• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEDUDUKAN HUKUM KESEPAKATAN DAMAI MELALUI MEDIASI PENAL PADA PROSES PERKARA PIDANA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KEDUDUKAN HUKUM KESEPAKATAN DAMAI MELALUI MEDIASI PENAL PADA PROSES PERKARA PIDANA"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

KEDUDUKAN HUKUM KESEPAKATAN DAMAI MELALUI MEDIASI PENAL PADA PROSES PERKARA PIDANA

(Jurnal)

Oleh

MANGGALA SARAYA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

ABSTRAK

KEDUDUKAN HUKUM KESEPAKATAN DAMAI MELALUI MEDIASI PENAL PADA PROSES PERKARA PIDANA

Oleh

Manggala Saraya, Erna Dewi, Firganefi (sarayamanggala@gmail.com)

Selama ini dalam praktik telah banyak penyelesaian perkara pidana melalui mediasi penal yang dapat menghentikan proses perkara pidana. Padahal belum terdapat undang-undang yang secara eksplisit mengatur mengenai penghentian perkara yang telah dilakukan kesepakatan damai melalui mediasi penal. Permasalahan dalam penelitian ini, bagaimana kedudukan hukum kesepakatan damai melalui mediasi penal terhdap proses perkara pidana dan bagaimana prespektif penerapan mediasi penal dalam system peradilan pidana Indonesia. Metode penelitian yang dipakai yaitu yuridis sosiologis.Narasumber penelitian ini adalah penyidik dan polisi masyarakat wilayah hukum Kepolisian Resor Kota Metro, serta dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Hasil Penelitian yang didapat yaitu kedudukan hukum kesepakatan damai melalui mediasi penal pada proses perkara pidana belum diakui secara penuh dalam pedoman umum KUHP dan hukum acara KUHAP. Sedangkan pada praktiknya kedudukan hukum kesepakatan damai tersebut mengikat para pihak di dalamnya dan pelaksanaannya didukung dengan diskresi kepolisian. Berdasarkan pandangan

restorative justice, kepolisian sebagai gate keeper dalam sistem peradilan pidana dapat mengambil peran untuk memilah perkara-perkara yang harus diselesaikan melalui lembaga-lembaga dalam sistem peradilan pidana atau cukup melalui kepolisian saja untuk penyederhanaan proses peradilan. Saran dalam penelitian ini agar pembentuk undang-undang (Legislatif) segera mengundangkan RUU KUHAP yang memuat aturan kesepakatan damai sebagai alasan penghentian proses perkara pidana, adanya pengawasan dari pimpinan kepolisian dalam penerpan mediasi penal, dan masyarakat mengedepankan musyawarah dalam penyelesaian masalah.

(3)

ABSTRACT

THE LEGAL POSITION OF PEACE AGREEMENT THROUGHT PENAL MEDIATION ON CRIMINAL CASE PROCESS

By:

Manggala Saraya, Erna Dewi, Firganefi (sarayamanggala@gmail.com)

All this time in practice, many criminal cases have been settled through penal mediation that can stop criminal proceedings. Though there is no regulation that explicitly regulates the termination of the case that has been done with peace agreement through mediation penal. The problems in this research, how the legal position of peace agreement through penal mediation on criminal prosecution process and how the perspective of applying penal mediation in Indonesian criminal justice system. The research method used is juridical sosiologis.Narasumber of this research is the investigator and police community jurisdiction of Metro City Resort Police, as well as lecturer at the Criminal Law Faculty of Law University of Lampung. The result of the research is that the legal status of the peace agreement through penal mediation in the criminal proceedings process has not been fully recognized in the general guidelines of the Criminal Code and the procedural law of the Criminal Procedure Code. While in practice the legal status of the peace agreement binds the parties in it and its implementation is supported by the police discretion. Based on the views of restorative justice, the police as gate keepers in the criminal justice system may take the role of sorting cases that must be resolved through institutions within the criminal justice system or simply through the police only to simplify the judicial process. The suggestion in this research is that the legislator will immediately enact the RUU KUHAP which contains the rules of peace agreement as the reason for the termination of criminal process, the supervision of the police chief in the mediation of penal, and the community put forward the deliberation in solving the problem.

