• Tidak ada hasil yang ditemukan

PL5202 Kelembagaan dan Pembiayaan. pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PL5202 Kelembagaan dan Pembiayaan. pdf"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1 PL5202 Kelembagaan dan Pembiayaan

MODEL KELEMBAGAAN KERJASAMA PENGEMBANGAN

DAN PENGELOLAAN PARIWISATA METROPOLITAN

CIREBON RAYA

Muhammad Ikhwan [25415024], Gunawan [25415033], Inda Wulandari [25415081]

Magister Perencanaan Wilayah dan Kota, Program Studi Perencanaan Kota, SAPPK, ITB

1.

PENDAHULUAN

Perkembangan kota/wilayah menjadi kawasan metropolitan tentunya selain menjadi suatu potensi, muncul juga permasalahan perkotaan yang semakin kompleks. Kota-kota yang tumbuh dan berkembang dengan jumlah penduduk yang semakin besar dan wilayah yang makin luas tentunya membutuhkan layanan yang semakin besar dan jangkauan yang luas. Hal ini kemudian menjadi permasalahan karena kota memiliki keterbatasan sumber daya dalam menyediakan layanan bagi kebutuhan penduduk di kawasan metropolitan. Maka muncul berbagai persoalan perkotaan metropolitan seperti akses terhadap air bersih, ekonomi informal, permasalahan kualitas lingkungan, sanitasi yang buruk pada kawasan permukiman kumuh dan liar. Dalam menyelesaikan permasalahan ini tidak dapat dilakukan sendiri oleh kota/wilayah masing-masing, karena permasalahan yang muncul adalah permasalahan lintas wilayah administrasi.

(2)

2

2.

MODEL KERJASAMA KELEMBAGAAN

Model kerjasama kelembagaan akan dijelaskan sesuai dengan teori kerjasama yang ada ke dalam dua bagian, yaitu sebagai berikut.

2.1 Bentuk Kelembagaan Ideal Kawasan Metropolitan

Bentuk kelembagaan kawasan metropolitan pada umumnya sama dengan bentuk kelembagaan kerjasama antar daerah pada suatu kawasan tertentu. Dalam pembentukannya, terdapat beberapa indikator-indikator yang digunakan. Indikator pembanding kondisi ideal kelembagaan metropolitan untuk menentukan model kelembagaan seharusnya juga memperhatikan beberapa kriteria umum, yakni (Ari, 2006:45-48):

a. Institutional commitment (komitmen lembaga), yaitu tanggung jawab lembaga sebagai sebuah badan publik untuk menjalankan fungsinya dengan baik. Adanya struktur pertanggung jawaban dan sistem akuntabilitas yang jelas merupakan salah satu indikator untuk menilai kriteria ini dapat berjalan dengan baik.

b. Capability (kapabilitas lembaga), yaitu kemampuan lembaga dalam mengatasi persoalan yang timbul serta kemampuan seluruh pihak penyelenggara dalam memahami dan berusaha menyelesaikan persoalan yang dihadapi tersebut. Capability dapat diukur melalui keefektifan dan keefisienan dari setiap pelaksanaan tugas lembaga.

c. Koordinatif, yaitu lembaga harus bisa merumuskan persoalan-persoalan yang ada secara baik, menentukan prioritas dan mensinergikan penyelesaiannya, sehingga tidak terjadi tumpang tindih. Koordinasi lembaga ini dapat diukur melalui indikator pembagian tugas dan wewenang yang jelas.

d. Accessibility (aksesibilitas lembaga), yaitu lembaga yang ada harus dapat diakses dengan mudah oleh semua pihak yang berkepentingan terhadap persoalan yang dihadapi. Dalam hal penyediaan public service, lembaga tersebut juga harus dapat mengakomodasi setiap kepentingan masyarakat untuk memperoleh pelayanan publik.

e. Authority (otoritas lembaga), yaitu wewenang untuk melakukan dan menentukan kebijakan. Dalam pelaksanaan di lapangan, wewenang yang diberikan harus jelas. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari penyelesaian yang sia-sia di dalam mewujudkan suatu alternatif yang ternyata tidak dapat diwujudkan.

