• Tidak ada hasil yang ditemukan

Optimasi Formulasi Pakan pada Proses Budidaya Ikan Bandeng menggunakan Particle Swarm Optimization (PSO)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Optimasi Formulasi Pakan pada Proses Budidaya Ikan Bandeng menggunakan Particle Swarm Optimization (PSO)"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Fakultas Ilmu Komputer,

776

Optimasi Formulasi Pakan pada Proses Budidaya Ikan Bandeng

menggunakan

Particle Swarm Optimization

(PSO)

Denny Irfan Darmawan1, Imam Cholissodin2, Candra Dewi3

Program Studi Teknik Informatika, Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Brawijaya Email: 1dndrmwn@gmail.com, 2imamcs@ub.ac.id, 3dewi_candra@ub.ac.id

Abstrak

Bandeng merupakan komoditas budidaya yang memberikan kontribusi cukup besar pada skala nasional. Namun dalam praktiknya, budidaya bandeng membutuhkan biaya produksi yang tidak sedikit, terutama dalam pengadaan pakan ikan. Penelitian ini akan membahas bagaimana mengoptimasi komposisi pakan bandeng, meminimalkan biaya tanpa menurunkan hasil produksi, serta tetap memperhatikan kebutuhan nutrisi bandeng budidaya. Metode optimasi, Particle Swarm Optimization (PSO) diterapkan pada proses formulasi dan komposisi pakan bandeng agar tetap memenuhi kebutuhan nutrisi ikan dengan biaya yang minimal. Proses algoritme PSO dimulai dengan proses inisialisasi awal untuk nilai posisi, kecepatan, dan Pbest sebanyak jumlah partikel yang ditentukan serta Gbest. Kemudian proses berlanjut ke tahap update kecepatan, posisi, Pbest, dan Gbest sebanyak iterasi yang ditentukan. Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan pada penelitian ini, diperoleh parameter optimal antara lain jumlah partikel sebanyak 100, jumlah iterasi sebanyak 70, nilai batas bawah dan batas atas partikel sebesar 1,0 – 9,0, dan nilai koefisien 𝑘 sebesar 0,4. Dengan menggunakan parameter tersebut, komposisi pakan ikan terbaik yang didapatkan untuk bandeng berusia 10 minggu dengan berat per ekor 0,25 kilogram dan jumlah populasi ikan 500 ekor adalah 0,237 kilogram tepung ikan, 1,384 kilogram tepung gaplek, dan 2,129 kilogram tepung daun lamtoro dengan total biaya sebesar Rp. 15.017,625.

Kata Kunci: optimasi, formulasi, pakan, budidaya ikan bandeng, particle swarm optimization. Abstract

Milkfish is a cultivation commodity that contributes quite large on a national scale. But in practice, milkfish cultivation requires high production costs, especially in the procurement of fish feeds. This study will explore how to optimize the composition of milkfish feeds, minimize costs without lowering the production, as well as keeping the nutritional needs of milkfish in check. An optimization method, Particle Swarm Optimization (PSO) is used in the process of formulation and composition of milkfish feeds to keep fulfilling the nutritional needs of fish with minimal cost. The PSO algorithm process begins with initialization process for position, speed, and Pbest values as much as the number of specified particles, and Gbest. Then the process progresses to the update stage of speed, position, Pbest, and Gbest as much as a predetermined iteration. Based on the results of the tests conducted in this study, optimal parameters have been obtained such as the number of particles as much as 100, the number of iterations of 70, lower boundary value and upper limit particles of 1,0 – 9,0, and 𝑘 coefficient value of 0,4. Using these parameters, the best fish feeds composition obtained for 10-week-old milkfish with a weight per unit of 0,25 kilograms and total fish population of 500 is 0,237 kilograms fish meal, 1,384 kilograms cassava flour, and 2,129 kilograms white leadtree leaf flour with total cost of Rp. 15.017,625.

Keywords: optimization, formulation, feed, milkfish cultivation, particle swarm optimization.

1. PENDAHULUAN

Penyebaran budidaya perairan bandeng di Indonesia saat ini sudah cukup luas. Hal tersebut dapat dilihat dari data statistik volume produksi ikan mas, bandeng, kakap, dan patin tahun 2009

(2)

ton, 80,688 ton, 111,758 ton, dan 138,626 ton (DJPB, 2013a). Dengan hasil tersebut, Jawa Timur menjadi sentra produksi ikan bandeng yang terbesar di Indonesia dengan jumlah produksi sebesar 22,86% dari total produksi ikan bandeng nasional (DJPB, 2013b). Pada tingkat nasional, bandeng merupakan komoditas budidaya unggulan yang memberikan kontribusi ketiga terbesar setelah udang dan rumput laut (Winarsih, Priyambodo, & Husein, 2011).