Keywords: Legal Position, Penal Mediation, Criminal Case

(4)

I. PENDAHULUAN

Proses penegakan hukum pidana di Indonesia secara umum bertumpu pada Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Acara Pidana (KUHAP). Dimana penegakan hukum hanya bertumpu pada negara sebagai pemberi keadilan mengakibatkan sedikitnya peran individu dalam penyelesaian perkara pidana. Pencari keadilan sepenuhnya terpaku pada sistem yang dibangun oleh Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Permasyarakatan. Pada akhirnya pun, hal ini turut mempengaruhi sistem peradilan pidana yang lebih dimaknai dengan menyelesaikan semua penanganan perkara pidana dengan rambu-rambu hukum positif yang bersifat kaku dan mekanik, sehingga penyelenggaraan penegakan hukum dijalankan tanpa seleksi perkara dan lebih mewujudkan pada keadilan prosedural. Padahal setiap orang memiliki kebutuhan dan tingkat akseptabilitas yang beragam atas rasa keadilan.

Konsekuensi dari konsep tersebut juga dapat menimbulkan masalah lain. Meningkatnya volume dan jenis perkara yang diajukan ke pengadilan harus berhadapan dengan lembaga yang memiliki keterbatasan teknis dan sumber daya manusia. Dalam faktanya Yahya Harahap mendeskripsikan kritik terhadap pengadilan yaitu: penyelesaian perkara melalui litigasi sangat lama, biaya berperkara mahal, pengadilan kerap tidak rensponsif, putusan pengadilan tidak menyelesaikan

masalah dan kemampuan para hakim bersifat generalis. 1

Akhir dari penjatuhan pidana adalah terpidana menjadi narapidana di lembaga permasyarakatan. Dampaknya permasyarakatan menjadi penuh, yang melahirkan promblem kompleks sehingga tujuan

permasyarakatan dan

kemanfaatannya tidak dapat dirasakan masyarakat. Sehingga negara tidak menggambil manfaat, bahkan pada kenyataannya menanggung beban ekonomi yang tinggi (high cost economy).2

Merujuk pada kondisi permasalahan penegakan hukum tersebut maka timbul kebutuhan akan suatu

mekanisme yang mampu

mengakomoditir kepentingan-kepentingan serta menghasilkan keputusan bersama. Salah satu konsep yang muncul untuk mewujudkan gagasan tersebut adalah Mediasi Penal sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana diluar peradilan.

Apabila dikaitkan dengan Pancasila sebagai ideologi negara, maka mediasi penal yang berbentuk musyawarah mufakat sejalan dengan sila ke 4 Pancasila yakni “ Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam

permusyawaratan/ perwakilan”

Pancasila menyerukan untuk pembuatan keputusan harus mengedepankan musyawarah untuk mencapai mufakat.

1 M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan

Mengenai Sistem Peradilan Dan Sengketa, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm. 153 2 Bambang Waluyo, Penegakan Hukum Di

(5)

Mekanisme mediasi yang merupakan bagian dari Alternative Dispute Resolution selama ini hanya dikenal dalam hukum perdata. Kini mediasi, mulai banyak dipraktikan untuk menyelesaikan perkara pidana karena pergeseran dari paradigma penegakan hukum pidana dari keadilan retributif menjadi keadilan restoratif. Penegakan hukum yang berorientasi pada keadilan retributif, lebih menekankan penjatuhan hukuman terhadap pelaku atau balas dendam. Sedangkan penegakan hukum yang berorientasi pada keadilan restoratif terdapat perkembangan penyelesaian perkara pidana yang memperhatikan kepentingan pemulihan hak-hak korban sehingga korban dan pelaku dapat hidup berdampingan secara damai seperti sebelum terjadinya kejahatan.3

Praktik mediasi penal sudah sering dilakukan terhadap penyelesaian perkara pidana diluar pengadilan. Padahal, di Indonesia belum terdapat Undang-undang yang mengatur secara eksplisit mengenai aturan mediasi untuk menyelesaikan perkara pidana. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa serta Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan hanya melingkupi ranah hukum perdata, sehingga fakta ini menimbulan pertanyaan seperti apa dasar pelaksanaan mediasi penal.

Ketika tercapainya pelaksanaan mediasi penal maka menghasilkan suatu kesepakatan. Dalam perkara

3 Jonlar Purba, Penegakan Hukum Terhadap

Tindak Pidana Bermotif Ringan, Jala Permata Aksara, 2017, hlm. 25.

perdata, upaya damai merupakan hal yang sudah terlegitimasi dengan asas dan peraturan-peraturan yang terkait dengan keperdataan. Namun untuk hukum pidana terdapat prinsip ganti rugi tidak menghapus sifat melawan hukum dalam tindak pidana. Selain itu dalam hukum acara pidana, pencabutan laporan/ aduan dapat dilakukan tergantung pada klasifikasi tindak pidananya, apakah merupakan delik biasa (gewone delic) atau delik aduan (klacht delic). Hal tersebut menimbulkan pertanyaan, apakah kesepakatan tersebut mengikat secara mutlak terhadap pelaku dan korban. Serta haruskah kepolisian menghentikan perkara yang telah di mediasi tersebut.

