• Tidak ada hasil yang ditemukan

false false false IN X-NONE AR-SA REVOLUSI MENTAL DAN PERAN ORMAS [1] OLEH: DUSKI SAMAD [2] A. REVOLUSI MENTAL.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "false false false IN X-NONE AR-SA REVOLUSI MENTAL DAN PERAN ORMAS [1] OLEH: DUSKI SAMAD [2] A. REVOLUSI MENTAL."

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Normal 0 false false false IN X-NONE AR-SA

REVOLUSI MENTAL DAN PERAN ORMAS[1]

OLEH: DUSKI SAMAD[2] A. REVOLUSI MENTAL.

Satu di antara jargon dan kampanye pemilihan presiden Jokowi adalah memperkenalkan istilah Revolusi Mental. Pembahasan tentang revolusi mental itu sama halnya dengan pembahasan yang sudah dimuat dalam buku Koentjaraningrat (1974), tentang isu

mentalitas manusia dalam konteks pembangunan. Secara gamblng Koentjaraningrat

mewajibkan mengapresiasi  suatu nilai budaya yang berorientasi ke masa depan, yaitu suatu sifat hemat, suatu hasrat untuk bereksplorasi dan berinovasi; suatu pandangan hidup yang menilai tinggi prestasi (

achievement

) dari karya; suatu nilai yang kurang berorientasi vertikal (ke atas); suatu nilai yang lebih percaya kepada kemampuan sendiri; berdisiplin murni dan berani mengambil tanggung jawab sendiri.

(2)

Dikatakan bahwa sifat-sifat ini belum secara mantap sebagai identitas mental kedirian (Self) dari sebagian besar anak bangsa kita. Yang menonjol  justru sifat-sifat atau sikap mental yang kontra-produktif dari tuntutan pembangunan, seperti sikap mental yang cenderung suka

menerabas (suap dan nepotisme) dalam  meraih gelar pendidikan, jabatan dan kekayaan

ketimbang melalui upaya kerja keras dan berprestasi. Sementara itu, mengenai tanggung jawab dan penegakkan hukum, implementasinya relatif masih lemah, tidak konsisten, diskriminatif, irasional dan serba ‘ragu’ dalam menetapkan atau memutuskan suatu kebijakan. Dapat

dikatakan sikap-sikap mental seperti ini, telah membawa implikasi kepada bangsa kita, di mana sampai saat ini, masih mengalami kesulitan untuk keluar dari krisis moral, sosial, kebudayaan dan ekonomi.

Mochtar Lubis (1978), dalam bukunya yang berjudul ‘Cermin Indonesia’, pernah

mengidentifikasi ciri-ciri

manusia Indonesia yang dianggap merupakan ciri mentalitas yang tidak dapat dibanggakan sebagai bangsa yang beradab. Bangsa  yang menyandang ideologi Pancasila dan UUD 45 sebagai acuan dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; dan ‘fanatik’ dengan

kehidupan ‘ke-agamaan-nya’ dipandang sebagai alasan untuk menyatakan bahwa salah satu ciri yang tidak dapat dibanggakan ini, adalah cirri Hipokrit alias Munafik. Dalam kenyataan sosial, ciri ini dapat kita simak atas ekspresi bernuansa hipokrisi alias kemunafikan.

Koentjaraningrat (guru besar antrologi UI) dalam bukunya Kebudayaan, Mentalitas &

Pembangumentalitas (1987)

merekomendasikan bahwa untuk mengubah (revolusi) mentalitas manusia Indonesia, tidak ada pilihan lain kecuali kepada seluruh anakanak Indonesia/usia dini dijadikan sasaran intervensi -sosialisasi nilai-nilai budaya positif (takut kepada Tuhan, konsisten, tidak ingkar janji, tidak korup, dsb). Kata kuncinya adalah  SOSIALISASI, yaitu mengenkulturasikan (membudayakan) nilai-nilai budaya positif sebagai cara  hidup. Tentu rekomendasi ini akan berlangsung lama (selama satu generasi). Bisa juga menerapkan model cuci otak dari Mao Tze Tung (gembong komunis China) yang dikenal dengan REVOLUSI KEBUDAYAAN (RK). Caranya adalah semua generasi berusia pemuda sampai orang dewasa diseleksi/identifikasi. Yang menolak komunis dihilangkan dari bumi China. Sejarah mencatat jutaan warga non-komunis nasionalis Cina dibantai; dan tidak sedikit yang sempat tumingkas alias lari ke pulau formosa/Taiwan, salah satunya tokoh nasionalis China Dr. Sun Yat Shen.

