belajar itu mencakup segala sesuatu yang dipikirkan dan dikerjakan oleh seseorang.
Belajar memegang peranan penting di dalam perkembangan, kebiasaan, sikap, keyakinan, tujuan, kepribadian dan bahkan persepsi seseorang (Rifa’i, 2010: 82). Hakikat proses belajar bertitik tolak dari suatu konsep bahwa belajar merupakan
perubahan perbuatan melalui aktifitas, praktik, dan pengalaman. Dua faktor utama
yang menentukan proses belajar adalah hereditas dan lingkungan. Hereditas adalah
bawaan sejak lahir seperti bakat, abilitas, dan intelegensi. Sedang aspek lingkungan
yang paling berpengaruh adalah orang dewasa sebagai unsur manusia yang
menciptakan lingkungan, yakni guru dan orang tua.
Belajar adalah proses perubahan tingkah laku individu melalui interaksi dengan
lingkungan (Hamalik, 2011: 28). Belajar merupakan keseluruhan proses yang
berlangsung dalam kehidupan individu. Proses tersebut diarahkan untuk perubahan
tingkah laku. Perubahan tingkah laku individu akan sangat bergantung kepada
pengalaman dan latihan seseorang. Sudah menjadi harapan setiap orang bahwa
perubahan tersebut seharusnya berwujud perubahan yang lebih baik. Karena
perubahan yang lebih baik akan mendorong seseorang untuk menjalankan proses
hidupnya dengan baik pula. Pemikiran seperti ini, jika dikaitkan dengan konteks
belajar yang dilakukan oleh siswa, maka perubahan tersebut akan bermuara pada
konsep hasil belajar.
Hasil belajar merupakan keseluruhan hasil yang diperoleh siswa ketika
melakukan sesuatu aktivitas belajar di sekolah. Ukuran dari hasil belajar tersebut
dilihat pada perolehan nilai akhir. Bahan pelajaran hendaknya disajikan dengan cara
yang menarik sehingga rasa ingin tahu siswa terhadap bahan pembelajaran
penyampaian materi. Guru di tuntut untuk aktif dan kreatif membimbing siswa
mencapai tujuan pembelajaran.
Peran guru dalam proses pembelajaran merupakan salah satu jenis dari motivasi
eksternal sehingga guru harus menciptakan kondisi dan situasi yang memungkinkan
siswa untuk belajar aktif, membentuk makna dan bahan-bahan pelajaran melalui
proses belajar dan menyimpannya dalam ingatan yang sewaktu-waktu dapat diproses
dan dikembangkan lebih lanjut. Siswa membangun secara aktif, artinya bahwa belajar
suatu kegiatan yang dilakukan siswa, bukan sesuatu yang dilakukan terhadap siswa
melalui beragam peran serta guru tersebut, maka diharapkan siswa bukan hanya
mendapatkan bekal berupa pengetahuan belaka, tetapi pengalaman secara aktif untuk
mendalami materi pendidikan IPA.
Pembelajaran IPA di sekolah mengacu pada kurikulum IPA. Di dalam
kurikulum telah ditegaskan bahwa pembelajaran IPA harus menekankan pada
penguasaan kompetensi melalui serangkaian proses ilmiah (Depdiknas, 2006). Proses
pembelajaran IPA yang diharapkan adalah yang dapat mengembangkan keterampilan
proses, pemahaman konsep, aplikasi konsep, sikap ilmiah siswa, serta mendasarkan
kegiatan IPA pada isu-isu yang berkembang di masyarakat. Akan tetapi, masih
banyak ditemukan pelaksanaan pembelajaran IPA menggunakan metode ceramah
sehingga siswa beranggapan bahwa IPA bersifat hafalan. Guru dalam menerapkan
pembelajaran lebih menekankan pada metode yang mengaktifkan guru, pembelajaran
yang dilakukan guru kurang kreatif, lebih banyak menggunakan metode ceramah dan
kurang mengoptimalkan media pembelajaran. Sehingga mengakibatkan sasaran hasil
belajar siswa seperti yang ditegaskan dalam kurikulum belum dapat dicapai secara
optimal.
Berdasarkan hasil observasi dari beberapa sekolah, pada pembelajaran IPA
kelas V di SD Negeri Munding dan di SD Negeri Bergas Lor 01, Selama proses
pembelajaran berlangsung, guru menjadi pusat pembelajaran. Artinya hanya guru
yang berperan dalam proses pembelajaran tersebut. Guru menyampaikan materi
disampaikan. Siswa dituntut untuk mendengarkan dan menghafalkan isi bacaan tanpa
mampu membandingkannya dengan pengetahuan awal maupun
pengalaman-pengalaman yang dimiliki oleh para siswa. Proses pembelajaran seperti ini dapat
menyebabkan siswa kurang berminat untuk mempelajari materi yang disajikan.
Pemilihan model dan media pembelajaran yang kurang variatif juga memicu antusias
belajar siswa menjadi rendah.
