Proceeding Papers
INDONESIA INTERNATIONAL POLITICAL
ECONOMY WEEK 2013
Program Globalisasi dan Pembangunan Lokal (Globalization and Local Development/GLD) adalah salah satu dari klaster riset yang dikembangkan di Institute of International Studies (IIS), Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada. Program ini adalah bagian dari misi IIS untuk memahami dan mendalami beragam fenomena hubungan internasional,baik secara teoretik maupun praktik. Komplementer dengan empat klaster lainnya, yaitu Program on Peace Building and Radical Violence (PILAR), Humanitarian Action (POHA), Diplomacy and Foreign Policy (DIFO), dan European Studies (EUROS), GLD menawarkan pendekatan yang holistik untuk menangkap keragaman perspektif dan cakupan studi hubungan internasional. Dengan program, misi dan pendekatan semacam itulah institut ini dirancang untuk mengembangkan penelitian-peneltian inovatif dan kolaboratif yang berorientasi pada pemecahan masalah untuk masyarakat dunia yang adil, damai dan beradab -sejalan dengan visi jurusan dan program studi di mana IIS bernaung.
Proceeding Papers
INDONESIA INTERNATIONAL
POLITICAL ECONOMY WEEK
2013
QUO VADIS DEVELOPMENTALISME
Yogyakarta, 7-8 Desember 2013
Editor: Farahdiba Rahma Bachtiar, S. IP.
Proceeding Papers
QUO VADIS DEVELOPMENTALISME
Pemutakhiran Model dan Praktik Kebijakan Pembangunan Indonesia
Pasca-Reformasi
Diterbitkan pada tahun 2013 oleh Institute of International Studies Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilrnu Politik Universitas Gadjah Mada
ISBN 978-602-7804-15-9
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada Gedung Sayap Utara Lantai 5, Jalan Socio Justicia N'o. 1, Bulaksumur Yogyakarta, Indonesia 55281
Tel: +62 274 563362 ext. 115. Fax: +62 274 563362 ext. 116. Email: Iis.ugm@gmail.com. Website: http://iis.fisipol.ugm.ac.id
©2013
Editorial Board
LATAR BELAKANG
Sebagai model dan praktik kebijakan, "developmentalisme" adalah primadona sepanjang lebih dari 30 tahun era pemerintahan Orde Baru Indonesia (1967-1998). Pasca-reformasi, sebagai praktik kebijakan, gagasan-gagasan mengenai pembangunan (yang sebagian besar dilandasi oleh ideologi, semangat dan mentalitas "developmentalisme") masih mewarnai beragam program dan tindakan pemerintah (pusat dan lokal), para pelaku bisnis swasta, organisasi kemasyarakatan dan lembaga-lembaga internasional (yang berkepentingan dengan Indonesia) di bidang-bidang ekonomi, sosial-kemasyarakatan dan politik-keamanan. Lokus utamanya—yaitu ekonomi pasar (market economy) baik di tingkat lokal maupun global— tetap menjadi pusat tarik menarik dan pertarungan gagasan dan kepentingan di antara para pemain utamanya tadi.
Dalam ranah pembangunan ekonomi, misalnya, pertarungan gagasan dan kepentingan ditandai dengan perdebatan yang nampak tak berujung antara proteksionisme atau liberalisasi (perdagangan), investasi asing atau pemodal dalam negeri, pengecer modern atau tradisional, pasar modern atau tradisional, pengusaha besar atau kecil, ekonomi liberal atau kerakyatan, dan seterusnya. Di bidang pembangunan sosial-kemasyarakatan juga tak kalah sengit polemiknya: pertumbuhan atau kesejahteraan, pembangunan ekonomi atau pembangunan sosial, pro-pertumbuhan atau pro-kemiskinan, kota atau desa, berbasis merit atau yang berpihak (pada kesetaraan gender, asal usul, dsb.), dan seterusnya.
Dan, akhirnya, pada bidang-bidang yang sensitif secara politik, strategis dalam konteks keamanan dan pertahanan nasional, perdebatan juga berrnuara pada apakah pembangunan seharusnya berorientasi nasional atau tidak (nasionalisme ekonomi versus liberalisme ekonomi), menjunjung kepentingan nasional secara mutlak atau tidak, mengedepankan atau mengutamakan industri-industri yang dianggap strategis atau tidak (developmental state versus liberal state), dan akhirnya apakah demokrasi liberal sebagai sistem politik yang dianggap menopang gagasan dan praktik developmentalisme perlu dipertanyakan efektivitasnya ketika berhadapan dengan isu-isu dan perdebatan tadi.
Bagaimana mengutip tulisan ini:
Ekonomi Pancasila sebagai Negara Kesejahteraan:
Pencarian Model bagi Indonesia
Antonius Galih Prasetyo
Abstrak: Ekonomi Pancasila merupakan nama yang diberikan untuk merujuk pada
sistem ekonomi khas Indonesia. Bersama dengan koperasi, negara kesejahteraan termanifestasikan sebagai penubuhan institusional dari gagasan ekonomi Pancasila. Langkah a wal menuju pada terbentuknya negara kesejahteraan di Indonesia telah dimulai setelah pemerintah menetapkan UU 40/2004 dan UU 24/2011. Kedua produk hukum tersebut mereformasi secara menyeluruh sistem jaminan sosial lama yang bersifat terbatas dan parsial. Meski demikian, ma sih ada hal-hal yang perlu dilakukan sebelum Indonesia benar-benar menyataka n dirinya sebagai negara kesejahteraan yang sejati. Buruh sebagai “agen tradisional” negara kesejahteraan perlu untuk mengawal proses tersebut dengan membentuk kerjasama dan aliansi dengan kelompok lain.
Kata-kata kunci: ekonomi Pancasila; negara kesejahteraan; sistem jaminan sosial
nasional; buruh; aliansi kelompok
Abstract: Pancasila economy is the name given to refer to the typical Indonesian
state. Labour as a “traditional agent” of welfare state needs to guard those processes by forming cooperation and alliance with other groups.
Key words: Pancasila economy; welfare state; national social security system;
labour; group alliance
Sebuah negara-bangsa yang merdeka adalah entitas yang hadir menyejarah
dengan alasan dan tujuan tertentu. Alasan merupakan raison d’etre dan poin
legitimasi yang ditunjuk bangsa tersebut sebagai basis untuk menyatakan haknya
untuk muncul sebagai bangsa yang bebas dan berdaulat. Adapun tujuan merupakan
kompleks cita-cita yang dirumuskan para pendiri bangsa, untuk kemudian diolah
oleh generasi penerus, sebagai horizon di mana segala elemen bangsa
mengarahkan gerak perjuangannya secara kolektif.
Dalam penetapan tujuan-tujuan hidup berbangsa dan bernegara, sebuah
bangsa merumuskan konsep-konsep distingtif yang diidentifikasi oleh pemimpin
dan rakyatnya sebagai kristalisasi dari hasrat dan ikhtiar untuk membumikan
apa-apa yang dianggap sebagai ideal. Dasar dan ideologi negara seringkali menjadi
payung dan sumber referensi utama untuk pencarian tujuan-tujuan bersama
tersebut. Dalam konteks Indonesia, Pancasila berperan sebagai sumber mata air
konseptual tersebut sehingga darinyalah kemudian para pendiri bangsa
merumuskan model-model tata pengaturan kehidupan berbangsa dan bernegara
dalam segala bidang.
Salah satu bidang yang berusaha dibentuk dan ditransformasi melalui
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila adalah ekonomi. Maka kemudian
lahirlah konsep dan istilah ―ekonomi Pancasila‖ yang dirumuskan oleh para
pendiri bangsa. Apa dan bagaimanakah sesungguhnya yang dimaksud dengan
ekonomi Pancasila? Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan tersebut tanpa
ambiguitas. Seperti halnya Pancasila itu sendiri, ekonomi Pancasila merupakan
sekali tidak dicantumkan dalam konsitusi dan tidak pernah ada suatu produk
undang-undang khusus yang menggariskan secara rinci pelaksanaan yang adekuat
dari ekonomi Pancasila. Secara historis, kemunculan gagasan ekonomi Pancasila
juga dapat dibaca sebagai ikhtiar dari sebuah negara pascakolonial untuk
merumuskan identitas ekonominya yang khas dan distingtif di tengah arus
paradigma ekonomi besar di masa Perang Dingin, yakni kapitalisme dan
sosialisme.1
Meskipun di tengah segala kesulitan untuk merumuskan ekonomi Pancasila,
bagaimanapun kajian tentang ekonomi Pancasila dapat dilakukan dengan cara yang
tidak arbitrer. Dalam hal ini, tafsiran terhadap ayat-ayat konstitusi dan tulisan dari para penyokong ekonomi Pancasila dapat menjadi sumber yang berharga untuk
meraba-raba dan mendiskusikan karakter dan ciri khas dari ekonomi Pancasila.
