• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Kebijakan Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (Hiperkes)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Implementasi Kebijakan Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (Hiperkes)"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Implementasi Kebijakan Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (Hiperkes)

Salamatul Afiyah

ABSTRAK

Pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk meningkatkan harkat, martabat, dan harga diri tenaga kerja serta mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, makmur, dan merata, baik materiil maupun spiritual. Pembangunan ketenagakerjaan mengatur terpenuhi hak-hak dan perlindungan yang mendasar bagi tenaga kerja dan pekerja/buruh serta pada saat yang bersamaan dapat mewujudkan kondisi yang kondusif bagi pengembangan dunia usaha. Tenaga kerja sebagai bagian dari pelaku proses produksi barang dan jasa , mempunyai peran yang tidak kalah pentingnya dengan peran dengan faktor produksi lainnya (dana permodalan, alat produksi, dan sebagainya). Untuk itu keberadaan tenaga kerja harus memperoleh pelindungan baik perlindungan ekonomis, perlindungan sosial maupun perlindungan teknis. Di mana salah satu bentuk perlindungan adalah Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (Hiperkes) yang menjadi bagian dari Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Pemeliharaan dan pengembangan tenaga kerja sangat penting,karena bila ditinjau dari Produktivitas tanpa peran tenaga kerja maka faktor produksi lainnya tidak akan punya arti apa-apa. Pelaksanaan Kebijakan Hiperkes bagi suatu perusahaan sangat menguntungkan, karena tujuan akhir dari Hiperkes adalah terpeliharanya kesehatan dan pencegahan penyakit akibat kerja yang berpengaruh terhadap peningkatan produktivitas. Meningkatnya status kesehatan yang seoptimal mungkin bagi setiap pekerja, akan berpengaruh terhadap meningkatnya produktivitas. Tidak adanya absenteisme (atau rendahnya angka absenteisme) dan meningkatnya status kesehatan pekerja akan meningkatkan efisiensi, yang bermuara terhadap peningkatan keuntungan perusahaan. Implementasi Kebijakan Higiene Perusahaan Kesehatan Kerja (Hiperkes) pada kenyataannya belum berjalan sebagaimana yang diharapkan, masih banyak perusahaan yang belum memperhatikan faktor-faktor penyebab penyakit dalam lingkungan kerja dan pengukuran lingkungan kerja, agar pekerja dan masyarakat sekitar perusahaan terhindar dari bahaya akibat kerja serta dimungkinkan mengecap derajat kesehatan setinggi-tingginya. Untuk itu dalam Implementasi Kebijakan Higiene Perusahaan Kesehatan kerja perlu memperhatikan faktor kritis atau variabel dalam menerapkan kebijakan publik: komunikasi (communication), sumber daya (resources), disposisi atau sikap (dispositions or attitudes) struktur birokrasi (bureaucratic structure).

(2)

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor : 13 Tahun 2003 bahwa Pembangunan ketenagakerjaan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk meningkatkan harkat, martabat, dan harga diri tenaga kerja serta mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, makmur, dan merata, baik materiil maupun spiritual. Pembangunan ketenagakerjaan harus diatur sedemikian rupa sehingga terpenuhi hak-hak dan perlindungan yang mendasar bagi tenaga kerja dan pekerja/buruh serta pada saat yang bersamaan dapat mewujudkan kondisi yang kondusif bagi pengembangan dunia usaha.

Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan. Keterkaitan itu tidak hanya dengan kepentingan tenaga kerja selama, sebelum dan sesudah masa kerja tetapi juga keterkaitan dengan kepentingan pengusaha, pemerintah, dan masyarakat. Untuk itu, diperlukan pengaturan yang menyeluruh dan komprehensif, antara lain mencakup pengembangan sumber daya manusia, peningkatan produktivitas dan daya saing tenaga kerja Indonesia, upaya perluasan kesempatan kerja, pelayanan penempatan tenaga kerja, dan pembinaan hubungan industrial. Tenaga kerja sebagai bagian dari pelaku proses produksi barang dan jasa , mempunyai peran yang tidak kalah pentingnya dengan peran dengan faktor produksi lainnya (dana permodalan, alat produksi, dan sebagainya). Untuk itu keberadaan tenaga kerja harus memperoleh pelindungan baik perlindungan ekonomis, perlindungan sosial maupun perlindungan teknis. Di mana yang salah satunya berkaitan dengan higiene perusahaan dan kesehatan kerja (Hiperkes) yang menjadi bagian dari Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Pemeliharaan dan pengembangan tenaga kerja sangat penting, karena bila ditinjau dari Produktivitas tanpa

peran tenaga kerja maka faktor produksi lainnya tidak akan punya arti apa-apa. Penyelenggaraan Hiperkes bagi suatu perusahaan adalah sangat menguntungkan, karena tujuan akhir dari Hiperkes ialah terpeliharanya kesehatan dan pencegahan penyakit akibat kerja yang berpengaruh terhadap peningkatan produktivitas. Hal ini dimungkinkan karena tenaga kerja yang sehat tidak mengidap penyakit dan terhindar dari kecelakaan akibat kerja maka berarti tidak adanya absenteisme para pekerja. Selain itu, dengan meningkatnya status kesehatan yang seoptimal mungkin bagi setiap pekerja, sudah barang tentu akan berpengaruh terhadap meningkatnya produktivitas. Tidak adanya absenteisme (atau rendanya angka absenteisme) dan meningkatnya status kesehatan pekerja ini jelas akan meningkatkan efisiensi, yang bermuara terhadap peningkatan keuntungan perusahaan.

Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (Hiperkes) perlu dipahami oleh seluruh elemen masyarakat sekitar perusahaan dan masyarakat umum yang menjadi konsumen dari hasil-hasil produksi perusahaan, di antaranya melalui pengenalan, evaluasi, pengendalian dan melakukan tindakan perbaikan yang mungkin dapat dilakukan.

Produktivitas merupakan kemampuan seseorang untuk menggunakan seluruh kemampuannya atau mewujudkan potensi guna mewujudkan kreativitas. Dengan demikian produktivitas adalah hubungan antara hasil(output)yang diperoleh dengan sumber daya yang digunakan(input)untuk menghasilkannya. Peningkatan produktivitas yang paling baik adalah dengan dilakukan bersama-sama oleh pekerja dan pengusaha yang didasarkan oleh rasa saling percaya, hubungan industrial yang dijiwai oleh semangat persaudaraan akan menciptakan suasana kerja yang harmonis, aman, penuh gairah dan disiplin tinggi. Kesemuanya ini akan mendorong produktivitas kerja dan pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan para pekerja.

(3)

tersebut agar Kebijakan Hiperkes dapat mencapai tujuannya, maka harus diimplementasikan secara optimal.