2.2 Model Kerjasama

(3)

3

a. Handshake Agreement. yang dicirikan oleh tidak adanya dokumen perjanjian kerjasama yang formal. Kerjasama model ini didasarkan pada komitmen dan kepercayaan secara politis antar daerah yang terkait. Biasanya, bentuk kerjasama seperti ini dapat berjalan pada daerah-daerah yang secara historis memang sudah sering bekerja sama dalam berbagai bidang. Bentuk kerjasama ini cukup efisien dan lebih fleksibel dalam pelaksanaannya karena tidak ada kewajiban yang mengikat bagi masing-masing pemerintah daerah. Meski begitu, kelemahan model ini adalah potensi munculnya kesalah-pahaman, terutama pada masalah-masalah teknis, dan sustainibility kerja sama yang rendah, terutama apabila terjadi pergantian kepemimpinan daerah. Oleh karena itu, bentuk kerjasama ini sangat jarang ditemukan pada isu-isu strategis.

b. Fee for service contracts (service agreements). Sistem ini, pada dasarnya adalah satu daerah “menjual” satu bentuk pelayanan publik pada daerah lain. Misalnya air bersih, listrik, dan sebagainya, dengan sistem kompensasi (harga) dan jangka waktu yang disepakati bersama. Keunggulan sistem ini adalah bisa diwujudkan dalam waktu yang relatif cepat. Selain itu, daerah yang menjadi “pembeli” tidak perlu mengeluarkan biaya awal (start-up cost ) dalam penyediaan pelayanan. Akan tetapi, biasanya cukup sulit untuk menentukan harga yang disepakati kedua daerah.

c. Joint Agreements (pengusahaan bersama) Model ini, pada dasarnya mensyaratkan adanya partisipasi atau keterlibatan dari daerah-daerah yang terlibat dalam penyediaan atau pengelolaan pelayanan publik. Pemerintah-pemerintah daerah berbagi kepemilikan kontrol, dan tanggung jawab terhadap program. Sistem ini biasanya tidak memerlukan perubahan struktur kepemerintahan daerah (menggunakan struktur yang sudah ada). Kelemahannya, dokumen perjanjian (agreement) yang dihasilkan biasanya sangat rumit dan kompleks karena harus mengakomodasi sistem birokrasi dari pemda-pemda yang bersangkutan.

d. Jointly-formed authorities (Pembentukan otoritas bersama). Di Indonesia, sistem ini lebih populer dengan sebutan Sekretariat Bersama. Pemda-pemda yang bersangkutan setuju untuk mendelegasikan kendali, pengelolaan dan tanggung jawab terhadap satu badan yang dibentuk bersama dan biasanya terdiri dari perwakilan dari pemda-pemda yang terkait. Badan ini bisa juga diisi oleh kaum profesional yang dikontrak bersama oleh pemda-pemda yang bersangkutan. Badan ini memiliki kewenangan yang cukup untuk mengeksekusi kebijakan-kebijakan yang terkait dengan bidang pelayanan publik yang diurusnya, termasuk biasanya otonom secara politis. Kelemahannya, pemda-pemda memiliki kontrol yang lemah terhadap bidang yang diurus oleh badan tersebut.

(4)

4

3.

MODEL KERJASAMA KELEMBAGAAN METROPOLITAN CIREBON

RAYA

Metropolitan Cirebon Raya sebagai suatu kawasan metropolitan baru dengan berbagai sektor unggulan sebagai basisnya, membutuhkan adanya suatu kerjasam antar pemerintah maupun pemerintah dengan pihak swasta dan masyarakat. Sektor pariwisata merupakan salah satu tema pengembangan utama pada kawasan Metropolitan Cirebon Raya sehingga perlu mendapatkan perhatian dalam pengelolaannya. Mertopolitan Cirebon Raya memiliki potensi yang sangat besar pada sektor pariwisata, khususnya pariwisata budaya dan sejarah. Hal ini dikarenakan banyaknya situs serta benda-benda dan budaya peninggalan masa lalu yang masih cukup dilestarikan hingga saat ini.

