BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Model Pembelajaran
1. Pengertian Model Pembelajaran
Menurut Slavin (2010), model pembelajaran adalah suatu acuan kepada suatu
pendekatan pembelajaran termasuk tujuannya, sintaksnya, lingkungannya, dan sistem
pengelolaanya. Sedangkan menurut Trianto (2009) model pembelajaran merupakan
pendekatan yang luas dan menyeluruh serta dapat diklasifikasikan berdasarkan
tujuan pembelajarannya, sintaks (pola urutannya), dan sifat lingkungan belajarnya.
Model pembelajaran yang baik digunakan sebagai acuan perencanaan dalam
pembelajaran di kelas ataupun tutorial untuk menentukan perangkat-perangkat
pembelajaran yang sesuai dengan dengan bahan ajar yang diajarkan (Trianto, 2011).
Menurut Arrend ada empat hal yang sangat berkaitan dengan model
pembelajaran yaitu: a. Teori rasional yang logis yang disusun oleh para penciptanya
atau pengembangnya. b. Titik pandang/landasan pemikiran tentang apa dan
bagaimana siswa belajar. c. Perilaku guru yang mengajar agar model
pembelajarannya dapat berlangsung baik. d. Struktur kelas yang diperlukan untuk
mencapai tujuan pembelajaran yang maksimal (Trianto, 2009).
2. Kriteria Model Pembelajaran
Kriteria model pembelajaran yang dikatakan baik, jika sesuai dengan kriteria
dikembangakan dapat diterapkan dan kenyataan menunjukkan bahwa apa yang
dikembangkan tetrsebut dapat diterapkan. Ketiga, efektif, berkaitan dengan aspek efektifitas sebagai berikut: ahli dan praktisi berdasarkan pengalamnnnya menyatakan
bahwa model tersebut efektif; dan secara operasional model tersebut memberikan
hasil yang sesuai dengan yang diharapkan (Trianto, 2013).
Arends dan pakar model pembelajaran berpendapat bahwa tidak ada
satu pun model pembelajaran yang paling baik diantara yang lainnya apabila tidak
dilakukan ujicoba pada suatu mata pelajaran. Oleh karena itu, perlu adanya seleksi
pada setiap model pembelajaran mana yang paling baik untuk diajarakan pada materi
tertentu (Trianto, 2013).
B. Model Pembelajaran Kooperatif 1. Pengertian Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran Kooperatif merupakan sebuah alternatif dari sesuatu yang
dipercaya sebagai penekanan berlebihan terhadap kompetisi yang lazim dipraktikkan
dalam pendidikan pada umumnya. Pengajar memiliki peran ganda yaitu sebagai ahli
dari subjek yang diajarkan dan pemegang otoritas di dalam kelas. Menurut Scott B
Watson dari School of Education, Faculty Publications and Presentation Library
University dalam makalahnya yang berjudul The Essential of Cooperative Learning
menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif adalah lingkungan belajar kelas yang
memungkinkan mahasiswa bekerja sama dalam suatu kelompok kecil yang heterogen
dan mengerjakan tugas-tugas akademiknya (Warsono dan Haryanto, 2013).
Spencer Kegen merumuskan pembelajaran kooperatif terdiri dari
teknik-teknik pembelajaran yang memerlukan saling ketergatungan positif antara pebelajar
kooperatif adalah suatu pengaturan yang memungkinkan para mahasiswa bekerja
sama dan belajar bersama dan saling membantu secara interaktif utuk mencapai
tujuan pembelajaran (Warsono dan Hariyanto, 2013).
Sistem pengaturan yang memberikan kesempatan kepada anak didik untuk
bekerja sama dengan sesama mahasiswa dalam tugas yang terstruktur disebut sebagai
sistem “pembelajaran gotong royong” atau cooperative learning (Lie, 2010).
2. Tujuan Pembelajaran Kooperatif
Tujuan belajar kooperatif yaitu menekankan pada tujuan kesuksesan pada
kelompok, yang dapat dicapai jika semua anggota kelompok mencapai tujuan dan
penguasaaan materi (Slavin, 2010).
Manfaat penerapan belajar kooperatif adalah mengurangi kekurangan dalam
pembelajaran secara individual, mengembangkan solidaritas di kalangan mahasiswa.
Diharapkan dengan pembelajaran kooperatif dapat memuculkan seorang mahasiswa
yang memiliki prestasi akademik yag cemerlang serta memiliki solidaritas yang
tinggi (Huda, 2011).
Pembelajaran kooperatif memberikan kesempatan kepada setiap mahasiswa
yang berbeda latar belakang dan kondisi untuk bekerja secara bersama-sama dalam
suatu kelompok (Lie, 2010).
3. Prinsip-Prinsip Pembelajaran Kooperatif
Ada delapan prinsip yang harus diterapkan dalam pembelajaran cooperative learning :
Pembentukan kelompok bersifat heterogen, maksudnya adalah pembentukan
Perlu keterampilan kolaboratif, misalnya kemampuan para mahasiswa dalam
berkomunikasi, memberikan alasan, beragumentasi, menjaga perasaan mahasiwa
lain, dan saling bertoleransi.
