A. Pemanasan Global dan Perubahan Iklim
Bumi adalah tempat tumbuh dan berkembang berbagai spesies makhluk
hidup termasuk manusia didalamnya. Alam dan makhluk hidup secara natural
membentuk keseimbangan, sinergi, homeostatis, rantai makanan, dan daur hidup.
Segala sesuatunya berhubungan di alam dan saling melengkapi satu sama lain.
Namun, manusia kadang lalai bahwa bumi ini tidak dihuni sendiri oleh mereka,
banyak spesies, flora dan fauna yang semuanya berbagi ruang kehidupan dengan
manusia.22
Pemanasan global ditandai dengan meningkatnya konsentrasi gas rumah
kaca (Green House Gases). Gas rumah kaca adalah gas-gas yang terdapat di
atmosfer yang menyebabkan efek rumah kaca. Efek rumah kaca pertama sekali
ditemukan oleh Jean Baptiste Joseph Fourier, seorang matematikawan dan
fisikawan Perancis pada tahun 1824.23
Istilah efek rumah kaca awalnya diambil dari cara menanam yang
digunakan petani di daerah/negara yang memiliki empat musim. Petani tersebut
menanam sayuran di dalam rumah kaca untuk menjaga suhu ruangan agar tetap
hangat. Sinar matahari yang masuk dipantulkan oleh benda-benda permukaan
dalam rumah kaca tersebut, saat dipantulkan, sinar tersebut berubah menjadi
energi panas berupa sinar inframerah, selanjutnya energi panas tersebut
terperangkap dalam rumah kaca dan tidak bercampur dengan udara di luar yang
dingin. Maka suhu dalam rumah kaca akan lebih tinggi daripada suhu di luar
rumah kaca.24 Sama halnya dengan atmosfer bumi, fungsinya sama dengan rumah
kaca yang digunakan oleh petani dalam becocok tanam. Menurut Protokol Kyoto,
Gas-gas rumah kaca tersebut terdiri dari : Carbon Dioxide (CO2), Methane (CH4),
Nitrous Oxide (N2O), Sulphur Hexafluoride (SF6), Hydro Fluoro Carbon (HFC),
Perfluorocarbon (PFC).25
Gas rumah kaca sebenarnya sangat dibutuhkan oleh semua makhluk di
bumi, karena tanpa gas rumah kaca maka bumi akan menjadi sangat dingin. Suhu
rata-rata bumi adalah 15° Celcius, bumi sebenarnya telah lebih panas 33° Celcius
dari suhunya semula. Jika tidak ada gas rumah kaca, suhu bumi hanya -18°
Celcius sehingga es akan menutupi seluruh permukaan bumi.26
Gas-gas tersebut sebenarnya muncul secara alami, tetapi dapat juga timbul
karena aktivitas manusia. gas rumah kaca yang paling banyak adalah uap air yang
mencapai atmosfer akibat penguapan air dari laut, danau, dan sungai. Karbon
dioksida (CO2) yang timbul dari berbagai proses alam seperti letusan vulkanik,
pernapasan hewan dan manusia (yang menghurup oksigen (O2) dan melepaskan
karbon dioksida (CO2)), juga pembakaran material organik. Karbon dioksida
24 Abdul Razak, “Kajian Yuridis Carbon Trade dalam Penyelesaian Efek Rumah Kaca”, Makalah Etika dan Kebijakan Perundangan Lingkungan, Yogyakarta, Universitas Gajah Mada, 2008. Hal 7-8.
25 “Protokol Kyoto”, Loc. Cit.
dapat berkurang karena terserap oleh lautan dan diserap oleh tanaman untuk
proses fotosintesis.27
Matahari merupakan sumber energi bagi bumi. Sebagian besar energi
tersebut adalah radiasi gelombang pendek, termasuk cahaya tampak. Ketika
energi ini tiba di permukaan bumi, energi ini akan berubah dari energi cahaya
menjadi panas yang menghangatkan bumi.
Permukaan bumi menyerap sebagian panas dan memantulkan sisanya ke
luar angkasa. Sinar matahari yang tidak terserap permukaan bumi akan
dipantulkan kembali dari permukaan bumi ke angkasa. Sinar tampak adalah
gelombang pendek, setelah dipantulkan kembali berubah menjadi gelombang
panjang yang berupa energi panas (sinar inframerah), yang kita rasakan. Namun
sebagian dari energi panas tersebut tidak dapat menembus kembali atau lolos
keluar ke angkasa, karena lapisan gas-gas atmosfer sudah terganggu komposisinya
(komposisinya berlebihan). Akibatnya energi panas yang seharusnya lepas ke
angkasa (stratosfer) menjadi terpancar kembali ke permukaan bumi (troposfer)
atau adanya energi panas tambahan kembali lagi ke bumi dalam kurun waktu yang
cukup lama, sehingga lebih dari dari kondisi normal, inilah efek rumah kaca
berlebihan karena komposisi lapisan gas rumah kaca di atmosfer terganggu,
akibatnya memicu naiknya suhu rata-rata dipermukaan bumi maka terjadilah
pemanasan global. Karena suhu adalah salah satu parameter dari iklim dengan
begitu berpengaruh pada iklim bumi, terjadilah perubahan iklim secara global.28
Sumbangan gas rumah kaca juga diberikan oleh aktivitas internal bumi,
juga aktivitas manusia. Aktivitas internal bumi ternyata menimbulkan dampak
terhadap bumi itu sendiri. Contoh proses vulkanik gunung berapi yang
menyebabkan pemanasan global adalah letusan Gunung Krakatau yang terletak di
Selat Sunda yang terjadi pada 26-28 Agustus 1883. Letusan Gunung Krakatau
sangat dahsyat. Gunung Krakatau yang pada mulanya merupakan pulau vulkanis
yakni Pulau Krakatau, pada tahun 1883 Pulau Krakatau terangkat ke atas menjadi
bagian-bagian yang lebih kecil, batu, pasir, dan debu, kemudian terlempar dengan
kekuatan yang sangat amat dahsyat mencapai ketinggian troposfer, bahkan sampai
sangat mungkin sampai pada ketinggian stratosfer. Hal ini dikarenakan material
vulkanik tidak hanya jatuh di Selat Sunda tetapi sampai ke daerah-daerah lain.
