• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER DI INDONESIA"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER DI INDONESIA (Membaca Masa Depan Gerakan Islam di Indonesia)

Oleh: Drs. Lukman Hakim, MSI1

ABSTRAK

Pemikiran Islam kontemporer maksudnya adalah pemikiran Islam yang berkembang pada masa modern (abad 19 masehi) hingga sekarang. Ciri khas pemikirannya adalah bersifat agresif yang berkembang dengan metode pemikiran baru dalam menafsirkan Al-Qur‟an dan peradaban Islam. Pertanyaan yang menggugah para intelektual Islam adalah “di manakah

pemikiran Islam kontemporer?”

Pertanyaan itu wajar, karena secara sepintas seakan-akan pemikiran Islam kontemporer menghadapi krisis yang cukup akut, macetnya kreativitas dan tersumbatnya kebebasan berfikir. Wujud ekstrem dari itu semua adalah pengkafiran terhadap pemikiran liberal yang masih menjadi dekorasi yang menghiasi pemikiran Islam kontemporer, seperti kasus pengkafiran terhadap Nashr Hamîd Abû Zayd yang sekarang menetap di Belanda.

Sebagai upaya untuk mengembalikan suasana kebebasan berfikir, Muhammad Arkoun mengangkat tradisi keilmuan klasik Imam Ghazali dan Ibnu Rushd yang mencerminkan puncak kegemilangan dialog pemikiran yang konstruktif. Menurut Arkoun, pemikiran Islam kontemporer seakan-akan sudah jauh dari tradisi kedua kampiun Islam tersebut.

Akhir-akhir ini gema pemikiran Islam kontemporer semakin meluas. Namun secara umum gema tersebut masih dalam kerangka tarik-menarik dengan pemikiran klasik. Karena keterkaitan para intelektual Islam sangat kuat dengan masa keemasan para pendahulunya, mereka membuka lembaran masa lalu,2 untuk menggali inspirasi. Masa lalu adalah pemicu para intelektual

muslim kontemporer untuk melakukan reaktualisasi, rekonstruksi dan dekonstruksi. Murâd Wahbah menyatakan, bahwa Ibnu Rushd, filsuf muslim kelahiran Maroko adalah pintu gerbang pencerahan di Eropa. 3 Bahkan

sampai saat ini tidak ada karya secemerlang Ibnu Rushd dalam kategori komentar terhadap buku-buku Aristoteles, sehingga ia dijuluki dengan al-syârih al-„adham (komentator agung). Maka dari itu, di akhir abad 20-an para intelektual Islam, baik di wilayah Timur maupun wilayah Barat, mulai mengangkat khazanah rasionalitas Ibnu Rushd dalam rangka membumitanahkan pencerahan pemikiran Islam.

Kata Kunci: Pemikirdan, Islam, Kontemporer

A. Pendahuluan

Setiap pemikiran merupakan refleksi sekaligus embrio dari gerak sosio-kultural yang berguna untuk menjawab berbagai persoalan yang muncul. Di

1 Penulis adalah Dosen Sekolah Tinggi Hukum Galunggung (STHG) Tasikmalaya. 2

Di saat khazanah keilmuan dunia Islam pernah berkibar dan menguasai dunia.

(2)

sini, setiap pemikiran tidak selamanya absolut, tetapi mengalami evolusi dan pasang surut, sebagaimana ditengarai Ibnu Khaldun dalam mognum opus-nya Al-Muqadimah. Ibnu Khaldun menggambarkan pasang-surut peradaban Islam

dengan tinjauan sosiologis. Lebih jelasnya, pemikiran adalah produk eksperimentasi, pengalaman dan kolaborasi-dialektik yang dinamis dengan realitas.4 Demikian juga berbagai pemikiran yang berkembang di Indonesia.

Mengkaji peta pemikiran Islam kontemporer di Indonesia dibutuhkan beberapa perangkat metode untuk menyingkap akar persoalan (isykâliyah), sehingga mencapai sebuah kesimpulan yang mendekati kebenaran dan bersifat obyektif. Diharapkan, atas dasar tersebut, muncul teori-teori analisis untuk menyingkap pemikiran Islam di Indonesia dalam rangka merekonstruksi pemikiran Islam kontemporer di Indonesia.5 Yang mana

secara keseluruhan kajian ini berada dalam kerangka ijtihad yang tentu saja absah, karena masih dalam proses mencari dan membentuk, sehingga kilas-balik dan dialektika bertebaran, bahkan kadangkala masih rigid dan gamang.

Kendatipun demikian, makalah ini berusaha mengetengahkan tiga model cara dalam membedah pemikiran Islam kontemporer di Indonesia. Pertama, studi strukturalis, yaitu menelaah pemikiran secara menyeluruh dan

melakukan komparasi dengan pemikiran yang lain, sehingga menyingkap persoalan inti atau diupayakan mencari dimensi yang hilang (al-bu‟d a; -mafqûd). Kedua, analisis historis, yaitu mengurai sisi historitas pemikiran dalam kaitannya dengan struktur di atas, sehingga ditemukan kebenaran ilmiah dalam pemetaan. Ketiga, analisis ideologis, yaitu membaca aspek

4

Mahmûd Amîn al-„Alîm, Al-Fikr al-„Araby Bayn al-Nadzariyah wa al-Tathbîq, Jurnal

„A:am al-Fikr, Jilid 26, Edisi III dan IV, Kuwait, 1998, hal. 359.

