BAB II
FAKTOR - FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG
Sebagai mana kita ketahui akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana
perdagangan orang sangatlah komplek, artinya selain timbul dampak sosial di
masyarakat juga menimbulkan dampak emosional terhadap para korban,
diantaranya adalah perasaan kehilangan kendali dan kurangnya rasa aman.
Kejadian yang traumatis merenggut perasaan kendali diri individu yang sering
mengarah kepada perasaan tidak nyaman dan kurang aman yang menyeluruh dan
mendalam, dimana korban terpisahkan dari sistem lingkungan dan kekerabatan
dari keluarga. Hal yang paling penting ketika berhubungan dengan para korban
dalam pemberian layanan ataupun pemulihan adalah menciptakan rasa aman bagi
mereka.58
Orang yang telah menjadi korban perdagangan orang dan kekerasan
seksual biasanya memiliki rasa kepercayaan diri yang kurang.59
58
Hawani, Korban Trafficking yang menderita secara fisik dan psikis, 1997. hlm 4 http/www. Makalah-human-trafficking.com,diakses pada hari rabu, tanggal 12 Februari 2014, Jam 20.05 Wib.
59
Sayrifuddin Pettanasse, Kebijakan Criminal, Korban dan Kejahatan, agustus 2007,
hlm 67.
Ini dapat
dimanifestasikan dalam berbagai macam tingkah laku seperti depresi, rasa malu,
kelesuan, respon emosional yang keras, ketidakpekaan emosional, dan lain-lain.
Stigma sosial dan rasa malu karena beberapa alasan, diantaranya pengalaman
yang telah mereka lalui selama proses perdagangan orang, misalnya pemerkosaan,
untuk keluarga mereka, bahkan korban merasa merekalah yang menyebabkan
pelanggaran yang mereka alami tersebut.
Respon emosional yang keras akibat trauma dengan kejadian yang dialami
dapat muncul berbagai ragam respon emosional termasuk rasa marah, histeria,
mudah menangis, sikap yang obsesif, dan lebih suka berdiam. Tetapi respon
seperti itu tidak dapat langsung dibaca. Misalnya, jika seseorang tertawa ketika
menceritakan tentang penyerangan seksual kepada mereka, hal ini bukan berarti
bahwa orang itu merasa ceritanya lucu. Perdagangan orang biasanya melibatkan
pengkhianatan kepercayaan atau manipulasi yang dilakukan oleh orang yang
dipercaya para korban.60
60
Ibid, hlm 69
Respon sosial yang sering ditemukan pada korban kekerasan seksual
adalah kecenderungan untuk memperlihatkan perilaku seksual. Hal ini dapat
dimanifestasikan dalam bentuk menggoda, menyentuh, dan lain-lain. Dan ini
biasanya terjadi pada kasus dimana korban adalah pekerja seks yang
mengkonseptualkan jati diri mereka dalam bentuk-bentuk seksual. Respon ini
terjadi karena sebelumnya para korban telah menerima interaksi sosial yang cukup
baik dan dianggap layak untuk menerima hal tersebut, interaksi tersebut terjadi
dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Sehingga ketika interaksi yang baik
tersebut hilang atau tiba-tiba berubah, mereka berupaya untuk mengembalikan
keadaan tersebut agar mendapat perhatian dan penghargaan kembali dengan cara
yang salah, seringkali korban berfikir bahwa satu-satunya cara agar mereka dapat
Dari penjelasan singkat diatas tergambarkan bahwa tindak pidana
perdagangan orang sangatlah berdampak bagi kelangsungan korban dan
masyarakat. Oleh karna itu timbullah suatu pertanyaan, mengapa peristiwa tindak
pidana perdagangan orang terjadi ?. Sehubungan dengan itu dalam bab ini dibahas
tentang faktor-faktor penyebab tindak pidana perdagangan orang.
Sebelum menguraikan berbagai faktor-faktor penyebab terjadinya tindak
pidana perdagangan orang, maka penulis beranggapan sebagai kejahatan yang
terorganisir perlu mengingat akan sebab-sebab kejahatan. Oleh karena itu penulis
mencoba menguraikan sebab-sebab terjadinya kejahatan yang dilihat dari sudut
pandang Kriminologi, sehingga nantinya kita dapat mengetahui bagaimana
hubungannya dengan penyebab terjadinya tindak pidana perdagangan orang.
C. Faktor-faktor penyebab TPPO dilihat dari sudut pandang
Kriminologi
1. Pengertian Kriminologi
Bagi orang yang baru pertama kali mendengar istilah kriminologi,
biasanya akan memiliki pemikiran sendiri tentang pengertian dari kata tersebut.
Kebanyakan dari mereka memiliki persepsi yang salah tentang bidang ilmu
pengetahuan ilmiah kriminologi ini. Sebagian besar orang memiliki persepsi
bahwa kriminologi adalah suatu studi pendidikan ilmu hukum. Kata kriminologi
yang berhubungan dengan kejahatan, serta merta dikaitkan dengan pelanggaran
hukum pidana61
61
Marjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Jakarta : UI, 1994. hlm 2.
. Ada juga yang mengaitkan kriminologi dengan pekerjaan
menangkap pelakunya. Hal ini tidak salah sepenuhnya, tetapi tidak dapat
dikatakan benar.62
Kriminologi dalam bahasa Inggris disebut criminology, bahasa Jerman
kriminologie secara bahasa63, berasal dari bahasa latin, yaitu kata ”crimen” dan
”logos”. Crimen berarti kejahatan, dan logos berarti ilmu. Dengan demikian
kriminologi secara harafiah berarti ilmu yang mempelajari tentang penjahat. Di
dalam kriminologi ada beberapa teori yang berpendapat mengenai sebab-sebab
terjadinya kejahatan.64 Teori ini adalah seperangkat konsep atau konstruk, definisi
dan proposisi yang berusaha menjelaskan hubungan sistematis suatu fenomena,
dengan cara memperinci hubungan sebab-akibat yang terjadi. Dengan kata lain,
teori merupakan serangkaian konsep yang memiliki hubungan sistematis untuk
menjelaskan suatu fenomena sosial tertentu. Teori dalam kriminologi adalah
penjabaran secara lebih merinci terhadap aliran yang telah ada.65
Istilah kriminologi pertama kali digunakan oleh Topinard, seorang sarjana
Perancis, pada akhir abad ke sembilan belas. Namun demikian, bidang penelitian
yang sekarang ini dikenal sebagai salah satu bidang yang berkaitan dengan ilmu
kriminologi telah terbit lebih awal, misalnya karya-karya yang dikarang oleh:
Cesare Beccaria (1738-1794), Jeremy Bentham (1748-1832), Andre Guerry, yang
mempublikasikan analisa tentang penyebaran geografis kejahatan di Perancis
tahun 1829, Adolphe Quetelet seorang Ahli matematika Belgia menerbitkan
hari Rabu, tanggal 19 Februari 2014, Jam 19.35 Wib. 63
Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, 2001.
64
Marjono, Op cit, hlm 3. 65
sebuah karya ambisius tentang penyebaran sosial kejahatan di Perancis, Belgia,
Luxemburg, dan Belanda pada tahun 1835 dan terakhir Cesare Lambroso
(1835-1909) serta muridnya Enrico Ferri (1856-1928) menggunakan metode antropologi
ragawi atau antropobiologi mengembangkan teori kriminalitas berdasarkan
biologis.
Kriminologi kemudian berkembang sebagai ilmu pengetahuan ilmiah,
yang mana dalam perkembangannya, kriminologi modern terpisah-pisah
melandaskan diri pada salah satu cabang ilmu pengetahuan ilmiah tertentu, yaitu
sosiologi, hukum, psikologi, psikiatri, dan biologi.66
a. W.A Bonger (1970)
Dari uraian diatas, banyak ahli yang mengemukakan pendapat mereka
tentang pengertian kriminologi secara khusus antara lain :
Memberikan batasan bahwa ”kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang
bertujuan menyelidiki kejahatan seluas-luasnya”.67
1) Kriminologi praktis, yaitu kriminologi yang berdasarkan hasil
penelitiannya disimpulkan manfaat praktisnya
Bonger dalam memberikan
batasan kriminologi, membagi kriminologi ke dalam dua aspek:
2) Kriminologi teoritis, yaitu ilmu pengetahuan yang berdasarkan
pengelamannya seperti ilmu pengetahuan lainnya yang sejenis,
memperhatikan gejala-gejala kejahatan dan mencoba menyelidiki
66
Mahmud Mulyadi, Politik Hukum Pidana, Medan : USU Press, 2007, hlm 26 dan bahan mata kuliah Politik Hukum Pidana pada hari Jum’at tanggal 13 Desember 2013.