Di mana mulainya revolusi mental itu, jawabnya ada pada jalur keluarga, organisasi dan pemerintah. Dipastikan mengerakkan organisasi dapat menjadi wasilah lahirnya revolusi mental. Realitasnya menunjukan hidupnya suatu organisasi berada di tangan pemimpin, ownernya atau juga pendiri organisasi. Agar organisasi tersebut tetap eksis, hidup, berjalan

(3)

sebagaimana yang dicita-citakan perlu ada namanya KEGERAKAN atau PERGERAKAN. Yang sering dinamakan kegerakan ini sebagai sebuah perjuangan.

B. MASALAH BANGSA DAN PERAN ORMAS.

Sebagai bagian dari komponen bangsa, ormas-ormas Islam yang lahir sejak awal abad ke-20 telah memainkan peranan yang signifikan di tengah percaturan kehidupan berbangsa dan bernegara. Ormas Islam, dalam sejarahnya lahir sebagai respons terhadap situasi zaman yang dihadapinya terutama masalah sosial, politik, dan keagamaan.

Dalam spektrum yang lebih luas, semua ormas Islam memiliki platform yang sama yakni amar makruf nahi mungkar

, menyuruh kebaikan dan mencegah kemungkaran. Di tengah berbagai persoalan gejolak bangsa baik yang menyangkut sosial, politik, ekonomi, budaya, maupun agama, ormas Islam mesti kembali meredefinisi tentang peran yang harus dimainkan. Tidak dimungkiri,

perkembangan peran dan kiprah ormas Islam dewasa ini seolah telah mengalami pergeseran dari nafas awal sejarah kelahirannya. Perhelatan politik di Indonesia mulai dari pemilihan pemimpin kepala daerah, wakil rakyat, sampai pemimpin negara “menyeret” ormas Islam untuk secara langsung terlibat di dalamnya. Konsekuensinya, ormas Islam tidak lagi memiliki

kesetaraan sebagai satu kekuatan moral, tetapi lebih terkesan bagian dari mesin politik dari suatu kekuatan politik tertentu. Celoteh kecil, selapis tipis beda ormas dengan partai politik.

Tentu saja, peran dan fungsi yang dimainkan itu memiliki argumentasi masing-masing, atas nama amar makruf, keterlibatan dalam pembangunan dan peran serta dalam kebangsaan. Masalahnya, di mana ia harus duduk dan bahasa apa yang harus digunakan. Inilah yang perlu segera dicermati.

Isu-isu kontemporer yang sekarang ini mencuat terutama stigma fundamentalisme, radikalisme, liberalism dan puncaknya terorisme

yang dituduh sebagai derivasi dari paham dan gerakan keagamaan, tampaknya perlu mendapat agenda dan perhatian tersendiri. Walaupun dengan tegas setiap ormas Islam menolak bahwa radikalisme dalam paham dan gerakan beragama sesuatu yang tidak

(4)

mendapat tempat dalam ajaran Islam, namun tetap harus dipandang sebagai gejala sosial, politik, dan agama sehingga harus dicarikan solusinya.

Untuk menempatkan kembali peran dan fungsinya itu, terlebih dahulu perlu memberikan kategorisasi corak kecenderungan paham dan gerakan keagamaan yang ada di masyarakat, dari sinilah akan dicari model yang tepat untuk mengatasinya.

Model pertama, corak dan kecenderungan paham spiritualisme. Model gerakan beragama ini menemukan momentumnya pada masyarakat yang lebih maju, modern, dan tercerahkan. Kecenderungan ini memandang bahwa aspek spiritualisme Islam tidak hanya memberikan ketenteraman batin pada tingkat individual, tetapi juga dapat menjadi wahana keagamaan yang lebih toleran dan inklusif. Dewasa ini, terdapat kecenderungan kuat di kalangan masyarakat untuk mengikuti paham keagamaan yang inklusif, seperti terlihat dalam tasawuf. Namun demikian, kecenderungan seperti ini pun harus dibimbing supaya tidak mengarah pada pelembagaan rutinitas ritus yang bid’ah atau sekadar media relaksasi untuk menghilangkan stres seperti yang kini marak di pengajian-pengajian “kelas atas”. Dalam kasus tertentu dijadikan justifikasi kekuasaan.

