohon pantai lainnya melalaui pendekatan-pendekatan
Bio-rights.
Beberapa program yang dilakukan untuk rehabilitasi tanaman mangrove antara lain
Merehabilitasi dan mengembangkan mangrove seluas 164.840 ha di NAD dan 9.750 ha
di Sumatera Utara dalam kurun waktu 2006-2010 untuk kepentingan perlindungan pantai
maupun pemanfaatannya sebagai tempat pemijahan dan perkembangan perikanan dan
ekosistem baru yang berkelanjutan. Kegiatan yang dilakukan meliputi:
1. Memetakan kondisi kawasan ekosistem mangrove NAD dan Nias;
2. Melakukan kajian tentang karakter dan poteni pantai;
3. Menyusun rencana pelaksanaan rehabilitasi hutan mangrove dan penanaman pantai
lainnya;
4. Menyusun rencana teknik rehabilitasi hutan mangrove dan penanaman tanaman pantai
lain jangka menengah
5. Melaksanakan rehabilitasi hutan mangrove di zona pantai dan zona
perikanan/pertambakan (mengikuti rencana tata ruang) secara terpisah maupun
terintegrasi khususnya dengan metode silvo-fishery (budi daya perikanan berwawasan
lingkungan);
6. Menyusun mekanisme kelembagaan untuk memelihara, memantau dan mengevaluasi
hasil rehabilitasi hutan mangrove.
2. Program Conservational International Indonesia Rehabilitasi Wilayah Pesisir Melalui Penanaman Mangrove
Pogram rehabilitasi pesisir dilaksanakan oleh Conservation International Indonesia di
Banda Aceh pada 3 Kecamatan yaitu Dayah Reyah, Tibang, dan Kampung Jawa. melalui
dua pendekatan yaitu pendekatan lingkungan dan pendekatan sosial ekonomi
masyarakat. Pendekatan lingkungan dilakukan untuk memberikan keyakinan bahwa
secara ekologis mangrove yang ditanam dapat hidup sebaik mungkin dengan tingkat
kelangsungan hidup yang tinggi, serta memberikan dampak positif terhadap perbaikan
kualitas lingkungan. Pendekatan sosial ekonomi masyarakat bertujuan agar penanaman
21 bersinergis, serta selaras dengan program peningkatan ekonomi masyarakat khususnya
budidaya perikanan. Sedangkan tahapan pelaksana terdiri dari Idenfikasi Lokasi,
pemberdayaan Sosial Masyarakat, rehabilitasi Lingkungan, Pelaksanaan Kegiatan
Penanaman Mangrove, Bantuan Budidaya Perikanan, Pelatihan/Studi Banding terapan.
Penanaman mangrove dilakukan pada bulan Juli 2007 hingga Januari 2008 pada sekitar
60 Ha areal tambak dan 2 km sungai dan saluran air, dengan jumlah bibit mangrove yang
telah ditanam mencapai sekitar 220.000 batang terdiri dari 3 jenis yaitu Rhizopora
mucronata, R. apiculata, dan R. Stylosa.
4.2. Program-Program pengembangan Mangrove Yang Di Tawarkan
Pengembangan ekosistem mangrove yang ditawarkan mengacu pada
Indikator-indikator dalam pembangunan berkelanjutan. Pembangunan yang berkelanjutan dapat dilihat
dari tiga dimensi, yaitu:
1. Dimensi ekologi terdiri dari : perubahan keragaman habitat; struktur relung
komunitas; ukuran populasi dan struktur demografi; tingkat keragaman hutan
mangrove; perubahan kualitas air; rantai makanan dan ekosistem.
2. Dimensi ekonomi terdiri dari : pemanfaatan mangrove oleh masyarakat; rencana
pengelolaan hutan mangrove; keterlibatan stakeholder; zonasi pemanfaatan lahan
mangrove; rehabilitasi hutan mangrove; hasil inventarisasi pemanfaatan hutan
mangrove; peran mangrove terhadap pembangunan wilayah.
3. Dimensi sosial terdiri dari : kebijakan dan perencanaan pengelolaan hutan mangrove;
koordinasi antar lembaga; akses masyarakat lokal terhadap hutan mangrove;
kesadaran masyarakat terhadap pentingnya mangrove; tingkat pendidikan masyarakat;
pola hubungan antar stakeholder; pengetahuan masyarakat tentang hutan mangrove;
peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove.
