• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II FAKTOR - FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG - Penerapan Undang-Undang nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (Kajian Putusan No.1554/Pid.B/20

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II FAKTOR - FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG - Penerapan Undang-Undang nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (Kajian Putusan No.1554/Pid.B/20"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

FAKTOR - FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

Sebagai mana kita ketahui akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana

perdagangan orang sangatlah komplek, artinya selain timbul dampak sosial di

masyarakat juga menimbulkan dampak emosional terhadap para korban,

diantaranya adalah perasaan kehilangan kendali dan kurangnya rasa aman.

Kejadian yang traumatis merenggut perasaan kendali diri individu yang sering

mengarah kepada perasaan tidak nyaman dan kurang aman yang menyeluruh dan

mendalam, dimana korban terpisahkan dari sistem lingkungan dan kekerabatan

dari keluarga. Hal yang paling penting ketika berhubungan dengan para korban

dalam pemberian layanan ataupun pemulihan adalah menciptakan rasa aman bagi

mereka.58

Orang yang telah menjadi korban perdagangan orang dan kekerasan

seksual biasanya memiliki rasa kepercayaan diri yang kurang.59

58

Hawani, Korban Trafficking yang menderita secara fisik dan psikis, 1997. hlm 4 http/www. Makalah-human-trafficking.com,diakses pada hari rabu, tanggal 12 Februari 2014, Jam 20.05 Wib.

59

Sayrifuddin Pettanasse, Kebijakan Criminal, Korban dan Kejahatan, agustus 2007,

hlm 67.

Ini dapat

dimanifestasikan dalam berbagai macam tingkah laku seperti depresi, rasa malu,

kelesuan, respon emosional yang keras, ketidakpekaan emosional, dan lain-lain.

Stigma sosial dan rasa malu karena beberapa alasan, diantaranya pengalaman

yang telah mereka lalui selama proses perdagangan orang, misalnya pemerkosaan,

(2)

untuk keluarga mereka, bahkan korban merasa merekalah yang menyebabkan

pelanggaran yang mereka alami tersebut.

Respon emosional yang keras akibat trauma dengan kejadian yang dialami

dapat muncul berbagai ragam respon emosional termasuk rasa marah, histeria,

mudah menangis, sikap yang obsesif, dan lebih suka berdiam. Tetapi respon

seperti itu tidak dapat langsung dibaca. Misalnya, jika seseorang tertawa ketika

menceritakan tentang penyerangan seksual kepada mereka, hal ini bukan berarti

bahwa orang itu merasa ceritanya lucu. Perdagangan orang biasanya melibatkan

pengkhianatan kepercayaan atau manipulasi yang dilakukan oleh orang yang

dipercaya para korban.60

60

Ibid, hlm 69

Respon sosial yang sering ditemukan pada korban kekerasan seksual

adalah kecenderungan untuk memperlihatkan perilaku seksual. Hal ini dapat

dimanifestasikan dalam bentuk menggoda, menyentuh, dan lain-lain. Dan ini

biasanya terjadi pada kasus dimana korban adalah pekerja seks yang

mengkonseptualkan jati diri mereka dalam bentuk-bentuk seksual. Respon ini

terjadi karena sebelumnya para korban telah menerima interaksi sosial yang cukup

baik dan dianggap layak untuk menerima hal tersebut, interaksi tersebut terjadi

dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Sehingga ketika interaksi yang baik

tersebut hilang atau tiba-tiba berubah, mereka berupaya untuk mengembalikan

keadaan tersebut agar mendapat perhatian dan penghargaan kembali dengan cara

yang salah, seringkali korban berfikir bahwa satu-satunya cara agar mereka dapat

(3)

Dari penjelasan singkat diatas tergambarkan bahwa tindak pidana

perdagangan orang sangatlah berdampak bagi kelangsungan korban dan

masyarakat. Oleh karna itu timbullah suatu pertanyaan, mengapa peristiwa tindak

pidana perdagangan orang terjadi ?. Sehubungan dengan itu dalam bab ini dibahas

tentang faktor-faktor penyebab tindak pidana perdagangan orang.

Sebelum menguraikan berbagai faktor-faktor penyebab terjadinya tindak

pidana perdagangan orang, maka penulis beranggapan sebagai kejahatan yang

terorganisir perlu mengingat akan sebab-sebab kejahatan. Oleh karena itu penulis

mencoba menguraikan sebab-sebab terjadinya kejahatan yang dilihat dari sudut

pandang Kriminologi, sehingga nantinya kita dapat mengetahui bagaimana

hubungannya dengan penyebab terjadinya tindak pidana perdagangan orang.

C. Faktor-faktor penyebab TPPO dilihat dari sudut pandang

Kriminologi

1. Pengertian Kriminologi

Bagi orang yang baru pertama kali mendengar istilah kriminologi,

biasanya akan memiliki pemikiran sendiri tentang pengertian dari kata tersebut.