Bahkan debu (abu) vulkanik setelah berbulan-bulan masih menutupi atmosfer
Eropa. Konon, setelah lewat dari 6 bulan, sebagian debu (abu) vulkanik jatuh di
daratan Eropa.29 Pada saat debu (abu) vulkanik Krakatau melayang-layang di
atmosfer, terjadilah lapisan “selimut abu” mengungkung bumi. Jadilah Pemanasan
global pada tahun 1883 yang disebabkan aktivitas internal bumi.30
Sedangkan sumbangan gas rumah kaca akibat aktivitas manusia menurut
hasil laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2007,
secara umum kontributor emisi gas rumah kaca ini dapat dibagi menjadi tujuh
28 Haneda, “Hubungan Efek Rumah Kaca Pemanasan global dan Perubahan Iklim”, 2004. Sebagaimana dimuat dalam http://www.scribd.com/doc/137891172/Efek-Rumah-Kaca-1, diakses pada 5 November 2013.
kategori. Lebih dari seperempat emisi gas rumah kaca dihasilkan dari produksi
listrik dan panas (26%). Sementara itu kegiatan industri menyumbang seperlima
bagian (20%). Proporsi yang hampir mirip jika dibandingkan dengan gabungan
emisi transportasi (13%) dan bangunan (8%). Deforestasi atau penebangan hutan
di negara-negara berkembang juga menyumbanang hampir seperlima bagian
(17%). Kegiatan perkebunan, terutama yang menghasilkan gas metan (methane)
mewakili 13% emisi global, dan sampah yang juga menghasilkan gas metan
hanya 3%.31
Perubahan iklim akibat pemanasan global (global warming), pemicu
utamanya adalah meningkatnya emisi karbon, akibat penggunaan energi
fosil/BBF (Bahan Bakar Fosil).32 Pengguna terbesarnya adalah negara-negara
industri seperti Amerika Serikat, Inggris, Rusia, Kanada, Jepang, China, dan
lain-lain. Ini diakibatkan oleh pola konsumsi dan gaya hidup masyarakat
negera-negara utara yang 10 kali lipat lebih tinggi dari penduduk negera-negara selatan. Untuk
negara-negara berkembang meski tidak besar, ikut juga berkontribusi dengan
31 Araund Bohre, Nick Eyre, dan Nicholas Howarth, Carbon Markets An International Bussiness Guide, London, Earthscan, 2009, hal. 8.
skenario pembangunan yang mengacu pada pertumbuhan. Memacu industrialisme
dan meningkatnya pola konsumsi tentunya, meski tak setinggi negara utara.33
Berdasarkan kronologis sejarah pemanasan global dimulai dari tahun
1841. Saat itu ilmuwan Jean Baptiste Joseph Fourier menulis tentang pemanasan
bumi di surat kabar “Milwaukee Sentinel and Wisconsin Farmer” pada 4
Desember 1841. Namun saat itu pemanasan bumi dianggap sebagai suatu
perkembangan positif bagi kehidupan manusia.
Pada tahun 1894 mulai banyak tulisan di surat kabar yang memberitakan
tentang revolusi industri, seperti dimuat dalam “The Daily Mail North Western”
dan di “The Daily Nebraska State Journal”.34 Pada zaman ini peradaban manusia
menemukan momentumnya ketika muncul revolusi industri yang ditandai dengan
penemuan mesin uap, lampu dan telepon. Manusia kemudian menciptakan
mesin-mesin yang memudahkan hidupnya. Industrialisasi memberi banyak kebaikan
sehingga pertumbuhan populasi manusia mulai meningkat pesat. Namun para
ilmuwan mencatat periode ini menjadi titik awal polusi lingkungan dan proses
industrialisasi.35
33 “Efek Global Warming Terhadap Perubahan Iklim”, sebagaimana dimuat dalam http://www.alpensteel.com/article/108-230-pemanasan-global/1589--efek-global-warming -terhadap-perubahan-iklim, diakses pada 6 Januari 2013.
34 Divisi Penerbitan dan Dokumentasi PPLH Seloliman Malang Science Research Institution,
Ada Apa Dengan Ozon?, Mojokerto, Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Seloliman, 2007, hal. 29.
Mulai dari jaman revolusi industri, konsentrasi gas karbon dioksida di
atmosfer telah meningkat. Peningkatan gas-gas ini menyebabkan kemampuan
atmosfer untuk menahan panas menjadi lebih besar. Sulfat aerosol, yaitu polutan
udara yang umum ditemui, mendinginkan atmosfer dengan merefleksikan kembali
radiasi cahaya dari matahari ke luar angkasa. Tetapi senyawa sulfat ini
mempunyai siklus umur yang pendek di atmosfer.
Para ilmuwan berasumsi bahwa pembakaran dari bahan bakar fosil dan
beberapa aktivitas manusia yang memicu dan menjadi penyebab utama
meningkatnya konsentrasi karbon dioksida di atmosfer. Respirasi dari tanaman
dan proses dekomposisi bahan organik melepaskan karbon diokasida sepuluh kali
lebih banyak dari yang mampu dihasilkan oleh aktivitas manusia, tetapi selama
berabad-abad pelepasan karbon diokasida ini diimbangi dengan penyerapan
karbon dioksida oleh vegetasi terestial dan laut. Keseimbangan ini terganggu
disebabkan adanya pelepasan tambahan yang disebabkan oleh aktivitas manusia.
Bahan Bakar Fosil (BBF) dibakar sebagai sumber energi untuk menggerakan
hampir seluruh peralatan manusia. Meningkatnya kegiatan agrikultural,
penggundulan hutan, dibukanya area kosong sebagai tempat pembuangan,
produksi industri, dan pertambangan juga meningkatkan emisi dengan bagian
yang cukup signifikan.36
Tahun 1913-1914 ilmuwan Swedia Laureate Svente Arrthenius
memprediksi iklim bumi akan memanas secara perlahan. Seperti dikutip dalam
Washington Post tanggal 23 Maret 1913, Arrhenius memprediksi perubahan ini
akan terjadi ribuan tahun yang akan datang.
Tahun 1949-1950 seorang peneliti bernama GS Callendar menulis di
Koran “The Nebraska State Journal” pada tanggal 23 Oktober 1949, bahwa efek
gas rumah kaca adalah diakibatkan oleh ulah manusia. Respon dari para ilmuwan
saat itu adalah mengembangkan cara baru untuk mengukur iklim bumi.
Tahun 1950-1970 pengembangan teknologi baru membawa kekhawatiran
lebih besar tentang pemanasan global dan efek rumah kaca. Sejumlah studi
menunjukkan tingkat karbon dioksida di atmosfir terus meningkat setiap tahunnya
dan sarat tentang bahaya polusipun semakin meningkat.37
Manusia telah mulai menyadari masalah pemanasan global ini merupakan
masalah global yang perlu dibicarakan secara serius di tingkat internasional.
Tahun 1972 dilaksanakan konfrensi lingkungan hidup pertama di Stockholm,
Swedia. Pada pertemuan ini menghasilkan pendirian United Nations Environment
Programme (UNEP),38 Maurice Strong dari Kanada mengetuai konferensi dan
akan ditunjuk sebagai Direktur Eksekutif UNEP yang pertama.39
Pertemuan lingkungan hidup ini lah yang menjadi cikal bakal
pertemuan-pertemuan selanjutnya untuk membahas masalah lingkungan global terutama
37 Divisi Penerbitan dan Dokumentasi PPLH Seloliman Malang Science Research Institution,
Ada Apa Dengan Ozon?, Op. Cit. Hal. 29-31.