Menurut data statistik nilai produksi dan biaya produksi per hektar per siklus usaha budidaya rumput laut, bandeng, dan udang windu yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2014, nilai produksi ikan bandeng mencapai 5,8 juta rupiah dengan biaya produksi sebesar 4,2 juta rupiah. Nilai produksi adalah nilai dari produksi budidaya yang dihasilkan rumah tangga usaha budidaya ikan per siklus per satuan tertentu dalam satu hektar. Biaya produksi adalah jumlah total biaya produksi yang dikeluarkan oleh rumah tangga usaha budidaya ikan meliputi biaya pengadaan benih/bibit (11,54%), biaya pupuk dan obat-obatan (11,61%), biaya pakan (17,22%), upah pekerja, sewa lahan, sarana usaha, serta biaya lain-lain (BPS, 2014).

Berdasarkan data di atas, aspek pengadaan seperti benih/bibit unggul, pupuk dan obat-obatan serta pakan ikan merupakan hal penting yang perlu diutamakan dalam usaha budidaya ikan bandeng. Selain itu, petani bandeng sering dihadapkan dengan permasalahan yang berkaitan dengan aspek pengadaan di atas, seperti pengadaan nener/bibit yang masih mengandalkan hasil dari alam, pakan alami yang sulit tumbuh, munculnya penyakit yang menyerang ikan, serta penggunaan bahan-bahan kimiawi berbahaya pada proses budidaya (WWF-Indonesia & Badruddin, 2014). Dalam hal pengadaan pakan alami misalnya, para petani di daerah tertentu masih mengandalkan teknik budidaya tradisional yaitu proses pemupukan sebagai pemicu tumbuhnya kelekap dan plankton dalam jumlah banyak. Hal tersebut jika dilakukan dalam kurun waktu yang lama akan mengakibatkan tanah tambak tidak subur lagi karena penumpukan kadar nitrogen yang tidak dapat terurai dalam tanah, dan akhirnya menjadi racun berupa nitrit (NO2) dan amonia (NH3) (Romadon & Subekti, 2011).

Oleh karena itu, pemberian pakan alternatif seperti pakan buatan merupakan hal yang perlu dilakukan oleh para petani bandeng. Pakan buatan memegang peranan yang sangat penting

(3)

dalam proses iterasi algoritme (Eberhart & Shi, 1998).

Salah satu contoh penelitian sebelumnya yang menerapkan metode optimasi dengan teknik evolutionary computation adalah penelitian yang dilakukan oleh Riyandani (2016) yang menerapkan algoritme genetika (GA) pada proses optimasi pakan untuk sistem polikultur ikan dan udang. GA dipilih karena dianggap mampu menyelesaikan masalah optimasi dalam ruang pencarian yang luas secara cepat. Proses penerapan GA diawali dengan proses pembangkitan individu dengan representasi real code, kemudian berlanjut ke proses crossover dengan menggunakan metode extended intermediate dan proses mutation dengan metode random mutation, serta proses selection dengan metode elitism. Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan didapatkan hasil parameter optimal yaitu pada populasi 90, generasi 700, kombinasi nilai cr dan mr masing-masing 0,4 dan 0,3, range kromosom [1; 100], range α [-0,35; 1,35], range r [-0,16; 0,16]. Dengan menggunakan parameter tersebut dapat diperoleh komposisi terbaik untuk ikan bandeng usia 22 minggu dengan berat 0,6 kg dan jumlah ikan sebanyak 200 ekor dengan penebaran udang sebanyak 1600 ekor adalah tepung ikan sebanyak 0,03 kg, dedak gandum sebanyak 2,58 kg, dan tepung kedelai sebanyak 1 kg dengan total biaya sebesar Rp. 18.796,649. Dari penelitian tersebut dapat diketahui bahwa algoritme genetika mampu menghasilkan keluaran komposisi pakan yang optimal dengan biaya yang minimum (Riyandani, 2016).

Selain itu, terdapat penelitian yang membandingkan kinerja algoritme genetika (GA) dengan algoritme particle swarm optimization (PSO), yang dilakukan oleh Marbun, Nikentari, dan Bettiza (2013) dalam proses penjadwalan kuliah. Secara umum, kedua algoritme yang digunakan memiliki hasil yang bervariasi tergantung pada parameter input yang diberikan serta bilangan acak yang dibangkitkan ketika proses berjalan. Dalam penerapannya dengan menggunakan data sebanyak 42 matakuliah, GA mampu menyelesaikan permasalahan penjadwalan kuliah dalam waktu 8,79 detik tanpa pelanggaran dengan jumlah iterasi 10 kali dan menghasilkan nilai fitness terbaik sebesar 1,0. Sedangkan PSO mampu menyelesaikan permasalahan penjadwalan kuliah dalam waktu 41,636 detik dengan 7 pelanggaran, jumlah iterasi 50 kali dengan nilai fitness terbaik 0,111. Untuk uji coba dengan

ukuran populasi yang berbeda, diperoleh nilai fitness rata-rata GA yang mengungguli PSO, dengan artian GA memiliki kecenderungan nilai fitness yang lebih baik dibandingkan dengan PSO. Akan tetapi PSO memiliki nilai standar deviasi yang cenderung lebih rendah dibandingkan dengan GA, dengan artian nilai fitness yang dihasilkan oleh PSO cenderung lebih stabil dibandingkan dengan GA (Marbun, Nikentari, & Bettiza, 2013).

