• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1. Kebijakan Publik - Analisis Implementasi dan Evaluasi Efektifitas Dana Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) terhadap Pencapaian Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Kesehatan di Kota Sibolga Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "2.1. Kebijakan Publik - Analisis Implementasi dan Evaluasi Efektifitas Dana Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) terhadap Pencapaian Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Kesehatan di Kota Sibolga Sumatera Utara"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

Dalam bab ini akan dibahas mengenai teori-teori dan konsep yang akan menjadi dasar dari penelitian ini, yaitu yang berkaitan dengan kebijakan publik, kebijakan kesehatan, implementasi kebijakan, model implementasi George Edwards III, evaluasi kebijakan, efektifitas program, Bantuan Operasional Kesehatan (BOK), dan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Kesehatan.

2.1. Kebijakan Publik

Kebijakan publik menurut Thomas Dye (1981) yang dikutip Winarno (2012) adalah apapun pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan (whatever government choose to do or not to do). Defenisi ini menunjukkan bahwa kebijakan publik dibuat oleh badan pemerintah dan kebijakan publik juga menyangkut pilihan yang harus dilakukan atau tidak dilakukan. Segala keputusan yang diambil pemerintah adalah kebijakan, namun tidak mengambil keputusan pun adalah suatu kebijakan.

Sebelumnya, Rose (1969) yang dikutip oleh Winarno (2012) mendefenisikan kebijakan publik sebagai serangkaian kegiatan yang sedikit banyak berhubungan beserta konsekuensi-konsekuensinya bagi mereka yang bersangkutan .

(2)

yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan.

Defenisi lain diungkapkan Nugroho (2008) yang dikutip oleh Hidayah (2011), mengatakan bahwa kebijakan publik adalah keputusan yang dibuat oleh negara, khususnya pemerintah, sebagai strategi untuk merealisasikan tujuan negara yang bersangkutan untuk mengantar masyarakat menuju pada masyarakat yang dicita-citakan.

Sementara menurut William Dunn (1995) kebijakan publik adalah pedoman yang berisi nilai-nilai dan norma-norma yang mempunyai kewenangan untuk mendukung tindakan-tindakan pemerintah dalam wilayah yurisdiksinya.

Kebijakan publik muncul dari adanya permasalahan publik dan kebijakan yang dihasilkan merupakan upaya penyelesaian masalah tersebut. Namun tidak semua permasalahan menjadi permasalahan publik yang dianggap membutuhkan suatu kebijakan. Lahirnya suatu kebijakan akan melalui suatu proses yang disebut siklus kebijakan publik.

William Dunn membagi siklus pembuatan kebijakan dalam 5 tahap yaitu : (1) Penyusunan agenda (agenda setting) yaitu agar suatu proses masalah bisa mendapatkan perhatian dari pemerintah; (2) Formulasi Kebijakan (Policy Formulation), merupakan proses perumusan pilihan-pilihan kebijakan oleh

(3)

proses melaksanakan kebijakan supaya mencapai hasil; (5) Evaluasi kebijakan yaitu proses untuk menilai hasil atau kinerja kebijakan yang telah dibuat.

James Anderson (1979) yang dikutip Subarsono (2009), juga menetapkan bahwa proses kebijakan publik dibagi atas 5 tahapan yaitu: 1) Formulasi masalah (problem formulation) , 2) Formulasi kebijakan (formulation), 3) Penentuan kebijakan (adoption), 4) Implementasi (implementation) dan 5) Evaluasi (evaluation).

Dari berbagai pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa suatu kebijakan dihasilkan melalui suatu proses yang kompleks dan saling berkaitan serta saling memengaruhi.

2.2. Kebijakan Kesehatan

2.2.1. Pengertian Kebijakan Kesehatan

Ilmu kebijakan adalah ilmu yang mengembangkan kajian tentang hubungan antara pemerintah dan swasta, distribusi, kewenangan dan tanggung jawab antar berbagai level pemerintah, hubungan antara penyusunan kebijakan dan pelaksanaannya ( Buse, 2009).

(4)

kesehatan masyarakat, dan dari sisi seorang dokter maka kebijakan kesehatan diartikan sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan layanan kesehatan (Buse, 2009). Menurut Walt (1994) yang dikutip oleh Buse (2009), kebijakan kesehatan serupa dengan politik dan segala penawaran terbuka kepada orang yang berpengaruh pada penyusunan kebijakan dan bagaimana mereka memanfaatkan pengaruh tersebut.

Kebijakan kesehatan merupakan hal yang sangat penting karena sektor kesehatan sangat berperan bagi perekonomian suatu negara, kesehatan juga mempunyai posisi yang lebih istimewa dibanding masalah sosial yang lain. Kebijakan kesehatan juga sangat dipengaruhi oleh sejumlah keputusan yang tidak ada kaitannya dengan layanan kesehatan, misalnya kemiskinan, pencemaran udara, kurangnya akses air bersih dan sanitasi yang buruk (Buse, 2009).

2.2.2. Kerangka Konsep dalam Kebijakan Kesehatan

Untuk menganalisis suatu kebijakan kesehatan dapat dilakukan melalui segitiga analisis kebijakan.

Gambar 2.1. Segitiga Kebijakan

Sumber: Buse, K (2009)

Proses Isi/Konten

Aktor Individu/grup /organisasi

(5)

Segitiga kebijakan kesehatan merupakan suatu pendekatan yang sudah sangat disederhanakan untuk suatu tatanan hubungan yang kompleks dan bukan saling terpisah. Misalnya pelaku dapat dipengaruhi dalam konteks dimana mereka tinggal dan bekerja. Konteks dipengaruhi oleh banyak faktor seperti ketidakstabilan atau ideologi, sejarah dan budaya serta proses penyusunan kebijakan. Bagaimana suatu isu dapat menjadi suatu agenda kebijakan dan bagaimana isu tersebut dapat berharga sangat dipengaruhi oleh pelaksana, kedudukan dan struktur kekuatan, norma dan harapan mereka. Dari isi kebijakan menunjukkan sebagian atau seluruh bagian ini. Jadi, segitiga tidak hanya mampu membantu dalam berpikir sistematis tentang pelaku yang berbeda yang mungkin memengaruhi kebijakan tetapi juga berfungsi sebagai peta yang menunjukkan jalan (Buse, 2009).

Melalui analisis kebijakan akan diketahui mengenai apa dan bagaimana hasil (outcome) kebijakan dan sekaligus sebagai piranti untuk membuat model kebijakan yang akan datang dan mengimplementasikan kebijakan tersebut dengan lebih efektif (Buse, 2009).

