• Tidak ada hasil yang ditemukan

Skripsi S1 Tinjauan Hukum Islam terhadap

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Skripsi S1 Tinjauan Hukum Islam terhadap"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keadilan telah menjadi pokok pembicaraan serius sejak awal munculnya filsafat Yunani. Pembicaraan mengenai keadilan memiliki cakupan yang luas, mulai dari yang bersifat etik, filosofis, hukum, sampai pada keadilan sosial. Banyak orang yang berpikir bahwa bertindak adil dan tidak adil tergantung pada kekuasaan dan kekuatan yang dimiliki. Untuk menjadi adil cukup terlihat mudah. Namun, tentu saja tidak sama penerapannya dalam kehidupan manusia.

Kata “keadilan” dalam bahasa Inggris adalah “justice” yang berasal dari bahasa latin “iustitia”. Kata “justice” memiliki tiga macam makna yang berbeda yaitu;

1) Secara atributif berarti suatu kualitas yang adil atau fair (sinonimnya

justness),

2) Sebagai tindakan berarti tindakan menjalankan hukum atau tindakan yang menentukan hak dan ganjaran atau hukuman (sinonimnya

judicature), dan

3) Orang, yaitu pejabat publik yang berhak menentukan persyaratan sebelum suatu perkara di bawa ke pengadilan (sinonimnya judge, jurist, magistrate).1

Sedangkan kata “adil” bisa dilihat melalui adaptasi dari bahasa Arab

“al-‘adl” yang artinya sesuatu yang baik, sikap yang tidak memihak, penjagaan hak-hak seseorang dan cara yang tepat dalam mengambil keputusan.2 Untuk menggambarkan keadilan juga menggunakan kata-kata

(2)

yang lain (sinonim) seperti qisth, hukm, dan sebagainya. Sedangkan akar kata ‘adl dalam berbagai bentuk konjugatifnya bisa saja kehilangan kaitannya yang langsung dengan sisi keadilan itu (misalnya “ta’dilu” dalam arti mempersekutukan Tuhan dan ‘adl dalam arti tebusan).3

Beberapa kata yang memiliki arti sama dengan kata “adil” di dalam al-Qur’an digunakan berulang-ulang. Kata “al-‘adl” dalam al-Qur’an dalam berbagai bentuk terulang sebanyak 35 kali. Kata “al-qisth” terulang sebanyak 24 kali. Kata “al-wajnu” terulang sebanyak 23 kali, dan kata “al- wasth” sebanyak 5 kali.4

Kata “al-‘adl” dalam al-Qur’an terulang berbagai bentuk, tidak ada yang dinisbatkan kepada Allah menjadi sifat-Nya. Di sisi lain, beragam aspek dan objek keadilan telah dibicarakan oleh al-Quran, pelakunya pun demikian. Keragaman tersebut mengakibatkan keragaman makna keadilan.

Paling tidak ada empat makna keadilan yang dikemukakan oleh para pakar agama. Pertama, adil dalam arti sama. Yang dimaksud adil di sini adalah memperlakukan sama atau tidak membedakan seseorang dengan yang lain. Tetapi harus digarisbawahi bahwa persamaan yang dimaksud adalah persamaan dalam hak. Dalam surat al-Nisa' (4): 585 dinyatakan bahwa:

                  

     

Artinya: “sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengjaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha melihat.”

3 M. Quraish Shihab, Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: PT.

Mizan, 2000, hal 18

(3)

Kata "adil" dalam ayat ini -bila diartikan "sama"- hanya mencakup sikap dan perlakuan hakim pada saat proses pengambilan keputusan. Ayat ini menuntun sang hakim untuk menempatkan pihak-pihak yang bersengketa di dalam posisi yang sama, misalnya ihwal tempat duduk, penyebutan nama (dengan atau tanpa embel-embel penghormatan), keceriaan wajah, kesungguhan mendengarkan, dan memikirkan ucapan mereka, dan sebagainya yang termasuk dalam proses pengambilan keputusan. Apabila persamaan dimaksud mencakup keharusan mempersamakan apa yang mereka terima dari keputusan, maka ketika itu persamaan tersebut menjadi wujud nyata kezaliman.

Kedua, adil dalam arti seimbang. Keseimbangan ditemukan pada suatu kelompok yang didalamnya terdapat beragam bagian yang menuju satu tujuan tertentu, selama syarat dan kadar tertentu terpenuhi oleh setiap bagian. Dengan terhimpunnya syarat ini, kelompok itu dapat bertahan dan berjalan memenuhi tujuan kehadirannya. Dalam surat al-Infithar (82) : 6-7, dinyatakan;

        

  

Artinya: “Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah? Yang menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu, dan menjadikan kamu (menjadikan susunan tubuh)mu seimbang.” 6

Seandainya ada salah satu anggota tubuh manusia berlebih atau berkurang dari kadar atau syarat yang seharusnya, maka pasti tidak akan terjadi kesetimbangan (keadilan). Di sini, keadilan identik dengan kesesuaian

(4)

(keproporsionalan), bukan lawan kata “kezaliman”. Perlu dicatat bahwa keseimbangan tidak mengharuskan persamaan kadar dan syarat bagi semua bagian unit agar seimbang. Bisa saja satu bagian berukuran kecil atau besar, sedangkan kecil dan besarnya ditentukan oleh fungsi yang diharapkan darinya.

Ketiga, adil adalah perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak-hak itu kepada setiap pemiliknya. Pengertian ini mendefinisikan dengan menempatkan sesuatu pada tempatnya atau memberi pihak lain haknya melalui jalan yang terdekat. Lawannya adalah "kezaliman", dalam arti pelanggaran terhadap hak-hak pihak lain. Dengan demikian menyirami tumbuhan adalah keadilan dan menyirami duri adalah lawannya. Sungguh merusak permainan (catur), jika menempatkan gajah di tempat raja, demikian ungkapan seorang sastrawan yang arif. Pengertian keadilan seperti inilah yang kemudian melahirkan keadilan sosial.

Keempat, adil yang dinisbatkan kepada Ilahi. Adil di sini berarti memelihara kewajaran atas berlanjutnya eksistensi, tidak mencegah kelanjutan eksistensi dan perolehan rahmat sewaktu terdapat banyak kemungkinan untuk itu. Semua wujud tidak memiliki hak atas Allah. Keadilan Ilahi pada dasarnya merupakan rahmat dan kebaikan-Nya. Keadilan-Nya konsekuensi bahwa rahmat Allah tidak tertahan untuk diperoleh sejauh makhluk itu dapat meraihnya.7

Demikian pentingnya makna keadilan bagi manusia sehingga memunculkan konsepsi-konsepsi yang kemudian dipahami sebagai hak yang melekat pada setiap individu. Dari sinilah kemudian para filsuf dan ahli

7 M. Quraish Shihab, Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: PT.

(5)

hukum tertarik untuk merumuskan makna keadilan yang terus berputar dan tidak pernah berhenti dengan segala problematikanya.

Diantara problema ini, yang paling sering menjadi diskursus adalah tentang persoalan keadilan yang berkaitan dengan hukum. Hal ini dikarenakan hukum atau aturan perundangan harusnya adil, tapi dalam realitanya seringkali tidak ditemukan.

Keadilan hanya bisa dipahami jika diposisikan sebagai keadaan yang hendak diwujudkan oleh hukum. Upaya untuk mewujudkan keadilan dalam hukum tersebut merupakan proses yang dinamis yang memakan banyak waktu. Upaya ini seringkali juga didominasi oleh kekuatan-kekuatan yang bertarung dalam kerangka umum tatanan politik untuk mengaktualisasikannya.8

Dalam sejarahnya, perkembangan hukum liberal menjadi hukum modern (pasca liberal) berdampak pada keterlibatan negara untuk berperan aktif dalam menentukan segala kebijakan,9 sehingga negara diposisikan sebagai lembaga yang memiliki hak untuk menetapkan sejumlah norma sebagai bentuk redistibusi kekuasaan yang dalam pandang ilmu hukum khususnya hukum pidana merupakan bentuk kongkrit dari kontrak sosial.10

Redistribusi kekuasaan yang diterima oleh negara inilah yang kemudian membuat negara dalam sistem peradilan pidana memiliki

8 Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Bandung: Nuansa dan Nusamedia, 2004, hal 239.