38 UNEP merupakan organisasi utama PBB di bidang lingkungan hidup, yang pada dasarnya melakukan pemantauan dan penelitian secara ilmiah pada tingkat global dan regional serta memberikan rekomendasi kebijakan kepada pemerintah. UNEP juga melakukan kemitraan dan dukungan kapasitas pada tingkat nasional dengan tujuan untuk mengangkat isu lingkungan dalam pembangunan. Baca: Ella Syafputri, “Indonesia Usul UNEP Diperkuat”, 2013, sebagaimana dimuat dalam http://www.antaranews.com/berita/359758/indonesia-usul-unep-diperkuat, diakses pada 3 Januari 2014.
39 Fitria, “Kejadian Penting Perlindungan Lingkungan Dunia 1945 – 2002”, 2013, sebagaimana
masalah pemanasan global. Bagian ini hanya membahas sejarah pemanasan
global. Sedangkan konferensi-konferensi internasional terkait pemanasan global
secara rinci akan dibahas pada bagian selanjutnya.
B. Dampak Pemanasan Global dan Upaya Internasional Dalam Menyelamatkan Bumi Dari Pemanasan Global
Dunia internasional saat ini sedang mengarahkan perhatiannya terhadap
pemanasan global. Pemanasan global berdampak langsung terhadap perubahan
iklim. Maknanya bahwa pemanasan global berdampak pada seluruh makhluk
hidup di bumi. Mencairnya gunung-gunung es di kutub, naiknya permukaan air
laut, tenggelamnya pulau-pulau kecil merupakan beberapa efek domino yang
sekarang terpantau jelas di depan mata. Hilangnya sejumlah spesies, putusnya
mata rantai makanan, munculnya berbagai macam penyakit, berkurangnya
kemampuan tumbuhan untuk berkembang secara baik, merupakan dampak lain
yang kini kian dirasakan.
Dampak dari pemanasan global yang melanda bumi ini salah satunya
dapat menyebabkan hilangnya daratan. Pemanasan global menyebabkan
permukaan es mencair. Es yang mencair tersebut menyebabkan volume air laut
meningkat, sehingga lambat laun dapat menenggelamkan daratan yang ada di
bumi ini.
Sebagai contoh pada abad ke-20, permukaan air laut naik sebesar 10-20
cm. Memuainya air laut disebabkan oleh panas atmosfer yang menembus ke
terjadi di kedalaman 300m, di mana suhunya naik sekitar 0,25Ԩ. Keadaan seperti
itu terjadi dalam 40 tahun terakhir ini. Daratan di bumi ini bisa lebih cepat lagi
terendam air laut, jika tidak ada air yang tertimbun di dalam waduk atau perairan
lain yang ada di daratan.40
Meskipun kenaikan suhu udara dan muka air laut kelihatannya kecil,
beberapa tempat atau ekosistem atau masyarakat tertentu akan sangat rentan
menghadapi perubahan tersebut. Kondisinya akan diperburuk apabila kemampuan
ekosistem atau masyarakat untuk beradaptasi dengan perubahan iklim rendah.
Peningkatan suhu yang besar terjadi pada daerah lintang tinggi, sehingga akan
menimbulkan berbagai perubahan lingkungan global yang terkait dengan
pencairan es di kutub, distribusi vegetasi alami, dan keanekaragaman hayati.
Dampak lainnya yang akhir-akhir ini terjadi adalah pada awal Januari
2014 di belahan selatan Bumi, Australia memanas. Pada 3 Januari
2014, ABC melaporkan bahwa Australia mengalami musim panas ekstrem akibat
pengaruh gelombang panas. Wilayah Queensland mencapai suhu 40° Celsius.
Beberapa tempat lain bahkan melebihi 45° Celsius.
Sementara Australia luar biasa panas, Amerika Serikat luar biasa dingin
akibat pengaruh “polar vortex”. Suhu di beberapa wilayah Amerika Serikat
misalnya di Allaghas, Maine, bisa mencapai -36° Celsius, sementara di Kansas
City bisa mencapai -22° Celsius. Dengan pengaruh angin, warga bisa merasakan
seolah berada di tempat bersuhu hingga -50° Celsius.41 Peristiwa ini menyebabkan
sekitar 21 orang tewas.42
“Polar vortex” adalah semacam siklon yang terdapat di kutub yang dalam
kondisi normal tetap berada di wilayah kutub. Namun, aliran massa udara panas
dari Pasifik menyebabkan udara dingin dari kutub bergerak ke selatan. Massa
udara panas berperan sebagai pemandu. Sebagai akibatnya, udara dingin dari
kutub menjalar jauh ke selatan, mencapai wilayah utara dan tengah Amerika
Serikat, memicu musim dingin ekstrem.43
Pakar meteorologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Army Susandi,
mengatakan, fenomena musim panas dan dingin ekstrem di Australia dan
Amerika merupakan bukti perubahan iklim. Sebagaimana diketahui, Amerika
Serikat tidak menandatangani Protokol Kyoto yang bertujuan untuk mengurangi
pemanasan Global. Belakangan Kanada ikut keluar dari Protokol Kyoto. Sekarang
kedua negara tersebut terlanda suhu dingin ekstrem.44
Sementara itu, daerah tropis atau lintang rendah akan terpengaruh dalam
hal produktivitas tanaman, distribusi hama dan penyakit tanaman. Peningkatan
suhu pada gilirannya akan mengubah pola dan distribusi curah hujan.
Kecenderungannya adalah bahwa daerah kering akan menjadi makin kering dan
daerah basah menjadi semakin basah sehingga kelestarian sumber daya air akan
41 Nurul Folda, “Serangan Suhu Dingin Di Amerika Serikat – Dampak Pemanasan Global?” sebagaimana dimuat dalam http://id.voi.co.id/voi-komentar/5235-serangan-suhu-dingin-di-amerika-serikat-dampak-pemanasan-global, diakses pada 17 Januari 2014.
42 “The Big Thaw Begins: FROZEN BODIES Found in Snow as Temperatures Begin to Rise After Brutal Polar Vortex Leaves 21 Dead and 11,000 Flights Grounded”, http://www.dailymail.co.uk/news/article-2535695/So-cold-Hell-frozen-Small-Michigan-town-country-plunged-freezing-temperatures polar vortex-things-warming-day-two.htm l#ixzz2qmjkifel, diakses pada 19 Januari 2014.
43 Nurul Folda, Loc. Cit.
terganggu. Maka perlu ada tindakan nyata dari dunia internasional dalam upaya
penyelamatan bumi serta usaha-usaha pencegahan agar dampak pemanasan global
dapat dikurangi.45
Dampak pemanasan global yang terjadi sekarang ini sudah terasa di
seluruh penjuru bumi. Pemanasan global yang terjadi sebagian besar disebabkan
oleh aktivitas manusia. Hal ini dikarenakan zaman yang semakin maju, ilmu
pengetahuan dan teknologi (IPTEK) semakin berkembang.
Sadar atau tidak berbagai aktivitas manusia tersebut memicu menipisnya
lubang ozon sehingga mengakibatkan pemanasan global. Negara maju46 maupun
negara berkembang47 sudah menyadari terjadinya pemanasan global yang telah
memberi banyak dampak bagi negara mereka.