Dalam pengembangan sektor pariwisata di Metropolitan Cirebon Raya, pemerintah tidak berjalan sendiri karena adanya suatu lembaga, dapat disebut sebagai lembaga adat, yakni pihak keraton yang turut mengelola berbagai objek wisata di Metropolitan Cirebon Raya. Selain itu, terdapat berbagai keterlibatan oleh pihak-pihak lain, seperti pihak swasta, lembaga non-pemerintahan, lembaga swadaya masyarakat, maupun masyarkat secara individu ataupun komunitas yang berbau pariwisata. Oleh karena itu, akan dilakukan analisa terhadap kemungkinan bentuk kelembagaan kerjasama pariwisata di Metropolitan Cirebon Raya melalui analisis stakeholder. Diharapkan dengan analisis ini, dapat memberikan bentuk model kerjasama pariwisata yang tepat untuk pengembangan kawasan Metropolitan Cirebon Raya pada sektor pariwisata.

3.1 Kajian Model Kerjasama

Kajian model kerjasama dilakukan dengan analisis stakeholder dengan mencoba memetakan aktor-aktor yang terlibat serta besaran pengaruhnya terhadap sektor pariwisata di kawasan Metropolitan Cirebon Raya.

Prinsip-prinsip Kerjasama

(5)

5

Menurut Pamudji (1985), dalam kerangka kerjasama antardaerah ini harus dihindarkan gejala egoisme regional dalam proses-proses penetapan bidangbidang yang dikerjasamakan. Kesepakatan atas prinsip-prinsip kerjasama yang saling menguntungkan, kesepakatan objek yang dikerjasamakan, serta cara penanganannya, susunan organisasi dan personalia dari masing-masing pihak yang dilibatkan sebagai penangung jawab dalam proyek, kesepatan tentang biaya, serta jangka waktu kerjasama sudah harus tertuang dalam peraturan bersama yang disetujui masing-masing pihak. Secara teoritis, kerjasama dapat dipahami sebagai berikut.

Interaksi Kerjasama Antardaerah

Interaksi antara A dan B A

Rugi Tidak rugi/untung Untung

B

Rugi Konflik Ketidak-adilan Ketidak-adilan Tidak rugi/untung Ketidak-adilan Harmoni Ketidak-adilan Untung Ketidak-adilan Ketidak-adilan Kerjasama Sumber : Tarigan, 2009

Selain beberapa prinsip di atas, agar berhasil melaksanakan kerjasama tersebut dibutuhkan beberapa pendekatan prinsip, yaitu prinsip Umum “good governance” (lihat Edralin, 1997), Prinsip Khusus, dan Prinsip Kerjasama Pembangunan Perkotaan yang dapat dilihat pada tabel berikut.

Prinsip Kerjasama Prinsip Umum

(Good Governance) Prinsip Khusus KAD

Prinsip Kerjasama Pembangunan Perkotaan

 Transparansi. Pemerintahan Daerah yang telah bersepakat untuk melakukan kerjasama harus transparan dalam memberikan berbagai data dan informasi yang dibutuhkan dalam rangka kerjasama tersebut, tanpa ditutup-tutup.

 Akuntabilitas. Pemerintah Daerah yang telah bersepakat untuk melakukan kerjasama harus bersedia untuk mempertanggungjawabkan, menyajikan, melaporkan, dan mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang terkait dengan kegiatan kerjasama, termasuk kepada DPRD sebagai wakil rakyat, atau kepada para pengguna pelayanan publik.

 Partisipatif. Dalam lingkup kerjasama antar Pemerintah Daerah, prinsip partisipasi harus digunakan dalam bentuk konsultasi, dialog, dan negosiasi dalam menentukan tujuan yang harus dicapai, cara mencapainya dan mengukur kinerjanya, termasuk cara membagi kompensasi dan risiko.

 Efisiensi. Dalam melaksanakan kerjasama antar Pemerintah Daerah ini harus dipertimbangkan nilai efisiensi yaitu bagaimana menekan biaya untuk

Kerjasama tersebut harus dibangun untuk kepentingan umum dan kepentingan yang lebih luas  Keterikatan yang

dijalin dalam pihak yang terlibat Harus ada keterikatan

masing-masing pihak terhadap perjanjian yang telah disepakati Harus tertib dalam

pelaksanaan

efisiensi, yaitu upaya pemerintah daerah melalui kerja sama untuk menekan biaya guna memperoleh suatu hasil tertentu atau

menggunakan biaya yang sama tetapi dapat mencapai hasil yang maksimal;

efektivitas, yaitu upaya pemerintah daerah melalui kerja sama untuk mendorong pemanfaatan sumber daya para pihak secara optimal dan bertanggungjawab untuk

kesejahteraan masyarakat;

sinergi, yaitu upaya untuk terwujudnya harmoni antara pemerintah, masyarakat dan swasta untuk melakukan kerja sama demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat;

saling menguntungkan, yaitu pelaksanaan kerja sama harus dapat memberikan keuntungan bagi masing-masing pihak dan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat;

(6)

6 Prinsip Umum

(Good Governance) Prinsip Khusus KAD

Prinsip Kerjasama Pembangunan Perkotaan

memperoleh suatu hasil tertentu, atau bagaimana menggunakan biaya yang sama tetapi dapat mencapai hasil yang lebih tinggi.

