• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMETAAN DISTRIBUSI BIOMASSA HUTAN DAN K

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PEMETAAN DISTRIBUSI BIOMASSA HUTAN DAN K"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Pemetaan Distribusi Biomassa Hutan dan Kaitannya dengan Suhu dan

Intensitas Cahaya Melalui Pendekatan Sistem Informasi Geografi

The Mapping of Forest Biomass Distribution and Its Relation with Air Temperature and

Light Intensity through Geographical Information System Approach

Gun Mardiatmoko

Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertania n, Universitas Pattimura Kampus Poka, Jln. Ir. M. Putuhena, Ambon

E-mail: gum_mardi@yahoo.com

Abstract

Information on vegetation distribution and contents of biomass in sequestering carbon is very important in relation to support Clean Development Mechanism (CDM) and Reducing Emissions from Deforestation and forest Degradation (REDD) project through carbon trade, and other purposes. A research to study forest biomass distribution by using Geographical Information System (GIS) has been conducted at forest area of Faculty of Agriculture, Pattimura University, Ambon. The aim of this research was to know distribution of vegetation, forest biomass, air temperature, light intensity, and to arrange the database of vegetation and its biomass contents, air temperature and light intensity through GIS approach. The database can be used to support CDM or REDD project and efficiency of energy consumption for building with surrounding vegetation area. The result showed that biomass distribution at the forest area 0.85 ha can be classified at three classes i.e. high biomass 0.39 ha (46%), middle biomass 0.31 ha (37%), and low biomass 0.15 ha (17%). By using GIS, this forest biomass distribution has been presented on the map of biomass distribution including map of vegetation, air temperature, light intensity distribution and its non spatial data.

Key words: biomass distribution, carbon stock, allometric equation, spatial analysis

Abstrak

Informasi mengenai distribusi vegetasi dan kandungan biomassa dalam penyerapan karbon sangat penting dalam mendukung proyek Clean Development Mechanism (CDM), Reducing Emissions from Deforestation and forest Degradation (REDD) melalui perdagangan karbon dan tujuan lainnya. Studi mengenai distribusi biomassa hutan dengan Sistem Informasi Geografi (SIG) telah dilaksanakan pada areal hutan Fakultas Pertanian, Universitas Pattimura Ambon. Tujuan penelitian adalah mengetahui distribusi vegetasi, biomassa hutan, suhu udara, dan intensitas cahaya matahari serta menyusun pangkalan data vegetasi hutan berikut kandungan biomassanya serta suhu udara dan intensitas cahaya matahari melalui pendekatan SIG. Tesedianya pangkalan data dimaksud akan bermanfaat dalam mendukung proyek CDM atau REDD dan efisiensi penggunaan energi berbagai gedung yang dikelilingi dengan vegetasi. Hasil studi menunjukkan bahwa distribusi biomassa pada areal hutan seluas 0,85 ha telah berhasil diklasifikasikan kedalam 3 (tiga) kelas yaitu sebaran biomasa tinggi 0,39 ha (46%), sedang 0,31 ha (37%), dan rendah 0,15 ha (17%). Melalui penggunaan SIG, distribusi biomassa hutan tersebut telah dapat disajikan dalam peta distribusi biomassa, termasuk peta distribusi vegetasi, suhu udara, intensitas penyinaran matahari dan data non spasialnya.

Kata kunci: distribusi biomassa, kandungan karbon, persamaan allometrik, analisis spasial

Diterima: 4 Juli 2011, disetujui: 19 Desember 2011

Pendahuluan

Hutan di berbagai belahan dunia telah mengalami kerusakan dan menimbulkan banyak

(2)

naiknya suhu udara. Peningkatan suhu udara tersebut telah menyebabkan mencairnya es di kutub yang mengakibatkan meningkatnya tinggi permukaan laut sehingga menjadi ancaman serius bagi bangunan hotel, infrastruktur transportasi, dan areal permukiman yang berada di tepi pantai, teristimewa penduduk yang tinggal di pesisir pantai pada pulau-pulau kecil. Suhu yang tinggi juga memicu meningkatnya hama dan penyakit yang mengancam kelestarian

tanaman pertanian, perkebunan, hewan ternak, dll.