Gambar 8. Indikator Pembangunan Berkelanjutan (Friend, 2000) Ekonomi
Sosial Budaya
22 Pendekatan yang dapat ditempuh adalah: (1) pengadaan bibit tanaman mangrove
dengan air tawar (pendekatan konservasi ex situ); (2) melibatkan pihak industri atau swasta;
dan 3. penanaman atau rehabilitasi hutan mangrove dengan, (3) berbasis masyarakat kawasan
pesisir (pendekatan buttom-up).
Menurut Kusmana (2009), ekosistem mangrove harus dikelola berdasarkan pada
paradigma ekologi yang meliputi prinsip-prinsip interdependensi antar unsur ekosistem, sifat
siklus dari proses ekologis, fleksibilitas, diversitas dan koevolusi dari organisme beserta
lingkungannya dalam suatu unit fisik DAS dan merupakan bagian integral dari program
PWPLT (Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan Terpadu). Alternatif pemanfaatan daerah
pesisir yang bersifat multiple-use dimana mangrove sebagai salah satu unsur ekosistemnya.
Pendekatan berbasis masyarakat dalam upaya rehabilitasi hutan mangrove perlu
digalakkan. Masyarakat setempat/lokal merupakan bagian dari ekosistem wilayah pesisir
sehingga dapat mengembangkan budidaya mangrove. Dengan suatu terobosan baru
pengadaan bibit mangrove, teknik penanaman yang benar dan dibantu oleh berbgai pihak
terkait serta adanya peran aktif masyarakat sangat membantu dalam realisasi hutan mangrove
di kawasan rawan bencana. Berikut ini alut pembangunan Mangrove wilayah pesisir yang
berkelanjutan dan memiliki multiplier effect.
Gambar 9. Alur Pembangunan Berkelanjutan Budidaya Mangrove Wilayah Pesisir Pembangunan Berkelanjutan budidaya
Mangrove
Kebijakan Pengelolaan
Mangrove
Potensi Hutan Mangrove
Lingkungan Hidup
konservasi rehabilitasi
ekologis Ekonomi
ekosistem
Kelestarian lingkungan Kesejahterahaan
Masyarakat
23 1. Pengelolaan Kawasan Budidaya Mangrove Mangrove
Program pengembangan kawasan mangrove bagi perikanan dapat dilakukan dengan 2
jalan sebagai berikut:
A. Rehabilitasi, Penataan dan Pengelolaan Kawasan Mangrove
- Survey dan pendataan area, identifikasi dan inventarisasi jenis-jenis tumbuhan dan
kondisi lingkungan mangrove.
- Penanaman bibit mangrove
- Pengembangan area pembibitan mangrove lestari
- Pemetaan area mangrove
- Pengembangan kawasan konservasi mangrove
- Pembentukan sabuk hijau daun (green belt) mangrove
B. Optimalisasi Pemanfaatan Fungsi Mangrove
- Pengembangan nursery ground (tempat pemijahan) biota akuatik
- Pengembangan habitat alami fauna (burung, mamalia, dan reptile)
- Pelepasan biota laut penghuni mangrove
- Perbaikan kondisi lingkungan (penahan abrasi laut, penangkap sediment)
- Pengurangan bahan pencemar sungai (logam berat dan bahan berbahaya lainnya)
- Pencegahan intrusi air laut
2. Integrasi Kawasan Ekosistem Mangrove dengan konsep Eco-Tourism
konsep pengembangan Kawasan Mangrove wilayah pesesir mampu mengintegrasi
potensi-potensi bisnis yang menghasilkan multiple effect pada bisnis-bisnis turunan.
Konsep eco-tourism ini dapat memadukan peningkatan aktivitas ekonomi laut berbasis
ekosistem melalui sektor pariwisata, seperti: wisata alam (eco-taurism business),
pengembangan Unit Usaha Kecil Menengah pengolahan produk-produk perikanan dan
kerajinan, dan menciptakan lapangan kerja baru dalam pariwisata. Pengembangan Wisata
Mangrove Terpadu dapat dilakukan dengan program-program:
- Pengembangan area Wisata
- Pengembangan area hot spot tempat singgah jalur air (keunikan alam, pusat
suvernir/makanan)
24 - Pemberdayaan masyarakat sebagai penunjang wisata (pemandu, penyedia perahu,
peningkatan ketrampilan pembuatan suvernir.
- Pembersihan dan Penataan Area Wisata.
- Peningkatan sarana dan prasarana wisata (area jogging mangrove, pengamatan
burung, tempat mincing, jalan-jalan sungai mangrove, tempat persinggahan,
penjaga kebersihan).