Kebanyakan dari mereka memiliki persepsi yang salah tentang bidang ilmu

pengetahuan ilmiah kriminologi ini. Sebagian besar orang memiliki persepsi

bahwa kriminologi adalah suatu studi pendidikan ilmu hukum. Kata kriminologi

yang berhubungan dengan kejahatan, serta merta dikaitkan dengan pelanggaran

hukum pidana61

61

Marjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Jakarta : UI, 1994. hlm 2.

. Ada juga yang mengaitkan kriminologi dengan pekerjaan

(4)

menangkap pelakunya. Hal ini tidak salah sepenuhnya, tetapi tidak dapat

dikatakan benar.62

Kriminologi dalam bahasa Inggris disebut criminology, bahasa Jerman

kriminologie secara bahasa63, berasal dari bahasa latin, yaitu kata ”crimen” dan

”logos”. Crimen berarti kejahatan, dan logos berarti ilmu. Dengan demikian

kriminologi secara harafiah berarti ilmu yang mempelajari tentang penjahat. Di

dalam kriminologi ada beberapa teori yang berpendapat mengenai sebab-sebab

terjadinya kejahatan.64 Teori ini adalah seperangkat konsep atau konstruk, definisi

dan proposisi yang berusaha menjelaskan hubungan sistematis suatu fenomena,

dengan cara memperinci hubungan sebab-akibat yang terjadi. Dengan kata lain,

teori merupakan serangkaian konsep yang memiliki hubungan sistematis untuk

menjelaskan suatu fenomena sosial tertentu. Teori dalam kriminologi adalah

penjabaran secara lebih merinci terhadap aliran yang telah ada.65

Istilah kriminologi pertama kali digunakan oleh Topinard, seorang sarjana

Perancis, pada akhir abad ke sembilan belas. Namun demikian, bidang penelitian

yang sekarang ini dikenal sebagai salah satu bidang yang berkaitan dengan ilmu

kriminologi telah terbit lebih awal, misalnya karya-karya yang dikarang oleh:

Cesare Beccaria (1738-1794), Jeremy Bentham (1748-1832), Andre Guerry, yang

mempublikasikan analisa tentang penyebaran geografis kejahatan di Perancis

tahun 1829, Adolphe Quetelet seorang Ahli matematika Belgia menerbitkan

hari Rabu, tanggal 19 Februari 2014, Jam 19.35 Wib. 63

Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, 2001.

64

Marjono, Op cit, hlm 3. 65

(5)

sebuah karya ambisius tentang penyebaran sosial kejahatan di Perancis, Belgia,

Luxemburg, dan Belanda pada tahun 1835 dan terakhir Cesare Lambroso

(1835-1909) serta muridnya Enrico Ferri (1856-1928) menggunakan metode antropologi

ragawi atau antropobiologi mengembangkan teori kriminalitas berdasarkan

biologis.

Kriminologi kemudian berkembang sebagai ilmu pengetahuan ilmiah,

yang mana dalam perkembangannya, kriminologi modern terpisah-pisah

melandaskan diri pada salah satu cabang ilmu pengetahuan ilmiah tertentu, yaitu

sosiologi, hukum, psikologi, psikiatri, dan biologi.66

a. W.A Bonger (1970)

Dari uraian diatas, banyak ahli yang mengemukakan pendapat mereka

tentang pengertian kriminologi secara khusus antara lain :

Memberikan batasan bahwa ”kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang

bertujuan menyelidiki kejahatan seluas-luasnya”.67

1) Kriminologi praktis, yaitu kriminologi yang berdasarkan hasil

penelitiannya disimpulkan manfaat praktisnya

Bonger dalam memberikan

batasan kriminologi, membagi kriminologi ke dalam dua aspek:

2) Kriminologi teoritis, yaitu ilmu pengetahuan yang berdasarkan

pengelamannya seperti ilmu pengetahuan lainnya yang sejenis,

memperhatikan gejala-gejala kejahatan dan mencoba menyelidiki

66

Mahmud Mulyadi, Politik Hukum Pidana, Medan : USU Press, 2007, hlm 26 dan bahan mata kuliah Politik Hukum Pidana pada hari Jum’at tanggal 13 Desember 2013.

67

(6)

sebab dari gejala tersebut (etiologi) dengan metode yang berlaku pada

kriminologi.

Dalam kriminologi teoritis, Bonger memperluas pengertian

dengan mengatakan baahwa kriminologi merupakan kumpulan dari

banyak ilmu pengetahuan (Bonger, 1970:27).

a) Antropologi kriminologi, yaitu ilmu pengetahuan tentang manusia

yang jahat dilihat dari segi biologisnya yang merupakan bagian

dari ilmu alam

b) Sosiologi kriminal, yaitu ilmu pengetahuan tentang kejahatan

sebagai gejala sosial. Pokok perhatiannya adalah seberapa jauh

pengaruh sosial bagi timbulnya kejahatan (etiologi sosial)

c) Psikologi kriminal, yaitu ilmu pengetahuan tentang kejahatn

dipandang dari aspek psikologis. Penelitian tentang aspek

kejiwaan dari pelaku kejahatan antara lain ditujukan pada aspek

kepribadiannya.

d) Psi-patologi-kriminal dan neuro-patologi-kriminal, yaitu ilmu

pengetahuan tentang kejahatan yang sakit jiwa atau sakit

sarafnya, atau lebih dikenal dengan istilah psikiatri.