Berdasarkan latar belakang tersebut dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah kedudukan hukum kesepakatan damai melalui mediasi penal terhadap proses perkara pidana?

2. Bagaimanakah prespektif penerapan mediasi penal dalam sistem peradilan pidana Indonesia?

(6)

II. PEMBAHASAN

A. Kedudukan Hukum

Kesepakatan Damai melalui Mediasi Penal pada Proses Perkara Pidana

Beberapa kebijakan yang memungkinkan adanya penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan, antara lain:

a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juncto Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 (KUHP), dalam Pasal 82 menjelaskan kewenangan/ hak menuntut delik pelanggaran itu hapus, apabila terdakwa telah membayar denda maksimum untuk delik pelanggaran itu,yang dikenal dengan istilah “afkoop” atau “pembayaran denda damai” b. Undang-Undang Nomor 39 Tahun

1999 tentang Hak Asasi Manusia, dalam Pasal 1 ayat (7) menjelaskan adanya kewenangan Komnas HAM untuk melakukan mediasi terhadap kasus pelanggaran HAM.

c. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, menjelaskan adanya kewenangan diskresi kepolisian pada Pasal 18.

d. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, berdasarkan Pasal 236, pihak yang menyebabkan kecelakaan lalu lintas diwajibkan memberikan ganti kerugian dan dapat dilakukan kesepakatan damai diluar pengadilan.

e. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), mengenal adanya diversi yaitu

pengalihan proses perkara pidana diluar pengadilan untuk pelaku kategori anak.

f. Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP, menentukan pencurian dibawah Rp 2.500.000,- tidak dapat ditahan.

g. Surat Kapolri No. Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS

tentang Penanganan Kasus Melalui Alternatif Dispute Resolution (ADR), kekuatan hukum Surat Kapolri memang tidak setara dengan kekuatan hukum undang-undang, namun dapat dikatakan Surat Kapolri ini adalah aturan pertama yang secara tegas mengatur masalah mediasi penal meskipun secara parsial dan terbatas sifatnya. Surat kapolri ini memerintahkan penyidik untuk menyaring perkara mana yang harus dilimpahkan ke kejaksaan dan mana yang lebih baik diselesaikan melalui ADR sebagai perwujudan restorative justice. Pada surat Kapolri ini ditentukan beberapa langkah-langkah penanganan kasus melalui ADR, yaitu:

1. Mengupayakan penanganan kasus pidana yang mempunyai kerugian materi kecil, penyelesaiannya dapat diarahkan melalui konsep ADR;

2. Penyelesaian kasus pidana harus disepakati oleh pihak-pihak yang berperkara namun apabila tidak terdapat kesepakatan baru diselesaikan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku secara profesional dan proporsional;

(7)

mufakat dan menghormati norma sosial/adat serta memenuhi azas keadilan.

4. Untuk kasus yang telah dapat diselesaikan melalui konsep ADR agar tidak lagi disentuh oleh tindakan hukum lain yang kontra produktif dengan tujuan Polmas.

Beberapa ketentuan tersebut memberi kemungkinan adanya penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan, namun bagaimanapun juga belum secara eksplisit dan tegas mengatur mengenai mediasi penal. Hanya dalam UU SPPA yang kemungkinan adanya penyelesaian perkara pidana diluar pengadilan yang dinyatakan secara eksplisit dengan istilah diversi, sementara UU SPPA keberlakuannya hanya untuk tindak pidana yang dilakukan oleh anak. UU SPPA hanya berlaku pada pelaku anak, sementara pada prakteknya banyak mediasi yang dilakukan pada pelaku orang dewasa. Dalam prakteknya mediasi penal biasanya selalu diiringi dengan kesepakatan damai. Kesepakatan damai tersebut biasanya disertai dengan pemberian maaf dari korban ke pelaku dan kesidiaan korban untuk mencabut laporan/ aduan atas perbuatan pelaku.