Luas hutan pada umumnya semakin berkurang karena banyaknya lahan hutan yang beralih fungsi menjadi permukiman, pertanian, dan perkebunan, pemekaran wilayah perkotaan serta peruntukan lainnya di luar bidang kehutanan. Rencana tata ruang perkotaan yang semula mengalokasikan ruang terbuka hijau secara cukup namun pada akhirnya menjadi berkurang karena dijadikan pusat-pusat pengembangan bisnis baik pengembangan perkantoran, pusat perbelanjaan dll. Semakin berkurangnya vegetasi baik di kawasan hutan maupun non hutan akan terus memicu terjadinya pemanasan global sehingga perlu dicarikan solusinya.

Beberapa solusi yang telah dilakukan diantaranya adalah upaya pengelolaan bencana berupa tindakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang dikaitkan dengan perdagangan karbon (carbon trading) yaitu melalui program Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism-CDM) dan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (Reducing Emissions from Deforestation and forest Degradation-REDD). Menurut Tandelilin (2004), negara yang tidak memiliki lahan memadai untuk konservasi sumberdaya alam dalam rangka mereduksi GRK (gas rumah kaca) akan cenderung mengalami carbon debit (CD) yang berarti menghasilkan GRK lebih besar dari reduksi GRK sehingga jika tidak mampu menetralisir karbon sesuai kesepakatan Protokol Kyoto akan terkena sanksi. Sebaliknya, akan terdapat beberapa negara yang mampu mereduksi GRK lebih besar dari GRK yang dihasilkan sehingga akan cenderung mengalami carbon credit (CC). Mekanisme dalam Protokol Kyoto mengakomodasi kesulitan negara-negara

industri yang mengalami CD dan kelebihan negara-negara yang menghasilkan CC melalui perdagangan kabon.

Dalam Protokol Kyoto para pihak melaporkan emisi dari sumber dan penyerapan CO2 dan gas lainnya oleh kegiatan LULUCF

(Land Use, Land Use Change of Forestry) yaitu aforestasi (A), reforestasi (R) dan deforestasi (D) yang terjadi sejak tahun 1990. Berdasarkan Pedoman Praktik yang baik dari IPCC-NGGIP (2003) untuk LULUCF yang terkait dengan pengukuran biomassa yaitu diperlukannya penggunaan citra satelit dalam mengkaji penutupan lahan untuk memperoleh pendugaan total area, persentase kelas penutupan lahan atau batas geografis. Dalam upaya untuk mengukur, memantau dan menduga perubahan stok karbon dan emisi gas non-CO2 dibutuhkan penyusunan baseline,

stratifikasi wilayah proyek dan penyusunan rencana pemantauan, termasuk jaminan kualitas dan rencana kendali mutu. Rangkaian kegiatan tersebut akan dapat dijalankan dengan baik menggunakan SIG karena sistem ini mampu mengintegrasikan data dari berbagai sumber, misalnya untuk mengidentifikasi dan menstratifikasi wilayah proyek kedalam beberapa wilayah yang memiliki kesamaan, perubahan biomassa dari tahun ke tahun dapat diikuti melalui pembuatan peta digital sehingga memudahkan dalam pemutakhiran peta perubahan stok karbon dll.

(3)

pembangunan kota (Anonim, 2010). Teknologi yang digunakan untuk mewujudkan green city adalah penerapan teknologi taman atap modern (roof garden atau green roof). Sistem taman atap ini berisikan atap bangunan yang melibatkan sistem pembentukan kedap air yang tinggi dan penolakan penerobosan akar ke bagian atap, sistem drainase, lapisan penyaring, media tumbuh yang ringan serta vegetasi yang ditanam di atas atap (Anonim, 2009). Taman atap modern ini tidak saja mempercantik rumah atau bangunan perkantoran tetapi juga memberikan nuansa hijau dan menyehatkan lingkungan di sekelilingnya (Rodgers, 2010).