67
sebab dari gejala tersebut (etiologi) dengan metode yang berlaku pada
kriminologi.
Dalam kriminologi teoritis, Bonger memperluas pengertian
dengan mengatakan baahwa kriminologi merupakan kumpulan dari
banyak ilmu pengetahuan (Bonger, 1970:27).
a) Antropologi kriminologi, yaitu ilmu pengetahuan tentang manusia
yang jahat dilihat dari segi biologisnya yang merupakan bagian
dari ilmu alam
b) Sosiologi kriminal, yaitu ilmu pengetahuan tentang kejahatan
sebagai gejala sosial. Pokok perhatiannya adalah seberapa jauh
pengaruh sosial bagi timbulnya kejahatan (etiologi sosial)
c) Psikologi kriminal, yaitu ilmu pengetahuan tentang kejahatn
dipandang dari aspek psikologis. Penelitian tentang aspek
kejiwaan dari pelaku kejahatan antara lain ditujukan pada aspek
kepribadiannya.
d) Psi-patologi-kriminal dan neuro-patologi-kriminal, yaitu ilmu
pengetahuan tentang kejahatan yang sakit jiwa atau sakit
sarafnya, atau lebih dikenal dengan istilah psikiatri.
• Penologi, yaitu ilmu pengetahuan tentang tumbuh
berkembangnya penghukuman, arti penghukuman, dan
manfaat penghukuman.
• Kriminologi praktis, yaitu berbagai kebijakan yang
• Kriminalistik, yaitu ilmu pengetahuan yang dipergunakan
untuk menyelidiki terjadinya suatu peristiwa kejahatan.
Bonger, dalam analisanya terhadap masalah kejahatan, lebih
mempergunakan pendekatan sosiologis, misalnya analisa tentang hubungan antara
kejahatan dengan kemiskinan.
b. Wood
Menurut beliau bahwa istilah kriminologi meliputi keseluruhan
pengetahuan yang diperoleh berdasarkan teori atau pengalaman yang bertalian
dengan perbuatan jahat dan penjahatnya termasuk didalamnya reaksi dari
masyarakat terhadap perbuatan jahat itu dan para penjahatnya. Yang termasuk
didalamnya antara lain adalah :68
1) Keseluruhan ilmu tentang kejahatan
2) Berdasarkan kepada teori/pengalaman yang diperoleh dari ilmu
kejahatan
3) Melihat kejahatan dan penjahat
4) Reaksi dari masyarakat berupa pandangan, perbuatan atau tindakan
seperti penaggulangan dan pencegahan.
c. Micheal Adler
Menurut Micheal bahwa kriminologi adalah keseluruhan keterangan
mengenai perbuatan dan sifat dari penjahat lingkungan mereka dan cara mereka
68
secara resmi diperlakukan oleh lembaga penertib masyarakat dan oleh para
anggota masyarakat.
d. Edwin H. Sutherland
Edwin dikenal sebagai bapak kriminologi modern karena dia lah yang
pertama sekali menghubungkan masalah kejahatan itu dengan masyarakat. Dalam
hal ini Edwin melihat dari segi sosiologi. Menurut Edwin H. Sutherlan
menyatakan kriminologi adalah criminology is the body of knowledge regarding
crime as a social phenomena yang artinya keseluruhan pengetahuan tentang
kejahatan sebagai gejala sosial. Beliau juga mengatakan bahwa selama
masyarakat masih ada perbuatan kejahatan juga akan tetap ada.
Berlandaskan pada definisi diatas, Sutherland dan Cressey menjelaskan
bahwa kriminologi terdiri dari tiga bagian pokok, yaitu:69
1) Sosiologi hukum yaitu analisis ilmiah terhadap kondisi-kondisi yang
mempengaruhi perkembangan hukum pidana
2) Etiologi kriminal yaitu usaha secara ilmiah untuk mencari sebab-sebab
kejahatan
3) Penologi dimana termasuk metode pengendalian sosial yaitu
pengetahuan yang mempelajari tentang sejarah lahirnya hukuman,
perkembangannya serta arti dan kaedahnya.
69
e. Constant
Menurut beliau kriminologi sebagai ilmu pengetahuan empirik yang
bertujuan untuk menentukan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
perbuatan jahat dan penjahat. Seorang ahli statistik yang bernama A.E.Quetelet
tertarik kepada seorang manusia yang melakukan perbuatan yang tidak baik,
diamana dia terkait dengan alat-alat yang digunakan, sehingga ia berkesimpulan
bahwa dalam setiap perbuatan yang sama dimana dalam hal ini pembunuhan
bahwa alat yang dilakukan untuk melakukan perbuatan itu hampir sama.
Jadi dalam mempelajari kejahatan dari segi sosial maka selama ada
masyarakat kejahatan akan tetap ada, ini berarti masalah kejahatan tidak akan
pernah habis dikikis dalam rangka penanggulangan kejahatan itu pendapat ini
sejalan dengan pendapat Edwin H. Sutherland.
f. Haskell dan Yablonsky
Beliau menekan definisi kriminologi pada muatan penelitiannya dengan
mengatakan bahawa kriminologi secara khusus adalah merupakan disiplin ilmiah
tentang pelaku kejahatan dan tindakan kejahatan yang meliputi :70
1) Sifat dan tingkat kejahatan
2) Sebab musabab kejahatan dan kriminalitas
3) Perkembangan hukum pidana dan sistem peradilan pidana
4) Ciri-ciri kejahatan
5) Pembinaan pelaku kejahatan
70
Mulyana Kusuma, Analisa Krimiologi tentang Kejahatan-Kejahatan Kekerasan.
6) Pola-pola kriminalitas
7) Dampak kejahatan terhadap perubahan sosial.
g. Vernon Fox
Yang mana Vernon memberikan definisi kriminologi secara komperhensif
dibandingkan dengan definisi-definisi sebelumnya di atas. Ia mengatakan bahwa
kriminologi merupakan kajian tentang tingkah laku jahat dan sistem keadilan. Ini
merupakan kajian tentang hukum, dan pelaku pelanggaran hukum.71
h. Prof. Muhammad Mustofa
Pemahaman
terhadap gejala tersebut membutuhkan pemahaman terhadap seluruh ilmu-ilmu
tingkah laku, ilmu alam, dan sistem etika dan pengendalian yang terkandung
dalam hukum dan agama. Kriminologi merupakan tempat pertemuan berbagai
disiplin ilmu yang memberikan pusat perhatian pada kesehatan mental dan
kesehatan emosi individu dan berfungsinya masyarakat secara baik. Tingkah laku
jahat dapat diterangkan melalui pendekatan sosiologis, psikologis, medis dan
biologis, psikiatris dan psiko-analisa, ekonomi, politik, budaya dan lain-lain
pendekatan sosial dan tingkah laku.
Dalam bukunya Kriminologi, mengatakan bahwa definisi kriminologi
yang dikaitkan dengan pengembangan kriminologi di Indonesia adalah yang
berakar pada sosiologis.72
71
Ibid, hlm 15. 72
Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi. Bandung : Mandar Maju, 1995, hlm 11.
kriminologi diartikan sebagai ilmu pengetahuan ilmiah
dan kejahatan dimana munculnya suatu peristiwa kejahatan, serta kedudukan dan
korban kejahatan dalam hukum dan masyarakat serta pola reaksi sosial formal,
informal, dan non-formal terhadap penjahat, kejahatan, dan korban kejahatan.