Negara-negara maju disebut-sebut sebagai negara-negara penghasil emisi
karbon yang lebih besar daripada negara berkembang tidak luput dari dampak
pemanasan global, walaupun dampak yang mereka rasakan tidak sebesar yang
dirasakan oleh negara berkembang yang kebanyakan berada di sekitar
khatulistiwa. Negara-negara berkembang seperti Indonesia, Filipina, Tanzania,
Brazil, dan lain-lain yang umumnya berada di sekitar khatulistiwa menderita
45 Daniel Murdiyarso, Sepuluh Tahun Perjalanan Negosiasi Konvensi Perubahan Iklim,
Jakarta, Kompas, 2003. Hal. 18-19.
46 Negara maju disebut juga developed countries yang pada umumnya memiliki cirri-ciri seperti: tergabung dalam Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), telah merdeka atau memperoleh kemerdekaannya sebelum tahun 1945, memiliki industri yang kuat dan kebanyakan berada di Benua Eropa atau memiliki tradisi Eropa (Amerika Serikat, Kanada, dan Australia). Negara maju, kecuali Jepang juga diistilahkan sebagai negara-negara Barat (Western States). Lihat dalam Hikmahanto Juwana, “Hukum Internasional Dalam Konflik Kepentingan Ekonomi Negara Berkembang dan Negara Maju”, Pidato Upacara Pengukuhan Guru Besar Tetap Dalam Ilmu Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 10 Nopember 2001, hal. 2.
dampak kenaikan suhu bumi. Negara-negara berdataran rendah juga menderita
banjir besar seperti Bangladesh, Laos, Nigeria, Argentina, dan lain-lain.
Tampaklah bahwa dampak perubahan iklim memukul negara berkembang lebih
besar ketimbang negara maju.48
Kesadaran bahwa pemanasan global yang mengakibatkan perubahan iklim
akan mengancam keberlanjutan kehidupan di dunia, menjadikan negara-negara di
dunia baik negara maju maupun negara berkembang berputar otak mencari cara
untuk mengatasi pemanasan global yang tengah terjadi.
Pemanasan global telah lama disadari bahwa benar terjadi dan mengancam
peradaban di bumi. Namun baru mulai kurun waktu 1970an diadakan pertemuan
yang secara sungguh-sungguh membahas masalah lingkungan terutama
pemanasan global yang mengakibatkan perubahan iklim. Sejak masa itulah
masyarakat internasional mulai mencoba mencari solusi untuk menurunkan emisi
karbon yang mengakibatkan pemanasan global dan perubahan iklim dengan
berbagai cara.
Cara yang paling mudah untuk mengurangi karbon dioksida di udara
adalah dengan reboisasi (reforestation). Selain itu banyak dikembangkan
cara-cara lain seperti penggunaan energi terbaharui dan energi nuklir lebih mengurangi
pelepasan karbon dioksida ke udara. Energi nuklir masih kontroversial karena
alasan keselamatan dan limbahnya yang berbahaya.
Alat penyaring khusus gas buangan perlu digunakan oleh kendaraan
bermotor pada bagian knalpot (tempat keluar gas buangan) yang dapat
menetralisir dan mengurangi dampak negatif gas buangan tersebut. Bisa juga
dengan mengganti bahan bakar dengan bahan bakar alternatif yang ramah
lingkungan, seperti tenaga surya (matahari) atau biodisel. Perlu dikeluarkan
regulasi tentang usia kendraan bermotor yang boleh beroperasi agar tidak
menimbulkan pencemaran.
Selain itu perlu diadakan kerja sama internasional untuk mensukseskan
pengurangan gas-gas rumah kaca. Apabila pada suatu negara diterapkan peraturan
kebijakan lingkungan yang ketat, maka ekonominya dapat terus tumbuh walaupun
berbagai macam polusi telah dikurangi. Akan tetapi membatasi emisi karbon
dioksida terbukti sulit dilakukan. Oleh karena itu, perlu adanya upaya yang serius,
konsisten, dan berkelanjutan agar masalah pemanasan global ini dapat diatasi atau
diminimalisir.
Salah satu upaya internasional dalam menyelamatkan dunia dari
pemanasan global selain dari teknologi-teknologi tersebut adalah perdagangan
karbon antar negara di dunia. Cara ini diharapkan dapat menekan emisi karbon
yang dihasilkan oleh berbagai aktivitas manusia. Perdagangan karbon ini dapat
menimbulkan simbiosis mutualisme antara negara-negara pelaku bisnis
perdagangan karbon itu sendiri.
Perdagangan karbon diharapkan dapat membantu menekan emisi karbon
yang bermanfaat bagi pembangunan berkelanjutan49 dan bermanfaat bagi
perekonomian negara-negara pelaku perdagangan karbon. Selain cara-cara yang
dapat dilakukan manusia untuk mempertahankan keberlanjutan kehidupan di
bumi, manusia juga sudah sejak lama memikirkan untuk mencari planet pengganti
bumi yang usianya sudah semakin menua. Para ilmuwan dunia melakukan
berbagai studi tentang penemuan planet pengganti bumi yang disebut
Super-Earth50 sejak sekitar dua dasawarsa lalu. Penemnuan terakhir pada tahun 2013,
ditemukan beberapa planet yang berjarak 22 tahun cahaya dari matahari.
Planet-planet ini dapat dihuni, karena diperkirakan memiliki permukaan
dan atmosfer yang sama dengan bumi, juga memiliki hari dan tahun yang sama
panjangnya dengan bumi. Penemuan mengatakan bahwa siang planet-planet
tersebut akan diterangi oleh matahari dan saat malam hari bulan juga akan
bersinar, sama halnya di bumi.51
yang akan datang. Lihat: Sri Hayati, “Pembangunan Berkelanjutan”, sebagaimana dimuat dalam http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR._PEND._GEOGRAFI/196202131990012-SRI_HAYATI/ MK-EKOLOGI_DAN_LINGKUNGAN/PB.pdf, diunduh pada 24 Februari 2014.
50
Nicolas B. Cowan, a postdoctoral fellow at Northwestern University said thatSuper-Earths are expected to have deep oceans that will overflow their basins and inundate the entire surface, but we show this logic to be flawed. Terrestrial planets have significant amounts of water in their interior. Super-Earths are likely to have shallow oceans to go along with their shallow ocean basins. In the study, the research team treated exoplanets like Earth, which has a significant amount of water in its mantle. Rock within the mantle contains tiny amounts of water, but because the mantle is so large - those small amounts of water add up to a large quantity. A water cycle deep within the Earth moves water between oceans and the mantle. The division of water between the oceans and mantle is determined by seafloor pressure, which is relative to gravity. Lihat dalam: Brett Smith, http://www.redorbit.com/news/space/1113042735/super-earths-may-be-like-planet-earth-010914/, diakses pada 17 Januari 2014.