Dalam tulisan ini, ekonomi Pancasila ditafsirkan sebagai gagasan yang memuat
imperatif akan berdirinya negara kesejahteraan di negeri ini. Dalam terang ini,
pencarian mengenai model dan bentuk dari negara kesejahteraan Indonesia akan
selalu menjadi ranah pergulatan yang pelik mengingat para penyelenggara
pemerintahan selama ini belum pernah menjalankan amanat untuk membentuk
negara kesejahteraan. Setelah membahas hal tersebut, akan ditunjukkan peran
penting dari dua undang-undang yang secara optimistis dapat dilihat sebagai
langkah awal menuju terbentuknya negara kesejahteraan di Indonesia. Selanjutnya,
akan dievaluasi peran dan kekuatan dari kelompok yang selama ini dipercaya
sebagai pendorong negara kesejahteraan, berikut tinjuan mengenai
langkah-langkah yang harus dilakukan di masa depan.
Ekonomi Pancasila dan Negara Kesejahteraan
Dalam perbincangan tentang ekonomi Pancasila, salah satu hal yang telah
menjadi konsensus umum di antara para penulis, pemikir, dan ekonom yang
membicarakan mengenai ekonomi Pancasila adalah bahwa ekonomi ini bertumpu pada sila kelima Pancasila (―keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia‖) dan terumuskan secara paling jelas dalam konstitusi Pasal 33 UUD 1945, yang
sekaligus merupakan dasar dari demokrasi ekonomi (Soemitro, 1991: 184).
1
Sebelum diamandemen dengan menambahkan dua ayat yang merupakan
pendetailan dari ayat asli sehingga pada hemat penulis tidak mengubah roh yang
terkandung di dalamnya, Pasal 33 terdiri dari tiga ayat berikut: (1) perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; (2) cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak
dikuasai oleh negara; dan (3) bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat.
Bersama-sama, ketiga ayat tersebut berfungsi sebagai batu sendi yang
menginskripsikan bentuk dari ekonomi Pancasila. Untuk memahami bagaimana ketiganya dapat dimaknai dalam kerangka ekonomi Pancasila, perhatian perlu
diberikan pada kata-kata kunci yang terdapat di dalamnya. Dalam Pasal 33 ayat 1, kata kuncinya adalah ―asas kekeluargaan‖. Perumus pasal ini, yakni wakil presiden pertama Mohammad Hatta yang juga acapkali disebut dengan Bapak Ekonomi
Pancasila dan Bapak Ekonomi Kerakyatan, menjelaskan secara tegas bahwa apa
yang dimaksud dengan asas kekeluargaan adalah koperasi. Meski Hatta tidak
memasukkannya ke dalam batang tubuh pasal 33, hal itu diuraikannya dalam
bagian penjelasan di mana dikemukakan bahwa ekonomi yang disusun sebagai
usaha bersama bentuknya adalah koperasi. Istilah asas kekeluargaan berasal dari
Taman Siswa untuk menggambarkan bagaimana guru dan murid-murid hidup
sebagai satu keluarga. Maka begitu pulalah hendaknya corak koperasi, satu sama
lain harus mencerminkan orang-orang bersaudara sekeluarga (Hatta, 1977: 27).
Secara historis, ketertarikan Hatta terhadap koperasi tersebut berakar dari studinya
pada tahun 1921-1922 mengenai bentuk usaha masyarakat menengah ke bawah di
Inggris, Jerman, dan Swedia (Nasution, 2002: 212) dan kunjungannya ke
negara-negara Skandinavia, khususnya Denmark, pada akhir tahun 1930-an
(Rahardjo, 2002: 294). Pandangannya mengenai koperasi dapat ditelusuri dari
pandangan Perhimpoenan Indonesia tentang ekonomi seperti yang diuraikan Hatta
dalam pleidonya di pengadilan Den Haag (Sjahrir, 2002: 246).
Bila dikatakan bahwa asas kekeluargaan menemukan perwujudannya dalam
bentuk bangun usaha koperasi, tentu tidak lantas berarti bahwa seluruh
koperasi sebagai institusi yang paling selaras dengan norma ekonomi Pancasila.
Tentu ini merupakan hal yang tidak mungkin karena dalam realitasnya, sudah sejak
masa awal kemerdekaan, koperasi hidup bersama-sama dengan bangun usaha
lainnya seperti perusahaan negara dan perusahaan swasta (baik besar, menengah,
maupun kecil). Di antara berbagai bangun usaha tersebut, peranan perekonomian
rakyat kecil dialokasikan pada koperasi, dengan harapan berangsur-angsur
meningkat ke atas, artinya koperasi mendapatkan peranan membangun dari bawah
(Monoarfa, 2002: 290). Asas kekeluargaan dengan demikian lebih tepat dipahami
sebagai semangat dan spirit daripada sebagai bentuk institusional yang baku
(Mubyarto, 1980: 82; Mubyarto, 1981: 147). Hatta sendiri meyakini bahwa asas
kekeluargaan tidak hanya dapat diterapkan pada koperasi, melainkan juga dapat
diterapkan pada perusahaan negara (BUMN) dan swasta. Meski demikian,
koperasi tetap memegang peranan yang istimewa dalam keseluruhan usaha
ekonomi nasional. Dia merupakan sokoguru dari perekonomian Indonesia, artinya
semua bentuk usaha lain hendaknya menjadikan prinsip dan nilai-nilai koperasi
sebagai model idealnya.
Sementara itu, ayat 2 dan 3 dari Pasal 33 UUD 1945 pada dasarnya
merupakan dua ayat yang secara bersama menubuhkan prinsip sosialisme dalam
ekonomi Indonesia. Prinsip sosialisme ini hadir dalam pernyataan ―cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara‖ dan ―bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara.‖ Ini artinya, dalam ekonomi Pancasila hak milik pribadi tidak diberikan secara sebebas-bebasnya. Barang-barang publik yang vital
bagi kepentingan orang banyak, berikut sumber daya alam dalam rupa bumi dan
air berikut kekayaan yang terkandung di dalamnya, hanya boleh dikuasai dan dikelola oleh negara dalam rangka untuk mewujudkan ―sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.‖ Rumusan demikian memberikan tilikan yang jelas mengenai posisi dari hak milik pribadi: pendakuan atasnya hanya berlaku untuk
barang-barang yang tidak menyentuh kepentingan orang banyak, dan penggunaan
Gabungan dari dua pokok tersebut, yakni menyerahkan cabang produksi dan
sumber daya yang penting bagi orang banyak ke tangan negara sembari tetap
mengakui hak miliki pribadi, memberikan karakterisasi yang khusus pada
bangunan ekonomi Pancasila. Dia bukanlah sosialisme dalam pengertiannya yang
murni negara-negara komunis dan sosialis sekaligus juga bukan kapitalisme yang
menyerahkan jalannya perekonomian sepenuhnya pada pasar dan norma hak milik
pribadi. Sistem ekonomi Pancasila adalah, sebagaimana dituliskan salah satu
penyokongnya yang paling militan, sistem ekonomi campuran yang mengandung
pada dirinya ciri-ciri positif dari kedua sistem yang kita kenal (kapitalis-liberal dan
sosialis-komunis) tetapi menolak ciri-cirinya yang negatif (Mubyarto, 1980: 84).
Dalam tataran global, sistem campuran atau jalan tengah tersebut telah
banyak dimanifestasikan oleh berbagai negara di dunia dalam suatu format yang
disebut dengan negara kesejahteraan (welfare state). Negara kesejahteraan
merupakan negara yang pemerintahnya menjalankan serangkaian program untuk
melindungi rakyatnya dari kerugian akibat risiko kehidupan, memberikan bantuan
bagi yang membutuhkan, dan mendorong konsumsi atas pelayanan tertentu seperti
pendidikan, perumahan, dan perawatan anak. Berbagai program tersebut sengaja
diciptakan untuk memenuhi tujuan-tujuan tertentu, di antaranya menyediakan rasa
keamanan bagi semua warga dan mengurangi kemiskinan (Pestieau, 2006: 4).