Model kedua, corak dan kecenderungan legalisme agama. Corak ini lebih mengedepankan aspek formalitas beragama sehingga melahirkan sikap-sikap yang ekslusif karena meletakkan batas-batas yang cukup tegas tentang berbagai hal adalah keniscayaan. Paham yang menghar amkan dan membid’ahkan semua hal adalah contoh tepatnya. Patut diwaspadai paham ini dilindungi oleh kelompok politik tertentu.

Jika kecenderungan yang pertama menghadirkan paham keislaman yang toleran, inklusif, dan serbalonggar, kecenderungan yang kedua lebih menghadirkan dimensi teks sebagai bagian yang paling dominan dengan pemahaman-pemahaman yang kaku. Dalam beberapa kasus tidak hanya akan mendorong munculnya sikap legal yang kaku, tetapi juga pemahaman dan pengamalan keagamaan yang serba harfiah.

Tampaknya dari corak kecenderungan yang kedua inilah tumbuh suburnya berbagai gerakan keagamaan di Indonesia yang diklaim sebagai gerakan radikal. Gerakan keagamaan yang radikal seperti ini, menurut Azyumardi Azra, sulit diharapkan dapat mencapai hasil yang memuaskan. Harakah-harakah radikal atau semiradikal, yang memiliki orientasi politik yang tinggi, cenderung gagal dalam melakukan perubahan-perubahan mendasar terhadap tatanan sosial politik yang mapan. Sebabnya, gerakan-gerakan semacam itu tidak hanya mendapatkan

(5)

represi yang luar biasa dari rezim yang berkuasa, tetapi juga menemukan perlawanan dari organisasi, kelompok, dan individu-individu Muslim moderat.

Dengan melihat dua model kecenderungan tadi, semestinya menjadi agenda tersendiri yang mendapatkan prioritas dari ormas Islam dengan memadu kedua pandangan itu sehingga dapa dikompromikan. Agenda ormas Islam yang terpenting dewasa ini mengubah paradigma

masyarakat yang serbapolitis menjadi lebih berorientasi religious, kultural, dan bahkan ekonomi.

Saat inilah momentum ormas Islam untuk bangkit kembali menyuarakan nilai-nilai Islam yang emansipatoris, progresif, mencerahkan, dan memberikan kedamaian, dengan menciptakan dan mendorong keberagamaan yang ramah dan progresif. Perubahan atau transformasi sosial selalu dimulai dari perubahan nalar dan wacana berpikir yang elegan dan humanis.

Munculnya pergerakan-pergerakan keagamaan yang eksklusif bahkan cenderung kepada radikalisme baik dalam paham dan gerakan, merupakan salah satu bukti kurangnya

“kehangatan” ormas Islam dengan umat yang ada di bawahnya. Di sinilah peran ormas Islam untuk terlibat langsung menyentuh dimensi keagamaan umat, tidak duduk di menara gading, tidak menjadikan doktrin imamah dan imarah untuk membelenggu, dan tidak menjadikan “mendengar dan taat” sebagai bahan untuk memobilisasi umat yang dipimpinnya.

Begitu juga halnya dengan semangkin menumpuknya persoalan kehidupan umat dan bangsa

untuk diselesaikan yang membutuhkan

peran aktif ormas. Ormas Islam sebagai kekuatan civil society dituntut untuk mendampingi, mengkritisi dan meluruskan negara dalam mengurus umat dan bangsa. Untuk maksud tersebut ormas Islam harus meningkatkan kebersamaan dan kerjasama, mengingat tantangan yang muncul lebih saat ini cukup besar.

Tantangan itu harus dihadapi dengan sinergi antara masyarakat dan pemerintah sehingga harus mengesampingkan perbedaan yang ada, ormas harus mengedepankan persoalan bangsa di atas kepentingan kelompok dan golongan sehingga dapat saling membantu dalam penanganan permasalahan tersebut.

(6)

tradisi organisasi yang berjalan manual dan cendrung lambat. Pimpinan dan seluruh kader dituntuk untuk merevitalisasi ormas Islam sebagai kekuatan dan pilar strategis umat khususnya Islam.