5

(3)

ideologis yang terkandung dalam pemikiran serta merta meletakkannya pada era tertentu serta latar belakang politik dan ekonominya. 6

B. Akar Pemikiran Islam Kontemporer di Dunia Islam

Pemikiran Islam kontemporer maksudnya adalah pemikiran Islam yang berkembang pada masa modern (abad 19 masehi) hingga sekarang. Ciri khas pemikirannya adalah bersifat agresif yang berkembang dengan metodo pemikiran baru dalam menafsirkan Al-Qur‟an dan peradaban Islam. Muhammad Arkoun, pemikir muslim asal Aljazair yang menetap di Perancis, pernah melontarkan sebuah pertanyaan yang menggugah para intelektual

Islam, “di manakah pemikiran Islam kontemporer?” 7

Pertanyaan itu wajar, karena secara sepintas seakan-akan pemikiran Islam kontemporer menghadapi krisis yang cukup akut, macetnya kreativitas dan tersumbatnya kebebasan berfikir. Wujud ekstrem dari itu semua adalah pengkafiran terhadap pemikiran liberal yang masih menjadi dekorasi yang menghiasi pemikiran Islam kontemporer, seperti kasus pengkafiran terhadap Nashr Hamîd Abû Zayd yang sekarang menetap di Belanda. Sebagai upaya untuk mengembalikan suasana kebebasan berfikir, Muhammad Arkoun mengangkat tradisi keilmuan klasik Imam Ghazali dan Ibnu Rushd yang mencerminkan puncak kegemilangan dialog pemikiran yang konstruktif. Menurut Arkoun, pemikiran Islam kontemporer seakan-akan sudah jauh dari tradisi kedua kampiun Islam tersebut.

Akhir-akhir ini gema pemikiran Islam kontemporer semakin meluas. Namun secara umum gema tersebut masih dalam kerangka tarik-menarik dengan pemikiran klasik. Karena keterkaitan para intelektual Islam sangat kuat dengan masa keemasan para pendahulunya, mereka membuka lembaran masa lalu,8 untuk menggali inspirasi. Masa lalu adalah pemicu para

6Muhammad „Abid Al

-Jâbiry, Nahnu wa al-Turâts: Qirâat Mu‟âshirah fî Turâtsinâ al-Falsafy, (Bairut: Markaz al-Tsaqafy al-„Araby, 1990), hal. 24.

7Muhammad Arkoun, Aina huwa al-Fikr al-Islâmy al-Mu‟âshir, Cet. II, (Bairut: Dâr

el-Sâqy, 1996), hal. ii-viii.

(4)

intelektual muslim kontemporer untuk melakukan reaktualisasi, rekonstruksi dan dekonstruksi. Murâd Wahbah menyatakan, bahwa Ibnu Rushd, filsuf muslim kelahiran Maroko adalah pintu gerbang pencerahan di Eropa. 9

Bahkan sampai saat ini tidak ada karya secemerlang Ibnu Rushd dalam kategori komentar terhadap buku-buku Aristoteles, sehingga ia dijuluki dengan al-syârih al-„adham (komentator agung). Maka dari itu, di akhir abad 20-an para intelektual Islam, baik di wilayah Timur maupun wilayah Barat, mulai mengangkat khazanah rasionalitas Ibnu Rushd dalam rangka membumitanahkan pencerahan pemikiran Islam. 10

Lebih radikal dari pemikiran tersebut, Dr. Athif Iraqi, Guru Besar Filsafat di Universitas Kairo menyatakan bahwa setelah wafatnya Ibnu Rushd, maka berakhirlah masa filsafat Islam. Karena setelah itu pemikiran-pemikiran filsafat tidak lagi lahir. 11

Maka dari itu, menerawang pemikiran Islam klasik akan menemukan percikan-percikan yang sangat bermakna dan menentukan bagi tumbuh-kembangnya pemikiran Islam kontemporer.

Selain Ibnu Rushd, intelektual muslim kontemporer tidak bisa melupakan ketenaran sosiolog muslim, Ibnu Khaldun. Dr. Misbâh al-„Amily, menyatakan bahwa Ibnu Khaldun adalah putra mahkota umat Islam yang kecanggihan cakrawalanya menunjukkan bahwa pemikiran Islam lebih unggul dari pada pemikiran Yunani. 12

Kendatipun pemikiran tersebut lebih mengedepankan fanatisme Arab/Islam, tapi kecemerlangan masa lalu merupakan nuqthat al-inthilâq

(titik tolak) pemikiran Islam kontemporer. Hassan Hanafi, penggagas “kiri

Islam”, sedang menapak tilas keberhasilan Ibnu Khaldun dengan menyoroti

9Murâd Wahbah, Madkhal ilâ al-Tanwîr, (Kairo: Dâr el-Fikr, 1994), hal. 14.

10Tulisan mengenai filsafat Ibnu Rushd mulai diangkat pada tahun 80-an dan

puncaknya pada tahun 1999. kajian Ibnu Rushd kian marak di dunia Islam dengan perayaan 8 abad atas wafatnya Ibnu Rushd.

11Lihat beberapa karya Dr. Athif Iraqi, seperti al-Falsafat al-Arabiyah wa al-Tharîq ilâ

al-Mustaqbal, Al-„Aql wa al-Tanwîr, dan lain-lain.