Implementasi kebijakan Hiperkes perlu mendapat perhatian, karena implementasi kebijakan dapat mempengaruhi tercapainya tujuan Kebijakan Hiperkes.

Dasar Hukum Kesehatan Kerja

1. Undang-Undang No 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja pasal 3 (tiga) dan pasal 8 (delapan).

2. Peraturan Menteri Perburuhan no 7 Tahun 1964 tentang Syarat-Syarat Kesehatan, Kebersihan serta Penerangan di Tempat Kerja.

3. Permenaker No 2 Tahun 1980 tentang Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja dalam Penyelenggaraan Keselamatan Kerja.

4. Permenaker No 1 Tahun 1981 tentang Kewajiban Melapor Penyakit Akibat Kerja.

5. Permenaker No 3 Tahun 1983 tentang Pelayanan Kesehatan Kerja.

6. Permenaker No 1 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Pemeliharaan Kesehatan Bagi Tenaga Kerja dengan Manfaat Lebih Baik dari Paket Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Dasar Jamsostek.

7. Keputusan Menteri Tenaga Kerja No 333 Tahun 1989 tentang Diagnosa dan Pelaporan Penyakit Akibat Kerja.

8. Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No 1 Tahun 1979 tentang Pengadaan Kantin dan Ruang Makan.

9. Surat Edaran Dirjen Binawas tentang Perusahaan Katering Yang Mengelola Makanan Bagi Tenaga Kerja.

1.2. Batasan Masalah

Pentingnya Implementasi Kebijakan Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (Hiperkes) sebagai bagian dari Perlindungan Tenaga Kerja sesuai Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

1.3. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan yang berjudul Implementasi Kebijakan Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (Hiperkes) ini adalah memberikan pengetahuan kepada masyarakat umum khususnya para pelaku

proses produksi barang dan jasa yaitu pemerintah, pengusaha dan pekerja/buruh agar lebih memahami , mengerti dan timbul kesadaran akan pentingnya kebijakan Hiperkes.

II. KERANGKA TEORI

2.1. Sejarah Higiene Perusahaan

Pada Tingkat Dunia Perkembangan Higiene Industri atau Perusahaan diperkirakan ada sejak adanya hubungan antara pekerjaan dengan penggajian.

Abad ke-16 mulai ada petunjuk yang lebih jelas tentang gambaran penyakit-penyakit yang diderita oleh para tenaga kerja tambang di mana kebanyakan penyakit yang diderita para tenaga kerja adalah penyakit saluran pernapasan yang penyebabnya diduga sebagai akibat terjadinya pemajanan terhadap debu dan batu-batuan yang ditambang.

Abad ke-17, Berdadinne Ramzz yang oleh beberapa penulis dianggap sebagai Bapak Hiperkes (Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja) telah memperjelas persoalan bahwa pekerjaan dapat menimbulkan penyakit yang disebut sebagai penyakit akibat kerja dan juga tentang cara-cara menegakkan diagnosa penyakit akibat kerja.

Pertengahan abad 18, dengan terjadinya revolusi di Inggris, di mana pada saat itu mulai ditemukan cara-cara berproduksi baru, yaitu ditemukan mesin-mesin baru untuk industri tekstil.

Pada tingkat nasional, di Indonesia perkembangan higiene industri di Indonesia tidak diketahui secara pasti kapan tepatnya. Perkembangan higiene industri di Indonesia yang sesungguhnya baru dirasakan beberapa tahun setelah merdeka yaitu pada saat munculnya undang-undang kerja dan undang-undang kecelakaan. Pokok-pokok tentang higiene industri dan kesehatan kerja telah dimuat dalam undang-undang tersebut, meskipun belum dapat dilaksanakan saat itu. 2.2. Pengertian Hiperkes

(4)

kesehatan tenaga kerja, dilakukan dengan mengatur pemberian pengobatan, perawatan tenaga kerja yang sakit, mengatur persediaan tempat, cara-cara dan syarat yang memenuhi norma-norma hiperkes untuk mencegah penyakit baik sebagai akibat pekerjaan, maupun penyakit umum serta menetapkan syarat-syarat kesehatan bagi tenaga kerja.

Soeripto (1992), bahwa Pengertian dari Higiene Perusahaan sendiri adalah spesialisasi dalam ilmu higiene beserta prakteknya yang dengan mengadakan penilaian kepada faktor-faktor penyebab penyakit kualitatif & kuantitatif dalam lingkungan kerja dan perusahaan melalui pengukuran yang hasilnya dipergunakan untuk dasar tindakan korektif kepada lingkungan tersebut serta lebih lanjut pencegahan agar pekerja dan masyarakat sekitar suatu perusahaan terhindar dari akibat bahaya kerja serta dimungkinkan mengecap derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

Sedangkan Kesehatan Kerja sendiri mempunyai pengertian spesialisasi dalam ilmu kesehatan/kedokteran beserta prakteknya yang bertujuan agar tenaga kerja memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya, baik fisik atau mental maupun sosial, dengan usaha-usaha preventif & kuratif terhadap penyakit-penyakit/gangguan-gangguan kesehatan yang diakibatkan faktor-faktor pekerjaan dan lingkungan kerja serta terhadap penyakit-penyakit umum.

Menurut Suma’mur (1976), Higiene Perusahaan adalah spesialisasi dalam ilmu higiene beserta prakteknya yang dengan mengadakan penilaian kepada faktor-faktor penyebab penyakit kualitatif dan kuantitatif dalam lingkungan kerja dan perusahaan melalui pengukuran yang hasilnya dipergunakan untuk dasar tindakan korektif kepada lingkungan tersebut serta bila perlu pencegahan, agar pekerja dan masyarakat sekitar suatu perusahaan terhindar dari bahaya akibat kerja serta dimungkinkan mengecap derajat kesehatan setinggi-tingginya.

Kesehatan kerja adalah spesialisasi dalam ilmu kesehatan/kedokteran beserta prakteknya yang bertujuan, agar

pekerja/masyarakat memperoleh derajat kesehatan setinggi-tingginya, baik fisik, atau mental, maupun sosial, dengan usaha-usaha preventif dan kuratif, terhadap penyakit-penyakit/gangguan-gangguan kesehatan yang diakibatkan faktor-faktor pekerjaan dan lingkungan kerja, serta terhadap penyakit-penyakit umum. Jenis sifat-sifat kesehatan kerja yaitu ; sasaran adalah manusia dan bersifat medis.