- Perbaikan akses menuju area wisata (jalan, penerangan, air, dan listrik)
3. Nilai Ekologis
Salah satu nilai ekologis dari ekosistem mangrove telah digunakan sebagai pengolah
limbah cair sejak 1990, percobaan lapangan dan eksperimen rumah hijau telah di ujikan
efek dari penggunaan ekosistem mangrove untuk mengolah limbah. Hasil dari studi
lapangan di pelestarian sumberdaya alam nasional futian, China, mengindikasikan
penambahan konsentrasi polutan di lahan mangrove tidak menyebabkan terdeteksinya
kerusakan pada tanaman mengrove, invertebrate bentik, atau spesies algae.
Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan penting di
wilayah pesisir dan lautan. Mangrove dapat berperan penyedia nutrien bagi biota
perairan, tempat pemijahan dan asuhan berbagai macam biota laut, penahan abrasi pantai,
proteksi terhadap tiupan angin dan tsunami, penyerap limbah, pencegah intrusi air laut.
Fungsi hutan mangrove secara ekologis diantaranya sebagai tempat mencari makan
(feeding ground), tempat memijah (spawning ground), dan tempat berkembang biak
(nursery ground) berbagai jenis ikan, udang, kerang dan biota laut lainnya, tempat
bersarang berbagai jenis satwa liar terutama burung dan reptil. Bagi beberapa jenis
burung, vegetasi mangrove dimanfaatkan sebagai tempat istirahat, tidur bahkan
bersarang. Selain itu, mangrove juga bermanfaat bagi beberapa jenis burung migran
sebagai lokasi antara (stop over area) dan tempat mencari makan,karena ekosistem
mangrove merupakan ekosistem yang kaya sehingga dapat menjamin ketersediaan pakan
selama musim migrasi (Howes et al, 2003).
Fungsi ekologis lain dari mangrove adalah sebagai penyerap karbon. Hasil valuasi
ekonomi yang dilakukan LPP mangrove tahun 2006 terhadap kawasan hutan mangrove di
Batu Ampar, Pontianak menyatakan bahwa, nilai manfaat hutan mangrove sebagai
25 4. Pengembangan Pusat Riset Mangrove
a. Pengembangan Laboratorium Mangrove
b. Kawasan Kebun Botani Mangrove
c. Pendidikan Mangrove
d. Herbarium Mangrove
e. Penyediaan dan pengembangan pusat informasi mangrove (data, brosur, web site,
pembuatan buku)
5. Nilai Ekonomis Mangrove
Fungsi hutan mangrove secara ekonomis di antaranya adalah hasil hutan berupa kayu,
hasil hutan bukan kayu seperti madu, obat-obatan, minuman, bahan makanan, tanin dan
lain-lain, sumber bahan bakar (arang dan kayu bakar). Nilai kalori yang terdapat pada
arang kayu Rhiaophera mucronata sebesar 7.300 kal/g. Pada tahun 1998 produksi arang
mangrove sekitar 330.000 ton yang sebagian besar diekspor dengan negara tujuan Jepang
dan Taiwan melalui Singapura. Harga ekspor arang mangrove sekitar US$ 1.000/10 ton,
sedangkan harga lokal antara Rp 400,- - Rp 700,-/kg. Jumlah ekspor arang mangrove
tahun 1993 mencapai 83.000.000 kg dengan nilai US$ 13.000.000 (Inoue, et al., 1999
dalam Anwar dan Gunawan, 2006). Sementara itu di Sulawesi Selatan harga arang bakau satu kantong plastik (ukuran 35 x 45) cm mencapai Rp 15.000,00. Pengembangan bahan
makanan, obat dan bahan komersial mangrove:
a. Eksplorasi bahan-bahan bermanfaat dari mangrove – Penelitian
b. Pengembangan bahan makanan dan minuman olahan dari mangrove
c. Pengembangan bahan obat dari mangrove
d. Eksplorasi kandungan kimia mangrove
6. Pengembangan Mangrove Secara Kearifan Lokal
prinsip kearifan lokal menjadi dasar bagi pengelolan dan pengembangan Mangrove
yang berkelanjutan (sustainable aquaculture). Pola pengelolaan budidaya mangrove
harus dilihat sebagai pola pengelolaan ekosistem secara utuh, karena pada hakekatnya di
alam ada interaksi alamiah yang tidak terpisahkan satu sama lain, inilah yang disebut
keseimbangan. Intensifikasi budidaya harus mampu memegang prinsip kesimbangan dan
nilai-nilai lestari dengan mengadopsi prinsip-prinsip kearifan lokal. pengelolaan
26 kesempatan sebesar-besarnya kepada peran serta masyarakat wilayah pesisir melalui pola
pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis masyarakat. Nilai-nilai kearifan lokal yang ada
dalam masyarakat perlu didukung, diperkuat dan difasilitasi agar tetap berjalan secara
berkelanjutan.