12

(5)

pasang-surut pemikiran Islam pasca Ibnu Khaldûn sampai sekarang. 13

Dengan demikian, filterisasi terhadap pemikiran Islam klasik merupakan salah satu kecenderungan umum dalam panggung pemikiran Islam kontemporer, tak ubahnya reinkarnasi pemikiran.

Jadi dengan demikian, Islam kontemporer merupakan gerakan pemikiran Islam di kalangan intelektual Islam dalam menafsirkan kembali pemikiran Islam klasik dengan situasi modern. Para tokohnya kebanyakan adalah para intelektual Islam yang banyak belajar di lembaga-lembaga pendidikan Barat maupun Eropa. Inti pemikirannya adalah mengembalikan kejayaan dan keunggulan pemikiran para intelektual Islam klasik pada abad modern, sehingga melahirkan Islam modern. Alasannya, karena pemikiran Islam klasik sangat relevan dengan perkembangan peradaban modern. Sehingga, jika peradaban Islam ingin berkembang dan maju di abad modern ini, maka pemikiran Islam harus ditafsirkan sesuai dengan perkembangan zamannya.

C. Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia

Peta perkembangan pemikiran Islam kontemporer di Indonesia sesungguhnya tidak lepas dari perkembangan Islam kontemporer di dunia Islam umumnya. Hal ini disebabkan karena para intelektual muslim Indonesia banyak belajar di negara Islam modern dan juga di negara-negara Barat. Oleh karena itu, pemikiran Islam kontemporer di Indonesia yang dilakukan oleh kaum intelektual muslimnya sedikit terjadi kolaborasi pemikiran antara pemikiran Islam kontemporer yang berasal dari jazirah

13

(6)

Arab dan pemikiran Islam kontemporer yang dikembangkan oleh para Islamolog yang ada di universitas-universitas di Barat.

Sebenarnya, perkembangan pemikiran Islam kontemporer di Indonesia tidak lepas dari upaya mereka dalam menafsirkan kembali Islam (baca:

Al-Qur‟ân). Menurut Dawam Rahardjo14, kegiatan intelektual di dunia Islam

dewasa ini dikuasai oleh sekitar lima tema sentral, yaitu: Pertama,

“interpretasi kembali Al-Qur‟an”. Salah satu latar belakang gagasan interpretasi kembali Al-Qur‟an adalah keinginan untuk melakukan rekonstruksi terhadap ajaran-ajaran Islam sebagai dasar pembinaan suatu masyarakat modern. Pendekatan yang diambil adalah mencari esensi-esensi ajaran Islam itu sendiri atau menggali nilai-nilai yang paling fundamental. Dari titik tolak inilah disusun teori-teori baru atau konsep-konsep baru di berbagai bidang, misalnya tentang masyarakat, negara, ekonomi, pendidikan, sosiologi, lingkungan hidup, bahkan tentang bidang-bidang yang lebih sempit, seperti administrasi. Tokoh-tokohnya di antaranya adalah K.H. Imam Ghozali dari Solo, K.H. Maksum dari Yogya, K.H. Moenawar Cholil sendiri yang menerbitkan buku berjudul “Kembali kepada Al-Qur‟an dan as-Sunnah” pada tahun 1956. Kemudian T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy yang menggagas fiqih baru dan menyusun tafsir (Tafsir Al-Bayân dan Tafsir An-Nûr). Tokoh lainnya adalah Buya Hamka (tokoh Muhammadiyah) yang menulis Tafsir Azhar, dan Ustadz A. Hassan Bandung (tokoh Persis) yang menulis Tafsir Al-Furqan.

Tema kedua, adalah “aktualisasi tradisi”. Tema ini cenderung sebagai reaksi terhadap tema pertama (Interpretasi Kembali Al-Qur‟ân). Penganjur tema ini bermaksud juga untuk melakukan pembaharuan pemikiran. Tapi menurut tema ini, pembaharuan hendaknya jangan dilakukan dengan membuat garis demarkasi dengan Islam sejarah. Pembaharuan bukan harus berarti berimplikasi berputus dengan sejarah, melainkan justeru bertolak dari

14

M. Dawam Rahardjo, “Melihat ke Belakang, Merancang Masa Depan: Pengantar”,

(7)

warisan sejarah. Tokoh terpenting yang mengusung tema “aktualisasi tradisi” di antaranya adalah Mohammad Natsir yang mengungkapkan kembali kebudayaan Islam klasik pada akhir dasawarsa 30-an. Kemudian Nurcholis Madjid yang menghidangkan kembali fragmen-fragmen pemikiran para filsuf muslim masa lalu.

Tema ketiga adalah “Islamisasi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi”. Gagasan ini awalnya dikembangkan oleh Ismail Raji al-Faruqi yang telah menulis sebuah karya monumental yang berjudul The Cultural Atlas of Islam pada tahun 1986. Inti daripada gagasan Islamisasi ini adalah memberikan esensi peradaban Islam modern dengan nilai-nilai tauhid. Gagasan Islamisasi itu sendiri sebenarnya telah dicetuskan secara formal dalam suatu seminar internasional tahun 1982 di Islamabad, di mana Ismail Raji Al-Faruqi adalah aktor intelektualnya. Gema gerakan Islamisasi ini juga masuk ke Indonesia. Salah satu tokohnya adalah A.M. Saefuddin yang mencoba mengislamisasikan pemikiran ekonomi.