Berdasarkan latar belakang tersebut, pada penelitian ini akan dibangun sebuah aplikasi berbasis komputer untuk proses optimasi komposisi pakan bandeng budidaya menggunakan algoritme Particle Swarm Optimization (PSO). Algoritme PSO dipilih karena algoritme tersebut dinilai lebih mudah untuk diimplementasikan, memiliki tingkat komputasi yang lebih rendah, dan lebih efisien dalam mencapai solusi yang optimum (Suryani, 2016). Dengan adanya sistem ini diharapkan dapat membantu para petani budidaya bandeng dalam menentukan komposisi bahan pakan ikan bandeng yang akan dipakai dengan mempertimbangkan kandungan nutrisi serta biaya yang murah, sehingga para petani dapat memaksimalkan keuntungan yang didapat.

2. PARTICLE SWARM OPTIMIZATION

(PSO)

Particle Swarm Optimization (PSO) merupakan salah satu teknik optimasi stochastic yang berbasis populasi, yang terinspirasi dari sekelompok burung (bird flocking) dan ikan (fish schooling). Algoritme PSO merupakan salah satu cabang Swarm Intelligence berdasarkan algoritme metaheuristic yang dikembangkan oleh Dr. Eberhart dan Dr. Kennedy pada tahun 1995. PSO memiliki banyak persamaan dengan teknik evolutionary computation seperti Genetic Algorithms (GA) atau algoritme genetika. Akan tetapi dalam penerapannya, PSO tidak memiliki parameter atau operator evolusi seperti crossover dan mutation yang terdapat dalam algoritme genetika. Dalam PSO, calon solusi yang berpotensial “terbang” melalui ruang lingkup permasalahan mengikuti partikel optimum yang didapat saat itu (Hu, 2006).

2.1. Siklus PSO

(4)

ada dalam swarm berkontribusi pada lingkungan untuk mengikuti pola sederhana yaitu bekerja sama dan berkomunikasi dengan partikel lainnya yang ada dalam swarm. Perilaku kolektif global yang yang muncul dalam swarm kemudian diadopsi sebagai konsep penyelesaiaan masalah optimasi yang kompleks. Desentralisasi yang tinggi, kerjasama antar partikel, dan implementasi yang sederhana membuat algoritme PSO dapat digunakan untuk penyelesaian masalah optimasi secara efisien. PSO memiliki tiga komponen utama diantaranya partikel, komponen kognitif dan komponen sosial, serta kecepatan partikel. Pembelajaran partikel terdiri dari dua faktor yaitu pengalaman partikel yang disebut cognitive learning dan kombinasi pembelajaran dari keseluruhan swarm yang disebut social learning. Cognitive learning berperan sebagai memori pada tiap partikel yang menyimpan posisi terbaik yang pernah dicapai oleh partikel tersebut yang kemudian disebut sebagai Pbest. Sedangkan social learning merujuk pada posisi terbaik yang pernah dicapai partikel dalam swarm (kelompok) yang kemudian disebut sebagai Gbest (Cholissodin & Riyandani, 2016).

Setiap partikel yang ada di dalam swarm memiliki atribut posisi (𝑥𝑖,𝑗𝑡 ), kecepatan (𝑣𝑖,𝑗𝑡 ), posisi lokal terbaik (𝑝𝐵𝑒𝑠𝑡𝑖,𝑗𝑡 ), dan posisi global terbaik (𝑔𝐵𝑒𝑠𝑡𝑖,𝑗𝑡 ). Untuk mendapatkan solusi yang optimum, proses algoritme PSO dilakukan dalam beberapa iterasi (𝑡𝑚𝑎𝑥). Pada tiap iterasi (𝑡), partikel bergerak dengan kecepatan yang dinamis untuk untuk mendekati area penelusuran yang lebih baik atau solusi optimum dengan menggunakan pengalaman dan informasi dari partikel lain (Suryani, 2016).

Pada proses inisialisasi, pemberian nilai awal untuk kecepatan adalah 0 karena pada tahap ini partikel masih belum melakukan pergerakan sama sekali. Untuk nilai posisi awal setiap partikel akan dibangkitkan secara random dengan menggunakan Persamaan (1) yang dijelaskan dalam Cholissodin dan Riyandani (2016) sebagai berikut.

𝑥𝑖,𝑗𝑡 = 𝑥𝑚𝑖𝑛+ 𝑟𝑎𝑛𝑑[0,1] × (𝑥𝑚𝑎𝑥− 𝑥𝑚𝑖𝑛) (1)

Dimana 𝑥𝑚𝑖𝑛 dan 𝑥𝑚𝑎𝑥 adalah batas atas dan batas bawah partikel dan 𝑟𝑎𝑛𝑑[0,1] merupakan bilangan random yang bernilai antara 0 dan 1.

Nilai posisi awal yang dibangkitkan secara random dengan persamaan di atas kemudian akan menjadi nilai Pbest, dan Pbest yang

memiliki nilai fitness tertinggi akan menjadi nilai Gbest pada proses inisialisasi awal. Setelah diketahui nilai awal untuk kecepatan, posisi, Pbest, dan Gbest untuk setiap partikel, maka selanjutnya akan dimulai proses update. Pada tahap ini, nilai kecepatan, posisi, Pbest, dan Gbest akan diperbarui dan akan terus berulang sampai batas iterasi yang telah ditentukan (𝑡𝑚𝑎𝑥).