Dari uraian di atas maka berbagai upaya untuk penurunan suhu udara di bumi perlu diusahakan dengan melakukan penambahan atau penanaman vegetasi baru yang sebanyak-banyaknya baik pada kawasan hutan maupun non hutan teristimewa wilayah perkotaan. Berdasarkan kenyataan yang empiris (empirical data), dalam kehidupan sehari-hari telah dirasakan oleh manusia bahwa berjalan ataupun melakukan kegiatan di hutan akan merasa lebih sejuk, nyaman karena suhu lebih rendah, mata tidak silau karena cahaya matahari terhalang oleh rimbunnya tajuk pohon penyusun hutan dan dalam nuansa hijau jika dibandingkan dengan beraktivitas pada daerah tak bervegetasi. Dari kenyataan empiris tersebut maka proses menghutankan kembali kawasan hutan dan non hutan ini perlu dilengkapi dengan pemantauan dan evaluasi melalui kajian ilmiah yaitu penelitian mengenai pemetaan distribusi biomassa dan kaitannya dengan suhu udara dan intensitas cahaya matahari melalui pendekatan Sistem Informasi Geografi (SIG). Sistem ini merupakan sistem yang menekankan pada unsur “informasi geografis”, yang merupakan bagian dari spasial atau keruangan. Istilah “informasi geografis” mengandung pengertian informasi mengenai tempat-tempat yang terletak di permukaan bumi, pengetahuan mengenai letak obyek di permukaan bumi, dan informasi mengenai keterangan-keterangan (atribut) yang terdapat di permukaan bumi yang posisinya diberikan atau diketahui (Prahasta, 2001).

Penelitian ini bertujuan mengetahui distribusi vegetasi, biomassa hutan, suhu udara, dan intensitas cahaya matahari serta menyusun pangkalan data vegetasi hutan berikut

kandungan biomassanya serta suhu udara dan intensitas cahaya matahari melalui pendekatan SIG. Pangkalan data tersebut dimanfaatkan untuk mendukung program CDM atau REDD dan efisiensi penggunaan energi berbagai gedung yang dikelilingi dengan vegetasi.

Metode Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada areal hutan Fakultas Pertanian Unpatti, Ambon seluas 0,85 ha yang terletak di sekeliling gedung fakultas dengan metode survei. Obyek penelitian adalah semua vegetasi hutan dengan bahan serta alat yang dipakai yaitu label pohon, cat, tally sheet, kantong plastik, meter rol, GPS, thermo-hygrometer, light meter, phi band, kompas, timbangan digital, oven, sekop/cangkul/tropol/ parang/arit, saringan, tali, cawan petrik, mangkok, ember, gayung, serta perangkat personal computer dan perangkat lunaknya (analisis SIG menggunakan Software ArcView-ArcInfo) serta penggunaan meja digitizer untuk pemetaan vegetasi, biomassa, suhu udara, dan intensitas cahaya.

Tahapan cara kerja yang dilaksanakan yaitu melakukan orientasi lapangan dan memetakan lokasi areal hutan Fakultas Pertanian Unpatti. Melaksanakan timber cruising 100% semua vegetasi dari tingkat pertumbuhan semai, sapihan, tiang, dan pohon menggunakan jalur-jalur transek 20 x 20 m termasuk pencatatan posisi vegetasinya dengan GPS. Data distribusi vegetasi yang diperoleh kemudian dibuat peta titik (point map) dengan meja digitizer dan dilanjutkan penaksiran kandungan biomassanya. Biomassa vegetasi tingkat sapihan, tiang, pohon, dan juga pohon mati ditaksir dengan persamaan alometrik dengan peubah diameter setinggi dada. Tata cara penaksiran biomassa rumput, semak belukar, semai,dan seresah mengikuti pedoman LULUCF (IPCC-NGGIP, 2003) yaitu dengan cara dipanen atau pemotongan vegetasi melalui penggunaan ring sampel (bentuk lingkaran, luas0,5m2) sekaligus mendigitazikedudukannya

(4)

tempat pengukuran perubahan suhu dan intensitas penyinaran matahari secara sistematik dengan jarak 40 x 40 m merata keseluruh areal hutan dan pengukuran dilakukan setiap hari pada jam 09.00, 12.00, dan 15.00. Kedudukan semua tempat pengukuran tersebut dipetakan dan dari hasil pengukuran diolah melalui pengoperasian SIG sehingga diperoleh peta distribusi perubahan suhu dan peta intensitas penyinaran matahari. Analisis data yang dilaksanakan sesuai kondisi hutan di areal studi yaitu hutan tropika basah menggunakan persamaan alometrik untuk menduga biomasa pohon bagian atas tanah: Y = 21,297 - 6,593 * (DBH) + 0,740 * (DBH)2,