Tema keempat adalah mempunyai kaitan tertentu dengan ide Islamisasi maupun interpretasi kembali Al-Qur‟an. Tema ini barangkali hanya terdengar di Idonesia, melalui suara K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Ketua Dewan Syura PKB dan mantan Ketua PBNU, yaitu tema “Pribumisasi

Islam”. Tema ini sempat memancing reaksi keras, karena contoh yang dikemukakannya di antaranya adalah mengganti kata “Assalamu‟alaikum”b dengan “Selamat Pagi” atau “Selamat Malam”.

Dengan tema-tema tersebut maka lahirlah istilah pemikiran Islam kontemporer di Indonesia. Gerakan pemikiran Islam kontemporer tersebut intinya bermaksud untuk meraih masa depan Islam. Tema-tema ini merupakan tema tersendiri yang menjadi obsesi kaum cendekiawan muslim Indonesia yang memiliki obsesi bagi maju dan jayanya Islam di Indonesia.

(8)

interpretasi Islam sebagai way of life di Indonesia, semacam sintesis

“Islamisasi” yang diperjuangkan oleh para Wali Songo, sangat erat dengan kebudayaan setempat, betapa pun tidak kecil pengaruh kondisi sosio-politik dan sosio-ekonomi yang terjadi. Tidaklah aneh apabila perkembangan Islam di Indonesia bersifat periodik sebagaimana analisis Kuntowijoyo. Menurut Kuntowijoyo15, Islam di Indonesia mengalami tiga macam periode, yaitu:

1. Periode tradisi mistis-religius (…..-1900) 2. Periode forulasi normatif (1900-1965) 3. Periode ide (1965-orde baru)

Periode pertama (….-1900_ ditandai dengan tradisi mistis-religius. Misalnya pada abad ke-19 umat Islam mengadakan perlawanan terhadap kekuatan kolonial dengan ideologi yang bersifat utopis. Utopia, karena umat Islam tidak merumuskan pikiran-pikirannya berdasarkan aktualisasi sejarah, melainkan berdasrkan kepada mitos, pandangan mistis menghenai masyarakat yang dirumuskan dalam bentuk cita-cita Ratu Adil.

Periode kedua (1900-1965), yang mulanya Islam dipahami secara mistis bergeser menjadi formulasi normatif. Keudian berkembang menjadi ideologi, lalu menjadi aksi. Dalam era ini, Syarekat Islam (SI) mulai mengenal ideologi Komunsime dan Marhaenisme.

Sesudah kegagalan pemberontakan PKI (Partai Komunis Indonesia) tahun 1965, tak terasakan lagi adanya ancaman dari ideologi lain, sehingga muncul benih-benih baru di mana Islam ditampakkan sebagai ilmu. Islam yang menjadi ideologi dan aksi pada masa itu, ketika zaman ilmu menjadi formulasi teoretis. Ia selanjutnya berkembang menjadi disiplin ilu dan memiliki program aplikasi, misalnya ilmu sosial Islam. Program dan planningnya kemudian direalisir dengna kegiatan empiris. Dalam era ini Islam memasuki periode ide. Mulai dari periode ide inilah kemudian berkembang pemikiran-pemikiran Islam kontemporer.

15

(9)

Jadi, pemikiran Islam kontemporer di Indonesia dimulai sejak berkembangnya umat Islam Indonesia pada periode ide, terutama setelah para intelektual Islam Indonesia banyak bersentuhan dengan pembaharuan pemikiran Islam, baik pengaruh dari dunia Islam sendiri maupun dunia Barat. Ormas Islam yang muncul pada periode pertaa, yang paling menonjol hingga kini adalah Muhammadiyah (1912) dan NU (1926). Kelahiran kedua ormas Islam ini kemudian menimbulkan pandangan dikhotomis tentang corak gerakan Islam di Indoensia. Pemikiran Muhammadiyah yang bercorak rasional dan bermotto sebagai gerakan tajdîd (pembaruan) dipandang sebagai gerakan modernis. Sedangkan NU yang mendasarkan diri pada pola

pemikiran empat madzhab fikih (Maliki, Hanafi, Syafi‟i dan Hambali), dan

berpegang pada teologi Asy‟ariyah dan Maturidiyah, dilihat sebagai gerakan tradisionallis.

Anggota simpatisan kedua ormas itu tidak bisa melepaskan diri dari kondisi politik yang berkembang. Dapat dikatakan sejak tahun 1970-an terdapat dua lapisan umat Islam yang terlibat dalam proses mobilisasi vertikal, yaitu kelompok muslim politisi dan kelompok muslim cendekiawan. Aspirasi kedua kelompok ini pun berbeda. Kalau aspirasi muslim politisi bercorak ideologi, sedangkan aspirasi muslim cendekiawan bercorak intelektual tanpa terikat dengan salah satu partai politik atau ormas.

Hal ini menunjukkan bahwa kendatipun Islam telah memasuki periode ide, tidak semua penggerak atau pejuangnya, terutama kaum politisi, mampu menangkap kecenderungan baru dari fokus kebudayaan yang berkembang atau dominan saat itu.