Kecepatan terbaru tiap partikel dapat diketahui dengan Persamaan (2) berikut (Cholissodin & Riyandani, 2016).

𝑣𝑖,𝑗𝑡+1= 𝑤. 𝑣𝑖,𝑗𝑡 + 𝑐1. 𝑟1(𝑃𝑏𝑒𝑠𝑡𝑖,𝑗𝑡 − 𝑥𝑖,𝑗𝑡 ) +

𝑐2. 𝑟2(𝐺𝑏𝑒𝑠𝑡𝑔,𝑗𝑡 − 𝑥𝑖,𝑗𝑡 ) (2)

Dimana 𝑤 adalah bobot inersia, 𝑣𝑖,𝑗𝑡 adalah nilai kecepatan partikel ke-𝑖 dimensi ke-𝑗 pada iterasi ke-𝑡, 𝑐1 dan 𝑐2 adalah koefisien akselerasi, 𝑟1 dan 𝑟2 adalah nilai random yang bernilai antara 0 dan 1, 𝑥𝑖,𝑗𝑡 merupakan posisi partikel ke-𝑖 dimensi ke-𝑗 pada iterasi ke-𝑡, 𝑃𝑏𝑒𝑠𝑡𝑖,𝑗𝑡 adalah nilai Pbest ke-𝑖 dimensi ke-𝑗 pada iterasi ke-𝑡, dan 𝐺𝑏𝑒𝑠𝑡𝑔,𝑗𝑡 adalah nilai Gbest ke-𝑔 dimensi ke-𝑗 pada iterasi ke-𝑡.

Dalam proses update kecepatan terkadang ditemui nilai kecepatan partikel yang bergerak ke arah yang lebih baik dengan cepat, terutama untuk partikel yang berada pada posisi lebih jauh dari posisi tetangga partikel terbaik. Akibatnya, partikel tersebut memiliki kecenderungan untuk keluar dari batas pencarian atau posisi partikel yang baru diluar range solusi. Oleh karena itu, untuk mengontrol eksplorasi global partikel perlu adanya teknik pembatasan kecepatan yang disebut dengan velocity clamping untuk mencegah partikel bergerak terlalu jauh melampaui batas ruang pencariannya. Nilai pembatas kecepatan (𝑣𝑚𝑎𝑥, 𝑣𝑚𝑖𝑛) dapat diperoleh dengan menggunakan Persamaan (3) dan Persamaan (4) berikut ini (Cholissodin & Riyandani, 2016).

𝑣𝑚𝑎𝑥𝑗 = 𝑘 ×

(𝑥𝑚𝑎𝑥𝑗−𝑥𝑚𝑖𝑛𝑗)

2 , 𝑘 ∈ (0,1] (3)

𝑣𝑚𝑖𝑛𝑗 = −𝑣𝑚𝑎𝑥𝑗 (4)

(5)

𝑗𝑖𝑘𝑎 𝑣𝑖,𝑗𝑡+1> 𝑣𝑚𝑎𝑥𝑗, 𝑚𝑎𝑘𝑎 𝑣𝑖,𝑗𝑡+1= 𝑣𝑚𝑎𝑥𝑗 (5)

𝑗𝑖𝑘𝑎 𝑣𝑖,𝑗𝑡+1< −𝑣𝑚𝑎𝑥𝑗, 𝑚𝑎𝑘𝑎 𝑣𝑖,𝑗𝑡+1= −𝑣𝑚𝑎𝑥𝑗(6)

Dimana 𝑣𝑖,𝑗𝑡+1 adalah nilai kecepatan ke-𝑖 dimensi ke-𝑗 pada 𝑡 + 1. Setelah kecepatan partikel diperbaiki, maka proses selanjutnya adalah menghitung posisi terbaru tiap partikel dengan Persamaan (7) berikut (Cholissodin & Riyandani, 2016).

𝑥𝑖,𝑗𝑡+1= 𝑥𝑖,𝑗𝑡 + 𝑣𝑖,𝑗𝑡+1 (7) Dimana 𝑥𝑖,𝑗𝑡+1 adalah nilai posisi ke-𝑖 pada dimensi ke-𝑗 pada 𝑡 + 1. Hasil dari update posisi kemudian akan diperbaiki seperti yang dilakukan dalam proses update kecepatan dengan batasan atau threshold seperti pada Persamaan (8) dan Persamaan (9) berikut.

𝑗𝑖𝑘𝑎 𝑥𝑖,𝑗𝑡+1> 𝑥𝑚𝑎𝑥, 𝑚𝑎𝑘𝑎 𝑥𝑖,𝑗𝑡+1= 𝑥𝑚𝑎𝑥 (8)

𝑗𝑖𝑘𝑎 𝑥𝑖,𝑗𝑡+1< 𝑥𝑚𝑖𝑛, 𝑚𝑎𝑘𝑎 𝑥𝑖,𝑗𝑡+1 = 𝑥𝑚𝑖𝑛 (9)

Selanjutnya, hasil dari perbaikan posisi yang baru akan dibandingkan dengan nilai Pbest dari proses inisialisasi atau iterasi sebelumnya. Setiap partikel yang memiliki nilai fitness yang lebih baik dari Pbest sebelumnya akan menjadi nilai Pbest terbaru. Selanjutnya, nilai Pbest yang memiliki fitness terbaik akan menjadi nilai Gbest yang baru.