Hiperkes merupakan penggabungan dari Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. Di mana pengertian Higiene perusahaan adalah spesialisasi dalam ilmu higiene beserta prakteknya yang lingkup dedikasinya adalah : mengenali, mengukur, dan melakukan penilaian (evaluasi) terhadap faktor penyebab gangguan kesehatan atau penyakit dalam lingkungan kerja dan perusahaan. Dengan menerapkan Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja, maka tenaga kerja dapat dilindungi dan masyarakat sekitar suatu perusahaan terhindar dari bahaya faktor lingkungan yang mungkin diakibatkan oleh beroperasinya suatu perusahaan. Sasarannya adalah lingkungan kerja dan Bersifat teknis-teknologis.

Sedangkan Kesehatan Kerja adalah

spesialisasi dalam ilmu

kesehatan/kedokteran beserta prakteknya yang bertujuan agar pekerja/masyarakat pekerja memperoleh derajat kesehatan sebaik-baiknya (dalam hal dimungkinkan; bila tidak, cukup derajat kesehatan yang optimal), fisik, mental, emosional, maupun sosial, dengan upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif terhadap penyakit/gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh pekerjaan dan/atau lingkungan kerja, serta terhadap penyakit pada umumnya. Sifat-sifat kesehatan kerja Sasarannya adalah manusia dan Bersifat medis/kesehatan.

(5)

keberhasilan penyelenggaraan Higiene Perusahaan Dan Kesehatan Kerja (Hiperkes).

Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, maka Hiperkes adalah penggabungan dua disiplin ilmu yang berbeda yaitu medis dan teknis yang mempunyai tujuan yang sama yaitu menciptakan tenaga kerja yang sehat dan produktif. Faktor yang mempengaruhi sehat dan produktivitas yaitu

1. Beban kerja (fisik, mental, sosial)

2. Beban tambahan dari lingkungan (fisik, kimia, biologis, fisiologis, psikologi) 3. Kapasitas kerja berupa keterampilan,

kesegaran jasmani, kesehatan tingkat gizi, jenis kelamin, umur, ukuran tubuh. 2.3. Hakikat dan Tujuan Hiperkes

1. Hakikat Hiperkes

a. Sebagai alat untuk mencapai derajat kesehatan tenaga kerja yang setinggi-tingginya, baik buruh, petani, nelayan, pegawai negeri, atau pekerja-pekerja bebas, dengan demikian dimaksudkan untuk kesejahteraan tenaga kerja

b. Sebagai alat untuk meningkatkan produksi, yang berlandaskan kepada meningginya efisiensi dan daya produktivitas faktor manusia dalam produksi. Oleh karena hakikat tersebut selalu sesuai dengan maksud dan tujuan pembangunan di dalam suatu negara maka Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja selalu harus diikut sertakan dalam pembangunan tersebut.

2. Tujuan Hiperkes

a. Meningkatkan derajat kesehatan karyawan setinggi-tingginya melalui pencegahan dan penanggulangan penyakit dan kecelakaan akibat kerja serta pemeliharaan dan peningkatan kesehatan dan gizi karyawan.

b. Meningkatkan produktivitas karyawan dengan memberantas kelelahan kerja,meningkatkan kegairahan kerja dan memberikan perlindungan kepada karyawan dan

masyarakat sekitarnya terhadap bahaya-bahaya yang mungkin ditimbulkan oleh perusahaan.

3. Ruang Lingkup Hiperkes a. Kesehatan kuratif b. Kesehatan preventif

c. Pengamanan bahaya oleh proses produksi

d. Penyesuaian alat dan tenaga kerja Ruang lingkup kegiatan atau aktivitas higiene industri, mencakup kegiatan mengantisipasi, mengenal, mengevaluasi, dan mengendalikan.

1) Mengantisipasi

Antisipasi merupakan kegiatan untuk memprediksi potensi bahaya dan risiko di tempat kerja. Tahap awal dalam melakukan atau

penerapan higiene

industri/perusahaan di tempat kerja. Adapun tujuan dari antisipasi adalah :

a) Mengetahui potensi bahaya dan risiko lebih dini sebelum muncul menjadi bahaya dan risiko yang nyata.

b) Mempersiapkan tindakan yang perlu sebelum suatu proses dijalankan atau suatu area dimasuki.

c) Meminimalisasi kemungkinan risiko yang terjadi pada saat suatu proses dijalankan atau suatu area dimasuki.

2) Mengenal

(6)

a) Mengetahui karakteristik suatu bahaya secara detil (sifat, kandungan, efek, severity, pola pajanan, besaran).

b) Mengetahui sumber bahaya dan area yang berisiko.

c) Mengetahui pekerja yang berisiko.

3) Mengevaluasi

Pada tahap penilaian/evaluasi lingkungan, dilakukan pengukuran, pengambilan sampel dan analisis di laboratorium. Melalui penilaian lingkungan dapat ditentukan kondisi lingkungan kerja secara kuantitatif dan terinci, serta membandingkan hasil pengukuran dan standar yang berlaku, sehingga dapat ditentukan perlu atau tidaknya teknologi pengendalian, ada atau tidaknya korelasi kasus kecelakaan dan penyakit akibat kerja dengan lingkungannya, serta sekaligus merupakan dokumen data di tempat kerja. Tujuan dari pengukuran dalam evaluasi, yaitu :

a) Untuk mengetahui tingkat risiko.

b) Untuk mengetahui pajanan pada pekerja.

c) Untuk memenuhi peraturan (legal aspek).

d) Untuk mengevaluasi program pengendalian yang sudah dilaksanakan.

e) Untuk memastikan apakah suatu area aman untuk dimasuki pekerja.

f) Mengetahui jenis dan besaran hazard secara lebih spesifik. 4) Pengendalian

Pengendalian faktor-faktor lingkungan kerja dimaksudkan untuk menciptakan atau memelihara lingkungan kerja agar tetap sehat dan aman atau memenuhi persyaratan kesehatan dan norma keselamatan, sehingga tenaga kerja terbebas dari ancaman gangguan kesehatan dan keamanan atau tenaga kerja tidak menderita penyakit akibat kerja dan tidak mendapat kecelakaan kerja.

Ada beberapa bentuk pengendalian atau pengontrolan di tempat kerja yang dapat dilakukan , yaitu :

a) Eliminasi : merupakan upaya menghilangkan bahaya dari sumbernya serta menghentikan semua kegiatan pekerja di daerah yang berpotensi bahaya.

b) Substitusi : Modifikasi proses untuk mengurangi penyebaran debu atau asap, dan mengurangi bahaya, Pengendalian bahaya kesehatan kerja dengan mengubah beberapa peralatan proses untuk mengurangi bahaya, mengubah kondisi fisik bahan baku yang diterima untuk diproses lebih lanjut agar dapat menghilangkan potensi bahayanya.

c) Isolasi : Menghapus sumber paparan bahaya dari lingkungan pekerja dengan menempatkannya di tempat lain atau menjauhkan lokasi kerja yang berbahaya dari pekerja lainnya, dan sentralisasi kontrol kamar. d) Engineering control :

Pengendalian bahaya dengan melakukan modifikasi pada faktor lingkungan kerja selain pekerja.

e) Administrasi control: Pengendalian bahaya dengan melakukan modifikasi pada interaksi pekerja dengan lingkungan kerja.

f) APD (Alat Pelindung Diri) : langkah terakhir dari hierarki pengendalian.