(IPCC-NGGIP, 2003). Pengukuran nekromassa (bagian tanaman mati) pada permukaan tanah dilakukan dengan pengambilan contoh nekromassa yang berdiameter 5 30 cm yang tedapat pada areal studi. Pada umumnya berat jenis kayu mati itu sekitar 0,4 g/cm3, namun dapat juga bervariasi tergantung pada kondisi pelapukannya. Semakin lanjut tingkat pelapukan kayu, maka berat jenisnya semakin rendah (Adinugroho, 2006). Persamaan rata-rata (mean) untuk menghitung data hasil pengambilan ring sampel serasah, biomassa pohon, tiang, pancang, semai, rumput dan semak belukar serta besaran suhu dan intensitas sinar matahari yaitu rata-rata hitung:

Melalui analisis data spasial pada SIG, peta-peta titik dari vegetasi, biomassa, suhu udara dan intensitas cahaya dapat diubah menjadi peta-peta raster melalui cara interpolasi titik Voronoi Tesselation menjadi peta distribusi vegetasi, biomassa, suhu udara dan intensitas cahaya (ILWIS, 2001)

Hasil dan Pembahasan

Hasil timber cruising pada areal hutan diperoleh jumlah vegetasi tingkat pohon: 95 batang dengan total luas bidang dasar 10,24 m2, tingkat tiang-sapihan: 16 batang dengan total luas bidang dasar 0,37m2 yang menyebar secara kelompok (kluster). Jenis vegetasinya yaitu Tectona grandis, Samanea saman, Theobroma

cacao, Pterocarpus indicus, Fillicium decipiens, Protium javanicum, Anthocephalus cadamba, Cassia siamea, Swietenia mahagoni, Adenanthera pavonina, Agathis alba, Eusideroxylon zwageri, Casuarina sp. dan Metroxylon sp. Sebaran luas bidang dasar tingkat pohon dan tiang-sapihan ini akan menentukan pula sebaran biomassanya karena semakin besar diameter atau luas bidang dasarnya akan memperbesar juga kandungan biomassa pada vegetasi tersebut.

Distribusi pohon yang berkelompok menandakan bahwa awal penanaman pohon di areal kampus mengikuti pola atau pengelompokan tertentu. Jenis rumput dan semak belukar yang mendominasi areal hutan yaitu Cyperus rotundus, Imperata 38ylindrical, Catharanthus roseus dan Acalypha australis, Eupatorium odorarium, Ficum septicum, Mimosa pudica. Melalui aplikasi SIG sebaran pohon yang telah diketahui posisi masing-masing dapat dipetakan dan setelah dikaitkan dengan tutupan tajuk dari citra satelit yang diperoleh dari Google Earth maka didapatkan peta distribusi vegetasi, seperti disajikan pada Gambar 1. Pada gambar tersebut, zona hijau tua menunjukkan kumpulan vegetasi tingkat semai, pancang, tiang, dan pohon sedang zona hijau muda menunjukkan rerumputan dan semak belukar sedang bidang beraturan disitu merupakan bangunan gedung fakulltas dengan kenampakan warna hitam.

(5)

di daerah terbuka lebih besar dibanding di bawah tegakan karena rumput merupakan jenis suka cahaya sehingga kepadatan rumput di daerah terbuka lebih besar dibanding di bawah tegakan hutan. Sebaliknya, seresah di bawah tegakan hutan lebih besar dibanding di daerah terbuka karena pohon dalam proses peluruhan daun, ranting, dan cabangnya saat jatuh ke tanah memiliki jangkauan yang terbatas dan lebih banyak terkumpul di bawah tajuk pohon. Melalui aplikasi SIG, distribusi vegetasi yang telah dihasilkan pada Gambar 1, dapat diubah menjadi distribusi biomassa karena data vegetasi yang semula berupa luas bidang dasar telah dikonversikan ke biomassa melalui

persamaan allometrik dan hasil pengukuran biomassa melalui ring sample. Distribusi biomassa ini kemudian diklasifikasikan kedalam tiga kelas potensi karbon yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Hasilnya adalah luas distribusi biomasa tinggi 0,39 ha (46%), sedang 0,31 ha (37%) dan rendah 0,15 ha (17%). Peta distribusi biomassa tersebut disajikan pada Gambar 2, warna hijau, putih dan kuning berturut-turut menunjukkan potensi karbon tinggi, sedang dan rendah. Bangunan gedung fakultas pada Gambar 2 sengaja tidak ditampilkan seperti yang disajikan pada Gambar 1 karena ingin memperjelas tampilan klasifikasi potensi karbonnya.