Masyarakat di sekitar hutan mangrove memperoleh manfaat dari sumberdaya hutan
berupa hasil hutan kayu dan hasil perikanan. Hasil kayu hanya digunakan masyarakat
untuk kayu bakar, sebagai bahan bangunan dan untuk pembuatan bagan. Sedangkan hasil
perikanan seperti : ikan, udang dan kepiting dijual dan sebagian dikonsumsi masyarakat.
Dengan demikian hasil hutan mangrove cukup memberikan kontribusi terhadap
peningkatan pendapatan keluarga masyarakat di sekitar hutan mangrove.
Pelaksanaannya dapat juga dilibatkan LSM bersama perangkat desa, tokoh umat dan
tokoh masyarakat/adat dan juga peneliti. Masyarakat pesisir secara keseluruhan perlu
mendapat pengertian bahwa hutan mangrove yang akan direhabilitasi akan menjadi milik
masyarakat dan untuk masyarakat . Dengan demikian masyarakat merasa memiliki andil
dalam kegiatan tersebut, sehingga status mereka akan berubah, yaitu bukan hanya sebagai
pekerja tetapi juga merasa memiliki (sense of belonging).
Terbukanya akses masyarakat pesisir lokal akan membuat masyarakat menyadari arti
pentingnya pengelolaan sumberdaya dan pada gilirannya akan menjamin kelestarian
sumberdaya alam tersebut. Dalam melakukan pengelolaan lingkungan laut, Provinsi Aceh
memilki tradisi lokal dengan adanya suatu kelembagaan adat Panglima Laot. Pangkima
laot menerapkan nilai dan konsep kearifan lokal. Konsep kearifan lokal tersebut hingga
kini masih tetap dipertahankan.
Lembaga Panglima Laot berkedudukan di wilayah laut dan berfungsi mengatur
pengelolaan sumber daya alam di wilayah pesisir dan laut. Selain itu, Panglima Laot juga
berfungsi membantu pemerintah daerah dalam mensukseskan pembangunan perikanan,
melestarikan adat-istiadat dan kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat nelayan. Dalam
melaksanakan fungsinya, panglima laot mempunyai tugas, antara lain: memelihara dan
mengawasi
Pemberdayaan Masyarakat pesisir lokal Dalam Konservasi Mangrove:
a. Pelatihan dan Penyuluhan Kepada Masyarakat secara berkelanjutan
b. Pemberian informasi-informasi melalui berbagai media
c. Melibatkan secara aktif masyarakat dalam menjaga mangrove
27 e. Pembuatan demplot budidaya ikan kawasan mangrove
f. Pembuatan Dermaga Hilir Mangrove
g. Peningkatan Pengolahan Produk dari Mangrove
7. Model Tambak Silvofishery Kawasan Mangrove
Mangrove merupakan tempat hidup berbagai jenis gastropoda, ikan, kepiting
pemakan detritus dan bivalvia serta ikan pemakan plankton. Mangrove mempunyai peran
penting bagi masyarakat dan kehidupan di daerah sekitar pantai. Daun dan ranting pohon
mangrove yang gugur didekomposisi oleh mikroorganisme.
Silvofishery merupakan pola pendekatan teknis yang terdiri atas rangkaian kegiatan terpadu antara kegiatan budidaya ikan, udang atau usaha kepiting lunak, dengan kegiatan
penanaman, pemeliharaan, pengelolaan dan upaya pelestarian hutan mangrove.
Akar dan batang pohon serta ranting-ranting mangrove sebagai tempat berlindungnya
benur dan nener yang pada saat air pasang oleh petani tambak didorong masuk ke dalam
tambak, beberapa nelayan juga menangkapnya sebelum masuk tambak. Masyarakat juga
memanfaatkan lahan di dalam hutan mangrove sebagai “tempat jebakan” dengan
membuat kubangan di tanah yang berfungsi sebagai penjebak kepiting (Harahab, 2010).
konsep Silvofishery juga mampu mengintegrasikan potensi kelautan dan perikanan
yang menghasilkan multiple cash flow atau bisnis turunan antara lain adalah bisnis wisata
alam (eco-taurism business) yang sangat prospektif, pengembangan UMKM pengolahan
produk makanan dari buah mangrove, disamping bisnis turunan lainnya.
V.