4. Ruang Lingkup Kesehatan Kerja a. Penyelenggaraan Pelayanan

Kesehatan Kerja.

1) Sarana dan Prasarana.

(7)

3) Organisasi (pimpinan Unit Pelayanan Kesehatan Kerja, pengesahan penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Kerja). b. Pelaksanaan Pemeriksaan

Kesehatan Tenaga Kerja.

1) Awal (Sebelum Tenaga Kerja diterima untuk melakukan pekerjaan).

2) Berkala (sekali dalam setahun atau lebih).

3) Khusus (secara khusus terhadap tenaga kerja tertentu berdasarkan tingkat risiko yang diterima).

4) Purna Bakti (dilakukan tiga bulan sebelum memasuki masa pensiun).

c. Pelaksanaan P3K (petugas, kotak P3K dan Isi Kotak P3K).

d. Pelaksanaan Gizi Kerja.

1) Kantin (50-200 tenaga kerja wajib menyediakan ruang makan, lebih dari 200 tenaga kerja wajib menyediakan kantin Perusahaan).

2) Katering pengelola makanan bagi Tenaga Kerja.

3) Pemeriksaan gizi dan makanan bagi Tenaga Kerja.

4) Pengelola dan Petugas Katering.

e. Pelaksanaan Pemeriksaan Syarat-Syarat Ergonomi.

1) Prinsip Ergonomi:

a) Antropometrik dan sikap tubuh dalam bekerja. b) Efisiensi Kerja.

c) Organisasi Kerja dan Desain Tempat Kerja d) Faktor Manusia dalam

Ergonomi. 2) Beban Kerja :

a) Mengangkat dan Mengangkut. b) Kelelahan.

c) Pengendalian Lingkungan Kerja.

f. Pelaksanaan Pelaporan (Pelayanan Kesehatan Kerja, Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja dan Penyakit Akibat Kerja)

III. IMPLEMENTASI KEBIJAKAN 3.1. Implementasi kebijakan Publik

Implementasi kebijakan publik adalah suatu tindakan yang mengarahkan kebijakan publik pada suatu akibat, yang sifatnya menyelesaikan atau melengkapi dan menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu, sehingga dapat memberikan hasil yang baik dan praktis serta menyediakan atau melengkapi dalam pelaksanaannya.

Kebijakan publik yang diimplementasikan dapat berbentuk peraturan perundang-undangan yang dirumuskan oleh pemerintah pusat, keputusan dan peraturan yang dirumuskan oleh pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota. Hal ini sebagaimana pendapat Mazmanian dan Paul A Sabatie (dalam Abdul Wahab, Analisis Kebijakan, 2004:68), bahwa:

”Implementasi adalah pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, yang biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif legislatif yang penting atau keputusan badan peradilan”.

Implementasi kebijakan merupakan tahapan yang sangat penting dalam keseluruhan proses kebijakan, hal ini dikarenakan implementasi dapat mempengaruhi apakah suatu kebijakan menyentuh kepentingan publik dan apakah kebijakan itu dapat diterima oleh publik. Begitu pentingnya kebijakan publik, maka kebijakan publik perlu dipahami secara mendalam. Sebagaimana pendapat Djadja Saefullah dalam buku Tachjan (2006:ix), bahwa ”studi kebijakan publik tersebut dapat dipahami dari dua perspektif, yakni:

Pertama, perspektif politik, kebijakan publik di dalamnya perumusan, implementasi, maupun evaluasinya pada hakikatnya merupakan pertarungan berbagai kepentingan berbagai kepentingan publik di dalam mengalokasikan dan mengelola sumber daya (resoureces) sesuai dengan visi, harapan dan prioritas yang ingin diwujudkan.

(8)

ihwal keterkaitan dengan sistem, prosedur, dan mekanisme, serta kemampuan para pejabat publik (official officer) di dalam menerjemahkan dan menerapkan kebijakan publik, sehingga visi dan harapan yang diinginkan dicapai dapat diwujudkan didalam realitas. Memahami kebijakan publik dari kedua perspektif tersebut secara seimbang dan menyeluruh akan membantu kita lebih mengerti dan maklum mengapa suatu kebijakan publik tersebut meski telah dirumuskan dengan baik namun dalam implementasinya sulit terwujudkan”.

Pada bagian lain Tachjan (2006:63) menjelaskan, bahwa ”Implementasi kebijakan publik, di samping dapat dipahami sebagai salah satu aktivitas dari administrasi publik sebagai institusi (birokrasi) dalam proses kebijakan publik, dapat dipahami pula sebagai salah satu lapangan studi administrasi publik sebagai ilmu”.

Dari pandangan tersebut mengarahkan, bahwa implementasi kebijakan publik memerlukan pemahaman yang seimbang dari perspektif politik dan perspektif administratif. Hal ini mengingat proses kebijakan publik semenjak tahapan perumusan, implementasi, sampai evaluasi bersinggungan dengan tataran politik maupun tataran administratif. Menyangkut sistem, prosedur, dan mekanisme, serta kemampuan para pejabat publik (official officer)dalam mewujudkan visi, harapan dan prioritas yang ingin diwujudkan.

Definisi implementasi lebih detail dapat kita lihat pendapat Edwards III (1980: 1),

policy implementation is the stage of policy making between the establishment of a policy …and the concequences of the policy for the people whom it affects (implementasi kebijakan adalah tahapan antara pembuatan kebijakan dengan penegakan kebijakan….dan sebagai konsekuensinya bahwa suatu kebijakan itu dapat mempengaruhi masyarakat) “. Implementasi kebijakan merupakan tahapan kegiatan yang rumit dan kompleks karena dipengaruhi oleh banyak faktor. Budi Winarno (2002 :125-126 ) menjelaskan:

“bahwa studi implementasi kebijakan adalah krusial bagi public administration dan publik policy. Dalam pengkajian implementasi kebijakan, Edwards mulai dengan mengajukan dua buah pertanyaan, yakni: Prakondisi-prakondisi apa yang diperlukan sehingga suatu implementasi kebijakan itu berhasil? Dan hambatan-hambatan utama apa yang mengakibatkan suatu implementasi gagal? Edward berusaha menjawab dua buah pertanyaan penting ini dengan membicarakan empat faktor atau variabel tersebut adalah komunikasi, sumber-sumber, kecenderungan–kecenderungan atau tingkah laku dan struktur birokrasi ”. Lebih lanjut Winarno (2002:126) menjelaskan :