2. Ruang Lingkup Kriminologi
Secara singkat dapat diuraikan, objek ruang lingkup kriminologi yaitu :
a. Kejahatan
Berbicara tentang kejahatan, maka sesuatu yang dapat kita tangkap secara
spontan adalah tindakan yang merugikan orang lain atau masyarakat umum, atau
lebih sederhana lagi kejahatan adalah suatu perbuatan yang bertentangan dengan
norma. Seperti apakah batasan kejahatan menurut kriminologi. Banyak para pakar
mendefiniskan kejahatan dari berbagai sudut pandang. Pengertian kejahatan
merupakan suatu pengertian yang relatif, suatu konotasi yang tergantung pada
nilai-nilai dan skala sosial.73
Kejahatan yang dimaksud disini adalah kejahatan dalam arti pelanggaran
terhadap undang-undang pidana. Disinilah letak berkembangnya kriminologi dan
sebagai salah satu pemicu dalam perkembangan kriminologi. Mengapa demikian,
perlu dicatat, bahwa kejahatan dedefinisikan secara luas, dan bentuk kejahatan
tidak sama menurut tempat dan waktu. Kriminologi dituntut sebagai salah satu
bidang ilmu yang bisa memberikan sumbangan pemikiran terhadap kebijakan
hukum pidana. Dengan mempelajari kejahatan dan jenis-jenis yang telah
dikualifikasikan, diharapkan kriminologi dapat mempelajari pula tingkat
73
kesadaran hukum masyarakat terhadap kejahatan yang dicantumkan dalam
undang-undang pidana.74
b. Pelaku
Sangat sederhana sekali ketika mengetahui objek kedua dari kriminlogi ini.
Setelah mempelajari kejahatannya, maka sangatlah tepat kalau pelaku kejahatan
tersebut juga dipelajari. Akan tetapi, kesederhanaan pemikiran tersebut tidak
demikian adanya, yang dapat dikualifikasikan sebagai pelaku kejahatan untuk
dapat dikategorikan sebagai pelaku adalah mereka yang telah ditetapkan sebagai
pelanggar hukum oleh pengadilan sebagaimana diuraikan dalam tinjauan pustaka
tentang pelaku tindak pidana perdagangang orang.75
3. Aliran-Aliran Kriminologi (Mazhab Criminologi)
Objek penelitian kriminologi
tentang pelaku adalah tentang mereka yang telah melakukan kejahatan, dan
dengan penelitian tersebut diharapkan dapat mengukur tingkat kesadaran
masyarakat terhadap hukum yang berlaku dengan muaranya adalah kebijakan
hukum pidana baru.
a. Aliran Klasik
Dalam aliran klasik, yang menjadi dasar pemikiran adalah bahwa manusia
pada hakikatnya merupakan makhluk yang memiliki “kehendak bebas (free
will)”, yang dimaksud dengan memiliki kehendak bebas adalah dalam bertingkah
laku, manusia mempunyai kemampuan dalam memperhitungkan segala tindakan
berdasarkan keinginannya. Pelopor aliran ini adalah Cessare Becaria (1738-1794)
74
Ibid, hlm 17. 75
berpendapat bahwa manusia mempunyai sifat kesenangan atau kenikmatan
merupakan tujuan hidup (Hedonisme) dan Jeremi Betham (1748-1832) dengan
pendapatnya ecology cukure compesition of populition.
Aliran ini mengihalmi lahirnya penerapan persamaan dihadapan hukum
dan keseimbangan antara hukuman dan kejahatan diterapkan secara murni pada
masa itu. Aliaran klasik ini cenderung menempatkan pidana sebagai satu-satunya
jalan keluar mengatasi pelanggaran-pelanggaran terhadap apa yang telah
disepakati masyarakat atau perjanjian masyarakat. Sebagai cerminan dari aliran
ini, timbul teori dalam pemidanaan yang berorientasi pada teori relatif
(deterrence). Dimana Beccaria menegaskan dalam bukunya yang berjudul dei
Delitti e Delle Pene (1764) bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk mencegah
seseorang supaya tidak melakukan kejahatan, dan bukan sebagai sarana
pembalasan masyarakat.76
b. Aliran Neo Klasik
Aliran ini menjaikan ajaran aliran klasik sebagai kiblatnya. Namun
kemudian para sarjana aliran neo klasik. Hal ini disebabkan mazhab klasik. Hal
ini disebabkan mazhab klasik dianggap menimbulkan ketidakadilan.
Pemberlakuan hukuman yang diterakan kepada pelaku kejahatan yang telah
dewasa menurut hukum tidak dibedakan kepada pelaku kejahatan yang masih
anak-anak. Penerapan hukuman ini dianggap merupakan ketidakadilan, sebab
76
aspek mental dan kesalahan tidak diperhintungkan aspek-aspek kondisi mental
pelaku dan lingkungan dalam penerapan hukuman.77
c. Aliran Positifis
Aliran positif lahir pada abad ke-19 yang dipelopori oleh Cassare
Lombroso (1835-1909), Enrico Ferri (1856-1928), dan Raffaele Garofalo
(1852-1934). Mereka menggunakan pendekatan metode ilmiah untuk mengkaji
kejahatan dengan mengkaji karakter pelaku dari sudut pandang ilmu biologi,
psikologi dan sosiologi dan objek analisisnya adalah kepada pelaku, bukan
kejahatannya. Aliran positif berkembang pada abad ke-19 yang dihasilkan oleh
perkembangan filsafat empirisme di Inggris sebagaimana yang ditemukan dalam
ajaran Locke dan Hume, teori Darwin tentang “biological determinisme”, teori
sociological positivism dari Comte dan teori ekonomi Karl Marx. Akhirnya
perkembangan filsafat di atas membawa pengaruh bagi lahirnya paham
behaviorism, experimental psychology, psychological psychology dan
objectivity.78
Aliran positif melihat kejahatan secara empiris dengan menggunakan
metode ilmiah untuk mengkonfirmasi fakta-fakta di lapangan dalam kaitannya
dengan terjadinya kejahatan. Aliran ini beralaskan paham determinisme yang
menyatakan bahwa seseorang melakukan kejahatan bukan berdasarkan
kehendaknya karena manusia tidak mempunyai kehendak bebas dan dibatasi oleh
berbagai faktor, baik watak pribadinya, faktor biologis, maupun faktor
77
Ibid, hlm 32. 78
lingkungan. Oleh karena itu pelaku kejahatan tidak dapat dipersalahkan dan
dipidana, melainkan harus diberikan perlakuan (treatment) untuk re-sosialisasi
dan perbaikan si pelaku.
Lombroso dengan teorinya born criminal menyatakan bahwa ada suatu
kekhasan tertentu yang disebutnya Atavistic Stigmata yang membedakan manusia
kriminal dengan yang bukan kriminal, yang dapat dilihat dari bentuk fisik
seseorang. Lambrosso mendapat julukan bapak kriminologi modren bukan karena
born criminal, yang ditemukannya karena ia merupakan orang pertama yang
meletakkan metode ilmiah dalam mencari penjelasan tentang sebab-sebab
terjadinya kejahatan yang melihatnya dari berbagai faktor. Lambrosso juga
membantah tentang sifat free will yang dimiliki oleh manusia. Aliran positif ini
berpendapat bebas manusia itu tidak terlepas dari pengaruh lingkungan. Secara
singkat , aliran ini berpegang teguh pada keyakinan bahwa kehidupan seseorang
oleh hukum sebab akibat.
Ketiga tokoh ini menolak doktrin free will dan menggantinya dengan
konsep determinisme. Dimana Aliran ini terbagi atas dua pandangan, yaitu ;
1) Determinisme Biologis, teori ini mendasari pemikiran bahwa perilaku
manusia sepenuhnya tergantung pada pengaruh biologis yang ada
pada dirinya.