Analisis Rantai Nilai (Value Chain) Komoditas Mangrove
Rantai nilai komoditas mangrove memiliki nilai ekologi dan ekonomis yang memliki
peran dalam pembangunan berkelanjutan. Rantai nilai mangrove dapat berperan dari sisi
bisnis untu pemasukan daerah dan menjaga keseimbangan lingkungan. Berikut ini analisis
rantai nilai komoditas mangrove dengan berbagai vegetasi
Rantai nilai komoditas mangrove dengan berbagai pemanfaatan. Pengembangan
mangrove dapat berdampak bagi lingkungan pesisir-laut yang berperan bagi budidaya
perikanan (tambak) dan perikanan tangkap. Nilai ekonomis mangrove juga dapat
dimanfaatkan untuk bisnis makanan, obat-obatan, dan souvenir. Nilai kemanfaat secara
berkelanjutan dapat memadukan konsep bisnis eco-tourism, kelestarian lingkungan, dan
28 mangrove untuk ekspor kayu arang yang memiliki nilai ekonomis sektor industri.
Pengembangan mangrove yang memiliki banyak peran dapat dijalankan dengan konsep green
economy dan blue economy. Berikut ini gambaran rantai nilai komoditas mangrove: Gambar 10. Rantai Nilai Komoditas Mangrove
Jenis Kayu
Biota Laut
Cangkang
Eco Tourism Bahan Bakar
Makanan/Obat-29 Keterangan:
: Konsep Blue Economy The logis of ecosystem
: Konsep Blue Economy Learning from Nature
: Konsep Blue Economy Innovations
: Mangrove
Gambar 11. Rantai Makanan Mangrove Terhadap Biota Laut (Anwar,2006)
5.1. Pengembangan Mangrove Berbasis Blue Economy
Blue economy memiliki potensi dalam paradigma pembangunan baru dengan menerapkan model pengembangan bisnis yang mengsinergikan antara pertumbuhan,
pembangunan dan lingkungan, sehingga prinsip blue economy dinilai tepat dalam membantu
dunia untuk menghadapi tantangan perubahan iklim, ekosistem laut yang kian rentan
terhadap dampak perubahan iklim akibat pemanasan global (global warming). Prinsip blue
economy perlu ditindaklanjuti melalui beberapa pendekatan, antara lain : mensinergikan pengelolaan ekosistem laut dan pesisir dengan ketahanan pangan, strategi pembangunan
ekonomi dan sosial, serta mendorong transisi ekonomi, pasar, industri dan masyarakat
menuju pola yang lebih berkelanjutan terhadap penggunaan sumberdaya kelautan dan
30
VI.
Tahapan-Tahapan Pembangunan Postur Ekonomi Wilayah Pesisir
Bagi Pengembangan Mangrove
Kebijakan pembangunan prasanan wilaah pesisir perlu dilakukan dengan tiga
pendekatan pokok, yaitu:
1. Pembangunan berbasis sumberdaya lokal (Local Resources Based Development)
pengembangan mangrove yang strategis dan mempunyai nilai ekonomis penting, perlu
diketahui stock assesment sehingga pemanfaatan sumberdayanya tidak melampaui
daya dukung lingkungan.
2. Pembangunan berbasis masyarakat (Commonity Based Development). Masyarakat
kawasan pesisir dapat memanfaatkan sumberdaya secara optimal, lestari dan
berkelanjutan. Dalam community based lebih diarahkan pada kegiatan dan
kemampuan untuk modal sosial pengembangan mangrove.
3. Pembangunan berbasis pasar (Market Based Devolepment) . Hasil dari pemanfaatan
mangrove berdasarkan rantai nilai harus dioptimal, lestari dan berkelanjutan diarahkan
untuk dapat dipasarkan keluar daerah maupun eksport melalui kerja sama dunia usaha
untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat setempat serta
peningkatan pendapatan anggaran daerah dan devisa
Gambar 12. Tahapan Membangun Postur Daerah
Mengembangkan kelembagaan
Mengembangkan prasarana
Mengembangkan kebijakan ekonomi makro
Membangun kebijakan perdagangan
Mengembangkan portofolio industri
31 6.1. Membangunan Klaster Industri
Tahapan membangun postur strategis pengembangan mangrove harus diawali dengan
perncanaan yang matang. Seperti dalam pembahasan di awal, pengembangan mangrove yang
berkelanjutan memiliki nilai ekonomi yang prospektif, ramah lingkungan, dan menempat
basis sosial-budaya masyarakat lokal sebagai modal pembangunan.