Otonomi Kelompok. Mahasiswa ditutut untuk mampu mencari setiap
pembelajaran dengan sendirinya tapa bergantung kepada dosen. Peranan dosen tidak
bertindak lagi sebagai orang bijak di atas panggung (sage on the stage), tetapi memandu mahasiswa dari samping (guide on the side).
Interaksi stimultan. Masing-masing individu berinteraksi menuju tujuan.
bersama. Partisipasi yang adil dan setara di dalam kelompok, tidak boleh hanya ada
satu atau dua orang mahasiswa saja yang mendominasi.
Tangggung jawab individu. Setiap mahasiswa harus mencoba untuk belajar
dan kemudian saling berbagi pengetahuannya. Ketergantungan positif, setiap
mahasiswa harus berpedoman “satu untuk semua” dan “semua untuk satu” dalam
mencapai pengembang potensi akademis.
Kerja sama sebagai nilai karakter. Kerja sama tidak hanya sebagai cara untuk
belajar, namun kerjasama juga menjadi bagian dari isi pembelajaran dan saling
memilki ketergantungan positif (Warsono dan Hariyanto, 2013).
Pada metode pembelajaran kooperatif learning berkembang sejumlah riset tentang sejumlah lamanya ingatan mahasiswa terhadap materi pembelajaran terkait
dengan metode pembelajaran yang dipergunakan. Hasil riset dari National Training Laboratories di Bethel, Maine (1954), Amerika Serikat menunjukkan bahawa kelompok bahwa kelompok pembelajaran berbasir guru (teacher centered learning) seperti ceramah, tugas membaca, presentasi dosen dengan audiovisual, dan
demonstrasi oleh dosen mahasiswa hanya dapat mengingat materi pembelajaran
mahasiswa dapat mengingat 50%. Jika mahasiswa diberi kesempatan melakukan
sesuatu (learning by doing), mahasiswa dapat mengingat 75%. Praktik pembelajaran dengan cara mengajar mampu mengingat sebanyak 90%, yang dapat dilihat melalui
tabel 2.1 dan tabel 2.2 berikut ini.
Tabel 2.1 Ingatan Pembelajaran Dihubungkan Dengan Jenis Presentasi
Presentasi Kemampuan Belajar
Setelah 3 jam Setelah 3 hari
Sumber : Dale, 1969 (Warsono dan Hariyanto, 2013)
Tabel 1.2 Transfer Pembelajaran dari Instruktur Kepada Mahasiswa Komponen Pelatihan Ketrampilan yang
Diperoleh
Tranfer ke Dunia Kerja
Teori 10-20% 5-10%
Demonstrasi 30-35% 5-10%
Praktik 60-70% 5-10%
Umpan Balik 70-80% 10-20%
Pelatihan 80-90% 80-90%
Sumber : Joyce dan Showers, 1981 (Warsono dan Hariyanto, 2013)
C. Model Pembelajaran Numbered Head Together (NHT) 1. Pengertian Model Pembelajaran NHT
dikembangkan oleh Spencer Kagan (1992). Teknik ini dirancang dengan memberi
kesempatan kepada mahasiswa untuk saling membagikan ide-ide dan
mempertimbangkan jawaban yang paling tepat. Dengan melibatkan lebih banyak
lebih banyak mahasiswa di dalam metode ini, metode ini juga bertujuan untuk
menggali setiap pemahaman mahasiswa terhadap isi pelajaran. Teknik ini bisa
digunakan dalam semua mata pelajaran dan semua tingkatan usia anak didik
(Trianto, 2010 ; Lie, 2010).
2. Tujuan Pembelajaran Numbered Head Together (NHT)
Menurut Muslimin (2010) tiga tujuan yang hendak dicapai dalam model
pembelajaran NHT yaitu: hasil belajar akademik stuktural bertujuan untuk
meningkatkan kinerja siswa dalam tugas-tugas akademik. Pengakuan adanya
keragaman bertujuan agar siswa dapat menerima teman-temannya yang mempunyai
berbagai latar belakang.
Pengembangan keterampilan sosial bertujuan untuk mengembangkan
keterampilan sosial siswa. Keterampilan yang dimaksud antara lain berbagi tugas,
aktif bertanya, menghargai pendapat orang lain, mau menjelaskan ide atau pendapat,
bekerja dalam kelompok dan sebagainya.
3. Langkah-langkah Model Pembelajaran Numbered Head Together (NHT)
Dalam mengajukan pertanyaan kepada seluruh kelas, dosen menggunakan struktur
empat fase sebagai sintaks NHT :
Fase 1: Penomoran. Dalam fase ini, dosen membagi mahasiswa ke dalam
kelompok 3-5 orang dan kepada setiap anggota kelompok diberi nomor antara 1
4. Kelebihan Model Pembelajaran Numbered Head Together (NHT)
Menurut Ibrahim (2009) kelebihan model pembelajaran NHT : Saling Ketergantungan Positif. Dalam pembelajaran kooperatif, dosen dituntut utuk dapat
menciptakan suasana belajar yang mendorong mahasiswa untuk aktif dalam bekerja
melakukan sesuatu bersama-sama dan saling membutuhkan antar sesama lainnya.
Hubungan saling membutuhkan antara mahasiswa yang satu dengan mahasiswa
yang lain disebut saling ketergantungan positif. Di dalam pembelajaran kooperatif,
setiap anggota kelompok sadar bahwa mereka perlu bekerja sama dalam mencapai
suatu tujuan.