2) Determinisme Cultural, teori ini mendasari pemikiran mereka pada
pengaruh sosial, dan budaya dari lingkungan dimana seseorang itu
hidup.79
79
4. Sebab-Sebab Kejahatan dari Perpektif Kriminologi
Mengenai sebab-sebab kejahatan, ada beberapa teori yang memiliki
pemikiran yang berbeda. Secara garis besar teori-teori tentang sebab-sebab
kejahatan dapat dibagi kedalam tiga persfektif, yaitu :80
a. Teori yang menjelaskan kejahatan dari perspektif psikologis dan
biologi
Mengenai teori ini, kejahatan lebih di titikberatkan pada
perbedaan-perbedaan yang terdapat pada individu .
2) Teori psikologis
Teori ini merupakan teori yang menghubungkan sebab-sebab
kejahatan dengan kondisi jiwa seseorang. Dari perspektif psikologi para
pakar berpendapat bahwa kejahatan terjadi selalu bervariasi yang dilihat
dari sisi psikologis yang diantaranya cacat dalam kesadaran, ketidak
matangan emosi, sosialisasi yang tidak memadai di masa kecil, kehilangan
hubungan dengan ibu, perkembangan orang yang lemah. Mereka mengkaji
bagaimana agresi dipelajari, situasi apa yang mendorong kekerasan atau
reaksi delinkuen, bagaimana kejahatan berhubungan dengan faktor-faktor
kepribadian, serta asosiasi antara beberapa kerusakan mental dan
kejahatan. Beberapa teori mengenai kejahatan dari aspek psikologis dapat
dilihat antara lain sebagai berikut :
a) Teori psikoanalisa yang dikembangkan oleh Sigmun Freud, teori ini
menyebutkan bahwa seseorang melakukan perbuatan yang terlarang
80
disebabkan hati nurani atau super ego yang dimilikinya begitu lemah
atau tidak sempurna sehingga ego-nya tidak mampu mengontrol
dorongan-dorongan dari Idnya.
b) Teori Perkembangan Moral (moral developmen theory),
dikekemukakan oleh psikolog Lawrence Kohlberg, teori ini
menyatakan bahwa seseorang melakukan kejahatan terkait dengan
tahapan-tahapan pertumbuhan moralnya. Pemikiran moral tumbuh
dalam tiga tahapan, yaitu :81
• Tahap pra-konvensional yaitu pada anak usia 9-11 tahun
• Tahap tingkatan konvensional yaitu pada usia remaja
• Tahap Poskonvensional yaitu pada umumnya setelah usia 20 tahun
c) Teori Pembelajaran Sosial (Social learning theory), dikemukakan oleh
Albert Bandura, Gerard Patterson, Ernes Burgess, dan Ronald Akers.
Teori ini berpendapat bahwa perilaku delikuen dipelajari melalui
proses psikologis yang sama sebagai mana semua perilaku
non-delikuen. Dengan kata lain adannya kecenderungan mempelajari
segala perilaku yang terjadi atau adanya proses peniruan perilaku yang
terjadi disekitarnya.
3) Teori Kejahatan dari Perspektif Biologis
Pada teori ini memandang bahwa kejahatan memiliki hubungan
dengan bentuk tubuh manusia. Tokoh utama dalam teori ini adalah
81
Lombrosso dengan Theory Born Criminal-nya. 82
b. Teori-teori kejahatan yang menjelaskan dari perspektif sosiologis
Born crimninal
mengatakan bahwa para penjahat adalah suatu bentuk yang lebih rendah
dalam kehidupan, lebih mendekati nenek moyang mereka yang mirip kera
dalam sifat bawaan dan otaknya, dibandingkan mereka yang bukan
penjahat. Lambrosso menyatakan sering kali para penjahat memiliki
rahang yang besar dan gigi taring yang kuat, suatu sifat yang pada
umumnya dimiliki makhluk carnivore yang merobek dan melahap daging
mentah. Selain Theory Born Criminal, Lambrosso menambahkan dua
kategori lain, yaitu Insane criminals dan criminoloids. Inisane criminal
bukanlah penjahat sejak lahir, melainkan disebabkan perubahan dalam
otak mengganggu kemapuan mereka untuk membedakan anatara benar
dan salah. Sedangkan criminoloids mencangkup suatu kelompok
ambiguous termasuk penjahat kambuhan (habitual criminals), pelaku
kejahatan nafsu dan berbagai tipe lain.
Dari teori sosiologis mencari alasan-alasan dalam hal angka kejahatan
didalam lingkungan sosial. Pada teori ini dapat dikelompokan menjadi tiga
kategori umum, yaitu strain, cultural deviance atau penyimpangan budaya dan
social control atau kontrol sosial.
1. Teori strain
Teori ini memusatkan perhatian pada kekuatan-kekuatan sosial
(social forces) yang menyebabkan orang melakukan perbuatan kriminal.
82
Para penganut teori strain berpendapat bahwa anggota masyarakat
mengikuti satu set nilai budaya, seluruh anggita masyarakat mengikuti satu
set nilai-nilai budaya yaitu nilai-nilai budaya dari kelas menengah. Satu
nilai budaya terpenting adalah keberhasilan ekonomi , dimana orang-orang
dari kelas bawah tidak mempunyai saran-sarana yang sah(legitimate
mens) untuk mencapai tujuan tersebut. Akhirnya mereka yang berasal dari
kalangan kelas bawah menggunakan sarana-sarana yang tidak sah
(ilegitimate means) untuk mencapai tujuan mereka didalam keputusan dan
frustasinya.
2. Teori Pentimpangan Budaya
Teori ini juga sama dengan teori strain, lebih memusatkan
perhatian pada kekuatan-kekuatan sosial yang menyebabkan orang
melakukan aktivitas criminal. Teori penyimpangan budaya ini mengklaim
bahwa orang-orang dari kelas bawah memiliki satu set nilai-nilai yang
berbedan, yang senderung konflik dengan nilai-nilai kelas menengah.
Konsekuensi dari pendapat teori ini adalah apabila orang-orang dari kelas
bawah mengikuti sistem nilai mereka sendiri, mereka mungkin telah
melanggar norma-norma konvensional.
3. Teori Kontrol Sosial
Teori ini mempunyai pendekatan yang berbeda dengan Strain dan
penyimpangan budaya, yaitu berdasarkan asumsi bahwa motivasi
kejahatan merupakan bagian dari umat manusia. Sebagai konsengkuensi
jawaban mengapa orang tidak melakukan kejahatan. Teori ini mengkaji
kemampuan kelompok-kelompok dan lembaga-lembaga sosial membuat
aturannya yang efektif.83
c. Teori-teori yang menjelaskan kejahatan dari sudut pandang lain atau
presfektif lain
Teori dalam perspektif lainnya merupakan alternative penjelasan terhadap
kejahatan yang berbeda dari teori-teori lain yang sudah ada. Pada teori ini,
berusaha membuktikan bahwa orang berbuat kriminal bukan karena cacat atau
kekerangan internal tetapi karena apa yang dilakukannya oleh orang-orang yang
berada dalam kekuasaan, khususnya mereka yang berada dalam sistem peradilan
pidana. Menurut teori ini seseorang tidak akan dikatakan sebagai seorang penjahat
apabila hukum tidak menjadikan perbuatan tersebut menjadi suatu perbuatan
criminal.
Ada tiga teori yang dilahirkan dari perspektif ini yaitu :84
1) Labeling Theory
Teori ini memandang para kriminal hukum sebagai orang yang
bersifat jahat yang terlibat dlam perbuatan-perbuatan bersifat salah tetapi
mereka adalah individu yang sebelumnya pernah berstatus jahat yang
diberi oleh status pengadilan ataupun masyarakat.
83
Ibid, hlm 29. 84
2) Conflict Theory
Teori ini lebih jauh mempertanyakan proses pembuatan hukum itu
sendiri. Bahwa kejahatan itu tergangung terhadap berbagai kelompok
kepentinganyang berusaha mengontrol pembutan dan penegakan hukum
itu diciptakan oleh yang berkuasa untuk melindungi
kepentigan-kepentingannya.
3) Radical Theory atau critical criminology
Theory radical ini berbeda dengan teori konflik. Pada teori ini
menganggap hanya ada satu segmen yang mendominasi yaitu the
capitalist ruling class yang menggunakan hukum pidana untuk
memeksakan moralitasnya kepada semua orang yang adadiluar mereka
dengan tujuan untuk melindungi harta kekayaan mereka mendefenisikan
setiap perbuatan yang mengancam status quo ini sebagai kejahatan.