9 Satjipto Rahardjo, penegakan Hukum Progresif, Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara,

2010, hal 38

10 Dalam hal ini otoritas Negara dapat dilihat dari kewenangan Negara untuk menetapkan

(6)

kewenangan untuk mengambil alih peran korban jika terjadi suatu tindak pidana dalam masyarakat.11

Akan tetapi konstruksi sistem peradilan pidana yang ada saat ini dianggap belum mampu memberikan rasa keadilan karena tempat korban dan masyarakat dalam sistem diambil alih oleh lembaga melalui penuntut umum. Dalam hal demikian maka korban dan masyarakat tidak dapat berpartisipasi secara langsung dalam penentuan akhir dari suatu penyelesaian perkara pidana. Dalam kaitannya dengan konsepsi hukum yang membahagiakan semua pihak12 tentunya akses masyarakat dan korban dalam penyelesaian suatu perkara pidana yang menyangkut kepentingannya harus dibuka, sehingga keadilan dapat dimaknai secara hakiki.13

Di Indonesia, sistem peradilan pidana hampir tidak memberikan tempat terhadap upaya penyelesaian perkara pidana di luar sistem ini. Padahal hakikat dari hukum pidana harus ditafsirkan sebagai suatu upaya terakhir yang hanya dapat dijatuhkan apabila mekanisme penegakan hukum lainnya yang lebih ringan telah tidak berdaya guna atau dipandang tidak memadai.14

Selain pengambil alihan peran korban oleh negara, yang menjadi persoalan lain adalah sanksi atau pemidanaan. Sanksi dalam sistem peradilan pidana di Indonesia masih menganut pada paradigma pemidaan klasik yang bersifat retributif15, dimana keberhasilan sanksi atau pemidanaan dapat dilihat

11 Peran Negara dalam hal ini dilaksanakan oleh penuntut umum yang kewenangannya

diatur dalam pasal 14 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

12 Hukum hendaknya memberikan kebahagiaan kepada rakyat, yang setiap individu

didalamnya dengan suka rela melaksanakan tanpa adanya keterpaksaan ataupun menjadi beban budaya lokal. Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2010, hal 42.

13 Eva Achjani Zulfa. Keadilan Restoratif , Jakarta:Badan Penerbit FH UI, 2009, hlm.53 14 Ibid, hal 44

15 Dalam teori ini dipandang bahwa pemidanaan adalah akibat nyata/mutlak yang harus

(7)

dari besar kecilnya penderitan yang diterima oleh pelaku tindak pidana.16 Kemudian yang menjadi persoalan sekarang adalah penderitaan yang diterima oleh pelaku ternyata tidak mampu memulihkan korban pada keadaan yang semula, karena korban tidak memilki ruang untuk mengutarakan keinginannya.17

Oleh karena itu sangat perlu bagi sistem peradilan pidana untuk memberikan ruang bagi keadilan yang lebih bersifat restoratif (Restorative Justice). Keadilaan restoratif merupakan suatu model pendekatan yang muncul dalam era tahun 1960-an dalam upaya penyelesaian perkara pidana. Berbeda dengan pendekatan yang dipakai pada sistem peradilan pidana konvensional. Pendekatan ini menitik beratkan pada adanya partisipasi langsung pelaku, korban dan masyarakat dalam proses penyelesaian perkara pidana.18

Dalam pandangan keadilan restoratif makna tindak pidana pada dasarnya sama seperti pandangan hukum pidana pada umumnya yaitu serangan terhadap individu dan masyarakat serta hubungan kemasyarakatan.19 Akan tetapi dalam pendekatan keadilan restoratif, korban utama atas terjadinya suatu tindak pidana bukanlah negara, sebagaimana dalam sistem

Restoratif , Jakarta:Badan Penerbit FH UI, 2009, hlm.66

16 Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam hukum Pidana, Jakarta: Raja Grafindo, 2004, hal.71. 17 Sebagai contoh adalah korban pemerkosaan, sebesar apapun penderitaan yang diterima

oleh pelaku sebagai pembalasan atas tindak pidana pemerkosaan yang dilakukan tetap saja tidak mampu memulihkan apa yang telah terenggut dari korban.

18 Eva Achjani Zulfa. Keadilan Restoratif, Jakarta:Badan Penerbit FH UI, 2009, hlm 2. 19 Dalam kenyataan pandangan ini tidak lepas dari pandangan ilmu kriminologi yang

melihat adanya perkembangan dalam melihat pelaku tindak pidana, pendefinisian tindak pidana serta respon yang terjadi atas suatu tindak pidana. Meskipun tidak dapat dinyatakan bahwa pandangan kriminologi baru adalah serupa dengan pandangan keadilan restoratif, akan tetapi tidak dapat dipungiri bahwa kehadiran keduanya berdampak pada perubahan paradigma sebagai akibat perkembangan pemikiran ini. Koesriani Siswosoebroto, Pendekatan Baru Dalam Kriminologi,

(8)

peradilan pidana yang sekarang ada. Oleh karenanya kejahatan menciptakan kewajiban untuk membenahi rusaknya hubungan akibat terjadinya suatu tindak pidana. Semantara keadilan dimaknai sebagai proses pencarian pemecahan masalah yang terjadi atas suatu perkara pidana dimana keterlibatan korban, masyarakat dan pelaku menjadi penting dalam usaha perbaikan, rekonsiliasi dan penjaminan keberlangsungan usaha perbaikan tersebut.20

Kedilan restoratif bukanlah suatu yang asing dan baru, karena keadilan ini telah dikenal dalam hukum tradisional yang hidup dalam masyarakat. Dalam wacana tradisional, keadilan restoratif pada dasarnya merupakan model pendekatan dalam sistem peradilan pidana yang dominan pada masyarakat adat diberbagai belahan dunia yang hingga kini masih berjalan. Keadilan ini menjadi suatu yang baru karena dalam kenyataannya justru masyarakat modern kembali mempertanyakan bagaimana sistem peradilan pidana tradisional dapat digunakan kembali dalam menangani tindak pidana yang sangat berkembang pada masa sekarang.21

Selain bukan menjadi hal baru yang sebelumnya telah ada dalam hukum tradisional yang hidup dalam masyarakat, prinsip dasar keadilan restoratif juga telah lama ada dan menjadi landasan filosofis, doktrin, dan tradisi yang diberlakukan oleh umat Hindu, Budha, Islam, Yahudi, Tao, atau Kristen.

Dalam kepercayaan yang dianut oleh umat Hindu dinyatakan bahwa proses reinkarnasi dari seseorang dalam setiap kehidupan yang dijalaninya merupakan gambaran dari perilaku yang dibuat pada kehidupn sebelumnya.

(9)

Dalam pandangan Kristen, keadilan dan kebenaran dalam injil perjanjian lama merupakan terminologi yang tak terpisahkan satu dengan yang lain, sama halnya dengan istilah damai, maaf dan cinta kasih yang merupakan inti dari ajaran Kristiani. Ajaran ini juga terdapat dalam ajaran Budha, Tao, dan Confusian.22

Sementara dalam konsep hukum Islam prinsip dasar keadilan restoratif dapat dilihat pada proses pemberlakuan qishash dan diyat.23 Dalam ketentuan

qishash-diyat memungkinkan pengubahan hukuman pelaku tindak pidana pembunuhan bila ada perdamaian dan pemaafan dari ahli waris.24

Dalam surat al-Baqarah ayat 178-179 Allah SWT berfirman:

      hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang amat pedih”. (178)

“Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa”. (179) 25

22 Ibid, hal 13.

23 Qishash-Diyat merupakan jarimah yang telah diancam dengan hukuman-hukuman yang

telah ditentukan batasnya dan tidak mempunyai batas terendah atau tertinggi, tapi telah menjadi hak perseorangan. Ahmad hanafi,M.A, Azas-azas Hukum pidana Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang,2005

24 Djazuli, H.A, Fiqh jinayat: Upaya menanggulangi Kejahatan dalam Islam, Jakarta:

(10)

Sebagaimana dikutip dalam tafsir Al-Maraghi, Al-Baidawi dalam tafsirnya mengatakan bahwa di masa jahiliyyah ketika diantara dua kabilah (misalnya hutang darah) sedang keadaan salah satu kabilah lebih utama, maka kabilah yang lebih utama itu akan bersumpah kepada kabilah lainnya, jika seorang hamba dari kalangan kami terbunuh, maka harus ditebus dengan seorang merdeka dari kalian, dan wanita harus ditebus dengan seorang lelaki. Ketika agama Islam datang, mereka meminta keputusan hukum kepada Rasulullah SAW, kemudian turun ayat ini yang memerintahkan agar mereka berlaku sebanding didalam melaksanakan hukum qishash.26

Hukum qishash terhadap kejahatan pembunuhan merupakan ketentuan hukum yang tak dapat ditawar lagi menurut agama Yahudi yang tersebut dalam kitab keluaran sembilan belas. Dan hukum diyat juga tidak bisa dirubah lagi menurut agama Nasrani. Sedang bangsa Arab kuno menghukum pembunuhan ini tergantung dari kuat atau lemahnya kabilah. Terkadang mereka lebih memilih sepuluh orang sebagai pengganti seorang yang dibunuh, meminta seorang laki-laki sebagai pengganti wanita yang dibunuh, atau meminta seorang merdeka dari hamba yang dibunuh. Jika permintaan salah satu kabilah ini ditolak, maka akan terjadi pertempuran yang dahsyat antara kedua belah kabilah. Jelas, masalah ini merupakan sebuah kedzaliman yang melampaui batas, dan merupakan kekerasan yang sangat menyedihkan,