Tanggung Jawab Perseorangan. Tanggung jawab dalam pembelajaran
cooperative learning, setiap mahasiswa akan merasa bertanggug jawab untuk melakukan yang terbaik. Persiapan dosen dalam penyusunan tugas merupakan kunci
keberhasilan dalam metode cooperative learning. Seorang dosen yang masuk ke kelas dan langsung membagi kelompok tanpa membuat sebuah persiapan bukanlah
dosen yang menerapkan cooperative learning. Seorang dosen yang efektif dalam
cooperative learning harus membuat persiapan dan menyusun tugas agar masing-masing anggota kelompok melaksanakan tanggung jawabnya sendiri agar tugas
selanjutnya dalam kelompok dapat dilaksanakan. Dengan metode ini kita dapat
mengetahui, mahasiswa yang tidak melaksanakan tugasnya.
Tatap Muka. Dalam setiap kelompok diberikan kesempatan yang sama untuk
bertemu dan mendiskusikan setiap tugas yang diberikan. Kegiatan berdiskusi secara
bersama-sama akan lebih menigkatkan hasil pemikiran dibandingkan secara individu.
Setiap anggota kelompok memiliki latar belakang pengalaman, sosial ekonomi yang
diberi kesempatan untuk saling mengenal dan menerima satu sama lain dalam
kegiatan tatap muka dan interaksi pribadi (Warsono, 2013).
Komunikasi Antar Anggota. Keberhasilan suatu kelompok juga ditentukan
oleh kesediaan setiap anggota dalam mengemukakan pendapatnya dengan
berkomunikasi secara tepat. Di dalam komunikasi anatar anggota ini, setiap
mahasiswa diajarkan cara berkomunikasi yang baik antar sesama kelompok, cara
memberi tanggapan, memberi jawaban, dan menghargai orang lain. Proses tersebut
tentunya sangat bermanfaat untuk memperkaya pengalaman belajar dan pembinaan
perkembangan mental dan emosional para mahasiswa.
Evaluasi Proses Kelompok. Setiap dosen seharusnya menjadwalkan waktu
yang tepat untuk mengevaluasi proseskerja kelompok dan hasil kerja sama agar lebih
efektif. Waktu evaluasi bisa diadakan setelah beberapa waktu dalam kegiatan
pembelajaran cooperative learning. Format evaluasi bisa bermacam-macam sesuai tingkat pendidikan (Lie, 2010).
5. Kekurangan Model Pembelajaran Numbered Head Together (NHT)
Mahasiswa yang sudah terbiasa dengan cara konvensional akan sedikit
kewalahan sehingga dosen harus bisa memfasilitasi mahasiswa dalam setiap
pembelajaran dan lebih sering untuk menggunakan model pembelajaran NHT supaya
mahasiswa terbiasa belajar mandiri, aktif dalam proses belajar.
Model Pembelajaran NHT ini tidak terlalu cocok untuk jumlah mahasiswa yang
banyak karena membutuhkan waktu yang lama dan tidak semua anggota kelompok
D. Model Pembelajaran Tanya Jawab
1. Pengertian Model Pembelajaran Tanya Jawab
Model Pembelajaran Tanya Jawab merupakan model pembelajaran yang
bersifat aktif individual dengan mengakibatkan terjadinya komunikasi secara
langsung yang bersifat two way traffic antara dosen dengan dosen, atau mahasiswa sesama mahasiswa dengan dosen (Istarani, 2012).
Rostiyah N.K (2008) mengatakan bahwa untuk menciptakan kehidupan
interaksi belajar mengajar, seorang dosen perlu menimbulkan metode tanya jawab.
Model pembelajaran tanya jawab merupakan suatu model yang memotivasi pada
mahasiswa agar meningkatnya pemikiran untuk bertanya, dosen mengajukan
pertanyaan sehingga mahasiswa menjawab (Istarani, 2010).
2. Tujuan Penggunaan Model Pembelajaran Tanya Jawab
Penggunaaan metode tanya jawab biasanya digunakan untuk
menyimpulkan/mengikhtisar pelajaran atau apa yang dibaca, dengan dibantu tanya
jawab antara mahasiswa dan mencapai suatu tujuan yang baik.
Dalam tanya jawab, dosen dapat menilai mahasiswa apakah mahasiswa
paham dan mengerti tentang materi yang tela disampaikan.Seorang dosen dalam
metode tanya jawab juga bisa menilai apakah mahasiswa mendengarkan dengan baik
atau tidak (Istarani, 2012).
3. Langkah-Langkah Model Pembelajaran Tanya Jawab
Proses yang dilakukan dengan membaca, meneliti atau diskusi. Membaca informasi dari berbagai sumber adalah salah satu teknik untuk menemukan jawaban.
Sebelum pembelajaran berlangsung, dosen telah menentukan pertanyaan secara
cermat dan sistematis oleh dosen. Pertanyaan yang akan diberikan dosen nantinya
pertanyaan yang berasal dari mahasiswa dapat dijawab dengan sederhana, singkat,
dan padat.