Dari penjelasan diatas tentang sebab-sebab kejahatan dari sudut pandang
kriminologi memberikan sesuatu gambaran bahwa tindak pidana perdagangan
orang dapat terjadi karena berbagai sebab, misalnya pendapat Bonger dan para
ahli lainnya tentang kriminologi dengan menitik beratkan pada pendekatan
sosiologis, yang menyatakan bahwa kejahatan dapat timbul akibat dari
kemiskinan, hal ini sejalan dengan faktor-faktor menyebab TPPO yang dijelaskan
selanjutnyapada bab ini yaitu faktor ekonomi yang inti permasalahannya adalah
kemiskinan.85
85
Sedangkan bila kita melihat disisi lain tentang aliran-aliran kriminologi,
seperti halnya aliran klasik, yang menjadi dasar pemikiran adalah bahwa manusia
pada hakikatnya merupakan makhluk yang memiliki “kehendak bebas (free
will)”oleh Cessare Becaria (1738-1794) dan Jeremi Betham (1748-1832), yang
dimaksud dengan memiliki kehendak bebas adalah dalam bertingkah laku,
manusia mempunyai kemampuan dalam memperhitungkan segala tindakan
berdasarkan keinginannya, aliran ini mencerminkan bagaimana manusia
mempunyai kebebasan berkehendak dimana dapat berbuat jahat atau berbuat
kebaikan, hal tersebut sejalan dengan faktor penyebab terjadinya PTPPO pada
poin penegakan hukumyang dibahas selanjutnya dalam bab ini, penulis
berpendapat bahwa penegak hukum mempunyai free will dalam menegakkan
hukum, walaupun ancaman dari perbuatan yang dilakukan selalu ada namun hal
tersebut tidak menjamin kehendak bebas dapat sejalan sebagai mana mestinya.
Hal ini juga dapat dikaitkan dengan pelaku TPPO dimana sebelum dia melakukan
perbuatannya dia mengetahui akibat dan sanksi yang akan terjadi bila dia
melakukannya.
Kemudian aliran neo-klasik lahir akibat paham ketidakadilan yang
dilahirkan oleh aliran klasik. Hal ini tercermin dalam penghukuman sipelaku atau
pemidanaannya.
Setelah aliran neo-klasik muncul lah aliran positifis, yang melihat
kejahatan secara empiris dengan menggunakan metode ilmiah untuk
mengkonfirmasi fakta-fakta di lapangan dalam kaitannya dengan terjadinya
Raffaele Garofalo (1852-1934). Aliran ini beralaskan paham determinisme yang
menyatakan bahwa seseorang melakukan kejahatan bukan berdasarkan
kehendaknya (free wiil) karena manusia tidak mempunyai kehendak bebas dan
dibatasi oleh berbagai faktor, baik watak atau psikis pribadinya, faktor biologis,
maupun faktor lingkungan atau sosialnya.
Penulis berpendapat bahwa aliran positifis ini berkaitan terhadap faktor
penyebab TPPO yang dilihat dari faktor “sosial budaya” sebagai mana
diterangkan selanjutnya pada bab ini. Dimana selain memperhatikan psikis dan
biologis pelaku, juga memperhatikan faktor sosiologis pelaku. Seperti social
forces atau pengaruh darikekuatan-kekuatan yang menyebabkan orang melakukan
perbuatan kriminal (theory strain), cultural deviance atau penyimpangan budaya
dan social control atau kontrol sosial. Hal ini juga sejalan dengan pendapat Edwin
H. Sutherlan yang menyatakan kriminologi adalah criminology is the body of
knowledge regarding crime as a social phenomena yang artinya keseluruhan
pengetahuan tentang kejahatan sebagai gejala sosial.
D. Berbagai Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Perdagangan
Orang
Secara garis besar dalam Keputusan Presiden Reprublik Indonesia Nomor
88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan
Perempuan dan Anak menyebutkan faktor-faktor terjadinya perdagangan orang
yaitu :86
a. Kemiskinan
86
b. Ketenaga Kerjaan
c. Pendidikan
d. Migrasi
e. Kondisi melemahkan ketahanan keluarga
f. Sosial Budaya
g. Media massa
Dari uraian singkat Keppres diatas memberikan gambaran secara mendasar
tentang faktor-faktor terjadinya perdagangan manusia, yang diuaraikan sebagai
berikut :
1. Faktor Ekonomi
Faktor ini dilatar belakangi kemiskinan dan lapangan kerja yang tidak ada
atau tidak memadai dengan besarnya jumlah penduduk, sehingga kedua hal inilah
yang menyebabkan seseorang untuk melakukan sesuatu, yaitu mencari pekerjaan
meskipun harus ke luar dari daerah asalnya dengan resiko yang tidak sedikit.87
Kebijakan internasional globalisasi ekonomi, juga berarti globalisasi pasar
kerja yang membuka peluang adanya permintaan dan pemenuhan pasokan tenaga Kemiskinan yang begitu berat dan langkanya kesempatan kerja
mendorong jutaan penduduk Indonesia untuk melakukan migrasi ke dalam dan ke
luar negeri guna menemukan cara agar dapat menghidupi diri mereka dan
keluarga mereka sendiri.
87
kerja dengan upah murah. Didukung oleh kemajuan teknologi transportasi, proses
migrasi dari satu negara ke negara lain semakin pesat.
Sementara kebijakan di bidang ketenagakerjaan, keimigrasian, dan
kependudukan yang diharapkan dapat menjadi kontrol untuk melindungi pekerja
migran dan pencari kerja ternyata belum memberikan hasil yang maksimal, belum
lagi oknum-oknum aparat yang menyalahgunakan kewenangannya. berbagai
perbuatan melawan hukum seperti pemalsuan dokumen, mulai dari KTP, surat
jalan sampai dengan paspor banyak terjadi.
Di samping kemiskinan, kesenjangan tingkat kesejahteraan antar negara
juga menyebabkan perdagangan orang.88
Kemiskinan bukan satu-satunya indikator kerentanan seseorang terhadap
perdagangan orang. Karena masih ada jutaan penduduk Indonesia yang hidup
dalam kemiskinan tidak terjadi korban perdagangan orang, akan tetapi ada
penduduk yang relatif lebih baik dan tidak hidup dalam kemiskinan malah
menjadi korban perdagangan orang. Hal ini disebabkan mereka bermigrasi untuk
mencari pekerjaan bukan semata karena tidak mempunyai uang, tetapi mereka
ingin memperbaiki keadaan ekonomi serta menambah kekayaan materiil, kembali
lagi dengan sifat manusia pada dasarnya yang tidak pernah puas akan apa yang
telah dia miliki (matreralisme). Kenyataan ini didukung oleh media yang Negara-negara yang tercatat sebagai
penerima para korban perdagangan orang dari Indonesia relatif lebih kaya dari
indonesia seperti Malaysia, Singapura, Taiwan, dan Saudi Arabia. Ini karena
mereka memiliki harapan akan lebih sejahtera jika bermigrasi ke negara lain.
88
menyajikan tontonan yang glamour dan konsumsif, sehingga membentuk gaya
hidup yang materialisme dan konsumsif. Materialis adalah stereotip yang selalu
ditujukan kepada mereka yang memiliki sifat menjadikan materi sebagai orientasi
atau tujuan hidup.89
2. Faktor Sosial Budaya
Dengan demikian, pengaruh kemiskinan dan kemakmuran dapat
merupakan salah satu faktor terjadinya perdagangan orang. Oleh karena itu,
kemiskinan dan keinginan untuk memperbaiki keadaan ekonomi seseorang masih
menjadi faktor yang perlu dipertimbangkan oleh pemerintah dalam rangka
meminimalisir angka kemiskinan dan dampaknya terhadap TPPO.