25 Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: CV. Toha Putera

26 Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, Semarang, CV. Toha Putra,

(11)

bahkan mereka tidak hanya melakukan pembunuhan terhadap pelakunya saja.27

Tetapi, terkadang jika pelaksanaan hukum qishash itu dilaksanakan akan sangat membahayakan, dan membiarkan tidak dilaksanakannya hukum

qishash adalah lebih baik. Misalnya, seorang membunuh saudaranya dalam keadaan kalap melakukannya. Sedang pelakunya adalah orang yang menanggung pihak terbunuh dalam hal penghidupan. Jika dilaksanakan hukum qishash kepadanya, tentu ahlul bait akan kehilangan orang yang mencarikan nafkah untuk penghidupan mereka. Dengan demikian pelaksanaan qishash terhadap pembunuh tersebut akan timbul kerusakan (mafsadah) bagi mereka sendiri. Dan jika pelaku pembunuh adalah orang lain yang bukan dari lingkungan keluarga sendiri, sebaiknya ahli waris tidak usah menuntut hukum qishash demi menolak bahaya dan mendapat diyat. Dalam kasus seperti ini, ahli waris dibolehkan memilih antara memberi maaf dengan mengambil diyat, atau memberi maaf sama sekali tanpa diyat.28

Terlepas dari kontroversi, pada dasarnya dalam pelaksanaan hukum

qishash ini akan tecipta suatu kehidupan yang tenang. Dengan sendirinya masyarakat akan terpelihara dari berbagai penganiayaan dan permusuhan dari anggota masyarakat. Hal ini karena siapapun yang mengetahui bahwa pelaku pembunuhan juga akan mendapatkan hukuman dengan dibunuh, maka ia tak akan berani melakukan pembunuhan. Dengan demikian jiwa masyarakat akan terpelihara, dan orang yang akan melakukan pembunuhan pun akan terpelihara dari hukum qishash karena tidak jadi melakukan pembunuhan.

(12)

Disamping itu, jika yang diberlakukannya hanya hukum diyat, maka tak segan-segan orang melakukan pembunuhan terhadap orang lain. Hal ini karena ada sebagian orang orang yang mampu mengeluarkan harta benda sebanyak itu, demi untuk melenyapkan saingannya.29

Jika ditarik dalam konteks kekinian, persoalan hukum Islam kaitannya dengan tindak pidana pembunuhan tentu akan terlihat berbenturan dengan konsep Hak Asasi Manusia (HAM) yang menjadi semangat perkembangan hukum pidana di dunia saat ini. Namun terlepas dari itu semua perlu adanya penggalian lebih dalam lagi untuk membuktikan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin dengan tidak melihat Syari’at Islam sebagai suatu konsep baku yang kaku dan anti perubahan, akan tetapi melihat syari’at sebagai nilai-nilai ideal yang akan terus hidup sepanjang masa yang didalamnya terdapat semangat keadilan restoratif.

Oleh karena itu, dari latar belakang yang telah diuraikan diatas, penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan ini untuk dijadikan kajian peeniltian dengan judul “Tinjauan Hukum Islam terhadap Tindak Pidana Pembunuhan dengan Pendekatan Keadilan Restoratif”

B. Rumusan Masalah

Untuk membuat permasalahan menjadi lebih spesifik dan sesuai dengan titik tekan kajian, maka harus ada rumusan masalah yang benar-benar fokus. Ini dimaksudkan agar pembahasan dalam karya tulis ini, tidak melebar dari apa yang dikehendakai. Berangkat dari deskripsi diatas, ada beberapa rumusan masalah yang penulis jadikan kajian dalam penelitian ini adalah;

(13)

1. Bagaimana tinjauan hukum islam terhadap tindak pidana pembunuhan dengan pendekatan keadilan restoratif?

2. Bagaimana relevansi tinjauan hukum islam terhadap tindak pidana pembunuhan dengan pendekatan keadilan restoratif

3. Bagaimana prospek penyelesaian perkara pidana dengan pendekatan keadilan restoratif dalam sistem peradilan pidana?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penulisan karya ini sebenarnya untuk menjawab apa yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah diatas. Diantara beberapa tujuan dari penelitian ini adalah

1. Mengungkapkan tinjauan hukum islam yang terkait dengan tindak pidana pembunuhan.

2. Selain itu penulisan karya ini juga bertujuan untuk mengaitkan konsep hukum islam tentang tindak pidana pembunuhan dengan prinsip-prinsip keadilan restoratif. Dan untuk memagari pembahasan, penulis akan melihat keadilan restoratif sebagai konsep yang bersifat filosofis yang secara substansial sudah ada dan dipraktekkan masyarakat adat diberbagai belahan dunia. Dari sini maka penulis mencoba menjawab relevansi tinjauan hukm islam terhadap tindak pidana pembunuhan dengan pendekatan keadilan restoratif.

3. Penulis juga bertujuan untuk melihat prospek penyelesaian perkara pidana dengan pendekatan keadilan restoratif dalam sistem peradilan pidana.

D. Telaah Pustaka

(14)

Indonesia dengan judul Ensiklopedi Hukum Pidana islam. Dalam karyanya ini, Abdul Qadir Audah menerangkan berbagai persoalan hukum pidana islam yang didalamnya dibahas juga secara panjang lebar terkait tindak pidana pembunuhan (Qishash-Diyat) beserta prinsip-prinsip yang mendasarinya.

Selain karya Abdil Qadir Audah, untuk mengarahkan penulisan skripsi agar sesui dengan tujuan penelitian, maka penulis menggunakan karya Eva Achjani Zulfa yang berjudul Keadilan Restoratif. Dalam karyanya ini memuat teori-teori keadilan restoratif yang diawali dengan difinisi keadilan restoratif, prinsip-prinsip dasar keadilan restoratif, serta penggunaan keadilan retoratif dalam sistem peradilan pidana diberbagai negara. Disini dapat dilihat bagaimana kegagalan sistem peradilan pidana untuk menciptakan keadilan yang mampu memulihkan kondisi sosial dan memberikan ruang kepada masyarakat untuk masuk secara aktif menyelesaikan perkara pidana yang terjadi dalam masyarakat. Sehingga hukum dapat dimaknai sebagaimana mestinya, yakni hukum yang membahagiakan semua pihak.

Disamping menelaah pendapat para fuqaha dan ahli hukum dalam penulisan ini, penulis juga menelaah skripsi yang berkaitan dengan keadilan restoratif dan tindak pidana pembunuhan dalam hukum islam, diantaranya:

(15)

melalui upaya restoratif ini dapat diakomodir oleh hakim sebagai dasar peringanan pidana atau dasar penghapusan pidana.

2. Qishash dan Upaya Pencapaian Maslahah dalam Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 178 karya Imron mahasiswa Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang lulus tahun 2006. Dalam Skripsi ini dijelaskan bahwa qishash merupakan suatu sistem pemidanaan sebagai bentuk adopsi hukum islam atas masyarakat arab pra islam. Ketentuan qishash ini mengedepankan prinsip kesimbangan sebagai upaya untuk merekayasa keadaan sosial (sosial engineering), sehingga tidak terjadi pertumpahan darah yang melampaui batas sebagaimana yang telah dipraktekkan pada zaman sebelum islam.

Pembahasan mengenai tinjauan hukum islam terhadap tindak pidana pembunuhan sudah pernah dibahas sebelumnya oleh beberapa mahasiswa Fakultas Syari’ah, baik melalui kajian kitab maupun kajian hukum pidana islam. Akan tetapi pembahasan mengenai tinjauan hukum islam terhadap tindak pidana pembunuhan dengan pendekatan keadilan restoratif belum pernah disinggung sebelumnya oleh mahasiswa Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo.

E. Metodologi Penelitian

1. Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma kualitatif,30 karenanya metode pengumpulan data dilakukan dengan

30 Adalah penelitian yang bersifat atau memilki karakteristik, bahwa datanya dinyatakan

(16)

menggunakan metode pengumpulan data library research31 yang

mengandalkan atau memakai sumber karya tulis kepustakaan. Metode ini penulis gunakan dengan jalan membaca, menelaah buku-buku dan artikel yang berkaitan dengan penelitian ini.

2. Sumber Data

Kerena penelitian ini merupakan studi terhadap karya dari seorang tokoh, maka data-data yang dipergunakan lebih merupakan data pustaka. Ada dua macam data yang dipergunakan, yakni data primer dan data skunder.