Merujuk pada KUHAP kesepakatan damai melalui mediasi penal bukanlah salah satu syarat menghentikan proses penyidikan. Alasan penyidik menghentikan penyidikan berdasarkan Pasal 109 ayat (2) KUHAP, yaitu:

1. Tidak diperoleh cukup bukti; 2. Peristiwa yang disangkakan

ternyata bukan merupakan tindak pidana;

3. Penghentian penyidikan demi hukum.

Berkaitan dengan penghentian perkara pada proses penyelidikan ataupun penyidikan perlu kita perhatikan pembagian delik menjadi delik biasa (gewone delic) dan delik aduan (klacht delik). Sebagian besar delik-delik dalam KUHP adalah delik biasa. Bahkan menurut Eddy O.S Hiariej, syarat ditentukannya suatu delik merupakan delik aduan harus secara eksplisit dinyatakan dalam pasal.4 Pencabutan aduan hanya dimungkinkan pada delik aduan yang tercantum dalam Pasal 75 KUHP.

Terkait dengan delik aduan, R. Soesilo membedakan delik aduan menjadi 2 jenis, yaitu:

1. Delik aduan absolut, ialah delik yang selalu hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan seperti tersebut dalam pasal, diantaranya dalam Pasal: 284, 287, 293, 310, dan berikutnya, 332, 322 dan 369 KUHP. 2. Delik aduan relatif, ialah delik yang biasanya bukan merupakan delik aduan tetapi berdasarkan pasal 367 lalu menjadi delik aduan.5

Kemudian berkaitan dengan alasan penghentian proses perkara pidana terkait peniadaan penuntutan dan pengahapusan hak menuntut, berdasarkan Bab VIII Buku I KUHP tentang Hapusnya Kewenangan Menuntut Pidana dan Menjalankan Pidana adalah:

4 Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum

Pidana, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, 2015, hlm. 145.

5 R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum

(8)

1. Telah terdapat putusan hakim mengenai tindakan yang sama yang berkekuatan hukum tetap (in kracht); (Pasal 76)

2. Terdakwa meninggal dunia; (Pasal 77)

3. Perkara tersebut telah daluwarsa; (Pasal 78)

4. Penyelesaian diluar persidangan dengan membayar denda maksimum untuk pelanggaran yang diancam dengan pidana denda. (Pasal 82)

Setiap penegakan hukum pidana sudah seharusnya berpijak pada ketentuan undang-undang hukum pidana agar adanya kepastian hukum. Terhadap penerapan teori kepastian hukum, Kelmen memberikan pandangannya bahwa kepastian hukum menurut positivis adalah setiap pernyataan preskriptif yang dapat dikualifikasikan sebagai hukum positif itu mesti dirumuskan dalam suatu kalimat yang menyatakan adanya hubungan kausal yang logis yuridis antara suatu peristiwa hukum atau perbuatan hukum dengan akibat yang timbul.6

Secara lebih sederhana menurut pandangan legisme dan positivis bahwa pada hakikatnya hukum adalah hanya sebatas hukum yang tertulis(undang-undang).Selanjutnya, paham ini beranggapan bahwa keadilan merupakan sesuatu yang abstrak dan sangat subyekif, sehingga menurut pemikiran mereka bahwa yang adil adalah yang sesuai dengan aturan perundang-undangan.7

6 I Ketut Sudira, Mediasi Penal Perkara

Penelantaran Rumah Tangga, UII Press, Yogyakarta, 2016, hlm. 25.

7Ibid.

Berdasarkan pandangan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa penerapan kesepakatan damai melalui mediasi penal yang berkedudukan untuk menghentikan proses perkara pidana dengan jalan menyelesaikannya diluar pengadilan sebenarnya belum diakui secara penuh dalam KUHP dan KUHAP. Apabila penerapan mediasi penal yang berakibat dengan penghentian proses perkara pidananya dikaitakan dengan teori kepastian hukum maka pengentian proses perkara tersebut bertentangan dengan kapastian hukum.

Pada praktiknya mediasi penal banyak diterapkan pada proses perkara pidana di tahap kepolisian. Perkara pidana yang pada prosesnya pernah diselesaikan melalui mediasi penal oleh Kepolisian di wilayah hukum Kepolisian Resor Kota Metro, yaitu: Penganiayaan ringan, Pencurian ringan, Pengrusakan bararang, Penipuan, Penggelapan, Pelecehan seksual, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), Kecelakaan lalu lintas.8

Praktek mediasi penal pada delik biasa sebenarnya tidak dimungkinkan apabila melihat pada

KUHP dan KUHAP. Pada

Praktiknya bahwa ketika seorang terlapor bahkan tersangka mengakui kesalahannya dan bersedia memulihkan serta memnuhi kebutuhan korban, yang kemudian pihak korban menghendaki maka mediasi penal dapat diterapkan.