Dalam sisi manapun faktor sosial budaya sangatlah berdampak, baik
dalam pembangunan perekonomian suatu negara, peningkatan sumber daya
manusia (SDM), pemberlakuan supermasi hukum dan sebagainya. Hal serupa
juga terjadi dalam tindak pidana perdagangan orang. Faktor Sosial Budaya
memberikan pengaruh atau peluang terjadinya TPPO, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Oleh karna itu penulis menguraikan dampak dari faktor
sosial budaya dalam berbagai sudut pandang sebagai berikut :
a. Ketidakadaan Keseteraan Gender
Hal tersebut merupakan suatu cerminan nilai sosial budaya patriarki yang
kuat ini menempatkan laki-laki dan perempuan pada kedudukan dan peran yang
berbeda dan tidak setara walaupun pada era modren saat ini selalu diangkat
89
kepermukaan tentang emansipasi wanita. Hal ini ditandai dengan adanya
pembakuan peran, yaitu sebagai istri, sebagai ibu, pengelola rumah tangga, dan
pendidikan anak-anak di rumah, serta pencari nafkah tambahan dan jenis
pekerjaannya pun serupa dengan tugas di dalam rumah tangga, misalnya menjadi
pembantu rumah tangga dan pengasuh anak. Selain peran perempuan tersebut,
perempuan juga mempunyai peran beban ganda subordinasi, marjinalisasi, dan
kekerasan terhadap perempuan90
Kenyataan lain adanya ketidaksetaraan relasi antara laki-laki dan
perempuan yang membuat perempuan terpojok dan terjebak pada persoalan
perdagangan orang. Hal ini terjadi misalnya pada perempuan yang mengalami
perkosaan dan biasanya sikap atau respon masyarakat umumnya tidak berpihak
pada mereka. Perlakuan masyarakat itu yang mendorong perempuan yang
memasuki dunia eksploitasi seksual komersial.
, yang kesemuanya itu berawal dari diskriminasi
terhadap perempuan yang menyebabkan mereka tidak atau kurang memiliki akses,
kesempatan dan kontrol atas pembangunan, serta tidak atau kurang memperoleh
manfaat pembangunan yang adil dan setara dengan laki-laki.
91
Sebenarnya, keberadaan
perempuan di dunia eksploitasi seksual komersial lebih banyak bukan karena
kemauan sendiri, tetapi kondisi lingkungan sosial budaya dimana perempuan itu
berasal sangat kuat mempengaruhi mereka terjun ke dunia eksploitasi sosial
terutama untuk dikirim ke kota-kota besar.92
90
Liza Hadiz, Ideologi Jender di Balik Defenisi Legal-Formal : Analisis Sosiologis Tehadap Defenisi Perrkosaan didalam hukum, hukum dan pembangunan No 1 Tahun XXIII Pebruari 1993, hlm 13.
91
Hamim, Anis dan Agustinanto, Op cit, hlm 64. 92
Dengan demikian, ketimpangan gender dalam masyarakat cukup tinggi.
Dalam studi yang dilakukan Bappenas dan Unicef dinyatakan bahwa kemauan
politis untuk mengimplementasikan isu-isu yang berkaitan dengan gender masih
sangat lemah. Banyaknya kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga yang
berbagai macam bentuknya merupakan isu yang sangat membutuhkan perhatian
serius. Di samping itu, dengan masih berlangsung di dunia termasuk Indonesia
bahwa pandangan laki-laki hanya melihat perempuan sebagai objek pemenuhan
nafsu seksual laki-laki93
b. Kebiasaan terhadap peran anak dalam keluarga
, semakin menempatkan perempuan dalam posisi yang
sangat rentan terhadap eksploitasi seksual oleh laki-laki.
Sudah hal yang wajar bila mana kepatutan terhadap orang tua dan
kewajiban untuk membantu keluarga merupakan hal yang seharusnya dilakukan
oleh seorang anak, namun yang sering terjadi kewajiban tersebut membuat
anak-anak rentan terhadap perdagangan (trafficking). Dalam prateknya anak-anak memenuhi
kewajibannya dengan menjadi buruh atau pekerja anak, dengan cara mencari
pekerjaan didalam negeri dan juga bermigrasi. Hal serupa juga terjadi akibat
jeratan hutang sehingga dianggap sebagai strategi-strategi keuangan keluarga
yang dapat diterima untuk dapat menopang kehidupan keuangan keluarga.
Praktek menyewakan tenaga anak atau anggota keluarga untuk melunasi
pinjaman merupakan strategi penopang kehidupan keluarga yang dapat diterima
oleh masyarakat khususnya para korban. Anak yang ditempatkan sebagai buruh
93
karena jeratan hutang, rentan terhadap kondisi-kondisi yang sewenang-wenang
dan kondisi yang mirip dengan perbudakan.94
c. Perkawinan Dini
Perkawinan dini mempunyai implikasi yang serius bagi para anak
perempuan termasuk bahaya kesehatan, putus sekolah, kesempatan ekonomi yang
terbatas, gangguan perkembangan pribadi. Mengawinkan anak dalam usia muda
telah mendorong anak memasuki eksploitasi seksual komersial, karena tingkat
kegagalan pernikahan semacam ini sangat tinggi, sehingga terjadi perceraian dan
rentan terhadap perdagangan orang. Setelah bercerai harus menghidupi diri sendiri
walaupun mereka masih tergolong anak-anak.95
94
Ibid, hlm 21.
Pendidikan rendah karena setelah berhenti sekolah dan rendahnya
keterampilan mengakibatkan tidak banyak pilihan yang tersedia dan segi mental,
ekonomi dan sosial tidak siap untuk hidup mandiri, sehingga cendereng memasuki
dunia pelacuran sebagai salah satu cara yang paling potensial untuk
mempertahankan hidup.Pernikahan dini seringkali mengakibatkan ketidaksiapan
anak menjadi orang tua, sehingga anak yang dilahirkan rentan untuk tidak
mendapat perlindungan dan seringkali berakhir pula dengan masuknya anak ke
dalam dunia eksploitasi seksual komersial.
d. Kehancuran Keluarga
Keluarga yang hancur (broken home) dan tidak memiliki fungsi serta
tujuan keluarga sebagai mana mestinya merupakan salah satu penyebab tindak
pidana perdagangan orang.96 Kekerasan dalam keluarga, kehancuran akibat
perceraian, kesibukan dunia pekerjaan sehingga hanya menyisihkan waktu sedikit
untuk keluarga merupakan hal yang mendorong maraknya keluarga diambang
kehancuran. Ketiadaan fungsi keluarga sebagai lahan perhatian dan kasih sayang
yang selayaknya didapatkan hilang begitu saja, akbitnya membuat anak ataupun
anggota keluarga mencari perhatian dan kasih sayang tersebut diluar pagar
keluarga, dimana menurutnya aman bagi dirinya dan dapat menghindar dari
semua masalah yang dialaminya.97
3. Faktor Pendidikan yang minim dan tingkat buta huruf tinggi
Pendidikan merupakan hal yang penting diera modren saat ini, ketika kita
tidak dapat bersaing dalam ilmu pengetahuan dan teknologi maka sudah sangat
jelas kita akan ketinggalan dan perubahan akan kesejahteraan hidup sangatlah
lambat. Kaitannya dalam perdagangan orang dimana dengan pendidikan yang
terbatas atau buta aksara kemungkinan besar akan menderita keterbatasan
ekonomi dan mereka juga tidak akan mempunyai pengetahuan serta kepercayaan
diri untuk mengajukan pertanyaan tentang ketentuan-ketentuan dalam kontrak dan
kondisi kerja mereka.98
Selain itu, mereka akan sulit mencari pertolongan ketika
97
Kuntjoro, Op cit, hlm 13. 98
mereka kesulitan saat berimigrasi ataupun mencari pekerjaan. Kesulitan
mengakses sumber daya yang tersedia, tidak dapat membaca atau mengerti brosur
iklan. Orang dengan pendidikan yang terbatas memiliki lebih sedikit keahlian
(skill) dan kesempatan kerja dan mereka lebih mudah ditrafik karena mereka
bermigrasi mencari pekerjaan yang tidak membutuhkan keahlian.