Selanjutnya, Buse (2009) juga mengemukakan bahwa kebijakan kesehatan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor kontekstual, antara lain:

(6)

b. Faktor struktural, merupakan bagian dari masyarakat yang relatif tidak berubah. Faktor ini meliputi sistem politik, mencakup pula keterbukaan sistem tersebut dan kesempatan bagi warga masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembahasan dan keputusan kebijakan, kondisi demografi atau kemajuan teknologi.

c. Faktor budaya juga berpengaruh seperti hierarki, gender, stigma terhadap penyakit tertentu, dan lain-lain.

d. Faktor internasional atau eksogen, faktor ini menyebabkan meningkatnya ketergantungan antar negara dan mempengaruhi kemandirian dan kerjasama internasional dalam bidang kesehatan.

2.3. Implementasi Kebijakan Publik

(7)

Menurut Winarno (2012) yang mengutip pendapat Ripley dan Franklin (1982) bahwa implementasi adalah apa yang terjadi setelah undang-undang ditetapkan yang memberikan otoritas program, kebijakan, keuntungan (benefit), atau suatu jenis keluaran yang nyata (tangible output). Implementasi menunjuk pada sejumlah kegiatan yang mengikuti pernyataan maksud tentang tujuan-tujuan program dan hasil-hasil yang diinginkan oleh para pejabat pemerintah.

Menurut Akib (2010) yang mengutip pendapat Grindle (1980) bahwa implementasi merupakan proses umum tindakan administratif yang dapat diteliti pada tingkat program tertentu. Proses implementasi dimulai apabila tujuan dan sasaran telah ditetapkan, program kegiatan telah tersusun, dana telah siap dan disalurkan untuk mencapai sasaran (Akib,2010).

Selanjutnya, Van Meter dan Van Horn (1975) yang dikutip oleh Winarno (2012) membatasi implementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu atau kelompok-kelompok pemerintah ataupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan yang telah digariskan.

(8)

direalisasikan melalui aktifitas instansi pemerintah yang melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan.

Jika divisualisasikan akan terlihat bahwa suatu kebijakan memiliki tujuan yang jelas yang diformulasikan ke dalam program pelaksanaan yang dilaksanakan berpedoman pada rencana. Keseluruhan implementasi kebijakan dievaluasi dengan cara mengukur luaran (output) program berdasarkan tujuan program. Luaran program dilihat melalui dampaknya terhadap sasaran yang dituju baik individu , kelompok maupun masyarakat. Luaran implementasi kebijakan adalah adanya perubahan dan diterimanya perubahan oleh kelompok sasaran (Akib, 2010)

Keberhasilan implementasi kebijakan dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling berkaitan. Ada banyak faktor yang dinyatakan oleh para ahli, diantaranya menurut Edwards III (1984) yang dikutip oleh Tangkilisan (2003), bahwa ada 4 faktor yang menentukan keberhasilan atau kegagalan dalam implementasi kebijakan yakni faktor sumber daya, birokrasi, komunikasi dan disposisi.

(9)

Letak pengambilan keputusan, 5) Pelaksanaan program, dan 6) Sumber daya yang dilibatkan. Sedangkan variabel lingkungan (context) mencakup : 1) Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat, 2) Karakteristik lembaga dan penguasa, 3) Kepatuhan dan daya tanggap.

Mazmanian dan Sabatier (1983) juga mengemukakan pendapatnya yang dikutip oleh Subarsono (2005), bahwa implementasi kebijakan dipengaruhi oleh 3 variabel yaitu : 1) Karakteristik dari masalah (tractability of the problems), 2) Karakteristik kebijakan/undang-undang (ability of statue to structure implementation), 3) Variabel lingkungan (nonstatutory variables affecting

implementation). Karakteristik masalah mencakup 1) Tingkat kesulitan teknis

dari masalah yang bersangkutan, 2) Keragaman perilaku kelompok sasaran, 3) Proporsi kelompok sasaran terhadap total populasi, 4) Cakupan perubahan perilaku. Karakteristik kebijakan mencakup 1) Kejelasan isi kebijakan, 2) Dukungan teoritis, 3) Besarnya alokasi sumber daya, 4) Keterpautan dan dukungan antar berbagai institusi pelaksana, 5) Kejelasan dan konsistensi aturan, 6) Tingkat komitmen aparat terhadap tujuan kebijakan, dan 7) Akses formal. Sementara variabel lingkungan meliputi : 1) Kondisi sosial ekonomi masyarakat, 2) Dukungan publik terhadap kebijakan, 3) Sikap dari kelompok pemilih, 4) Tingkat komitmen dan keterampilan implementor.

(10)

antara program dengan pemanfaat, yaitu kesesuaian antara apa yang ditawarkan oleh program dengan apa yang dibutuhkan oleh kelompok sasaran (pemanfaat). Kedua, kesesuaian antara program dengan organisasi pelaksana, yaitu kesesuaian antara tugas yang dipersyaratkan oleh program dengan kemampuan organisasi pelaksana. Ketiga, kesesuaian antara kelompok pemanfaat dengan organisasi pelaksana, yaitu kesesuaian antara syarat yang diputuskan organisasi untuk dapat memperoleh output program dengan apa yang dapat dilakukan oleh kelompok sasaran program.

Berdasarkan pola pikir Korten dapat dipahami bahwa jika tidak terdapat kesesuaian dari tiga unsur implementasi kebijakan maka kinerja program tidak akan berhasil sesuai dengan apa yang diharapkan. Jika output program tidak sesuai dengan kebutuhan kelompok sasaran maka jelas outputnya tidak dapat dimanfaatkan. Jika organisasi pelaksana program tidak memiliki kemampuan melaksanakan tugas yang disyaratkan oleh program maka organisasinya tidak dapat menyampaikan output program dengan tepat. Atau, jika syarat yang ditetapkan organisasi pelaksana program tidak dapat dipenuhi oleh kelompok sasaran maka kelompok sasaran tidak mendapatkan output program. Oleh karena itu, kesesuaian antara 3 unsur implementasi kebijakan mutlak diperlukan agar program berjalan sesuai rencana yang telah dibuat ( Akib, 2010).

(11)

kebijakan tersebut. Konfigurasi ketiga variabel itu disebut hubungan segitiga variabel yaitu variabel kebijakan, organisasi dan lingkungan kebijakan. Melalui pemilihan kebijakan yang tepat, maka masyarakat dapat berpartisipasi memberikan kontribusi dalam mencapai tujuan kebijakan. Selanjutnya, ketika sudah ditemukan kebijakan yang terpilih perlu diwadahi oleh organisasi pelaksana yang memiliki kewenangan dan sumber daya yang mendukung pelaksanaan program. Penciptaan situasi dan lingkungan kebijakan yang mendukung sangat dibutuhkan dalam pencapaian keberhasilan. Karena diasumsikan bahwa jika lingkungan berpandangan positif terhadap suatu kebijakan maka diharapkan akan menghasilkan dukungan positif yang sangat berpengaruh terhadap kesuksesan implementasi kebijakan. Sebaliknya, jika lingkungan berpandangan negatif akan dapat mengancam kesuksesan implementasi kebijakan (Akib, 2010).