Setidaknya ada tiga hal mendasar yang harus dilakukan, pertama, revitalisasi kepemimpinan ormas harus berorientasi pada penyelesaian masalah. Kedua, revitalisasi sinergi dan

kerjasama antarormas Islam. Sedangkan, yang ketiga, ormas dituntut mengagendakan tugas dan usahanya untuk pemberdayaan umat agar lebih maju lagi.

Realitas yang terjadi bahwa pencapaian keberhasilan sebuah organisasi massa tidak selalu berbanding lurus dengan kuantitas kader dalam jaringan kekuasaan. Namun, hal terpenting dalam sebuah organisasi dapat mengambil posisi yang tepat dan mampu mengembangkan idealisme melalui pengetahuan peta potensi dan kekuatan yang dimiliki.

Disamping itu kelemahan mendasar dari ormas Islam adalah penguasaan data dan peta masalah dan lemahnya kemampuan mengelola mengembangkan kekuatan sebagai daya dukung. Karena itu, momentum kebebasan, keterbukaan dan alam demokratisasi dapat dijadikan peluang dan terus menerus membangun sinergi, penyatuan persepsi agar lebih produktif dalam pembinaan umat secara lebih meluas.

C. PENUTUP.

Sebagai bahagian akhir dapat dikatakan bahwa revolusi mental pada hakikatnya adalah adanya kesadaran yang mendasar untuk kembali ke jati diri, fitrah, orisinil dan sesuai menurut

kepatutannya. Dalam kaitannya dengan pergerakkan ormas dan elemen bangsa diperlukan energy baru berupa mentalitas baru untuk kebaikan dan pembangunan bangsa. Revolusi mental akan sangat besar sumbangannya bagi semangat atau spirit percepatan perubahan kearah yang lebih baik.

Ormas dengan segenap jajaran dituntut bangun, bangkit dan mengenali secara tepat

bagaimana cara bangkit. Mengubah dan meluruskan nawaitu set, maindset, dan culturalset

adalah bentuk nyata dari revolusi ruhaniyah ormas. Penyamaan visi, misi, strategi, orentasi dan harakah dapat dilakukan secara simultan dan dalam kerangka Islam

(7)

.

Wallahu’alam bis shawab.

Ds.23122014. ambon I/4 Wisma Indah Siteba Padang.

(8)

(9)

[1] Disampaikan Dalam Dialog Ormas Islam dalam rangka HAB Kemenag Kabupaten Solok, Selasa, 23 Desember 2014.

[2] Dekan/Guru Besar Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAIN Imam Bonjol Padang.

/* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal";

mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes;

mso-style-priority:99; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; mso-para-margin-top:0cm; mso-para-margin-right:0cm;

mso-para-margin-bottom:10.0pt; mso-para-margin-left:0cm; line-height:115%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:"Calibri","sans-serif";

mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:Arial; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-ansi-language:EN-US; mso-fareast-language:EN-US;}

Referensi

Dokumen terkait

berkaitan dengan pajak penghasilan pasal 21 misalnya pembayaran gaji, upah dan lain sebagainya yang dilakukan oleh perusahaan dan bertujuan untuk menentukan jumlah penghasilan kena

Investasi Tanah Kavling Wisata Kebun Kurban @Maros,

[r]

Panitia hanya menanggung biaya transportasi domestik dan akomodasi selama kegiatan bagi WNI, transportasi internasional ( economy class ) dan akomodasi selama kegiatan bagi WNA

1. Untuk meningkatkan jumlah siswa dimasa yang akan datang, SMK Negeri 1 Kota Sungai Penuh hendaknya terus meningkatkan implementasi bauran pemasaran jasa terutama

Dalam makalah ini, kami mengasumsikan bahwa database helpdesk tersebut akan disusun dalam sejumlah kasus, di mana setiap kasus mengandung interaksi antara pelanggan dan

Kegiatan observasi dilakukan sebagai langkah awal untuk mengumpulkan data umum objek penelitian yaitu mengamati secara langsung situasi dan kondisi di lapangan dengan

Hal ini bukanlah kasus untuk algoritma perkiraan pada bab 2.2, dimana urutan simpul-simpul di R sesuai dengan warnanya, sehingga algoritma MaxClique di setiap