“bahwa Edwards III membahas tiga hal penting dalam proses komunikasi yakni transmisi, konsistensi dan kejelasan (clarity) . Sumber-sumber meliputi staf ,informasi, wewenang dan informasi. Kecenderungan – kecenderungan meliputi : Sikap dan tingkah laku atau perspektif para pelaksana dan dampak yang ditimbulkan. Struktur Birokrasi meliputi : struktur Organisasi dan Fragmentasi”. 3.2. Model-Model Implementasi Kebijakan

Dalam tahap implementasi kebijakan terdapat beberapa model implementasi yang diperkenalkan oleh para ahli politik dan kebijakan publik, di antaranya :

(9)

Untuk menjawab pertan telah menawarkan va sebagaimana dijelaskan (1980:10) :”…"...four critica variabels in implementing communication, resources, d attitudes and bureaucratic st dapat diartikan, bahwa ada kritis atau variabels dalam kebijakan publik: komunikasi, disposisi atau sikap dan strukt Model implementasi kebi bila dikaitkan dengan inte sistem kebijakan : (1) Sistem p proses dan perilaku); (2) kekuatan, (3) Kebijakan itu se teori Edwards III dipandang untuk berinteraksi dengan in dan perilaku, yaitu : institusi dengan struktur birokr menggambarkan komunikasi daya serta perilaku menggam pelaksana atau disposisi. 3.3. Faktor- faktor Implementasi

Sebagaimana penegasa (1980:10), bahwa :"...four crit variabels in implementing communication, resources, d attitudes and bureaucratic st empat faktor kritis atau v menerapkan kebijakan publik sumber daya, disposisi ata struktur birokrasi), maka mod dapat diuraikan sebagai beriku

Gambar 1 Model implementa Edwards III 3.3.1 Komunikasi

Dalam kehidupan se secara individu maupun komunikasi memegang per

anyaan tersebut variabel-variabel Edwards III tical factors or g public policy: s, dispositions or c structure".Yang da empat faktor am menerapkan si, sumber daya,

ktur birokrasi. bijakan tersebut, nteraksi elemen politik (institusi, 2) Kondisi dan u sendiri , maka ng lebih cocok institusi, proses usi digambarkan krasi, proses si dan sumber gambarkan sikap

si Kebijakan san Edwards III critical factors or g public policy: s, dispositions or c structure" (ada variabel dalam blik: komunikasi, atau sikap dan odel Edwards III ikut :

ntasi kebijakan I

sehari-hari baik un organisasi, eranan penting.

Tidak adanya mengakibatkan pa mengetahui bag kegiatannya., ka penyampaian infor pihak lain. De implementasi kebija mereka yang ber mengomunikasikan dengan tepat. K lancar antara pem implementator, d terjadinya distorsi rintangan implemen Winarno (200 “bahwa secara umu tiga hal penting da yakni transmisi, ko (clarity)”.

Edwards menjelaskan : implementation whose responsi to decision mu supposed to d policies must appropriate pe be clear, consistent,…”.D Komunikasi: menjadi efe bertanggung j menerapkan apa yang seha Perintah u kebijakan haru yang tepat, da jelas, dan konsi

Teori terse komunikasi dalam publik adalah ko antara formulator kebijakan maupu implementator kebi Lebih lanjut menegaskan , bahw

“Tiga hal y pada komunik proses transm proses penyam dirancang d saluran dan me

a komunikasi akan para pelaku kegiatan sulit agaimana menjalankan karena tidak adanya formasi dari satu pihak ke emikian pula apabila bijakan ingin efektif, maka ertanggung jawab harus an kepada para pelaksana Komunikasi yang tidak embuat kebijakan dengan dapat mengakibatkan rsi yang menimbulkan entasi kebijakan .

002 : 126) menjelaskan : mum Edwards membahas dalam proses komunikasi konsistensi dan kejelasan s III (1980 : 10-12) : Communication : for tion to be effective, those onsibility it is to implement must know what they are o do. Orders to implement st be transmitted to the personel, and they must r, accurate, and ”.Dapat diartikan, bahwa untuk implementasi efektif, mereka yang jawab itu adalah untuk keputusan harus tahu harusnya mereka lakukan. untuk melaksanakan arus dikirimkan ke pribadi dan mereka harus akurat, nsisten, ...".

sebut menggambarkan, m implementasi kebijakan komunikasi yang terjalin or dengan implementator pun komunikasi antara

bijakan dengan sasaran. t Edwards III (1980:37) hwa :

(10)

kelompok sasaran, memperhatikan

kemampuan komunikasi,

memperhitungkan kemungkinan adanya gangguan (noice) serta dirancang adanya umpan balik. Kejelasan (clarity), berkaitan dengan tingkat pemahaman pelaksana kebijakan mengenai substansi kebijakan, sehingga mempengaruhi tingkat kejelasan pesan yang disampaikan. Konsistensi (consistency), di mana tidak terjadi kontradiksi dari pesan yang disampaikan, serta penyampaian kebijakan yang terus menerus sampai tujuan implementasi dapat dicapai”. 3.3.2 Sumber Daya

Sumber Daya merupakan faktor kedua yang mempengaruhi implementasi kebijakan. Tersedianya sumber daya yang memadai baik secara kuantitas maupun kualitas akan mendukung implementasi kebijakan yang efektif. Sumber-sumber di sini meliputi staf yang memadai, keahlian/ kemampuan untuk melaksanakan tugas, kewenangan untuk melaksanakan tugas dan fasilitas yang diperlukan untuk implementasi kebijakan. Sebagaimana disebutkan lanjut Budi Winarno (2002:26) menjelaskan: “...Sumber-sumber meliputi staf , informasi, wewenang dan informasi...”.

Edwards III (1980 : 10-12) menjelaskan : Resources : …if the personnel responsible for carrying out policies lack the resources to do an effective job, implementation will not be effective, important resources include staff of the proper size and with the necessary expertise …”

Faktor sumber daya, Faktor sumber daya mempunyai peranan penting dalam implementasi kebijakan, karena bagaimanapun jelas dan konsistennya ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan suatu kebijakan, jika para personil yang bertanggung jawab mengimplementasikan kebijakan kurang mempunyai sumber-sumber untuk melakukan pekerjaan secara efektif, maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan bisa efektif.