• Penologi, yaitu ilmu pengetahuan tentang tumbuh

berkembangnya penghukuman, arti penghukuman, dan

manfaat penghukuman.

• Kriminologi praktis, yaitu berbagai kebijakan yang

(7)

• Kriminalistik, yaitu ilmu pengetahuan yang dipergunakan

untuk menyelidiki terjadinya suatu peristiwa kejahatan.

Bonger, dalam analisanya terhadap masalah kejahatan, lebih

mempergunakan pendekatan sosiologis, misalnya analisa tentang hubungan antara

kejahatan dengan kemiskinan.

b. Wood

Menurut beliau bahwa istilah kriminologi meliputi keseluruhan

pengetahuan yang diperoleh berdasarkan teori atau pengalaman yang bertalian

dengan perbuatan jahat dan penjahatnya termasuk didalamnya reaksi dari

masyarakat terhadap perbuatan jahat itu dan para penjahatnya. Yang termasuk

didalamnya antara lain adalah :68

1) Keseluruhan ilmu tentang kejahatan

2) Berdasarkan kepada teori/pengalaman yang diperoleh dari ilmu

kejahatan

3) Melihat kejahatan dan penjahat

4) Reaksi dari masyarakat berupa pandangan, perbuatan atau tindakan

seperti penaggulangan dan pencegahan.

c. Micheal Adler

Menurut Micheal bahwa kriminologi adalah keseluruhan keterangan

mengenai perbuatan dan sifat dari penjahat lingkungan mereka dan cara mereka

68

(8)

secara resmi diperlakukan oleh lembaga penertib masyarakat dan oleh para

anggota masyarakat.

d. Edwin H. Sutherland

Edwin dikenal sebagai bapak kriminologi modern karena dia lah yang

pertama sekali menghubungkan masalah kejahatan itu dengan masyarakat. Dalam

hal ini Edwin melihat dari segi sosiologi. Menurut Edwin H. Sutherlan

menyatakan kriminologi adalah criminology is the body of knowledge regarding

crime as a social phenomena yang artinya keseluruhan pengetahuan tentang

kejahatan sebagai gejala sosial. Beliau juga mengatakan bahwa selama

masyarakat masih ada perbuatan kejahatan juga akan tetap ada.

Berlandaskan pada definisi diatas, Sutherland dan Cressey menjelaskan

bahwa kriminologi terdiri dari tiga bagian pokok, yaitu:69

1) Sosiologi hukum yaitu analisis ilmiah terhadap kondisi-kondisi yang

mempengaruhi perkembangan hukum pidana

2) Etiologi kriminal yaitu usaha secara ilmiah untuk mencari sebab-sebab

kejahatan

3) Penologi dimana termasuk metode pengendalian sosial yaitu

pengetahuan yang mempelajari tentang sejarah lahirnya hukuman,

perkembangannya serta arti dan kaedahnya.

69

(9)

e. Constant

Menurut beliau kriminologi sebagai ilmu pengetahuan empirik yang

bertujuan untuk menentukan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya

perbuatan jahat dan penjahat. Seorang ahli statistik yang bernama A.E.Quetelet

tertarik kepada seorang manusia yang melakukan perbuatan yang tidak baik,

diamana dia terkait dengan alat-alat yang digunakan, sehingga ia berkesimpulan

bahwa dalam setiap perbuatan yang sama dimana dalam hal ini pembunuhan

bahwa alat yang dilakukan untuk melakukan perbuatan itu hampir sama.

Jadi dalam mempelajari kejahatan dari segi sosial maka selama ada

masyarakat kejahatan akan tetap ada, ini berarti masalah kejahatan tidak akan

pernah habis dikikis dalam rangka penanggulangan kejahatan itu pendapat ini

sejalan dengan pendapat Edwin H. Sutherland.

f. Haskell dan Yablonsky

Beliau menekan definisi kriminologi pada muatan penelitiannya dengan

mengatakan bahawa kriminologi secara khusus adalah merupakan disiplin ilmiah

tentang pelaku kejahatan dan tindakan kejahatan yang meliputi :70

1) Sifat dan tingkat kejahatan

2) Sebab musabab kejahatan dan kriminalitas

3) Perkembangan hukum pidana dan sistem peradilan pidana

4) Ciri-ciri kejahatan

5) Pembinaan pelaku kejahatan

70

Mulyana Kusuma, Analisa Krimiologi tentang Kejahatan-Kejahatan Kekerasan.