Berikut adalah siklus dari algoritme PSO pada proses optimasi pakan bandeng budidaya yang ditunjukkan dalam diagram alir pada Gambar 1.

Mulai

Data ikan (berat per ekor, usia, jumlah populasi), bahan

pakan ikan, parameter PSO

Perhitungan awal (dosis & kebutuhan nutrisi ikan)

A for i = 0 to jmlIterasi

B

Update posisi

Normalisasi dan hitung nilai fitness

Update Pbest dan

Gbest

Hasil rekomendasi

Return i

Proses rekomendasi

Update kecepatan

A

Inisialisasi awal (kecepatan,

posisi, fitness, Pbest,

Gbest)

if i = 0

Tidak

B

Ya

Gambar 1.Flowchart algoritme PSO

2.2. Representasi Partikel

Pada penelitian ini, partikel tersusun atas data bahan pakan bandeng yang digunakan pada proses formulasi. Setiap bahan pakan tersebut mengandung nutrisi protein, lemak, dan serat yang digunakan sebagai acuan untuk menentukan kebutuhan nutrisi bandeng budidaya. Berikut ini adalah contoh beberapa daftar bahan pakan yang tersedia yang ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Data bahan pakan

bahan protein lemak serat

tepung ikan 53,9 4,2 1,0

tepung rese 33,2 4,4 18,3

tepung darah 80,1 1,6 1,0

susu bubuk 35,0 1,2 0,2

tepung gaplek 1,5 0,7 0,9

bungkil kelapa 20,5 6,7 12,0

… … … …

bekatul ragi 27,6 - -

(6)

Tabel 2. Representasi partikel

j = 1 j = 2 j = 3

𝒙𝟏(𝟎) 7,4 8,2 8,2

𝒙𝟐(𝟎) 5 7,4 8,2

… … …

𝒙𝟏𝟎(𝟎) 8,2 1 4,2

Dimana pada variabel 𝑥1(0), 𝑥 merupakan partikel, angka 1 menunjukkan partikel yang ke-1, dan angka 0 di dalam kurung menunjukkan iterasi ke-0, serta variabel 𝑗 merupakan panjang dimensi partikel, yang merepresentasikan bahan pakan yang digunakan pada proses manualisasi yaitu tepung ikan, bungkil kelapa, dan tepung daun turi.

2.3. Fungsi Fitness

Pada algoritme particle swarm optimization (PSO), suatu partikel akan dievaluasi dengan sebuah nilai yang dihasilkan dari fungsi fitness. Nilai fitness tersebut bertujuan untuk mengetahui baik tidaknya nilai dari partikel sebagai representasi solusi (Widodo & Mahmudy, 2010).

Dalam kasus optimasi, semakin besar nilai fitness yang dihasilkan maka semakin besar kemungkinan suatu partikel untuk terpilih sebagai solusi. Nilai fitness terbaik, yaitu nilai fitness terbesar dapat dicapai dengan nilai cost yang terkecil. Fungsi fitness yang sesuai dengan analogi di atas dapat dilihat pada Persamaan (10) (Widodo & Mahmudy, 2010).

𝑓𝑖𝑡𝑛𝑒𝑠𝑠 =𝑐𝑜𝑠𝑡+11 (10)

Untuk permasalahan optimasi pakan ikan bandeng pada penelitian ini maka dilakukan penyesuaian dan perubahan pada fungsi fitness di atas. Fungsi fitness yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Persamaan (11) (Riyandani, 2016).

𝑓𝑖𝑡𝑛𝑒𝑠𝑠 =𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑐𝑜𝑠𝑡+(𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑝𝑒𝑛𝑎𝑙𝑡𝑦×𝑐)1 (11)

Dimana total cost merupakan biaya total untuk bahan pakan yang digunakan dalam formulasi pakan, total penalty merupakan jumlah pelanggaran nutrisi untuk setiap partikel, dan c adalah konstanta.

3. PENGUJIAN DAN ANALISIS

3.1. Parameter Pengujian

Pada penelitian ini algoritme PSO akan diimplementasikan dalam proses optimasi pakan

bandeng budidaya menggunakan bahasa pemrograman Java dengan database JavaDB (Derby). Data yang digunakan adalah data bahan pakan bandeng dan data kebutuhan nutrisi bandeng yang tertulis dalam Murtidjo (2002), daftar harga bahan pakan, serta data jumlah pakan atau dosis pakan bandeng yang tertulis dalam Riyandani (2016). Sedangkan parameter algoritme PSO yang digunakan pada proses optimasi ditunjukkan pada Tabel 3 berikut.