Selain berkaitan dengan kebijakan-kebijakan yang menyejahterakan dan memberi
rasa aman warganya, konsep negara kesejahteraan juga bersinggungan erat dengan
nilai-nilai kewarganegaraan modern seperti kebebasan, toleransi, persaudaraan,
kemakmuran, dan otonomi (Shiratori, 1986: 195)
Dalam gambaran besarnya, ekonomi Pancasila memang dapat dipahami dan
dimaknai sebagai negara kesejahteraan. Ini bukan merupakan pembacaan yang
ahistoris atau retrospektif karena sudah sejak masa-masa persiapan kemerdekaan,
para pendiri bangsa mencita-citakan terbentuknya sebuah negara kesejahteraan di
Indonesia. Cita-cita itu lalu kemudian diterjemahkan ke dalam sila kelima
Pancasila dan beberapa pasal dalam konstitusi, di antaranya Pasal 27, 31, 33, dan 34. Prinsip negara kesejahteraan diterima secara bulat, baik oleh anggora
Di antara para perintis kemerdekaan, Sutan Sjahrir merupakan tokoh pertama
yang mengonsepsikan cita-cita Indonesia merdeka sebagai negara kesejahteraan.
Dalam artikelnya di Daulat Ra’jat (1931-1934) , Sjahrir menuliskan berbagai
bentuk jaminan sosial yang wajib diadakan negara untuk mewujudkan keadilan
dan kesejahteraan sosial seperti standar penghidupan minimum, pensiun bagi
orangtua, uang pengganti ongkos berobat, ekstra gaji bagi buruh yang mendapat
kecelakaan, dan lain-lain (Latif, 2011: 526-527). Bung Hatta juga pernah
melontarkan gagasan mengenai negara kesejahteraan, yang diistilahkannya sebagai
negara pengurus. Dalam hal ini, dia kerap merujuk pada praktik yang berkembang
di negara-negara Skandinavia. Adapun Muhammad Yamin merujuknya kepada
tradisi negara kesejahteraan di Jerman seperti tertuang dalam Konstitusi Weimar
tahun 1919 (Latif, 2011: 581).
Model Negara Kesejahteraan Indonesia
Negara kesejahteraan tidaklah tunggal. Terdapat berbagai model dan format
negara kesejahteraan yang dijalankan berbagai negara di belahan dunia.
Bagaimana format negara kesejahteraan yang ada di suatu negara akan sangat
ditentukan oleh konteks historis, struktur sosial, dan ideologi politik dominan yang
tergelarkan di negara tersebut. Meskipun sudah sejak pendiriannya Indonesia
dicita-citakan sebagai negara kesejahteraan, namun sampai saat ini pemerintah
belum pernah menerapkannya secara nyata. Apabila keadaan ini akan diubah,
Indonesia butuh untuk belajar dari best practices yang ada sekaligus mencari model yang tepat. Untuk mengetahui model negara kesejahteraan yang paling tepat
tersebut, dibutuhkan pengetahuan teoretis mengenai model-model negara
kesejahteraan.
Dengan memperhatikan aransemen di antara institusi negara, pasar, dan
keluarga, Esping-Andersen mengidentifikasi adanya tiga model, atau yang dia sebut sebagai ―rezim‖, dari negara kesejahteraan (Esping-Andersen, 1990: 26-28). Masing-masing dari model tersebut memiliki derajat dekomodifikasi dan cakupan
penerima manfaat yang berbeda. Yang pertama adalah negara kesejahteraan
liberal. Ini merupakan negara kesejahteraan yang memberikan manfaat sosial bagi
untuk mendapatkan manfaat, terutama kelas pekerja yang berpendapatan rendah.
Warga yang mendapatkan bantuan kesejahteraan mendapatkan stigma sosial,
karena etika kerja kapitalis menghegemoni kesadaran masyarakat. Derajat
dekomodifikasi dari model ini tentu saja rendah. Negara lebih berpihak kepada
mekanisme pasar, baik secara pasif dengan hanya memberikan manfaat sosial yang
minimum maupun secara aktif dengan mensubsidi skema-skema asuransi swasta.
Struktur sosial yang diciptakan akibat model ini adalah dualisme kelas antara
penerima manfaatyang berposisi marjinal dengan mayoritas penduduk lainnya.
Contoh dari negara yang menerapkan model ini antara lain AS, Kanada, dan
Australia.
Rezim kedua disebut denga negara kesejahteraan konservatif atau korporatis.
Yang menjadi perhatian utama dari negara kesejahteraan ini adalah pemeliharaan
perbedaan status di antara warganya. Dengan kata lain, hak yang dimiliki warga
tidak sama antara satu dengan lainnya karena hal itu bergantung pada status dan
posisi kelas yang dimilikinya. Dalam negara ini, obsesi liberal akan efisiensi pasar
dan komodifikasi dikesampingkan. Negara bersedia untuk menggantikan pasar
sebagai penyedia kesejahteraan bagi warganya. Namun paradoksnya, karena
negara menjamin preservasi diferensiasi sosial, dampak dari redistribusi menjadi
tidak terlalu berarti atau dirasakan. Selain itu, ciri lain dari negara kesejahteraan
korporatis adalah penekanannya pada prinsip subsidiaritas. Negara hanya melayani
kebutuhan warga yang tidak dapat disediakan secara mandiri oleh keluarga.
Pamrih terselubung dari pendekatan ini adalah demi mempertahankan struktur
keluarga tradisional. Negara yang menerapkan model ini misalnya Austria,
Perancis, Jerman, dan Italia.
Rezim yang ketiga adalah negara kesejahteraan sosial demokratis. Model ini
menerapkan prinsip dekomodifikasi dan pemberian hak sosial secara maksimum.
Penerima manfaat dari model ini adalah seluruh warga, dan jenis manfaat yang
diberikan bersifat komprehensif dengan standar yang tinggi. Tidak ada dualisme
antara negara dan pasar atau antara kelas menengah dengan kelas pekerja. Negara kesejahteraan sosial demokratis berusaha menciptakan kesetaraan sosial yang
menyejahterakan semua, sehingga tercipta solidaritas yang kuat di antara warga.
Selain melalui pemberlakuan pajak progresif, kunci untuk mempertahankan sistem
ini adalah dengan mendorong dan menjamin diciptakannya kesempatan kerja yang
penuh (full employment). Hak atas pekerjaan mendapatkan status yang sama
dengan hak atas perlindungan sosial. Dalam beberapa hal, keberlangsungan dari
sistem ini sesungguhnya hanya akan terjamin apabila sebanyak mungkin warga
bekerja (sehingga dia dapat ditarik pajak yang besar) dan sesedikit mungkin yang
bergantung pada jaminan negara. Esping-Andersen mencatat bahwa dalam
kenyataannya tidak ada negara yang menerapkan model ini secara murni,
meskipun beberapa negara Skandinavia terlihat paling mendekati.
Kita dapat membaca dan mengontekstualkan cita-cita negara kesejahteraan Indonesia sebagaimana termuat dalam pandangan para pendiri bangsa dan tersurat
dalam rumusan dasar negara dan pasal-pasal konstitusi dalam kerangka tiga model
di atas. Dalam hal itu, model negara kesejahteraan apakah yang secara normatif
layak untuk diperjuangkan di Indonesia? Menurut Yudi Latif, negara kesejahteraan
yang ideal untuk diterapkan di Indonesia adalah campuran dari dua rezim negara kesejahteraan sebagaimana dipaparkan di atas.
(N)egara kesejahteraan ala Indonesia tampaknya ingin memadukan antara peran ekstensif negara dalam usaha kesejahteraan sosial—seperti pada model ―universal welfare state‖ ala negara-negara Skandinavia—dengan jaminan sosial secara tersegmentasi dengan disertai jejaring kekeluargaan—seperti pada model ―social insurance welfare state‖ ala negara-negara yang relatif konservatif di Eropa. Kecenderungan yang pertama tercermin pada pasal 33 UUD 1945, adapun kecenderungan yang kedua tercermin pada pasal 34 (Latif, 2011: 582).
