• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAHASISWA DI PUSARAN FUNDAMENTALISME ISL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MAHASISWA DI PUSARAN FUNDAMENTALISME ISL"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

109

Abstrak

Tulisan ini mendiskusikan tentang gerakan mahasiswa di pusaran fundamentalisme Islam di lingkungan Universitas Indonesia. Selama kurang lebih tiga dekade terakhir, kampus ini diwarnai berbagai aktivitas keislaman yang dimotori para aktivis Jamaah Salafi, Harakah Tarbiyah, dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Kemunculan ketiganya membuat terkejut beberapa ormek (organisasi mahasiswa ekstra kampus) berbasis Islam yang sudah eksis sebelumnya, seperti HMI, IMM, dan PMII di perguruan tinggi negeri tersebut. Pasalnya, gerakan mereka lebih dari sekedar menarik mahasiswa untuk aktif di acara-acara bercirikan Islam, tetapi berupaya menguasai posisi-posisi strategis di dewan kemahasiswaan. Kehadiran mereka membawa cara berfikir keislaman yang rigid, tertutup, dan literatif. Pemahaman keagamaan yang ekslusif seperti itu menjadi benih bagi tumbuhnya gerakan Islam radikal. Tentu, masyarakat merasa terancam karena sejumlah organisasi Islam transnasional tersebut tidak mengakui demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang sah di negeri ini. Di awal pembahasan penelitian ini akan mengulas varian gerakan fundamentalisme Islam di Universitas Indonesia. Selanjutnya, tulisan ini akan menghadirkan tipologi dan respon gerakan fundamentalisme Islam kampus terhadap pokok-pokok pikiran negara modern.

MAHASISWA DI PUSARAN

FUNDAMENTALISME ISLAM:

STUDI KASUS DI UNIVERSITAS INDONESIA

(2)

110

MAARIF Vol. 9, No. 1 — Juli 2014

Kata kunci: Mahasiswa, Fundamentalisme, Islam, dan Demokrasi

Pendahuluan

Lebih dari dua dekade terakhir dinamika keislaman diramaikan dengan kemunculan gelombang fundamentalisme Islam.1 Di Indonesia misalnya, arus gerakan tersebut tidak hanya terlihat pada aktivitas organisasi keagamaan di lingkungan masyarakat secara umum, tetapi masuk ke lingkaran aktivis kampus.2 Fakta tersebut tidak bisa dibantah karena semakin tahun afiliasi berbagai gerakan ini tampak pada aktivitas organisasi ekstra maupun intra kampus di sejumlah besar perguruan tinggi negeri.3 Sejumlah kampus negeri, seperti halnya Universitas Indonesia terlihat menjadi basis tumbuhnya gerakan fundamentalisme Islam. Berbagai kajian keislaman seringkali diadakan mulai di masjid, mushalla, perpustakaan, hingga di banyak tempat santai.

Secara kasat mata, orang awam mudah mengidentifikasi lingkungan Universitas Indonesia terinfiltrasi ideologi fundamentalisme Islam. Realitas tersebut dapat disaksikan lewat model keberagamaan mahasiswa yang diwarnai dengan penggunaan simbol-simbol keislaman secara mencolok. Para mahasiswi memakai jilbab lebar berwarna gelap, bahkan ada yang memakai penutup muka (cadar atau burqa) dan menutup komunikasi dengan mahasiswi yang bukan dari kelompoknya. Sementara aktivis pria terlihat memakai celana tanggung di atas mata kaki (isbal), berbaju koko dan memelihara jenggot (lihyah).

Karena itu, tidak dapat dipungkiri beberapa fakta itu menjelaskan bahwa eksistensi kelompok Islam fundamentalis tumbuh dan berkembang secara berkelanjutan. Aktivitas keislaman yang ramai berperan penting

1 Penyebutan “fundamentalisme” dalam penelitian ini menekankan pengertiannya sebagai gerakan keagamaan yang mencita-citakan politik Islam, baik yang memanfaatkan sistem pemerintahan yang sudah mapan (demokrasi) maupun yang berupaya membangun kekuatan lewat kesadaran arus bawah. Pengertian fundamentalisme Islam bisa dilihat dalam, Bassam Tibi. The Challange of Fundamentalism; Political Islam and the New World Disorder (London: University of California Press, 1998).

2 Baca Abdul Aziz, “Meraih Kesempatan dalam Situasi Mengambang: Studi Kasus Kelompok Keagamaan Mahasiswa Universitas Indonesia”, Penamas No. 20 (1995), 3-20. Bisa juga dalam Yudi Latif, “The Rapture of Young Muslim Intelligensia in Modernization of Indonesia,” Studia Islamika, Vol. 12, Number 3, (2005): 374. Berikutnya juga bisa dilihat dalam Richard G. Kraince, “The Role of Islamic Student Group in the Reformasi

Struggle: KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia),” Studia Islamika, Vol. 7, Number. 1, (2000).

(3)

111

MAARIF Vol. 9, No. 1 — Juli 2014

membentuk lingkungan kampus menjadi bernuansa islami. Namun pada sisi yang lain, model keberagamaan mereka mengkhawatirkan, karena beberapa pemahaman mereka tidak mengakui demokrasi, HAM, dan beberapa pokok pikiran negara modern yang lain.

Kehadiran berbagai aktivitas keislaman dan penggunaan busana Muslimah di Universitas Indonesia yang notabene kampus sekuler mestinya patut diapresiasi. Di satu sisi fenomena ini merupakan berita yang menggembirakan dalam konteks penciptaan lingkungan kampus yang islami. Namun di sisi yang lain meningkatnya aktivitas keagamaan itu diiringi dengan proses infiltrasi berbagai gerakan yang memiliki kecenderungan fundamentalistis. Tujuan pergerakan mereka ada yang berorientasi pada perjuangan Islam-politik, sosial-keagamaan, serta ada juga yang berupaya mencita-citakan kehidupan masyarakat sebagaimana pada masa para pendahulu (salaf al-sâlih).

Varian Gerakan Fundamentalisme Islam Kampus

Meski organisasi keislaman di Universitas Indonesia memiliki banyak ragam, namun penelitian ini hanya akan fokus pada tiga gerakan mahasiswa Islam yaitu Harakah Tarbiyah, HTI dan Jamaah Salafi.

Harakah Tarbiyah

“Dari Pojok Kampus Mereka Bermula.” Lima kata tersebut merupakan susunan kalimat yang menjadi judul laporan utama majalah SUMA UI, edisi ke-24 tahun 2009.4 “Mereka” dalam kalimat itu ditujukan kepada gerakan fundamentalisme Islam mahasiswa, yaitu Harakah Tarbiyah.5 Tarbiyah memiliki arti pendidikan secara etimologis, namun pada konteks fenomena gerakan keagamaan di Indonesia istilah ini ditujukan untuk menyebut gerakan Islam yang terinspirasi Ikhwanul Muslimin (IM) di Mesir.6 IM memiliki dua ideolog terkenal yaitu Hasan al-Bana dan Sayyid Qutb. Meski organisasi keislaman ini sudah berdiri sejak 1927, namun doktrin dan gerakannya tetap membumi sampai saat ini. Pergerakannya

4 Lebih lengkapnya baca dalam majalah Suara Mahasiswa (SUMA) UI bertajuk “Gerakan Politik Tarbiyah di Kampus-Kampus Besar di Indonesia,” edisi 25/XVI/2009.

5 Sebutan Tarbiyah merupakan pelabelan yang umum, yang seringkali dilekatkan pada gerakan Islam yang menggunakan pola pembinaan halaqah. Di mana pembinaan yang dilakukan mendapat mentor dari seorang Murabbi (pendidik).

(4)

112

MAARIF Vol. 9, No. 1 — Juli 2014

menyebar hingga ke negara-negara lain termasuk di Indonesia.

SUMA UI mengambil topik Gerakan Politik Tarbiyah di Kampus-Kampus Besar di Indonesia dalam laporan pemberitaannya memiliki alasan yang tidak sederhana.7 Pemilihan fokus tersebut merupakan hasil pembacaan para jurnalis kampus melihat fenomena keagamaan yang marak diselenggarakan di Universitas Indonesia. Bermula dari mushalla kampus, aktivis dakwah Tarbiyah berhasil merekrut mahasiswa untuk mengikuti pelatihan dan mentoring keislaman.

Menurut Robby Irfani Maqoma, diterbitkannya laporan bertema Harakah Tarbiyah merupakan kajian mendalam para anggota pers yang melihat dominasi Tarbiyah di sektor politik dan posisi-posisi strategis kampus. Mereka didukung dengan basis mahasiswa yang begitu besar karena mereka menawarkan agama sebagai produk pemasaranannya.8 Padahal ia tidak lebih dari gerakan politik. Dengan mengandalkan militansi kader, Tarbiyah sukses menduduki posisi-posisi strategis di badan eksekutif mahasiswa.