Gambar 1. Peta distribusi vegetasi di areal studi.

(6)

Cahaya merupakan faktor penting karena berperan dalam proses fotosintesis yang hasilnya dipakai untuk pertumbuhan vegetatif dan generatif suatu tumbuhan. Pada umumnya setiap jenis tanaman membutuhkan cahaya berbeda-beda. Di bidang kehutanan banyak jenis pohon saat muda tidak membutuhkan banyak cahaya atau perlu naungan namun setelah dewasa justru banyak membutuhkan cahaya. Dengan demikian, salah satu faktor yang membentuk struktur dan komposisi jenis vegetasi penyusun suatu hutan adalah cahaya. Menurut Marjenah (2001) yang mengadakan penelitian jenis Shorea pauciflora dan Shorea selanica mengemukakan bahwa pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman dipengaruhi oleh cahaya, pertumbuhan tinggi lebih cepat pada tempat ternaung daripada tempat terbuka. Sebaliknya, pertumbuhan diameter lebih cepat pada tempat terbuka daripada tempat ternaung sehingga tanaman yang ditanam pada tempat terbuka cendrung pendek dan kekar. Sudut percabangan tanaman lebih besar di tempat ternaung daripada tempat terbuka.

Hasil pengamatan intensitas penyinaran matahari dan suhu udara di areal hutan adalah intensitas penyinaran matahari pada tempat berhubungan erat dengan curah hujan dan hari hujan di tempat tersebut. Pada suatu tempat dalam satu bulan penuh hari hujan dan curah hujannya tinggi berarti udara selalu tertutup awan dan sinar matahari terhalang oleh awan sehingga intensitas penyinarannya lebih rendah. Secara umum, keadaan iklim pada lokasi penelitian pada dasarnya sama dengan iklim di kota Ambon yaitu iklim laut tropis dan iklim musim dengan data curah hujan rata-rata tahun 2006 dari Badan Meteorologi dan Geofisika yang berlokasi di desa Laha yaitu 199,9 mm/bulan dengan jumlah hari hujan 15,7 hari. Hasil pengamatan intensitas penyinaran matahari pada areal hutan adalah pengamatan pada pagi hari jam 09.00, siang hari jam 12.00 dan sore hari jam 15.00 rata-rata intensitas penyinaran matahari untuk daerah terbuka sangat berfluktuasi yaitu berturut-turut 439 lux, 522 lux dan 118 lux, untuk daerah sedikit naungan tidak begitu berfluktuasi dan cenderung menurun yaitu berturut-turut 192 lux, 124 lux, dan 52 lux. Daerah di bawah naungan juga relatif stabil yaitu berturut-turut

20 lux, 15 lux, dan 16 lux.Hal ini menunjukkan

bahwa semakin suatu daerah itu tertutup oleh vegetasi akan semakin kecil intensitas penyinaran karena banyak sinar matahari yang terhalang oleh tajuk hutan. Sebagai ilustrasi, disajikan distribusi intensitas cahaya pada jam 12.00 (Gambar 3). Distribusi intensitas cahaya rendah disajikan dengan warna yang lebih gelap seperti biru tua, biru muda, hijau, dan semakin tinggi intensitasnya disajikan dengan warna kuning ke merah. Dari distribusi intensitas cahaya tersebut secara umum mirip dengan distribusi vegetasi maupun kandungan biomassanya. Lokasi distribusi intensitas cahaya yang rendah berada pada lokasi vegetasi yang padat dan lokasi kandungan biomassa yang tinggi dan sebaliknya pada lokasi distribusi intensitas cahaya yang tinggi berada pada lokasi vegetasi yang jarang (rerumputan dan semak belukar).