(10)

6) Pola-pola kriminalitas

7) Dampak kejahatan terhadap perubahan sosial.

g. Vernon Fox

Yang mana Vernon memberikan definisi kriminologi secara komperhensif

dibandingkan dengan definisi-definisi sebelumnya di atas. Ia mengatakan bahwa

kriminologi merupakan kajian tentang tingkah laku jahat dan sistem keadilan. Ini

merupakan kajian tentang hukum, dan pelaku pelanggaran hukum.71

h. Prof. Muhammad Mustofa

Pemahaman

terhadap gejala tersebut membutuhkan pemahaman terhadap seluruh ilmu-ilmu

tingkah laku, ilmu alam, dan sistem etika dan pengendalian yang terkandung

dalam hukum dan agama. Kriminologi merupakan tempat pertemuan berbagai

disiplin ilmu yang memberikan pusat perhatian pada kesehatan mental dan

kesehatan emosi individu dan berfungsinya masyarakat secara baik. Tingkah laku

jahat dapat diterangkan melalui pendekatan sosiologis, psikologis, medis dan

biologis, psikiatris dan psiko-analisa, ekonomi, politik, budaya dan lain-lain

pendekatan sosial dan tingkah laku.

Dalam bukunya Kriminologi, mengatakan bahwa definisi kriminologi

yang dikaitkan dengan pengembangan kriminologi di Indonesia adalah yang

berakar pada sosiologis.72

71

Ibid, hlm 15. 72

Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi. Bandung : Mandar Maju, 1995, hlm 11.

kriminologi diartikan sebagai ilmu pengetahuan ilmiah

(11)

dan kejahatan dimana munculnya suatu peristiwa kejahatan, serta kedudukan dan

korban kejahatan dalam hukum dan masyarakat serta pola reaksi sosial formal,

informal, dan non-formal terhadap penjahat, kejahatan, dan korban kejahatan.

2. Ruang Lingkup Kriminologi

Secara singkat dapat diuraikan, objek ruang lingkup kriminologi yaitu :

a. Kejahatan

Berbicara tentang kejahatan, maka sesuatu yang dapat kita tangkap secara

spontan adalah tindakan yang merugikan orang lain atau masyarakat umum, atau

lebih sederhana lagi kejahatan adalah suatu perbuatan yang bertentangan dengan

norma. Seperti apakah batasan kejahatan menurut kriminologi. Banyak para pakar

mendefiniskan kejahatan dari berbagai sudut pandang. Pengertian kejahatan

merupakan suatu pengertian yang relatif, suatu konotasi yang tergantung pada

nilai-nilai dan skala sosial.73

Kejahatan yang dimaksud disini adalah kejahatan dalam arti pelanggaran

terhadap undang-undang pidana. Disinilah letak berkembangnya kriminologi dan

sebagai salah satu pemicu dalam perkembangan kriminologi. Mengapa demikian,

perlu dicatat, bahwa kejahatan dedefinisikan secara luas, dan bentuk kejahatan

tidak sama menurut tempat dan waktu. Kriminologi dituntut sebagai salah satu

bidang ilmu yang bisa memberikan sumbangan pemikiran terhadap kebijakan

hukum pidana. Dengan mempelajari kejahatan dan jenis-jenis yang telah

dikualifikasikan, diharapkan kriminologi dapat mempelajari pula tingkat

73

(12)

kesadaran hukum masyarakat terhadap kejahatan yang dicantumkan dalam

undang-undang pidana.74

b. Pelaku

Sangat sederhana sekali ketika mengetahui objek kedua dari kriminlogi ini.

Setelah mempelajari kejahatannya, maka sangatlah tepat kalau pelaku kejahatan

tersebut juga dipelajari. Akan tetapi, kesederhanaan pemikiran tersebut tidak

demikian adanya, yang dapat dikualifikasikan sebagai pelaku kejahatan untuk

dapat dikategorikan sebagai pelaku adalah mereka yang telah ditetapkan sebagai

pelanggar hukum oleh pengadilan sebagaimana diuraikan dalam tinjauan pustaka

tentang pelaku tindak pidana perdagangang orang.75

3. Aliran-Aliran Kriminologi (Mazhab Criminologi)

Objek penelitian kriminologi

tentang pelaku adalah tentang mereka yang telah melakukan kejahatan, dan

dengan penelitian tersebut diharapkan dapat mengukur tingkat kesadaran

masyarakat terhadap hukum yang berlaku dengan muaranya adalah kebijakan

hukum pidana baru.

a. Aliran Klasik

Dalam aliran klasik, yang menjadi dasar pemikiran adalah bahwa manusia

pada hakikatnya merupakan makhluk yang memiliki “kehendak bebas (free

will)”, yang dimaksud dengan memiliki kehendak bebas adalah dalam bertingkah

laku, manusia mempunyai kemampuan dalam memperhitungkan segala tindakan

berdasarkan keinginannya. Pelopor aliran ini adalah Cessare Becaria (1738-1794)

74

Ibid, hlm 17. 75

(13)

berpendapat bahwa manusia mempunyai sifat kesenangan atau kenikmatan

merupakan tujuan hidup (Hedonisme) dan Jeremi Betham (1748-1832) dengan

pendapatnya ecology cukure compesition of populition.