Tabel 3. Parameter algoritme PSO

parameter jangkauan

𝑤 0,5

𝑐1, 𝑐2 1,0

𝑟1, 𝑟2 0,3; 0,7

𝑥𝑚𝑖𝑛, 𝑥𝑚𝑎𝑥 1,0-9,0 s/d 5,5-13,5

𝑘 0,1 – 1,0

jumlah partikel 10 – 100

jumlah iterasi 10 – 100

jumlah uji coba 10 kali

3.2 Analisis Pengujian

Pengujian yang dilakukan antara lain adalah pengujian jumlah partikel, pengujian jumlah iterasi, pengujian nilai 𝑥𝑚𝑖𝑛, 𝑥𝑚𝑎𝑥 partikel, dan pengujian koefisien 𝑘. Pengujian tersebut dilakukan untuk mencari kombinasi nilai yang optimal sehingga dapat menghasilkan nilai fitness yang terbaik. Selain itu, pengujian konvergensi juga dilakukan untuk melihat kualitas solusi yang diberikan. Hasil pengujian tersebut masing-masing ditunjukkan dalam Gambar (2), Gambar (3), Gambar (4), Gambar (5), dan Gambar (6).

Gambar 2. Grafik pengujian jumlah partikel

Berdasarkan grafik yang ditunjukkan pada Gambar 2, dapat dilihat bahwa pada nilai jumlah partikel 10 – 30 terjadi perubahan nilai rata-rata fitness yang signifikan, kemudian cenderung stabil pada nilai jumlah partikel yang lebih besar. Hal ini dapat terjadi karena adanya faktor keberagaman nilai partikel, dimana dalam proses inisialisasi dan penentuan nilai awal partikel

4,7000E-05 4,7200E-05 4,7400E-05 4,7600E-05 4,7800E-05 4,8000E-05

10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

R

at

a

-r

at

a

fi

tn

ess

(7)

terdapat variabel yang bernilai random seperti yang tertera pada Persamaan (1). Selain itu juga dapat disebabkan oleh representasi partikel maupun evaluasi partikel seperti strategi pengacakan dan strategi perbaikan yang digunakan mampu menjelajahi seluruh swarm space yang ada, atau swarm space yang ada pada permasalahan ini memiliki lingkup yang kecil (Syafiq, Cholissodin, & Aryadita, 2017). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam menentukan nilai jumlah partikel yang optimal sebaiknya tidak terlalu kecil untuk mendapatkan hasil optimasi yang sesuai serta tidak terlalu besar dikarenakan proses dan tahap dari algoritme PSO yang dilakukan berulang-ulang sehingga akan mempengaruhi waktu eksekusi. Jumlah partikel yang optimal diperoleh pada jumlah partikel 100 dengan nilai rata-rata fitness 4,7877E-5.

Gambar 3. Grafik pengujian jumlah iterasi

Berdasarkan grafik yang ditunjukkan pada Gambar 3, dapat dilihat bahwa nilai rata-rata fitness pada uji coba jumlah iterasi cenderung stabil dengan perbedaan antara rata-rata nilai fitness satu dengan yang lainnya berkisar antara 0,0006 – 0,007 saja. Dari hasil tersebut maka dapat disimpulkan bahwa nilai iterasi memiliki pengaruh yang cukup kecil terhadap nilai fitness yang dihasilkan karena adanya faktor konvergensi. Ketika nilai konvergensi telah dicapai, maka sebanyak apapun iterasi yang dilakukan, nilai fitness yang dihasilkan akan cenderung sama dan tidak mengalami perubahan yang berarti. Selain itu, nilai jumlah iterasi yang digunakan akan berbanding lurus dengan banyaknya waktu eksekusi yang dibutuhkan karena proses algoritme PSO yang dilakukan berulang-ulang. Semakin banyak jumlah iterasi yang dilakukan maka semakin banyak pula waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan proses optimasi. Nilai optimal jumlah iterasi yang diambil pada uji coba ini adalah sebanyak 70 kali iterasi dengan nilai rata-rata fitness

sebesar 4,7878E-5.

Berdasarkan grafik pengujian nilai 𝑥𝑚𝑖𝑛 dan 𝑥𝑚𝑎𝑥 partikel yang ditunjukkan pada Gambar 4, dapat dilihat bahwa terdapat penurunan nilai yang konsisten setiap kali dilakukan perubahan nilai 𝑥𝑚𝑖𝑛 dan 𝑥𝑚𝑎𝑥 pada tiap uji coba. Hal ini terjadi karena nilai 𝑥𝑚𝑖𝑛 dan 𝑥𝑚𝑎𝑥 selalu dipakai sebagai nilai penentu dalam perhitungan posisi awal serta sebagai pembatas pada proses update posisi.

Gambar 4. Grafik pengujian 𝑥𝑚𝑖𝑛, 𝑥𝑚𝑎𝑥 partikel

Semakin tinggi kombinasi nilai 𝑥𝑚𝑖𝑛 dan 𝑥𝑚𝑎𝑥 maka semakin besar pula nilai posisi awal yang nantinya akan berpengaruh pada proses normalisasi untuk mencari nilai fitness, serta pada update posisi akan selalu melebihi batas atas dan batas bawah partikel dan terkena perbaikan lebih awal yang nantinya berdampak pada proses iterasi yang akan mencapai konvergensi lebih cepat sehingga nilai fitness yang dihasilkan kurang bervariasi. Nilai 𝑥𝑚𝑖𝑛 dan 𝑥𝑚𝑎𝑥 optimal yang diambil berdasarkan hasil uji coba yang dilakukan adalah 1,0 – 9,0 dengan nilai rata-rata fitness sebesar 4,7865E-5.