1. Data primer yang dimaksud merupakan karya yang langsung diperoleh dari tangan pertama yang terkait dengan tema penelitian. Jadi data primer ini merupakan karya dari Abdul Qadir Audah yang berjudul At-Tasyri’ al-Jin’i al-Islamiy Muqaranan bil Qanunil Wad’iy yang diterjamahkan dalam Bahasa Indonesia dengan judul Ensiklopedi Hukum Pidana islam. Selain itu penulis juga menggunakan karya dari Eva Achzani Zulfa yang bejudul Keadilan Restoratif yang akan dipergunakan sebagai bahan rujukan dalam penelitian ini.

2. Data sekunder adalah data-data yang relevan yang terkait dengan tujuan penelitian. Artinya data ini berasal dari buku atau kitab yang relevan sehingga dapat mendukung dan melengkapi penulisan skripsi ini.

3. Metode Analisis Data

Analisa data yang dilakukan dalam penelitian ini pada dasarnya merupakan proses pengorganisasian dan mengurutkan data kedalam kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan pola, tema yang dapat dirumuskan sebagai hipotesa kerja. Jadi yang pertama kali

(17)

dilakukan dalam analisa dat ini adalah pengorganisasian data dalam bentuk mengatur, mengurutkan ,mengelompokkan, memberi kode dan mengkategorikannya. Tujuan pengorganisasian dan pengolahan data tersebut untuk menemukan tema dan hipotesa kerja yang akhirnya diangkat menjadi teori.32

Berdasarkan data yang diperoleh untuk menyusun dan menganalisa data-data yang terkumpul dipakai meetode deskriptif-analitik. Metode deskriptif-Analitik ini akan penulis gunakan untuk melakukan pemaparan dan analisa terhadap tinjauan hukum islam terhadap tindak pidana pembunuhan dengan pendekatan keadilan restoratif.

Kerja dari metode Deskriptif-Analitik ini yaitu dengan cara menganalisis data yang diteliti dengan memaparkan data-data tersebut kemudian diperoleh kesimpulan.33 Untuk mempertajam analisis, metode

content analysis (analisis isi) juga penulis gunakan. Content analysis

(analisis isi) digunakan melalui proses mengkaji data yang teliti. Dari hasil analisis isi ini diharapkan akan mempunyai sumbangan teoritik.34 4. Sedangkan teknis penulisan dalam skripsi ini adalah mengacu kepada

buku pedoman penulisan skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang.

F. Sistematika Penulisan

32 Ibid

33 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineke Cipta,

1992, hal.210.

34 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996,

(18)

Sebagai jalan untuk memahami persoalan yang dikemukakan secara runut atau sistematis. Bab Pertama berisi Pendahuluan yang memuat: latar belakang, rumusan maslah, manfaat dan tujuan penelitian, telaah pustaka, metodologi penilitian, dan sistematika penulisan.

Bab Kedua membahas seputar tinjauan umum tentang tindak pidana pembunuhan, meliputi: definisi pembunuhan menurut KUHP dan Hukum Islam, klasifikasi pembunuhan menurut KUHP dan Hukum Islam, dan sanksi pidana menurut KUHP dan Hukum Islam.

Pada Bab Ketiga mengkaji konsep keadilan retoratif yang meliputi: Pengertian keadilan restoratif, prinsip-prinsip dasar keadilan restoratif, dan kedudukan keadilan restoratif.

Bab Keempat berisi tentang Analisis tinjauan hukum islam terhadap tindak pidana pembunuhan dengan pendekatan keadilan restoratif yang meliputi: Analisis tinjauan hukum islam terhadap tindak pidana pembunuhan dengan pendekatan keadilan restoratif, relevansi tinjauan hukum islam terhadap tindak pidana pembunuhan dengan pendekatan keadilan restoratif, dan prospek penyelesaian perkara pidana dengan pendekatan keadilan restoratif dalam sistem peradilan pidana.

Bab Kelima merupakan akhir dari pembahasan skripsi ini yang meliputi: Kesimpulan, Saran-saran, dan Penutup.

BAB II

(19)

A. PEMBUNUHAN MENURUT KUHP

1. Definisi Tindak Pidana Pembunuhan Menurut KUHP

Tindak pidana adalah salah satu istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda dengan “Strafbaar feit”, yang sebenarnya merupakan istilah resmi dalam Strafwetboek atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang sekarang berlaku di Indonesia.

Menururt Wirjono Prodjodikoro tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.35 Sedangkan Soerdjono Soekanto dan Purnadi Purwacakara, tindak pidana diartikan sebagai sikap tindak pidana atau prilaku manusia yang masuk kedalam ruang lingkup tingkah laku perumusan kaidah hukum pidana, yang melanggar hukum dan didasarkan kesalahan.36.

Dari pengertian tindak pidana diatas, dapat diketahui unsur-unsur tindak pidana yaitu:

1) Adanya perbuatan atau tingkah laku;

2) Perbuatan tersebut dilarang atau melawan hokum;

3) Kesalahan (yang dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggung jawabkan);

4) Diancam dengan pidana atau hukuman pidana

35 Wirjono Projodikoro, Asas-asa Hukum di Indonesia, Bandung : PT.Eresco, __, hal 55 36 Soerdjono Soekanto dan Purnadi Purwacaraka, Sendi-Sendi dan Hukum Indonesia, ,

(20)

Sehingga dapat disimpulkan tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang yang melawan hukum dan diancam dengan hukuman pidana.

Tindak pidana pembunuhan dalam kitab undang-undang Hukum Pidana (KUHP) termasuk ke dalam kejahatan terhadap nyawa. Kejahatan terhadap nyawa (misdrjn tegen het leven) adalah berupa penyerangan terhadap nyawa orang lain.37 Pembunuhan sendiri berasal dari kata bunuh yang berarti mematikan, menghilangkan nyawa. Membunuh artinya

membuat agar mati. Pembunuhan artinya orang atau alat hal membunuh. Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai pembunuhan adalah perbuatan oleh siapa saja yang dengan sengaja merampas nyawa orang lain.38

Untuk memahami arti pembunuhan ini dapat dilihat pada paal 338 KUHP yang berbunyi :

“Barang siapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang,

karena pembunuhan biasa, dipidana dengan pidana penjara

selama-lamanya lima belas tahun.”

Dari pasal tersebut dapat dipahami bahwa:

1. Pembunuhan merupakan perbuatan yang mengakibatkan kematian orang lain;

2. Pembunuhan itu sengaja, artinya diniatkan untuk membunuh;

37 Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nywa, , Jakarta : Raja Grafindo

Persada hal 55

(21)

3. Pembunuhan itu dilakukan dengan segera sesudah timbul maksud untuk membunuh.39

2. Kalsifikasi Tindak Pidana Pembuuhan Menurut KUHP

Dalam kitab undang-undang Hukum Pidana (KUHP) diatur pada buku II title XIX (paal 338-350), tentang “kejahatan-kejahatan terhadap nyawa orang”. Pembunuhan adalah termasuk tindak pidana material

(material delict), artinya untuk kesempurnaan tindak pidana ini tidak cukup dengan dilakukannya perbuatan itu, akan tetapi menjadi syarat juga adanya akibat dari perbuatan itu.

Pada dasarnya pembunuhan itu terbagi dalam dua bagian, yaitu dilihat dari kesalahan pelaku (subjective element) dan sasaran (objective element).

Jika didasarkan pada kesalahan pelakunya, maka diperinci atas dua golongan, yakni:

1) Kejahatan yang ditujukan terhadap jiwa manusia yang dilakukan dengan sengaja (dolense misdrijven). Terdapat pada Bab XIX pasal 338-350 KUHP;

2) Kejahatan yang ditujukan terhadap jiwa manusia yang terjadi karena kealpaan (culpose misdrijven). Terdapat pada pasal 359 KUHP.40

Sedangkan jika didasarkan kepada sasaranya, dibedakan kepada tiga macam:

39 R. Soesilo, KUHP Serta Komentar-Komentar Lengkap Pasal Demi Pasal, Bandung:

PT. Karya Nusantara, 1989, hal 207

40 M.Amin Suma, dkk, Hukum Pidana Islam di Indonesia Peluang Prospek dan

(22)

1) Kejahatan yang ditujukan terhadap jiwa manusia pada umumya; 2) Kejahatan yang ditujukan terhadap jiwa seseorang anak yang sedang

atau belum lama dilahirkan;

3) Kejahatan yang ditujukan terhadap jiwa seseorang anak yang masih dalam kandungan.41

Dibawah ini akan dijelaskan kejahatan terhadap nyawa manusia yang dilakukan dengan sengaja dan yang dilakukan dengan kealpaan.