Aliran ini mengihalmi lahirnya penerapan persamaan dihadapan hukum

dan keseimbangan antara hukuman dan kejahatan diterapkan secara murni pada

masa itu. Aliaran klasik ini cenderung menempatkan pidana sebagai satu-satunya

jalan keluar mengatasi pelanggaran-pelanggaran terhadap apa yang telah

disepakati masyarakat atau perjanjian masyarakat. Sebagai cerminan dari aliran

ini, timbul teori dalam pemidanaan yang berorientasi pada teori relatif

(deterrence). Dimana Beccaria menegaskan dalam bukunya yang berjudul dei

Delitti e Delle Pene (1764) bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk mencegah

seseorang supaya tidak melakukan kejahatan, dan bukan sebagai sarana

pembalasan masyarakat.76

b. Aliran Neo Klasik

Aliran ini menjaikan ajaran aliran klasik sebagai kiblatnya. Namun

kemudian para sarjana aliran neo klasik. Hal ini disebabkan mazhab klasik. Hal

ini disebabkan mazhab klasik dianggap menimbulkan ketidakadilan.

Pemberlakuan hukuman yang diterakan kepada pelaku kejahatan yang telah

dewasa menurut hukum tidak dibedakan kepada pelaku kejahatan yang masih

anak-anak. Penerapan hukuman ini dianggap merupakan ketidakadilan, sebab

76

(14)

aspek mental dan kesalahan tidak diperhintungkan aspek-aspek kondisi mental

pelaku dan lingkungan dalam penerapan hukuman.77

c. Aliran Positifis

Aliran positif lahir pada abad ke-19 yang dipelopori oleh Cassare

Lombroso (1835-1909), Enrico Ferri (1856-1928), dan Raffaele Garofalo

(1852-1934). Mereka menggunakan pendekatan metode ilmiah untuk mengkaji

kejahatan dengan mengkaji karakter pelaku dari sudut pandang ilmu biologi,

psikologi dan sosiologi dan objek analisisnya adalah kepada pelaku, bukan

kejahatannya. Aliran positif berkembang pada abad ke-19 yang dihasilkan oleh

perkembangan filsafat empirisme di Inggris sebagaimana yang ditemukan dalam

ajaran Locke dan Hume, teori Darwin tentang “biological determinisme”, teori

sociological positivism dari Comte dan teori ekonomi Karl Marx. Akhirnya

perkembangan filsafat di atas membawa pengaruh bagi lahirnya paham

behaviorism, experimental psychology, psychological psychology dan

objectivity.78

Aliran positif melihat kejahatan secara empiris dengan menggunakan

metode ilmiah untuk mengkonfirmasi fakta-fakta di lapangan dalam kaitannya

dengan terjadinya kejahatan. Aliran ini beralaskan paham determinisme yang

menyatakan bahwa seseorang melakukan kejahatan bukan berdasarkan

kehendaknya karena manusia tidak mempunyai kehendak bebas dan dibatasi oleh

berbagai faktor, baik watak pribadinya, faktor biologis, maupun faktor

77

Ibid, hlm 32. 78

(15)

lingkungan. Oleh karena itu pelaku kejahatan tidak dapat dipersalahkan dan

dipidana, melainkan harus diberikan perlakuan (treatment) untuk re-sosialisasi

dan perbaikan si pelaku.

Lombroso dengan teorinya born criminal menyatakan bahwa ada suatu

kekhasan tertentu yang disebutnya Atavistic Stigmata yang membedakan manusia

kriminal dengan yang bukan kriminal, yang dapat dilihat dari bentuk fisik

seseorang. Lambrosso mendapat julukan bapak kriminologi modren bukan karena

born criminal, yang ditemukannya karena ia merupakan orang pertama yang

meletakkan metode ilmiah dalam mencari penjelasan tentang sebab-sebab

terjadinya kejahatan yang melihatnya dari berbagai faktor. Lambrosso juga

membantah tentang sifat free will yang dimiliki oleh manusia. Aliran positif ini

berpendapat bebas manusia itu tidak terlepas dari pengaruh lingkungan. Secara

singkat , aliran ini berpegang teguh pada keyakinan bahwa kehidupan seseorang

oleh hukum sebab akibat.

Ketiga tokoh ini menolak doktrin free will dan menggantinya dengan

konsep determinisme. Dimana Aliran ini terbagi atas dua pandangan, yaitu ;

1) Determinisme Biologis, teori ini mendasari pemikiran bahwa perilaku

manusia sepenuhnya tergantung pada pengaruh biologis yang ada

pada dirinya.