Argumen Yudi Latif di atas cukup menarik dan meyakinkan. Tetapi mungkin
persoalan yang krusial bagi Indonesia bukanlah soal memilih salah satu, atau
campuran, dari model-model negara kesejahteraan yang ada untuk kemudian
diterapkan secara persis di Indonesia. Alasan untuk itu karena Indonesia memiliki
konteks historis, sosial, dan politik yang berbeda dengan negara-negara lainnya
sehingga penerapan negara kesejahteraan di negeri ini tidak bisa serta-merta
meniru apa yang sudah terjadi di negara lain. Diskusi Esping-Andersen mengenai
tiga rezim negara kesejahteraan adalah hasil pengamatannya atas negara-negara
industri maju di Barat yang tentu kondisinya sangat berbeda dengan Indonesia.
oleh ideal ekonomi Pancasila barangkali memang memiliki beberapa kesejajaran
dengan model sosial-demokrasi di Eropa, akan tetapi di sisi lain dia juga memiliki
akar kesejajaran dalam tradisi sosialisme-desa dan musyawarah desa di Nusantara
yang menekankan prinsip gotong-royong dan keberpautan demokrasi politik
dengan demokrasi ekonomi (Latif, 2011: 549, 582).
Namun lebih daripada segalanya, diskusi tentang model negara kesejahteraan
Indonesia tidak bisa ditetapkan secara aksiomatis untuk kemudian tinggal diimani
sebagai bagian dari realitas. Faktanya sampai sekarang ini penyelenggara negara
belum pernah menerapkan negara kesejahteraan dengan sungguh-sungguh melalui
penciptaan kebijakan yang sistemik. Untuk itu, ekonomi Pancasila tidak bisa dikembangkan hanya dengan cara refleksi dan teorisasi semata. Teorisasi dan
pengkajian normatif mengenai ekonomi Pancasila haruslah ditunjang dan diikuti
dengan eksperimen empiris (Mubyarto dan Boediono, 1981: 6). Di sinilah
pentingnya usaha untuk melakukan peninjauan terhadap upaya-upaya yang pernah
dilakukan pemerintah, yakni sejauh mana pemerintah bergerak dalam trayek yang
tepat demi realisasi negara kesejahteraan. Melalui penelusuran tersebut,
normativitas yang terkandung dalam konstitusi akan dapat dijangkarkan kepada
struktur kemungkinan yang meletak di hadapan negara dan masyarakat Indonesia
kontemporer. Dari sana dapat dilakukan penilaian mengenai posisi kita sekarang.
Kebijakan Sosial dan Embrio Menuju Negara Kesejahteraan Indonesia
Salah satu fitur utama dari negara kesejahteraan adalah kebijakan sosial.
Setiap negara kesejahteraan selalu menerapkan kebijakan-kebijakan sosial untuk
menunjang sistemnya, meskipun tidak bisa dikatakan sebaliknya bahwa setiap
negara yang memiliki kebijakan sosial secara otomatis pasti merupakan negara
kesejahteraan (Triwibowo dan Bahagijo, 2006: 8). Kebijakan sosial merupakan
instrumen kebijakan yang digunakan untuk memastikan bahwa warganegara
mendapatkan akses terhadap pelayanan sosial dasar seperti layanan kesehatan,
pendidikan, perumahan, dan sebagainya. Kebijakan sosial berperan sebagai
Salah satu bentuk dari kebijakan sosial adalah bantuan sosial merupakan
bantuan yang dapat bersifat tunai maupun non tunai ini biasanya ditujukan bagi
kelompok miskin dan rentan seperti janda, yatim piatu. Skema pemberiannya
bersifat mean-tested, artinya penerimanya harus memenuhi kriteria-kriteria tertentu
seperti yang ditetapkan oleh pemerintah (Triwibowo dan Subono, 2009: 6). Di
Indonesia, pemerintah beberapa kali pernah membuat kebijakan dalam bentuk
bantuan sosial, misalnya dalam bentuk beasiswa bagi anak-anak dari keluarga
tidak mampu, beras untuk rakyat miskin (raskin), Jaring Pengaman Sosial (JPS)
pada saat krisis ekonomi 1998, dan Bantuan LangsungTunai (BLT) atau BLSM
(Bantuan Langsung Tunai Sementara) sebagai kompensasi atas kenaikan harga
BBM. Kebijakan sosial yang diberikan dalam skema bantuan sosial biasanya
bersifat ad hoc.
Namun demikian, dalam konteks negara kesejahteraan, bantuan sosial
tidaklah mencukupi. Dalam negara kesejahteraan yang sejati, kebijakan sosialnya
dibangun melalui pendekatan yang sistemik dan berkelanjutan dalam bentuk
jaminan sosial (social security). Jaminan sosial merupakan sistem yang
diwujudkan untuk mewujudkan kesejahteraan dan memberikan rasa aman
sepanjang hidup manusia melalui penyediaan layanan-layanan untuk
menanggulangi risiko-risiko hidup seperti sakit, kecelakaan, menganggur, pensiun,
kematian, dan sebagainya. Masing-masing negara kesejahteraan memiliki
mekanisme penggalian sumber dana yang berbeda untuk menjalankan sistem
jaminan sosialnya, entah apakah itu melalui asuransi, tabungan, pajak, atau
kombinasi di antara berbagai mekanisme yang ada (Sulastomo, 2008: 5-7)
Indonesia sebenarnya telah menginisiasi kebijakan jaminan sosial sejak lama.
Pada masa awal kemerdekaan, telah diterbitkan peraturan mengenai jaminan
kesehatan di bawah Peraturan Menteri Perburuhan No. 48/1953 yang kemudian
diamandemen menjadi Peraturan Menteri Perburuhan No. 57/1957. Peraturan ini
menjadi landasan dari diberikannya bentuk-bentuk tunjangan bagi pekerja seperti
jasa di poliklinik, santunan selama sakit, hamil, melahirkan, dan kematian. Di tahun 1964, jaminan kesehatan direvisi dalam Peraturan Menteri Perburuhan No.
3/1964. Kemudian, pada masa pemerintahan Orba ketika Soeharto menjadi
Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 3/1967. Lalu dalam Rencana Pembangunan
Lima Tahun periode 1974-1979, pemerintah menargetkan untuk memperluas dan
meningkatkan distribusi jaminan sosial. Sejak saat itulah kemudian dibentuk
perusahaan-perusahaan umum yang memberikan jaminan sosial bagi warganegara
berdasarkan pekerjaannya. Pada tahun 1977 dibentuk Astek (berubah menjadi
Jamsostek pada 1992) yang melayani pekerja formal sektor swasta, Taspen di
tahun 1963 untuk jaminan hari tua pegawai negeri, Asabri untuk jaminan hari tua
personel militer, dan Askes di tahun 1968 yang memberikan jaminan kesehatan
bagi pegawai negeri dan personel militer (Wisnu, 2012: 100-102; Raper, 2008:
47).
Ciri utama dari kebijakan jaminan sosial yang diberlakukan pada masa Orba,
yang sebagiannya masih berlanjut hingga saat ini, adalah sifatnya yang parsial dan
instrumental, yakni untuk mendukung tujuan pertumbuhan ekonomi. Hanya
sebagian kecil warganegara yang terlindungi dan menerima manfaat dari jaminan
sosial. Mereka merupakan golongan yang dipandang penting bagi negara seperti
PNS, pekerja swasta formal, dan militer. Sementara untuk asuransi yang berbasis
privat, hanya kelas menengahlah yang mempunyai kemampuan untuk
mengaksesnya. Adapun sebagian besar warganegara lainnya, misalnya mereka
yang bekerja di sektor informal, pertanian, pekerja musiman, dan pengangguran,
sama sekali tidak terlindungi (Triwibowo dan Subono, 2009: 16-17).
Dalam beberapa hal, kebijakan di masa Orba ini paralel dengan yang
dilakukan oleh negara-negara industri Asia Timur, terutama sejak Perang Dunia II
sampai dengan tahun 1980-an. Negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, dan
Taiwan membentuk corak negara kesejahteraan yang dalam literatur disebut
sebagai negara kesejahteraan produktivis atau developmentalis. Dalam model
negara kesejahteraan ini, kebijakan kesejahteraan sosial ditempatkan di bawah
orientasi pertumbuhan ekonomi. Penyediaan jaminan sosial tidak didasarkan pada
prinsip kesetaraan sosial atau redistribusi ekonomi, namun lebih pada investasi
modal SDM demi produktivitas ekonomi. Untuk itu negara hanya memberikan jaminan kesejahteraan bagi sekelompok kecil pekerja yang bekerja di dalam
sektor-sektor yang berperan penting dalam menggenjot pertumbuhan seperti
mereka yang bekerja di sektor-sektor marjinal, jaminan kesejahteraannya
diserahkan kepada keluarga masing-masing (Peng, 2009: 40, 56). Bagi
negara-negara produktivis yang dipimpin oleh rezim otoriter, sekali lagi mirip
dengan Orba, legitimasi pemerintah didasarkan pada pertumbuhan ekonomi dan
masyarakat sipil serta gerakan buruh ditindas.