Dampak lain yang ditimbulkan misalnya, seorang pekerja migran yang
tidak dapat membaca atau buta huruf, dalam melakukan perjanjian kerja sering
kali dibacakan secara lisan, dalam pembacaan tersebut berbeda dengan apa yang
ada lama perjanjian kerja (contract) dimana secara lisan dijanjikan akan mendapat
jenis pekerjaan atau jumlah gaji tertentu oleh seorang agen, namun kontrak yang
mereka tanda tangani mencantumkan ketentuan kerja serta kompensasi yang jauh
berbeda, bahkan sering kali mengarah ke eksploitasi.99
4. Faktor Penegakan Hukum
Hal yang ingin dicapai dalam penegakan hukum terletak pada kegiatan
menyerasikan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah atau
tatanan-tatanan sosial masyarakat kedalam aturan-aturan hukum yang ada atau aturan
hukum yang telah terkodifikasikan, yang bersumber dari norma-norma dan
tatanan-tatanan sosial mayarakat. Sehingga menciptakan rasa aman dan teratur
dalam masyarakat. Dimana hal ini tidak terlepas dari fungsi dasar hukum pada
umumnya yaitu memberikan Keadilan, Kepastian Hukum, serta Kemanfaatan
Hukum.100
a. Akibat Hukumnya Sendiri
Penegakan hukum terangkat kepermukaan akibat ketidakserasian antara
nilai-nilai, kaidah-kaidah, tatanan-tatanan sosial dan pola perilaku masyarakat.
Sehingga pengaturan yang bertendensi penegakan hukum diperlukan untuk
mewujudkan keserasian tersebut. Namun dalam melakukan penegakan hukum
tidaklah selayaknya membalikkan telapak tangan dengan mudahnya. Banyak
faktor-faktor yang mengahambat dan mempengaruhi penegakan hukum sulit
untuk mencapai pada titik pencapaian yang telah ditentukan atau dihapkan. Dalam
hal ini penegakan hukum yang dimaksud berhubungan dengan tindak pidana
perdagangan orang.
Dari uraian singkat diatas, tergambarkan betapa pentingnya penegakan
hukum bagi kelangsungan hidup manusia khususnya dalam tindak pidana
perdagangan orang. Oleh karna itu penulis menguraikan hal-hal yang
mempengaruhi penegakan hukum dari berbagai sudut pandang, sebagai berikut :
Sebelum disahkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, tidak ada peraturan
perundang-undangan yang dengan tegas mengatur hal ini. Kebanyakan pelaku
perdagangan orang yang tertangkap pun tidak semuanya dijatuhi hukuman yang
setimpal dengan jenis dan akibat kejahatan tersebut, akibat lemahnya piranti atau
100
payung hukum yang tersedia. Selama itu ketentuan hukum positif yang mengatur
tentang larangan perdagangan orang tersebar dalam berbagai peraturan
perundang-undangan seperti Pasal 297 KUHP.101
Adapun asas Hukum Pidana menentukan bahwa Hukum Pidana menganut
sistem interprestasi negatif yang berarti tidak boleh ada interprestasi lain selain
yang ada dalam KUHP itu sendiri. Pasal ini juga bersifat umum, sehingga tidak Pasal tersebut tidak menyebutkan dengan jelas tentang defenisi
perdagangan orang, sehingga tidak dapat dirumuskan dengan jelas unsur-unsur
tindak pidana yang dapat digunakan penegak hukum untuk melakukan penuntutan
dan pembuktian adanya tindak pidana. Pasal ini dapat dikatakan mengandung
diskriminasi terhadap jenis kelamin karena pasal ini menyebutkan hanya wanita
dan anak laki-laki di bawah umur, artinya hanya perempuan dewasa dan anak
laki-laki yang masih di bawah umur yang mendapat perlindungan hukum.
Juga inteprestasi hukum yang berkembang terhadap Pasal 297 KUHP
menyempitkan makna tindak pidana tentang perdagangan orang, khusus
perempuan dan anak. Dengan tidak jelasnya definisi tentang perdagangan orang
dakam Pasal 297 KUHP, maka terjadi interprestasi hukum yang sempit.
Sebagaimana disebutkan dalam penjelasan KUHP yang disusun R. Sugandhi,
yang menyatakan bahwa perdagangan wanita dan ank laki-laki di bawah umur
hanya sebatas pada eksploitasi pelacuran dan pelacuran paksa. Akan tetapi,
interprestasi ini adalah interprestasi tiak resmi. Berarti penjelasan ini bukan
penjelasan dari negara yang merupakan penjelasan dari KUHP.
101
mampu mewadahi kasus yang sifatnya lebih spesifik, karena di lapangan banyak
ditemukan bentuk-bentuk kejahatan lebih spesifik yang tidak mampu dijerat oleh
pasal tersebut. Contohnya adalah modus jeratan utang. Banyak perempuan dan
anak harus menjadi pekerja seks komersial karena terjerat utang pada majikan
atau germo.
Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia102 juga terkait dengan perdagangan manusia. Ketentuan hukum dalam
undang-undang ini menunjukkan kemajuan ketentuan pidana dengan mengikut
perkembangan kejahatan dan pelanggaran hak asasi manusia dalam masyarakat
dan tidak ada diskriminasi perlindungan hukum dari tindak pidana terhadap jenis
kelamin atau usia, karena perdagangan manusia mencakup semua orang termasuk
laki-laki dan anak meliputi anak laki-laki dan perempuan. Ketentuan dalam
undang-undang ini juga memberikan ruang lingkup perlindungan yang lebih luas
terhadap segala bentuk tindak pidana yang biasanya merupakan bagian eksploitasi
dalam perdagangan orang seperti penyekapan. Tetapi definisi perdagangan orang
dalam undang-undang ini tidak ada.103
Disahkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak Pasal 83 telah mencantumkan larangan memperdagangkan, menjual, atau
menculik anak untuk diri sendiri atau dijual. Akan tetapi, undang-undang ini juga
sama seperti halnya dalam KUHP tidak merinci apa yang dimaksud dengan
perdagangan anak dan untuk tujuan apa anak itu dijual. Namun demikian,
102
Lihat UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM.
undang ini cukup melindungi anak dari ancaman penjualan anak dengan
memberikan sanksi yang lebih berat dibandingkan dengan KUHP yang
ancamannya 0-6 tahun penjara, sedangkan Undang-Undang Perlindungan Anak
mengancam pelaku kejahatan perdagangan anak 3-15 tahun penjara dan denda
antara Rp 60 juta sampai Rp 300 juta. Undang-Undang ini sering digunakan
sebagai dasar untuk menangkap pelaku perdagangan orang. Penerapan pasal-pasal
tersebut bukan berarti secara otomatis menyelesaikan masalah. Sejumlah
kekurangan yang terkandung dalam pasal-pasal tersebut tidak jarang membuat
para pelaku perdagangan manusia lolos dari hukum yang seharusnya diterima.
b. Akibat Penegak Hukum
Penegakan hukum di dalam masyarakat selain dipengaruhi oleh peraturan
atau kaidah-kaidah, juga ditentukan oleh para penegak hukum atau pengembala
hukum104
Terjadinya korupsi dalam pengurusan-pengurusan dokumen misalnya
pemalsuan informasi pada dokumen-dokumen resmi seperti KTP, akta kelahiran,
dan paspor. Akibatnya anak maupun orang dewasa yang tidak terdaftar serta tidak
memiliki akta kelahiran amat rentan terhadap eksploitasi. Orang yang tidak dapat
memperlihatkan akta kelahirannya sering kali kehilangan perlindungan yang
diberi hukum karena dimata negara secara teknis mereka tidak ada. Rendahnya
registrasi kelahiran, khususnya di kalangan masyarakat desa, memfasilitasi , sering terjadi beberapa peraturan tidak dapat terlaksana dengan baik
karena ada penegak hukum yang tidak melaksanakan suatu peraturan dengan cara
sebagaimana mestinya.
104
perdagangan manusia. Agen dan pelaku perdagangan memanfaatkan ketiadaan
akta kelahiran asli untuk memalsukan umur khususnya bagi perempuan yang
belum cukup umur agar mereka dapat bekerja di luar negeri.
Selain pemalsuan dokumen para korban, tindak pidana perdagangan orang
juga rentang terjadi akibat para penegak hukum korupsi dalam menjalani tugas
dan wewenangnya. Sebagai mana kita ketahui pada saat ini masalah utama di
setiap jenjang adalah korupsi (corruption), yang mana kerap terjadi di lingkungan
pegawai negeri, kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.
Misalnya yang berhubungan dengan kepolisian, seperti diberikan perihal
tugas polisi yang menolak memulai penyidikan atau menghentikan penyidikan
setelah menerima uang, perlakuan buruk petugas polisi kepada korban, serta
keterlibatan polisi dalam praktik-praktik perdagangan orang dan pemerasan
pengelola rumah pelacuran atau bordil, mucikari, dan para pelacur oleh polisi.105
Hal yang sama juga terjadi di lembaga peradilan, dimana masih hangatnya
kasus Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, yang tersandung kasus korupsi.
Walaupun tidak ada kaitannya dalam kasus perdagangan orang, namun dapat
tergambarkan bahwa kurangnya kesadaran hakim akan tugas dan wewenangnya Adapun berkenaan dengan kejaksaan, seperti yang diberikan mencakup
informasi tentang jaksa yang menghentikan proses penuntutan, mengajukan
dakwaan dengan menggunakan ketentuan pidana dengan ancaman yang lebih
rendah dari yang sebenarnya dapat diajukan, menuntut penjatuhan pidana yang
lebih rendah dalam persidangan.
105
sebagai penegak hukum, pengambil kuputusan, dan Tuhan bagi mereka yang
diputuskan bersalah di pengadilan. Kasus lain yang sering kita dengar seperti
hakim yang membebaskan atau melepas terdakwa ataupun menjatuhkan pidana
lebih rendah tergantung pada bayaran yang diterima.
Seakan-akan tidak mau kalah pegawai negeri sipil dilingkungan tertentu
juga ikut berperan untuk korupsi sebagaimana diurai sebelumnya didalam
pembuatan dokumen-dokumen penting. Namun tidak hanya itu kasus lain
misalnya pemerasan buruh migran yang mendarat di terminal 3 bandara
Soekarno-Hatta Cengkareng, sejumlah LSM mengungkap kecurigaan akan adanya
kolusi antara pegawai-pegawai Departemen Tenaga Kerja dengan Perusahan
Penyalur Jasa Tenaga Kerja.
Dari penjelasan diatas tergambarkan bahwa masih kurangnya penegakan
hukum dilembaga-lembaga negara, kurangnya asas tranparansi berkenaan dengan
aturan-aturan serta prosedur yang berlaku, termasuk juga tidak adanya
akuntabilitas dari pejabat negara khususnya dilingkungan penegak hukum serta
petugas lainnya, dimana hal ini tercermin dengan tidak tersedianya mekanisme
kontrol, pengawasan, dan penerimaan pengaduan baik internal maupun eksternal.
Akibatnya, banyak korban yang tidak mau menyelesaikan masalah melalui proses
hukum. Hal ini memberikan peluang terhadap praktik pedagangan orang (human
trafficking) yang semakin meningkat.
5. Faktor Sarana dan Koordinasi
Sarana atau fasilitas juga mempengaruhi penegak hukum, hal ini terlihat
dan fasilitas. Sarana yang penulis maksud disini selain gedung, peralatan,
teknologi, kendaraan dan sebagainya yang paling penting adalah sumber daya
manusia (SDM) yang memiliki kemampuan berpendidikan dan terampil,
organisasi yang baik, teguh terhadap kode etik, keagamaan yang tinggi, dan
bijaksana. Bilamana SDM yang direkrut memenuhi kriteria tersebut untuk jadi
penegak hukum alhasil negara ini akan terlepas dari kemiskinan.106
Koordinasi juga sangat menentukan penegakan hukum dapat terwujud
dengan baik107
, bila mana kordinasi kurang antar lembaga negara khususnya
lembaga penegak hukum maka yang terjadi seperti halnya perbedaan interpretasi
para penegak hukum tentang defenisi perdagangan orang, dimana hal tersebut
sangat berpengaruh terhadap penuntutan, pembuktian, dan penghukuman. Dan
sering terjadi kasus kejahatan perdagangan orang lepas dari penuntutan karena
adanya perbedaan interpretasi. Hal tersebut terjadi karena kurangnya pemahaman
dan keahlian penegak hukum dalam menangani kasus perdagangan manusia,
sehingga berdampak luas dalam memprosesnya. Lemahnya koordinasi antar
penegak hukum, seperti halnya polisi kurangnya keinginan untuk mengetahui
hasil putusan hakim sehubungan dengan kasus-kasus yang diajukannya ke
kejaksaan dan pengadilan dan untuk melakukan upaya hukum tinggi. Demikian
juga kejaksaan kurangnya rasa keinginan untuk mengetahui dan menganalisis
kembali putusan pengadilan, seakan-akan setiap putusan pengadilan diterima
107
bulat-bulat walaupun berbeda didalam tuntutan. Keadaan ini sangat menghambat
proses monitoring dan evaluasi penegakan hukum.108
6. Faktor Media Massa (press)
Dalam pemberantasan tindak pidana perdagangan orang seharusnya media
massa memberikan kontribusi yang siknifikan dan transparansi terhadap
kasus-kasus perdagangan orang. Namun sangat disayangkan dimana media massa pada
saat ini masih belum memberikan perhatian yang penuh terhadap berita dan
informasi yang lengkap tentang human trafficking dan belum memberikan
kontribusi yang optimal dalam upaya pencegahan maupun penghapusannya.
Bahkan tidak sedikit justru memberitakan yang kurang mendidik dan bersifat
pornografis yang mendorong menguatnya kegiatan human trafficking dan
kejahatan susila lainnya.
7. Faktor Masyarakat
Kesadaran masyarakat terhadap hukum belum terbangun dengan baik.
Disamping itu, sebagian masyarakat masih mengalami krisis kepercayaan kepada
hukum dan aparat penegak hukum.109
108
Mudjiono, Sistem hukum dan tata Hukum Indonesia, Yogyakarta : Liberty, 1997, hlm 24.
109
Ibid, hlm 26.
Hal tersebut sangat berpengaruh terhadap
ketaatan dalam hukum dan jaminan pelaksanaan hak asasi manusia khususnya
dalam pencegahan dan penanggulangan tindak kejahatan perdagangan orang
terutama perempuan dan anak. Pemahaman masyarakat tentang tindak pidana
mereka lakukan termasuk dalam kategori tindak pidana perdagangan orang
mereka tidak menyadarinya ataupun seseorang yang mengetahui tentang itu tidak
melaporkannya, demikian pulak telah menjadi korban namun tidak
melaporkannya. Hal ini semua terjadi akibat kurangnya pemahaman masyarakat
akan tindak pidana perdagangan orang, yang selayaknya dilindungi oleh hukum.
Faktor-faktor yang diuraikan diatas merupakan faktor-faktor terjadinya
perdagangan orang, namun perlu diketahui bahwa faktor-faktor tersebut tidak
berdiri sendiri. Dengan kata lain , faktor-faktor yang berhubungan dengan faktor
lain akan menghasilkan kejahatan. Satu sama lain akan selalu berkaitan, seperti
halnya sebab dari suatu akibat yang disebut multifactor theory. Sebagai contoh
faktor ekonomi dengan faktor penegakan hukum, sebagai masyarakat yang
berkekurangan dibidang ekonomi akan berusaha untuk memperbaiki kondisi
keuangannya, sebagian masyarakat memilih untuk bekerja di luar negeri untuk
jadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) namun dengan menjadi TKI banyak
dokumen-dokumen yang harus dilengkapi, ketika dokemun tersebut dalam pengurusannya
tidak sesuai dengan aturan hukum yang dilakukan oleh penyalur tenaga kerja,
maka berakibat pada penyimpangan-penyimpangan, yang memberikan peluang
terjadinya tindak pidana perdagangan orang110
110
Chairul Bariah Mozasa, Op cit, hlm 9.
. Seperti halnya dengan