 Efektivitas. Dalam melaksanakan kerjasama antar Pemerintah Daerah ini harus dipertimbangkan nilai efektivitas yaitu selalu mengukur keberhasilan dengan membandingkan target atau tujuan yang telah ditetapkan dalam kerjasama dengan hasil yang nyata diperoleh.

 Konsensus. Dalam melaksanakan kerjasama tersebut harus dicari titik temu agar masing-masing pihak yang terlibat dalam kerjasama tersebut dapat menyetujui suatu keputusan. Atau dengan kata lain, keputusan yang sepihak tidak dapat diterima dalam kerjasama tersebut.

 Saling menguntungkan dan memajukan. Dalam kerjasama antar Pemerintah Daerah harus dipegang teguh prinsip saling menguntungkan dan saling menghargai. Prinsip ini harus menjadi pegangan dalam setiap keputusan dan mekanisme kerjasama.

Kerjasama harus

itikad baik, yaitu kemauan para pihak untuk secara sungguh-sungguh melaksanakan kerja sama;

mengutamakan kepentingan nasional dan keutuhan wilayah negara republik indonesia, yaitu seluruh pelaksanaan kerja sama daerah harus dapat memberikan dampak positif terhadap upaya mewujudkan kemakmuran, kesejahteraan masyarakat dan memperkokoh negara kesatuan republik indonesia;

persamaan kedudukan, yaitu persamaan dalam kesederajatan dan kedudukan hukum bagi para pihak yang melakukan kerja sama daerah;

transparan, yaitu proses keterbukaan dalam kerja sama daerah;

keadilan, yaitu adanya persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan para pihak dalam melaksanakan kerja sama daerah.

kepastian hukum, yaitu kerja sama yang dilakukan dapat mengikat secara hukum bagi para pihak yang melakukan kerja sama daerah.

Dari beberapa teori dapat disimpulkan bahwa dalam menjalankan Kelembagaan Metropolitan harus menerapkan prinsip-prinsip kerjasama seperti Prinsip Umum (Good Governance), Prinsip Khusus Kerjasama Antar Daerah (KAD), dan Prinsip Kerjasama Pembangunan Perkotaan.

Analisis Stakeholder

Analisis stakeholder dilakukan dengan pendekatan deskriptif kualitatif yang digunakan untuk menjelaskan stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan MCR, kepentingan (interest) dan pengaruh (power) setiap stakeholder, dan menjelaskan peran stakeholder dalam mengakomodir kepentingan masyarakat. Secara umum Stakeholder di bagi menjadi 3 yaitu Stakeholder Kunci, Utama, dan Biasa.

Stakeholder kunci : yang memiliki tingkat kepentingan dan/atau tingkat pengaruh besar (bernilai 4 dan/atau 5).Stakeholder kunci akan menjadi penentu keberhasilan pelaksanaan suatu Proyek/Kegiatan, dan harus dilibatkan dalam penyusunan rencana kegiatan/proyek.  Stakeholder utama : dengan tingkat kepentingan dan pengaruh cukup (bernilai 3), perlu

(secara khusus) dilibatkan dalam proses penyusunan kegiatan

(7)

7

Peranan stakeholder dianalisis dengan menggunakan kerangka 4R (4Rs Framework) yang dikembangkan oleh IIED (International Institute for Environment and Development) sebagai alat untuk menilai peranan dan kekuatan stakeholder untuk meningkatkan kolaborasi komunitas dalam pengelolaan sumberdaya alam. Pendekatan ini akan mendefinisikan peranan stakeholder yang berkaitan dengan:

Rights (hak dan kewajiban yang dimiliki stakeholder), Responsibilities (tanggung-jawab yang dimiliki stakeholder),

Revenue/Returns (hasil/manfaat yang akan didapatkan stakeholder), dan Relationship (hubungan antar stakeholder).