Setelah krisis melanda Indonesia pada 1997 yang diikuti dengan pergantian
rezim dan proses demokratisasi setahun sesudahnya, semakin disadari bahwa
skema kebijakan sosial yang ada di Indonesia tidak mencukupi, baik bila dilihat
dari jumlah peserta, cakupan dan kualitas manfaat, maupun tata kelola. Untuk itu,
mulai dilakukan reformasi kebijakan dalam rangka untuk membangun sistem jaminan sosial yang lebih bersifat sistemis dan inklusif. Legitimasi untuk
melakukan reformasi tersebut mendapatkan penguatan melalui amandemen UUD 1945 Pasal 28H ayat 3 (―Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat‖) dan Pasal 34 ayat 2 (―Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu
sesuai dengan martabat kemanusiaan‖). MPR juga telah menetapkan Ketetapan
MPR-RI No. X/MPR-RI/2001 yang mengamanatkan presiden membentuk sistem
jaminan sosial yang terpadu dan komprehensif.
Sebagai tindak lanjut terhadap amanat konstitusi tersebut, pemerintah
kemudian membentuk Tim Kerja Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) pada
Maret 2001 yang kemudian dilanjutkan dengan pembentukan Tim SJSN pada
April 2002 dengan tugas yang lebih luas, antara lain membuat RUU SJSN dan
melaporkannya kepada presiden. Setelah melalui proses perdebatan dan
tawar-menawar yang alot, UU 40/2004 tentang SJSN akhirnya disetujui. Substansi
jaminan sosial yang disetujui dalam UU SJSN mencakup jaminan kesehatan,
jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan
kematian. Sebelumnya, diusulkan pula tunjangan pengangguran namun usulan ini
Penetapan UU SJSN merupakan momen historis dalam sejarah kebijakan
sosial di Indonesia sekaligus merupakan langkah yang penting bagi tercapainya
cita-cita negara kesejahteraan di negeri ini. Selain mencakup bantuan yang lebih
luas dari skema-skema yang telah ada sebelumnya, SJSN juga bersifat universal.
Kini tidak hanya mereka yang bekerja di sektor tertentu saja yang dilindungi,
melainkan seluruh warga tanpa memandang profesi maupun penghasilannya. SJSN
menganut sistem asuransi sosial sehingga sumber pendanaannya berasal dari iuran
penerima manfaat dan pemberi kerja atau pemerintah (bagi PNS). Sedangkan bagi
mereka yang tidak mampu atau tidak mempunyai penghasilan, iurannya akan
dibayar oleh pemerintah.
SJSN memberikan jaminan rasa aman bagi seluruh warga sepanjang
hidupnya, dari sejak lahir sampai meninggal. Rasa aman itu terwujud karena
berbagai ancaman yang berisiko pada turunnya pendapatan, baik yang datang
secara tiba-tiba (sakit, kecelakaan) maupun alamiah (pensiun), dijamin tidak akan
memberikan pengaruh terhadap kualitas kesejahteraan. Melalui sistem asuransi,
SJSN juga akan berperan secara tidak langsung pada peningkatan kesejahteraan
rakyat dengan cara memobilisasi dana masyarakat untuk membentuk tabungan
nasional yang besar. Tabungan tersebut dapat diinvestasikan untuk menghasilkan
keuntungan. Dana yang ditempatkan di bank misalnya, diskenariokan dapat
menurunkan tingkat bunga sehingga mendorong investasi, dan investasi pada
gilirannya akan membuka perluasan lapangan kerja dan mengurangi jumlah
penduduk yang menerima bantuan iuran. Terbentuknya tabungan nasional yang
besar juga akan meningkatkan kemampuan keuangan negara untuk membiayai
program-program pembangunannya (Sulastomo, 2008: 30-31) sehingga negara
tidak perlu lagi berutang. Skenario semacam ini terbukti sukses di Malaysia
sehingga negara tersebut terhindarkan dari dampak yang parah dari krisis 1997.
Sementara di Jepang, akumulasi dana jaminan sosial digunakan pemerintah untuk
dipinjaman ke berbagai negara termasuk Indonesia. Bunga dari pinjaman tersebut
kemudian masuk ke dana jaminan sosial (Sulastomo, 2013: 6).
Sebagai lembaga yang berwenang untuk menjalankan dan mengelola SJSN,
dibentuk badan penyelenggara jaminan sosial (BPJS). Untuk itu, setelah melalui
24/2011 tentang BPJS. Di dalamnya, ditentukan bahwa penyelenggaraan jaminan
sosial nasional akan dijalankan oleh dua BPJS, yakni BPJS Ketenagakerjaan dan
BPJS Kesehatan. Untuk itu, dua BUMN, yaitu PT Askes dan PT Jamsostek, akan
bertransformasi menjadi BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan mulai 1
Januari 2014 dengan status badan hukum publik. BPJS Ketenagakerjaan akan
menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan
pensiun, dan jaminan kematian bagi pekerja selambatnya 1 Juli 2015. Adapun
BPJS Kesehatan bertugas menyelenggarakan jaminan kesehatan per 1 Januari 2014
dengan menerima pelimpahan peserta jaminan kesehatan dari Jamsostek,
TNI/Polri, PNS, Jamkesmas, dan Jamkesda. Selain melayani pekerja formal, BPJS
Kesehatan juga akan melayani pekerja informal dan penganggur. Bagi mereka
yang tidak mampu mengiur, pemerintahlah yang akan mengiuri. Pelaksanaannya
dilakukan secara bertahap hingga pada 2019 diharapkan sudah melayani seluruh
warganegara. Sementara itu, PT Taspen dan PT Asabri baru akan bertransformasi
dan bergabung ke dalam BPJS Ketenagakerjaan paling lambat pada 31 Desember
2029.
Buruh sebagai Agen Penting Negara Kesejahteraan
Lahirnya UU SJSN dan UU BPJS merupakan sinyal yang baik bagi
terwujudnya mimpi akan negara kesejahteraan sebagaimana diamanatkan para
pendiri bangsa dan konstitusi. Perjuangan lebih lanjut masih dibutuhkan untuk
mengawal agar UU tersebut benar-benar diimplementasikan secara efektif dan
konsekuen. Selain itu, perjuangan lanjutan juga perlu diarahkan kepada tujuan agar
manfaat-manfaat sosial lain yang belum tercakup dalam SJSN dapat dijamin oleh
undang-undang. Dalam upaya untuk mengonsolidasikan langkah-langkah yang
diperlukan menuju tercapainya negara kesejahteraan yang mapan dan otentik,
aktor-aktor kunci perlu untuk terus-menerus menguatkan diri dan menyuarakan
tuntutannya. Secara tradisional, salah satu aktor kunci yang dipercaya merupakan penggerak dari terciptanya formasi negara kesejahteraan adalah kaum buruh.
Kondisi buruh di Indonesia mengalami perkembangan yang menarik
akhir-akhir ini. Tegaknya rezim Reformasi pada 1998 merupakan titik balik dari
dan menindas gerakan buruh perlahan-lahan mulai dihentikan. Berbagai kebijakan
baru yang memberikan manfaat positif bagi buruh dikeluarkan pemerintah. Dua
tahun setelah Reformasi, dikeluarkan UU 21/2000 tentang Serikat Buruh/Pekerja.
Dengan peraturan tersebut, buruh dibebaskan untuk berorganisasi dan berserikat
tanpa ada lagi keharusan untuk bernaung di bawah satu serikat buruh tunggal,
yakni Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSPSI). Peraturan tersebut
direspons secara antusias oleh kalangan buruh. Terbukti, pada lima tahun setelah
krisis, total buruh yang bergabung ke dalam serikat diperkirakan telah mencapai
hampir 10 juta (meskipun perkiraan ini dianggap terlalu besar). Mereka
terdistribusi ke dalam 60 federasi, dengan 3 konfederasi yang paling besar
menampung sekitar 80 persen keanggotaan (Manning, 2010: 157).