Pembunuhan sengaja adalah perbuatan yang mengakibatkan kematian orang lain, kematian itu dikehendaki oleh pelaku. Dalam KUHP pembunuhan yang dilakukan dengan senagaja, dikelompokkan ke dalam beberapa jenis, yakni :

a) Pembunuhan biasa;

b) Pembunuhan terkwalifikasi; c) Pembunuhan yang direncanakan; d) Pembunahan anak;

e) Pembunuhan atas permintaan si korban; f) Membunuh diri;

g) Menggugurkan kandungan (abortus).42

Dibawah ini akan dijelaskan ketujuh macam pembunuhan tersebut.

a) Pembunuhan biasa

Pembuhuhan biasa ini terdapat dalam pasal 338 KUHP, yang berbunyi:

“Barang siapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang

lain dipidana karena pembunuhan dengan pidana paling

lama lima belas tahun”43

41 Ibid, hal 144

42 M. Sudrajat Bassar, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di dalam KUHP, __, Bandung :

Remaja karya, 1986, hal 121

(23)

Istilah “orang lain” dalam pasal 338 itu, maksudnya adalah bukan dirinya sendiri, jadi terhadap siapa pembunuhan itu dilakukan tidak menjadi soal, meskipun pembunuhan itu dilakukan terhadap bapak, ibu atau anak sendiri.

Dalam pembunuhan biasa (doodslag), harus dipenuhi unsur :

1. Bahwa perbuatan itu harus disengaja dan kesengajaan itu harus timbul seketika itu juga, ditunjukan kepada maksud supaya orang itu mati.

2. Melenyapkan nyawa orang itu harus merupakan perbuatan yang “positif” atau sempurna walaupun dengan perbuatan yang kecil sekalipun.

3. Perbuatan itu harus menyebabkan matinya orang, seketika itu juga atau beberapa saat setelah dilakukannya perbuatan itu.44

b) Pembunuhan terkwalifikasi

Maksud dari pembunhan ini adalah pembunhan yang diikuti, disertai, atau didahului dengan perbuatan lain. Sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal 339 yaitu:

“Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahuli oleh

suatu delik, yang dilakukan dengn maksud untuk

mempersiapkan atau mempermudah pelaksanaannya,

atau untuk melepaskan diri sendiri maupun peserta

lainnya dari pidana dalam hal tertangkap tangan,

ataupun untuk memastikan penguasaan barang yang

(24)

diperolehnya secara melawan hukum, diancam pidana

dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu

tertentu, paling lama dua puluh tahun”.45

Apabila rumusan diatas dirinci, maka terdiri beberapa unsur sebagai berikut:

1. Semua unsur pembunuhan dalam pasal 338;

2. Yang diikuti, disertai, atau didahului oleh tindak pidan lain; 3. Pembunuhan yang dilakukan dengan maksud:

a. Untuk mempersiapkan tindak pidana

b. Untuk mempermudah pelaksanaan tindak piudana lain dan jika tertangkap tangan bertujuan untuk menghidarkan diri sendiri ataupun orang lain yang ikut terlibat atau untuk memastikan penguasaan benda yang didapatkanya dengan cara melawan hukum.

c) Pembunuhan yang direncanakan (moord)

Pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja dan direncanakan terlebih dahulu dalam keadaan tenang untuk melenyapkan nyawa orang atau lebih dikenal dengan pembunuhan berencana. Pembunuhan ini diatur dalam pasal 340 KUHP dengan ancaman hukuman yang paling berat, yaitu hukuman mati atau pidana penjara seumur hidup.

Unsur-unsur dari pembunuhan jenis ini adalah:

(25)

1. Adanya kesengajaan, yaitu kesengajan yang disertai perencanaan terlebih dahulu;

2. Yang bersalah dalam keadaan tenang memikirkan untuk melakukan pembunuhan itu dan kemudian melakukan maksudnya dan tidak menjadi soal berapa lama waktunya; 3. Diantara saat timbulnya pikiran untuk membunuh dan saat

melakukan pembunuhan itu, ada waktu ketenangan pikiran.46

d) Pembunuhan anak (kinderdoodslag)

Dalam pembunuhna jenis ini yang terkena pasal adalah seorang Ibu, baik kawin mauapun tidak, yang dengan sengaja membunuh anaknya pada waktu dilahairkan atau beberapa lama setelah dilahairkan. Pembunuhan ini dirumuskan dalam pasal 341 dan 342.47

Untuk pembunuhan dalam 341 diancam dengan hukuman selama-lamanya tujuh tahun pnjara. Pasal 342 memuat perbuatan yang eujudnya sama dengan yang dimuat dalam pasal 341 dengan perbedaan bahwa dalam pasal 342 perbuatannya dilakukan untuk menjalankan kehendak yang ditentukan sebelum anak dilahairkan. Tindak pidana ini diancam dengan maksimum hukuman Sembilan tahun penjara.

e) Pembunuhan atas permintaan si korban

Pembunuhan ini dirumuskan dalam pasal 344:

“Barang siapa yang merampas jiwa orang lain atas

permintaan yang sangat tegas dan sungguh-sungguh,

(26)

diancam dengan pidana penjara paling lama dua

belas tahun.”

Dari bunyi pasal diatas diketahui bahwa pembunuhan ini mempunyai unsure: atas permintaan yang tegas dari si korban dan sungguh-sungguh nyata

f) Masalah bunuh diri

Pada dasarnya tidak ada permasalahan dalam bunuh diri karena tidak ada pelaku secara langsung didalamnya. Hanya saja disini akan diancam hukuman bagi orang yang sengaja menghasut atau menolong orang lain untuk bunuh diri, yaitu akan dikenakan pasal 354 KUHP yang akan diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Dengan syarat membunuh diri itu harus benar-benar terjadi dilakukanya, artinya orangnya sampai mati karena bunuh diri tersebut.

g) Menggugurkan kandungan (abortus)

Dilihat dari subjek hukumnya maka pembunuhan jenis ini dapat dibedakan menjadi :

1. Pembunuhan yang dilakukan oleh perempuan hamil itu sendiri (pasal 346) dengan ancama hukumanya adalah pidana penjara paling lama empat tahun;

2. Pembunuhan yang dilakukan oleh orang lain atas persetujuannya (pasal 347) atau tidak atas persetujuannya (pasal 348);

3. Pembunuhan yang dilakukan oleh orang lain yang mempunyai kualitas tertentu seperti dokter, bidan dan juru obat atas persetujuan ataupun tidak.

3. Sanksi Tindak Pidana Pembunuhan Menurut KUHP

(27)

menetapkan jenis-jenis pidana atau hukuman yang termaktub dalam pasal 10 KUHP yang terbagi dalam dua bagian, yaitu hukuman pokok dan hukuman tambahan.

1. Hukuman pokok terdiri atas empat macam, yaitu:48 a. Hukuman mati

Hukuman jenis ini yang terberat dari semua pidana yang diancamkan terhadap berbagai kejahatan yang sangat berat, misalnya pembunuhan berencana (pasal 340 KUHP)

b. Hukuman penjara

Hukuman ini membatasi kemerdekaan atau kebebasan seseorang. Hukuman penjara ditujukan kepada penjahat yang melakukan perbuatan buruk dan nafsu jahat. Hukuman penjara minimun satu hari dan maksimum seumur hidup.

Hukum penjara diancam pada berbagai kejahatan, diantaranya adalah pembunuhan biasa (pasal 338 KUHP), pembunuhan terkualifikasi (pasal 339 KUHP), pembunuhan anak (pasal 341 dan 342 KUHP), pembunuhan atas permintaan korban (pasal 344 KUHP), dan menggugurkan kandungan (pasal 346, 347, 348, dan 349 KUHP).

c. Hukuman kurungan

Hukuman kurungan lebih ringan aripada hukuman penjara karena hukuman ini diancam terhadap pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan sebab kelalaian. Pelaksanaan hukuman kurungan paling sedikit satu hari dan paling lama satu tahun.

Kejahatan yang dapat diancam dengan hukuman kurungan diantaranya; pasal 490 KUHP tentang izin memelihara binatang

(28)

buruan, pasal 492 KUHP tentang mabuk di muka umum, dan lain-lain yang berkaitan dengan pelanggaran keamanan umum. d. Denda

Hukuman denda selain diancamkan pada pelaku pelanggaran juga diancamkan terhadap kejahatan yang adakalanya sebagai alternatif atau komulatif jumlah yang dikenakan pada hukuman denda ditentukan dengan nilai minimum 25 sen sedang jumlah maksimum tidak ada ketentuan. 2. Hukuman tambahan terdiri dari tiga jenis;49

a. Pencabutan hak-hak tertentu

Hal ini diatur pada pasal 35 KUHP, yaitu pencabutan hak si bersalah berdasarkan putusan hakim dalam hal yang ditentukan undang-undang. Hak tersebut bisa saja jabatan atau kekuasaan, seperti mencabut haknya sebagai pegawai negeri sipil atau PNS; b. Perampasan barang tertentu

Karena putusan suatu perkara mengenai diri terpidana, maka barang yang dirampas itu adalah barang hasil kejahatan atau barang milik terpidana yang digunakan untuk melaksanakan kejahatannya;

c. Pengumuman putusan hakim

Hukuman ini dimaksudkan untuk mengumumkan kepada khalayak ramai agar dengan demikian masyarakat umum lebih berhati-hati terhadap si terhukum. Biasanya ditentukan oleh hakim dalam surat kabar yang semuanya atas biaya si terhukum. Di dalam KUHP, tindak pidana pembunuhan merupakan suatu bentuk kejahatan yang serius. Hal ini dapat dilihat dari ancaman hukuman bentuk tindak pidana pembunuhan dibawah ini:

(29)

1. Pembunuhan sengaja, dalam bentuk umum atau pokok diatur dalam pasal 338 KHUP:

“Barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam

karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima

belas tahun”.