Gambar 5. Grafik pengujian koefisien 𝑘

(8)

0.002 – 0.015 saja. Dari hasil tersebut maka dapat disimpulkan bahwa perubahan nilai koefisien 𝑘 tidak begitu berpengaruh secara signifikan terhadap nilai fitness yang dihasilkan karena nilai koefisien 𝑘 yang hanya digunakan pada proses penentuan nilai batas kecepatan (𝑣𝑚𝑖𝑛, 𝑣𝑚𝑎𝑥), berbeda dengan nilai batas partikel (𝑥𝑚𝑖𝑛, 𝑥𝑚𝑎𝑥) yang digunakan dalam penentuan nilai awal partikel dan penentuan nilai batas kecepatan (𝑣𝑚𝑖𝑛, 𝑣𝑚𝑎𝑥). Berdasarkan uji coba di atas, maka nilai optimum yang diambil untuk koefisien adalah 0,4 dengan nilai rata-rata fitness 4,7878E-5.

Gambar 6. Grafik pengujian konvergensi

Berdasarkan grafik dari pengujian konvergensi yang ditunjukkan pada Gambar 6, terlihat bahwa konvergensi dicapai paling cepat pada iterasi ke-6 untuk uji coba ke-5, serta paling lama mencapai konvergensi pada iterasi ke-30 pada uji coba ke-1. Hal ini dapat disebabkan oleh nilai inisialisasi awal partikel yang digunakan dalam pengujian yang dibangkitkan secara random telah berada atau telah mendekati pada range solusi optimum pada swarm space. Nilai konvergen yang dicapai pada uji coba ini termasuk pada nilai global optimum karena lebih menitikberatkan pada nilai Gbest setiap iterasi tanpa mempertimbangkan faktor time variant. Selain itu, konvergensi juga lebih cepat dicapai pada penelitian ini dikarenakan problem space yang kecil yaitu hanya mengoptimasi tiga bahan pakan saja, serta kombinasi nilai parameter PSO seperti nilai jumlah partikel, jumlah iterasi, dan batas partikel 𝑥𝑚𝑖𝑛, 𝑥𝑚𝑎𝑥 yang memiliki selisih atau interval yang cukup kecil.

4. KESIMPULAN

Optimasi permasalahan formulasi pakan bandeng budidaya pada penelitian ini dapat diselesaikan dengan implementasi algoritme PSO. Serangkaian pengujian menunjukkan bahwa PSO mampu menghasilkan solusi yang optimum dengan waktu yang relatif cepat untuk

nilai jumlah partikel dan jumlah iterasi yang cukup besar. Dengan menggunakan parameter optimal yang diperoleh dari proses pengujian yaitu nilai jumlah partikel sebanyak 100, jumlah iterasi sebanyak 70, nilai batas bawah dan batas atas (𝑥𝑚𝑖𝑛, 𝑥𝑚𝑎𝑥) partikel sebesar 1,0 – 9,0, dan nilai koefisien 𝑘 sebesar 0,4, didapatkan komposisi pakan ikan terbaik untuk ikan bandeng usia 10 minggu dengan berat per ekor 0,25 kg dan jumlah populasi sebanyak 500 adalah tepung ikan sebanyak 0,237 kg, tepung gaplek sebanyak 1,384 kg, dan tepung daun lamtoro sebanyak 2,129 kg dengan total biaya pakan sebesar Rp. 15.017,625 dan nilai fitness 4.635699E-5. Akan tetapi, proses optimasi yang dilakukan pada penelitian ini terlihat cepat mencapai konvergensi. Hal ini dapat disebabkan oleh ruang lingkup masalah yang cukup kecil yaitu bahan pakan yang digunakan pada proses optimasi hanya 3 bahan saja.

Usulan dan saran dalam penelitian selanjutnya antara lain yaitu pada penelitian selanjutnya dapat menggunakan lebih banyak bahan pakan serta menambahkan problem space lainnya seperti memperhitungkan nutrisi pakan selain protein, lemak, dan serat. Selain itu, dapat dikembangkan pula dengan menggunakan metode PSO adaptif untuk melihat pengaruh nilai bobot inersia dan nilai koefisien akselerasi yang beragam terhadap kualitas solusi yang dihasilkan serta populasi partikel dapat menyesuaikan dengan kondisi pupulasi dan jumlah iterasi yang dijalankan sehingga tidak mudah terjebak pada konvergensi dini.

DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, 2013a. Statistik 2009 – 2013 Mas, Kakap, Bandeng, Patin. [pdf]. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Tersedia di: <http://www.djpb.kkp.go.id/public/ upload/statistik_series/Statistik%202009 %20-%202013%20MAS,%20KAKAP ,%20BANDENG,%20PATIN.pdf> [Diakses 25 September 2016]

Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, 2013b. Sentra Produksi Ikan Bandeng Indonesia. [pdf]. Direktorat Jenderal Perikanan

Budidaya. Tersedia di:

(9)

Badan Pusat Statistik, 2014. Nilai Produksi dan Biaya Produksi per Hektar per Siklus Usaha Budidaya Rumput Laut, Bandeng, dan Udang Windu, 2014. [online]. Badan Pusat Statistik. Tersedia di: <https://www.bps.go.id/ index.php/ linkTabelStatis/1851> [Diakses 18 April 2017]

Tim Perikanan WWF-Indonesia, Badrudin, 2014. Budidaya Ikan Bandeng (Chanos chanos) pada Tambak Ramah Lingkungan. [e-book]. WWF-Indonesia. Tersedia di: <http://awsassets.wwf.or. id/downloads/bmp_budidaya_ikan_bande ng_2014.pdf> [Diakses 18 April 2017]

Romadon, A., & Subekti, E., 2011. Teknik budidaya ikan bandeng di Kabupaten Demak. MEDIAGRO, 7(2).

Eberhart, R., & Shi, Y., 1998. Comparison between Genetic Algorithms and Particle Swarm Optimization. Evolutionary programming VII (pp. 611-616). Springer Berlin/Heidelberg.

Marbun, Y., Nikentari, N., Bettiza, M., 2013. Perbandingan Algoritma Genetika dan Particle Swarm Optimization dalam Optimasi Penjadwalan Matakuliah. [e-journal]. Tersedia di: <http://jurnal .umrah.ac.id/wp-content/uploads/2013/ 08/Yuniar-Marbun-090155201007.pdf> [Diakses 19 April 2017]

Winarsih, W. H., Priyambodo, R. T., & Husein, A., 2011. Pengembangan Budidaya dan Teknologi Pengolahan Bandeng serta Distribusinya sebagai Sumber Ekonomi Masyarakat di Jawa Timur. Jurnal Cakrawala Vol. 5 No, 2, 1-15.

Murtidjo, B. A., 2002. Budi Daya dan Pembenihan Bandeng. Yogyakarta: Kanisius.

Khairuman, A., & Amri, K., 2002. Membuat Pakan Ikan Konsumsi. Jakarta: AgroMedia Pustaka.

Hu, Xiaohui, 2006. Swarm Intelligence: Particle Swarm Optimization. [online]. Tersedia di:

<http://www.swarmintelligence.org/ind ex.php> [Diakses 2 Januari 2017] Cholissodin, I., Riyandani, E., 2016. Swarm

Intelligence. Fakultas Ilmu Komputer. Universitas Brawijaya.

Widodo, A. W., & Mahmudy, W. F., 2010.

Penerapan Algoritma Genetika pada Sistem Rekomendasi Wisata Kuliner. Genetika (GA), 3(4), 5.

Riyandani, Efi, 2016. Optimasi Komposisi Pakan Sistem Polikultur Ikan dan Udang menggunakan Algoritma Genetika. S1. Universitas Brawijaya. Suryani, F. B., 2016. Optimasi Komposisi Pakan

Sapi Perah Menggunakan Improved Particle Swarm Optimization (IPSO). S1. Universitas Brawijaya.

Gambar

Gambar 1.  proses formulasi. Setiap bahan pakan tersebut mengandung nutrisi protein, lemak, dan serat
Tabel 3. Parameter algoritme PSO
Gambar 4. Grafik pengujian
Gambar 6. Grafik pengujian konvergensi

Referensi

Dokumen terkait

Peserta didik menganalisis tabel dan grafik hubungan antara nomor atom dengan sifat keperiodikan unsur (jari- jari atom, energi ionisasi, afinitas elekton, dan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa komposisi tubuh (air, protein dan lemak tubuh) domba lokal jantan yang diberi pakan hijauan dan pakan tambahan dengan tata

Penelitian ini menggunakan kapur dari sisa pengelasan logam yang menggunakan karbit (kasium karbida) yang direaksikan dengan air membentuk gas asetilen dan kalsium hidroksida [7]

Dalam memastikan kelancaran proses pembelajaran dan pengajaran, pensyarah perlu menyesuaikan penyampaian pengajaran dengan teknologi yang baru bagi dapat memastikan semua

Penelitian berjudul “Peran Ombudsman RI sebagai Lembaga Negara Pengawas Pelayanan Publik Dalam Melakukan Pengawasan Maladministrasi (Study Implementasi Penerimaan

Hal ini mungkin terjadi dikarenakan dengan adanya knowledge management , setiap pengetahuan yang ada di dalam perusahaan telah dikelola dengan baik

Mewakili penutupan dan inversi dari laporan yang dibuat dengan jurnal pembalik dan jurnal kesimpulan Steinbart Romney (2006: 118) menegaskan bahwa profesi akuntan cukup

3.10.1 Menganalisis hubungan antara struktur jaringan penyusun organ pada sistem koordinasi dan mengaitkannya dengan proses koordinasi sehingga dapat menjelaskan peran saraf dan