Dalam jurnal yang dilakukan oleh Rr. Isnaeni Rahayu, dkk. yang berjudul
“Penggunaan Model Make a Match Dalam Peningkatan Pembelajaran IPA tentang
Bumi dan Alam Semesta Siswa Kelas V SDN 3 Waluyo” menyatakan bahwa pelaksanaan proses pembelajaran IPA yang diterapkan guru masih dilakukan secara
konvensional. Para guru belum sepenuhnya melaksanakan pembelajaran secara aktif
dan kreatif dalam melibatkan siswa. Pembelajaran IPA masih didominasi metode
ceramah dan pemberian tugas. Selain itu, dalam proses pembelajaran kebanyakan
guru hanya terpaku pada buku teks sebagai satu-satunya sumber belajar mengajar.
Kebanyakan guru tidak melakukan kegiatan pembelajaran yang memperhatikan
dimensi IPA dan tinggi rendahnya minat belajar yang dimiliki oleh siswa. Dimensi
IPA yang dimaksud yaitu IPA sebagai produk dan proses.
Pembelajaran dengan mencari pasangan (Make a Match) dikembangkan oleh
Lorna Curran (1994). Salah satu keunggulan teknik ini adalah siswa mencari
pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang
menyenangkan. Teknik ini dapat digunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk
semua tingkat usia siswa (Lie, 2010: 55).
Penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe Make a Match di SD terutama
pada mata pelajaran IPA sangat tepat dikarenakan model pembelajaran ini memiliki
beberapa kelebihan. Kelebihan model pembelajaran kooperatif tipe Make a Match,
diantaranya: (1) Siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau
topik dalam suasana belajar aktif dan menyenangkan, (2) Materi pembelajaran yang
disampaikan lebih menarik perhatian siswa, (3) Efektif sebagai sarana melatih
Match bisa digunakan dalam semua mata pelajaran, (5) Suasana kegembiraan akan
siswa dalam menjawab pertanyaan dengan mencocokkan kartu yang dibagikan oleh
guru kepada siswa. Proses pembelajaraannyapun lebih menarik dan nampak sebagian
besar siswa lebih antusias mengikuti proses pembelajaran pada saat siswa mencari
pasangan kartunya masing-masing. Penggunaan model tersebut, menuntut siswa
untuk berpartisipasi aktif dalam mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu
konsep atau topik dalam suasana aktif dan menyenangkan.
Dalam pembelajaran IPA, siswa akan aktif mengikuti pembelajaran jika
difasilitasi oleh media yang baik dan menarik. Pada dasarnya semua media itu baik
karena dapat menunjang keberhasilan belajar siswa. Pemilihan media yang sesuai
dengan model pembelajaran kooperatif tipe Make a Match pada mata pelajaran IPA
yaitu dengan menggunakan media 3 dimensi, karena siswa dihadapkan dengan materi
yang nantinya akan menggunakan media 3 dimensi.
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan, maka penelitian ini berjudul “Pengaruh Penggunaan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make A Match Berbantuan Media Terhadap Hasil Belajar IPA Siswa Kelas V Semester II SD Negeri Munding Kabupaten Semarang Tahun Pelajaran 2014/2015”.
1.2Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, dapat diidentifikasi masalah sebagai
berikut:
1.2.1 Guru masih menerapkan metode ceramah.
1.2.2 Guru kurang memvariasikan model pembelajaran.
1.2.4 Guru kurang memvariasikan media pembelajaran yang digunakan dalam
pembelajaran IPA.
1.3Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang yang telah dijabarkan, maka rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah ada pengaruh penggunaan model
pembelajaran kooperatif tipe Make a Match berbantuan media terhadap hasil belajar
siswa kelas V Semester II SD Negeri Munding Kabupaten Semarang Tahun Pelajaran 2014/2015?”.
1.4Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada perbedaan pengaruh
penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe Make a Match berbantuan media
terhadap hasil belajar siswa kelas V Semester II SD Negeri Munding Kabupaten
Semarang Tahun Pelajaran 2014/2015.
1.5Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian yang penulis harapkan dari penelitian ini adalah sebagai
berikut:
a. Manfaat bagi siswa, dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe
Make a Match berbantuan media pada proses pembelajaran dapat menumbuhkan
semangat kerjasama antar siswa, meningkatkan antusias dan daya tarik siswa
terhadap pembelajaran terutama pada mata pelajaran IPA.
b. Manfaat bagi guru, penelitian ini dapat menjadi acuan bagi guru untuk lebih
variatif dalam melaksanakan proses pembelajaran yang lebih menarik dan dapat
menambah pengalaman guru dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif
tipe Make a Match yang dapat meningkatkan hasil belajar siswa.
c. Manfaat bagi sekolah, penelitian ini dapat memberikan sumbangan bagi sekolah
kepada pihak sekolah khususnya Kepala Sekolah mengarahkan kepada guru untuk
menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Make a Match berbantuan