Sebagaimana diketahui bahwa setelah tumbangnnya Orde Lama oleh Orde Baru, maka berakhirlah fokus kebudayaan yang menganggap ideologi sebagai panglima. Lalu hadirnya Orde Baru yang memusatkan programnya pada pembangunan ekonomi, menggeser fokus kebudayaan ke level yang memprioritaskan sektor ekonomi.

(10)

bukan satu-satunya cara untuk memajukan Islam di Indonesia. Fokus kebudayaan baru yang diprakarsai oleh Orde Baru lalu ditafsirkannya sebagai peluang untuk melakukan terobosan-terobosan non-politik yang lebih menyentuh kebutuhan mendasar kaum muslimin.

Problematika ummat Islam di masa itu terjerat pada pandangan dikhotomi antara Islam modern dan Islam tradisional. Ini mengakibatkan terjadinya kemacetan komunikasi bahkan dis-integrasi di dalam intern umat Islam, seperti pertentangan masalah khilafiyah, juga persoalan hubungan politik dan agama yang diklaim sebagai masalah wajib. Padahal aneka keterbelakangan umat seperti kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan, keterasingan, dan sebagainya merupakan fakta yang lebih mendesak untuk segera ditanggulangi.

Tentu saja kehadiran visi baru tentang “Keharusan Pembaruan Pemikiran

Islam dan Masalah Integrasi Umat” oleh Nurcholis Madjid pada tahun 1970 merupakan dobrakan budaya (cultur switch) sekaligus koreksi sehingga semakin mempertajam pentingnya aksentuasi di bidang ide dan ilmu dalam rangka merintis transformasi sosial budaya yang lebih kontekstual. 16

Menurut Nurcholis Madjid, kaum muslimin Indonesia sekarang ini mengalami kejumudan kembali dalam pemikiran dan pengembangan ajaran-ajaran Islam serta kehilangan psychological striking force (kemantapan jiwa untuk berinisiatif) dalam perjuangannya. Hal itu disebabkan antara lain oleh budaya berfikir kuantitatif yang membanggakan jumlah kau muslimin dan perolehan suara dalam pemilu, dan sikap eksklusif di kalangan umat Islam serta tidak adanya kebebasan berfikir.

Ia memberi solusi, hendaknya kaum muslimin menemukan kembali gagasan kemajuan (idea of progress) dalam khazanah nilai-nilai Islam dan berpola fikir kualitatif. Salah satu anifestasi tentang idea of progress di dalam Islam ialah kepercayaan akan masa depan manusia dalam perjalanan sejarahnya. Maka tidak perlu lagi khawatir akan perubahan-perubahan yang

16Muhammad Kamal Hasan, Modernisasi Indoensia: Respon Cendekiawan Muslim, Cet.

(11)

selalu terjadi pada tata nilai duniawi. Sebetulnya, sikap reaksioner dan tertutup (eksklusif) terbit dari rasa pesimis terhadap sejarah. Karena itu, Islam hanya diteria sebagai agama (al-Dîn), bukan sebagai politik praktis, sebagaimana jargon yang ia lontarkan “Islam Yes, Partai Islam No”.

Pemikiran Nurcholis Madjid ini terlihat kemudian diaplikasi oleh beberapa santri dari kalangan NU yang umumnya pernah mengecap pendidikan akademis dan beberapa aktivis Muhammadiyah, yang di antaranya mungkin telah ter-“santri”-kan dalam bentuk kegiatan-kegiatan transformasi sosial ekonomi kemasyarakatan. Mereka dapat disebut di antaranya Abdurrahman Wahid, Aswab Mahasin, Habib Hirzin, K.H. Sahal

Mahfudh, Dawam Rahardjo, Hadimulyo, K.H. Hamam Dja‟far, Masdar F. Mas‟udi, Adi Sasono, Fachry Ali, K.H. Abdul Basith AS, Ison Basuni, Ali

Musthofa Trajutisna, Mansour Fakih, Rum Topatimasang, dan sebagainya. Mereka kemudian dikenal sebagai aktivis LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan LPSM (Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat). bahkan kini ada satu LSM yang telah menjadikan dirinya sebagai ormas, tidak tergantung kepada founding-agency (lembaga donor dana), yaitu Pusat Peranserta Masyarakat (PPM).

Kemudian, memasuki tahun 1985, Orde Baru menggelindingkan keharusan berasas tunggal Pancasila bagi Parpol, Golkar dan ormas-ormas, sebagai upaya menyelesaikan pertentangan ideologi di antara kelompok-kelompok masyarakat. Ternyata rekayasa politik dalam bentuk asas tunggal itu dan segenap implikasinya terhadap kehidupan intern umat Islam secara implisit merupakan implementasi visi Nurcholis Madjid mengenai “Islam Yes,

(12)

Jika dikaji secara analitis dan historis, sesungguhnya Pancasila dapat memeprtemukan wawasan keislaman dan wawasan keindonesiaan. Sebab, ajaran-ajaran Islam menyediakan bahan yang tak habis-habisnya untuk pengisian konstitusional bagi pelaksanaan nilai-nilai keislaman di Indonesia sehingga semakin relevan dengan masalah-masalah bangsa dan negara.