2. Pembunuhan berencana, diatur dalam pasal 340 KUHP:

“Barang siapa dan dengan rencana lebih dahulu merampas

nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan dengan rencana

(moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup

atau selamawaktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”;

3. Pembunuhan tidak dengan sengaja. Diatur dalam pasal 359 KUHP:

“Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang

lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun

atau kurungan paling lama satu tahun”.

B. PEMBUNUHAN MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM

1. Definisi Tindak Pidana Pembunuhan Prespektif Hukum Islam Tindak pidana dalam hukum Islam dikenal dengan Jinayah dan meunurut ahli fikh perkataan Jinayah berarti perbuatan-perbuatan yang terlarang menururt syara’ yang diancam dengan hukuman hudud50 dan

qishas51.

Menururt Abdul Qodir Audah, Jinayah adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh syara’, baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta, atau lainnya52

50 Hudud jamak dari hadd, arti aslinya batas antara dua hal. menurut bahasa bisa juga

cegahan. sedangkan menurut syari'at yang dimaksud ialah hukuman yang telah ditetapkan dalam al qur'an sebagai hak Allah.

51 H. A Djazuli, Fiqh Jinayah Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam, ,Jakarta:

Grafindo Persada, 2000, hal 2

52 Abdul Al-Qadir Audah, AL-Tasyri’ Al-islami Juz I, Beirut: Muassasah al-Risalah 1992,

(30)

Istilah yang mempunyai makna yang sepadan dengan Jinayah

adalah Jarimah.53 Akan tetapi kebanyakan para ulama’ menggunakan istilah jarimah dalam menjelaskan perbuatan yang dilarang dan diancam hukuman atasnya. Selain itu, ulama’ juga bersepakat pembunuhan termasuk dalam kategori dosa besar karena pembunuhan berarti tindakan yang membuat orang lain kehilangan nyawanya.

Dalam bahasa Arab, pembunuhan disebut لتقلا berasal dari kata

لتق yang sinonimnya تامأ yang artinya mematikan.

Sedang mengenai pengertian dari pembunuhan itu sendiri, Abdul Qadir Al-Audah mendefinisikan sebagai berikut :

ىىمدأ لعفب ىىمدأى حور قاهزإ هب لوزت دابعلا لعف وه لتقلا رخأ

Artinya: “Pembunuhan adalah perbuatan manusia yang menghilangkan kehidupan yakni pembunuhan itu adalah menghilangkan nyawa manusia dengan sebab perbuatan manusia yang lain.”54

Wahbah zuhaili memberikan pengertian pembunuhan dengan mengutip pendapat Syarbini khatib sebagai berikut:

لتاقلا ىأ قهزملا لعف وه لتقلا سفنلل

Artinya: “Pembunuhan adalah perbuatan yang menghilangkan atau mencabut nyawa seseorang”.55

Dari definisi diatas dapat diambil beberapa kesimpulan bahwa unsur-unsur dalam tindak pidana pembunuhan dalam Hukum Islam adalah:

a) Menghilangkan nyawa manusia;

53 Jarimah diartikan sebagai perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh menurut syara dan

ditentukan hukumannya oleh Tuhan, baik dalam bentuk sanksi-sanksi yang sudah jelas ketentuannya (had) maupun sanksi-sanksi yang belum jelas ketentuannya oleh Tuhan (ta'zir).

54 Abdul Al-Qadir Audah, op. Cit, hal 217

55 Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-islami wa Adillatuhu, juz VI, Damaskus: Dar Al-kitab

(31)

b) Adanya perbuatan, baik perbuatan itu aktif maupun pasif. Maksud dari prbuatan aktif adalah adanya perbuatan atau tingkah laku yang dilakukan sehingga mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang, misalnya menusuk seseorang dengan pisau. Maksud dari perbuatan pasif adalah tidak adanya perbuatan atau tingkah laku yang dilakukan tetapi karena tidak berbuat itu mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang;

c) Dilakukan oleh orang lain, karena jika dilakukan oleh diri sendiri dinamakan bunuh diri meskipun dilarang oleh syara’ tetapi tidak ada ancaman hukuman di dalamnya, dikarenakan pelaku sudah tiada. 2. Klasifikasi Tindak Pidana Pembunuhan dalam Hukum Islam

Tindak pidana pembunuhan dalam Hukum islam secara garis besar dibagi dalam dua bagian sebagai berikut:

1) pembunuhan yang dilarang, yaitu pembunuhan yang dilakukan dengan melawan hukum;

2) pembunuhan dengan hak, yaitu pembunuhan yang dilakukan dengan tidak melawan hukum, seperti membunuh orang murtad atau pembunuhan oleh seorang algojo yang diberi tugas melaksanakan hukuman mati.56

Pembunuhan yang dilarang terbagi kepada beberapa bagian, menururt Abdul Qodir Audah jika pembagian tersebut dilihat dari maksud kehendak si pelaku melakukan pembunuhan, maka dalam ini para fuqoha’ berbeda pendapat. Menururt Imam Malik pembunuhan dilihat dari segi kehendak si pelaku terbagi kepada dua bagian, yaitu:

a. Pembunuhan sengaja;

b. pembunuhan karena kesalahan atau57

(32)

Sedang Jumhur fuqoha’ (ulama’ hanafiyah, syafi’iyah, dan hanabillah) membagi pembunuhan menjadi tiga macam jika dilihat dari segi kehendak si pelaku, yaitu:

1) Pembunuhan sengaja;

2) Pembunuhan menyerupai sengaja; 3) Pembunuhan karena kesalahan.

inilah pendapat yang masyhur di kalangan ulama’ yakni membagi pembunuhan menjadi tiga macam. Meskipun sebenarnya masih ada pendapat lain yang membagi pembunuhan kepada empat dan lima bagian, namun pembagian tersebut hanyalah pengembangan dari pembagian yang dikemukakan oleh jumhur Ulama’. Oleh karena itu dalam pembahasan selanjutnya penulis akan mengikuti pendapat jumhur Ulama’ dan di bawah ini akan dijelaskan ketiga macam tersebut.

1) Pembunuhan sengaja

(33)

itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan”.

Pembunuhan sengaja mempunyai beberapa unsur sebagai berikut:

1. Korban adalah orang yang hidup, artinya adalah bahwa korban itu manusia yang hidup ketika terjadi pembunuhan walaupun dia sedang sakit parah. Menururt Wardi Muslich dalam bukunya “Hukum Pidana Islam”, selain syarat bahwa korban itu hidup juga ditambahkan bahwa korban adalah orang yang mendapatkan jaminan keselamatan oleh negara artinya korban merupakan seorang warga negara yang dilindungi;

2. Perbuatan pelaku yang mengakibatkan kematian korban, artinya perbuatan yang dilakukan oleh pelaku yang menyebabkan kematian. Hubungan antara kematian dan perbuatan seseorang ini juga harus jelas menerangkan bahwa akibat dari perbuatan seseorang tersebut adalah kematian bagi orang lain begitu juga sebaliknya dan jika dikaitkan diantaranya terputus maka pelaku dianggap tidak sengaja membunuh dan menyebabkan penjatuhan hukuman yang berbeda. Selain itu juga berhubungan dengan alat yang digunakan. Yang dimaksud alat yang digunakan adalah alat yang pada umumnya dapat mematikan. Sedangakan menurut Imam Malik, setiap cara atau alat yang mengakibatkan kematian dianggap sebagai pembunuhan jika dilakukan dengan sengaja.58

(34)

3. Ada niat dari pelaku untuk menghilangkan nyawa korban. Menurut para ulama’ niat memegang peranan penting dalam pembunuhan yang disengaja, namun karena itu sesuatu yang tidak bisa dilihat maka dapat diperkirakan niat si pelaku melalui alat yang digunakan.

2) Pembunuhan menyerupai (semi) sengaja

Pembunuhan menyerupai (semi) sengaja adalah perbuatan penganiayaan terhadap seseorang tidak dengan maksud membunuhnya tetapi malah mengakibatkan kematian. Dari definisi ini pembunuhan menyerupai sengaja memiliki dua unsur, yaitu unsur kesengajaan dan unsur kekeliruan. Unsur kesengajaan terlihat dalam kehendak pelaku berupa penganiayaan terhadap korban. Sedang unsur kekeliruan terlihat dalam ketiadaan niat pelaku untuk menghilangkan nyawa korban.