2) Determinisme Cultural, teori ini mendasari pemikiran mereka pada

pengaruh sosial, dan budaya dari lingkungan dimana seseorang itu

hidup.79

79

(16)

4. Sebab-Sebab Kejahatan dari Perpektif Kriminologi

Mengenai sebab-sebab kejahatan, ada beberapa teori yang memiliki

pemikiran yang berbeda. Secara garis besar teori-teori tentang sebab-sebab

kejahatan dapat dibagi kedalam tiga persfektif, yaitu :80

a. Teori yang menjelaskan kejahatan dari perspektif psikologis dan

biologi

Mengenai teori ini, kejahatan lebih di titikberatkan pada

perbedaan-perbedaan yang terdapat pada individu .

2) Teori psikologis

Teori ini merupakan teori yang menghubungkan sebab-sebab

kejahatan dengan kondisi jiwa seseorang. Dari perspektif psikologi para

pakar berpendapat bahwa kejahatan terjadi selalu bervariasi yang dilihat

dari sisi psikologis yang diantaranya cacat dalam kesadaran, ketidak

matangan emosi, sosialisasi yang tidak memadai di masa kecil, kehilangan

hubungan dengan ibu, perkembangan orang yang lemah. Mereka mengkaji

bagaimana agresi dipelajari, situasi apa yang mendorong kekerasan atau

reaksi delinkuen, bagaimana kejahatan berhubungan dengan faktor-faktor

kepribadian, serta asosiasi antara beberapa kerusakan mental dan

kejahatan. Beberapa teori mengenai kejahatan dari aspek psikologis dapat

dilihat antara lain sebagai berikut :

a) Teori psikoanalisa yang dikembangkan oleh Sigmun Freud, teori ini

menyebutkan bahwa seseorang melakukan perbuatan yang terlarang

80

(17)

disebabkan hati nurani atau super ego yang dimilikinya begitu lemah

atau tidak sempurna sehingga ego-nya tidak mampu mengontrol

dorongan-dorongan dari Idnya.

b) Teori Perkembangan Moral (moral developmen theory),

dikekemukakan oleh psikolog Lawrence Kohlberg, teori ini

menyatakan bahwa seseorang melakukan kejahatan terkait dengan

tahapan-tahapan pertumbuhan moralnya. Pemikiran moral tumbuh

dalam tiga tahapan, yaitu :81

• Tahap pra-konvensional yaitu pada anak usia 9-11 tahun

• Tahap tingkatan konvensional yaitu pada usia remaja

• Tahap Poskonvensional yaitu pada umumnya setelah usia 20 tahun

c) Teori Pembelajaran Sosial (Social learning theory), dikemukakan oleh

Albert Bandura, Gerard Patterson, Ernes Burgess, dan Ronald Akers.

Teori ini berpendapat bahwa perilaku delikuen dipelajari melalui

proses psikologis yang sama sebagai mana semua perilaku

non-delikuen. Dengan kata lain adannya kecenderungan mempelajari

segala perilaku yang terjadi atau adanya proses peniruan perilaku yang

terjadi disekitarnya.

3) Teori Kejahatan dari Perspektif Biologis

Pada teori ini memandang bahwa kejahatan memiliki hubungan

dengan bentuk tubuh manusia. Tokoh utama dalam teori ini adalah

81

(18)

Lombrosso dengan Theory Born Criminal-nya. 82

b. Teori-teori kejahatan yang menjelaskan dari perspektif sosiologis

Born crimninal

mengatakan bahwa para penjahat adalah suatu bentuk yang lebih rendah

dalam kehidupan, lebih mendekati nenek moyang mereka yang mirip kera

dalam sifat bawaan dan otaknya, dibandingkan mereka yang bukan

penjahat. Lambrosso menyatakan sering kali para penjahat memiliki

rahang yang besar dan gigi taring yang kuat, suatu sifat yang pada

umumnya dimiliki makhluk carnivore yang merobek dan melahap daging

mentah. Selain Theory Born Criminal, Lambrosso menambahkan dua

kategori lain, yaitu Insane criminals dan criminoloids. Inisane criminal

bukanlah penjahat sejak lahir, melainkan disebabkan perubahan dalam

otak mengganggu kemapuan mereka untuk membedakan anatara benar

dan salah. Sedangkan criminoloids mencangkup suatu kelompok

ambiguous termasuk penjahat kambuhan (habitual criminals), pelaku

kejahatan nafsu dan berbagai tipe lain.

Dari teori sosiologis mencari alasan-alasan dalam hal angka kejahatan

didalam lingkungan sosial. Pada teori ini dapat dikelompokan menjadi tiga

kategori umum, yaitu strain, cultural deviance atau penyimpangan budaya dan

social control atau kontrol sosial.