Kemudian setelah Orde Baru “tumbang” pada tahun 1998 oleh gerakan

reformasi mahasiswa, perkembangan pemikiran Islam semakin tidak menentu

dan ada upaya mengembalikan “persoalan lama” kembali dihidupkan. Hal

itu ditandai dengan ramai-ramainya para pimpinan ormas Islam memimpin partai politik, seperti Amien Rais dengan PAN (Partai Amanat Nasional), Gus Dur mendirikan PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), kalangan pendukung Masyumi mendirikan Partai Bulan Bintang (PBB), dan munculnya kecenderungan kaum intelektual ke gelanggang politik praktis. Namun pada akhirnya yang memenangkan pergulatan itu adalah kaum nasionalis agamis, yaitu dengan terpilihnya Gus Dur sebagai Presiden.

Melihat sejarah perkembangan pemikiran tersebut di atas, ternyata perkembangan pemikiran kontemporer Islam di Indonesia tidak lepas dari pengaruh sosio-budaya dan sosio-politik bangsa Indonesia. Semakin besar pengaruh sosio-budaya, maka semakin modern pemikiran Islam kaum intelektual Indonesia. Sebaliknya, semakin besar pengaruh sosio-politik, maka pemikiran Islam kaum intelektual muslim akan lebih tradisionalis. Dengan demikian, perkembangan Islam kontemporer mengalami pasanng-surut seiring berkembangnya sosio-budaya dan sosio-politik bangsa Indonesia. Namun yang jelas, berkembangnya Islam kontemporer di Indonesia terjadi pada periode ide.

D. Pemikiran Islam Kontemporer Indonesia Masa Depan

(13)

Oleh karena itu, perkembangan pemikiran Islam kontemporer di Indonesia di masa depan sangat bergantung kepada kekuatan kedua kondisi tersebut.

Sebagaimana diketahui bahwa abad 21 sekarang telah berada di depan mata kita. Bagaimana kaum muslimin dapat berperan serta untuk memajukan Indonesia di masa depan? Di sinilah peranan kaum intelektual muslim sebagai pengusung Islam kontemporer itu dituntut.

Menurut hemat penulis, masa depan akan menyuguhkan perubahan-perubahan dahsyat yang pasti mempengaruhi manusia pasca-modern ke arah ultra-modern atau neo-modern. Menurut Alvin Toffler, kini kita berhadapan dengan era gelombang peradaban informasi-komunikasi pasca peradaban industri. Peradaban ini ditandai dengan superioritas akses informasi, bukan lagi alat produksi atau lahan pertanian. T eknologi elektronika dan komputer di zaman ini akan membuat 60% pekerjaan bergerak di bidang jasa informasi. Komputer menjadi trend global dan dapat mengkomunikasikan mansuia lintas negara. Agen-agen sosialisasi, seperti orang tua, guru, atau pemimpin agama, akan digeser oleh peranan komputer dan dapat membentuk keluarga besar baru yang dihubungkan secara elektronis. Adapun yang sanggup bertahan adalah yang berorientasi ke masa depan dan kreatif mengubah pengetahuan menjadi kebijaksanaan. 17

Senada dengan Alvin Toffler, Soedjatmiko mensinyalir proses globalisasi ekonomi nasional dan bangkitnya suatu lapisan tradisional di dunia yang menguasai modal, teknologi canggih, kepakaran tinggi, akses informasi dan pasar, mau tidak mau akan sangat berpengaruh dalam usaha pembangunan di Indonesia.

Atas dasar itu, mengkiprahkan diri untuk mendesain format Islam demi masa depan Indonesia, sebagaimana kata Nurcholis Nadjid, kaum muslimin harus pandai-pandai mencari idea of progress yang terkandung di dalam cita idel (das sollen) nilai-nilai Islam, kemudian dijabarkan dalam kenyataan sosial

17

(14)

sesuai dengan cita realitas (das sein) Islam yang seutuhnya. Nilai-nilai itu tersimpan di dalam Al-Qur‟an dan Hadits sebagai sumber hukum Islam.

Islam memiliki lima prinsip (kulliyat al-khams) yang harus dijunjung tinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Prinsip pertama, jaminan atas jiwa seseorang dari penindasan dan kesewenang-wenangan (hifdz al-nafs). Prinsip kedua, perlindungan terhadap kebebasan berpendapat secara rasional (hifdz al-„aql). Prinsip ketiga, perlindungan atas harta benda sebagai hak milik (hifdz al-mâl). Prinsip keempat, perlindungan atas kepercayaan dan agama yang diyakini (hifdz al-dîn). Dan prinsip kelima, jaminan atas kelangsungan hidup dan profesi (hifdz al-nasl wa al-„irdl). 18

Lima dasar jaminan Islam terhadap ummatnya tersebut menunjukkan betapa universalitas Islam tidak hanya menyangkut komunikasi vertikal antara manusia dan Allah Swt, tetapi juga bermuatan komunikasi horizontal antar sesama manusia, serta bagaimana mengelola lingkungan sekitar.

Bila disimpulkan secara sederhana, lima dasar jaminan tersebut tercakup dalam terminologi nilai-nilai dari: toleransi beragama, spiritualisme, keadilan sosial, penghormatan terhadap hak-hak asasi dan membelanya jika diinjak-injak, demokrasi, egalitarian (sederajat), solidaritas, harmonitas, dan berkebudayaan maju (progresif). Dalam era reformasi dan upaya membangun kebangkitan kembali pemikiran Islam kontemporer di Indonesia, maka nilai-nilai ini sangat mendesak untuk ditransformasikan ke tengah realitas sosial budaya, mengingat telah semakin kuatnya penetrasi arus modernisasi beserta segala dampak negatifnya.