Pembunuhan menyerupai sengaja memang perbuatanya dilakukan dengan sengaja, tetapi tidak ada niat dalam diri pelaku untuk membunuh korban. Sebagai bukti tentang tidak adanya niat membunuh tersebut dapat dilihat dari alat yang digunakan. Apabila alat tersebut pada umumnya tidak mematikan, seperti tongkat, ranting kayu, batu kerikil, atau sapu lidi maka pembunuhan yang terjadi termasuk pembunuhan menyerupai sengaja. Akan tetapi jika alat yang digunakan untuk membunuh pada umumnya mematikan, seperti senjata api, senjata tajam, atau racun maka pembunuhan tersebut temasuk pembunuhan sengaja.59

(35)

Ada tiga unsur dalam bentuk tindak pidana pembunuhan menyerupai sengaja ini adalah:

1. Pelaku melakukan sesuatu dalam bentuk apa pun yang mengakibatkan kematian korban;

2. Ada maksud penganiayaan dan permusuhan, artinya perbuatan pelaku yang dilakukan kepada korban memang disengaja dan tidak mungkin tanpa sebab. Sebab itu bisa saja karena dendam atau permusuhan. Tindakan pelaku itu dilakukan hanya menganiaya saja tidak untuk sampai membunuh, inilah yang menjadi pembeda antara pembunuhan sengaja dengan pembunuhan semi sengaja, yaitu niat untuk membunuh;

3. Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan pelaku dengan kematian si korban, yaitu penganiayaan yang dilakukan si pelaku telah menyebabkan kematian korban secara langsung atau merupakan sebab yang membawa kematiannya.

3) Pembunuhan Karena Kesalahan

Pengertian Pembunuhan karena kesalahan adalah pembunuhan yang disebabkan salah dalam perbuatan60, salah dalam maksud61, kelalaian.62. Wahbah Zuhaili memberikan definisi

61 Seseorang melakukan perbuatan dengan niat maksud membunuh seseorang yang dalam

perasangkaannya boleh dibunuh, namun ternyata tidak boleh dibunuh. Misalnya sengaja menembak seseorang yang disangka musuh dalam peperangan tapi ternyata kawan sendiri.

62 Pelaku tidak bermaksud melakukan kejahatan akan tetapi karena kelalaiannya

(36)

hukum, baik dalam perbuatannya maupun objeknya”.63

Pembunuhan ini dikatakan kesalahan, karena sesorang melakukan perbuatan yang tidak dilarang namun mengakibatkan sesuatu yang dilarang disebabkan kelalaiannya atau kekurang hati-hati dalam mengendalikan perbuatan itu. Untuk itu pembunuhan ini juga harus dipertanggung jawabkan dan pertanggung jawabanya ini dibebankan karena kelalaian dan kekurang hati-hati tindakan tersebut.

Kekeliruan dalam pembunuhan itu ada dua macam,64 yaitu: a) Pembunuhan karena keliruan semata;

b) Pembunuhan karena disamakan dengan kekeliruan.

Pembunuhan karena kekeliruan semata didefinisikan oleh Abdul Qodir audah sebagai suatu pembunuhan dimana pelaku sengaja melakukan suatu perbuatan, tetapi tidak ada maksud untuk mengenai orang . melainkan terjadi kekeliruan, baik dalam perbuatan maupun dalam dugaanya.65

Kekeliruan yang pertama, pelaku sadar dalam melakukan perbuatannya, tetapi tidak ada niat mencelakai orang atau korban. Sedang dalam kekeliruan yang kedua, pelaku sama sekali tidak menyadari perbuatanya dan tidak ada niat untuk mencelakai tetapi karena kelalaian dan kekurang hati-hatiannya, perbuatanya mengakibatkan hilang nyawa seseorang.

Unsur-unsur yang terdapat dalam pembunuhan karena kesalahan adalah:

1. Adanya perbuatan yang mengakibatkan kematian;

(37)

2. Terjadinya perbuatan karena kesalahan atau kelalaian pelaku; 3. Antara perbuatan kekeliruan dan kematian korban terdapat

hubungan sebab akibat.

3. Sanksi tindak pidana pembunuhan dalam Hukum Pidana Islam Sanksi dari tindak pidana pembunuhan di dalam hukum pidana islam ada beberapa jenis. Secara garis besarnya adalah hukuman itu sendiri terdiri ari hukuman pokok, hukuman pengganti dan hukuman tambahan. Hukuman pokok dalam tindak pidanan pembunuhan adalah

qishash. Apabila dimaafkan oleh keluarga korban, maka hukuman pengganatinya adalah diyat dan jika sanksi qishash atau diyat itu dimaafkan pula maka akan ada hukuman ta’zir dan hukuman tambahan yang dimaksud adalah seperti pencabutan hak waris.

Hukuman yang dijatuhkan untuk masing-masing jenis berdsarkan firman Allah swt pada Q.S Al-Baqarah ayat 178-179:

       Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas

(38)

hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih. dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa”.

Apabila qishash tidak dilaksanakan baik karena tidak memenuhi syarat-syarat pelaksanaanya maupun mendapatkan maaf dari keluarga korban maka hukuman penggantinya adalah dengan membayar diyat berupa 100 (seratus) ekor unta kepada keluarga korban. Hal ini sesuai dengan hadist Nabi Muhammad saw kepada penduduk yaman : seorang yang mukmin tanpa alasan yang sah dan ada saksi, ia harus diqishas kecuali apabila keluarga korban merelakan (memaafkan) dan sesungguhnya dalam menghilangkan nyawa harus membayar diyat berupa seratus ekor unta”. (H.R Abu Daud, Al-Nasa’i, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan Ahmad).

Walaupun sudah ada hukuman pengganti yang berbentuk

diyat namun dalam pelaksanaanya diserahkan kembali kepada keluarga korban, apakah akan menuntut hukuman diyat itu atau tidak namun pelaku akan tetap dikenai hukuman tambahan atau kifarat

yang merupakan hak dari Allah.

(39)

wajib menggantinya dengan puasa dua bulan berturut-turut dan hukuman kedua dari kifarat ini adalah kehilangan hak mewarisi yang dibunuhnya. Sesuai hadist Nabi :

Hukuman pokoknya adalah diyat mughalladzah artinya diyat

yang diperberat. Dasar dari hukuman diyat mughalladzah ini adalah:

 pembayaran. Pada pembunuhan senagaja diyat dibebankan kepada pelaku sendiri dan pembayarannya tunai sedangkan pada pembunuhan semi sengaja, diyat dibebankan kepda keluarga pelaku atau aqilah dan pembayaran dapat diangsur selama tiga tahun.

Hukuman kifarat terhadap pembunuhan semi sengaja adalah memerdekakan hamba sahaya dan dapat diganti dengan berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Jika hukuman diyat gugur karena adanya pengampunan maka pelaku akan dikenakan hukuman ta’zir

yang diserahkan kepada hakim yang berwenang ssuai dengan perbuatan si pelaku. Hukuman tambahan pada pembunuhan semi sengaja sama dengan hukuman tambahan pada pembunuhan sengaja, yaitu tidak mewarisi dari orang yang telah dibunuhnya.

(40)

Hukuman pokok yang dijatuhkan adalah diyat dan kaffarat,

diyat ini oleh Imam Syafi’i digolongkan dalam diyat mukhaffafah, yaitu diyat yang diperingan. Keringanan tersebut dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu :

a. Kewajiban pembayaran dibebankan kepada aqilah (keluarga); b. Pembayaran dapat diangsur selama tiga tahun;

c. Komposisi diyat dibagi menjadi lima kelompok : 1. 20 ekor anak sapi betina, berusia 1-2 tahun 2. 20 ekor sapi betina yang sudah besar 3. 20 ekor sapi jantan yang sudah besar

4. 20 ekor unta yang masih kecil, berusia 3-4 tahun 5. 20 ekor unta yang sudah bear, berusia 4-5 tahun

Sedangkan hukuman penggantinya adalah puasa. Mmenurut

fuqoha tidak ada ta’zir dalam pembunuhan tersalah, hal ini dikarenakan dua hukuman pokok, yaitu diyat dan kafarat serta hukuman-hukuman tambahan dianggap cukup. Artinya didalam hukum islam tidak ada larangan untuk menentukan hukuman ta’zir

ketika hukuman diyat diampuni. Hal ini jika dinilai ada kebaikan untuk bersama.66

66 Abdul Qodir audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Bogor: PT.Kharisma Ilmu,

(41)

BAB III

KEADILAN RESTORATIF A. PENGERTIAN

(42)

ini berkembang dan banyak mempengaruhi kebijakan hukum dan praktik di

berbagai negara.67 Berikut akan dipaparkan beberapa pengertian keadilan restoratif.