51 “Three Super-Earths Discovered In Habitable Zone Of Same Star For The First Time”,
C. Ketentuan Tentang Pemanasan Global dalam Hukum Internasional
Hukum Internasional52 menurut Mochtar Kusumaatmadja adalah
keseluruhan kaidah dan asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang
melintasi batas negara antara negara dengan negara, dan negara dengan subjek
hukum lain yang bukan negara atau subjek hukum bukan negara satu sama lain.53
Pemanasan global yang mengakibatkan perubahan iklim merupakan permasalahan
yang melintasi batas negara mengenai suatu fenomena dalam lingkup
internasional, termasuk di dalamnya akan mencampurkan aspek ilmu pengetahuan
alam hayati yang tentunya dibalut dalam nuansa scope internasional, sehingga
dapat dilihat dan ditarik keterkaitan serta kompleksitas antara masalah lingkungan
global dengan hubungan antar negara.
Pemanasan global merupakan isu lingkungan hidup yang pemahamannya
berakar dari disiplin Ilmu Alam Hayati yang dijadikan menjadi isu internasional
belakangan ini kerap diangkat dalam berbagai forum dan kajian kerjasama
internasional. Isu pemanasan global menjadi salah satu kajian yang dapat
diklasifikasikan dalam kajian yang keberadaannya dapat mendorong
negara-negara atau masyarakat internasional untuk ikut terlibat dalam penanganannya,
52
Lebih lanjut oleh Starke mendefinisikan hukum internasional sebagai seperangkat hukum yang terdiri dari peraturan-peraturan perilaku dan azas-azas dimana negara-negara itu sendiri terikat dan menghormatinya dan oleh karenanya secara umum dihormati dalam hubungan antar negara satu sama lain serta mencakup juga: (a) peraturan-peraturan yang berkaitan dengan fungsi lembaga atau organisasi internasional, hubungan organisasi internasional dengan negara-negara serta dengan individu, (b) peraturan-peraturan tertentu berkenaan dengan individu-individu dan kesatuan kesatuan bukan negara sepanjang hak-hak dan kewajibannya menyangkut masyarakat internasional. Baca dari: Rosmi Hasibuan, Hukum Internasional, Bahan Perkuliahan Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2011. Hal. 2.
hal ini dikarenakan masalah pemanasan global dianggap bersifat implikatif yang
menimbulkan reaksi berantai.
Begitu penting dan tingginya tingkat urgensi masalah pemanasan global
hingga mendorong banyak pihak untuk mengangkat dan menjadikannya menjadi
komoditas isu hangat dalam setiap pertemuan forum internasional yang
menghasilkan beberapa perjanjian internasional seperti deklarasi, konvensi,
protokol, dan juga agreement (persetujuan).
Deklarasi, konvensi, protokol dan agreement tersebut pada dasarnya sama
yakni merupakan perjanjian internasional, namun terdapat perbedaan diantaranya.
Deklarasi merupakan suatu perjanjian dan berisikan ketentuan-ketentuan umum
dimana pihak-pihak pada deklarasi tersebut berjanji untuk melakukan
kebijaksanaan-kebijaksanaan tertentu dimasa yang akan datang. Bedanya dengan
konvensi adalah deklarasi isinya ringkas dan padat serta mengeyampingkan
ketentuan-ketentuan yang hanya bersifat formal54. Konvensi biasanya bersifat
law-making yang artinya merumuskan kaidah-kaidah hukum bagi masyarakat
internasional.55 Protokol digunakan untuk perjanjian internasional yang materinya
lebih sempit dibanding konvensi. Protokol mengatur kewajiban-kewajiban khusus
dalam melaksanakan perjanjian induknya.56 Sedangkan agreement mengatur
materi yang memiliki cakupan lebih kecil daripada deklarasi, konvensi maupun
protokol. Perjanjian dalam bentuk-bentuk seperti tersebut diataslah yang
dihasilkan dalam pertemuan-pertemuan yang mengkaji masalah pemanasan
54 Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Bandung, PT. Alumni, 2011. Hal. 93-94.
55Ibid, hal 91.
56
global. Namun tidak tertutup kemungkinan perjanjian internasional dalam bentuk
lain terbentuk pada pertemuan-pertemuan tersebut.
Isu pemanasan global pertama kali diangkat sebagai sebagai salah satu
agenda dalam pertemuan negara-negara dalam ranah hubungan internasional pada
tahun 1972, hal ini ditandai dengan diselenggarakannya Konferensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) tentang lingkungan hidup di Stockholm, Swedia.
Konfrensi Stockholm57 ini menghasilkan sebuah deklarasi yang disebut dengan
Deklarasi Stockholm. Dalam Deklarasi Stockholm telah disadari bahwa kegiatan
manusia dapat menimbulkan pencemaran lingkungan yang akhirnya berdampak
pada pemanasan global.
Salah satunya dalam article 3 Deklarasi Stockholm diproklamirkan:58
“Man has constantly to sum up experience and go on discovering, inventing, creating and advancing. In our time, man's capability to transform his surroundings, if used wisely, can bring to all peoples the benefits of development and the opportunity to enhance the quality of life. Wrongly or heedlessly applied, the same power can do incalculable harm to human beings and the human environment. We see around us growing evidence of man-made harm in many regions of the earth: dangerous levels of pollution in water, air, earth and living beings; major and undesirable disturbances to the ecological balance of the biosphere; destruction and depletion of irreplaceable resources; and gross deficiencies, harmful to the physical, mental and social health of man, in the man-made environment, particularly in the living and working environment.”
57 Dalam konfrensi Stockholm terdapat beberapa hal penting, yaitu: (a) Merupakan konfrensi pertama tentang lingkungan hidup di tingkat dunia, (b) Konfrensi ini menjadi acuan/referensi bagi para pakar hukum untuk menentukan hak dan kewajiban warga negara untuk lingkungan, (c) Mendorong lahirnya pertumbuhan hukum lingkungan di tingkat nasional, internasional dan multilateral, misalnya: diadakannya konfrensi perubahan iklim tahun 1992. Jelly Leviza, Bahan Kuliah Hukum Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2012.
Artinya, manusia secara terus-menerus memperbanyak pengalamannya
dan terus menggali, menemukan serta terus mengalami kemajuan, di masa kini,
kemampuan manusia untuk mengubah lingkungannya jika digunakan secara bijak,
dapat membawa manfaat yang membangun bagi semua bangsa dan kesempatan
untuk meningkatkan kualitas hidup. Penerapan yang salah dan semena-mena,
dapat sangat membahayakan manusia dan lingkungannya. Namun kenyataannya
semakin banyak bukti dari kebrutalan kelakuan manusia di berbagai belahan dunia
tingkat pencemaran baik air, udara, bumi serta makhluk hidup berada pada
tingkatan yang berbahaya, bencana hebat yang tidak dikehendaki terhadap
keseimbangan biosfer, kehancuran dan penipisan sumber daya non hayati.