Dosen memberikan pengajaran dikelas dan memberikan stimuli pada peserta
didik untuk belajar sesungguhnya. Kunci pokok kehadiran stimuli belajar antara lain
adalah pertanyaan yang diajukan dosennya. Dengan pertanyaan maka peserta didik
akan segera mulai belajar sesunggguhnya (meaningful learning).
Dorongan yang menumbuhan persaingan diantara kelompok mahasiswa
untuk memperoleh pujian dan nilai yang baik. Dosen dapat melemparkan pertanyaan
dari mahasiswa ke mahasiswa lainnya untuk dikomentari dan diberikan penjelasan
sehingga akan terbentuk proses belajar yang aktif (Sagala, 2009).
4. Kelebihan Model Pembelajaran Tanya Jawab
Kelas akan lebih hidup, karena sambutan kelas yang baik terhadap setiap
pertanyaan yang diajukan dari mahasiswa dan dosen di dalam kelas. Model tanya
jawab tidak membuat mahasiswa hanya mendengarkan ceramah dari dosen saja.
Partisipasi mahasiswa lebih besar dan berusaha medengarkan pertanyaan dosen
dengan baik dan mencoba menberikan pertayaan dengan tepat. Mahasiswa menerima
pelajaran dengan aktif berpikir, tidak pasif mendengarkan saja (Istarani, 2012).
5. Kekurangan Model Pembelajaran Tanya Jawab
Kelancaran jalannya model pembelajaran tanya jawab agak terhambat
dikarenakan mahasiswa yang tidak terbiasa, pasif untuk bertanya hanya
mendengarkan saja dan jawaban mahasiswa belum tentu selalu benar bahkan
mungkin kadang-kadang dapat menyimpang dari persoalannya. Sehingga perlu
E. Model Pembelajaran Orang Dewasa (POD) 1. Konsep Model Pembelajaran Orang Dewasa
Pembelajaran dapat diartikan sebagai suatu interaksi antara peserta
pebelajar dengan pengajar atau instruktur dan/atau sumber belajar pada suatu
lingkaran belajar untu pencapaian tujuan belajar tertentu. Pembelajaran orang dewasa
(andragogi) jelas berbeda dengan pembelajaran bagi anak-anak (pedagogi), karakteristik peserta belajar dalam hal tujuan hidupnya, peran sosial di masyarakat,
fungsi indrawi sehingga memerlukan pendekatan dan strategi yang berbeda antara
orang dewasa dan anak-anak.
Pembelajaran orang dewasa sering disebut diklat (pendidikan dan
pelatihan). Prinsip-prinsip pembelajaran orang dewasa antara lain: kebutuhan untuk
mengetahui, konsep diri peserta belajar, peranan pengalaman peserta belajar,
kesiapan belajar, orientasi belajar, dan motivasi.
Orang dewasa perlu mengetahui mengapa harus belajar, dimana mahasiswa
dapat menemukan kesenjangan antara kemampuan yang dimiliki saat ini dengan
kemampuan yang seharusnya dimiliki. Tugas utama dosen adalah fasilitator yang
membantu mahasiswa menjadi sadar akan perlunya mengetahui dan dapat
memaparkan efetifitas kinerjanya.
Secara umum orang dewasa telah memiliki konsep diri bahwa dirinya
mempunyai tanggung jawab atas keputusan yang dibuatnya sendiri atas
kehidupannya seperti: mengembangkan kebutuhan psikologi yang mendalam untuk
diperhatikan orang lain, mampu bersikap mengatur kehidupannya sendiri, menolak
dan menentang situasi ketika ada orang lain yang memaksakan kehendaknya.
Orang dewasa membawa pengalaman yang berbeda-beda setiap individu
belakang, gaya belajar, motivasi, minat, dan sasaran. Strategi pembelajaran orang
dewasa mengutamakan menggali pengalaman peserta belajar melalui: diskusi kasus,
simulasidan studi banding.
Penentuan waktu belajar hendaknya disesuaikan dengan tahap
perkembangan orang dewasa. Rangsangan kesiapan belajar melalui model
pembelajaran orang dewasa merupakan hal yang penting untuk kesiapan belajar.
Orientasi belajar pada orang dewasa terpusat pada masakah
kehidupan/tugas yang dihadapi. Orang dewasa akan termotivasi untuk mempelajari
sesuatu asalkan mereka merasa bahwa sesuatu yang dipelajari tersebut dapat
ditampilkan dalam konteks penyerapannya pada situasi kehidupan sebenarnya.
Motivasi orang dewasa untuk belajar, antara lain tanggap terhadap beberapa
dorongan eksternal. Dorongan yang paling kuat adalah dorongan internal (keinginan
untuk meningkatan kepuasan kerja, kebanggaan diri dan mutu hidup). Semua orang
dewasa normal akan termotivasi dan tetap tumbuh dan berkembang .
F. Evaluasi Hasil Belajar
1. Pengertian Evaluasi Hasil Belajar
Evaluasi hasil belajar adalah keseluruhan kegiatan pengukuran
(pengumpulan data dan informasi), pengolahan, penafsiran dan perimbangan untuk
membuat keputusan tentang tingkat hasil belajar yang dicapai oleh mahasiswa
setelah melakukan kegiatan belajar dalam mencapai tujuan pembelajaran yang ingin
2. Tujuan Evaluasi Hasil Belajar
Mendeskripsikan kecakapan belajar para mahasiswa sehingga dapat diketahui
kelebihan dan kekurangan dalam berbagai bidang studi atau mata pelajaran yang
ditempuhnya. Dengan pendeskripsian kecakapan tersebut dapat diketahui posisi
kemampuan mahasiswa dengan mahasiswa lainnya.