Kemudian pada tahun 2003 dilahirkan UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
Sebagai sebuah aturan yang memuat secara cukup komprehensif hal-hal yang
terkait dengan ketenagakerjaan, UU ini memberikan manfaat positif sekaligus
negatif bagi buruh. Di satu sisi, peraturan ini menjadi terobosan besar dalam
sejarah kebijakan ketenagakerjaan Indonesia karena melaluinya buruh
mendapatkan perlindungan yang jauh lebih memadai dibandingkan era
sebelumnya. Standar keamanan dan kesejahteraan pekerja dinaikkan, misalnya
melalui berbagai klausul tentang upah minimum provinsi (UMP) pekerja
perempuan, prosedur dan kompensasi PHK, dan uang pesangon. Tetapi di sisi lain,
peraturan ini juga membawa kerugian bagi buruh karena di dalamnya terkandung
logika neoliberal melalui fleksibilisasi pasar kerja melalui introduksi kerja kontrak
dan alih daya (outsourcing). Dengan introduksi tersebut, banyak perusahaan yang
memberhentikan buruh dengan status tetap untuk kemudian direkrut dengan status
kontrak atau outsource demi menghindari kewajiban pesangon. Beberapa perusahaan kaya juga membayar pekerjanya di bawah jumlah yang seharusnya
dengan berlindung di balik ketentuan UMP (Habibi, 2009: 146).
Kombinasi antara UU 21/2000 dengan UU 13/2003 melemparkan buruh ke
dalam suatu paradoks. Kebebasan berserikat relatif dipenuhi namun kebebasan tersebut diiringi dengan fleksibilisasi pasar kerja. Dengan banyaknya buruh dengan
status kerja kontrak atau alih daya, ada kekhawatiran bahwa semangat dan
turun sebab tidak ada kepastian masa depan bagi mereka (Habibi, 2012: 53-54).
Namun demikian, menghadapi paradoks tersebut, buruh ternyata lebih lincah untuk
mengeskploitasi sisi-sisi positif dari atmosfer baru perburuhan pasca-Orba. Salah
satu hal mencolok yang mencirikan gerakan buruh dewasa ini adalah vitalitasnya
yang semakin subur dalam ranah pergerakan dan pengorganisasian. Buruh semakin
giat untuk membobilisasikan dirinya dalam aksi-aksi jalanan dan solidaritas. Pada
era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, gerakan buruh banyak mencatat
keberhasilan besar. Contoh yang mencolok terjadi pada bulan April sampai Mei
2006, ketika demontrasi besar-besaran dilakukan di Jakarta dan kota-kota lain
untuk menentang rencana pemerintah untuk merevisi UU 13/2003. Puncak protes
yang paling besar terjadi pada 1 Mei, yang dilaporkan diikuti oleh 100 ribu orang,
yang kemudian disusul dengan demo-demo lebih kecil setelahnya termasuk dengan
merusak properti publik di luar gedung parlemen. Merespons gerakan buruh yang
masif tersebut, Presiden akhirnya memutuskan untuk membatalkan rencana revisi UU 13/2003 (Manning, 2010: 161-163).
Aksi buruh yang membuahkan keberhasilan terus terjadi padatahun-tahun
berikutnya. Tahun 2012 lalu merupakan tahun yang penuh dengan unjuk kekuatan
buruh besar-besaran. Habibi mendokumentasikan beberapa peristiwa besar yang
terjadi pada tahun itu. Pada tanggal 10 dan 27 Januari, aksi tutup tol terjadi di
Serang dan Bekasi dengan melibatkan ribuan buruh yang menuntut kenaikan upah.
Pada peringatan Mayday, 80.000-an buruh berdemonstrasi di Ibu Kota. Pada hari itu juga, Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) dideklarasikan, yang menandai
bersatunya tiga konfederasi terbesar. Pada bulan Maret-April, buruh melawan
yang berefek pada dibatalkannya rencana kenaikan. Pada 3 Oktober 2012,
dilangsungkan mogok nasional di 80 kawasan industri yang melibatkan 754
perusahaan di 12 provinsi dan 37 kabupaten/kota. Inilah mogok terbesar di
Indonesia setelah masa Soekarno. Ada pula gerakan populer yang disebut dengan
―grebek pabrik‖ pada Mei hingga November 2012 di Bekasi (Habibi, 2013: 21-23).
Selain isu-isu normatif di seputar kenaikan upah minimum, fasilitas kerja, dan penghapusan praktik kerja kontrak/alih daya, gerakan buruh di era Reformasi
juga memberikan perhatian yang cukup serius terhadap SJSN. Perhatian buruh
aktivis perburuhan bersama-sama dengan elemen lain (buruh, nelayan,
mahasiswa,perempuan) membentuk Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS). Hingga
pertengahan 2011, KAJS telah terdiri dari 67 anggota kelompok sebagai anggota
presidium. Ketika mendapati bahwa pemerintah tidak kunjung mengundangkan
UU BPJS sebagai amanat UU SJSN, KAJS cukup aktif memberikan tekanan
kepada pemerintah melalui aksi-aksi seperti somasi kepada presiden pada Mei
2010, gugatan warga (class action) ke pengadilan pada Juni 2010 (yang akhirnya
dimenangkan oleh KAJS melalui keputusan pengadilan tanggal 13 Juli 2011), dan
rangkaian demonstrasi. Kemudian ketika RUU BPJS yang merupakan inisiatif
DPR digulirkan di parlemen pada pertengahan 2010, KAJS menggerakkan ―Mimbar Rakyat Jaminan Sosial‖ yang secara rutin mengadakan roadshow untuk membangun kesadaran publik akan pentingnya pengawasan terhadap proses yang
sedang berlangsung di parlemen (Wisnu, 2012: 136-139). Segala aksi tersebut dan
tekanan tersebut merupakan salah satu faktor di balik suksesnya pengesahan UU
BPJS pada 28 Oktober 201. Sampai saat ini, KAJS masih aktif melakukan
advokasi, yakni dengan mengawal perumusan peraturan-peraturan pelaksanaan
yang terkait dengan SJSN dan BPJS.2 Misalnya, baru-baru ini mereka menggugat
2
keputusan pemerintah mengenai besaran iuran yang diberikan untuk penerima
bantuan iuran (PBI) sebesar Rp 19.225 per orang per bulan untuk 86,4 juta
penerima. KAJS menuntut agar jumlah PBI diperbanyak dan agar nominal bantuan iuran dinaikkan menjadi Rp 22.500 (―Jamsostek dan Askes agar Kompak‖, 2013: 20).
Perluasan Basis Dukungan sebagai Kunci
Kita telah melihat bahwa buruh telah bertransformasi di era Reformasi,
terutama sejak tiga tahun terakhir, menjadi elemen sosial yang menampakkan
kekuatan serta pengaruh yang cukup kuat. Mereka juga terbukti mempunyai
komitmen yang tinggi untuk merintis berdirinya negara kesejahteraan di Indonesia.
Namun demikian, jalan masih panjang dan tantangan yang dihadapi masih banyak.
Terdapat setidaknya dua tugas utama yang masih harus dikerjakan agar bangunan
negara kesejahteraan Indonesia di masa depan benar-benar bersifat universal dan
egaliter. Pertama, memastikan bahwa SJSN dapat diberlakukan secara efektif dan
konsekuen. Ini merupakan hal yang vital karena beberapa peraturan pelaksanaan
masih banyak yang belum dibuat. Apabila tidak dikawal dengan ketat, ada bahaya
bahwa peraturan pelaksanaan tersebut dapat diselundupi ketentuan yang
menyimpang dari semangat dan tujuan dasar SJSN. Saat ini saja, ada beberapa
peraturan pelaksanaan yang dinilai mengkhianati rumusan awal. Perpres 12/2013
dan PP 101/2012 mengatur BPJS sebagai badan hukum biasa, padahal menurut
ketentuan seharusnya berbentuk badan hukum publik (Nashrillah, 2013). Selain
itu, apabila seluruh peraturan pelaksanaan telah dibuat dan implementasi mulai
dilakukan, pengawalan lebih lanjut juga harus dilakukan untuk memastikan agar
pelayanan BPJS dilakukan dengan memuaskan dan didukung oleh tata kelola yang
baik. Tidak boleh ada diskriminasi dalam pemberlakuannya, misalnya rumah sakit
yang menolak mengobati pasien miskin. Penyiapan fasilitas dan infrastruktur
seperti keberadaan rumah sakit dan tenaga medis yang merata juga harus dipastikan.