Membangun klaster industry untuk kawasan mangrove perlu dilakukan dengan
pembagian wilayah-wilayah pengembangan komoditas. Selain potensi mangrove dalam
rantai nilai bermanfaat untuk sektor perikanan, kelautan, dan lingkyangan, mangrove juga
memiliki nilai ekonomi industrial yang tinggi serta berpotensi secara multiplier effect
mengembangkan sektor pariwisata. Pengembangan industri dengan membagi dalam
kluster-kluster wilayah dapat menjadikan pengembangan mangrove lebih terpadu, menyentuh
berbagai sektor, dan integrasi pengembangan bisnis industri (vertikal-horizontal). Potensi
mangrove sektor indusri dapat berperan untuk makanan, obata-obatan, perhiasan (souvenir),
dan arang kayu. Manfaat membangun kluster industri mangrove antara lain:
1. Fokus pembangunan berkelanjutan: adanya pembagian kluster industri, dapat
menfokuskan pengembangan mangrove wilayah pesisir sesuai potensi dan
perencanaan strategis berdaasarkan ekonomi, sosial, lingkungan.
2. Membuka sektor lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat pesisir: industri loka
rumah tangga, pengumpul hasil, dan pemandu wisata,
3. pengembangan teknologi dan inovasi pada wilayah pesisir: masyarakat akan
terberdayakan dalam pengembangan komoditas mangrove melalui teknologi dan
inovasi. Selama ini mangrove hanya dimanfaatkan untuk biota laut dan mencegah
abrasi pantai, adanya kluster industri akan meningkatkan industri rumah tangga
wilayah pesisir.
4. Penciptaan industri pendukung di luar core industries: kluster industri wilayah pesisir
akan ikut mengembangkan sektor pariwisata melalui konsep eco-tourism.
Gambar 13. Kluster Industri Mangrove Secara Vertikal
1. Kayu arang 2. Bahan alkohol 3. Madu
4. Yodium (garam)
Mangrove
1. Ecotorism pantai 2. Souvernir 3. Pulp dam kertas
32 Gambar 14. Kluster Industri Mangrove Secara Horizontal
6.2. Mengembangkan Portofolio Industri
Pada tahapan portofolio industri, daerah harus mampu mengidentifikasi potensi dari
pengembangan industri dan menyusus stategi dengan tahapan-tahapan yang ingin di capai.
Gambar. 15 Portofolio Industri Mangrove Mangrove
hiasan dinding
souvenir
pulp Kertas
kancing baju
1. Potensi wilayah pesisir Aceh :panjang garis pantai 1.660 km dengan luas wilayah perairan laut seluas 295.370 km² dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) 238.807 km².
2. Potensis rantai komoditas mangrove untuk sektor industri belum tergarap
3. Adanya Program rehabilitasi mangrove pasca Gempa-Tsunami
1. Pengembagan Kawasan Minapolitan 2. Green economy dan blue economy
3 Industri rumah tangga mayarakat wilayah pesisir pantai
4. pariwisata berbasis eco tourism
1. Penyuluhan masyarakat wilayah pesisir dan 2 Diversifikasi komoditas mangrove untuk ekologi,
budidaya tambak, dan industri. 3. Promosi souvenir
33 Berdasarkan bagan diatas, portoflio industri mangrove berpotensis besar untuk
dikembangkan secara lebih luas. Nilai ekonomi yang didapatkan dari diversifikasi
pengembangan komoditi mangrove dapat memperkuat persaingan. Untuk masuk dalam
tahapan tersebut, Aceh perlu melakukan skala prioritas dari pengembangan mangrove.
Potensi yang kaya akan hasil laut dan wilayah pesisir yang luas, menjadikan Aceh mampu
dikategorikan sebagai provinsi yang memiliki kekayaan sumber daya kelautan dan perikanan.
Program rehabilitasi ekosistem mangrove sudah di kembangkan di beberapa wilayah pesisir
dan harus teteap dilanjutkan dengan perawatan yang baik.
Potensi besar mangrove dapat memperkuat bergaining position sebagai kawasan
minapolitan, pengembangan green economy, dan blue economy. Selama ini mangrove lebih
di arahkan pada sektor perikanan budidaya dan perikana tangkap untuk biota laut. Potensi
sektor industri bisa dikembangkan melalui industri rumah tangga untuk membangkitkan
perekonomian masyrakat wilayah pesisir. Penguatan daya tarik industri dapat dilakukan
dengan pengembangan sektor eco-tourism pantai. Kemampuan berkompesiti masih lemah
karena masyarakat belum terbiasa dengan sektor industri rumah tangga mangrove dan belum
mendapat pengetahuan yang memadai. Untuk itu kemampuan berkompetisi harus didorong
melalui tahapan penyuluhan dan pelatihan industri rumah tangga.