Mengetahui keberhasilan proses pendidikan dan pengajaran di sekolah, yakni
seberapa jauh keefektifannya dalam mengubah para tingkah laku mahasiswa kea rah
tujuan pendidikan yang diharapkan. Keberhasilan pendidikan dan pengajaran penting
untuk mengingat perannya sebagai upaya memanusiakan manusia, sehingga
mahasiswa menjadi manusia yang berkualitas dalam aspek intelektual, sosial,
emosional, moral, dan ketrampilan.
Menentukan tindak lanjut hasil penilaian, yakni melakukan perbaikan dan
penyempurnaan dalam hal program pendidikan dan pengajaran serta strategi
pelaksanaannya. Kegagalan para mahasiswa dalam hasil belajar yang dicapai
hendaknya tidak dipandang sebagai kekurangan pada diri mahasiswa itu sendiri,
tetapi dapat disebabkan oleh program pengajaran yang diberikan kepadanya atau
kesalahan strategi dalam melaksanakannya.
Memberikan pertanggungjawaban (accountability) dari pihak institusi kepada pihak-pihak yang berkepentinga Pihak yang dimaksud meliputi pemerintah,
masyarakat, dan para orang tua mahasiswa
3. Klasifikasi Evaluasi Hasil Belajar
Sistem Pendidikan Nasional menggunakan klasifikasi evaluasi hasil belajar menurut
Ranah Kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari
enam aspek yakni: pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis,
sintesis, dan evaluasi.
Ranah efektif berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek yakni
penerimaan, jawaban atau reaksi, penilaian, organisasi, dan internalisasi.
Ranah Psikomotorik berkenaan dengan hasil belajar ketrampilan dan
kemampuan bertindak. Ada enam aspek ranah psikomotoris, yakni gerakan refleks,
ketrampilan gerakan dasar, kemampuan perseptual, keharmonisan atau ketepatan,
gerakan ketrampilan kompleks, gerakan ekspresif dan interpretatif.
4.Penilaian Hasil Belajar
Untuk mengukur dan mengevaluasi tingkat keberhasilan belajar dapat
dilakukan melalui tes hasil belajar. Berdasarkan tujuan dan ruang lingkupnya,
Djamarah (2006) menggolongkan tes hasil belajar menjadi tes formatif, tes
subsumatif dan tes sumatif.
Tes formatif digunakan untuk mengukur satu atau beberapa pokok bahasan tertentu dan bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang daya serap peserta didik
terhadap pokok bahasan tersebut. Hasil formatif dimanfaatkan untuk memperbaiki proses belajar mengajar bahan pengajaran dalam waktu tertentu.
Tes subsumatif meliputi sejumlah bahan pengajaran tertentu yang telah diajarkan dalam waktu tertentu. Tujuannya adalah untuk memperoleh gambaran daya
serap peserta didik untuk meningkatkan prestasi belajar peserta didik. Hasil tes
dua Tahun Akademik. Tujuannya adalah untuk menetapkan tingkat atau tarap
keberhasilan belajar peserta didik dalam satu periode belajar tertentu. Hasil tes
sumatif dimanfaatkan untuk kenaikan kelas, menyusun peringkat (ranking) atau sebagai ukuran mutu institusi.
5. Syarat-Syarat Evaluasi yang Baik
Memiliki validitas artinya setiap penilaian harus benar-benar mengukur apa
yang akan diukur. Suatu tes dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila
antara hasil tes dengan pendapat ahli hanya terdapat sedikit perbedaan.
Suatu alat evaluasi harus memiliki rehabilitas, bila menunjukkan ketetapan
hasilnya. Dan apabila dilakukan pengukuran beberapa kali akan mendapat skor yang
sama bila diukur dengan alat uji yang sama. Reabilitas suatu tes dikatakan tinggi bila
realibilitasnya menunjukkan koefisien korelasi 1.00 sedangkan tes yang
realibilitasnya rendah memiliki koefisien korelasi 0.00.
Alat evaluasi harus benar-benar mengukur apa yang dikur, tanpa adanya
interpretasi yang tidak ada hubungannya dengan alat evalasi itu. Objektivitas dalam
penilaian sering dilakukan dengan menggunakan: questioner, essay test, observation, rating scale, checklist, dan alat-alat lainnya.
Suatu alat evaluasi harus efisiensi dan sedapat mungkin dipergunakan tanpa
membuang waktu dan uang yang banyak. Suatu alat evaluasi diharapkan dapat
digunakan dengan sedikit biaya dan usaha yang sedikit, dalam waktu yang singkat,
dan hasil yang memuaskan.Memiliki manfaat bagi pembelajaran dan kepraktisan
6. Batas Minimal Hasil Belajar
Menentukan batas minimum keberhasilan belajar merupakan upaya untuk
menentukan hasil belajar. Ada beberapa alternatif norma pengukuran tingkat
keberhasilan peserta didik setelah mengikuti proses belajar mengajar. Norma-norma
pengukuran tersebut adalah norma skala angka dari 0 sampai 10 dan norma skala
angka dari 0 sampai 100. Angka terendah yang menyatakan kelulusan atau
keberhasilan belajar (passing grade) skala 0-10 adalah 5,5 atau 6, sedangkan untuk skala 0-100 adalah 55 atau 60. Selain norma skala angka, pengukuran prestasi belajar
dapat dilakukan melalui simbol huruf-huruf dengan kriteria A, B, C, D dan E. Simbol
huruf-huruf dapat dipandang sebagai simbol angka-angka (Syah, 2010).