Hasil pengamatan suhu pada areal hutan adalah pengamatan pada pagi hari jam 09.00, siang hari jam 12.00 dan sore hari jam 15.00 rata-rata suhu udara sangat berfluktuasi baik pada daerah terbuka, sedikit naungan maupun di bawah naungan. Rata-rata suhu udara untuk pagi, siang, dan sore hari. Hal ini menunjukkan bahwa vegetasi penyusun hutan sangat berperan dalam penurunan suhu udara yang didukung dengan adanya intensitas cahaya yang makin rendah pada areal hutan. Pada areal hutan secara keseluruhan, rata-rata suhu udara bergerak meningkat dari pagi hari dan mencapai puncaknya pada siang hari jam 12.00 dan setelah itu menurun lagi pada sore hari jam 15.00. Meskipun rata-rata suhu udara pada sore hari jam 15.00 tersebut menurun namun relatif masih lebih tinggi jika dibanding rata-rata suhu udara pada pagi hari jam 09.00. Sebagai ilustrasi, disajikan distribusi suhu udara pada jam 12.00 pada Gambar 4.

(7)

cahaya. Distribusi suhu udara rendah disajikan dengan warna yang lebih gelap seperti biru tua, biru muda, hijau dan semakin tinggi suhunya disajikan dengan warna kuning ke merah. Dari distribusi suhu tersebut secara umum mirip dengan distribusi vegetasi maupun kandungan biomassanya. Lokasi distribusi suhu yang rendah berada pada lokasi vegetasi yang padat dan lokasi kandungan biomassa yang tinggi dan sebaliknya pada lokasi distribusi suhu yang tinggi berada pada lokasi vegetasi yang jarang (rerumputan dan semak belukar). Pardede (2010) telah memetakan sebaran suhu dan hubungannya terhadap penutupan lahan (land cover) menggunakan data citra satelit Landsat TM 5 di kota Medan dan Kabupaten Deli Serdang. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa suhu permukaan >29,38oC memusat di kota Medan dan suhu permukaan <29,38oC menyebar di Kabupaten Deli Serdang. Jenis tutupan lahan yang sedikit vegetasi, yaitu lahan terbuka dan pemukiman memiliki suhu

permukaan paling tinggi yaitu 26,99–30,91oC. Korelasi Bivariat sebesar -0,522 menunjukkan adanya hubungan terbalik antara suhu permukaan dan NDVI, yang berarti semakin tinggi kerapatan vegetasi maka semakin rendah suhu permukaan di Kota Medan dan Kabupaten Deli Serdang. Berdasarkan distribusi suhu udara pada lokasi studi seperti ditunjukkan pada Gambar 4, tampak jelas bahwa semakin jauh dari pusat vegetasi sebaran suhu semakin tinggi dengan jangkauan yang berbeda-beda tergantung dari kepadatan vegetasi dan kandungan biomassanya. Hal ini sesuai dengan penelitian Tauhid (2008) bahwa keberadaan vegetasi memiliki efek dalam penurunan suhu udara, suhu udara tersebut lebih dingin pada titik pusat canopy (P) dibandingkan titik lainnya yaitu titik pada ujung canopy (U), areal dengan penutupan vegetasi 30% (V30) dan areal dengan penutupan vegetasi 10% (V10). Selanjutnya titik U lebih dingin dari titik V30, serta titik V30 lebih dingin dari titik V10.

Gambar 3. Distribusi intensitas cahaya matahari di areal studi.

(8)