2.4. Implementasi Kebijakan Model George Edwards III

Teori yang dikemukakan oleh Edwards ini disebut juga dengan Direct and Indirect Impact on Implementation. Menurut Edwards, ada 4 (empat) faktor yang

memengaruhi implementasi suatu kebijakan yang antara satu faktor dengan faktor lain saling memengaruhi, yaitu:

a. Faktor Komunikasi

(12)

2010). Semua hal tersebut dapat diperoleh melalui komunikasi yang efektif. Ada beberapa hal yang memengaruhi komunikasi, yaitu :

1). Transmisi; penyaluran komunikasi yang baik akan dapat menghasilkan suatu implementasi yang baik pula. Seringkali terjadi hambatan dalam mentransmisikan perintah-perintah implementasi. Hambatan-hambatan tersebut dapat terjadi antara lain karena adanya pertentangan pendapat antara pelaksana dengan perintah yang dikeluarkan oleh pengambil kebijakan, penyampaian informasi yang melewati berlapis-lapis hierarki birokrasi dan adanya persepsi dan ketidakmauan para pelaksana untuk mengetahui persyaratan suatu kebijakan (Winarno, 2012)

2). Kejelasan; komunikasi yang diterima oleh implementor haruslah jelas, akurat, dan tidak membingungkan, sehingga dapat dihindari terjadinya interpretasi yang salah. Menurut Edwards ada 6 faktor yang mendorong ketidakjelasan komunikasi kebijakan, yaitu: kompleksitas kebijakan publik, keinginan untuk tidak mengganggu kelompok-kelompok masyarakat, kurangnya konsensus mengenai tujuan-tujuan kebijakan, masalah-masalah dalam memulai suatu kebijakan baru, menghindari pertanggungjawaban kebijakan dan sifat pembentukan kebijakan pengadilan (Winarno,2012).

(13)

mengambil tindakan yang sangat longgar dalam menafsirkan dan mengimplementasikan kebijakan.

Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin cermat keputusan dan perintah pelaksanaan diteruskan kepada pelaksana, maka semakin tinggi probabilitas keputusan dan perintah kebijakan tersebut untuk dilaksanakan dengan baik (Winarno,2012).

b. Faktor Sumber daya

Walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan dengan jelas dan konsisten, tetapi apabila implementor kekurangan sumberdaya untuk

melaksanakan, maka implementasi tidak akan berjalan efektif ( Subarsono,2009). Indikator untuk menilai kecukupan sumberdaya

adalah:

1). Staf; sumber daya yang paling esensial dalam mengimplementasikan kebijakan adalah staf. Sumberdaya yang efektif tidak hanya dinilai dari sisi jumlah staf namun juga kompetensi atau kecakapan sumber daya manusianya.

(14)

3). Wewenang; kewenangan merupakan otoritas atau legitimasi bagi para pelaksana dalam melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan secara politik. Kewenangan harus bersifat formal untuk menghindari gagalnya proses implementasi karena dipandang oleh publik implementor tersebut tidak terlegitimasi.

c. Faktor Disposisi

Disposisi diartikan sebagai sikap atau perspektif implementor dalam melaksanakan kebijakan. Jika para implementor bersikap baik atau mendukung suatu kebijakan maka kemungkinan besar mereka akan melaksanakan kebijakan sebagaimana yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Namun sebaliknya, bila tingkah laku atau perspektif implementor berbeda dengan pembuat kebijakan maka proses pelaksanaan suatu kebijakan akan sulit. Beberapa hal penting yang harus diperhatikan berkaitan dengan disposisi ini adalah :

(15)

akan menjadi faktor pendorong yang membuat implementor melaksanakan perintah dengan baik. Hal ini dilakukan sebagai upaya memenuhi kepentingan-kepentingan pribadi (self-interest), organisasi atau kebijakan substantif.

d. Faktor Struktur Birokrasi

Pada dasarnya, para implementor mungkin mengetahui apa yang harus dilakukan dalam pelaksanaan kebijakan serta mempunyai cukup sumber daya dan keinginan namun terkadang mereka masih terhambat dengan struktur birokrasi dimana mereka menjalankan kegiatan tersebut. Menurut Edwards III ada 2 karakteristik yang dapat meningkatkan kinerja struktur birokrasi, yaitu membuat Standard Operating Procedures (SOP) dan fragmentasi ( Winarno, 2012 dan Tangkilisan, 2003)

2.5. Evaluasi Program

2.5.1. Pengertian Evaluasi

(16)

dilakukan evaluasi. Dalam bahasa yang lebih singkat evaluasi adalah kegiatan yang bertujuan untuk menilai “manfaat” suatu kebijakan ( Winarno, 2012).

Menurut Harris (2010) yang mengutip pendapat Rossi et al (2004) bahwa evaluasi adalah penggunaan metode pengujian atau penelitian sosial untuk mengetahui efektifitas suatu program. Sementara menurut Tuckman (1985) yang dikutip oleh Sopha Julia (2010), evaluasi adalah suatu proses untuk mengetahui / menguji apakah suatu kegiatan,proses kegiatan, keluaran suatu program telah sesuai dengan tujuan atau kegiatan yang telah ditentukan. Suatu program tidak hanya sekedar dirancang dan dilaksanakan melainkan harus diukur pula sejauh mana efektifitas dan efisiensinya.

Selanjutnya, menurut Notoatmodjo (2003) yang mengutip dari Perhimpunan Kesehatan Masyarakat Amerika, bahwa evaluasi adalah suatu proses untuk menentukan nilai atau jumlah keberhasilan dan usaha pencapaian suatu tujuan yang telah ditetapkan. Proses tersebut mencakup kegiatan-kegiatan memformulasikan tujuan, identifikasi kriteria yang tepat untuk digunakan mengukur keberhasilan, menentukan dan menjelaskan derajat keberhasilan dan rekomendasi untuk kelanjutan aktifitas program.

(17)

Lebih khusus lagi evaluasi program adalah upaya penelitian yang dilakukan secara sistematis dan objektif dengan tujuan mengkaji proses dan hasil dari suatu kegiatan/program/kebijakan yang telah dilaksanakan. Evaluasi dilakukan untuk menentukan sejauhmana hasil atau nilai yang telah dicapai program (Julia, 2010).