Sejak Deklarasi Stockholm 1972 dideklarasikan, persoalan lingkungan
hidup mulai menjadi pusat perhatian masyarakat Internasional. Satu dasawarsa
setelah dilaksanakannya Konferensi Stockholm 1972, masyarakat Internasional
berusaha untuk mengurangi rusaknya lingkungan. Pada tahun 1992 diadakan
Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit) tentang Lingkungan dan
Pembangunan yang lebih dikenal dengan nama United Nations Conference on
Environment and Development (UNCED) di Rio de Jeneiro, Brazil dalam rangka
penyelesaian masalah lingkungan di dunia. Para pemimpin dunia sepakat untuk
mengadopsi rencana-rencana besar yang terkait dengan upaya konservasi
lingkungan sementara menyejahterakan manusia melalui pembangunan.59
Dalam KTT Bumi ini menghasilkan Deklarasi Rio, Prinsip-prisnsip
Kehutanan (Forestry Principles), Agenda 21,60 Konvensi Perubahan Iklim
(United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCCC) dan
Konvensi Keanekaragaman Hayati. Pada kesempatan itu juga, 154 negara peserta.
KTT Bumi menandatangani kerangka kerja perubahan iklim yang
selanjutnya disebut United Nations Framework Convention on Climate Change
(UNFCCC). Tujuan paling utama konvensi ini adalah menstabilkan konsentrasi
gas rumah kaca pada level mencegah bahaya terjadinya perubahan sistem iklim
akibat kegiatan manusia. Hal ini dimuat dalam article 2 UNFCCC sebagai
berikut:
“The ultimate objective of this Convention and any related legal instruments that the Conference of the Parties may adopt is to achieve, in accordance with the relevant provisions of the Convention, stabilization of greenhouse gas concentrations in the atmosphere at a level that would prevent dangerous anthropogenic interference with the climate system. Such a level should be achieved within a time-frame sufficient to allow ecosystems to adapt naturally to climate change, to ensure that food production is not threatened and to enable economic development to proceed in a sustainable manner.”61
Para pihak yang meratifikasi UNFCCC ini kemudian tergolong dalam
Conference of Parties (CoP). CoP mengadakan pertemuan rutin yang membahas
mengenai permasalahan lingkungan global termasuk masalah pemanasan global
dan perubahan iklim. Pada sidang pertama Konferensi Para Pihak (First Session of
the Conference of Parties CoP1) yang diadakan di Berlin, Jerman tahun 1995.
60 Agenda 21 merupakan program lingkungan di abad 21, yakni cara pengelolaan lingkungan hidup di dunia. Agenda 21 terbagi dua, yaitu, (a) Agenda 21 global, berisi antara lain: memberantas penyebaran penyakit di dunia, memberantas buta huruf, dan memberantas kemiskinan, (b) Agenda 21 nasional, berisi tentang bagaimana negara merencanakan penanganan masalah lingkungan hidup di negara tersebut. Jelly Leviza, Loc. Cit.
Dalam pertemuan tersebut menghasilkan komitmen negara-negara maju
yang bertujuan untuk mengembalikan emisi ke tingkat 1990 menjelang 2000,
sangat tidak memadai untuk mencapai tujuan panjang konvensi untuk
menghindari pengaruh manusia yang membahayakan sistem iklim bumi.
Petemuan ini menghasilkan Mandat Berlin (Berlin Mandate). Setelah delapan kali
bersidang Ad Hoc Group in Berlin Mandate menghasilkan sebuah teks yang
diajukan kepada CoP 3 untuk menghasilkaan negosiasi terakhir.62
Pada pertemuan CoP 3 yang diadakan di Kyoto pada tahun 1997.
Konferensi tersebut menghasilkan suatu Protokol yang disebut dengan Protokol
Kyoto (Kyoto Protocol). Dalam Protokol Kyoto mengatur lebih lanjut
klausul-klausul tertentu dari Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC) yakni menstabilkan
gas rumah kaca seperti yang disebutkan dalam article 2 UNFCCC dan diarahkan
melalui article 3 UNFCCC yang akan dibahas lebih lanjut pada bab selanjutnya.
Negara-negara yang sepakat ambil bagian dalam upaya menstabilkan gas
rumah kaca yang mengakibatkan perubahan iklim harus melakukan
tindakan-tindakan untuk melindungi iklim yang bermanfaat bagi generasi sekarang dan
generasi yang akan datang. Protokol inilah yang merupakan dasar bagi
negara-negara industri untuk mengurangi emisi gas rumah kaca gabungan mereka paling
sedikit 5% dari tingkat emisi tahun 1990 menjelang periode 2008-2012.63
Protokol juga mengatur tata cara penurunan emisi gas rumah kaca secara
bersama-sama. Jumlah emisi gas rumah kaca yang harus diturunkan tersebut dapat
62 Siti Khairunissa, Analisis Yuridis Atas Penerapan Carbon Trading Dalam Prepektif Protokol Kyoto dan REDD+ Untuk Kawasan Hutan Di Indonesia, Medan, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2012. Hal. 16
meringankan negara yang emisinya tinggi, sedangkan negara yang emisinya
rendah atau bahkan karena kondisi tertentu tidak mengeluarkan emisi dapat
meringankan beban kelompok negara yang emisinya tinggi.
Penurunan gas rumah kaca melibatkan negara maju dan
negara-negara berkembang. Dalam Protokol Kyoto negara-negara-negara-negara tersebut dibagi dalam
negara-negara Annex I dan negara-negara non-Annex I. Negara-negara Annex I
adalah negara-negara yang telah mengontribusikan gas rumah kaca hasil kegiatan
manusia lebih banyak disbanding negara non-Annex I. Sedangkan
negara-negara non-Annex I adalah negara-negara-negara-negara selain Annex I, yang mengemisikan gas
rumah kaca jauh lebih sedikit serta memiliki pertumbuhan ekonomi yang lebih
rendah dibanding negara-negara Annex I.
Hingga memasuki periode kedua Protokol Kyoto tahun 2013, 200 negara
telah meratifikasi Protokol Kyoto.64 Amerika Serikat menolak untuk meratifikasi
Protokol Kyoto, karena Amerika Serikat menganggap bahwa Protokol Kyoto akan
berpengaruh negatif terhadap perekonomian Amerika Serikat dan kewajiban
negara maju menurunan emisi karbon dianggap tidak adil oleh Amerika Serikat.
Untuk memberi jalan bagi upaya pengurangan emisi, maka Protokol Kyoto
membentuk tiga mekanisme yang disebut Flexible Mechanism atau mekanisme
fleksibel. Disebut mekanisme fleksibel karena ketiga mekanisme ini memberi
kesempatan bagi negara-negara yang menyetujui Protokol Kyoto untuk bisa
memilih mekanisme mana yang akan membantu negara-negara tersebut untuk
64
mengurangi emisi.65 Ketiga mekanisme ini adalah: Emission Trading (Pasal 17),
Joint Implementation (Pasal 6), dan Clean Development Mechanism (Pasal 12).66
Mekanisme Fleksibel berpengaruh pada perekonomian dan pembangunan
berkelanjutan di negara-negara yang mengimplementasikan Mekanisme Fleksibel
ini. Mengenai Mekanisme Kyoto akan dibahas lebih rinci pada bab selanjutnya.