8 Berdasarkan hasil olah data primer

(9)

Menurut Nedi Herman, selain adanya kehendak para pihak karakteristik perkara yang dapat diupayakan melalui mediasi penal adalah:

1. Perbuatan masih bisa dimaafkan atau tindak pidana ringan.

2. Tindak pidana yang

mengakibatkan kerugian relatif ringan;

3. Pelaku bukan residivis;

4. Melihat motif dilakukannya perbuatan tersebut.9

Hasil penelitian telah menunjukan bahwa dalam penerapan mediasi penal yang mengahasilkan kesepakatan damai di Kota Metro selalu ada klausul mengenai kesediaan pihak korban untuk mencabut laporan ke kepolisian dan tidak akan melanjutkan tuntutan hukum. Pada praktiknya mediasi penal di Kota Metro, kedudukan hukumnya dari kesepakatan damai melalui mediasi penal yaitu:

1. Mewajibkan pelaku memenuhi kebutuhan korban dan memulihkan kerugian korban; 2. Korban menghormati kesepakatan

damai dengan mencabut laporan kepolisian;

3. Dihentikannya proses perkara pidana tersebut.10

Praktik mediasi penal merupakan proses pemecahan masalah dimana pelaku dan korban dipertemukan untuk mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan atau win-win solution. Selama ini upaya

9 Hasil Wawancara dengan Nedi Herman,

Penyidik Reserse Kriminal Kepolisian Resor Kota Metro.

10 Berdasarkan hasil olah data primer berupa

dokumen kesepakatan damai/ Rembug Kelurahan di wilayah hukum Kepolisian Resor Kota Metro.

penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan dipraktikan melalui diskresi aparat penegak hukum, khususnya kepolisian, dalam hal ini kepolisian dalam proses penyelidikan maupun penyidikan menentukan apakah sebuah perkara akan diproses lebih lanjut ataukah diberhentikan. Walaupun praktik mediasi penal terlihat seolah-olah mengabaikan ketentuan hukum positif namun pada kenyataannya mediasi penal lebih mengedepankan kemanfaatan baik bagi bara pihak terhadap kehidupan yang akan. Hal tersebut sesuai dengan penegakan hukum paradigma

restorative justice yaitu terdapat perkembangan penyelesaian perkara pidana yang memperhatikan kepentingan pemulihan hak-hak korban sehingga korban dan pelaku dapat hidup berdampingan secara damai seperti sebelum terjadinya kejahatan.

Berkaitan dengan tujuan kemanfaatan dalam pemidanaan, Bentham menyatakan bahwa pidana sama sekali tidak memiliki nilai pembenaran apapun bila semata-mata dijatuhkan untuk sekedar menambah lebih banyak penderitaan atau kerugian pada masyarakat. Beranjak dari pemikiran Bentham maka penjatuhan hukuman melalui pidana yang berupa memberikan pembalasan penderitaan pelaku bukanlah hal yang utama. Karena pada prinspnya hukum pidana berlaku sebagai ultimum remidium

berarti hukum pidana merupakan sarana terakhir yang digunakan untuk menyelesaikan suatu permasalahan hukum.11

11 Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum

(10)

Jeremy Bentham, mengemukakan bahwa selain pembalasan, sifat-sifat penting dalam penjatuhan hukuman harus bermanfaat. Ada tiga kemanfaatan dari penjatuhan hukuman. Pertama, penjatuhan hukuman atau pemidanaan harus bermanfaat jika meningkatkan perbaikan diri pada pelaku kejahatan. Kedua, pemidanaan harus menghilangkan kemampuan untuk melakukan kejahatan. Ketiga, penjatuhan hukuman atau pemidanaan harus memberikan ganti kerugian kepada pihak yang dirugikan.12

Berdasarkan pendapat Bentham tersebut maka dijatuhkannya hukuman selain harus memberikan efek jera terhadap pelaku juga harus dapat memberikan ganti kerugian terhadap korban. Hal tersebut sejalan dengan praktik mediasi penal di Kota Metro yang kedudukan kesepakatan damai berakibat pada kemanfaatan para pihak dengan adanya kesepakatan pemberian ganti kerugian.

B.Prespektif Penerapan Mediasi Penal dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia

Sistem Peradilan Pidana yang berlaku di Indonesia secara umum mengacu pada Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Acara Pidana (KUHAP). Berkaitan dengan hal tersebut maka penegakan hukum hanya bertumpu pada negara sebagai pemberi keadilan. Pencari keadilan sepenuhnya terpaku oleh sistem yang dibangun Kepolisian, Kejaksaan,

Pengadilan dan

Permasyarakatan.Selain itu karena hukum pidana termasuk pada hukum

12Ibid, hlm. 31.

publik maka mengakibatkan sedikitnya peran individu dalam penyelesaian perkara pidana.