Keadilan restoratif adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitik beratkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini.68

Restorative justice is a process that aims to put things right for the

people who have been victims of offences. It does this through a meeting

between the victim and the offender called a restorative justice

conference.69 (Keadilan Restoratif adalah sebuah proses yang bertujuan

untuk memberikan hak-hak kepada korban kejahatan. Untuk mencapai tujuan tersebut diadakan pertemuan antara korban dengan pelaku).

Restorative justice is a system or practice which emphasized the

healing of wounds suffered by victims, offenders, and communities that

are caused or revealed by offending conduct.70 Definisi ini mengartikan keadilan restoratif sebagai sebuah sistem yang menekankan pemulihan bukan hanya kepada korban, tetapi juga kepada pelaku dan masyarakat terkait.

Menurut Tony Marshall, restorative justice is a process whereby parties with a stake in a specific offence collectively resolve how to deal with

67 Eva Achjani Zulfa. Keadilan Restoratif, Jakarta:Badan Penerbit FH UI, 2009, hal 2

68Ibid, hal.3

69 h tt p :/ / ww w . ii rp.or g /a r ticle _d etail .p h p ? a r ticle _ i d= ND I y,ditelusur pada tanggal 12

November 2011

70Restorative Justice in New Zealand: A Model For U.S. Criminal Justice, Wellington:

(43)

the aftermath of the offence and its implications for the future.71 Di sini Marshall mengartikan keadilan restoratif sebagai sebuah proses dimana semua pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran tertentu bertemu bersama untuk menyelesaikan secara bersama bagaimana menyelesaikan akibat dari pelanggaran tersebut demi kepentingan masa depan.

PBB mendefinisikan keadilan restoratif sebagai a way of responding to criminal behaviour by balancing the needs of the community, the victims

and the offenders,72 yang terjemahan bebasnya adalah sebuah penyelesaian

terhadap perilaku pidana dengan cara menyelaraskan kembali harmonisasi antara masyarakat, korban, dan pelaku.

Berdasarkan definisi-definisi di atas, penulis berusaha mendefinisikan keadilan restoratif sebagai sebuah konsep pencapaian keadilan yang menekankan pada pemulihan atas kerusakan yang timbul akibat terjadinya suatu tindak pidana, dengan melibatkan korban, pelaku, masyarakat terkait serta pihak-pihak yang berkepentingan. Yang dimaksud dengan pemulihan di sini bukan hanya kepada diri korban, tetapi juga diri pelaku dan masyarakat yang turut merasakan akibat kejahatan.

Konsep keadilan restoratif memiliki perbedaan mendasar dengan konsep keadilan retributif yang menjiwai sistem peradilan pidana di mayoritas negara. Keadilan retributif memandang bahwa pemidanaan adalah akibat nyata/mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada pelaku tindak pidana.73 Fokus perhatian keadilan retributif yaitu kepada pelaku melalui pemberian derita, dan kepada masyarakat melalui

71Ibid, hal.6

72Handbook on Restorative Justice Programme, New York: United Nations, 2006, hal 6

(44)

pemberian perlindungan dari kejahatan. Dengan demikian, jika keadilan restoratif menekankan pada pemulihan serta memberikan fokus perhatian kepada korban, pelaku, dan masyarakat terkait, keadilan retributif menekankan pada pembalasan serta memberikan focus perhatian hanya kepada pelaku dan masyarakat luas.

B. PRINSIP DASAR

Upaya restoratif adalah upaya yang menggunakan konsep keadilan restoratif dan menghasilkan tujuan dari konsep tersebut yaitu kesepakatan antara para pihak yang terlibat. Kesepakatan ini merupakan kesepakatan para pihak yang didasarkan pada upaya pemenuhan kebutuhan korban dan masyarakat atas kerugian yang timbul dari tindak pidana yang terjadi. Kesepakatan tersebut juga dapat diartikan sebagai suatu upaya memicu proses reintegrasi antara korban dan pelaku, sehingga kesepakatan tersebut dapat berbentuk sejumlah program seperti reparasi (perbaikan), restitusi ataupun community service.74

PBB mengemukakan beberapa prinsip yang mendasari program keadilan restoratif yaitu:75

1. That the response to crime should repair as much as possible the harm suffered by the victim;

Penanganan terhadap tindak pidana harus semaksimal mungkin membawa pemulihan bagi korban. Prinsip ini merupakan salah satu tujuan utama manakala pendekatan keadilan restoratif dipakai sebagai

74 Ibid, hal.15

(45)

pola pikir yang mendasari suatu upaya penanganan tindak pidana. Penyelesaian dengan pendekatan keadilan restoratif membuka akses bagi korban untuk menjadis alah satu pihak yang menentukan penyelesaian akhir dari tindak pidana karena korban adalah pihak yang paling dirugikan dan yang paling menderita. Oleh karenanya pada tiap tahapan penyelesaian yang dilakukan harus tergambar bahwa proses yang terjadi merupakan respon positif bagi korban yang diarahkan pada adanya upaya perbaikan atau penggantian kerugian atas kerugian yang dirasakan korban.76

2. That offenders should be brought to understand that their behaviour is

not acceptable and that it had some real consequences for the victim

and community;

Pendekatan keadilan restoratif dapat dilakukan hanya jika pelaku menyadari dan mengakui kesalahanya. Dalam proses restoratif, diharapkan pelaku juga semakin memahami kesalahannya tersebut serta akibatnya bagi korban dan masyarakat. Kesadaran ini dapat membawa pelaku untuk bersedia bertanggungjawab secara sukarela. Makna kerelaan harus diartikan bahwa pelaku mampu melakukan introspeksi diri atas apa yang telah dilakukannya dan mampu melakukan evaluasi diri sehingga muncul akan kesadaran untuk menilai perbuatannya dengan pandangan yang benar. Suatu proses penyelesaian perkara pidana diharapkan merupakan suatu program yang dalam setiap tahapannya merupakan suatu proses yang dapat membawa pelaku

(46)

dalam suatu suasana yang dapat membangkitkan ruang kesadaran untuk pelaku mau melakukan evaluasi diri. Dalam hal ini pelaku dapat digiring untuk menyadari bahwa tindak pidana yang dilakukannya adalah suatu yang tidak dapat diterima dalam masyarakat, bahwa tindakan itu merugikan korban dan pelaku sehingga konsekuensi pertanggungjawaban yang dibebankan pada pelaku dianggap sebagai suatu yang memang seharusnya diterima dan dijalani.77

3. That offenders can and should accept responsibility for their action; Dalam hal pelaku menyadari kesalahannya, pelaku dituntut untuk rela bertanggungjawab atas “kerusakkan” yang timbul akibat tindak pidana yang dilakukannya tersebut. Ini merupakan tujuan lain yang ditetapkan dalam pendekatan keadilan restoratif. Tanpa adanya kesadaran atas kesalahan yang dibuat, maka mustahil dapat membawa pelaku secara sukarela bertanggung jawab atas tindak pidana yang telah dilakukannya.78

4. That victims should have an opportunity to express their needs and to

participate in determining the best way for the offender to make

reparation.

Prinsip ini terkait dengan prinsip pertama, dimana proses penanganan perkara pidana dengan pendekatan keadilan restoratif membuka akses kepada korban untuk berpartisipasi secara langsung terhadap proses penyelesaian tindak pidana yang terjadi. Partisipasi korban bukan hanya dalam rangka menyampaikan tuntutan atas ganti kerugian, karena sesungguhnya korban juga memiliki posisi penting

77Ibid, hal 16

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan ketiga alat tangkap yaitu bubu, arad, dan gillnet dapat dilihat dalam aktivitas nelayan sehari- hari banyak dan luasnya area penangkapan rajungan di perairan

Sintasan udang vanamei antar perlakuan tidak menunjukkan perbedaan nyata, karena persentase pemberian pakan sebesar 10% dari bobot biomassa perhari adalah ukuran

Tabloid dilandasi semangat sensasional (disebut juga jurnalisme got), karena pemberitaannya yang sensasional, transparan, mengerahkan narasumber, dan menggemparkan

(Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama) Badan Ekonomi Kreatif Tahun 2016 dan menyetujui yang bersangkutan untuk mengikuti kegiatan seleksi dimaksud. Meterai

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada lima yang terkait dalam hal ini yaitu (1)Implementasi kebijakan peraturan pemerintah nomor 68 tahun 2002 tentang ketahanan pangan

Hasil dari pengorganisasian bisa dilihat melalui perubahan yang telah terjadi pada masyarakat Dusun Balekambang diantaranya: masyarakat mulai memahami dan menerapkan

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 9 ayat (3) menyebutkan Urusan Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan

Hasil penelitian menunjukkan (1) lingkungan pengendalian atas siklus pendapatan pada Departemen Food & Beverage di Nusa Dua Beach Hotel & Spa berkategori baik,