1. Teori strain

Teori ini memusatkan perhatian pada kekuatan-kekuatan sosial

(social forces) yang menyebabkan orang melakukan perbuatan kriminal.

82

(19)

Para penganut teori strain berpendapat bahwa anggota masyarakat

mengikuti satu set nilai budaya, seluruh anggita masyarakat mengikuti satu

set nilai-nilai budaya yaitu nilai-nilai budaya dari kelas menengah. Satu

nilai budaya terpenting adalah keberhasilan ekonomi , dimana orang-orang

dari kelas bawah tidak mempunyai saran-sarana yang sah(legitimate

mens) untuk mencapai tujuan tersebut. Akhirnya mereka yang berasal dari

kalangan kelas bawah menggunakan sarana-sarana yang tidak sah

(ilegitimate means) untuk mencapai tujuan mereka didalam keputusan dan

frustasinya.

2. Teori Pentimpangan Budaya

Teori ini juga sama dengan teori strain, lebih memusatkan

perhatian pada kekuatan-kekuatan sosial yang menyebabkan orang

melakukan aktivitas criminal. Teori penyimpangan budaya ini mengklaim

bahwa orang-orang dari kelas bawah memiliki satu set nilai-nilai yang

berbedan, yang senderung konflik dengan nilai-nilai kelas menengah.

Konsekuensi dari pendapat teori ini adalah apabila orang-orang dari kelas

bawah mengikuti sistem nilai mereka sendiri, mereka mungkin telah

melanggar norma-norma konvensional.

3. Teori Kontrol Sosial

Teori ini mempunyai pendekatan yang berbeda dengan Strain dan

penyimpangan budaya, yaitu berdasarkan asumsi bahwa motivasi

kejahatan merupakan bagian dari umat manusia. Sebagai konsengkuensi

(20)

jawaban mengapa orang tidak melakukan kejahatan. Teori ini mengkaji

kemampuan kelompok-kelompok dan lembaga-lembaga sosial membuat

aturannya yang efektif.83

c. Teori-teori yang menjelaskan kejahatan dari sudut pandang lain atau

presfektif lain

Teori dalam perspektif lainnya merupakan alternative penjelasan terhadap

kejahatan yang berbeda dari teori-teori lain yang sudah ada. Pada teori ini,

berusaha membuktikan bahwa orang berbuat kriminal bukan karena cacat atau

kekerangan internal tetapi karena apa yang dilakukannya oleh orang-orang yang

berada dalam kekuasaan, khususnya mereka yang berada dalam sistem peradilan

pidana. Menurut teori ini seseorang tidak akan dikatakan sebagai seorang penjahat

apabila hukum tidak menjadikan perbuatan tersebut menjadi suatu perbuatan

criminal.

Ada tiga teori yang dilahirkan dari perspektif ini yaitu :84

1) Labeling Theory

Teori ini memandang para kriminal hukum sebagai orang yang

bersifat jahat yang terlibat dlam perbuatan-perbuatan bersifat salah tetapi

mereka adalah individu yang sebelumnya pernah berstatus jahat yang

diberi oleh status pengadilan ataupun masyarakat.

83

Ibid, hlm 29. 84

(21)

2) Conflict Theory

Teori ini lebih jauh mempertanyakan proses pembuatan hukum itu

sendiri. Bahwa kejahatan itu tergangung terhadap berbagai kelompok

kepentinganyang berusaha mengontrol pembutan dan penegakan hukum

itu diciptakan oleh yang berkuasa untuk melindungi

kepentigan-kepentingannya.

3) Radical Theory atau critical criminology

Theory radical ini berbeda dengan teori konflik. Pada teori ini

menganggap hanya ada satu segmen yang mendominasi yaitu the

capitalist ruling class yang menggunakan hukum pidana untuk

memeksakan moralitasnya kepada semua orang yang adadiluar mereka

dengan tujuan untuk melindungi harta kekayaan mereka mendefenisikan

setiap perbuatan yang mengancam status quo ini sebagai kejahatan.

Dari penjelasan diatas tentang sebab-sebab kejahatan dari sudut pandang

kriminologi memberikan sesuatu gambaran bahwa tindak pidana perdagangan

orang dapat terjadi karena berbagai sebab, misalnya pendapat Bonger dan para

ahli lainnya tentang kriminologi dengan menitik beratkan pada pendekatan

sosiologis, yang menyatakan bahwa kejahatan dapat timbul akibat dari

kemiskinan, hal ini sejalan dengan faktor-faktor menyebab TPPO yang dijelaskan

selanjutnyapada bab ini yaitu faktor ekonomi yang inti permasalahannya adalah

kemiskinan.85

85

(22)