Menanggapi hal tersebut Maroni berpendapat bahwa tindak pidana harus diselesaikan melalui sub-sub sistem dalam peradilan pidana yang berujung pada pemidanaan merupakan pandangan lama yang terdapat dalam KUHP dan KUHAP. Sedangkan dalam pandangan

Restorative Justice pemisahan kerja antara subsistem dapat saja terjadi, sehingga kepolisian sebagai gate keeper dapat memilah perkara yang tepat diselesaikan melalui sub-sub sistem peradilan pidana ataukah proses perkara dapat diselesaikan hanya berhenti pada lembaga kepolsian saja.13

Berdasarkan lembaga-lembaga dalam sistem peradilan pidana maka Kepolisian merupakan subsistem dalam sistem peradilan pidana yang cukup menentukan keberhasilan dan kerja keseluruhan sistem dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini dikarenakan kepolisian merupakan subsistem yang secara langsung berhubungan dengan pelaku tindak pidana dan masyarakat, sehingga tugas dan tanggung jawab kepolisian dapat dikatakan lebih besar dari subsistem lainnya. Maka dari itu sebagai subsistem yang berkewenangan pada tahap awal, kepolisian diharap dapat memilah perkara yang dapat diselesaikan melalui sistem peradilan

13 Hasil wawancara dengan Maroni, Dosen

(11)

pidana secara utuh atau melalui proses di kepolisian saja.14

Deswan Andrianto berpendapat bahwa setiap permasalahan tidak harus diselesaikan melalui proses peradilan karena masih ada cara-cara lain yaitu musyawarah untuk mufakat. Menurut Deswan penyelesaian perkara melalui mediasi penal merupakan cara penyelesaian yang efektif dengan melibatkan pihak keluarga pelaku dan keluarga korban serta tokoh masyarakat. Dalam prakteknya sebagai upaya awal kepolisian seharusnya mempunyai peran aktif berupa tawaran menyelesaikan perkara melalui mediasi. Pelaksanaan mediasi itu sendiri didasarkan pada keinginan para pihak dalam upaya dalam tercapainya kesepakatan win-win solution melalui mediasi penal.15

Model Penerapan berdasarkan hasil kajian dalam penelitian yang paling mendekati dengan penerapan mediasi penal berdasarkan paradigma

Restorative Justice adalah model

Victim-Offender Mediation dan

Restorative Conference.

Pada model Victim-Offender

Mediation prinsipnya

mempertemukan pihak korban dan pelaku yang difasilitatori oleh mediator, kemudian pada model

Restorative Conference terdapat pihak selain primary victim yang termasuk seconday victim (keluarga dan kerabat). Tujuannya yaitu mendukung para pelaku untuk bertanggung jawab dan memberikan

14 Hasil wawancara dengan Gunawan

Djatmiko, Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. 15 Hasil wawancara Deswan Andrianto,

Polisi Masyarakat Kepolisian Resor Metro.

pelaku kesempatan untuk mengatasi palanggaran atau kejahatan yang telah dilakukannya dan mendorong sebuah proses yang memberdayakan secara emosional dan memuaskan bagi kedua belah pihak.16

Berdasarkan model tersebut dapat dikembangkan tentang prinsip kerja yang terkandung yang terkandung dalam mediasi penal berdasarkan paradigma restorative justice, sebagai berikut:

a. Penanganan Konflik (Conflict Handeling/Konnflicktbearbeitung) b. Berorientasi Pada Proses (Process Orientation/ Prozessorientierung)

c. Proses Informal (Informal Processeding- Informaliteid) d. Partisipasi Aktif dan Otonom Para

Pihak (Active And Autonomous Participation-Parteiautonomiel Subjektivierung).17

Adanya semangat paradigma

Restorative Justice pada penegakan hukum melalui mediasi penal baru terdapat dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Acara Hukum Pidana 2012 (RUU KUHAP 2012) pada Pasal 111. Penghentian Penyidikan dapat dilakukan apabila dicapainya penyelesaian mediasi antara korban dan tersangka.

Praktek Mediasi Penal sebenarnya dapat dikatakan sesuai dengan kepribadian asli bangsa Indonesia berdasarkan kearifan lokal yakni sudah dipraktekkan sejak zaman Majapahit pada Kitab Kuntara Munawa. Kemudian di beberapa masyarakat adat di Indonesia seperti di Lampung terdapat pada Kitab

16 Bambang Waluyo, Penegakan Hukum Di

Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2015, hlm. 166.

(12)

Simbur Cahaya dan Kuntara Raja Niti, dan di Sulawesi Selatan terdapat pada Kitab Lontara Suku Nak Wajo.