Tabel 2.3 Batas Minimal Hasil Belajar di Akbid Kholisatur Rahmi Binjai
Angka Huruf Predikat
> 80 A Sangat Baik
75-79 B Baik
60-74 C Cukup
55-59 D Kurang
< 54 E Gagal
7. Faktor- faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar
Hamid (2009) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi hasil belajar dapat dibedakan menjadi tiga macam, yakni :
keefektifan pembelajaran, efisiensi pembelajaran dan daya tarik pembelajaran.
tarik pembelajaran biasanya diukur dengan mengamati kecendrungan pebelajar
untuk tetap/terus belajar.
Ada 7 indikator penting yang dapat digunakan untuk mendapatan
keefektifan pembelajaran, yaitu (1) kecermatan penguasaan perilaku (tingkat
kesalahan kerja). Makin cermat pebelajar menguasai perilaku yang dipelajari,
makin efektif pembelajaran. (2) Kecepatan unjuk kerja (efisiensi waktu). Makin
cepat seorang pebelajar menampilkan hasil kerjanya, semakin efektif
pembelajaran. (3) Kesesuaian dengan prosedur, pebelajar dikatakan efektif apabila
pebelajar dapat menampilkan hasil kerja yang sesuai dengan prosedur baku yang
telah ditetapkan. (4) Kuantitas hasil kerja mengacu pada banyaknya hasil kerja
yang mampu ditampilkan oleh pebelajar dalam waktu tertentu yang telah
ditetapkan. (5) Kualitas hasil akhir apakah memuaskan atau tidak. (6) Tingkat alih
belajar yaitu kemampuan pebelajar melakukan alih belajar dari apa yang telah
dikuasainya ke hal lain yang serupa. (7) Tingkat retensi yaitu jumlah hasil kerja
yang masih mampu ditampilkan pebelajar setelah selang beberapa periode waktu.
Semakin tinggi retensi maka semain efetif pembelajaran itu.
Dalam mengukur efisiensi pembelajaran, indikator utama diacukan kepada
waktu, personalia, sumber belajar yang dipakai. Efisiensi hanya dapat diukur
apabila setiap pebelajar dapat belajar sesuai dengan jumlah waktu yang
dibutuhkan. Jumlah personalia yang dilibatkan dalam perancangan, pelaksanaan,
penilaian pembelajaran dan juga dipakai untuk mempreskripsikan efisiensi.
Penggunaaan sumber belajar lain, selain guru juga dapat dijadikan ukuran tingkat
efisiensi pembelajaran, seperti: berupa ruang yang dipakai, apakah melibatkan
penggunaan laboratorium, komputer, jumlah buku tes, dan penyampaian buku
Daya tarik sebagai hasil pembelajaran berkaitan dengan daya tarik bidang
studi. Namun, daya tarik bidang studi dalam penyampaiannya banyak bergantung
pada kualitas pembelajarannya. Pengukuran daya tarik pembelajaran dapat
dilakukan dengan mengamati apakah pebelajar ingin terus belajar atau tidak.
Kecendrungan pebelajar untuk tetap terus belajar bisa terjadi arena daya tarik
bidang studi itu sendiri atau bisa juga karena kualitas pembelajarannya.
G. Materi Pokok 1. Atonia Uteri
a) Pengertian
Atonia Uteri merupakan pendarahan obstetri yang disebabkan oleh kegagalan
uterus untuk berkontraksi secara memadai setelah kelahiran (Cuningham, 2013:415).
Menurut JNPK-KR (2008), atonia uteri adalah suatu kondisi dimana
myometrium tidak dapat berkontraksi dan keluarnya darah dari tempat implantasi
plasenta dan menjadi tidak terkendali.
Atonia uteri merupakan penyebab terbanyak perdarahan pospartum dini
(50%), dan merupakan alasan paling sering untuk melakukan histerektomi
postpartum. Kontraksi uterus merupakan mekanisme utama untuk mengontrol
perdarahan setelah melahirkan.
b) Etiologi
Overdistensi Uterus merupakan faktor resiko yang paling sering
mengakibatkan terjadinya atonia uteri. Overdistensi uterus dapat disebabkan oleh
Pimpinan kala III yang salah, dengan memijat-mijat dan mendorong uterus.
Lemahnya kontraksi miometrium merupakan akibat dari kelelahan karena persalinan
lama atau persalinan yang memerlukan tenaga yang banyak, umur yang terlalu muda
dan terlalu tua, terutama apabila diberikan stimulasi pada ibu. Selain itu pengaruh
obat-obatan yang dapat mengakibatkan inhibisi kontraksi seperti: anastesi yang
terhalogenisasi, nitrat, obat-obatan anti inflamasi nonsteroid, magnesium sufat dan
nipedipin.