Kedua, agar negara kesejahteraan Indonesia benar-benar memiliki karakter
yang komprehensif, perlu dilakukan perluasan manfaat-manfaat sosial yang belum
tercakup dalam skema SJSN. Masih ada beberapa kebutuhan sosial yang biasanya
disediakan oleh negara kesejahteraan universal atau korporatis, namun tidak
diakomodasi dalam rancangan negara kesejahteraan Indonesia sebagaimana
termuat dalam UU SJSN. Salah satu kebutuhan sosial yang paling mendesak untuk
disediakan oleh negara bagi warganya yang membutuhkan adalah rumah. Saat ini,
terdapat 15 juta kekurangan rumah (backlog) di Indonesia dan setiap tahun
kebutuhannya bertambah 800 ribu, sementara pasokan dari pengembang hanya 200
ribu (Grahadyarini, 2013: 17). Hal ini terjadi karena banyak warga miskin yang
tidak dapat membeli rumah, terlebih di tengah uang muka rumah yang mahal
(meskipun telah disubsidi) dan kenaikan harga lahan yang semakin membumbung.
Untuk mengakomodasi kebutuhan akan rumah dan lain-lain yang belum tercakup
SJSN, terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan. Salah satunya dengan merevisi
UU SJSN dan UU BPJS. Namun jika hal ini dirasa terlalu rumit dan memakan
waktu, terdapat celah yang dapat dimanfaatkan, yakni dengan memanfaatkan
kewenangan pemerintah daerah. Dalam UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 22 ayat 1 huruf h disebutkan, ―Pemda wajib mengembangkan sistem jaminan sosial.‖ Menurut Thabrany, kata ―jaminan sosial‖ dalam UU 32/2004 tersebut bersifat umum dan berbeda dengan makna yang dirumuskan oleh UU SJSN yang
bersifat lex specialis. Maka, dapat ditafsirkan bahwa jaminan sosial yang wajib diselenggarakan oleh pemerintah daerah adalah jenis jaminan sosial yang belum
diakomodasi dalam UU SJSN, misalnya pengurusan anak terlantar, lansia,
pengangguran, gelandangan, korban bencana alam, dan sebagainya (Thabrany,
2009: 114).
Untuk mengerjakan langkah-langkah lanjutan yang diperlukan demi
terwujudnya negara kesejahteraan Indonesia yang universal dan adil, kaum buruh
tidak dapat bekerja sendirian. Terdapat beberapa alasan objektif untuk menyatakan
bahwa kelompok buruh, meskipun merupakan kekuatan yang penting, tidaklah
mencukupi dan niscaya untuk memastikan agar negara mau membentuk negara
kesejahteraan. Pertama, tesis bahwa buruh merupakan motor pendorong utama
Dengan melihat sejarah negara-negara kesejahteraan di Eropa selama satu abad
(1875-1975), Baldwin menyimpulkan bahwa pembentukan negara kesejahteraan
adalah hasil dari tarik-menarik di antara kelompok-kelompok dengan kepentingan
berbeda. Ini artinya, kemunculan negara kesejahteraan tidak bisa dibaca secara
sederhana dan seragam sebagai hasil dari kemenangan buruh industrial sebagai
kaum yang tersisih dalam hierarki sosial terhadap kelas menengah dan elite yang
dirugikan oleh redistribusi keuntungan. Memang tekanan dari kelompok-kelompok
marjinal memegang peranan penting, namun siapa yang duduk di dalam posisi
tersebut bervariasi dalam hal tempat (negara) dan waktu, jadi tidak mesti buruh.
Selain itu, tekanan dari bawah juga tidaklah cukup. Dibutuhkan dukungan dari atas
untuk membentuk dan menentukan arah negara kesejahteraan suatu negara.
Pembentukan negara kesejahteraan di Britania dan Skandinavia misalnya, hanya
mungkin teradi karena kelas menengah dan pengusaha ikut bergabung ke dalam
proposal negara kesejahteraan setelah mereka menyadari manfaat-manfaat yang dapat diperoleh darinya (Baldwin, 1990: 289-292).
Kedua, buruh sesungguhnya merupakan kelompok elite dalam totalitas
kekuatan sosial di negeri ini. Data tahun 2012 menunjukkan, jumlah buruh di
Indonesia hanya mencakup 38,13 persen dari total tenaga kerja, naik sedikit dari
sebesar 35,52 persen pada tahun 2010 dan 37,7 persen pada tahun 2011 (Achidsti,
2013: 7). Buruh menduduki posisi elite karena pasca krisis, Indonesia mengalami
perubahan struktur ketenagakerjaan yang cukup drastis. Pekerja yang pada masa
krisis keluar dari desa untuk bekerja di sektor manufaktur dan jasa di kota setelah
krisis justru kembali ke sektor-sektor dengan produktivitas rendah seperti
agrikultur, transportasi, konstruksi, dan sektor informal. Pertumbuhan lapangan
kerja di sektor manufaktur modern berjalan lambat, yang salah satunya juga
disebabkan akibat beberapa kebijakan restriktif dalam kaitannya dengan upah
minimum dan pesangon yang memberatkan pengusaha (Manning, 2010: 165-169).
Dalam kerangka ini, cerita tentang keberhasilan dan naiknya pengaruh buruh di
masa Reformasi sesungguhnya merupakan keberhasilan yang semu. Strategi turun
ke jalan merupakan simptom dari macetnya institusi-institusi buruh konvensional
kelompok kepentingan yang solid dan terpusat, melainkan lebih terbentuk sebagai
jaringan longgar dan terdesentralisir yang berkumpul demi klaim-klaim partikular
(Juliawan, 2011: 367-368). Gerakan buruh dengan karakter semacam ini tentu
tidak berkelanjutan dan rentan untuk dihiraukan oleh negara, terutama apabila
tuntutannya dirasakan sudah melampaui batas, seperti yang terjadi pada kegagalan
gerakan buruh tahun ini untuk menolak kenaikan harga BBM atau menuntut
kenaikan upah minimum sebesar 50 persen di Jakarta.
Maka apa yang diperlukan untuk menjamin hadirnya negara kesejahteraan
Indonesia yang universal dan komprehensif di masa depan adalah dengan
meluaskan basis dukungan atas tuntutan negara kesejahteraan. Kelompok buruh harus berkoalisi dengan kelompok-kelompok lain yang berkepentingan terhadap
tegaknya negara kesejahteraan, seperti petani, organisasi masyarakat sipil, kelas
menengah, partai politik, dan bahkan pengusaha. Apa yang telah dilakukan KAJS
merupakan contoh yang baik dari aliansi lintas kelompok, namun itu masih perlu
diperluas dan diramifikasi agar kekuatannya semakin besar. Proses tersebut tentu
bukanlah pekerjaan yang mudah. Selama ini, aliansi buruh dengan
kelompok-kelompok kelas menengah hanya terbatas dengan sebagian kecil ornop
dan aktivis mahasiswa. Secara umum, masyarakat sipil di Indonesia juga ditandai
oleh keterpecahan dan ketakteraturan (Hadiz, 2009: 39-41, 52).
Untuk mengikat kelompok-kelompok yang selama ini terpisah,
elemen-elemen paling progresif dalam masyarakat perlu merekayasa apa yang
disebut teoretisi gerakan sosial kontemporer Laclau dan Mouffe sebagai rantai
ekuivalensi (chain of equivalence). Dalam pembentukan rantai ekuivalensi,
totalitas sosial diorganisir ke dalam blok-blok yang saling bertentangan. Dalam
diskursus mengenai negara kesejahteraan, blok-blok itu adalah mereka yang pro
akan gagasan negara kesejahteraan dan mereka yang kontra terhadapnya. Untuk
memenangkan tuntutannya, rantai ekuivalensi dari pihak pendukung haruslah
terdiri atas sebanyak mungkin elemen (disebut dengan posisi subjek) yang
disatukan dan dipimpin oleh artikulasi hegemonik yang terbentuk melalui universalisasi dari tuntutan partikular. Untuk itu, sebuah kelompok pelopor, yang
lainnya mengenai kesamaan kepentingan yang dapat mereka perjuangkan (Smith,
1998: 87-90). Untuk mewujudkan hal ini secara nyata, kerja-kerja taktis dan
strategis yang konkret perlu segera dilakukan. Misalnya, para pendukung negara
kesejahteraan perlu masuk ke dalam partai politik, dan petani perlu diberikan
pendidikan dan sosialisasi mengenai manfaat negara kesejahteraan. Demikian pula
pengusaha perlu disadarkan mengenai manfaat tersebut, misalnya dengan
berargumen bahwa terjaminnya kesejahteraan dan keamanan pekerja akan
meningkatkan produktivitas sehingga dalam jangka panjang keuntungan akan
meningkat.