Kerangka 4R ini membantu dalam menunjukkan permasalahan (issues) penting terkait keterlibatan para pihak dan mengidentifikasi poin-poin pengaruhnya terhadap suatu rencana program atau kebijakan (Dubois, 1998). Fungsi dari stakeholer sendiri adalah sebagai :

 Identifikasi stakeholders kunci  Klarifikasi kepentingan mereka

 Memahami persepsi mereka atas persoalan yang ada

 Mengkhususkan sumberdaya mereka (supportive dan destructive)  Menggambarkan mandat mereka

Klasifikasi Kelompok Calon Stakeholders dalam Kegiatan Pembangunan adalah :  Pemerintah: Pusat (K/L), Daerah (Provinsi, Kota/Kabupaten)

 Masyarakat: Asosiasi-Asosiasi Ahli, NGOs/LSM-LSM, CBOs, dan Tokoh Masyarakat  Perguruan Tinggi

 Asosiasi Pengusaha Terkait (mis. Perbankan, REI, Gapensi, dll.)  KADIN

Lembaga yang Berperan dalam Pengembangan dan Pengelolaan Wisata Budaya di Metropolitan Cirebon Raya

Sektor Kota Cirebon Kab. Cirebon Kab. Kuningan Kab. Majalengka Pariwisata  Dinas Pemuda Olah

Raga, Kebudayaan, dan Pariwisata  BAPPEDA  Perhimpunan Hotel

& Restauran (PHRI)  Keraton

 Perguruan Tinggi

 Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga  BAPPEDA  Keraton

 Dinas Pariwisata dan Kebudayaan  BAPPEDA

 Dinas Pemuda Olah Raga, Kebudayaan, dan Pariwisata  BAPPEDA

(8)

8

Peran Lembaga Pengembangan dan Pengelolaan Wisata Budaya di Metropolitan Cirebon Raya

No Instansi Peran

1 Dinas Pemuda Olah Raga Kebudayaan dan Pariwisata

Penyusun kebijakan terkait pengembangan dan pengelolaan pariwisata

2 BAPPEDA Penyusun kebijakan terkait pengembangan dan pengelolaan pariwisata

3 PHRI Persatuan lembaga wisata yang dapat menghadirkan investor pada sektor pariwisata

4 Keraton Pengelola keraton dan objek wisata lainnya yang termasuk kesatuan adat keraton

5 Perguruan Tinggi Pemberi masukan ilmiah, berupa kajian terkait pariwisata di Metropolitan Cirebon Raya

Sumber : Hasil Analisis 2016

Berdasarkan daftar stakeholder yang terlibat pada sektor pariwisata di Metropolitan Cirebon Raya, maka dilakukan pemetaan stakeholder tersebut. Pemetaan dilakukan berdasarkan tingkat kepentingan program/kegiatan stakeholder dengan besaran pengaruh stakeholder terhadap pengembangan dan pengelolaan pariwisata budaya di Metropolitan Cirebon Raya. Adapun pemetaan stakeholder tersebut adalah sebagai berikut.

Pemetaan Stakeholder Kunci dan Utama

Pengaruh Kepentingan Program / Kegiatan untuk Stakeholder Kurang Penting Cukup Penting Sangat Penting Kurang Berpengaruh Perguruan tinggi SKPD Kota / Kab

Cukup Berpengaruh PHRI

Sangat Berpengaruh Keraton

Sumber :Hasil Analisis 2016

Berdasarkan hasil pemetaan stakeholder dan peran masing-masing lembaga yang terlibat, dapat disimpulkan bahwa:

 Stakeholder dengan tingkat kepentingan (interest) yang tinggi tetapi memiliki pengaruh (power) yang rendah adalah stakeholder yang memiliki kapasitas yang rendah dalam pencapaian tujuan, akan tetapi dapat menjadi berpengaruh dengan membentuk aliansi dengan stakeholder lainnya

 Stakeholder dengan tingkat kepentingan (interest) dan pengaruh (power) yang tinggi. Stakeholder ini harus lebih aktif dilibatkan secara penuh termasuk dalam mengevaluasi strategi baru