Hal tersebut dipertegas oleh Edwards III (1980:11), bahwa :

”Faktor sumber daya ini juga mempunyai peranan penting dalam implementasi kebijakan. Karena bagaimanapun jelas dan konsistennya ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan serta bagaimanapun akuratnya dalam menyampaikan ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan tersebut, jika para pelaksana kebijakan yang bertanggung jawab untuk melaksanakan kebijakan, kurang mempunyai sumber-sumber untuk melakukan pekerjaan secara efektif, maka implementasi kebijakan tersebut juga tidak akan bisa efektif”. Lebih lanjut Edward III (1980:52) menguraikan, bahwa:

”Hal ini dimaksudkan agar para pelaksana tidak membuat kesalahan dalam menginterpretasikan tentang bagaimana melaksanakan kebijakan tersebut. Informasi yang demikian ini juga penting untuk menyadarkan orang-orang yang terlibat di kewajibannya. Kewenangan untuk menjamin atau meyakinkan bahwa kebijakan yang akan dilaksanakan adalah sesuai dengan yang mereka kehendaki, dan fasilitas merupakan sarana yang

digunakan untung

mengoperasionalisasikan implementasi suatu kebijakan yang meliputi antara lain gedung, tanah, sarana dan supple yang kesemuanya akan memberikan pelayanan dalam implementasi kebijakan. Kurang cukupnya sumber-sumber ini berarti ketentuan atau aturan-aturan (laws) tidak akan menjadi kuat, pelayanan tidak akan diberikan, dan pengaturan-pengaturan (regulations) yang beralasan tidak akan dikembangkan.

3.3.3 Sikap Pelaksana

(11)

berbeda dengan pembuat kebijakan, maka implementasi kebijakan tidak efektif.

Winarno (2002: 26) menjelaskan : “Kecenderungan-kecenderungan meliputi : Sikap dan tingkah laku atau perspektif para pelaksana ...”.

Edwards III (1980 : 10-12) menjelaskan :Disposition : the disposition or attitudes of implementor is the third critical factor in our approach to the study of public policy implementation. If implementation is to proceed effectively not only must implementers know what to do and have the capability to do it”.

Disposisi ini diartikan sebagai sikap

para pelaksana untuk

mengimplementasikan kebijakan. Dalam implementasi kebijakan, jika ingin berhasil secara efektif dan efisien, para implementor tidak hanya harus mengetahui apa yang harus mereka lakukan dan mempunyai kemampuan untuk implementasi kebijakan tersebut, tetapi mereka juga harus mempunyai kemauan untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut.

3.3.4. Struktur Birokrasi

Faktor lain yang mempengaruhi implementasi kebijakan adalah struktur birokrasi. Birokrasi merupakan salah satu badan yang menjadi pelaksana suatu kebijakan. Yahya Muhaimin (Isman HP, 2001:33) mendefinisikan bahwa birokrasi adalah “keseluruhan aparat pemerintah, sipil maupun militer yang melakukan tugas membantu pemerintah dan menerima gaji dari pemerintah karena statusnya itu”.

Teori birokrasi dari Max Weber dipercaya oleh sebagian ahli politik pemerintahan sebagai salah satu teori birokrasi di hampir setiap negara pada saat ini. Gagasan-gagasan Weber tentang birokrasi rasional dianut oleh hampir sebagian besar pemerintahan, baik yang demokratis maupun otoriter.

IV. PEMBAHASAN

4.1. Implementasi Kebijakan Hiperkes-KK Implementasi kebijakan publik Hiperkes adalah suatu tindakan yang mengarahkan kebijakan kepada masyarakat di mana dalam hal ini pengusaha, agar

melaksanakan perintah memberikan perlindungan tenaga kerja khususnya Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. Termasuk di dalamnya menjelaskan akibat yang ditimbulkan apabila tidak melaksanakan, yang sifatnya menyelesaikan atau melengkapi dan menyediakan sarana perlindungan tenaga kerja di bidang Hiperkes. Hal ini diharapkan dapat memberikan hasil yang baik dengan dipatuhinya kebijakan Hiperkes oleh para pengusaha.

Implementasi yang dimaksud adalah pelaksanaan Peraturan Perundang-undangan yang menjadi dasar pelaksanaan Hiperkes, Kebijakan Hiperkes yang diimplementasikan adalah yang menjadi dasar antara lain : Undang-Undang No 1 Tahun 1970; Peraturan Menteri Perburuhan no 7 Tahun 1964; Permenaker No 2 Tahun 1980; Permenaker No 1 Tahun 1981; Permenaker No 3 Tahun 1983; Permenaker No 1 Tahun 1998 ; Keputusan Menteri Tenaga Kerja No 333 Tahun 1989 tentang Diagnosa dan Pelaporan Penyakit Akibat Kerja; Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No 1 Tahun 1979 tentang Pengadaan Kantin dan Ruang Makan;Surat Edaran Dirjen Binawas tentang Perusahaan Katering Yang Mengelola Makanan Bagi Tenaga Kerja.

Implementasi kebijakan Hiperkes merupakan tahapan yang sangat penting dalam keseluruhan proses kebijakan, hal ini dikarenakan implementasi dapat mempengaruhi apakah suatu kebijakan hiperkes menyentuh perlindungan tenaga kerja dan apakah kebijakan itu dapat diterima oleh para pengusaha. Begitu pentingnya kebijakan Hiperkes, maka kebijakan Hiperkes perlu dipahami secara mendalam baik secara Normatif maupun teknis.

Memahami Kebijakan Hiperkes, dapat dipahami dari dua perspektif, yakni:

(12)

kepentingan masing-masing unsur sesuai dengan visi, harapan dan prioritas yang ingin diwujudkan perlindungan tenaga kerja.

2. Perspektif administratif, bahwa kebijakan publik Hiperkes merupakan ihwal keterkaitan dengan sistem, prosedur, dan mekanisme, serta kemampuan para pejabat Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan tingkat Kabupaten/Kota di dalam memahami dan menerapkan kebijakan Hiperkes, sehingga visi dan harapan Perlindungan tenaga kerja khususnya Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja yang dapat diwujudkan di dalam realitas. Memahami kebijakan Hiperkes dari kedua perspektif tersebut secara seimbang dan menyeluruh akan membantu kita lebih mengerti dan maklum mengapa suatu kebijakan ketenagakerjaan bidang Hiperkes meski telah dirumuskan dengan baik namun dalam implementasinya sulit terwujudkan.

Aktivitas Implementasi kebijakan Hiperkes merupakan tahapan antara pembuatan kebijakan Hiperkes dengan penegakan penegakan hukum sebagai konsekuensinya pelanggaran kebijakan tersebut. Sehubungan hal tersebut, dapat dipahami bahwa Implementasi kebijakan Hiperkes menjadi tahapan kegiatan yang rumit dan kompleks, karena dipengaruhi oleh banyak faktor. Dalam pemahaman implementasi kebijakan Hiperkes, perlu diawali dengan upaya pemahaman Prakondisi-prakondisi apa yang diperlukan agar implementasi kebijakan Hiperkes berhasil. Selain hal tersebut juga harus dipahami adanya apa saja hambatan-hambatan yang mengakibatkan implementasi kebijakan Hiperkes gagal. Sebagaimana pendapat Edward untuk menjawab dua buah pertanyaan penting tersebut, maka harus membahas dan mempersiapkan empat faktor atau variabel , yaitu : komunikasi, sumber-sumber, kecenderungan–kecenderungan atau tingkah laku dan struktur birokrasi ”.