Kesimpulan
Sebagai sebuah sistem ekonomi yang diaspirasikan dan dicitakan sebagai
modus pengelolaan dan operasionalisasi kehidupan ekonomi yang khas Indonesia,
ekonomi Pancasila memuat imperatif untuk menjalanan amanat yang terkandung
dalam konstitusi dan asa para pendiri bangsa. Selain memberdayakan dan
mengembangkan tumbuh kembangnya koperasi sebagai sokoguru perekonomian
rakyat, gagasan ekonomi Pancasila juga berselaras dengan ikhtiar pembentukan negara kesejahteraan di negeri ini.
Langkah awal menuju tercapainya negara kesejahteraan Indonesia
mendapatkan momen berharganya ketika dua UU penting telah disahkan
pemerintah, yakni UU SJSN dan UU BPJS. Melalui kedua UU ini, sistem jaminan
sosial lama yang terbatas dan parsial ditransformasikan ke dalam sebuah kerangka
nasional yang bersifat sistemik dengan derajat inklusivitas yang lebih tinggi.
Manfaat yang lebih lengkap, cakupan kepesertaan yang lebih luas, penubuhan
terhadap prinsip-prinsip solidaritas, keadilan, dan kesetaraan, serta potensinya
yang tinggi untuk meningkatkan sumber daya nasional merupakan
manfaat-manfaat positif dari diberlakukannya SJSN.
Terbitnya UU SJSN dan UU BPJS baru merupakan langkah awal. Masih
banyak hal yang harus diselesaikan sebelum Indonesia benar-benar dapat
mengklaim dirinya sebagai negara kesejahteraan. Beberapa pekerjaan rumah
paling penting adalah membuat peraturan pelaksanaan yang tidak menyimpang
efektif, dan menyediakan manfaat sosial lain yang belum tercakup di dalam SJSN.
Untuk itu, tekanan dan pengawasan yang kuat dari segenap elemen masyarakat
yang pro dengan gagasan negara kesejahteraan perlu dilakukan. Meskipun buruh
merupakan pihak yang penting sekaligus berkepentingan terhadap tujuan-tujuan
tersebut, namun koalisi yang lebih luas dengan elemen-elemen lain untuk
menjamin hadirnya kekuatan besar yang didengar oleh pengambil keputusan.
Penyamaan persepsi, strategi hegemoni diskursus, dan penyambungan rantai
ekuivalensi merupakan langkah-langkah praktis yang dapat dilakukan untuk
meluaskan basis dukungan demi terbentuknya negara kesejahteraan.
Daftar Pustaka
Achidsti, S.A. (2013) Demo Buruh: Isu Elitis Perjuangan Massa. Kongres, Mei, hal. 6-8.
Baldwin, P. (1990) The Politics of Social Solidarity: Class Bases of the European Welfare State 1975-1975. Cambridge, New York, Melbourne, & Madrid: Cambridge University Press.
Candra, A. (2010) Dinamika Penyusunan Undang-Undang No. 40 Tahun 2002 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Yogyakarta: Gava Media dan Jurusan Manajemen & Kebijakan Publik FISIPOL – UGM.
Esping-Andersen, G. (1990) The Three Worlds of Welfare Capitalism. Cambridge: Polity Press.
Grahadyarini, B.M.L. (2013) Kepedulian BUMN. Kompas, 24 Juli, hal. 17.
Habibi, M. (2009) Gemuruh Buruh di Tengah Pusaran Neoliberalisme: Pengadopsian Kebijakan Perburuhan Neoliberal Pasca Orde Baru. Yogyakarta: Gava Media dan Jurusan Ilmu Administrasi Negara FISIPOL-UGM.
_________. (2012) Buruh dan Transformasi Agraria Indonesia. Basis, No. 05-06, Tahun ke-61, hal. 51-9.
_________. (2013) Politik Jalanan dan Pembentukan Kelas Buruh. Basis, No. 05-06, Tahun ke-62, hal. 20-5.
Hadiz, V.R. (2005) Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto. Jakarta: LP3ES.
Hatta, M. (1977) Penjabaran Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta: Mutiara.
Juliawan, B.H. (2011) Street-level Politics: Labour Protests in Post-authoritarian Indonesia. Journal of Contemporary Asia, 41 (3) August, pp. 349-70.
Latif, Y. (2011) Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Manning, C. (2010) The Political Economy of Reform: Labour after Soeharto. In: Edward Aspinall, E. & Fealy, G. eds. Soeharto’s New Order and its Legacy: Essays in Honour of Harold Crouch. Canberra: ANU E Press, pp. 151-72. Monoarfa, S. (2002) Semestinya Hatta Menang. Dalam: Bagun, R. ed. Seratus
Tahun Bung Hatta. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, hal. 281-92.
Mubyarto. (1980) Ilmu Ekonomi, Ilmu Sosial dan Keadilan: Analisa Trans-Disiplin Dalam Rangka Mendalami Sistem Ekonomi Pancasila. Jakarta: Yayasan Agro Ekonomika.
________ & Boediono. (1981) Ekonomi Pancasila. Dalam Mubyarto & Boediono. Eds. Ekonomi Pancasila. Yogyakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, hal. 1-20.
________. (1981) Keadilan Sosial dalam Ekonomi Pancasila. Dalam: Mubyarto & Boediono. eds. Ekonomi Pancasila. Yogyakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, hal. 141-48.
Nashrillah, F. (2013) BPJS Tak Sesuai, Buruh Ancam Mogok [Internet]. Tersedia di: <http://m.tempo.co/read/news/2013/08/14/090504295> [Diakses 17 Agustus 2013].
Nasution, A.B. (2002) Jejak Pemikiran Hatta dalam UUD 1945. Dalam: Bagun, R. ed. Seratus Tahun Bung Hatta. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, hal. 205-16.
Peng, I. (2009) Pendalaman Demokrasi dan Perluasan Sistem Kesejahteraan Sosial di Asia Timur: Refleksi bagi Indonesia dan Negara Berkembang Lain di Asia Tenggara. Dalam: Triwibowo, D. & Subono, N.I. eds. Meretas Arah Kebijakan Sosial Baru Di Indonesia: Lebih dari Sekadar Pengurangan Kemiskinan. Jakarta: LP3ES dan Perkumpulan Prakarsa, hal. 39-83.
Pestieau, P. (2006) The Welfare State in the European Union: Economic and Social Perspectives. New York: Oxford University Press.
Rahardjo, D. (2002) Apa Kabar Koperasi Indonesia. Dalam: Bagun, R. ed. Seratus Tahun Bung Hatta. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, hal. 293-303.
Raper, M. (2008) Negara Tanpa Jaminan Sosial: Tiga Pilar Jaminan Sosial di Australia dan Indonesia. Jakarta: Trade Union Rights Centre.
Sjahrir. (2002) Ideologi Hatta: Ideal, Tapi Masih Relevankah Itu? Dalam: Bagun, R. ed. Seratus Tahun Bung Hatta. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, hal. 244-56.
Smith, A.M. (1998) Laclau and Mouffe: The Radical Democratic Imaginary. London & New York: Routledge.
Soemitro, R. (1991) Pengantar Ekonomi dan Ekonomi Pancasila. Bandung: PT Eresco.
Sulastomo. (2008) Sistem Jaminan Sosial Nasional: Sebuah Introduksi. Jakarta: Rajawali Pers.
________. (2013) SJSN, ―Mesin Pembangunan‖. Kompas, 13 Desember 2013, hal. 6.
Thabrany, Hasbullah. (2009) Sudah Tiba Waktunya: Urgensi, Konseptualisasi, dan Operasionalisasi Jaminan Kesehatan Universal di Kota dan Kabupaten di Seluruh Indonesia. Dalam Triwibowo, D. & Subono, N.I. eds. Meretas Arah Kebijakan Sosial Baru Di Indonesia: Lebih dari Sekadar Pengurangan Kemiskinan. Jakarta: LP3ES dan Perkumpulan Prakarsa, hal. 99-127. _________________. (2013) Jaminan Kesehatan Terancam. Kompa s, 23 Agustus,
hal. 6.
Triwibowo, D. & Bahagijo, S. (2006) Mimpi Negara Kesejahteraan. Jakarta: LP3ES dan Perkumpulan Prakarsa.
____________. & Subono, N.I. (2009) Mengarusutamakan Reformasi Kebijakan Sosial: Tantangan Konsolidasi Demokrasi Indonesia. Dalam: Triwibowo, D. & Subono, N.I. eds. Meretas Arah Kebijakan Sosial Baru Di Indonesia: Lebih dari Sekadar Pengurangan Kemiskina n. Jakarta: LP3ES dan Perkumpulan Prakarsa, hal. 3-35.