CoP 4 tahun 1998 diadakan di Buenos Aires, Argentina, mengadopsi
Buenos Aires Plan of Action (BAPA) yang dirancang untuk program
mengoprasikan secara detail Protokol Kyoto. Pada CoP 5 tahun 1999 di Bonn,
Jerman, menargetkan pencapaian terukur agar Protokol Kyoto berkekuatan
hukum, pertemuan ini menghasilkan Plann Agreements.
Tahun 2000 diselenggarakan CoP 6 di Den Haag, Belanda, pertemuan ini
gagal bersepakat mengambil keputusan dibawah BAPA. Lalu diadakan CoP 6 part
II di Bonn pada tahun 2001. Para pihak mengadopsi perintah Bonn (Plann
Agreements), mendaftarkan consensus politik atau isu-isu kunci dibawah BAPA.
Para pihak juga menyelesaikan sejumlah keputusan detail namun masih
menyisakan beberapa sisa kesepakatan.67
Pada CoP 7 di Marrakesh tahun 2001, memfinalkan dan mengadopsi hasil
keputusan CoP 6b (CoP 6 part II) yang hasilnya disebut dengan Marrakesh
Accord. Isu-isu kritis yang dibahas dalam CoP 7 berkaitan dengan implementasi
BAPA, yakni menyangkut pedoman pelaksanaan Pasal 5 tentang sistem nasional
65 Bernadinus Steni, Perubahan Iklim, REDD, dan Perdebatan Hak: Dari Bali Sampai Copenhagen, Jakarta, Perkumpulan HuMa, 2010. Hal. 21.
66 Bernad Hansjurgens, dan Ralf Antes, ed., Economics and Management of Climate Change, Liepzig/Oldenburg, Springer, 2008. Hal. 3.
67 “CoP 13 Tonggak Sejarah DNPI”, 2013,
dan metodologi yang akan digunakan dalam inventarisasi emisi pada tingkat
nasional, Pasal 7 tentang komunikasi informasi, dan Pasal 8 Protokol Kyoto
tentang peninjauan informasi yang disampaikan para pihak; tentang Land Use,
Land Use Change, and Forestry (LULUCF), mekanisme protokol dan penataan. 68
Memberikan masukan bagi World Summit Sustainable Development (WSSD)
tahun 2002 di Johannesburg, Afrika Selatan yang menyebutkan perlunya:69
a. Menekankan prinsip Common But Differentiated Responsibilities/CBDR.
b. Menegakkan terus pilar pembangunan berkelanjutan.
c. Keterkaitan antara UNFCCC dan CBD.
d. Mempertimbangkan kemajuan yang telah dibuat sejak UNCED di Rio de
Jeneiro 1992.
Penguhujung tahun 2007, Bali, Indonesia menjadi tuan rumah pertemuan
negara-negara guna membahas isu lingkungan global mengenai perubahan iklim
sebagai kelanjutan dari KTT Bumi. Pertemuan ini dihadiri sekitar 180 negara di
dunia.
Konferensi PBB mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC) di Bali
menghasilkan Bali Roadmap,dimana terdapat tiga hal penting, yaitu:70
1. Tercapainya kesepakatan dunia.
2. Menyepakati 4 agenda sebagai berikut:
a. Aksi untuk melakukan kegiatan adaptasi terhadap dampak negatif
perubahan iklim (misalnya banjir dan kekeringan).
68 Daniel Murdiyarso, Sepuluh Tahun Perjalanan Negosiasi Konvensi Perubahan Iklim,Op. Cit. Hal. 142.
69Ibid, Hal 151-152.
b. Cara mengurangi emisi GRK.
c. Cara mengembangkan dan memanfaatkan teknologi yang bersahabat
dengan iklim.
d. Pendanaan untuk mitigasi dan adaptasi.
3. Menyepakati target waktu pelaksanaan, yaitu pada tahun 2009.
Adapun Bali Roadmap sendiri terdiri atas lima hal, yaitu komitmen pasca 2012,
dana adaptasi, alih teknologi, Reducing Emission from Deforestation in
Developing Countries atau dalam bahasa Indonesia disebut REDD (mengurangi
emisi akibat penggundulan hutan di negara berkembang), dan CDM (Clean
Development Mechanism).71
Pertemuan selanjutnya, diadakan Konferensi Perubahan Iklim 2009(Uted
Nations Climate Change Conference 2009) atau biasa disebut CoP 15 yang
merupakan KTT internasional mengenai perubahan iklim di Copenhagen
(Denmark). Dalam Copenhagen Accord yang dihasilkan dari konferensi ini,
terdapat substansi prinsip-prinsip pokok sebagai berikut: Pertama, Accord
menetapkan pembatasan peningkatan suhu global 2° Celcius dibanding tingkat
praindustri pada 2050. Kedua, Accord memuat komitmen negara maju untuk
menyediakan pendanaan US$30 miliar selama 2010-2012 bagi adaptasi
(penyesuaian pola pembangunan) dan mitigasi (penurunan emisi) di negara
berkembang. Ketiga, Accord menyepakati satu format penyampaian informasi
tentang upaya mitigasi melalui target pembatasan dan penurunan emisi yang harus
dapat dikuantifikasi bagi negara maju dan indikasi aksi mitigasi yang sejalan
dengan pembangunan berkelanjutan oleh negara berkembang. Keempat, Accord
mengenali Proses Mid-Review, yaitu bahwa Accord akan dikaji ulang pada tahun
2015 termasuk kemungkinan mengubah target stabilisasi menjadi 1,5° Celsius.72
Pertemuan dilakukan kembali pada Desember 2010 di Cancun, Mexico.
CoP 16 ini menghasilkan Cancun Agreements dengan kesepakatan kunci untuk
mencegah kenaikan suhu permukaan bumi tidak lebih dari 2° Celcius. Cukup
realistis untuk berharap agar CoP 16 Cancun menjadi momentum untuk
membangun kepercayaan negara maju dan berkembang dalam perundingan
multilateral perubahan iklim dibawah UNFCCC, serta menjadi pijakan untuk
tercapainya kesepakatan yang ambisius, adil dan mengikat.73 Hal ini berdasarkan
pada prinsip-prinsip keadilan iklim.74
Dalam Cancun Agreements, kesepakatan untuk mencegah kenaikan suhu
permukaan bumi tidak lebih dari 2° Celcius dikemukakan dalam article 3 dan 4:
Article 3: “Recognizes that warming of the climate system is unequivocal and that most of the observed increase in global average temperatures since the mid-twentieth century is very likely due to the observed increase in anthropogenic greenhouse gas concentrations, as assessed by the Intergovernmental Panel on Climate Change in its Fourth Assessment Report;”
Article 4: “Further recognizes that deep cuts in global greenhouse gas emissions are required according to science, and as documented in the Fourth Assessment Report of the Inter-governmental Panel on Climate
72 Amanda Katili Niode, “Memahami Hasil Dari Kopenhagen”, sebagaimana dimuat dalam http://www.wwf.or.id/berita_fakta/berita_fakta/newsclimateenergy.cfm?17420/Memahami-Hasil-dari-Kopenhagen, diakses pada 3 Januari 2014.