Kajian jarak jangkau efek vegetasi pohon terhadap suhu udara pada siang hari di perkotaan disajikan dengan grafis saja melalui analisis statistik dan tidak menggunakan analisis spasial melalui aplikasi SIG sehingga kurang bisa diketahui daerah-daerah bervegetasi yang berperan dalam penurunan suhu. Berdasarkan hasil penelitian di areal hutan Fakutas Pertanian Unpatti yang berupa peta distribusi suhu udara seperti disajikan pada Gambar 4, maka distribusi suhu udara sebagai efek dari keberadaan vegetasi dan biomassanya dapat diketahui dengan pasti. Distribusi suhu udara dari pusat vegetasi ke arah luar ditunjukkan dengan degradasi suhu yang rendah menuju ke suhu yang tinggi secara gradual seperti kumpulan isoline pada garis-garis kontur peta topografi. Daerah yang warna kuning dan merah yang terletak dekat bangunan merupakan daerah bersuhu tinggi sehingga berpengaruh kedalam suhu ruangan di dalam gedung. Hal ini memicu penggunaan AC ruangan yang lebih dingin sehingga dibutuhkan konsumsi energi listrik yang lebih besar. Penggunaan energi listrik bisa lebih dihemat dengan penanaman berbagai vegetasi di sekitar gedung tersebut. Perencanaan penghijauan bagi gedung tersebut menjadi lebih mudah baik dalam pengalokasian jumlah vegetasi yang akan ditanam maupun penempatan lokasi penanamannya karena telah tersedia peta distribusi suhu udara.

Proses dalam menghasilkan peta-peta tematik tersebut didukung oleh data atribut yang cukup banyak mulai dari data hasil timber cruising semua vegetasi, biomassa, suhu udara, intensitas cahaya, dll. sehingga semuanya ini dapat difungsikan sebagai pangkalan data. Hal ini karena melalui aplikasi SIG dapat dilakukan pengintegrasian antara data spasial dan data atributnya. Ini sesuai pernyataan Prahasta (2001), SIG memiliki keunggulan dalam memvisualkan data spasial berikut atribut-atributnya. Modifikasi warna, bentuk, dan ukuran simbol yang diperlukan untuk mempresentasikan unsur-unsur permukaan bumi dapat dilakukan dengan mudah. Selain itu SIG dapat menurunkan data-data secara otomatis tanpa keharusan untuk melakukan interpretasi secara manual. Dengan demikian, SIG dengan mudah menghasilkan peta-peta

tematik yang merupakan turunan dari peta-peta yang lain dengan memanipulasi atribut-atributnya. Analisis spasial seperti itu pernah juga dilakukan oleh Roemantyo (2001) dalam penelitiannya tentang distribusi temu glenyeh (Curcuma soloensis Valeton) di Surakarta melalui penerapan metoda Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis-PCA).

(9)

tiap tahun tersebut diinput dan diolah kembali dan melalui aplikasi SIG akan mudah dapat menghasilkan peta-peta distribusi vegetasi, biomassa, suhu udara, dan intensitas cahaya tahunan yang merupakan turunan dari peta-peta yang telah dihasilkan pada penelitian ini.

Simpulan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil timber cruising pada areal hutan diperoleh jumlah vegetasi tingkat pohon 95 batang, total luas bidang dasar 10,24 m2; tingkat tiang-sapihan 16 batang, total luas bidang dasar 0,37 m2 yang menyebar secara kelompok (kluster) dan dipetakan menjadi peta distribusi vegetasi. Jumlah biomassa total vegetasi tingkat pohon 1.557 kg dan tingkat tiang sapihan 16 kg dan total biomassa kayu mati (BJ = 0,7) sebesar 287 kg. Rata-rata kandungan biomassa semak belukar per petak ukur yaitu 708,4 g/0,5 m2, rumput-rumputan di daerah terbuka 321,9 g/0,5 m2 dan di bawah tegakan hutan 207,6 g/0,5 m2, seresah di daerah terbuka 362,5 g/0,5 m2 dan di bawah tegakan hutan 688,5 g/0,5 m2.

Penyebaran biomassa mengikuti sebaran vegetasinya yaitu berkelompok (kluster) dan dipetakan menjadi peta distribusi biomassa. Lokasi distribusi intensitas cahaya matahari yang rendah berada pada lokasi vegetasi yang padat dan lokasi kandungan biomassa yang tinggi, sebaliknya lokasi distribusi intensitas cahaya yang tinggi berada pada lokasi vegetasi yang jarang (rerumputan dan semak belukar). Lokasi distribusi intensitas cahaya dipetakan menjadi peta distribusi intensitas cahaya matahari. Suhu udara berfluktuasi dari pagi, siang dan sore hari. Suhu udara pada daerah terbuka selalu lebih tinggi daripada daerah di bawah naungan.