Formulasi visi industri untuk tahap awal ialah pemanfaatan dan pengelolaan SDA,
lokasi, dan SDM pada sektor rumah tangga (industri kecil). Pemberdayaan masyarakat pesisir
menjadi kunci dalam pengembangan portofolio tahap awal. Setelah dilakukan pemberdayaan,
masyarakat akan terdorong melakukan divesifikasi usaha mangrove. Pemerintah daerah harus
mampu menggandeng sektor bisnis dan swasta untuk Promosi industri. Strategi promosi yang
jitu akan mendorong investor untuk membuka industri menengah untuk membentuk rantai
tata niaga pda sektor-sektor usaha. Rantai tata niaga akan dapat berguna untuk menambah
value added dari industri mangrove dan pengembangan pada skala besar (market boundary). Strategi pendukung program pengembangan dapat dilakukan dengan Market simulation, yaitu
penyediaan infrastruktur dan prasarana dan insentifif untuk industri rumah tangga pesisir
6.3. Mengembangkan Kebijakan Perdagangan
Kebijakan perdangan dibangun dengan melihat posisi kuadran daya saing-wealth dan
orientasi pengembangan bisnis. Berdasarkan kuadran daya saing-wealth, Aceh berada dalam
posisi kuadra II yaitu potensi kekayaan alam besar namun daya saing lemah. Orientasi
34 peningkatan daya saing (outward oriented) dan menjaga kualitas mangrove regional (inward
oriented). Mix strategis bertujuan mempertahankan kekuatan didalam melalui ketahan ekosistem mangrove, menjaga kualitas perairan (biota laut), menjaga lingkuangan, dan abrasi
pantai. Sektor perdagangan hasil industri mangrove harus tetap berorientasi keluar dengan
tujuan meningkatkan daya saing dan mendorong posisi kuadran sustaining strategy
(Gambar 3).
6.4. Mengembangkan Kebijakan Ekonomi Makro 6.4.1. Struktur Perekonomian
Sturktur perekonomian berdasarkan PDRB Harga konstan dapat melihat perubahan
volume dalam kegiatan ekonomi suatu daerah. melalui peranan/porsi 9 lapangan/sektor usaha
(%) maka dapat dilakukan penilaian sektor mana yang paling berperan terhadap PDRB.
St rat egi
• Inward Oriented
• Outward Oriented
Program
• Rehabilitasi mangrove • penyuluhan
35 Tabel 3. Struktur Usaha Provinsi Aceh Berdasark PDRB Harga Konstan 2008-2009
Tahun
Sumber: BPS Provinsi Aceh (diolah)
Berdasarkan tabel di atas, terjadi perubahan volume dalam kegiatan ekonomi, dimana
perubahan struktural porsi PDRB harga konstan Aceh dari 2008-2012 mengalami pergeseran
dari sektor primer ke sektor tersier. Indikasinya adalah, sektor primer seperti perikanan dan
kelautan mulai menurun porsinya dan peningkatan pada sektor perdagangan dan jasa-jasa.
Industri pengolahan Aceh terus menurun yang berindikasi bahwa sektor industri belum
berkembanga.
Kebijakan ekonomi makro sektor industri perlu ditingkatkan untuk menghasilkan
value added komoditas pertanian. komoditas mangrove adala salah satu komoditas yang dapat meningkatkan sektor industri. Maka dari itu perlu adanya terobosan kebijakan ekonomi
yang mendorong peningkatan sektor industri, yang dapat diawali dari tahapan industri rumah
36 6.4.2. Pengelolaan Inflasi.
Inflasi menggambarkan kondisi stabilitas harga barang suaru daerah, berikuti ini laju
inflasi Aceh berdasarkan Indeks Harga Impilisit
Tabel 4 Laju Inflasi Provinsi Aceh TAHUN 2003-2012 Tahun Laju Inflasi Aceh
2003 4,03
2004 7,08
2005 34,88
2006 9,98
2007 9,41
2008 11,92
2009 3,72
2010 5,58
2011 3,43
2012 0,22
Sumber: BPS Provinsi Aceh, 2012
Rata-rata laju inflasi Aceh selama 2008-2012 adalah 4,97%, inflasi Aceh pernah
sangat tinggi pada tahun 2004-2005 34,88 % dan tahun 2009 11,93% (BPS, 2012). Inflasi
menunjukkan kenaikan harga barang umum secara terus menerus (stabilitas harga barang).