Ibu dengan keadaan umum yang buruk, anemis, atau menderita penyakit yang
menahun.Penyebab lain yaitu: plasenta letak rendah, partus lama (terlantar) toksin
bakteri (korioamnionitis, endometritis, septikemia), hipoksia akibat hipoperfusi atau
uterus couvelaire pada abruptio plasenta.
c) Diagnosis Atonia Uteri
Kecuali apabila penimbunan darah intrauterine dan intravagina mungkin
tidak teridentifikasi, atau pada beberapa kasus ruptur uteri dengan pendarahan
intraperitoneum, diagnosis pendarahan post partum seharusnya mudah. Pembedaan
sementara antara pendarahan akibat atonia uteri dan akibat laserasi ditegakkan
berdasarkan kondisi uterus. Apabila pendarahan berlanjut walaupun uterus
berkontraksi kuat, penyebab pendarahan kemungkinan besar adalah laserasi. Darah
merah segar juga menginsyaratkan adanya laserasi. Untuk memastikan peran laserasi
sebagai penyebab pendarahan, harus dilakukan inspeksi yang cermat terhadap
vagina, serviks, uterus.
Kadang-kadang pendarahan disebabkan baik oleh atonia maupun trauma,
terutama setelah pelahiran operatif besar. Secara umum, harus dilakukan
inspeksiserviks dan vagina setelah setiap pelahiran untuk mengidentifikasi
nyaman saat pemeriksaan. Pemeriksaan terhadap rongga uterus, serviks, dan
keseluruhan vagina harus dilakukan setelah ekstraksi bokong, versi podalik internal,
dan pelahiran pervaginam pada wanita yang pernah menjalani seksio sesarea. Hal
yang sama berlaku pada pendarahan berlebihan selama kala dua persalinan
(Cunningham, 2013).
d) Pencegahan Atonia Uteri
Melakukan secara rutin manajemen aktif kala III pada semua wanita yang bersalin.
Manajemen aktif kala III dapat mengurangi jumlah pedarahan dalam persalinan,
anemia, dan kebutuhan transfusi darah. Pemberian oksitosin pada manajemen aktif
kala III dapat mengurangi resiko terjadinya pendarahan post partum lebih dari 40%
dan juga dapat mengurangi kebutuhan obat yang lain sebagai terapi. Selain
mencegah pendarahan, kerja oksitosin didalam tubuh sangat cepat, dan tidak
menyebabkan kenaikan tekanan darah.
e) Penatalaksanaan Atonia Uteri
1. Pakai sarung tangan desinfeksi tingkat tinggi atau steril, dengan lembut
masukkan secara obstetrik (menyatukan kelima ujung jari) melalui introitus dan
ke dalam vagina ibu.
2. Periksa vagina dan serviks. Jika ada selaput ketuban atau bekuan darah pada
kavum uteri mungkin hal ini menyebabkan uterus tak dapat berkontraksi secara
penuh.
3. Kepalkan tangan dalam dan tempatkan pada forniks anterior, tekan dinding
anterior uterus, ke arah tangan luar yang menahan dan mendorong dinding
4. Tekan kuat uterus di antara kedua tangan. Kompresi uterus ini memberikan
tekanan langsung pada pembuluh darah yang terbuka (bekas implantasi
plasenta) di dinding uterus dan juga merangsang miometrium untuk
berkontraksi.
5) Evaluasi keberhasilan :
Jika uterus bekontraksi dan pendarahan berkurang, terus melakukan
KBI selama dua menit, kemudian perlahan-lahan keluarkan tangan
dan pantau ibu secara melekat selama kala empat.
Jika uterus berkontraksi tetapi pendarahan masih berlangsung, periksa
ulang perineum, vagina dan serviks apakah terjadi laserasi. Jika
demikian, segera lakukan penjahitan untuk menghentikan pendarahan.
Jika uterus tidak berkontraksi selama 5 menit, ajarkan keluarga untuk
melakukan kompresi bimanual eksternal (KBE) kemudian lakukan
langkah-langkah penatalaksanaan atonia uteri selanjutnya. Minta keluarga untuk mulai
menyiapkan rujukan.
6)Berikan 0,2 mg ergometrin IM atau misoprostol 600-1000 mcg per rectal.
Jangan berikan ergometrin kepada ibu dengan hipertensi karena ergometrin
dapat menaikkan tekanan darah.
7)Gunakan jarum berdiameter besar (ukuran 16 atau 18), pasang infus dan berikan
500cc larutan Ringer Laktat yang mengandung 20 unit oksitosin.
8) Pakai sarung tangan steril atau desinfeksi tingkat tinggi dan ulangi KBI.
9)Jika uterus tidak berkontraksi dalam waktu 1 sampai 2 menit, segera rujuk ibu
karena ini merupakan bukan atonia uteri sederhana. Ibu membutuhkan
tindakan gawatdarurat di fasilitas kesehatan rujukan yang mampu melakukan
10)Sambil membawa ibu ke tempat rujukan, teruskan tindakan KBI dan infus
cairan hingga ibu tiba di tempat rujukan. Infus 500 ml pertama dihabiskan dalam
waktu 10 menit.Berikan tambahan 500 ml/jam hingga tiba di tempat rujukan
atau hingga jumlah cairan yang diinfuskan mencapai 1,5 L dan kemudian
lanjutkan dalam jumlah 125cc/jam. Jika cairan infus tidak cukup, infuskan 500
ml (botol kedua) cairan infus dengan tetesan sedang dan ditambah dengan
pemberian cairan secara oral untuk rehidrasi.