Dalam tahap implementasi kebijakan Hiperkes, dapat menggunakan model yang sesuai dengan memperhatikan mempersiapkan prasyarat pelaksanaan dan mengantisipasi adanya hambatan pelaksanaan kebijakan. Model implementasi kebijakan tersebut, bila dikaitkan dengan interaksi elemen sistem kebijakan :

a. Sistem politik (institusi, proses dan perilaku);

b. Kondisi dan kekuatan, c. Kebijakan itu sendiri,

Implementasi Kebijakan Hiperkes dipandang lebih cocok untuk berinteraksi dengan institusi, proses dan perilaku, yaitu : institusi digambarkan dengan struktur birokrasi, proses menggambarkan komunikasi dan sumber daya serta perilaku menggambarkan sikap pelaksana atau disposisi.

4.2. Komunikasi

Komunikasi dalam Implementasi Kebijakan Hiperkes memegang peranan penting, sebab tidak adanya komunikasi akan mengakibatkan para petugas sulit mengetahui bagaimana menjalankan tugasnya., karena tidak adanya penyampaian informasi dari satu pihak ke pihak lain. Demikian pula apabila implementasi kebijakan hiperkes ingin efektif, maka mereka yang bertanggung jawab harus mengomunikasikan kepada para pelaksana dengan tepat. Komunikasi yang tidak lancar antara pembuat kebijakan dalam hal Kemenaker RI dengan Disnaker Kabupaten/Kota sebagai implementator, dapat mengakibatkan terjadinya distorsi yang menimbulkan rintangan implementasi kebijakan.

Komunikasi: untuk implementasi kebijakan Hiperkes menjadi efektif, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan harus memahami apa yang seharusnya mereka lakukan. Perintah untuk melaksanakan kebijakan Hiperkes harus diberikan ke pelaksana yang tepat sesuai tugasnya, dan mereka harus akurat , jelas, dan konsisten dalam melaksanakan tugasnya.

(13)

publik Hiperkes adalah komunikasi yang terjalin antara Jajaran Kemenaker sebagai formulator dengan jajaran Disnaker implementator kebijakan maupun komunikasi antara Disnaker sebagai implementator kebijakan dengan pengusaha sebagai sasaran.

Tiga hal yang harus diperhatikan pada komunikasi Kebijakan Hiperkes , yaitu :

1. Proses transmisi (transmission), yaitu proses penyampaian pesan isi Kebijakan Hiperkes yang harus dirancang dengan baik, pemilihan saluran yang tepat dan media disesuaikan dengan kelompok sasaran yang sesuai kebijakan, memperhatikan

kemampuan komunikasi,

memperhitungkan kemungkinan adanya gangguan (noice) serta dirancang adanya umpan balik.

2. Adanya Kejelasan (clarity) substansi kebijakan hiperkes yang akan disampaikan. Hal ini berdampak pada tingkat pemahaman pelaksana kebijakan, sehingga mempengaruhi tingkat kejelasan pesan yang disampaikan.

3. Adanya Konsistensi(consistency) , tidak terjadi kontradiksi dari pesan kebijakan Hiperkes yang disampaikan, serta penyampaian kebijakan yang terus menerus sampai tujuan Perlindungan tenaga kerja dapat dicapai.

4.3. Sumber Daya

Sumber Daya implementasi kebijakan adalah stafinstansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. Tersedianya sumber daya yang memadai baik secara kuantitas maupun kualitas akan mendukung implementasi kebijakan Hiperkes yang efektif, staf yang dalam jumlah yang memadai, memiliki kemampuan teknis perlindungan tenaga kerja untuk melaksanakan tugas, kewenangan untuk melaksanakan tugas dan fasilitas yang diperlukan untuk implementasi kebijakan.

Staf instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/Kota dalam mempunyai peranan penting dalam implementasi kebijakan Hiperkes, karena bagaimanapun jelas dan konsistennya ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan

suatu kebijakan Hiperkes, makaapabila para personil yang bertanggung jawab mengimplementasikan kebijakan kurang mempunyai sumber-sumber untuk melakukan pekerjaan secara efektif, maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan bisa efektif.

Penyampaian Informasi kebijakan Hiperkes harus memperoleh perhatian. Hal ini sangat penting diperhatikan agar para pelaksana tidak membuat kesalahan dalam menginterpretasikan tentang bagaimana melaksanakan kebijakan Hiperkes. Informasi yang demikian ini juga penting untuk menyadarkan orang-orang yang terlibat dikewajibannya. Kewenangan untuk menjamin atau meyakinkan bahwa kebijakan Hiperkes yang akan dilaksanakan adalah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan fasilitas merupakan sarana yang digunakan untung mengoperasionalisasikan implementasi suatu kebijakan yang meliputi antara lain gedung, tanah, sarana dan supple yang kesemuanya akan memberikan pelayanan dalam implementasi kebijakan Hiperkes. Kurang cukupnya sumber-sumber ini berarti peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum kebijakan Hiperkes tidak akan menjadi kuat, pelayanan tidak akan diberikan, dan pengaturan-pengaturan (regulations) yang beralasan tidak akan dikembangkan

4.4. Sikap Pelaksana

Kebijakan Hiperke akan dapat diimplementasikan secara efektif, apabila didukung oleh sikap pelaksana yang baik terhadap apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan Hiperkes. Namun apabila sikap pelaksana tidak mendukung ataupun berbeda dengan pembuat kebijakan, maka implementasi kebijakan Hiperkes tidak efektif.

(14)

4.5. Struktur Birokrasi

Struktur Birokrasi merupakan salah satu badan yang menjadi pelaksana suatu kebijakan. Instansi Pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota menjadi pelaksana Kebijakan Hiperkes. Hal ini dikarenakan Merupakan bagian dari keseluruhan aparat pemerintah yang melakukan tugas membantu pemerintah dan menerima gaji dari pemerintah karena statusnya itu

Teori birokrasi dari Max Weber dipercaya oleh sebagian ahli politik pemerintahan sebagai salah satu teori birokrasi di hampir setiap negara pada saat ini. Gagasan-gagasan Weber tentang birokrasi rasional dianut oleh hampir sebagian besar pemerintahan, baik yang demokratis maupun otoriter.