73 “Siaran Pers: COP 16 Cancun Harus Menjadi Pijakan Untuk Kesepakatan Perubahan Iklim yang Ambisius, Adil, dan Mengikat”, dimuat dalam http://www.iesr.or.id/2010/11/siaran-pers- cop-16-cancun-harus-menjadi-pijakan-untuk-kesepakatan-perubahan-iklim-yang-ambisius-adil-dan-mengikat/ diakses pada 17 Januari 2014.
Change, with a view to reducing global greenhouse gas emissions so as to hold the increase in global average temperature below 2 °C above pre-industrial levels, and that Parties should take urgent action to meet this long-term goal, consistent with science and on the basis of equity; also recognizes the need to consider, in the context of the first review, as referred to in paragraph 138 below, strengthening the long-term global goal on the basis of the best available scientific knowledge, including in relation to a global average temperature rise of 1.5 °C;”75
Louis Verchot, peneliti senior CIFOR mengemukakan bahwa Perjanjian
Cancun juga berhasil menyediakan kerangka kerja untuk beberapa komponen
penting dalam upaya mengatasi perubahan Iklim, salah satunya adalah mekanisme
REDD+76 (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation,
carbon stock enhancement and forest conservation). Perjanjian Cancun memberi
kerangka kuat bagi masuknya hutan hujan tropis dalam agenda utama penanganan
perubahan Iklim, melalui skema REDD+, adaptasi, konservasi dan peningkatan
cadangan karbon hutan dan pengelolaan hutan berkelanjutan.77
CoP 17 kembali melaksanakan pertemuan pada tahu 2011 di Durban,
Afrika Selatan. Pertemuan ini menghasilkan Durban Platform. Ada dua
kesepakatan utama dari CoP 17 Durban, yaitu diperpanjangnya mandat Kelompok
Kerja Ad Hoc untuk kerjasama jangka panjang (The Ad Hoc Working Group On
Long-Term Cooperative Action Under The Convention) dan dibentuknya badan
baru yaitu Kelompok Kerja Ad Hoc Durban Platform (Ad Hoc Working Group on
75 “The Cancun Agreements: Outcome of the work of the Ad Hoc Working Group on Long-term Cooperative Action under the Convention”, Article 3 and 4, diunduh melalui http://unfccc.int/resource/docs/2010/cop16/eng/07a01.pdf#page=2, diakses pada 17 Januari 2014.
76 REDD+ merupakan perluasan dari REDD, yang menambahkan areal peningkatan cadangan karbon hutan ke dalam cakupan awal strategi REDD berupa peranan konservasi, pengelolaan hutan secara lestari dan peningkatan cadangan karbon. Lihat dalam “Hal-Hal Yang Sering Ditanyakan Tentang REDD”, Loc. Cit.
Durban Platform). Ad Hoc Working Group on Durban Platform bertugas
menyepakati kerangka multilateral perubahan iklim dengan dua pilihan utama,
yaitu membentuk protokol baru atau melalui format hukum lain yang memiliki
legal certainty pasca berakhirnya komitmen kedua Protokol Kyoto.
Selain itu, CoP 17 juga menyepakati diperpanjangnya masa kerja
Kelompok Kerja Ad Hoc untuk komitmen dibawah Protokol Kyoto (The Ad Hoc
Working Group on Further Commitments for Annex I Parties under the Kyoto
Protocol) antara lain adalah disepakatinya komitmen kedua dari Protokol Kyoto
yang dimulai tahun 2013 sampai 2020. Durban Platform ini menjadi pengikat
terutama bagi negara-negara maju terhadap komitmen mereka pada perubahan
iklim.78
Pada 2012, CoP 18 melakukan pertemuan di Qatar National Convention
Centre, Doha. Konferensi ini sepakat untuk memperpanjang masa berlaku
dari Protokol Kyoto yang sedianya akan berakhir pada akhir 2012 hingga tahun
2020, dan juga disepakati bahwa pengganti Protokol Kyoto akan dirumuskan pada
tahun 2015, dan dilaksanakan pada tahun 2020. Konferensi ini juga
memperkenalkan konsep "kerugian dan kerusakan" untuk pertama kalinya, yaitu
prinsip kesepakatan yang menyatakan bahwa negara-negara kaya bisa
bertanggung jawab secara finansial kepada negara-negara lain karena kegagalan
mereka dalam mengurangi emisi karbon.79
78Sayulidewi Subagyo, “COP 17 dan Dampaknya Bagi Indonesia”, sebagaimana dimuat dalam http://www.oxfamblogs.org/indonesia/cop-17-dan-dampaknya-bagi-indonesia/, diakses pada 17 Januari 2014.
79 Roger Harrabin, “UN Climate Talks Extend Kyoto Protocol, Promise Compensation”,
Dokumen hasil Konferensi ini diberi nama Doha Climate Gateway yang
berisikan tentang perpanjangan masa berlaku Protokol Kyoto hingga tahun 2020,
yang membatasi emisi karbon dioksida global dalam skop hanya 15% karena
kurangnya partisipasi dari Kanada, Jepang, Rusia, Belarus, Ukraina, Selandia
Baru dan Amerika Serikat. Selain itu, fakta bahwa negara-negara berkembang
seperti RRC (salah satu emitor terbesar di dunia), India dan Brazil juga tidak
tunduk pada pengurangan emisi di bawah ketentuan Protokol Kyoto.
Konsep "kerugian dan kerusakan" (loss and damage) sebagaimana telah
disebutkan diresmikan untuk pertama kalinya dalam dokumen konferensi.
Konferensi ini juga membuat sedikit kemajuan terhadap pendanaan Green
Climate Fund.80 Doha Climate Gateway memuat bahwa CDM dan mekanisme
fleksibel di bawah Protokol Kyoto tetap berlanjut. Maka hal ini berkaitan dengan
pasar karbon yang berpengaruh pada penurunan emisi karbon.
Perkembangan terakhir, digelar konferensi pada November 2013 lalu di
Warsawa, Polandia, bahwa masalah pemanasan global dan perubahan iklim
disoroti begitu tajam oleh hukum internasional. Hal ini membuat para pemikir
serta para peneliti berpikir keras untuk mencari tahu pola perubahan iklim yang
terjadi serta solusi yang dapat ditawarkan baik pada tataran mikro maupun makro.
Salah satu harapan besar dari pertemuan CoP di Warsawa, Polandia adalah
hadirnya instrumen hukum yang bukan hanya efisien tapi juga lebih efektif dalam
rangka melakukan penanggulangan perubahan iklim baik pada tataran preventif
maupun represif. Salah satu ide besar yang coba diusung dalam pertemuan CoP
tahun ini adalah menggerakkan komitmen dari negara berkembang untuk segera
bertindak aktif dalam melakukan penanggulangan terhadap perubahan iklim
(applicable to all).81
81