Harakah Tarbiyah yang terdapat di Universitas Indonesia mempresentasikan diri dengan beragam nama organisasi keislaman. Di Fakultas Psikologi ada Forum Studi Agama Islam (FUSI), Fakultas FISIP, Hukum, Ekonomi terdapat Forum Studi Islam (FSI), MIPA tersemai Mushallah Izzatul Islam (MII), dan di Fakultas Ilmu Budaya berdiri Forum Amal dan Studi Islam (FORMASI). Sementara di tingkat universitas aktivis dakwah kampus diakomodasi dalam bentuk Nuansa Islam Mahasiswa (SALAM). Setiap hari aktivitas keislaman yang mereka adakan beragam. Ada yang sebatas membaca Al-Quran, mempelajari buku-buku Aqidah, serta ada juga yang mendiskusikan persoalan persaudaraan Islam.

7 Sebagai rujukan, bahwa SUMA UI pernah juga menerbitakan topik yang sama membincang persoalan Harakah Tarbiyah. Lihat, Majalah Suara Mahasiswa (SUMA), “Mencoba Meramal Masa Depan Jaring-Jaring Tarbiyah”. Edisi 19/XI/2002. Edisi ini mengupas banyak sisi politik, perkaderan dan militansi kader-kader Tarbiyah. Baca juga dalam Abdul Aziz, “Meraih Kesempatan dalam Situasi Mengambang: Studi Kasus Kelompok Keagamaan Mahasiswa Universitas Indonesia”, Penamas No. 20 (1995), 3-20.

(5)

113

MAARIF Vol. 9, No. 1 — Juli 2014

Persentuhan dengan organisasi Islam ini pada periode awal di perguruan tinggi dilakukan dengan mengikuti kegiatan usrah, sebagai sistem kaderisasi. Para aktivis Tarbiyah membuat forum-forum keislaman di masjid atau di pojok-pojok kampus. Agenda diskusi dilaksanakan setiap satu minggu sekali. Forum ini disebut dengan liqâ’, ada murabbî sebagai mentor dan mutarabbî sebagai anggota kajian. Jumlah peserta kajian tidak terlalu banyak hanya 7-10 mahasiswa di setiap kegiatan. Setelah dipandang cukup mampu mengajarkan Islam, pada saatnya anggota kajian memiliki tanggungjawab membuat liqâ’ yang sama, sementara mentornya berasal dari senior atau bisa mendatangkan murabbî (biasanya para alumninya sendiri). Sistem ini berjalan secara sistematis karena masuk lewat berbagai unit kegiatan mahasiswa seperti FSI, MII, FUSI, dan SALAM.

Pola pembinaan Harakah Tarbiyah dilakukan dengan cara asistensi, sebab tidak semua materi keislaman yang diberikan di kelas perkuliahan sesuai dengan pemahaman keislaman Ikhwanul Muslimin. Materi keagamaan yang bersumber dari kurikulum negara dianggap berfaham sekuler. Program asistensi bertujuan “merenovasi” pemahaman keislaman mahasiswa. Karena itu mereka yang mengikuti program asistensi kajian Islam berarti menjadi aktivis Tarbiyah.

Untuk memenuhi kebutuhan intelektual para kader, mereka memfasilitasinya dengan beberapa buku panduan dan rujukan pemikiran-pemikiran Islam. Di antara buku yang kerap dijadikan referensi adalah Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin dan al-Ma’tsûrât karya Hasan al-Banna.9 Selain itu, mereka sering berkumpul membicarakan tentang sastra. Kelompok menulis Lingkar Pena yang dipelopori Asma Nadia adalah salah satu contohnya.

Para kader Tarbiyah memiliki rasa musik yang sama. Mereka menyukai lagu-lagu yang bernuansa Islami seperti Hijaz atau Raihan. Menurut mereka lirik-lirik lagu nasyid berisi syair-syair Islam yang penuh nilai perjuangan. Model perkaderan kultural yang memasuki aktivitas sehari-hari itu melahirkan kader-kader Tarbiyah yang punya militansi tinggi.

(6)

114

MAARIF Vol. 9, No. 1 — Juli 2014

Meski tidak memiliki garis komando, namun jika seorang mentor (murabbi) memberikan nasihat, seketika perintah itu dipatuhi.10

Hizbut Tahrir Indoneisa

Selain Harakah Tarbiyah, gerakan Islam fundamentalis yang tumbuh dan mendapatkan simpati cukup besar di kalangan mahasiswa Universitas Indonesia adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Kelompok keagamaan yang seringkali mewacanakan pendirian Khilâfah Islâmiyyah ini cepat menarik perhatian kalangan intelektual kampus karena aktivitasnya yang berkelanjutan. HTI berhasil merekrut kira-kira 30 anggota baru setiap musim mahasiswa baru.11 Mereka kemudian diajak kajian diskusi keislaman, difasilitasi tempat tinggal (kontrakan senior), dan dipinjami baju-baju “Islami”.

HTI --organisasi terpusatnya Hizbut Tahrir-- merupakan partai politik Islam yang didirikan Syekh Taqyuddin An-Nabhani pada 1953 di al-Quds, Palestina. Gerakan Islam transnasional ini bercita-cita menggelorakan kembali kebangkitan Islam pasca jatuhnya pemerintahan Islam Turki Usmani (1924). Berbagai pemikiran Hizbut Tahrir mulai menyebar ke seluruh negara khususnya negara berpenduduk mayoritas Islam seiring dengan momentum kebangkitan Revolusi Islam di Iran (1979). Pengaruh kebangkitan itu meluas hingga ke Indonesia, sehingga pemikirannya banyak diadopsi kalangan mahasiswa termasuk kelompok intelektual

10 Untuk contoh pada kasus ini, baca “Bergerak Membangun Kuasa”, dalam “Gerakan Politik Tarbiyah di Kampus-Kampus Besar di Indonesia,” SUMA UI edisi 25/XVI/2009. Dalam tulisan ini dijelaskan bagaimana seorang kader yang ingin maju menjadi Presiden BEM UI harus mendapat izin dari murabbi. Bahkan di antara murabbi

perlu bermusyawarah untuk menentukan siapa yang berhak maju mencalonkan Presiden BEM UI. Setelah ada kesepakatan antar murabbi, jika ada dua kader yang ingin maju salah satunya harus rela mengundurkan diri. Sesudah itu, “fatwa” para murabbi turun dan menjadi kepatuhan bersama kader-kader dakwah siapa yang akan dipilih dalam pencalanan Presiden BEM UI. Praktis cara ini menjadi strategi politik yang matang dan terbukti membuahkan hasil yang nyata. Beberapa kali Presiden BEM UI atau BEM Fakultas di UI diduduki kader-kader Tarbiyah. Menurut penulis, hal ini juga terjadi di berbagai kampus sekuler seperti ITS, UNESA, dan UNAIR di Surabaya, atau UNIBRAW dan UNM di Malang.

(7)

115

MAARIF Vol. 9, No. 1 — Juli 2014

Universitas Indonesia sejak 1982.12

Strategi ekspansi HTI chapter Universitas Indonesia salah satunya dengan menguasai masjid dan mushalla kampus. Satu fakta dibuktikan dengan keberadaan dua aktivis HTI Arman Surya Hardi dan Bima dalam kepengurusan forum remaja masjid Ukhuwah Islamiyyah. Sebagai pengurus masjid mereka seringkali mengadakan berbagai diskusi keislaman dengan mendatangkan pemateri yang juga para senior HTI.13 Sementara kegiatan diskusi atas nama HTI diadakan di selasar masjid setiap satu minggu sekali. Menurut Arman, untuk menjadi aktivis HTI proses yang harus dilalui tidak sederhana. Paling tidak sudah memahami tiga buku karya Syekh Taqyuddin An-Nabhani, yaitu Nizhâm al-Islâm, al-Muqawwimah, dan Takatu al-Hizb. Jika sudah mempelajari ketiga buku tersebut, namun belum dapat memahaminya dengan baik berarti belum menjadi kader yang sesungguhnya.

HTI memiliki pola tersendiri dalam melakukan perekrutan dan pembinaan kader. Pertama, tahap perekrutan yaitu model perkaderan dinamakan proses interaksi (tafa’ul ma’a al-ummah). Tahap ini bertujuan menyatukan persepsi di antara kader baru dengan menyoroti kemunduran Islam akibat berbagai pemikiran yang bersumber dari Barat.14 Kedua, mahasiswa yang ingin menjadi kader wajib mengikuti kajian keislaman (tsaqafah) yang mendiskusikan berbagai karya Taqyuddin. Proses selanjutnya para kader baru bisa dikatakan syabbâb --sebutan untuk aktivis Hizbut Tahrir-- jika mereka berani menyuarakan kepentingan HTI mendirikan Khilâfah Islâmiyyah.