Faktor lain yang mempengaruhi implementasi kebijakan adalah struktur birokrasi. Birokrasi merupakan salah satu badan yang menjadi pelaksana suatu kebijakan. Yahya Muhaimin (Isman HP, 2001:33) mendefinisikan bahwa birokrasi adalah “keseluruhan aparat pemerintah, sipil maupun militer yang melakukan tugas membantu pemerintah dan menerima gaji dari pemerintah karena statusnya itu”.

Teori birokrasi dari Max Weber dipercaya oleh sebagian ahli politik pemerintahan sebagai salah satu teori birokrasi di hampir setiap negara pada saat ini. Gagasan-gagasan Weber tentang birokrasi rasional dianut oleh hampir sebagian besar pemerintahan, baik yang demokratis maupun otoriter.

Implementasi kebijakan Hiperkes yang bersifat kompleks, menuntut adanya kerja sama lintas sektoral dan lintas regional antara lain dengan UPTP-UPTP. Balai K.3 Kemnaker RI, UPTD-UPTD Balai K.3, Serikat Pekerja/Serikat Buruh maupun Organisasi Pengusaha. Ketika struktur birokrasi tidak kondusif terhadap implementasi kebijakan Hiperkes, maka hal ini akan menyebabkan ketidakefektifan dan menghambat jalanya pelaksanaan kebijakan Hiperkes. Sehubungan hal tersebut memahami keberadaan struktur birokrasi merupakan faktor yang penting untuk mengkaji implementasi kebijakan Hiperkes.

Dalam Birokrasi ada Dua karakteristik utama dari birokrasi yang harus diperhatikan adalah Standard Operational Procedure (SOP) dan fragmentasi.

1. Faktor Standard operational procedure(SOP) sangat penting diperhatikan, karena dengan menggunakan SOP para pelaksana yang bertugas dalam Implementasi Kebijakan Hiperkes dapat mengoptimalkan waktu yang tersedia dan dapat berfungsi untuk menyeragamkan tindakan-tindakan pejabat dalam organisasi yang kompleks dan tersebar luas, sehingga dapat menimbulkan fleksibilitas yang besar dan kesamaan yang besar dalam penerapan peraturan Hiperkes. Namun demikian SOP dapat menjadi kendala bagi implementasi kebijakan Hiperkes, yang membutuhkan cara-cara kerja baru atau tipe-tipe personil baru untuk melaksanakan kebijakan Hiperkes. 2. Faktor Fragmentasi merupakan

penyebaran tanggung jawab kebijakan Hiperkes kepada pihak-pihak lain yang terkait, seperti Balai Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Dinas Kesehatan sehingga memerlukan koordinasi.

Fragmentasi mengakibatkan pandangan-pandangan yang sempit dari banyak lembaga birokrasi. Hal ini akan menimbulkan konsekuensi pokok yang merugikan bagi keberhasilan implementasi kebijakan. Berikut hambatan-hambatan yang terjadi dalam fragmentasi birokrasi berhubungan dengan implementasi kebijakan Hiperkes:

(15)

b. ”Kedua, pandangan yang sempit dari badan yang mungkin juga akan menghambat perubahan. Jika suatu badan mempunyai fleksibilitas yang rendah dalam misi-misinya, maka badan itu akan berusaha mempertahankan esensinya dan besar kemungkinan akan menentang kebijakan-kebijakan baru yang membutuhkan perubahan”.

V. PENUTUP 5.1 Simpulan

Bahwa Kebijakan Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (Hiperkes)sangat penting bagi perlindungan tenaga kerja , dalam rangka mewujudkan peningkatan derajat kesehatan karyawan setinggi-tingginya dan peningkatan produktivitas karyawan.

Kebijakan Hiperkes sebagai dasar pelaksanaan Hiperkes di perusahaan ditetapkan dalam bentuk Peraturan perundang-undangan, yang harus di Implementasikan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.

Tahapan Implementasi kebijakan Hiperkes harus memperoleh perhatian yang serius. Hal ini dikarenakan Implementasi merupakan tahapan krusial setelah suatu kebijakan Hiperkes dirumuskan dan implementasi dapat mempengaruhi keberhasilan pencapai tujuan Kebijakan.

5.2 Saran

Dalam rangka menjamin terwujudnya peningkatan derajat kesehatan karyawan setinggi-tingginya dan peningkatan produktivitas karyawan ,maka kebijakan Hiperkes mengatur dengan tegas sanksi bagi perusahaan yang melanggar kebijakan Hiperkes.

Kebijakan Hiperkes sebagai dasar hukum pelaksanaan Hiperkes di perusahaan , sebaiknya dikembangkan dalam kebijakan-kebijakan di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Hal ini agar Kebijakan Hiperkes lebih mudah dipahami untuk dilaksanakan di perusahaan.

(16)

DAFTAR PUSTAKA

Indan, E., 2000. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Soeripto, M., 2008. Higiene Industri. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Subaris, H., 2008. Hygiene Lingkungan Kerja.Yogyakarta: Mitra Cendika Press.

Suma’mur, 1994. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. Jakarta: CV Haji Masagung.

Suma’mur, 1996. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. Jakarta: Toko gunung agung.

Wahyu, A., 2003. Higiene Perusahaan. s.l.:Universitas Hasanuddin.

Riwayat Penulis:

Dr. Salamatul Afiyah, M. Si.

Gambar

Gambar 1 Model implementantasi kebijakan

Referensi

Dokumen terkait

Biaya pembelian adalah biaya untuk membeli rotan di source s. Perhitungan biaya pembelian yang diperoleh dengan persamaan 3.2.. jelasnya harga material m tiap source

Dalam hal ini, pihak yang akan peneliti wawancarai adalah pengelola utama Gongsin terkait dengan pengambilan kebijakan, divisi marketing terkait dengan strategi yang dilakukan

Terhadap Cost Of Equity Capital Pada Perusahaan Real Estate Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia”.. Jurnal Ilmiah

Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Kecelakaan Kerja Pada Pekerja Bengkel Pengecatan Mobil Di Kota Makassar Tahun 2013.. Encyclopedia of Occupational Health and

Pembelajaran dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe STAD selama proses pembelajaran biologi pada pokok bahasan metabolism dapat meningkatkan aktivitas, dan

yang menjadi kewajiban atas kalian adalah menyampaikan, sedang Allah-lah yang -memperhitungkan orang orang yang mengingkari seruan dakwah yang hak dari Tuhan mereka, kerana itu

Ratakan permukaan agregat halus dengan jari tangan, sehingga sebanding antara bagian yang menonjol dengan bagian yang kosong dari atas silinder1. Keluarkan agregat halus

(E) Paragraf pertama memaparkan pendidi- kan secara umum, sedangkan paragraf kedua memaparkan konsep pendidikan karakter... Apa kelemahan isi paragraf ke