Memasyarakatkan nilai-nilai jaminan Islam tersebut pada hakekatnya melakukan inisiatif mengisi kegiatan modernisasi supaya lebih bermakna transendental, yakni mengandung roh-roh etis dan religius. Sehingga modernisasi tidak berarti westernisasi (pem-Barat-an), namun mengakomodir semangat rasionalitas yang terkandung di dalamnya. Rasionalisasi cara berfikir dan menginterpretasi konsep-konsep strategis yang terkandung dalam

18Said Aqiel Siradj, Islam Kebangsaan: Fiqh Demokratik Kaum Santri,

(15)

Al-Qur‟ân dan Hadits adalah agenda utama yang harus ditanamkan dalam merangkai sistem budaya dan sistem sosial kaum muslimin.

Kuntowijoyo mengklasifikasikan sosialisasi nilai-nilai tersebut sebagai tiga macam gerakan kebudayaan, yaitu: Islam sebagai sebagai gerakan intelektual, Islam sebagai gerakan etik, dan Islam sebagai gerakan estetik. 19

Sebagai gerakan intelektual, nilai-nilai Islam diangkat menjadi konsep ilmu pengetahuan yang dapat menandingi konsep-konsep yang dianut saat ini.

Al-Qur‟an sangat kaya memuat nilai-nilai, maka sangat perlulah sekarang diangkat menjadi suatu scientific untuk memberi roh etis terhadap ilmu-ilmu modern. Sedangkan sebagai gerakan etik, Islam dapat memberikan etos tentang sesuatu. Jika etos kapitalisme adalah pertumbuhan, maka Islam dapat menyempurnakannya dengan pemerataan, keadilan, kebersamaan, dan sebagainya. Dan sebagai gerakan estetik, Islam diaktualisasi untuk menciptakan lingkungan yang lebih bermakna keislaman. Tempat-tempat bekerja, misalnya, dilengkapi dengan sarana mushalla atau masjid. Kesenian diberi nafas keislaman dan sebagainya.

Atas dasar itulah, maka dalam kerangka membangun pemikiran Islam kontemporer di masa mendatang, teori Kuntowijoyo di atas terasa sesuai dengan makna sejarah peradaban Islam yang telah berusia 15 abad yang silam. Ajaran Islam yang tidak mengistimewakan suku Arab atas suku asing („ajami) betul-betul menghilangkan batasan etnis dan menolak segala tindakan diskriminatif.

Selain itu juga memberi ruang bagi kemajemukan budaya dan politik. Tidak adanya doktrin absolut tentang politik menunjukkan adanya dimensi kosmopolitanisme yang kuat dalam Islam Indonesia. Islam membebaskan pemeluknya untuk menata kehidupan politik sesuai dengan tradisi dan corak budaya sebagai sabda Nabi Sawq: “Antum a‟lamu bî umuri dunyakum” (Engkaulah yang lebih mengetahui urusan-urusan duniamu).

19

(16)

Karena itu, sangatlah tepat dan strategis, apabila perjuangan pemikiran Islam kontemporer di Indonesia di masa depan adalah memilih jalur gerakan kebudayaan dan menitikberatkan sosialisasi nilai-nilai, bukan doktrin-doktrin normatif yang seringkali cenderung diideologikan. Politik praktis tidaklah untukdijadikan tujuan, tetapi hanya salah satu wahana yang bersifat kondisional.

Maka tantangan zaman yang kian meningkat di depan kita hanya dapat dipenuhi jika terdapat perkembangan intelektual Islam yang bercabang dua, yaitu suatu intelektualisme yang mengambil inspirasi dari kekayaan Islam klasik yang luwes, dan suatu usaha pengembangan kemampuan menjawab tantangan zaman dengan membuka diri (inklusif) kepada hal-hal baru yang lebih maju. 20

Atau menurut jargon klasik kalangan ulama, bagaimana melaksanakan pedoman “al-muhafadhah „alal qadîmishshalîh wal akhdzu di jadîd

al-ashlâh”, memelihara yang lama yang baik, dan mengambil yang baru yang lebih baik. Hal itu dapat dipenuhi jika kita selalu menynempurnakan sistem budaya Islam tanpa menghilangkan corak positif budaya lokal. Agenda ini amat menentukan corak sistem sosial kaum muslimin yang hendak dibangun. Dalam konteks perubahan yang selalu akan terjadi, masa depan kebudayaan Islam di Indonesia sangat tergantung kepada kreatifitas kaum muslimin dalam menjabarkan nilai-nilai Islam dalam bentuk ruusan-rumusan yang layak diaplikasikan.

Jadi, gerakan Islam di masa depan untuk membangun kejayaan Islam kontemporer di Indonesia adalah gerakan kebudayaan Islam, dalam artian bahwa Islam dijadikan sebagai gerakan kebudayaan, yang di dalamnya adalah mensosialisasikan nilai-nilai ajaran Islam yang termaktub dalam

Al-Qur‟an dan Hadits kepada ummat Islam dan masyarakat Indonesia

umumnya, baik dalam bentuk pemikiran, sikap, dan perilaku. Dengan cara demikian, insya Allah pemikiran Islam kontemporer di Indonesia akan terus

20

(17)

maju dan dapat diterima oleh seluruh kalangan bangsa Indonesia yang terkenal majemuk ini. Amîn.