2.5.2. Tujuan Evaluasi

Menurut Subarsono (2009), evaluasi memiliki beberapa tujuan yang dapat dirinci sebagai berikut:

a. Menentukan tingkat kinerja (efektifitas) suatu kebijakan. Melalui evaluasi dapat diketahui derajat pencapaian tujuan dan sasaran kebijakan.

b. Mengukur tingkat efisiensi suatu kebijakan. Melalui evaluasi dapat diketahui berapa biaya dan manfaat dari suatu kebijakan.

c. Mengukur tingkat keluaran (outcome) suatu kebijakan.

d. Mengukur dampak suatu kebijakan. Pada tahap lebih lanjut, evaluasi ditujukan untuk melihat dampak dari suatu kebijakan, baik dampak positif maupun negatif.

e. Untuk mengetahui adanya penyimpangan. Evaluasi juga bertujuan untuk mengetahui adanya penyimpangan yang mungkin terjadi, dengan cara membandingkan antara tujuan dan sasaran dengan pencapaian target. f. Sebagai bahan masukan (input) untuk kebijakan yang akan datang. Tujuan

(18)

2.5.3. Jenis Evaluasi

Azwar (2010) membagi penilaian menjadi 3(tiga) jenis penilaian yaitu : a. Penilaian pada tahap awal program (formative evaluation), bermaksud

untuk mengukur kesesuaian program dengan masalah yang ada atau penjajakan

b. Penilaian pada tahap pelaksanaan program (promotive evaluation) dengan tujuan apakah program yang sedang dilaksanakan telah sesuai dengan rencana atau tidak, disebut juga dengan monitoring.

c. Penilaian pada tahap akhir program (summative evaluation) dengan tujuan utama untuk mengukur dampak yang dihasilkan.

Kategori mengenai evaluasi dikemukakan juga oleh Erville F.Poland (2000) , yaitu:

a. Effectiveness evaluation, yaitu evaluasi terhadap keberhasilan program. b. Efficiency evaluation yaitu evaluasi terhadap efisiensi pelaksanaan.

c. Eclectic evaluation, yaitu evaluasi yang meneliti pemasukan,proses,

kriteria-kriteria hasil kegiatan yang dianggap ada kaitannya dengan hasil program.

Menurut Notoatmodjo (2003), evaluasi suatu program kesehatan masyarakat dilakukan terhadap tiga hal,yakni:

(19)

b. Evaluasi program ditujukan untuk menilai sejauhmana program tersebut berhasil, yakni sejauh mana tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai. c. Evaluasi dampak program ditujukan untuk menilai sejauh mana program

tersebut mempunyai dampak terhadap peningkatan kesehatan masyarakat.

2.5.4. Tahapan Evaluasi

Menurut Notoatmodjo (2003), kegiatan evaluasi mencakup langkah-langkah sebagai berikut:

a. Menetapkan atau memformulasikan tujuan evaluasi, yakni tentang apa yang akan dievaluasi terhadap program yang dievaluasi.

b. Menetapkan kriteria yang akan digunakan dalam menentukan keberhasilan program yang akan dievaluasi.

c. Menetapkan cara atau metode evaluasi yang akan digunakan.

d. Melaksanakan evaluasi, mengolah dan menganalisis data atau hasil pelaksanaan evaluasi tersebut.

e. Menentukan keberhasilan program yang dievaluasi berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan tersebut serta memberikan penjelasan-penjelasan. f. Menyusun rekomendasi atau saran-saran tindakan lebih lanjut terhadap

program berikutnya berdasarkan hasil evaluasi tersebut.

Sementara menurut Winarno (2012) yang mengutip pendapat Suchman yang mengemukakan bahwa ada 6 langkah dalam evaluasi kebijakan, yaitu:

(20)

c. Deskripsi dan standarisasi kegiatan.

d. Pengukuran terhadap tingkatan perubahan yang terjadi.

e. Menentukan apakah perubahan yang diamati merupakan akibat dari kegiatan tersebut atau karena penyebab lain.

f. Beberapa indikator untuk menentukan keberadaan suatu dampak.

. Hasil evaluasi akan dianalisa sebagai pertimbangan bagi pembuat kebijakan untuk melakukan penyesuaian atau perubahan demi penyempurnaan kebijakan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa suatu kebijakan publik tidaklah permanen tetapi membutuhkan penyesuaian, karena kebijakan sangat dipengaruhi oleh faktor politik, sosial, ekonomi, budaya, teknologi dan informasi yang senantiasa dinamis.

2.5.5. Indikator Evaluasi

Untuk menilai keberhasilan suatu kebijakan perlu dikembangkan beberapa indikator. Indikator atau kriteria evaluasi yang dikembangkan oleh Dunn (1994) yaitu:

a. Efektifitas : apakah hasil yang diinginkan telah tercapai?

b. Kecukupan : seberapa jauh hasil yang telah tercapai dapat memecahkan masalah?

(21)

d. Responsivitas: apakah hasil kebijakan memuat preferensi/nilai kelompok dan dapat memuaskan?

e. Ketepatan: apakah hasil yang dicapai bermanfaat?

2.6. Efektifitas

Efektif berasal dari bahasa Inggris yaitu effective yang artinya berhasil, tepat, mengesankan atau mencapai hasil dengan baik. Jadi efektifitas pada dasarnya mengarah pada sebuah keberhasilan pencapaian tujuan.

Menurut M. Fazhrin (2012) yang mengutip pendapat Hidayat (1986) , efektifitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas, kualitas dan waktu) telah tercapai. Makin besar persentase target yang dicapai, makin tinggi efektifitasnya.

Sedangkan menurut Mahmudi (2005) efektifitas merupakan hubungan antara output dengan tujuan, semakin besar kontribusi (sumbangan) output terhadap pencapaian tujuan, maka semakin efektif organisasi, program atau kegiatan. Efektifitas mempunyai hubungan timbal balik antara output dengan tujuan. Semakin besar kontribusi output, maka semakin efektif suatu program atau kegiatan.

(22)

dibanding output yang ditargetkan lebih besar atau sama dengan 1 maka akan tercapai efektifitas. Namun jika output aktual dibanding output yang ditargetkan kurang daripada 1, maka efektifitas tidak tercapai.

Berdasarkan berbagai pengertian efektifitas tersebut, dapat disimpulkan bahwa suatu efektifitas melalui suatu siklus input,proses dan output yang akan menghasilkan suatu dampak sesuai yang diharapkan.

Efektifitas seringkali disamakan dengan efisien padahal kedua kata ini berbeda artinya. Markus Zahnd (2006) menyatakan bahwa efektifitas berfokus pada akibatnya, pengaruh atau efeknya, sedangkan efisiensi berarti tepat atau sesuai untuk mengerjakan sesuatu dengan tidak membuang-buang waktu, tenaga dan biaya. Efisiensi berarti melakukan sesuatu dengan benar atau “doing things right” sedangkan efektifitas berarti melakukan atau mengerjakan sesuatu tepat

pada sasaran atau “doing the right things”. Efektif lebih mengarah kepada pencapaian tujuan atau target sementara efisien mengarah kepada pengelolaan sumber daya secara cermat.

Penilaian efektifitas suatu program perlu dilakukan untuk mengetahui sejauhmana dampak dan manfaat yang dihasilkan oleh program tersebut, karena efektifitas merupakan gambaran keberhasilan dalam mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Melalui penilaian efektifitas juga dapat menjadi pertimbangan kelanjutan suatu program.

(23)

a) Pendekatan Sumber (Resource Approach) yakni mengukur efektifitas dari input. Pendekatan mengutamakan adanya keberhasilan organisasi untuk

memperoleh sumber daya, baik fisik maupun non fisik yang sesuai dengan kebutuhan organisasi agar dapat menjadi efektif. Pendekatan ini didasarkan pada teori mengenai keterbukaan sistem suatu lembaga terhadap lingkungannya, karena lembaga mempunyai hubungan yang merata dengan lingkungannya untuk memperoleh sumber-sumber yang merupakan input lembaga tersebut dan output yang dihasilkan juga akan ditujukan pada lingkungannya.

Dalam mendapatkan berbagai jenis sumber untuk memelihara sistem dari suatu lembaga merupakan kriteria yang digunakan untuk mengukur efektifitas. Secara sederhana efektifitas sering diukur dengan jumlah atau kuantitas berbagai jenis sumber yang berhasil diperoleh dari lingkungan. Pengukuran efektifitas dengan pendekatan sumber ini mampu memberikan alat ukur yang sama dalam mengukur efektifitas berbagai lembaga yang jenis dan programnya berbeda dan tidak dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan sasaran.

(24)

c) Pendekatan Sasaran (Goals Approach) memusatkan perhatian pada output, mengukur keberhasilan organisasi untuk mencapai output yang sesuai dengan rencana. Pendekatan ini mencoba mengukur sejauhmana organisasi atau lembaga berhasil merealisasikan sasaran yang hendak dicapai.

2.7. Bantuan Operasional Kesehatan

Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) merupakan salah satu program unggulan Kementerian Kesehatan. BOK merupakan upaya pemerintah untuk membantu daerah dalam mencapai target nasional bidang kesehatan yang menjadi kewenangan wajib daerah (Petunjuk Teknis BOK, 2012).

(25)

Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) adalah bantuan dana dari pemerintah melalui Kementerian Kesehatan dalam membantu Pemerintah Daerah Kabupaten / Kota melaksanakan pelayanan kesehatan sesuai Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Kesehatan menuju Millenium Development Goals

(MDGs) Bidang Kesehatan tahun 2015 melalui peningkatan kinerja Puskesmas

dan jaringannya serta Poskesdes dan Posyandu dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang bersifat promotif dan preventif ( Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Petunjuk Teknis BOK tahun 2012).

Adapun tujuannya menurut buku Petunjuk Teknis Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) adalah:

a) Menyediakan dukungan biaya untuk upaya pelayanan kesehatan yang bersifat promotif dan preventif bagi masyarakat.

b) Meningkatkan kualitas manajemen Puskesmas, terutama dalam perencanaan tingkat Puskesmas dan lokakarya mini Puskesmas.

c) Meningkatkan upaya untuk menggerakkan potensi masyarakat dalam meningkatkan derajat kesehatannya.

d) Meningkatkan cakupan pelayanan kesehatan yang bersifat promotif dan preventif yang dilakukan oleh Puskesmas dan jaringannya serta Poskesdes dan Posyandu.

2.7.1. Ruang Lingkup Kegiatan

(26)

jaringannya termasuk Posyandu dan Poskesdes, dalam rangka membantu pencapaian target SPM Bidang Kesehatan di kabupaten/kota guna mempercepat pencapaian target MDGs. Selain itu dana BOK juga dialokasikan untuk mendukung pelaksanaan manajemen BOK di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

Ruang lingkup kegiatan yang boleh didanai dari BOK menurut buku Petunjuk Teknis BOK 2012, adalah:

A. Kegiatan di Puskesmas

1. Upaya Kesehatan di Puskesmas

Utamanya digunakan untuk mendukung upaya kesehatan yang bersifat promotif dan preventif yang meliputi:

a. Kesehatan Ibu dan Anak termasuk Keluarga Berencana. b. Imunisasi

c. Perbaikan Gizi Masyarakat d. Promosi Kesehatan

e. Kesehatan Lingkungan f. Pengendalian Penyakit

Selain 6 upaya prioritas tersebut, Puskesmas juga dapat menggunakannya untuk melaksanakan upaya kesehatan lainnya sesuai dengan resiko dan masalah kesehatan utama di wilayah setempat.

(27)

a. Biaya transportasi petugas kesehatan untuk kegiatan kesehatan luar gedung.

b. Biaya transportasi kader kesehatan dalam rangka mendukung kegiatan Puskesmas dan jaringannya serta Poskesdes dan Posyandu.

c. Biaya transportasi dukun beranak dalam rangka mendukung kegiatan terkait kemitraan bidan dan dukun.

d. Biaya pembelian bahan/ makanan untuk kegiatan PMT penyuluhan dan/atau PMT pemulihan untuk balita 6-59 bulan dengan gizi kurang, gizi buruk pasca perawatan atau rawat jalan dan ibu hamil KEK dengan mengutamakan bahan/makanan lokal.

Dari 6 upaya tersebut, kegiatan yang dapat didanai dari BOK adalah: a. Pendataan sasaran (ibu hamil, ibu bersalin, bayi,balita, kasus resiko

tinggi, rumah tangga, siswa,sekolah, pasangan usia subur, wanita usia subur, tempat-tempat umum, dll)

b. Surveillans (gizi, KIA, imunisasi, penyakit menular, penyakit tidak menular, vektor, dll)

c. Kunjungan rumah / lapangan (kasus drop out, kasus resiko tinggi, perawatan kesehatan masyarakat, pendampingan minum obat, pemasangan stiker P4K, dll)

(28)

e. Kegiatan sweeping, penjaringan, pelacakan, dan penemuan kasus. f. Pengembalian spesimen

g. Pengendalian dan pemberantasan vektor (fogging, spraying, abatisasi, pemeriksaan jentik, pembagian kelambu, dll)

h. Kegiatan promosi kesehatan termasuk untuk mendukung program prioritas (penyuluhan, konseling, luar gedung, pembinaan Poskesdes dan Posyandu, dll).

i. Kegiatan pemantauan (sanitasi air bersih, rumah, tempat-tempat umum, pengelolaan sampah, dll).

j. Pengambilan vaksin

k. Rujukan dari Poskesdes ke Puskesmas dan atau dari Puskesmas ke Rumah Sakit terdekat untuk kasus KIA resiko tinggi dan komplikasi kebidanan bagi peserta Jampersal.

l. PMT penyuluhan dan PMT pemulihan untuk balita 6-59 bulan dengan gizi kurang.

2. Kegiatan Penunjang Upaya Kesehatan

(29)

studi banding antar Puskesmas, orientasi kader kesehatan dan/atau tokoh masyarakat serta untuk kegiatan pengelolaan administrasi BOK.

Dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan tersebut maka dana BOK menurut Petunjuk Teknis BOK, dapat dimanfaatkan untuk:

a. Pembelian ATK b. Penggandaan

c. Transportasi petugas kesehatan dan/atau kader kesehatan d. Transportasi peserta rapat

e. Konsumsi penyuluhan

3. Penyelenggaraan Manajemen Puskesmas

Untuk dapat terselenggaranya pelayanan kesehatan di Puskesmas secara optimal, tepat sasaran, efisien dan efektif perlu dilaksanakan manajemen Puskesmas yang mencakup :

a. Perencanaan Tingkat Puskesmas (P1)

Kegiatan perencanaan tingkat Puskesmas yang dimaksud adalah penyusunan perecanaan kegiatan Puskesmas yang akan dilaksanakan selama 1 tahun dan berbagai sumber daya termasuk salah satunya adalah BOK.

(30)

yang disepakati (POA bulanan) untuk dilaksanakan, termasuk kegiatan-kegiatan yang akan dibiayai dari BOK.

c. Pengawasan Pengendalian Penilaian (P3) atau evaluasi

Penilaian pencapaian program dan kegiatan Puskesmas dalam kurun waktu 1 tahun dari yang direncanakan tersebut di atas.

Dalam pelaksanaan kegiatan manajemen tersebut menurut Petunjuk Teknis BOK 2012 maka dana BOK dapat dimanfaatkan untuk:

a. Biaya pembelian ATK dan penggandaan bahan.

b. Biaya transportasi dan konsumsi untuk peserta rapat dalam rangka P1,P2,P3 sesuai ketentuan yang berlaku.

c. Biaya petugas Puskesmas untuk mengikuti orientasi manajemen BOK di Kabupaten/Kota (biaya transportasi, biaya akomodasi dan uang saku).

d. Biaya transportasi dan /atau biaya pos untuk pengiriman laporan ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

e. Biaya transportasi dalam rangka konsultasi kegiatan BOK di lingkup/wilayah Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

4. Barang Penunjang Upaya Kesehatan

(31)

Puskesmas dan jaringannya serta Poskesdes dan Posyandu. Barang penunjang upaya kesehatan tersebut meliputi:

a. Pemeliharaan ringan Puskesmas dan jaringannya serta Poskesdes dan Posyandu termasuk ongkos tukang

b. Barang penunjang untuk tujuan penyuluhan: 1) Pencetakan /penggandaan media KIE;

2) Bahan untuk interaksi penyuluh kepada masyarakat. c. Barang fisik yang tidak menjadi aset tetap.

Dana BOK di Puskesmas tidak boleh dimanfaatkan untuk: a. Upaya kuratif dan rehabilitatif

b. Gaji,uang lembur, insentif

c. Pemeliharaan gedung (sedang dan berat) d. Pemeliharaan kendaraan (sedang dan berat) e. Biaya listrik, telepon dan air

f. Pengadaan obat,vaksin dan alat kesehatan g. Biaya transportasi rujukan pasien.

B. Kegiatan di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

Selain di Puskesmas, dana BOK juga dapat digunakan untuk membiayai kegiatan di Dinas Kesehatan, seperti:

1. Perencanaan

(32)

b. Pertemuan koordinasi perencanaan BOK tingkat kabupaten/kota (misal rapat koordinasi perencanaan, rekapitulasi Rencana Pelaksanaan Kegiatan (RPK)/POA Puskesmas, orientasi manajemen BOK bagi Puskesmas, dll).

2. Pelaksanaan

a. Perjalanan dinas petugas dari Tim Pengelola BOK Tingkat Kabupaten/Kota dalam rangka koordinasi dengan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara (Kanwil DJPB) dan Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) terkait.

b. Pertemuan pembinaan dan penggerakan manajemen BOK (misal rapat koordinasi evaluasi, desk verifikasi RPK/POA Puskesmas, verifikasi pertanggungjawaban keuangan, dll).

3. Monitoring dan Evaluasi

a. Perjalanan petugas Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota ke Puskesmas dan jaringannya serta Poskesdes dan Posyandu (misal mengikuti lokakarya mini Puskesmas, pembinaan dan pemantauan BOK,dll)

b. Penyusunan dan pengiriman laporan ke Dinas Kesehatan Provinsi.

2.7.2 Pengelolaan Keuangan

(33)

tahun 2010 yang menggunakan mekanisme Bantuan Sosial. Perubahan ini dilakukan karena ditemukannya banyak kendala dalam pelaksanaannya.Tugas Pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan / atau desa. Dari pemerintah provinsi kepada kabupaten atau kota dan atau desa, serta dari pemerintah kabupaten atau kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu dengan kewajiban melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaannya kepada yang menugaskan.

Besaran alokasi dana untuk tiap Kabupaten/Kota ditetapkan berdasarkan SK Menteri Kesehatan, sementara alokasi dana per Puskesmas ditetapkan berdasarkan SK Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan memperhatikan situasi dan kondisi antara lain:

1. Jumlah penduduk; 2. Luas wilayah; 3. Kondisi geografis; 4. Kesulitan wilayah; 5. Cakupan program;

6. Jumlah tenaga kesehatan di Puskesmas dan jaringannya; 7. Jumlah Poskesdes dan Posyandu;

(34)

Menurut buku Petunjuk Teknis BOK tahun 2012 bahwa untuk dapat menyelenggarakan kegiatan BOK di Puskesmas secara optimal, tepat sasaran, efisien, dan efektif perlu dilaksanakan kegiatan-kegiatan mencakup:

1. Tahap Persiapan

a. Penyusunan RPK tahunan berdasarkan Rencana Usulan Kegiatan (RUK), dengan penyesuaian hasil pencapaian sampai dengan Desember H-1, melihat ketersediaan sumber daya (tenaga,sarana,fasilitas, dll).

b. Penyusunan RPK tahunan dilaksanakan pada awal bulan pertama tahun berjalan melalui lokakarya mini bulanan yang pertama untuk menyusun rencana kegiatan Puskesmas dalam 1 tahun, dengan mengundang seluruh staf Puskesmas termasuk Puskesmas Pembantu dan bidan di desa.

c. Output adalah RPK tahunan Puskesmas.

2. Tahap Pelaksanaan

Puskesmas menyusun perencanaan bulanan melalui lokakarya mini dengan tetap memperhatikan RPK tahunan. Kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaan kegiatan sesuai ruang lingkup kegiatan BOK.

(35)

b. Lokakarya mini tribulanan (lintas sektor) diselenggarakan setiap 3 bulan dengan mengundang camat, kepala desa, kader dan sektor lain sesuai tema/topik. Output adalah kesepakatan kegiatan lintas sektor.

c. Kegiatan lokakarya mini dilakukan untuk membahas capaian program/kegiatan bulan sebelumnya yang dianalisis dengan menggunakan PWS dan merencanakan kegiatan bulan berikutnya. d. Kegiatan BOK dilaksanakan sesuai dengan POA bulanan

Puskesmas dan pemanfaatan dananya berdasarkan rencana kegiatan yang telah disetujui oleh Tim Pengelola BOK Kabupaten/Kota.

3. Tahap Monitoring, Evaluasi, dan Penilaian Kinerja

a. Monitoring pencapaian program/kegiatan dan penyerapan keuangan BOK dilakukan pada saat lokakarya mini bulanan dan tribulanan.

b. Pembinaan oleh Kepala Puskesmas, bidan koordinator dan pengelola program ke Puskesmas Pembantu, UKBM dan bidan di desa berdasarkan hasil lokakarya mini Puskesmas.

(36)

Kesehatan Kabupaten/Kota. Outputnya adalah dokumen Penilaian Kinerja Puskesmas.

Pengusulan dan pencairan anggaran untuk setiap Puskesmas harus mengikuti prosedur sebagai berikut:

a. Puskesmas membuat Plan of Action yang merupakan satu kesatuan dengan POA Puskesmas.

b. Berdasarkan POA tersebut, Puskesmas mengusulkan kebutuhan dana untuk kegiatan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. c. Bendahara Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota akan mencairkan

permintaan dana Puskesmas berdasarkan persetujuan atas hasil verifikasi Tim Pengelola Jamkesmas dan BOK Tingkat Kabupaten/Kota.

d. Untuk pencairan dana berikutnya dapat dilakukan dengan tetap membuat POA dari hasil lokakarya mini dan melampirkan laporan pemanfaatan dana sebelumnya serta Laporan Pelaksanaan Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) oleh Puskesmas di kabupaten/kota (Sistem Informasi Kesehatan Nasional online)

e. Untuk Puskesmas terpencil/sangat terpencil, periode pencairan dana dapat diatur berdasarkan kesepakatan Puskesmas dengan Dinas Kesehatan Kabupaten /Kota.

(37)

a. Mencatat dan membukukan dalam buku kas tunai, mempertanggungjawabkan dan melaporkan dalam format Surat Pernyataan Tanggung Jawab Belanja (SPTB).

b. Tata cara dan syarat pengajuan dana:

1. Menyampaikan rencana kegiatan sesuai POA hasil Lokakarya Mini.

2. Dalam pengajuan dana, atasan langsung pengelola dana BOK dalam hal ini kepala Puskesmas mengajukan surat permohonan dana kepada Kuasa Pengguna Anggaran/Pejabat Pembuat Komitmen dengan melampirkan Kerangka Acuan Kerja atau Term of Reference (TOR).

3. Dana diberikan kepada pengelola dana paling cepat 2 hari sebelum kegiatan dimulai.

2.7.3 Indikator Kinerja

Sesuai dengan Petunjuk Teknis BOK maka untuk mengukur kinerja kabupaten/kota dan Puskesmas dalam pemanfaatan BOK ditetapkan indikator sebagai berikut:

a. Indikator Monitoring

(38)

b. Indikator Evaluasi

Sebagai upaya pengawasan dan untuk mengevaluasi kinerja Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Puskesmas, ditetapkan indikator evaluasi yang dilaksanakan oleh Inspektorat Jenderal Kementerian Kesehatan dan BPKP.

Indikator Input:

1) 100% defisit anggaran POA dipenuhi oleh BOK.

2) 100% dana BOK yang dicairkan Dinkes Kabupaten/Kota disalurkan kepada Puskesmas yang mengajukan surat permintaan uang (SPU).

Indikator Proses :

100% dana BOK tersalurkan tepat waktu sesuai POA Indikator Output:

1) 100% dana BOK digunakan untuk upaya promotif dan preventif sesuai mini lokakarya.

2) 100% dana BOK di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dimanfaatkan untuk pengelolaan BOK.

2.8. Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Kesehatan

(39)

setiap warga negara secara minimal .(Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan Kabupaten/Kota, 2008).

Standar Pelayanan Minimal bidang Kesehatan menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 741/MENKES/PER/VII/2008 adalah merupakan tolok ukur kinerja pelayanan kesehatan yang diselenggarakan daerah Kabupaten/Kota.

Menurut Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bahwa bidang kesehatan merupakan urusan wajib yang harus dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota.Penyelenggaraan urusan wajib oleh daerah ini merupakan perwujudan otonomi yang bertanggungjawab, yang pada intinya merupakan pengakuan/pemberian hak dan kewenangan Daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul daerah. Maka untuk menjamin terselenggaranya urusan wajib daerah yang berhubungan dengan hak dan pelayanan dasar setiap warga negara, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 65 tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal.

(40)

serta pelaksanaan supervisi, monitoring, evaluasi, pengawasan dan pemberdayaan ke daerah, sehingga otonomi dapat berjalan secara optimal.

Maka dalam rangka memberikan panduan untuk menyelenggarakan pelayanan dasar di bidang kesehatan kepada masyarakat di daerah, pemerintah pusat menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 741/ MENKES/PER/VII/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota. Peraturan ini diharapkan dapat memberikan panduan kepada daerah dalam melaksanakan perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian, serta pengawasan dan pertanggungjawaban penyelenggaraan standar pelayanan minimal bidang kesehatan di Kabupaten/Kota.

Dalam penerapannya SPM harus menjamin akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan dasar dari pemerintah daerah sesuai dengan ukuran-ukuran yang ditetapkan oleh pemerintah. Oleh karena itu, baik dalam perencanaan maupun penganggaran, wajib diperhatikan prinsip-prinsip SPM yaitu sederhana, konkrit, mudah diukur, terbuka, terjangkau dan dapat dipertanggungjawabkan serta mempunyai batas pencapaian yang dapat diselenggarakan secara bertahap sehingga kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah khususnya penanganan bidang kesehatan tetap sejalan dengan tujuan nasional (Petunjuk Teknis SPM Bidang Kesehatan Kabupaten/ Kota,2008).

(41)

a. Diterapkan pada urusan wajib, sehingga SPM merupakan bagian integral dari Pembangunan Kesehatan yang berkesinambungan, menyeluruh, terpadu sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional.

b. Berlaku untuk seluruh daerah Kabupaten/Kota. SPM harus mampu memberikan pelayanan kepada publik tanpa kecuali tidak hanya untuk masyarakat miskin, dalam bentuk, jenis,tingkat dan mutu pelayanan yang esensial dan sangat dibutuhkan oleh masyarakat.

c. Menjamin akses masyarakat mendapat pelayanan dasar tanpa mengorbankan mutu dan mempunyai dampak luas pada masyarakat (Positive Health Externality).

d. Merupakan indikator kinerja bukan standar teknis, dikelola dengan manajerial professional sehingga tercapai efisiensi dan efektifitas penggunaan sumber daya.

e. Bersifat dinamis

f. Ditetapkan dalam rangka penyelenggaraan pelayanan dasar.

Indikator kinerja Standar Pelayanan Minimal bidang kesehatan beserta target untuk tahun 2010-2015 adalah sebagai berikut:

a. Pelayanan Kesehatan Dasar

1) Cakupan kunjungan ibu hamil K4 dengan target 95% pada tahun 2015. 2) Cakupan komplikasi kebidanan yang ditangani 80% pada tahun 2015. 3) Cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan yang memiliki

(42)

4) Cakupan pelayanan nifas 90% pada tahun 2015.

5) Cakupan neonatus dengan komplikasi yang ditangani 80% pada tahun 2010.

6) Cakupan kunjungan bayi 90% pada tahun 2010.

7) Cakupan Desa/Kelurahan Universal Child Immunization (UCI) 100% pada tahun 2010.

8) Cakupan pelayanan anak balita 90% pada tahun 2010.

9) Cakupan pemberian makanan pendamping ASI pada anak usia 6-24 bulan keluarga miskin 100% pada tahun 2010.

10)Cakupan balita gizi buruk mendapat perawatan 100% pada tahun 2010. 11)Cakupan penjaringan kesehatan siswa SD dan setingkat 100% pada

tahun 2010.

12)Cakupan peserta KB aktif 70% pada tahun 2010.

13)Cakupan penemuan dan penanganan penderita penyakit 100% pada tahun 2010.

14)Cakupan pelayanan kesehatan dasar masyarakat miskin 100% pada tahun 2015.

b. Pelayanan Kesehatan Rujukan

1) Cakupan pelayanan kesehatan rujukan pasien masyarakat miskin 100% pada tahun 2015.

(43)

c. Penyelidikan Epidemiologi dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB)

Cakupan Desa/Kelurahan mengalami KLB yang dilakukan penyelidikan epidemiologi <24jam 100% pada tahun 2015.

d. Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Cakupan Desa Siaga Aktif 80% pada tahun 2015

2.9. Landasan Teori

Suatu kebijakan publik yang dikeluarkan oleh pemerintah adalah merupakan upaya pemecahan masalah publik yang timbul. Program BOK yang dibuat oleh pemerintah adalah salah satu upaya pemerintah untuk membantu Puskesmas yang diharapkan dapat berperan sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan pembangunan kesehatan dengan paradigma sehat yang memprioritaskan pada upaya promotif dan preventif. Sehingga dengan meningkatnya kemampuan Puskesmas dalam melaksanakan fungsinya, maka pembangunan kesehatan yang dilakukan dapat mencapai target sesuai Standar Pelayanan Minimal bidang kesehatan dan mempercepat pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) tahun 2015.

(44)

pengarahan yang sah dari suatu kebijakan yang meliputi upaya mengelola input untuk menghasilkan output atau outcome bagi masyarakat.

Keberhasilan implementasi suatu kebijakan dipengaruhi oleh banyak faktor. Menurut Edwards III (1984) yang dikutip oleh Tangkilisan (2003), ada 4 faktor yang menentukan keberhasilan atau kegagalan dalam implementasi kebijakan yakni faktor sumber daya, birokrasi, komunikasi dan disposisi. Keempat faktor tersebut tidak berdiri sendiri namun saling berkaitan dalam memengaruhi proses implementasi sebagaimana digambarkan dalam bagan berikut.

Gambar 2.2 Model Implementasi Menurut George Edwards III

Sumber: Subarsono (2005)

Setiap kebijakan publik yang telah diimplementasikan semestinya memerlukan evaluasi untuk mengukur sejauh mana efektifitas dan efisiensinya.

Komunikasi 

Struktur Birokrasi

Sumberdaya

Sikap

(45)

Hal ini sesuai dengan pendapat Tuckman (1985) yang mengemukakan bahwa evaluasi adalah suatu proses untuk mengetahui / menguji apakah suatu kegiatan,proses kegiatan, keluaran suatu program telah sesuai dengan tujuan atau kegiatan yang telah ditentukan. Hal ini juga didukung oleh pendapat Rossi (2004) yang dikutip oleh Harris (2010) yang menyatakan bahwa evaluasi adalah penggunaan pengujian atau penelitian untuk mengetahui efektifitas suatu program.

Penilaian efektifitas suatu program perlu dilakukan untuk mengetahui sejauhmana dampak dan manfaat yang dihasilkan oleh program tersebut, karena efektifitas merupakan gambaran keberhasilan dalam mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Melalui penilaian efektifitas juga dapat menjadi pertimbangan kelanjutan suatu program.

Efektifitas menurut Schemerhon John R. Jr. (1986) yang dikutip oleh M.Fazhrin (2012), adalah pencapaian target output yang diukur dengan cara membandingkan output anggaran atau seharusnya (OA) dengan output realisasi atau sesungguhnya (OS), jika OS > OA disebut efektif.

(46)

keberhasilan dan kegagalan implementasi kebijakan yaitu: 1).Komunikasi, 2) Sumber daya, 3). Disposisi dan 4). Struktur birokrasi.

Untuk mengevaluasi kebijakan BOK ini peneliti mengambil salah satu indikator menurut William Dunn yaitu efektifitas. Penilaian efektifitas dilakukan peneliti dengan menggunakan pendekatan efektifitas menurut Martani dan Lubis (1987),yaitu:

a) Pendekatan Sumber (Resource Approach) yakni mengukur efektifitas dari input. Pendekatan mengutamakan adanya keberhasilan organisasi untuk memperoleh sumber daya, baik fisik maupun non fisik yang sesuai dengan kebutuhan organisasi agar dapat menjadi efektif. Pengukuran efektifitas dengan pendekatan sumber ini mampu memberikan alat ukur yang sama dalam mengukur efektifitas berbagai lembaga yang jenis dan programnya berbeda dan tidak dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan sasaran.

b) Pendekatan Proses (Process Approach) adalah untuk melihat sejauh mana efektifitas pelaksanaan program dari semua kegiatan proses internal atau mekanisme organisasi.

c) Pendekatan Sasaran (Goals Approach) memusatkan perhatian pada output, mengukur keberhasilan organisasi untuk mencapai output yang

sesuai dengan rencana.

(47)

2.10. Kerangka Pemikiran

Berdasarkan landasan teori yang telah dijelaskan sebelumnya, maka kerangka pemikiran untuk penelitian ini dapat ditunjukkan dalam gambar berikut:

Gambar 2.3. Skema Kerangka Pemikiran Penelitian KEBIJAKAN BOK

IMPLEMENTASI FAKTOR YANG

MEMENGARUHI (TEORI GEORGE EDWARDS III)

KOMUNIKASI

SUMBER DAYA

DISPOSISI

STRUKTUR BIROKRASI

EVALUASI OUTPUT

OUTPUT

PENCAPAIAN 14TARGET SPM BIDANG KESEHATAN

 

Gambar

Gambar 2.1. Segitiga Kebijakan
Gambar 2.2 Model Implementasi Menurut George Edwards III
Gambar 2.3. Skema Kerangka Pemikiran Penelitian

Referensi

Dokumen terkait