Sebagai bahan komparasi banyak negara-negara di Eropa yang sudah menerapkan mediasi penal dalam Sistem Peradilan Pidananya, seperti: Albania, Austria, Ceko, Prancis, Jerman, Belanda, Norwegia, Polandia dan Inggris.18 Melihat penerapan mediasi penal di berbagai negara tersebut maka dapat dikatakan mediasi penal diakui dalam proses perkara melalui sistem peradilan pidana. Kemudian penerapannya tidak terbatas pada pelaku anak tetapi juga termasuk orang dewasa. Dalam penerapannya tidak ada keseragaman di berbagai negara dalam hal penerapan mediasi penal,baik terhadap perkara-perkara yang dapat diselesaikan melalui mediasi penal, maupun menyangkut pelaksanaannya sendiri. Tetapi pada intinya adalah mediasi penal merupakan salah satu instrument atau pendekatan untuk tercapainya keadilan restoratif.

Praktik mediasi penal di berbagai negara Eropa yang mengedepankan penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan lambat laun dapat berimbas ke Indonesia. Negara Belanda yang melatarbelakangi penerapan KUHP dan KUHAP di Indonesia bahkan telah menerapkan mediasi penal dalam sistem peradilan pidananya melalui pendekatan bernama HALT (het alternatief) atau alternatif yang dilaksanakan oleh polisi. Pendekatan ini fokus pada restitusi materiil. Mediasi merupakan pilihan pengalihan yang dapat diterapkan pada tahap penyidikan yang berarti ditangani oleh polisi atau pada tahap persidangan yang

18 Eddy O.S. Hiariej, Op. Cit, hlm. 486.

akan ditangani oleh penuntut umum. Mediasi yang sukses akan diikuti oleh penebusan kepada korban. Konsekuensi lebih lanjut, kasusnya akan dibatalkan namun hanya untuk kasus-kasus ringan.19

Perlu adanya terobosan dalam sistem peradilan pidana untuk mengupayakan adanya mediasi penal. Wacana penerapan mediasi penal dalam sistem peradilan pidana setidaknya harus mencangkup antara lain perlindungan korban, restorative justice, harmonisasi, mengatasi kekakuan/formalitas sistem yang berlaku, menghindari efek negatif dari sistem peradilan pidana dan sistem pemidanaan dari pidana penjara. Selain itu, secara pragmatis untuk mengurangi stagnasi penumpukan perkara dan

overcapacity warga binaan di lembaga permasyarakatan yang pada akhirnya sebagai penyederhanaan proses peradilan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.

Mekanisme mediasi penal dapat dikatakan sesuai dengan salah satu tujuan sistem peradilan pidana yaitu mediasi penal dapat berfungsi sebagai penyelesaian konflik di dalam masyarakat sehingga masyarakat puas bahwa keadilan dapat didengarkan. Kemudian win-win solution dalam mediasi penal yang memberikan perhatian terhadap korban dapat dikatakan lebih bermanfaat dan para pihak dapat hidup berdampingan kembali, yang pada dasarnya hal tersebut sesuai dengan tujuan akhir dari sistem perdilan pidana yaitu kesejahteraan sosial.

(13)

III. PENUTUP A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Kedudukan kesepakatan damai melalui mediasi penal pada proses perkara pidana belum diakui secara penuh dalam pedoman umum KUHP dan hukum acara yang mengatur kewenangan aparat penegak hukum bertindak yaitu KUHAP. Mediasi penal hanya dapat diterapkan pada tindak pidana yang tergolong delik aduan yang pengaturannya pada Pasal 75 KUHP, sedangkan pada delik biasa tidak dimungkinkan. Oleh karenanya kedudukan hukum kesepakatan damai sebenaranya tidak dapat menghentikan proses perkara pidana yang sedang berjalan dengan memperhatikan Pasal 109 ayat (2) KUHAP dan hapusnya kewenangan menuntut dalam Pasal 76, 77, 78 dan 82 KUHP.

Pada praktiknya mediasi sering diterapkan juga pada delik biasa yang menimbulkan kerugian ringan berdasarkan diskresi kepolisian yang didukung dengan Surat Kapolri No. Pol : B/3022/XII/2009/SDEOPS. Kemudian dalam praktiknya kedudukan hukum kesepakatan damai tersebut mengikat para pihak di dalamnya. Penerapannya seolah mengabaikan hukum positif namun dari segi kemanfaatan hal tersebut dapat diterima bagi pihak pelaku dan pihak korban serta masyarakat.