12 Hizbut Tahrir masuk ke Indonesia melalui M. Musthofa dan Abdurrahman Al-Baghdadi. Diketahui M. Mustofa adalah alumnus dari perguruan tinggi di Yordania. Dia juga merupakan anak dari pengasuh pondok pesantren Al-Ghozali Bogor, Abdullah bin Nuh, yang punya pandangan terbuka terhadap Islam. Abdullah diketahui menjalin komunikasi yang dekat dengan para aktivis DDII. Ketika belajar di Yordania, Musthofa banyak belajar mengenai pemikiran Taqyuddin An-Nabhani. Maka ketika cuti semester, dia pulang ke Indonesia, dan mengajarkan kepada kalangan mahasiswa yang nyantri di pesantren ayahnya. Sedangkan Abdurrahman adalah keturunan Libanon yang bermigrasi ke Australia, dan selanjutnya turut mengajarkan pemikiran-pemikiran Hizbut Tahrir ke Indonesia bersama Musthofa. Untuk lebih lengkapnya baca dalam M. Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005), 100. Baca juga, Ahmed Rashid, Jihad: The Rise Of Millitant Islam In Central Asia (Yale: Yale University Press, 2002), 120. Lihat juga, Burhanuddin Muhtadi, “The Quest for Hizbut Tahrir in Indonesia”, The Asian Journal of Social Science, (NUS & Brill) 37 (2009), 623-645. Pembahasan yang lebih lengkap tentang HTI juga bisa ditemukan dalam Agus Salim, “The Rise of Hizb ut-Tahrir”, 2004.

13 Sebagai pengetahuan tambahan, acara diskusi FRM diadakan pada Senin atau Selasa sore. Diskusi ini terbuka, namun beberapa mahasiswa yang hadir merupakan para aktivis HTI chapter UI. Hanya saja banyak di antara mereka tidak mengetahui latarbelakang organisasi keagamaan yang diikuti para pegiatnya. Peneliti beberapa kali mengikuti diskusi ini dan mewawancarai sejumlah peserta.

(8)

116

MAARIF Vol. 9, No. 1 — Juli 2014

Model pembinaan HTI chapter Universitas Indonesia tidak jauh berbeda dengan sistem perkaderan yang ditetapkan Hizbut Tahrir, yaitu dengan membagi pada tiga tahap pembinaan (marhalah). Pertama, proses pembinaan dan perkaderan (marhalah tasqif). Tahap ini para calon syabbâb dibina menjadi kader gerakan internal. Mereka diajarkan berbagai karya Taqyuddin dan diberikan materi pengenalan organisasi. Kedua, tahap berinteraksi dengan masyarakat (marhalah tafa’ul ma’a al-Ummah). Para kader lebih banyak diorientasikan supaya menjalin komunikasi dengan masyarakat. Mereka bertanggungjawab memberi pemahaman kepada umat Islam tentang segala permasalahan global. Setelah itu, dijelaskan bahwa setiap problem membutuhkan solusi dan segala permasalahan dapat diselesaikan dengan mendirikan Negara Islam.

Ketiga, tahap pengambilalihan kekuasaan (marhalah istilâm al-hukm). Para aktivis HTI mengajak masyarakat melakukan gerakan revolusioner mendirikan pemerintahan Islam melalui politik Islam.15 Keinginan itu akan muncul dengan sendirinya setelah mereka sadar setiap persoalan yang muncul diakibatkan kemunduran moral masyarakat. Pada akhirnya mereka menginginkan Khilâfah sebagai strategi mengembalikan kekuatan umat Islam.16

Model gerakan HTI secara tegas mencita-citakan berdirinya Khilâfah Islâmiyyah. Krisis di berbagai sektor kehidupan saat ini merupakan implikasi yang logis karena manusia yang tidak lagi mementingkan moralitas dan keyakinan agama dalam kehidupan mereka. Menurut mereka, nilai-nilai Islam mestinya dipraktekkan dalam aktivitas sehari-hari dan itu hanya bisa dicapai dengan mendirikan Negara Islam. Pemerintahan Islam menjadi jalan keluar yang akan mengeluarkan keterpurukan masyarakat global, utamanya umat Islam dari berbagai krisis kemanusiaan universal.

15 Istilah “Islam Politik” merujuk pada “Islam sebagai ideologi politik lebih daripada sekedar agama atau konstruksi teologi”. Selengkapnya baca dalam Mohammad Ayyub, “Political Islam: Image and Reality”, World Policy Journal Vol. 21, No. 3 (Fall, 2004), 1-14. Sementara untuk kasus di Indonesia, bisa mempelajarai tentang keberadaan partai politik Islam yang muncul tak lama setelah Soeharto jatuh. Baca dalam Anies Rasyid Baswedan, “Political Islam in Indonesia: Present and Future Trajectory”, Asean Survey, Vol XLIV, No. 5, Sept/ Okt 2004, 672.

(9)

117

MAARIF Vol. 9, No. 1 — Juli 2014

Jamaah Salafi

Selain Harakah Tarbiyah dan HTI, gerakan organisasi Islam bercirikan fundamentalis yang tumbuh dan berkembang di Universitas Indonesia adalah Jamaah Salafi. Kelompok gerakan ini kerap mengklaim diri sebagai kalangan Islam yang mempraktekkan doktrin agama secara murni, bebas dari penambahan, pengurangan, dan perubahan.

Salafi bukan sebuah partai politik atau mazhab baru melainkan Islam dengan segala hal yang melingkupinya. Salafi adalah mereka yang menjalankan perintah-perintah Allah dan Rasul-Nya. Ia merupakan metode (manhaj) yang komprehensif dalam memahami Islam dan melaksanakan tindakan sesuai dengan ajaran-ajarannya.17

Tidak diketahui kapan pasti awal mula kelompok yang dikenal secara umum oleh mahasiswa sebagai komunitas sunyi ini memulai pergerakannya di Universitas Indonesia. Menurut Danial Sutami Putra, keberadaan mereka bermula dari kajian-kajian keislaman yang berbasiskan salafi pada tahun 1999-an. Kajian bertemakan Islam salafi digagas beberapa ustadz seperti Ust. Abdul Hakim di masjid Ukhuwah Islamiyyah. Awal mula kajian ini hanya diikuti tidak lebih dari 10 anggota, namun mengalami peningkatan waktu demi waktu karena konsistensi dari para pendirinya.

Kajian Jamaah Salafi biasanya membahas berbagai materi di antaranya Tawhid, Aqidah, Akhlak, Fiqih, dan Manhaj al-Islam. Setiap materi yang diajarkan menghadirkan pemateri yang sesuai dengan kemampuan di bidangnya. Target kajian keislaman ini memiliki satu orientasi yang mutlak dikuasai para kader yaitu supaya mereka memahami Islam sebagaimana yang diteladankan para salaf al-shâlih atau dengan manhaj salaf.18

Aktivis Salafi biasanya masuk atau mengikuti berbagai kegiatan FDK seperti halnya diskusi rutinan. Di forum kajian itu mereka berkenalan dengan para aktivis FDK yang kemudian diajak dalam pertemuan kajian

17 An Introduction to the Salafi Dak’wah, The Qur’an and Sunnah Society, www.qss.org.

(10)

118

MAARIF Vol. 9, No. 1 — Juli 2014

mingguan yang diadakan Jamaah Salafi. Strategi perekrutan yang seperti itu pernah dialami Danial.19

Kajian yang diselenggarakan Jamaah Salafi lebih terlihat ekslusif. Diskusi biasa diadakan setiap Jum’at sore setelah para aktivisnya menunaikan shalat Ashar di masjid Ukhuwah Islamiyyah. Setelah itu, mereka mengelompok di selasar masjid dan memulai pembahasan kajian. Antara ikhwân dengan akhwât dihalangi tabir pembatas, sementara pemateri duduk di depan persis di antara ikhwân dan akhwât. Pemateri yang mengisi terkadang dari Jamaah luar, namun kadang juga alumni Jamaah Salafi dari Universitas Indonesia.

Para aktivis Jamaah Salafi tidak mau disebut sebagai kader Salafi. Forum kajian salafi yang berpusat di selasar masjid Ukhuwah Islamiyyah oleh para aktivisnya disebut bukan merupakan sebuah gerakan Islam yang menebar benih-benih Salafisme di kalangan intelektual kampus. Bahkan mereka juga tidak ingin diklasifikasikan sebagai sebuah komunitas atau organisasi keislaman, tetapi hanya disebut sebagai kelompok yang mempelajari tema-tema Islam.

Kehidupan sosial Jamaah Salafi kerap mengalienasikan diri dari ruang sosial yang mainstream. Mereka membentuk kelompok pertemanan sendiri, yang terhindar bahkan menjauh dari komunitas mahasiswa lain. Aktivitas program Jamaah mereka juga tidak pernah tersinergi atau bekerjasama dengan forum/gerakan organisasi Islam lain, seperti Harakah Tarbiyah dan HTI.

Sikap ekslusif Jamaah Salafi bukan hanya terjadi dalam komunitas Salafi di kampus tersebut, melainkan merupakan ide-ide Salafisme secara global. Noorhaidi Hasan menyebutkan, sikap ekslusif dan menutup diri (alienation) adalah upaya Jamaah Salafi untuk memperkenalkan sebuah varian Islam yang kaku (rigid), yang terfokus pada usaha pemurnian tauhid dan praktik keagamaan ekslusif yang diklaim sebagai salah satunya

(11)

119

MAARIF Vol. 9, No. 1 — Juli 2014

jalan untuk mengikuti keteladanan salaf al-shâlih, generasi awal muslim. Masalah-masalah yang sederhana seperti, jalabiyyah, imâmah, lihyah, isbal, dan niqab, menjadi tema utama yang selalu muncul dalam wacana keseharian mereka.20

Jamaah Salafi juga menolak segala bentuk aktivisme politik (hizbiyyah) karena hal ini dinilai merupakan perbuatan bid’ah yang dilarang agama. Dalam perspektif mereka, untuk menciptakan tatanan masyarakat yang madani dan diridlai Allah SWT tidak diperlukan jalan politik praktis untuk meraihnya. Masyarakat yang Islami akan tercipta dengan sendirinya, jika saja setiap individu melaksanakan semua amalan yang diperintahkan Allah SWT.

Tipologi Gerakan Islam Fundamentalis

Dalam penelitian ini, berbagai organisasi Islam fundamentalis yang tumbuh dan berkembang di Universitas Indonesia dapat dipetakan menjadi tiga tipologi gerakan keagamaan, di antaranya yaitu: (1) Harakah Tarbiyah; Neo-Fundamentalisme Islam, (2) HTI; Fundamentalisme Islam Semi-Politik, dan (3) Jamaah Salafi; Fundamentalisme Islam Literal.21

Harakah Tarbiyah: Neo-Fundamentalisme Islam

Para aktivis Harakah Tarbiyah di kalangan mahasiswa Universitas Indonesia paling banyak ditemui di Fakultas MIPA, Kesehatan Masyarakat (Kesmas), dan Psikologi. Sebagian besar di antara mereka merupakan kumpulan mahasiswa yang memiliki prestasi baik di bidang akademik dan keorganisasian. Kebanyakan mereka berlatar belakang pendidikan SMA (bukan pesantren). Meski selama ini secara ideologi mereka dikenal anti berbagai pemikiran yang bersumber dari Barat, namun mereka sangat sadar pemanfaatan teknologi informasi. Seperti halnya mahasiswa

20 Baca Noorhaidi Hasan, “Ideologi, Identitas dan Ekonomi Politik Kekerasan: Mencari Model Solusi Mengatasi Ancaman Radikalisme dan Terorisme di Indonesia,” Prisma, Vol. 29, LP3ES, Oktober (2010), 7. Selain itu, tentang kemunculan gerakan Salafi yang lebih lengkap baca dalam Noorhaidi Hasan, The Salafi Movement in

Indonesia: Transnasional Dynamics and Local Development”, dalam Comparative Studiesof South Asia, Africa and the Middle East, Vol. 21, No. 1 (2007), 83-94.

(12)

120

MAARIF Vol. 9, No. 1 — Juli 2014

pada umumnya di era saat ini, mereka menggunakan handphone sebagai alat komunikasi, laptop untuk bekerja dan mengerjakan tugas kuliah, serta akses internet yang tidak bisa dilepaskan dari aktivitas mereka setiap hari. Bahkan, tidak sedikit di antara aktivis Harakah Tarbiyah yang ahli mengoperasikan teknologi tersebut. Padahal, teknologi informasi kebanyakan diciptakan para ahlinya dari negara-negara Barat.22

Mereka beralasan bahwa pemanfaatan teknologi informasi merupakan bagian dari mempelajari ilmu pengetahuan. Dari itu, menuntut ilmu tidak terkecuali sains dan teknologi adalah kewajiban yang dibebankan kepada umat muslim. Jika mampu memadukan antara disiplin ilmu sekuler dengan pemahaman keagamaan yang kuat, kehidupan Islam akan kembali bisa ditegakkan. Akibat moderasi pemikiran ini, Kasinyo Harto mengelompokkan gerakan ini sebagai Islam fundamentalis-rasional.23 Maksudnya, pada satu sisi mereka adalah kelompok fundamentalis Islam yang menyerukan perjuangan Shari’ah Islam, tetapi pada sisi yang lain gerakan mereka mulai beradaptasi dengan modernitas di era kekinian seperti sekarang.

Keberadaan Harakah Tarbiyah sebagai salah satu obyek kajian organisasi keagamaan yang datang belakangan di Indonesia, tidak ada salahnya jika penulis memetakannya sebagai kelompok Islam yang paradoks. Moderatisme pemikiran Tarbiyah menampilkan ciri fundamentalisme Islam yang paradoks karena dalam beberapa pemikirannya mengalami pergeseran pemikiran. Dalam hal penerapan demokrasi sebagai sebuah sistem pemerintahan di Indonesia, kelompok Tarbiyah tidak menolaknya secara tegas. Mereka berpandangan, demokrasi dapat menjadi jalan alternatif yang akan menghidupkan perjuangan Shari’ah Islam. Sebab itu dalam mewujudkan misinya Harakah Tarbiyah tidak harus melakukan aksi-aksi yang radikal.24

Keterlibatan aktivis Harakah Tarbiyah di politik kampus, keterbukaan terhadap modernitas, serta tidak melawan demokrasi sebagai sebuah

22 Bahkan diketahui bahwa terdapat sejumlah otak kunci kecanggihan teknologi informasi ditemukan oleh para keturunan Yahudi diaspora. Di antara mereka misalnya, Larry Page dan Sergey Brin (penemu Google), Mark Zuckerberg (penemu Facebook), Bill Gates (pendiri Microsoft), Andrew Grove (pendiri Intel), dan Andrew E. Rubin (pendiri Android).

23 Kasinyo Harto. Islam Fundamentalis di Perguruan Tinggi Umum: Kasus Gerakan Keagamaan Mahasiswa Universitas Sriwijaya Palembang (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2008), 175

(13)

121

MAARIF Vol. 9, No. 1 — Juli 2014

sistem pemerintahan menjadi sejumlah alasan rasional bagi peneliti untuk mengelompokkan mereka sebagai sebuah gerakan Neo-Fundamentalisme Islam. Pasalnya, jika merujuk pada sumber pemikiran utamanya, yaitu di awal berdirinya Ikhwanul Muslimin,25 sikap Tarbiyah khususnya di lingkaran mahasiswa Universitas Indonesia menampilkan gelagat yang jauh berbeda. Fakta tersebut terlihat dari keterlibatan penuh aktivis SALAM UI dalam dinamika politik kampus.

Selain itu, saat ini bentuk dan karakter gerakannya terlihat lebih akomodatif dengan problem-problem kontemporer, tetapi pada sisi yang lain mereka tetap tidak bisa melupakan visi perjuangannya sebagai gerakan keagamaan yang berupaya membangkitkan nilai-nilai keislaman di ruang publik. Pada konteks ini, Harakah Tarbiyah di Universitas Indonesia mampu menampilkan wajah yang berbeda dibanding gerakan fundamentalisme Islam lainnya seperti HTI dan Jamaah Salafi. Model keagamaan yang kontekstual menjadikannya sebagai kelompok fundamentalisme Islam yang paling banyak diminati kalangan mahasiswa.

Penyebutan Harakah Tarbiyah di era kontemporer dengan sebutan Neo-Fundamentalisme Islam kiranya tidak berlebihan. Sebelumnya, ungkapan ini juga pernah dipakai Olivier Roy untuk menyebut kebangkitan kelompok Islam pasca Revolusi Islam di Iran (1979).26 Tetapi dalam pemakaian kata “Neo-Fundamentalisme” di penelitian ini, penulis sedikit berbeda dengan yang dikemukakan Roy. Sebab, dia menyebut berbagai gerakan neo-fundamentalisme yang muncul saat itu telah mengambil bentuk baru yang konservatif dan polimorfis. Menurut penulis, jika pendapat tersebut ditujukan pada kalangan Jamaah Salafi, penilaian tersebut dapat dibenarkan tetapi pendapat Roy tidak relevan dengan eksistensi dan perkembangan Harakah Tarbiyah di Indonesia.

25 Padahal, ketika Ikhwanul Muslimin (IM) berdiri di Mesir pada 1927, Hasan al-Banna sebagai pendirinya kerap bersitegang dengan militer. Begitupun ketika IM dikendalikan Sayyid Qutb, era ini menjadi masa berdarah-darah bagi para pengikut IM dengan militer. Mereka memilih langkah oposisi karena pemerintah dianggap lebih mengutamakan kepentingan Barat daripada umat Islam. Hingga kini aktifis IM kerap melakukan aksi-aksi kekerasan atas sikap perlawanan mereka terhadap kepemimpinan militer di Mesir. Mengenai hal ini baca, Olivier Roy, The Failure of Political Islam (London: I.B. Tauris & Co Ltd, 1994), 35

(14)

122

MAARIF Vol. 9, No. 1 — Juli 2014

HTI: Fundamentalisme Islam Semi-Politik

Ekspansi pemikiran HTI di Universitas Indonesia disebarkan para aktivisnya melalui berbagai cara; kajian, seminar, dan pelatihan keislaman. Sementara perkaderan resmi, HTI di kampus ini menyelenggarakan tsaqâfah sekali dalam setahun. Di semua agenda HTI, pemahaman tentang pentingnya penegakan Khilâfah Islâmiyyah menjadi tema utama pendidikan. Dengan berbagai cara tersebut penyebaran ide dan pemikiran organisasi Islam ini terlihat efisien. Hal ini dibuktikan dengan jumlah keanggotaan HTI yang terus mengalami peningkatan setiap tahun.

Menurut aktivis HTI Arman, jumlah kader HTI di Universitas Indonesia selalu bertambah sekitar 20 hingga 30 kader setiap tahun. Jumlah itu merupakan para kader yang aktif mengikuti berbagai kegiatan HTI.27 Padahal, di awal tahun 2000-an keberadaan HTI di kampus nomor satu di Indonesia ini hanya sekitar 15 sampai 20 orang saja. Bahkan, sekarang ini ada banyak kader HTI di Fakultas Ilmu Kedokteran (FIK).28

Dalam buku bertajuk Manifesto Hizbut Tahrir untuk Indonesia disebutkan, HTI merupakan sebuah partai politik yang berideologikan Islam. Organisasi ini berdiri dengan tujuan ingin membebaskan umat manusia dari dominasi, paham, pemikiran, sistem hukum, dan negara kufur menuju paham, pemikiran, sistem hukum, dan negara Islam dengan menerapkan Syarî’ah Islâm secara kaffah dan mengemban misi dakwah ke seluruh dunia.29 Dengan harapan besar itu, HTI merupakan gerakan politik yang menginginkan supaya Islam menjadi sistem pemerintahan. Sementara Indonesia, disuarakan untuk menjadi titik awal bagi tegaknya cita-cita Khilâfah Islâmiyyah.30

Bagi HTI, kepentingan Indonesia menjadi nukleus bagi bangkitnya kekuatan Islam dunia memiliki alasan yang rasional. Secara organisatoris, saat ini HTI telah memiliki struktur kepengurusan yang lengkap mulai dari Dewan Pimpinan Pusat (DPP), Dewan Pimpinan Wilayah (DPW), hingga Dewan Pimpinan Daerah (DPD). Pasca Kongres Internasional

27 Wawancara Arman Surya Hadi (aktivis HTI), 25 Maret 2013.

28 Wawancara Ali Said Damanik, pada 23 September 2013.

29 Lihat, Manifesto Hizbut Tahrir untuk Indonesia: Indonesia, Khilafah dan Penyatuan Kembali Dunia Islam (tanpa penulis, HTI: 2009), 67

(15)

123

MAARIF Vol. 9, No. 1 — Juli 2014

pertama Hizbut Tahrir di Gelora Bung Karno (GBK) pada 2000, HTI telah berekspansi ke 31 provinsi dan mempunyai lebih dari 200 distrik di Tanah Air. Apalagi lagi kepengurusan di dalamnya meliputi departemen politik, ekonomi, dan kemahasiswaan. Di lingkungan mahasiswa HTI menjelma menjadi gerakan ekstra kampus Gerakan Pembebasan Mahasiswa (GEMA).

Sistem kepengurusan HTI yang begitu komprehensif tidak dijumpai di negara-negara lain. Apalagi di sejumlah negara di Timur Tengah seperti Mesir, Syiria, Tunisia, Libya, dan Lebanon sangat tidak memungkinkan untuk dijadikan titik awal tegaknya Khilâfah Islâmiyyah. Sejumlah negara berpenduduk mayoritas Islam tersebut tengah mengalami krisis perang saudara yang belum bisa dipastikan kapan akan selesai. Sementara di Indonesia, eksistensi HTI diuntungkan dengan keterbukaan sistem demokrasi yang mengakomodasi semua organisasi sehingga gerakan HTI tumbuh dan berkembang secara cepat.

Upaya radikal HTI yang ingin mendirikan Daulah Islâm dipandang sebagian besar umat Islam sebagai cita-cita yang ilutif.31 Bahkan langkah HTI sebagai partai politik juga dinilai sebagai sikap yang munafik, karena tidak mampu memainkan fungsi-fungsi kepartaian sebagaimana yang dipraktikkan partai-partai politik modern saat ini. Haedar Nashir melakukan kritik tegas terhadap HTI dengan mengatakan bahwa gerakan ini bukan merupakan partai politik Islam, melainkan sekedar organisasi kemasyarakatan biasa yang bergerak di bidang pendidikan agama dan sosial. Jika mereka benar partai politik mestinya masuk dalam sistem demokrasi di Indonesia. Namun, sepertinya HTI memiliki pengertian sendiri tentang partai politik dan demokrasi.32

Sementara strategi perjuangan Islam HTI sebagai partai politik dengan pengertiannya sendiri dikategorikan Kasinyo Harto dengan sebutan fundamentalisme Islam radikal.33 Pasalnya di dalam sebuah Negara

31 Baca dalam Abdurrahman Wahid (ed.). Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia

(LibForAll Foundation: Jakarta, 2009), 39. Disebutkan, para agen gerakan Islam transnasional tersebut datang ke Indonesia membawa petrodollar dalam jumlah yang fantastis untuk melakukan Wahabisasi, merusak Islam Indonesia yang spiritual, toleran, dan santun, dan mengubah Indonesia sesuai dengan ilusi mereka tentang negara Islam yang di Timur Tengah pun tidak ada.

32 Baca dalam Haedar Nashir, Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia (Mizan: Bandung, 2013), 403-404

(16)

124

MAARIF Vol. 9, No. 1 — Juli 2014

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), HTI menantang demokrasi dan melawan pokok-pokok pikiran negara modern seperti nasionalisme, patriotisme, dan cinta Tanah Air. Keinginan mereka untuk mendirikan negara Islam terlampau kuat.

Dari itu, tidak berlebihan jika penulis menyebut HTI sebagai gerakan semi-politik Islam. Tentu saja penilaian ini bukan dari ucapan para shabbab , melainkan berasal dari pendapat penulis pribadi. Paling tidak di antara pemikir Islam yang konsen terhadap gerakan-gerakan Islam transnasional terdapat dua cendekiawan muslim seperti Haedar Nashir dan Mohamed Nawab Mohamed Osman yang secara tidak langsung berpendapat sama.34 Haedar menjelaskan, HTI hanyalah sebuah gerakan kemasyarakatan biasa karena selama ini, khususnya di Indonesia tidak memainkan peran-peran substantifnya sebagaimana partai politik lainnya di era modern.

Sedangkan Mohamed Nawab berargumen, HTI adalah gerakan setengah politik. Organisasi Islam ini memiliki tujuan ingin mendapatkan pengaruh dari massa yang besar demi tercapainya cita-cita perjuangan, tetapi keberadaan massa besar itu tidak terlalu penting untuk direkrut menjadi anggota HTI. Cukup sedikit saja orang-orang terpilih yang akan memengaruhi mereka dengan pengetahuan Khilâfah Islâmiyyah, namun ketika datang masanya mereka akan mendukungnya.35 Dengan alasan itu, cukup bagi Mohamed menyebut HTI sebagai gerakan Islam semi-politis.

Dengan mempelajari tujuan, cita-cita, perjuangan, dan cara pandang HTI yang satu sisi melawan demokrasi, namun juga tumbuh dan berkembang di kekuasaan bersistem negara-bangsa (nation-state) tidak salah bila beberapa pemikir keislaman menyebutnya sebagai gerakan fundamentalisme Islam semi-politik. Ide dan gagasan HTI saat ini menyebar di lingkungan perguruan tinggi, salah satunya adalah di Universitas Indonesia. HTI diperkirakan masuk ke kampus umum di Jakarta ini di akhir tahun 1990-an, namun jumlah keanggotaan mereka belum terlalu besar.

34 Haedar Nashir adalah salah satu Pimpinan Pusat Muhammadiyah, sementara Mohamed Nawab Mohamed Osman adalah peneliti di S. Rajaratman School of International Studies, Nanyang Technological University, Singapore. Sejauh ini peneliti baru mendapatkan dua nama tersebut, namun kemungkinan besar masih terdapat peneliti lainnya yang berpendapat sama meski dengan sudut pandang yang berbeda.

(17)

125

MAARIF Vol. 9, No. 1 — Juli 2014

Dengan menggaet para intelektual kampus, sama halnya Harakah Tarbiyah, HTI ingin mencari bibit-bibit unggul yang nantinya dapat memperluas ekspansi gagasan dan pemikiran Khilâfah Islâmiyyah. Bagi kelompok ini, mahasiswa merupakan target terpenting dalam kerja-kerja perekrutan selain daripada komunitas profesional dan kalangan perempuan. Mahasiswa sebagai kaum terdidik yang masih mencari identitas kedirian dapat menjadi mesin penggerak HTI yang potensial.

Jamaah Salafi: Fundamentalisme Islam Literal

Meski kalangan mahasiswa kerap mengkategorikan kelompok mahasiswa yang mengadakan kajian di selasar utara Masjid Universitas Indonesia ini sebagai Jamaah Salafi, namun mereka tidak ingin dikatakan sebagai salafi. Secara tegas mereka menyebut jamaahnya sebagai aktivis Forum Kajian Salafi (FKS). Mereka sedikit pun tidak ingin terlibat dalam percaturan politik kampus atau menyoal persoalan kebangsaan. Mereka hanya cukup menginginkan kelompok belajar agar umat Islam memahami dengan betul doktrin-doktrin keislaman sebagaimana yang dipahami Nabi Muhammad SAW dan para sahabat-sahabatnya.

Karena itu, dalam berbagai kajian yang diadakan seringkali menggunakan sejumlah kitab Islam klasik, seperti buku karangan Muhammad bin Abdul Wahab di antaranya: Ushûlu al-Tsalâtsah, Syarah Kitâb al-Tawhîd, dan Kasyf al-Syubhât, buku karya Ibnu Taimiyah al-‘Aqîdah al-Wasathiyyah, sertabukukarya Abdul Halim Uwais Musykilât al-Syabbâb fî Dhau’ al-Islâm. Berbagai kitab tersebut mengajarkan tentang Tawhîd, Aqîdah, dan prilaku kesalehan. Buku Ushûlal-Tsalâtsah misalnya, tulisan Abdul Wahab pendiri gerakan Wahabi di Arab Saudi ini tidak lain mengajarkan ilmu Tauhid, yang sumbernya berasal dari ayat-ayat Al-Qur’an. Penyebutan Ushûl al-Tsalâtsah sendiri didasarkan pada pertanyaan-pertanyaan siapa Tuhan-mu (man rabbuka), siapa nabimu (man nabiyyuka), dan apa agamamu ( dînuka).

(18)

126

MAARIF Vol. 9, No. 1 — Juli 2014

disampaikan, lalu memberi syakal, dan mengartikannya secara ma’nani.36 Model pengajaran literatif dan tradisional seperti itu juga sama seperti yang dipraktikkan kalangan Jamaah Salafi di Universitas Indonesia. Uniknya, jamaah kajian yang hadir cukup memfoto kopi beberapa halaman buku yang akan dikaji.

Diskusi diikuti 15-20 mahasiswa (meliputi ikhwân dan akhwât), lalu seorang ustâdz yang mahir menguasai Bahasa Arab duduk di depan membacakan ayat-ayat yang terdapat di dalam buku, diartikan, dan kemudian dijelaskan sesuai maknanya. Jika ada pertanyaan biasanya disediakan waktu tersendiri di akhir diskusi. Pertanyaan yang diajukan dari Jamaah tidak pernah lepas dari tema-tema hukum Islam, misalnya, berkenaan dengan hukum orang yang tinggal di suku pedalaman sedangkan mereka tidak pernah mendapat akses pembelajaran tentang Islam, atau juga apa hukum anak non-muslim padahal orang tuanya tidak pernah mengajarkan Islam.37 Namun, jika dalam sebuah pertanyaan seorang ustâdz ragu menjawabnya, maka dia tidak akan memberikan jawaban karena harus menjawab pertanyaan beserta dalil yang pasti.38

Meski kebanyakan anggota Jamaah Salafi di Universitas Indonesia adalah mahasiswa setempat, tetapi peserta yang mengikuti diskusi rutin FKS berasal dari latarbelakang yang beragam. Di antara mereka ada yang dari mahasiswa Lembaga Ilmu Pendidikan Islam dan Bahasa Arab (LIPIA), Universitas Gunadarma, dosen Universitas Indonesia, bahkan terkadang ada yang masih siswa SMA. Aktivis Salafi Ahmad Suhendra mengakui, diskusi FKS terbuka untuk umum. Kajian diadakan setiap minggu dengan tema-tema keislaman seperti tentang cara berjilbab, sholat lima waktu, berwudlu, dan tema dasar Islam yang lain. Semua tema kajian didasarkan pada kitab-kitab Islam klasik.39

36 Ma’nani adalah bahasa Jawa yang artinya memberikan makna atau arti pada tulisan Arab dalam kitab-kitab Islam klasik. Kata ini biasanya digunakan di kalangan pesantren Jawa, di mana santri mengartikan kitab Bahasa Arab, dengan tulisan Arab Pego secara menurun seperti tangga.

37 Penulis beberapa kali mengikuti diskusi mingguan Forum Kajian Salafi (FKS) Salafi. Pertanyaan biasanya dilakukan di akhir diskusi, siapa yang ingin bertanya maka dia menulis pertanyaan tersebut di kertas, dan seorang ustadz akan menjawabnya dengan dalil Al-Qur’an, Al-Hadist, dan menghadapkannya dengan berbagai cerita pada zaman Nabi Muhammad dan para sahabat. Observasi penulis pada Kamis, (19/9/2013).

38 Jamaah Salafi sangat ketat terhadap ini karena mereka khawatir jawaban yang salah akan menyesatkan umat Islam. Mereka juga tidak akan memberikan jawaban pasti tentang pertanyaan-pertanyaan yang berkenaan dengan problem kontemporer kecuali ada bukti yang bisa dipertanggungjawabkan. Wawancara penulis dengan dosen ekonomi sekaligus aktivis Jamaah Salafi Universitas Indonesia Imam, pada Kamis (19/9/2013).

(19)

127

MAARIF Vol. 9, No. 1 — Juli 2014

Meski terbuka untuk umum, tetapi sejauh pengamatan penulis, kajian para aktivis Jamaah Salafi ini cenderung tidak banyak diminati mahasiswa. Hal ini disebabkan karena selain materi dan model pembelajaran yang membosankan, diskusi ini juga cenderung menutup diri (exclusive) dari sisi penampilan para aktivisnya. Untuk aktivis prianya, ciri khusus yang melekat pada diri mereka adalah berjenggot tidak terlalu panjang (lihyah), bercelana tanggung di atas mata kaki (isbal), memakai peci putih, dan terkadang berjaket hitam dengan tulisan-tulisan Arab.40 Sementara aktivis perempuannya berjilbab lebar warna hitam, menutup muka (niqab), dan berkelompok sesama aktivis Salafi.

Secara eksplisit, kemunculan mereka ingin menampilkan varian gerakan Islam yang kaku (rigid) dibanding kelompok muslim mainstrem, yaitu Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Performa fisik yang berbeda itu menempatkan Jamaah Salafi sebagai gerakan yang suka menyendiri (alienation). Noorhaidi Hasan menyebut mereka sebagai gerakan Islam yang bercorak “kesunyian apolitis”.41 Sebab selain memperkenalkan model keislaman yang kaku, Jamaah Salafi juga menghindari setiap permasalahan politik praktis. Seperti diketahui, selama ini kelompok Salafi lebih dikenal sebagai gerakan yang hanya fokus memberikan pemahaman keagamaan, baik di lingkungan masyarakat secara umum, maupun di lingkup mahasiswa. Mereka beralasan karena perbuatan ini sesuai dengan yang diteladakan para salaf al-shâlih.

Sementara Kasinyo Harto menyebut kelompok Jamaah Salafi sebagai gerakan Islam fundamentalis-literalis. Pendapat ini kiranya tidak berlebihan karena didasarkan pada corak pemikiran, model pembelajaran, dan cara pandang mereka yang menginginkan kembalinya kehidupan umat Islam seperti pada masa salaf al-shâlih. Dalam perspektif aktivis salafi, meski masyarakat kini dihadapkan pada era kontemporer yang sarat dengan kemajuan teknologi dan liberalisasi pemikiran, namun senyatanya hal itu mestinya bisa dibawa kembali pada masa salaf al-shâlih.42 Karena itu, diperlukan pemurnian (purifikasi) pemikiran Islam sebab umat Islam kini semakin menyimpang dari sumber agama yang

40 Tulisan Arab misalnya, ‘Isy Karîman au Mut Syahîdan (Hidup Mulia atau Mati Syahid).

41 Baca Noorhaidi Hasan, “Ideologi, Identitas dan Ekonomi Politik Kekerasan: Mencari Model Solusi Mengatasi Ancaman Radikalisme dan Terorisme di Indonesia”, Prisma, Vol. 29 (2010), 7-8

(20)

128

MAARIF Vol. 9, No. 1 — Juli 2014

otentik yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadist.

Perspektif keagamaan yang mengarusutamakan pandangan Jamaah Salafi kepada salaf al-shâlih merupakan pemaksaan total. Para aktivis sunyi di Universitas Indonesia mengkhayalkan sebuah kehidupan yang didominasi dengan terma Islam salaf al-shâlih, di mana generasi terbaik umat ada seperti para sahabat, tabi’în dan tabi’ut tabi’în. Gerakan romantisme Islam berupaya diwujudkan dengan membuat kelompok-kelompok kecil diskusi di masjid. Mereka menilai bahwa tradisi yang bersemi pada zaman salaf al-shâlih semuanya dipukul rata sebagai “yang terbaik dan yang paling benar”, sementara tradisi yang muncul belakangan (zaman modern) dianggap keburukan. Akibatnya, pemahaman para aktivis salafi cenderung monolitik dalam melihat permasalahan. Mereka menilai setiap problem harus dikembalikan pada tata aturan yang diteladankan umat salaf, tidak terkecuali problem yang muncul di era kontemporer sekalipun.

Menurut koordinator FKS dan aktivis salafi Universitas Indonesia Wahyu, kajian tidak hanya dilakukan dalam satu minggu sekali di masjid, tetapi juga kerap diadakan di kos mahasiswa. Hal ini dalam rangka memperdalam pengetahuan doktrin Islam di kalangan mahasiswa. Dia menambahkan, saat ini pola peribadatan mahasiswa dan umat Islam secara umum sudah jauh dari yang dipraktikkan para pendahulu. Cara beribadah umat Islam kini sudah tidak murni lagi karena banyak tercemari dengan bid’ah dan khurafah. Karena itu, pemahaman keagamaan umat Islam perlu dimurnikan agar tidak semakin menuju kehancuran.43

Sejak awal, model keagaamaan Jamaah Salafi (tidak hanya di Universitas Indonesia) bercirikan fundamentalis-literal. Tipologi ini merujuk pada figur dan penokohan yang dicitrakan para aktivis salafi terhadap sosok Muhammad bin Abdul Wahab. Dalam berbagai kajiannya para jamaah salafi memakai buku-buku karya Abdul Wahab sebagai rujukan utama.44 Padahal, anak dari hakim ‘Uyaynah Abdul Wahab tersebut dikenal sebagai pendiri sekte Wahabi yang melahirkan pemahaman keislaman yang kaku, rigid, dan ekstrim. Menurut Abdurrahman Wahid, literalisme

43 Wawancara Wahyu, pada Kamis, (19/9/2013)

(21)

129

MAARIF Vol. 9, No. 1 — Juli 2014

Wahabi telah membuat teks-teks suci menjadi corpus yang tertutup. Wajah Islam di tangan Abdul Wahab menjadi tidak akomodatif terhadap realitas sosial, sebaliknya menjadi keras, kaku, dan ekstrim.

Model penafsiran Jamaah Salafi cenderung tekstualis, literaltif, dan monolitik. Bagi mereka, Al-Qur’an dan Al-Hadist tidak memerlukan penafsiran dengan model kritis atau heurmenetik karena kedua sumber tersebut sudah sempurna dan tidak memerlukan model penafsiran yang lain. Akibat dari itu, umat Islam dihadapkan pada kejumudan dan stagnasi pemikiran. Tidak ada lagi ruang analisis untuk memperkaya kajian keislaman secara kritis-historis. Penafsiran hanya terpaku pada pendapat pribadi kelompok salafi.45

(22)

130

MAARIF Vol. 9, No. 1 — Juli 2014

Perspektif Aktivis Fundamentalisme Islam Mahasiswa

Universitas Indonesia Terhadap Pokok-Pokok Pikiran Negara Modern

Pokok-Pokok Pikiran

Negara Modern Harakah Tarbiyah

Demokrasi, Nasionalisme, dan Patriotisme

Demokrasi

Gerakan ini relatif lebih akomodatif memandang demokrasi. Tarbiyah tidak menolak demokrasi secara radikal. Justru kelompok ini memanfaatkan demokrasi sebagai jalan membangun kehidupan yang islami melalui keterlibatan aktif di politik praktis.

Para aktifis Harakah Tarbiyah menerima demokrasi dengan mendirikan PKS. Demokrasi memang tidak berasal dari Islam, namun sistem politik modern ini lebih mendekati kepada nilai-nilai Islam dibanding sistem pemerintahan yang lain.

Demokrasi memberikan jaminan kebebasan bagi dakwah Islam. Dalam mekanisme demokrasi, Islam mempunyai peluang untuk melakukan penetrasi kekuasaan.

HAM dan Kesetaraan Gender

Tarbiyah memandang isu kesetaraan gender dan kepemimpinan perempuan adalah pemahaman yang akan meracuni pemikiran umat Islam. Hal ini didasarkan pada ayat yang berbunyi:

(23)

131

MAARIF Vol. 9, No. 1 — Juli 2014

Hizbut Tahrir Jamaah Salafi

Demokrasi

Hanya terdapat dua kategori pemerintahan di dunia, yaitu Dâr al-Islâm (negara dengan sistem berdasarkan doktrin-doktrin Islam) dan Dâr al-Kufr (pemerintahan kafir). Selama sebuah pemerintahan tidak menerapkan hukum-hukum Tuhan berarti negara tersebut disebut Dâr al-Kufr, termasuk demokrasi

Nasionalisme

Negara yang berjalan dengan iringan

patriotisme dan nasionalisme merupakan satu bentuk ekspresi ketaatan terhadap mayoritas. Sebab itu, sikap kepatuhan seperti itu harus segera dihilangkan dengan menegakkan

Khilâfah Islâmiyyah.

HTI menggambarkan sikap nasionalisme, patriotisme, dan kecintaan terhadap NKRI seperti halnya fanatisme kesukuan yang menjadi tradisi di kalangan bangsa Arab pra-Islam (jahiliyyah). Semua bentuk ekspresi nasionalisme tidak lebih dari fanatisme kesukuan (‘ashobiyyah) yang secara jelas berlawanan dengan prinsip-prinsip Islam.

Demokrasi

Jamaah Salafi menolak demokrasi seperti halnya HTI. Namun, penolakan tidak dilakukan secara terbuka.

Aktifis Jamaah Salafi juga tidak

memperbolehkan membuat partai politik, sebab jika Islam diformalisasikan ke dalam sebuah partai maka berpotensi besar untuk terjadi penyimpangan. Karena itu, Salafi cenderung antipati terhadap HTI yang menegaskan diri sebagai partai politik, dan Harakah Tarbiyah yang haus kekuasaan.

Meski menolak demokrasi dan partai politik, namun Jamaah Salafi mengakui pemimpin yang berasal dari kalangan muslim meskipun dia terpilih lewat proses demokrasi. Sebab haram hukumnya melakukan pengingkaran terhadap pemimpin Islam.

HTI menolak kesetaraan gender dan

kepemimpinan perempuan. Ia membolehkan kalangan perempuan di posisi manapun kecuali menjadi Khilâfah Islâmiyyah.

Jamaah Salafi menolak HAM dan kesetaraan gender. Pasalnya, wacana ini sengaja didengungkan Barat karena menganggap Islam sangat mengikat kaum perempuan.

Karena itu, gerakan ini menolak

(24)

132

MAARIF Vol. 9, No. 1 — Juli 2014

Pokok-Pokok Pikiran

Negara Modern Harakah Tarbiyah

Pluralisme, Sekulerisme, dan Liberalisme

Kelompok Islam fundamentalis, baik Harakah Tarbiyah, HTI, dan Jamaah Salafi menolak persoalan tentang pluralisme, sekulerisme dan liberalisme. Ketiganya dianggap dapat meracuni umat Islam karena mencampuradukkan akidah. Kaum fundamentalis menganggap pluralisme adalah persenyawaan yang menyimpulkan bahwa: Pertama, semua tradisi agama-agama besar

(25)

133

MAARIF Vol. 9, No. 1 — Juli 2014

Hizbut Tahrir Jamaah Salafi

(Yahudi, Kristen, dan Islam) adalah sama, yaitu merujuk pada realitas tunggal yang

transenden dan suci. Kedua, agama-agama itu menawarkan jalan keselamatan. Ketiga, ketiga agama tidak memiliki kata final, yang berarti semua agama selalu punya kesempatan untuk disikapi, dikritisi, dan direvisi. Untuk itu, semua elemen organisasi keagamaan mahasiswa Universitas Indonesia menyuarakan penolakan keras terhadap ketiga permasalahan tersebut.

HTI mendukung penerapan ekonomi Islam secara utuh, tetapi gerakan politik Islam ini tidak menilai implementasi perbankan shariah di Indonesia sebagai salah satu praktik ekonomi Islam. Pasalnya perbankan Islam yang berdiri di Tanah Air masih menginduk ke Bank Indonesia (BI). Selain itu, jamak diketahui bahwa keberadaan perbankan Islam merupakan hasil kinerja

spin off dari bank-bank konvensional, yang mayoritas SDM-nya adalah para pimpinan yang sebelumnya duduk di bank-bank konvensional.

Jamaah Salafi tidak pernah mendiskusikan tentang ekonomi Islam atau perbankan Islam. Setiap kajian yang diselenggarakan, tema selalu ditentukan mudabbir. Kajian tematik, seperti isu-isu kontemporer tidak pernah ada, karena fokus kajian Jamaah Salafi lebih pada persoalan aqîdah dan

(26)

134

MAARIF Vol. 9, No. 1 — Juli 2014 Kesimpulan

Penelitian ini membuktikan beberapa hal yang menyebutkan bahwa sejumlah gerakan Islam fundamentalis telah tumbuh dan berkembang di Universitas Indonesia. Di antara beberapa bukti yang dapat dijadikan dasar ialah: Pertama, terdapat organisasi berbasiskan Islam seperti Harakah Tarbiyah, HTI dan Jamaah Salafi di kampus ternama tersebut. Ketiga gerakan ini sama-sama berideologikan Islam, namun dengan cita-cita menjadikan agama sebagai dasar Negara meski dengan cara dan strategi perjuangan yang berbeda.

Kedua, karena bercita-cita ingin mendasarkan agama sebagai basis Negara, ketiganya menolak demokrasi sebagaimana yang saat ini dipraktikkan bangsa Indonesia. Bahkan, mereka juga menolak sikap cinta Tanah Air: patriotisme dan nasionalisme. Pemahaman seperti ini dapat disaksikan melalui berbagai aktivitas para kadernya, baik HTI, Harakah Tarbiyah maupun Jamaah Salafi di Universitas Indonesia.

Ketiga, indikasi adanya gerakan Islam fundamentalis di Universitas Indonesia dapat diketahui dari ramainya berbagai aktivitas yang mengambil tema Islam. Mereka kerap mengadakan kajian, seminar, training berlandaskan Islam, halaqah, usrah, dan berbagai kegiatan pembinaan Islam lain. Yang lebih mencolok secara fisik, model penampilan para aktivis Islam fundamentalis tampak berbeda dibanding mahasiswa Islam yang lain. Para akhwât memakai jilbab panjang, warna gelap, dan sebagian menutupi muka dan tangan mereka. Sementara para ikhwân memiliki ciri khas memelihara jenggot, berbaju koko, memakai sandal gunung, dan bercelana di atas mata kaki. Di satu sisi fenomena ini merupakan berita yang menggembirakan dalam konteks penciptaan lingkungan kampus yang islami. Namun di sisi yang lain meningkatnya aktivitas keagamaan itu diiringi dengan proses infiltrasi berbagai gerakan yang memiliki kecenderungan fundamentalistis.

(27)

135

MAARIF Vol. 9, No. 1 — Juli 2014

Daftar Pustaka

Buku/Jurnal/Majalah

An Introduction to the Salafi Dak’wah, The Qur’an and Sunnah Society,www.qss.org.

Ayyub, Mohammad. “Political Islam: Image and Reality”, World Policy Journal Vol. 21, No. 3 (Fall, 2004), 1-14.

Aziz, Abdul. “Meraih Kesempatan dalam Situasi Mengambang: Studi Kasus Kelompok Keagamaan Mahasiswa Universitas Indonesia”, Penamas No. 20 (1995), 3-20.

Baswedan, Anies Rasyid. “Political Islam in Indonesia: Present and Future Trajectory”, Asean Survey, Vol XLIV, No. 5, Sept/Okt 2004, 672.

Damanik, Ali Said. Fenomena Partai Keadilan: Transformasi 20 Tahun Gerakan Tarbiyah di Indonesia. Bandung: Teraju, 2002.

Harto, Kasinyo. Islam Fundamentalis di Perguruan Tinggi Umum: Kasus Gerakan Keagamaan Mahasiswa Universitas Sriwijaya Palembang. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2008.

Hasan, Noorhaidi. “Ideologi, Identitas dan Ekonomi Politik Kekerasan: Mencari Model Solusi Mengatasi Ancaman Radikalisme dan Terorisme di Indonesia,” Prisma, Vol. 29, LP3ES, Oktober (2010), 7.

Hasan, Noorhaidi. The Salafi Movement in Indonesia: Transnasional Dynamics and Local Development”, dalam Comparative Studiesof South Asia, Africa and the Middle East, Vol. 21, No. 1 (2007), 83-94.

Hilal, Syamsul. Gerakan Dakwah Islam di Indonesia. Jakarta: Pustaka Tarbiatuna, 2000.

Kraince, Richard G. “The Role of Islamic Student Group in the Reformasi Struggle: KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia),” Studia Islamika, Vol. 7, Number. 1, (2000).

Latif, Yudi. “The Rapture of Young Muslim Intelligensia in Modernization of Indonesia,” Studia Islamika, Vol. 12, Number 3, (2005): 374.

Majalah Suara Mahasiswa (SUMA) UI bertajuk “Gerakan Politik Tarbiyah di Kampus-Kampus Besar di Indonesia,” edisi 25/XVI/2009.

(28)

136

MAARIF Vol. 9, No. 1 — Juli 2014

Dunia Islam.Tanpa Penulis, HTI: 2009.

Muhtadi, Burhanuddin. “The Quest for Hizbut Tahrir in Indonesia”, The Asian Journal of Social Science, (NUS & Brill) 37 (2009), 623-645.

Nashir, Haedar. Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia. Mizan: Bandung, 2013.

Osman, Mohamed Naweb Mohamed. “Reviving the Caliphate in the Nusantara: Hizbut Tahrir Indonesia’s Mobilization Strategy and Its Impact in Indonesia”, dalam Terrorism and Political Violence (Routledge, 22:4), (2010), 606.

Rahmat, Imdadun. Arus Baru Islam Radikal. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005.

Rashed, Ahmed. Jihad: The Rise Of Millitant Islam In Central Asia. Yale: Yale University Press, 2002.

Roy, Olivier. The Failure of Political Islam. London: I.B. Tauris & Co Ltd, 1994.

Tibi, Bassam. The Challange of Fundamentalism; Political Islam and the New World Disorder. London: University of California Press, 1998.

Wahid, Abdurrahman (ed.). Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia. LibForAll Foundation: Jakarta, 2009.

Referensi

Dokumen terkait

study the authors study how a traditional software development company used lean principles in order to streamline work and cut waste.. The au- thors were also interested in

Perbezaan dalam bahasa Inggeris melibatkan penggunaan kata penentu ‘a’ atau „ the ‟ sebelum kata nama am manakala bahasa Tagalog yang tidak mempunyai kata penentu,

Bila hadits itu “ maskut anhu ”, kita berupaya mengumpulkan sanad ( jam’i turuqil hadits ) hadits tersebut dengan melakukan takhrij.Karena suatu hadits tak hanya dihukumi

Adalah benar nama tersebut diatas telah melaksanakan Penelitian atau Observasi di SMK Kasih Ananda Jakarta terhitung mulai tanggal 1 Agustus s/d 31 Agustus 2015 dalam rangka

Pendidikan Kecamatan Ngaliyan dan Kecamatan Tugu Kota semarang” adalah benar - benar karya saya sendiri dan bukan jiplakan dari karya orang lain, baik sebagian atau

Untuk undang-undang organik open legal policy dapat dilakukan jika ketentuan dalam UUD mengandung makna pilihan hukum atau kebijakan atau adanya kewenangan untuk menafsirkan

Guru bolehlah menambah maklumat lain yang dirasakan perlu bagi memastikan keberkesanan pengajaran dan pembelajaran.Dalam usaha ke arah mencapai matlamat Mata Pelajaran

Namun, dari hasil penelitian yang penulis lakukan di Kabupaten TTU yang merupakan salah satu dari tiga daerah di Indonesia yang melaksanakan Pilkada Serentak tahun