E. Kesimpulan

Dari hasil kajian dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Lahirnya Islam kontemporer di dunia Islam tidak terlepas dari terjadinya persentuhan budaya berfikir kaum intelektual muslim dengan tradisi keilmuan Barat atau Eropa.

2. Islam kontemporer maksudnya adalah penafsiran Islam yang bersumber dari Al-Qur‟an dan Hadits dengan perkembangan pemikiran oleh kaum intelektual muslim dalam membaca perubahan zaman.

3. Pemikiran Islam kontemporer di Indonesia dipengaruhi oleh interaksi pemikiran kaum intelektual muslim Indonesia dengan kalangan pembaharu dan tradisi keilmuan Barat.

4. Pemikiran Islam kontemporer di Indonesia mengalami pasang-surut seiring dengan berkembangnya kondisi sosio-budaya dan sosio-politik bangsa Indonesia.

5. Pemikiran Islam kontemporer di Indonesia akan mengalami perkembangan di masa depan apabila format pemikiran dan pergerakan mengarah kepada gerakan kebudayaan, bukan pada gerakan politik praktis.

(18)

KEPUSTAKAAN

Dawam Rahardjo, M. 1989. “Melihat ke Belakang, Merancang Masa Depan:

Pengantar”, dalam Muntaha Azhari dan Abdul Mun‟im Saleh (Peny.).

Islam Indonesia Menatap Masa Depan. Cetakan Pertama. Jakarta: P3M.

Kuntowijoyo. 1985. Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Shalahuddin Press.

---.1986. “Konvergensi Sosial dan Alternatif Gerakan Kultural”. Majalah Pesantren, Nomor 3/Vol. III. Jakarta: P3M.

Muhamad „Abid Al-Jâbiry. 1990. Nahnu wa al-Turâts: Qirâat Mu‟âshirah fî Turâtsinâ al-Falsafy. Bairut: Markaz al-Tsaqafy al-„Araby.

Mahmûd Amîn al-„Alîm. 1998. Al-Fikr al-„Araby Bayn al-Nadzariyah wa al-Tathbîq. Jurnal „A:am al-Fikr, Jilid 26, Edisi III dan IV, Kuwait.

Misbâh Al-„Amily. 1991. Tafawwuq al-Fikr al-„Araby „alâ al-Fikr al-Yûnâny bi Wasâiq Falsafah. Bairut: Dâr el-Fikr.

Muhammad Arkoun. 1996. Aina huwa al-Fikr al-Islâmy al-Mu‟âshir. Cetakan Kedua. Bairut: Dâr el-Sâqy.

Muhammad Kamal Hasan. 1987. Modernisasi Indoensia: Respon Cendekiawan Muslim. Cetakan Pertama. Jakarta: LSI.

Murâd Wahbah. 1994. Madkhal ilâ al-Tanwîr. Kairo: Dâr el-Fikr.

Naufal Ramzy (Editor), A. 1993. Islam dan Transformasi Sosial Budaya. Cetakan Pertama. Jakarta: Deviri Ganan.

Nurcholis Madjid. 1984. “Suatu Tatapan Islam terhadap Masa Depan Politik Indonesia. Majalah Prisma, No. Ekstra.

(19)

DAFTAR ISI

Halaman KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

A. Pendahuluan ………. 1

B. Akar Pemikiran Islam Kontemporer di Dunia Islam… 3

C. Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia …………. 5

D. Pemikiran Islam Kontemporer Indonesia Masa Depan 11

E. Kesimpulan ………. 17

(20)

PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER

Oleh:

DRS. LUKMAN HAKIM, MSI

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

BANDUNG

Referensi

Dokumen terkait

Although the adoption of microservice architecture brings consider‐ able freedom to developers, ensuring availability requires holding microservices to high architectural,

Semakin besar ROA maka semakin baik karena tingkat keuntungan yang dihasilkan perusahaan dari pengelolaan assetnya maka semakin besar, dengan pengelolaan asset yang

Kepercayaan masyarakat juga mempengaruhi pola pemberian makan pada balita, sebagian besar responden di wilayah kerja Puskesmas Dasuk memiliki nilai budaya positif dimana responden

Pada tahun 2009 kondisi perekonomian dunia dan khususnya Indonesia mulai menunjukkan perbaikan dengan menurunnya laju inflasi ke 2,78 persen dan pada tahun 2010 kembali terjadi

Dari hasil yang dilakukan pada tahapan identification phase yaitu mendapatkan kebutuhan fungsional perangkat lunak yang digambarkan dalam bentuk use case diagram

Pada ketika itu, Kandungan Kurikulum Standard Sekolah Menengah (KSSM) telah dijajarkan bagi tujuan kegunaan pengajaran dan pembelajaran bagi memenuhi keperluan pembelajaran

Hasil penelitian didapatkan tidak ada hubungan yang signifikan infeksi STH dengan kadar Hb (p=0,09), tidak ada hubungan yang signifikan personal hygiene dengan infeksi STH

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pengaruh aplikasi Difluorosilane 0,9% dan kombinasi Sodium Fluoride 5% dengan Tricalcium Phosphate terhadap