 Stakeholder dengan tingkat kepentingan (interest) dan pengaruh (power) yang rendah. Diperlukan sedikit dipertimbangkan untuk melibatkan stakeholder ini lebih jauh karena kepentingan dan pengaruh yang dimiliki biasanya berubah seiring berjalannya waktu  Stakeholder dengan tingkat kepentingan (interest) yang rendah tetapi memiliki pengaruh

(9)

9

Berdasarkan hasil analisis yang sudah dilakukan, dapat diketahui bahwa Keraton memiliki tingkat pengaruh yang tinggi terhadap Pengelolaan lokasi wisata dan pemeliharaan aset-aset budaya yang ada di kawasan Metropolitan Cirebon Raya, sedangkan SKPD yang memiliki kepentingan tinggi terhadap pengembangan Wisata Budaya di Kawasan MCR tidak memiliki pengaruh besar (saat ini) karena kepemilikan lokasi dan aset-aset wisata budaya masih di miliki secara pribadi oleh keraton. Oleh karena itu, perlu adanya penyelarasan dan penghubungan antara pihak pemerintah daerah dengan pihak keraton agar sektor pariwisata budaya di Metropolitan Cirebon Raya dapat berkembang pesat dan berkelanjutan.

Konsep Model Kerjasama

Model kerjsama kelembagaan Metropolitan Cirebon Raya dapat dilakukan dengan model kerjasama Jointly-formed authorities (Pembentukan otoritas bersama), yang merupakan sistem Sekretariat Bersama. Setiap pemerintah daerah di Kawasan Metropolitan Cirebon Raya setuju untuk mendelegasikan kendali, pengelolaan dan tanggung jawab terhadap satu badan yang dibentuk bersama dan biasanya terdiri dari perwakilan dari kota/kabupaten di Kawasan Metropolitan Cirebon Raya. Badan ini bisa juga diisi oleh kaum profesional yang dikontrak bersama oleh pemerintah daerah yang bersangkutan. Badan kelembagaan ini memiliki kewenangan yang cukup untuk mengeksekusi kebijakan-kebijakan yang terkait pembangunan dan pengembangan kepariwisataan di Kawasan Metropolitan Cirebon Raya.

Stakeholder dalam Sekretariat Bersama Metropolitan Cirebon Raya merupakan kerjasama antara pemerintah daerah (lembaga pemerintah khusus yang menaungi Metropolitan Cirebon Raya) dengan pihak keraton melalui pembentukan lembaga khusus yang mengurusi sektor pariwisata di Metropolitan Cirebon Raya. Lembaga tersebut bersifat teknis, setingkat UPDT, yang berisikan SKPD terkait pariwisata, pihak Keraton, dan pihak masyarakat pariwisata. Secara sederhana akan ditampilkan melalui bagan berikut ini.

Model Kerjasama Pengembangan dan Pengelolaan Wisata Budaya Metropolitan Cirebon Raya

Sumber: Hasil Analisis, 2016

Kerjasama pariwisata ini harus memenuhi prinsip kerjasama daerah, yaitu: Lembaga Metropolitan

Cirebon Raya

Unit Pengembangan dan Pengelolaan Pariwisata

SKPD Bidang Pariwisata

Keraton Komunitas Masyarakat

(10)

10

 Efisiensi dan Efektivitas  efisiensi dan efektivitas pengembangan kawasan pariwisata serta fasilitas pendukungnya

 Sinergi  sinergisitas pengembangan kawasan pariwisata serta fasilitas pendukungnya  Saling menguntungkan  kerjasama yang dilakukan harus saling menguntungkan kedua

belah pihak sehingga tercapai tujuan kerjasama

 Kesepakatan bersama  adanya kesepatakan kedua pihak yang bekerjasama  Kepastian hukum  kepastian hukum kerjasama

4. Kesimpulan dan Rekomendasi

Berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap kelembagaan kerjasama pengebangan dan pengelolaan pariwisata di Metropolitan Cirebon Raya, dapat disimpulkan bahwa:

 Metropolitan Cirebon Raya merupakan kawasan metropolitan dengan tema pengembangan pariwisata budaya, namun belum adanya konsep kerjasama serta kelembagaan bersama mengurusi pariwisata secala menyeluruh dalam satu kawasan metropolitan

 Terdapat empat aktor kunci dalam kerjasama pengembangan dan pengelolaan pariwisata di Metropolitan Cirebon Raya, yaitu SKPD terkait bidang pariwisata, Keraton, lembaga/komunitas pariwisata, dan masyarakat. Masing-masing aktor tersebut memili pengaruh dan kepentingannya masing-masing.