Ucapan Terima Kasih

Terima kasih kepada J.W. Hatulesila dan J.J.Wattimury,stafpengajarFakultasPerikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura yang telah mendukung dan membantu proses analisis spasial dalam aplikasi SIG selama penelitian berlangsung.

Daftar Pustaka

Adinugroho, W.C. 2006. Teknik Estimasi Kadungan Karbon Hutan Sekunder Bekas Kebakaran 1997/1998. Inhutani I Unit Batuampar-Mentawir di Kabupaten Pasir dan Kutai

Anonim. 2010. Aplikasi Semen dalam Pembangunan Taman Atap (ROOFGARDEN) Sebagai

“Ruang Hijau Alternatif” di Kawasan

Perkotaan (Memahami Eksistensi Semen dalam Mendukung Pembangunan Kota yang Berkelanjutan.http://www.sementigaroda.com. Juni 2011.

ILWIS. 2001. The Integrated Land and Water Information System 3.0. User’s Guide 417. Ilwis Department, International Institute for Aerospace Survey and Earth Sciences Enschede, The Netherlands.ftp://ftp.itc.nl/pub /ilwis/ilwis30/pdf/chap11.pdf. Mei 2011.

IPCC-NGGIP. 2003. Intergovernmental Panel on Climate Change-National Greenhouse Gas Inventories Programme. Pedoman Praktik yang Baik dari IPCC untuk Penggunaan Lahan, Perubahan Penggunaan Lahan dan Hutan. Bab 4. Metode Tambahan dan Pedoman Praktik yang Baik untuk Protokol Kyoto. p.1

Marjenah. 2001. Pengaruh Perbedaan Naungan di Persemaian Terhadap Pertumbuhan dan Respon Morfologi Dua Jenis Semai Meranti. Jurnal Ilmiah Kehutanan Rimba Kalimantan. VI (2): 49 58.

Prahasta, E. 2001. Konsep-Konsep Dasar Sistem Informasi Geografi. Penerbit Informatika. Bandung.

Pardede, E.D. 2010. Pemetaan Sebaran Suhu Permukaan dan Hubungannya Terhadap Penutupan Lahan Menggunakan Data Citra Satelit Landsat TM 5 (Studi Kasus Kota Medan dan Kabupaten Deli Serdang). Skripsi. http://repository.usu. ac.id/handle/123456789/19612. Mei 2011.

Roemantyo. 2001. Analisis Spasial Terhadap Temu Glenyeh (Curcuma soloensis Valeton). Biota, VI (2): 65–66.

(10)

Tandelilin. 2004. Manajemen Sumberdaya Alam dan Relevansi Ekonomi dalam Era Carbon Trade. Prosiding Lokakarya Kurikulum Pendidikan Tinggi Menghadapi Pangsa Pasar dalam Era Carbon Trade. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. p. 3.

Gambar

Gambar 2 yang Gambar 1 karena ingin memperjelas tampilan
Gambar 3. Distribusi intensitas cahaya matahari di areal studi.

Referensi

Dokumen terkait

DAYA TERIMA BERAS ANALOG DARI TEPUNG UBI KAYU SEBAGAI PANGAN POKOK DI DESA TANJUNG BERINGIN.. KECAMATAN SUMBUL KABUPATEN DAIRI

Dalam tanaman ini terdapat senyawa bioaktif yang disebut fungi endofit, fungi yang hidup di dalam jaringan tanaman dan mampu menghasilkan metabolit yang sama atau mirip

Pengaruhperceived risk terhadap perilaku konsumen pada transaksi e-commerce mahasiswa yang ada di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Lampung menurut persepsi etika bisnis

dilihat dari data hasil matering selama 1 tahun di tahun 2015, dimana data yang dihasilkan dari data 1 bulan dari januari sampai desember 2015, untuk nilai temperatur

Kebutuhan system pencahayaan alami (matahari) dan buatan pada suatu ruangan harus di pertimbangkan karena berkaitan erat dengan kegiatan yang di

Pasal lain yang berkaitan dengan asas perlindungan anak sebagai pekerja adalah pasal 4, yang merumuskan bahwa untuk pekerjaan berbahaya harus diatur oleh peraturan atau undang-

1.3.1 Keselamatan pasien adalah suatu sistem dimana puskesmas membuat asuhan pasien lebih aman yang meliputi asesemen risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang