BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam UUD 1945 ditegaskan bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas
hukum (Rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtstaat). Ini
berarti bahwa Republik Indonesia adalah negara hukum1 yang demokratis
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, menjunjung tinggi hak asasi manusia, dan
menjamin semua warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak
ada kecualinya.
Hukum menetapkan apa yang harus dilakukan dan atau apa yang boleh
dilakukan serta yang dilarang. Sasaran hukum yang hendak dituju bukan saja
orang yang nyata-nyata berbuat melawan hukum2, melainkan juga perbuatan
hukum yang mungkin akan terjadi dan kepada alat perlengkapan negara untuk
bertindak menurut hukum. Sistem bekerjanya hukum yang demikian itu
merupakan salah satu bentuk penegakan hukum.
1
M. Hadjon Philipus, Kedaulatan Rak yat ,Negara Huk um dan Hak -hak Asasi Manusia, Kumpulan Tulisan dalam rangk a 70 tahun Sri Soemantri Martosoewignjo, (Jakarta: Media Pratama,1996), hlm.72, Negara Hukum adalah negara yang mengambil tindakan didasarkan pada aturan hukum yang telah ada, jadi dalam Tugas Negaraadalah menjalankan kesadaran hukum berdasarkan hukum yang berlaku yang harus ditaati oleh seluruh warga negara tersebut .
2
Proses pembangunan dapat menimbulkan kemajuan dalam kehidupan
masyarakat, selain itu dapat juga mengakibatkan perubahan kondisi sosial
masyarakat yang memiliki dampak sosial negatif, terutama menyangkut masalah tindak pidana yang meresahkan masyarakat. Salah satu tindak pidana yang dikatakan cukup fenomenal adalah masalah korupsi. Tindak Pidana ini tidak
hanya merugikan keuangan negara3, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap
hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat.
Tindak pidana korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih
dibandingkan dengan tindak pidana lain di berbagai belahan dunia. Masalah korupsi bukan lagi sebagai masalah baru dalam persoalan hukum dan ekonomi
bagi suatu negara karena masalah korupsi telah ada sejak ribuan tahun yang lalu, baik di negara maju maupun di negara berkembang termasuk juga Indonesia.
Bahkan, perkembangan masalah Korupsi di Indonesia saat ini sudah demikian
parahnya dan menjadi masalah yang sangat luar biasa karena sudah menjangkit
dan menyebar ke seluruh lapisan masyarakat.4
Masalah Korupsi sudah sedemikian parahnya dalam dunia internasional,
dalam mengungkapkan keprihatinan internasional terhadap masalah korupsi, ada bermacam-macam sebutan atau istilah yang digunakan untuk menyebut tindak
pidana korupsi, diantaranya adalah sebagai salah satu bentuk dari “crime as
3
Lihat pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara ynag dapat dinilai dengan uang, seta segala sesuatu baik berupa barang yang dapat dijadikan milik nega ra berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
4
bussiness, economic crimes, white collar crime, official crime”, atau sebagai salah
satu bentuk “abuse of power”.5
Fenomena ini memang sangat menarik untuk dikaji, apalagi dalam situasi seperti sekarang, dimana ada indikasi yang mencerminkan ketidak percayaan rakyat terhadap pemerintah. Tuntutan akan pemerintahan yang bersih semakin
keras, menyusul krisis ekonomi akhir-akhir ini. Hal ini sungguh masuk akal, sebab kekacauan ekonomi saat ini merupakan ekses dari buruknya kinerja
pemerintahan di Indonesia dan praktik korupsi inilah yang menjadi akar masalah.6
Korupsi di Indonesia terus menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Tindak pidana korupsi sudah meluas dalam masyarakat, baik dari jumlah kasus
yang terjadi dan jumlah kerugian negara, maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh
aspek kehidupan masyarakat.
Tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana, tidak saja bagi kehidupan perekonomian nasional, juga pada kehidupan berbangsa
dan bernegara. Hasil survey Transparency International (TI) pada tahun 2015
menunjukkan penigkatan dari tahun 2014 yang pada saat itu Indonesia menempati peringkat 107 dengan point 34, menjadi negara paling korup nomor 88 dari 133
negara dengan poin 36. Nilai rata-rata untuk tahun 2015 ialah 43, artinya Indonesia masih dibawah rata-rata skor persepsi dunia. Di Asia Tenggara sendiri
indonesia masih dibawah Singapura, Malaysia dan Thailand. Meskipun Indonesia
mengalami peningkatan dari hasil survey tahun 2014 namun terhambat oleh masih
5
Elwi Danil, KORUPSI:Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya (Depok, PT Raja Grafindo Persada,2012), hlm 61
6
tingginya korupsi di sektor penegakan hukum dan politik.7 Apabila korupsi itu
tidak segera diberantas, tentunya akan menjadi masalah yang sangat serius bagi
bangsa ini. Bahkan bukan tidak mungkin akhirnya justru akan menghancurkan negara ini.
Jika kita lihat kebelakang sejarah bangsa ini, sejak diproklamasikan
kemerdekaan bangsa oleh pemerintah Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 maka pemerintah telah berupaya semaksimal mungkin untuk menanggulangi
tindak pidana Korupsi dengan membuat Undang-Undang dan membentuk
lembaga khusus untuk memberantas korupsi.8 Hal ini dibuktikan dengan
diundangkannya Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan
Undang-Undang No. 1 tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan mengubah Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 68, Nomor 60, dan Nomor 71,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 1660).9
Namun, upaya pemerintah tidak pernah berhenti untuk melakukan
penyempurnaan terhadap penanggulangan tindak pidana korupsi di Indonesia. Hal
ini terbukti sudah dimulai dari Peraturan Penguasa Militer Nomor
PRT/PM/06/1957 sampai dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1971 dan dewasa ini telah dibentuk Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
7
http://www.ti.or.id/index.php/publication/2016/01/27/corruption-perceptions-index-2015 diakses tanggal 26 juli 2016
8
Evi Hartanti,Tindak Pidana Korupsi,Edisi Kedua (Jakarta; Sinar Grafika, 2007) hlm 3 9
Korupsi serta dibentuknya lembaga khusus menangani tindak pidana korupsi pada
tahun 2003 yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Di Indonesia kejahatan korupsi sudah sedemikian parah dan merajalela khususnya yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), aparat penegak hukum, kepala daerah, dan lain sebagainya. Korupsi sudah menjadi budaya
sendiri bagi kaum yang serakah akan sebuah kekayaan semata sehingga
menyebabkan dampak kemiskinan dimana-mana terhadap rakyat yang
berekonomi kecil ataupun susah dalam hal ekonomi.
Korupsi yang bernilai jutaan hingga miliaran rupiah yang terjadi di Indonesia sehingga disinyalir negara mengalami kerugian hingga triliunan rupiah.
Beberapa kasus korupsi yang menyita perhatian publik ialah seperti:
1. Kasus Simulator SIM (Surat Izin Mengemudi) yang libatkan 2 jenderal
Polri yakni Inspektur Jenderal Polisi Djoko Susilo dan Brigadir Jenderal Polisi Didik Purnomo. Perbutan tersebut menurut perhitungan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) mengakibatkan kerugian negara
sebesar Rp 121,3 milyar.10
2. Kasus proyek hambalang senilai Rp 2,5 triliun yang dilakukan
pertengahan 2012, yang melibatkan mantan menteri Pemuda dan Olah Raga Kabinet Indonesia Bersatu II Andy malarangeng. KPK berhasil mengungkap keterlibatan Anas Urbaningrum berdasarkan kesaksian mantan bendahara Partai Demokrat, Muhammad Nazarudin. Uang hasil dugaan korupsi tersebut digunakan untuk biaya pemenangan Anas dalam Kongres Partai Demokrat pada tahun 2010 sebesar Rp 100
milyar.11
10
https://www.tempo.co/topik/masalah/2861/korupsi-simulator-sim diakses pada tanggal 26 juli 2016
11
3. Kasus Kuota Impor Daging sapi, yang dilakukan oleh Ahmad Fathanah sebagai tersangka utama, yang juga melibatkan Kertua Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishak yang juga ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka. Ahmad Fathanah diduga menerima gratifikasi sebesar Rp 1,3 milyar dari bos PT Indoguna. Uang itu disebutkan akan diberikan kepada Luthfi Hasan Ishak guna memuluskan pengurusan
penetapan kuota impor daging sapi dari Kementerian Pertanian.12
Contoh kasus korupsi yang disebutkan hanyalah sedikit gambaran dari sekian banyaknya kasus korupsi yang terjadi di Indonesia. Korupsi telah menjadi
permasalahan akut dan sistemik yang sangat membahayakan dan merugikan
negara maupun masyarakat. Pemberitaan mengenai korupsi seakan tidak ada habisnya, hampir setiap hari pemberitaan di media mengenai korupsi.
Salah satu jenis korupsi yang sangat memprihatinkan di Indonesia ialah,
penyalahguanaan dana hibah bantuan sosial13, yang dimana seharusnya dana
hibah bantuan sosial tersebut diperuntukkan bagi kesejahteraan masyarakat.
Belanja Hibah dan Bantuan sosial merupakan dua kode rekening yang saat ini
menjadi banyak perhatian publik. Kedua rekening tersebut memiliki kepentingan yang perlu diakomodir yaitu membantu tugas pemerintah daerah dalam
mewujudkan kesejahteraan masyarakat, menanggulangi penyakit sosial akibat
resiko sosial14 masyarakat serta juga memuat kepentingan politik dalam arti luas.
Dalam perjalanan pengelolaannya, Hibah dan Bansos telah mengalami berbagai
permasalahan baik dalam tahap perencanaan, pelaksanaan, pertanggungjawaban serta penatausahaannya. Bahkan pemerintah setiap tahun mengeluarkan dana triliunan rupiah untuk dana bantuan sosial. Pada periode 2007-2011, anggaran
bantuan sosial yang disiapkan pemerintah mencapai Rp 300,94 triliun untuk tingkat daerah dan pusat. Tahun 2012, jumlah alokasi dana bantuan sosial yang
dikelolah oleh seluruh pemerintah daerah di Indonesia berjumlah Rp.47 triliun
dan pada tahun 2013 meningkat menjadi Rp 63,4 triliun. Belanja bantuan sosial merupakan sektor pembelanjaan anggaran yang sangat rentan terhadap praktik
korupsi. Korupsi dana bantuan sosial menjadi wabah seperti penyakit aspek regulasi, Komisi Pemberantasan keadilan dalam pengelolaan dana bantuan sosial.
Dalam aspek tata laksana ditemukan sejumlah masalah dalam proses
penganggaran, penyaluran, pengawasan, dan pertanggungjawaban.15Permasalahan
seperti ini lah yang kerap kali di manfaatkan oleh para koruptor untuk
menyalahgunakan anggaran dana hibah dan bantuan sosial yang berasal dari
APBD tersebut.
Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkapkan rata-rata vonis kasus korupsi sepanjang tahun 2015 terendah dalam tiga tahun terakhir, bahkan ada 68
14
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 Pasal 1 ayat (16), resiko sosial adalah kejadian atau peristiwa yang dapat menimbulkan potensial terjadinya kerentanan sosial yang di tanggung oleh individu, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat sebagai dampak krisis sosial, krisis ekonomi, krisis politik, fenomena alam dan bencana alam yang jika tidak diberikan belanja bantuan sosial akan semakin terpuruk dan tidak dapat hidup dalam kondisi wajar.
15
yang divonis bebas16, sehingga tidak menimbulkan efek jera. ICW memantau 524
perkara dan 564 terdakwa kasus korupsi yang ditangani Polri, KPK dan Kejaksaan
pada 2015 lalu, sekitar 71 persen divonis bersalah.17
Berdasarkan temuan ini, apa yang dihasilkan pengadilan tipikor sangatlah memprihatinkan. Seperti kasus yang menjerat mantan bupati seluma, Murman
Effendi. Ia di vonis bebas oleh PN bengkulu setelah jaksa menuntut hukuman tujuh tahun penjara. Lalu kasus pencucian uang terkait proyek migas di batam,
terdakwa Deki yang di tuntut 15 tahun penjara oleh jaksa, di putuskan bebas oleh
PN Pekanbaru. Banyaknya kasus korupsi yang divonis bebas oleh hakim akan menimbulkan polemik yuridis, sosiologis, dan politis di kalangan masyarakat luas.
Polemik yuridis terkait persoalan integritas dan kemampuan penyidik, penuntut umum dan hakim dalam melaksanakan wewenang, tugas dan fungsinya.
Polemik sosiologis, terkait ketidak percayaan masyarakat terhadap
lembaga penegak hukum yang mempersoalkan validitas putusan bebas apakah benar tidak terbukti atau ada unsur-unsur suap atau mafia peradilan yang
sebenarnya dianggap sudah membudaya dalam sistem peradilan di indonesia.
Polemik politis, terkait upaya-upaya sekelompok orang baik dari kalangan
anggota Legislatif, Eksekutif, Yudikatif18, Partai Politik, Pengamat Politik,
16
Lilik Mulyadi, Kompilas Huk um Pidana Dalam Perspek tif Teoretis dan Prak tik Peradilan (Bandung : Mandar Maju, 2010), hlm 107. Pada Asasnya Putusan Bebas (vrijsk praak )
terjadi karena terdakwa dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan Jaksa/Penuntut Umum dalam surat dakwakan. Konkretnya, terdakwa dibebaskan dari segala tuntutan hukum. Atau untuk singkatnya lagi terdakwa “tidak dijatuhi pidana”
17
Pengamat Hukum, para koruptor dan simpatisannya, untuk Menghapus KPK
karena eksistensi KPK hanya mereka anggap bersifat sementara waktu (ad hoc),
karena itu mereka bermaksud untuk mengubah Undang-Undang KPK,
mengkriminalisasi pimpinan KPK, Mengurangi Kewenangan KPK, dan/atau Mengawasi Penyadapan KPK secara ketat.
Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, maka
penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan penegakan hukum wajib
didasarkan atas hukum. Salah satu kesenjangan yang dianggap sangat
memprihatinkan adalah belum terwujudnya penegakan hukum tindak pidana korupsi yang mampu secara maksimal memberikan efek jera dan/atau mengurangi
maraknya tindak pidana korupsi di Indonesia.
Kasus Hukum yang terjadi terkait dengan penyalahgunaan dana hibah
bantuan sosial di provinsi Nanggroe Aceh Darusalam ini menjadi dorongan bagi
penulis untuk menganalisis lebih lanjut terkait putusan bebas hakim terhadap kasus penyalahgunaan dana hibah bantuan sosial, yang mana juga telah
menimbulkan berbagai polemik yuridis, sosiologis dan politis di masyarakat.
Maka itu penulis mengangkat judul yakni “ANALISIS YURIDIS TERHADAP
PUTUSAN BEBAS (VRIJSPRAAK) DALAM KASUS
PENYALAHGUNAAN DANA HIBAH BANTUAN SOSIAL YANG
DILAKUKAN OLEH YAYASAN (Studi Putusan Pengadilan Tipikor Banda
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana penyalahgunaan dana hibah bantuan sosial ditinjau dari
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi?
2. Bagaimana pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan Putusan Bebas
(vrijspraak) terhadap tindak pidana penyalahgunaan dana hibah bantuan sosial (studi putusan No.55/Pid.Sus-TPK/2014/PN.BNA) ?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui pengaturan Hukum Pidana tentang tindak pidana
korupsi penyalahgunaan dana hibah sosial.
b. Untuk mengetahui tentang pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan
Putusan Bebas (vrijspraak) terhadap terdakwa dalam tindak pidana
korupsi, khususnya pada Pengadilan Tipikor Banda Aceh No. 55/Pid.Sus-TPK/2014/PN.BNA.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang ingin dicapai dari tujuan penelitian ini adalah :
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan
pengetahuan dalam bidang Hukum Pidana serta dapat memberikan
sumbangan pemikiran bagi pengembang ilmu hukum pada umumnya dan pada kekhususannya dapat menjadi dasar bagi penelitian di bidang yang sama.
b. Manfaat Praktis
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
atau sumbangan pemikiran sebagai berikut :
1) Dapat menjadi pertimbangan kepada Pemerintah Republik Indonesia tentang pentingnya menegakkan hukum yang telah ada, khususnya dalam
tindak pidana korupsi.
2) Dapat menambah pengetahuan masyarakat tentang sanksi yang akan
diterima apabila masyarakat terbukti melakukan tindak pidana korupsi atas
menyalahgunakan dana hibah bantuan sosial APBD. D. Keaslian Penulisan
Dalam rangka meningkatkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang
diperoleh, maka penulis menuangkan dalam sebuah skripsi yang berjudul
“ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN BEBAS (VRIJSPRAAK)
DALAM KASUS PENYALAHGUNAAN DANA HIBAH BANTUAN
SOSIAL YANG DILAKUKAN OLEH YAYASAN (STUDI PUTUSAN
PENGADILAN TIPIKOR BANDA ACEH
Penulisan skripsi ini berdasarkan inisiatif sendiri dengan melihat beberapa
kasus yang sangat hangat diperbincangkan oleh masyarakat Indonesia.
Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara (Departemen Hukum Pidana) pada saat pengajuan judul skripsi ini untuk didaftarkan dinyatakan bahwa belum ada tulisan yang sama yang pernah
diangkat dan dibahas oleh para pihak lain. Jadi penulisan ini adalah asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional, obyektif dan terbuka.
Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah
dan terbuka atas masukan serta saran-saran yang membangun sehubungan dengan pendekatan dan perumusan masalah.
Apabila ditemukan tulisan lain yang memiliki kemiripan dengan skripsi ini, itu hanya dari segi materi pembahasannya saja, karena semua isi yang ada
dalam skripsi ini merupakan hasil dari karya Penulis yang dapat
dipertanggungjawabkan. E. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian Tindak Pidana dan Unsur-unsur Tindak Pidana
Para pembentuk Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah
menggunakan perkataan strafbaar feit untuk menyebutkan apa yang dikenal
sebagai “tindak pidana” di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tanpa
memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya dimaksudkan
dengan perkataan strafbaar feit tersebut.19
19
Pompe menyatakan, strafbaar feit itu secara teoritis dapat dirumuskan sebagai suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan
sengaja dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum yang terjaminnya
kepentingan umum.20
Simons telah merumuskan strafbaar feit itu sebagai tindakan melanggar
hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh
seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh
undang-undang yang dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.
Alasan dari Simsons, apa sebabnya strafbaar feit itu harus dirumuskan seperti di
atas adalah karena:21
a. Untuk adanya suatu strafbaar feit diisyaratkan bahwa disitu harus terdapat
suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan oleh undang-undang,
dimana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban semacam itu telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.
b. Agar sesuatu tindakan itu dapat dihukum, maka tindakan tersebut harus
memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan di dalam undang-undang, dan
c. Setiap strafbaar feit sebagai pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban
menurut undang-undang, pada hakikatnya merupakan suatu tindakan
melawan hukum atau merupakan suatu onrechtmatige handeling.
20
Ibid, hlm. 182.
21
Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana, yang didefinisikan
sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai
ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar
larangan tersebut.22 Ia tidak menyetujui apabila kata straf diterjemahkan menjadi
“hukuman” dan dari kata wordt gestraf diartikan “dihukum”. Selanjutnya ia mengalternatifkan terjemahan lain, yaitu “pidana” untuk kata straf dan „diancam dengan pidana” untuk kata wordt gestraf. Pertimbangannya adalah apabila kata
straf diartikan “hukuman”, maka kata strafrecht harus mengandung arti
“hukuman-hukuman”.23
Kata straf dalam penggunaanya akan sangat tergantung dengan situasi
dalam kerangka apa istilah tersebut dipergunakan, karena istilah ini tidak
memiliki arti yang pasti. Berikut beberapa penjelasan tentang arti “pidana” dan
“hukum pidana”, berikut ini beberapa kutipan definisi para ahli:24
a. Mr. W. P. J. Pompe memberikan batasan bahwa yang dimaksud dengan
hukum pidana adalah keseluruhan aturan ketentuan umum mengenai
perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum dan aturan pidananya.
b. Moelyatno mengartikan bahwa hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan
hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar untuk,
c. Sudarto mendefinisikan bahwa yag dimaksud dengan pidana adalah
penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan
perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
d. Roeslan Saleh mengartikan bahwa yang dimaksud dengan pidana adalah
reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang sengaja ditimpakan
negara pada pembuat delik.
Setiap tindak pidana yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana itu pada umumnya dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur yang pada
dasarnya dapat dibagi menjadi dua macam unsur, yakni unsur-unsur subjektif dan
unsur-unsur objektif.25
Unsur-unsur subjektif itu adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, termasuk ke dalamnya yaitu
segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Unsur-unsur subjektif dari suatu
tindak pidana itu adalah:26
a. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa).
b. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang
dimaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP.
c. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya dalam
kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain.
d. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang terdapat
Unsur-unsur objektif itu adalah unsur-unsur yang ada hubungannya
dengan keadaan-keadaan yaitu dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan
dari si pelaku itu harus dilakukan. Unsur-unsur objektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah:27
a. sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid;
b. kualitas dari si pelaku, misalnya “keadaan sebagai seorang pegawai negeri” keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas di
dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP;
c. kausalitas, yakni hubungan antar sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan
sesuatu kenyataan sebagai akibat.
Moeljatno menyatakan suatu perbuatan dapat dikataan sebagai tindak
pidana apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:28
a. Subjek
b. Kesalahan
c. Bersifat melawan hukum (dari tindakan)
d. Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-undang/
perundang-undangan dan terhadap pelanggarnya diancam dengan pidana;
e. Waktu, tempat, dan keadaan (unsure objektif lainnya).
b. Kelakuan itu harus sesuai dengan uraian undang-undang (wattelijke omschrijving);
c. Kelakuan itu adalah kelakuan tanpa hak; d. Kelakuan itu dapat diberatkn kepada pelaku; e. Kelakuan itu diancam dengan hukuman.
2. Pengertian Putusan Hakim dan Bentuk-bentuk Putusan Dalam Perkara Pidana
Dalam menangani suatu perkara, Hakim diberikan kebebasan oleh
undang-undang dan pihak lain tidak diperbolehkan campur tangan atau mempengaruhi Hakim. Disamping itu hakim harus diwajibkan jujur dan tidak
memihak agar putusannya benar-benar memberikan keadilan.30
Perihal „Putusan Hakim‟ atau “putusan pengadilan” merupakan aspek
penting dan diperlukan untuk menyelesaikan perkara pidana. Oleh karena dapatlah dikonklusikan lebih jauh bahwasanya “putusan hakim” disatu pihak
berguna bagi terdakwa memperoleh kepastian hukum (rechtszekerheid) tentang
“statusnya” dan sekaligus dapat mempersiapkan langkah berikutnya terhadap
putusan tersebut dalam arti berupa menerima putusan ataupun melakukan upaya
hukum verzet, banding atau kasasi, melakukan grasi dan sebagainya. Sedangkan
dilain pihak, apabila ditelaah melalui visi hakim yang mengadili perkara, putusan Hakim merupakan “mahkota” sekaligus “puncak” pencerminan nilai-nilai
keadilan; kebenaran hakiki; hak asasi manusia; penguasaan hukum atau fakta
30
secara mapan, mempuni dan faktual, serta visualisasi etika, mentalitas dan
moralitas dari hakim yang bersangkutan.31
Putusan menurut buku Peristilahan Hukum dan Praktik yang dikeluarkan oleh Kejaksaan Agung RI 1985 adalah hasil atau kesimpulan dari suatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat berbentuk
tertulis ataupun lisan.32
Bab I Pasal 1 Angka 11 KUHAP, putusan pengadilan diartikan sebagai
pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat
berupa pemidanaan atau bebas lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Leden Marpaung memberikan pengertian putusan hakim adalah hasil atau kesimpulan dari sesuatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai dengan
semasak-masaknya yang dapat berbentuk tertulis maupun lisan.33
Jenis-jenis putusan hakim menurut KUHAP dapat digolongkan menjadi dua, yaitu:
a. Putusan yang bukan putusan akhir
Dalam praktik, bentuk putusan yang bukan putusan akhir dapat berupa penetapan atau putusan sela. Putusan jenis ini mengacu pada ketentuan
Pasal 148 dan Pasal 156 ayat (1) KUHAP, yaitu dalam hal setelah pelimpahan perkara dan apabila terdakwa dan atau penasehat hukumnya
mengajukan keberatan atau eksepsi terhadap surat dakwaan jaksa/penuntut
umum.34 Putusan yang bukan putusan akhir antara lain sebagai berikut:
1) Putusan yang menyatakan tidak berwenang mengadili. Dalam hal
menyatakan tidak berwenang mengadili ini dapat terjadi setelah persidangan dimulai dan jaksa penuntut umum membacakan surat
dakwaan maka terdakwa atau penasihat hukum terdakwa diberi
kesempatan untuk mengajukan eksepsi (tangkisan). Eksepsi
tersebut antara lain dapat memuat bahwa Pengadilan Negeri
tersebut tidak berkompetensi (wewenang) baik secara relatif maupun absolut. Jika majelis hakim berpendapat sama dengan
penasihat hukum maka dapat dijatuhkan putusan bahwa pengadilan negeri tidak berwenang mengadili (Pasal 156 ayat (2) KUHAP).
2) Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan batal demi hukum.
Dakwaan batal demi hukum dapat dijatuhkan apabila dakwaan Jaksa Penuntut Umum tidak cermat, kurang jelas, dan tidak
lengkap.
3) Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat diterima
Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat diterima
pada dasarnya termasuk kekurang cermatan penuntut umum sebab putusan tersebut dijatuhkan karena:
(a) Pengaduan yang diharuskan bagi penuntutan dalam delik
aduan tidak ada.
34
(b) Perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa sudah pernah
diadili (nebis in idem), dan
(c) Hak untuk penuntutan telah hilang karena daluwarsa
(verjaring).
b. Putusan Akhir
Putusan akhir dalam praktik lazim disebut dengan istilah putusan
atau eind vonnis dan merupakan jenis putusan bersifat materiil. Pada
hakekatnya putusan ini dapat terjadi setelah majelis hakim memeriksa
terdakwa yang hadir di persidangan sampai dengan pokok perkara selesai diperiksa (Pasal 182 ayat (3) dan (8), Pasal 197, dan Pasal 199
KUHAP).35 Putusan akhir antara lain sebagai berikut:
1) Putusan yang menyatakan bahwa terdakwa lepas dari segala
tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging). Putusan lepas
dari segala tuntutan hukum adalah putusan yang dijatuhkan terhadap terdakwa dimana hakim berpendapat bahwa perbuatan
yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu
bukan merupakan suatu tindak pidana (Pasal 191 ayat (2) KUHAP). Putusan lepas dari segala tuntutan hukum dapat terjadi
karena:
(a) Materi hukum pidana yang didakwakan terbukti, tapi bukan
merupakan tindak pidana
35
(b) Terdapat hal-hal yang menghapuskan pidana, antara lain:36
(i) Tidak mampu bertanggung jawab (Pasal 44 KUHP).
(ii)Melakukan di bawah pengaruh daya paksa/overmacht
(Pasal 48 KUHP).
(iii) Adanya pembelaan terdakwa (Pasal 49 KUHP).
(iv) Adanya ketentuan undang-undang (Pasal 50 KUHP).
(v) Adanya perintah jabatan (Pasal 51 KUHP).
2) Putusan Bebas (vrijspraak)
Putusan bebas adalah putusan yang dijatuhkan terhadap terdakwa dimana hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat
bukti dalam persidangan berpendapat bahwa dakwaan yang didakwakan terhadap terdakwa tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas (Pasal 191 ayat (1)
KUHAP).
3) Putusan pemidanaan (veroordeling)
Putusan pemidanaan adalah putusan yang dijatuhkan terhadap
terdakwa dimana hakim berpendapat bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana yang
didakwakan padanya. Putusan pemidanaan dijatuhkan oleh hakim
yang berpendapat bahwa:37
36
Evi Hartanti, Op.Cit hlm, 54
37
(a) Perbuatan terdakwa sebagaimana didakwakan jaksa/penuntut
umum dalam surat dakwaan telah terbukti secara sah dan
meyakinkan menurut hukum;
(b) Perbuatan terdakwa tersebut merupakan ruang lingkup tindak
pidana (kejahatan/misdrijven atau pelanggaran/overtredingen);
dan
(c) Dipenuhinya ketentuan alat-alat bukti dan fakta-fakta
persidangan (Pasal 183, Pasal 184 ayat (1) KUHAP). 3. Pengertian Korupsi dan Dana Hibah bantuan Sosial
Korupsi merupakan gejala masyarakat yang dapat dijumpai dimana mana.
Sejarah membuktikan bahwa hampir tiap negara dihadapkan pada masalah korupsi. Tidak berlebihan jika pengertian korupsi selalu berkembang dan berubah
sesuai dengan perubahan zaman.38
Menurut Fockema Andrea, kata korupsi berasal dari bahasa latin corruption atau corruptus. Selanjutnya disebutkan bahwa corruption itu berasal
pula dari kata asal corrumpere, suatu kata Latin yang lebih tua.39 Dari bahasa
Latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu corruption,
corrupt; Prancis, yaitu corruption; Belanda, yaitu corruptie (korruptie) dan dari bahasa Belanda inilah kata itu turun ke bahasa Indonesia, yaitu “korupsi”.40
Adapun menurut Subekti dan Tjitrosoedibio dalam Kamus Hukum, yang
dimaksud curruptie adalah korupsi; perbuatan curang; tindak pidana yang Internasional, (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2006) hlm.4
40
merugikan keuangan negara. Menurut Gurnar Myrdal menyebutkan: To include not only all forms of improper or selfish exercise of power and influence attached to a public office or the special position one occupies in the public life but also the activity of the bribers. (korupsi tersebut meliputi kegiatan-kegiatan yang tidak patut yang berkaitan dengan kekuasaan, aktivitas-aktivitas pemerintahan, atau
usaha-usaha tertentu untuk memperoleh kedudukan secara tidak patut, serta
kegiatan lainnya seperti penyogokan).41
Di dunia Internasional pengertian korupsi berdasarkan Black Law
Dictionary:42
Corruption an act dne with an intent to give some advantage inconsistent with official duty and the rights of other. The act of an official or fiduciary person who unlawfully and wrongly uses his station or character to procure some benefit for himself or for another person, contrary to duty and the rights of other. (Suatu perbuatan yang dilakukan dengan sebuah maksud untuk mendapatkan bebrapa keuntungan yang bertentangan
dengan tugas resmi dan kebenaran-kebenaran lainnya). “Suatu perbuatan
dari sesuatu yang resmi atau kepercayaan seseorang yang mana dengan melanggar hukum dan penuh kesalahan memakai sejumlah keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan tugas dan
kebenaran-kebenaran lainnya.”
Baharuddin Lopa mengutip pendapat dari David M. Chalmers,
menguraikan arti istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang menyangkut
masalah penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi, dan yang menyangkut bidang kepentingan umum. Kesimpulan ini diambil dari
defenisi yang dikemukakan antara lain berbunyi, financial manipulations and
deliction injurious to the economy are often labeled corrupt (manipulasi dan
41
Edi Yunara, Op, Cit.hlm.33 42
keputusan mengenai keuangan yang membahayakan perekonomian sering
dikategorikan perbuatan korupsi). Selanjutnya ia menjelaskan the term is often
applied also to misjudgements by officials in the public economies (istilah ini sering juga digunakan terhadap kesalahan ketetapan oleh pejabat yang
menyangkut bidang perekonomian umum).43
Dikatakan pula, disguised payment in the form og gifts, legal fees,
employment, favors to relatives, social influence, or any relationship that sacrifices the public and welfare, with or without the implied payment of money, is usually considered corrupt (pembayaran terselubung dalam bentuk pemberian hadiah, ongkos administrasi, pelayanan, pemberian hadiah kepada sanak keluarga,
pengaruh kedudukan social, atau hubungan apa saja yang merugikan kepentingan dan kesejahteraan umum, dengan atau tanpa pembayaran uang, biasanya dianggap
sebagai perbuatan korupsi). Ia menguraikan pula bentuk korupsi yang lain, yang
diistilahkan political corruption (korupsi politik) adalah electoral corruption
includes purchase of vote with money, promises of office or special favors, coercion, intimidation, and interference with administrative of judicial decision, or governmental appointment (korupsi pada penelitian umum, termasuk memperoleh suara dengan uang, janji dengan jabatan atau hadiah khusus,
paksaan, intimidasi, dan campur tangan terhadap kebebasan memilih. Korupsi
dalam jabatan melibatkan penjualan suara dalam legislatif, keputusan
administrasi, atau keputusan yang menyangkut pemerintahan).44
43
Marwan Effendy, Korupsi dan Strategy Nasional Pencegahan serta Pemberantasannya,
(Jakarta: GP Press Group, 2013), hlm, 16.
44
Sebelumnya regulasi pemberian hibah dan bantuan sosial hanya diatur
dalam beberapa pasal dalam Permendagri Nomor 13 Tahun 2006. Pemberian
hibah hanya diatur dalam pasal 42, pasal 43 dan pasal 44, itupun sudah berulang kali diubah dengan Permendagri Nomor 59 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah terakhir diubah dengan Permendagri Nomor 21
Tahun 2011. Demikian pula untuk pemberian bantuan sosial hanya diatur dalam satu pasal yakni pasal 45 dan terdiri dari 4 ayat dalam Permendagri Nomor 13
Tahun 2006. Itupun sudah mengalami perubahan sampai dengan Permendagri
Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Soisal yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 mengenai Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah memberikan definisi Hibah dan Bantuan Sosial
(Bansos), sebagai berikut:45
1. Hibah merupakan pemberian uang/barang atau jasa dari pemerintah daerah
kepada pemerintah atau pemerintah daerah lainnya, perusahaan daerah,
masyarakat dan organisasi kemasyarakatan, yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya, bersifat tidak wajib dan tidak mengikat, serta
tidak secara terus menerus yang bertujuan untuk menunjang
penyelenggaraan urusan pemerintah daerah.
2. Bansos merupakan pemberian bantuan berupa uang/barang dari
pemerintah daerah kepada individu, keluarga, kelompok dan/atau
45
masyarakat yang sifatnya tidak secara terus menerus dan selektif yang
bertujuan untuk melindungi dari kemungkinan terjadinya resiko sosial.
Dengan demikian Pemerintah daerah dalam memberikan hibah dan bantuan sosial yang bersumber dari APBD berpedoman pada Permendagri Nomor 32 Tahun 2011.
4. Pengertian Yayasan
Yayasan telah diatur dalam hukum positif, yaitu dengan Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2001, yang diumumkan dalam Lembaran Negara Tahun 2001
Nomor 112, yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 yang diumumkan dalam Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 115, tentang
Yayasan.
Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan
dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan,
dan kemanusiaan, yang tidak mempunyi anggota.46 Yayasan terkandung beberapa
esensial yaitu:47
1. Adanya suatu harta kekayaan,
2. Harta kekayaan ini merupakan harta kekayaan tersendiri tanpa ada yang
memilikinya melainkan dianggap sebagai milik dari yayasan,
3. Atas kekayaan itu diberi suatu tujuan tertentu,
4. Dan adanya pengurus yang melaksanakan tujuan dari diadakannya harta
kekayaan itu.
Persyaratan yang ditentukan agar yayasan dapat diperlakukan dan
memperoleh status sebagai badan hukum adalah pendirian yayasan sebagai badan
hukum harus mendapatkan pengesahan oleh Menteri Kehakiman dan Hak Asasi
Manusia.48
Perubahan anggaran dasar untuk mengubah nama dan kegiatan yayasan,
harus mendapat persetujuan dari Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, sedangkan untuk perubahan anggaran dasar lainya dipersyaratkan adanya
pemberitahuan kepada Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia.
Di Hindia Belanda, pernah dibuat undang-undang dengan staatsblad
1927-156 tentang Regeling van de Rechtspositie der Rechtsgenootschappen, yang
menentukan bahwa gereja (kerken) atau kerkgnootschappen adalah juga badan
hukum yang mempunyai maksud dan tujuan yang sama dengan yayasan, yakni
memiliki tujuan idiil, khusus di bidang keagamaan.49
Berkaitan dengan tujuan yayasan, di Indonesia terdapat yurisprudensi Mahkamah Agung dimana sebelum berlakunya UUY menjadi acuan bagi yayasan
untuk penentuan tujuan yayasan. Berdasarkan yurisprudensi Mahkamah Agung
Republik Indonesia tanggal 8 Juli 1975 No. 476/K/Sip/1975, pertimbangan Pengadilan Negeri yang dibenarkan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung,
bahwa perubahan wakaf Al Is Af menjadi Yayasan Al Is Af dapat saja karena
dalam hal ini tujuan dan maksudnya tetap, ialah untuk membantu keluarga
terutama keturunan almarhum Almuhsin bin Abubakar Alatas. Dari putusan
Mahkamah Agung tersebut jelas bahwa yayasan mempunyai tujuan untuk
48
Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan. 49
“membantu”. Perkataan “membantu” ini diinterpretasikan sebagai suatu kegiatan
sosial. Adapun bantuan yang diberikan tersebut dapat hanya ditujukan kepada
pihak tertentu saja, yakni dalam hal ini terutama kepada keturunan almarhum
Almuhsin bin Abubakar Alatas.50
F. Metode Penelitian
Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan, oleh karena penelitian
bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan
konsisten. Melalui proses penelitian tersebut diadakan analisa dan konstruksi
terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah.51
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dipakai adalah penelitian hukum normatif, yaitu
penelitian yang dilakukan berdasarkan perundang-undangan.52
Perundang-undangan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini antara lain Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2001 tentang Yayasan, Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Yayasan, Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, serta beberapa peraturan terkait lainnya.
50
Ibid
51
Soerjono Soekanto, Penelitian Huk um Normatif: Suatu Tinjauan Singk at (Jakarta: Rajawali Press, 2006), hlm 1
52
Penelitian skripsi ini bersifat deskriptif, yaitu penelitian yang dimaksudkan
untuk memberikan gambaran tentang keadaan yang menjadi objek penelitian
yakni Tindak Pidana Korupsi dan Dana Hibah Bantuan Sosial. Penulisan skripsi ini juga menggunakan pendekatan yuridis yaitu pendekatan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka dan peraturan perundang-undangan serta
literature hukum yang berhubungan dengan permasalahan skripsi ini.
2. Jenis Data dan Sumber Data
Penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang menggunakan data
sekunder53 yang diperoleh dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan
bahan hukum tersier.
a. Bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah Undang-Undang
Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 46
tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi beserta Undang-Undang No 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
b. Bahan hukum sekunder yang digunakan adalah bahan yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, karya dari ahli hukum di bidang pemberantasan korupsi.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, contohnya
kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif dan sebagainya.54
3. Teknik pengumpulan data
53
Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Huk um Normatif,(Jakarta: Rajawali Press, 2006) hlm. 13-14.
54
Data primer dan data sekunder dikumpulkan dengan melakukan penelitian
kepustakaan atau yang lebih dikenal dengan studi kepustakaan. Penelitian
kepustakaan dilakukan dengan cara mengumpulkan data yang terdapat dalam buku-buku literatur, peraturan perundang-undangan, majalah, surat kabar, hasil seminar dan sumber-sumber lain yang terkait dengan masalah yang dibahas dalam
skripsi ini. Hal ini ditempuh dengan melakukan penelitian kepustakaan (library
research), atau biasa dikenal dengan sebutan studi kepustakaan, walaupun penelitian yang dimaksud tidak lepas pula dari sumber lain selain sumber
kepustakaan, yakni penelitian terhadap bahan media massa ataupun internet.
4. Analisis Data
Pada penelitian hukum normatif yang menelaah data sekunder, maka
biasanya penyajian data dilakukan sekaligus dengan analisanya.55 Metode analisis
data yang dilakukan penulis adalah analisa kualitatif, yaitu dengan:
a. Mengumpulkan bahan hukum primer, sekunder, dan tertier yang relevan
dengan permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini.
b. Melakukan pemilahan terhadap bahan-bahan hukum relevan tersebut di
atas agar sesuai dengan masing- masing permasalahan yang dibahas.
c. Mengolah dan menginterpretasikan data guna mendapatkan kesimpulan
dari permasalahan.
d. Memaparkan kesimpulan, yang dalam hal ini adalah kesimpulan kualitatif,
yaitu kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan dan tulisan.
55
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini dibuat secara sistematis agar memudahkan dalam
memahami pemaparan masalah yang terkandung dalam skripsi ini. Keseluruhan sistematika ini merupakan satu kesatuan yang sangat berhubungan antara yang satu dengan yang lain. Adapun sistematika penulisan skripsi yang terdiri atas lima
bab ini di antaranya sebagai berikut :
Bab I : Bab ini berisikan pendahuluan yang memberikan gambaran umum
dan menyeluruh tentang pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan
skripsi, diantaranya: latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan yang mana
menguraikan tentang pengertian tindak pidana dan unsur-unsur tindak pidana, pengertian putusan hakim dan bentuk-bentuk putusan dalam perkara pidana.
Dalam bab ini terdapat pula penjelasan metode penelitian yang dipergunakan
kemudian diakhiri dengan penjabaran dari sistematika penulisan.
Bab II : Bab ini membahas mengenai ketentuan pidana yang mengatur
tentang penyalahgunaan dana hibah bantuan sosial ditinjau dari Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Bab ini terdiri dari dua sub bab, yaitu sub bab pertama tentang perkembangan pengaturan tindak
pidana korupsi di Indonesia dan sub bab kedua berisi tentang perbuatan penyalahgunaan dana hibah bantuan sosial yang kemudian dijabarkan kembali
dalam dua sub bahasan, yaitu yang pertama tentang procedural penggunaan dana
tentang penyalahgunaan dana hibah bantuan sosial sebagai tindak pidana korupsi
menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Bab III: Bab ini memberikan pemaparan tentang dasar pertimbangan halim
dalam menjatuhkan putusan bebas terhadap terdakwa dalam kasus
penyalahgunaan dana hibah batuan sosial yang dipelajari dari Putusan Pengadilan Tipikor Banda Aceh No.55/Pid.Sus-TPK/2014/PN.BNA. Dalam bab ini terdapat
dua sub bab, yaitu posisi kasus dan analisa kasus. Dalam posisi kasus nantinya
akan dijabarkan kembali lima bahasan sub bab, yaitu kronologi kasus, dakwaan, fakta-fakta hukum, pertimbangan hakim dan putusan hakim.
Bab IV : Bab ini merupakan bab penutup yang berisikan tentang kesimpulan atas pembahasan dari bab dua dan bab tiga sebelumnya serta memuat
pula saran-saran yang mungkin berguna bagi perkembangan pengaturan hukum