 Model kelembagaan kerjasama dengan model

Jointly-formed authorities

menempatkan empat aktor kunci dalam satu unit koordinasi baru yang dinaungi oleh lembaga utama yang mengurusi Metropolitan Cirebon Raya. Setiap aktor tersebut dapat berkoordinasi dalam satu unit kelembagaan khusus yang mengurusi pengembangan dan pengelolaan pariwisata Metropolitan Cirebon Raya.

Rekomendasi yang diberikan adalah sebagai berikut.

 Pelaksanaan kerjasama tersebut harus sesuai dengan prinsip kerjasama sehingga dapat tercipta keselarasan dan keberlanjutan program pengembanga dan pengelolaan pariwisata Mertopolitan Cirebon Raya.

(11)

11

REFERENSI

Ari, Muhammad. 2006. Kajian Penerapan Badan Pengelola Kawasan Perkotaan, Studi Kasus Kawasan Jatinangor. Tugas Akhir, Jurusan Teknik Planologi, Institut Teknologi Bandung, Bandung.

Bappeda Kutai Kartanegara. 2014. Perencanaan Kawasan Khusus Kerjasama AntarDaerah Kabupaten Kutai Kartanegara-Kota Samarinda, Bappeda Kutai Kartanegara, Kutai Kartanegara.

Pamudji, S., 1985, Kerja Sama Antar Daerah Dalam Rangka Pembinaan Wilayah Suatu Tinjauan Dari Administrasi Negara, Jakarta: Institut Ilmu Pemerintahan

Studio Perencanaan dan Pengembangan Kota, 2016, Kajian Implikasi Fungsi dan Peran Kota/Kabupaten Dalam Penyelenggaraan Metropolitan Cirebon raya, Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, SAPPK, ITB. Bandung

Talitha, Delik. (2014), Inter-regional Cooperation Model of Transportation System Planningin Greater Bandung Metropolitan, Model Kerjasama Antar Daerah DalamPerencanaan Sistem Transportasi Wilayah Metropolitan Bandung Raya,Vol16 No 4, November 2014,194-208

Tarigan. 2009. Kerjasama Antar Daerah (KAD) untuk Peningkatan Penyelenggaraan Pelayanan Publik dan Daya Saing Wilayah. Jakarta: Bappenas

Zahratul Jannah, Suhirman, Koordinasi Antar Organisasi Pemerintah Dalam Pembangunan Kawasan Perbatasan Dengan Pendekatan Kesejahteraan10 Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan ITB (Studi Kasus: Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota ,SAPPK, ITB, Bandung

Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 22 Tahun 2009 tentang Petunjuk Teknis Tata Cara Kerjasama Daerah

Referensi

Dokumen terkait

Bidang Cipta Karya sebagai unsur lini mempunyai tugas pokok membantu Kepala Dinas dalam memimpin dan menyelenggarakan bidang pekerjaan umum dan penataan ruang

Peserta diwajibkan mengikuti ketentuan Tata Tertib dan ketentuan Pembagian Jadwal Ujian menurut Nama Peserta, Tempat, Tanggal, Sesi dan Waktu Pelaksanaan Seleksi

Respon teknis dari perusahaan untuk memenuhi kebutuhan konsumen di mulai dari sortasi buah dan biji kakao, proses pengolahan hingga proses pengemasan produk, juga

Berdasarkan saran dan masukan dari banyak pihak, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah melakukan sejumlah perbaikan dan penyesuaian pada materi/substansi, desain, dan tata letak

Work role characteristic, family structure demands and work family conflict.. Journal of Marriage and

Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan banjir, antara lain: perubahan tata guna lahan ( land-use ) di daerah aliran sungai, pembuangan sampah, erosi dan sedimentasi, kawasan kumuh

Hasil analisis ragam menunjukan bahwa faktor dosis dan faktor lama fermentasi masing-masing memberikan pengaruh yang sangat berbeda nyata (P<0,01) terhadap kandungan serat

Sistem akuntansi keuangan daerah diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 64 Tahun 2013 Tentang Penerapan Standar Akuntansi Pemerintah Berbasis Berbasis Akrual Pada