2. Penerapan mediasi penal dalam sistem peradilan pidana di

Indonesia merupakan hal yang tepat. Namun praktiknya sekarang hanya dilakukan melalui kewenangan diskresi kepolisian dan pengaturannya baru sebatas wacana dalam RUU KUHAP 2012. Konsep mediasi penal sebenarnya sudah diterapkan sejak zaman Kerajaan Majapahit dan di beberapa masyarakat adat di Indonesia. Selain itu banyak negara-negara di Eropa yang sudah menerapkan mediasi penal dalam sistem peradilan pidananya. Beranjak dari pandangan

restorative justice, kepolisian sebagai gate keeper dalam sistem peradilan pidana dapat mengambil peran untuk memilah perkara-perkara yang harus diselesaikan melalui lembaga-lembaga dalam sistem peradilan pidana atau cukup melalui kepolisian saja untuk penyederhanaan proses peradilan.

B. Saran

Beberapa saran dapat diberikan berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian. Saran-saran tersebut sebagai berikut:

1. Pembentuk undang-undang (Legislatif) agar segera mengundangkan rancangan KUHAP yang memuat aturan kesepakatan damai sebagai alasan penghentian proses perkara pidana supaya praktik mediasi penal memiliki legitimasi dalam sistem peradilan pidana Indonesia.

2. Kepolisian sebagai gate keeper

(14)

Pengawasan juga harus dilakukan oleh pimpinan terhadap penghentian proses perkara pidana yang dilakukan oleh penyelidik ataupun penyidik agar diskresi kepolisian yang dilakukan benar-benar diterapkan karena alasan kemanfaatan bagi para pihak dan pemulihan kerugian bagi korban sebagi perwujudan retorative justice, supaya jangan sampai menjadi celah adanya suap agar pelaku bebas dari jeratan hukum.

3. Masyarakat agar turut serta dalam mengawasi pelaksanaan mediasi penal agar tidak ada

penyimpangan dalam

pelaksanaannya dan mendorong adanya penyelesaian konflik yang mengutamakan musyawarah.

DAFTAR PUSTAKA

Harahap, M. Yahya, 1997, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem

Peradilan dan

Sengketa,Bandung: Citra Aditya Bakti.

Hiariej, Eddy O.S., 2015, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana (Edisi Revisi), Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka. Purba, Jonlar, 2017 Penegakan

Hukum Terhadap Tindak Pidana Bermotif Ringan Dengan Restorative Justice,

Jakarta: Jala Permata Aksara.

Soesilo, R., 1982, Hukum Acara

Pidana (Prosedur

Penyelesaian Perkara Pidana menurut KUHAP bagi Penegak Hukum),

Bogor: Politeia.

Sudira, I Ketut, 2016, Mediasi Penal Perkara Penelantaran

Rumah Tangga, Bali: UII Press.

Waluyo, Bambang, 2015,

Penegakan Hukum Di

Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Undang-Undang Nomor 39 Tahun

1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Peraturan Mahkamah Agung Nomor

2 Tahun 2012 tentang Penyelesaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP..

Surat Kapolri No Pol

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil eksperimen yang telah dilakukan, diperoleh sensitivitas tertinggi sensor sebesar 0,219 dB/A pada rentang pengukuran arus listrik 9-17 A dengan span sebesar 8

Seni ukir kayu motif khas Timor merupakan salah satu produk budaya asli Timor yang patut dilestarikan. Modernisasi menggerus hampir semua nilai dan aspek kehidupan, sehingga

Dengan keyword “Energetic” menjadi acuan visualisasi dan dapat menyampaikan maksud dan tujan yang sesuai untuk perancangan media promosi sanggar tari Raff Dance Company

a) Masing-masing kelompok menentukan satu anggota yang akan mempresentasikan hasil resume diskusi kelompok. b) Peserta didik yang lain memberikan tanggapan atas

Menopause merupakan masa di sebagian besar kehidupan wanita atau sering disebut dengan “klimakterik” ketika periode masa menstruasi berhenti secara permanen

Menurut Direktorat Jenderal PHPA (1988), senjata yang diperbolehkan untuk membunuh satwa buru hanyalah senjata api. Berdasarkan perhitungan dan kajian literatur,

mensukseskan acara YouMEC 2015.. Strategi Stakeholder Relations Dalam Membina Hubungan Yang Baik. Untuk membina hubungan yang baik dengan para stakeholder ada.. beberapa cara

Perkara pidana pada prinsipnya tidak dapat diselesaikan melalui mekanisme Mediasi. Namun dalam praktek, sering juga perkara pidana diselesaikan melalui mekanisme mediasi,