2. Retensio Plasenta
a) Pengertian Retensio Plasenta
Retensio Plasenta adalah tertinggalnya kelahiran plasenta selama setengah jam
setelah kelahiran bayi (Prawihardjo, 2008).
Retensio Plasenta adalah plasenta yang tidak dapat terpisah dan menimbulkan
hemorrhage yang tidak tampak, dan juga didasari pada lamanya waktu yang berlalu
antara kelahiran bayi dan keluarnya plasenta yang diharapkan (Varney, 2007).
b) Etiologi Retensio Plasenta
Secara fungsional dapat terjadi karena his kurang kuat (penyebab terpenting),
dan Plasenta sukar terlepas karena tempatnya (insersi di sudut tuba), bentuknya
(plasenta membranaseae, plasenta anularis) dan ukurannya (plasenta yang sangat
kecil). Plasenta yang sukar terlepas karena implatasinya yang terlalu dalam seperti:
plasenta adhesiva, plasenta akreta, plasenta inkreta, plasenta perkreta, plasenta
c) Diagnosis retensio plasenta
Plasenta belum lahir setelah 30 menit, perdarahan segera, kontraksi uterus
baik. Gejala yang kadang-kadang timbul yaitu uterus berkontraksi baik tetapi tinggi
fundus tidak berkurang.
d) Penatalaksanaan Retensio Plasenta
Sikap umum bidan: melakukan pengkajian data secara sebjektif dan objektif
antara lain : keadaan umum penderita, apakah ibu anemis, bagaimana jumlah
pendarahannya, keadaan fundus uteri, mengetahui keadaan plasenta, apakah plasenta
inkarserata, melakukan tes plasenta dengan metode kustner, metode klein, metode
starsman, memasang infus, memberikan cairan pengganti.
Sikap khusus bidan : pada kejadian retensio plasenta atau plasenta tidak keluar
dalam waktu 30 menit bidan dapat melakukan tindakan manual plasenta yaitu
tindakan untuk megeluarkan atau melepas plasenta secara manual (menggunakan
tangan) dari tempat implantasinya dan kemudian melahirkannya keluar dari kavum
uteri (JNPK, 2008).
Prosedur plasenta manual yaitu persiapan dengan melakukan pemasangan set
dan cairan infus, menjelaskan kepada ibu prosedur dan tujuan tindakan, melakukan
anastesi verbal dan anastesi rektal, menyiapkan dan menjalankan prosedur
pencegahan infeksi.
Tindakan penetrasi ke dalam kavum uteri meliputi: memastikan kandung kemih
dalam keadaan kosong, menjepit tali pusat dengan klem pada jarak 5-10 cm dari
vulva, tegangkan dengan satu tangan sejajar lantai, secara obstetrik masukkan tangan
lainnya (punggung tangan menghadap ke bawah) ke dalam vagina dengan
menelusuri sisi bawah pusat, setelah mencapai bukaan serviks minta seorang
tangan luar untuk menahan fundus uteri, sambil menahan fundus uteri masukkan
tangan dalam hingga ke kavum uteri sehingga mencapai tempat implantasi plasenta,
dan bentangkan tangan obstetrik menjadi datar seperti memberi salam (ibu jari
merapat ke jari telunjuk dan jari-jari saling merapat).
Sebelum melepaskan plasenta dari dinding uterus, tentukan implantasi plasenta
paling bawah dan setelah ujung-ujung jari masuk diantara plasenta dan dinding
uterus maka perluas pelepasan plasenta dengan jalan menggeser tangan kekanan dan
ke kiri sambil digerakkan ke atas (cranial ibu) hingga semua perlekatan plasenta
terlepas dari dinding uterus.
Cara mengeluarkan plasenta yaitu dengan satu tangan masih di dalam kavum
uteri dan melakukan eksplorasi untuk menilai tidak ada plasenta yang tertinggal,
pindahkan tangan luar dari fundus ke supra simfisis (tahan segmen bawah uterus)
kemudian instruksikan asisten/penolong untuk menarik tali pusat sambil tangan
dalam membawa plasenta kelua (hindari terjadinya percikan darah), melakukan
penekanan (dengan tangan yang menahan suprasimfisis) uterus ke arah dorsokranial
setelah plasenta dilahirkan dan tempatkan plsenta di wadah yang telah disediakan.
Pencegahan infeksi pasca tindakan yaitu: dekontaminasi sarung tangan (sebelum
dilepaskan), dan peralatan lain yang digunakan, melepaskan dan merendam sarung
tangan dan peralatan lainnya di dalam larutan klorin 0,5% selama 10 menit, mencuci
tangan dengan sabun dan air bersih mengalir, mengeringkan tangan dengan handuk
bersih dan kering.
Pemantauan pascatindakan yaitu: memeriksa kembali tanda vital ibu,
pemantauan dan asuhan lanjutan, melanjutkan pemantauan hingga 2 jam pasca