Kebijakan pengelolaan inflasi dapat meningkatkan konsumsi masyarakat, namun harus di
imbangin dengaan kapasitas produksi yang baik. Industri produk-produk dari komoditas
mangrove akan menurunkan inflasi manakala pemerintah Aceh melakukan diversifikasi
produk mangrove yang memperluas pilihan, memajukan industri makan dan minuman,
menguatkan daya beli masyarakat, menurunkan suku bunga kredit usaha, dan melakukan
kebijakan inward oriented.
6.4.3. Pengangguran
Teori dalam kurva Phillip menyatakan bahwa dalam jangka pendek ada imbang
batas/korban dari menekan laju inflasi, yaitu penambahan sektor pengangguran.
Pengangguran Aceh tergolong tinggi secara regional yang digambarkan pada tabel berikut
37 Tabel 5. Tingkat Pengangguran Terbuka Provinsi Aceh
Tahun Tingkat Pengangguran
Terbuka
2008 9,56
2009 8,71
2010 8,37
2011 7,43
2012 9,10
Sumber: BPS Provinsi Aceh 2012
Pengangguran terjadi karena minimnya sektor lapang perkerjaan dan kesempatan
kerja yang rendah. Masyarakat pesisir khusus nelayan biasanya menggantungka hidupnya
dari perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Pengembangan komoditaas mangrove dapat
membuka sektor lapangan pekerjaan baru dengan adanya pengembangan industri rumah dan
pariwisata. Pengembangan tersebut berdampak pada terbukanya sektor lapangan pekerjaan
dan kewirausahaan. Pengembangan komoditas perikanan-industri dengan konsep blue
economy akan membuka lapangan pekerjaan baru dan menurunkan pengangguran.
6.5. Mengembangkan Prasarana
Pengembangan prasarana sangat penting dalam perekonomian sektoral daerah,
sarana-prasana dapat menunjang kegiatan perekonomian dan memberikan multiplier effect
bagi aktivitas perekonomian lain. Pembaangunan sarana prasarana dapat dibagi dalam
beberapa kelompok berikut ini:
A. Jaringan Prasarana Jalan Raya 1. Jalan Bebas Hambatan (Highway)
2. Jalan Lintas Timur
3. Jalan Lintas Barat
4. Jalan Lintas Tengah
Semua Jalan tersebut akan mengkoneksi wilayah Aceh yang tediri atas ruans-ruas
jalan sebagai berikut:
1. Bireuen – Takengon
2. Simpang Peut – Jeuram – Genting Gerbang
38 4. Peureulak – Lokop – Blangkejeren
5. Beureunuen – Keumala
6. Meulaboh – Tutut – Geumpang
7. Jantho – Lamno
8. Takengon – Bintang – Kebayakan
9. Krueng Geukueh – Simpang Kebayakan
10.Gelombang – Sp.Lawe Deski
11.Keliling Pulau Weh Sabang
12.Sinabang – Lasikin
B. Jaringan Jalur Kereta Api
Rencana pengembangan jaringan jalur kereta api di wilayah Aceh mengacu kepada
RTRWN, yang menetapkan untuk wilayah Aceh ada 2 jaringan yang masing-masing terletak
di pesisir timur dan pesisir barat, yaitu
1. Revitalisasi jaringan jalur kereta api di pesisir timur, yang menghubungkan Banda
Aceh ke Besitang di Provinsi Sumatera Utara, yaitu dengan menghidupkan kembali
jaringan jalur kereta api yang pernah ada pada pesisir timur tersebut.
2. Pengembangan jaringan jalur kereta api baru di pesisir barat, yang menghubungkan
Banda Aceh ke Sibolga di Provinsi Sumatera Utara.
C. Prasarana Angkutan Di Perairan (Pelabuhan)
Untuk masing-masing pelabuhan yang ditetapkan tersebut diberikan penjelasan sebagai
berikut ini.
1. Pelabuhan Sabang ditetapkan dalam rencana dengan fungsi sebagai pelabuhan utama,
yang melayani angkutan laut luar negeri (internasional), sehingga dikenal juga
sebagai Pelabuhan Internasional. Pengembangan pelabuhan utama Sabang ini sangat
terkait dengan rencana pengembangan pelabuhan bebas Sabang dan kawasan
perdagangan bebas Sabang.
2. Pelabuhan Balohan di Kota Sabang ditetapkan dalam rencana dengan fungsi sebagai
pelabuhan utama, yang melayani angkutan penyeberangan luar negeri (internasional)
dan dalam negeri dalam provinsi.
D. Prasarana Angkutan Udara
Prasana bandar udara dapat dijelaskan sebagai berikut ini :
1. Bandara Sultan Iskandar Muda, melayani penerbangan internasional, dan merupakan