Sedangkan bila kita melihat disisi lain tentang aliran-aliran kriminologi,

seperti halnya aliran klasik, yang menjadi dasar pemikiran adalah bahwa manusia

pada hakikatnya merupakan makhluk yang memiliki “kehendak bebas (free

will)”oleh Cessare Becaria (1738-1794) dan Jeremi Betham (1748-1832), yang

dimaksud dengan memiliki kehendak bebas adalah dalam bertingkah laku,

manusia mempunyai kemampuan dalam memperhitungkan segala tindakan

berdasarkan keinginannya, aliran ini mencerminkan bagaimana manusia

mempunyai kebebasan berkehendak dimana dapat berbuat jahat atau berbuat

kebaikan, hal tersebut sejalan dengan faktor penyebab terjadinya PTPPO pada

poin penegakan hukumyang dibahas selanjutnya dalam bab ini, penulis

berpendapat bahwa penegak hukum mempunyai free will dalam menegakkan

hukum, walaupun ancaman dari perbuatan yang dilakukan selalu ada namun hal

tersebut tidak menjamin kehendak bebas dapat sejalan sebagai mana mestinya.

Hal ini juga dapat dikaitkan dengan pelaku TPPO dimana sebelum dia melakukan

perbuatannya dia mengetahui akibat dan sanksi yang akan terjadi bila dia

melakukannya.

Kemudian aliran neo-klasik lahir akibat paham ketidakadilan yang

dilahirkan oleh aliran klasik. Hal ini tercermin dalam penghukuman sipelaku atau

pemidanaannya.

Setelah aliran neo-klasik muncul lah aliran positifis, yang melihat

kejahatan secara empiris dengan menggunakan metode ilmiah untuk

mengkonfirmasi fakta-fakta di lapangan dalam kaitannya dengan terjadinya

(23)

Raffaele Garofalo (1852-1934). Aliran ini beralaskan paham determinisme yang

menyatakan bahwa seseorang melakukan kejahatan bukan berdasarkan

kehendaknya (free wiil) karena manusia tidak mempunyai kehendak bebas dan

dibatasi oleh berbagai faktor, baik watak atau psikis pribadinya, faktor biologis,

maupun faktor lingkungan atau sosialnya.

Penulis berpendapat bahwa aliran positifis ini berkaitan terhadap faktor

penyebab TPPO yang dilihat dari faktor “sosial budaya” sebagai mana

diterangkan selanjutnya pada bab ini. Dimana selain memperhatikan psikis dan

biologis pelaku, juga memperhatikan faktor sosiologis pelaku. Seperti social

forces atau pengaruh darikekuatan-kekuatan yang menyebabkan orang melakukan

perbuatan kriminal (theory strain), cultural deviance atau penyimpangan budaya

dan social control atau kontrol sosial. Hal ini juga sejalan dengan pendapat Edwin

H. Sutherlan yang menyatakan kriminologi adalah criminology is the body of

knowledge regarding crime as a social phenomena yang artinya keseluruhan

pengetahuan tentang kejahatan sebagai gejala sosial.

D. Berbagai Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Perdagangan

Orang

Secara garis besar dalam Keputusan Presiden Reprublik Indonesia Nomor

88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan

Perempuan dan Anak menyebutkan faktor-faktor terjadinya perdagangan orang

yaitu :86

a. Kemiskinan

86

(24)

b. Ketenaga Kerjaan

c. Pendidikan

d. Migrasi

e. Kondisi melemahkan ketahanan keluarga

f. Sosial Budaya

g. Media massa

Dari uraian singkat Keppres diatas memberikan gambaran secara mendasar

tentang faktor-faktor terjadinya perdagangan manusia, yang diuaraikan sebagai

berikut :

1. Faktor Ekonomi

Faktor ini dilatar belakangi kemiskinan dan lapangan kerja yang tidak ada

atau tidak memadai dengan besarnya jumlah penduduk, sehingga kedua hal inilah

yang menyebabkan seseorang untuk melakukan sesuatu, yaitu mencari pekerjaan

meskipun harus ke luar dari daerah asalnya dengan resiko yang tidak sedikit.87

Kebijakan internasional globalisasi ekonomi, juga berarti globalisasi pasar

kerja yang membuka peluang adanya permintaan dan pemenuhan pasokan tenaga Kemiskinan yang begitu berat dan langkanya kesempatan kerja

mendorong jutaan penduduk Indonesia untuk melakukan migrasi ke dalam dan ke

luar negeri guna menemukan cara agar dapat menghidupi diri mereka dan

keluarga mereka sendiri.

87

(25)

kerja dengan upah murah. Didukung oleh kemajuan teknologi transportasi, proses

migrasi dari satu negara ke negara lain semakin pesat.

Sementara kebijakan di bidang ketenagakerjaan, keimigrasian, dan

kependudukan yang diharapkan dapat menjadi kontrol untuk melindungi pekerja

migran dan pencari kerja ternyata belum memberikan hasil yang maksimal, belum

lagi oknum-oknum aparat yang menyalahgunakan kewenangannya. berbagai

perbuatan melawan hukum seperti pemalsuan dokumen, mulai dari KTP, surat

jalan sampai dengan paspor banyak terjadi.

Di samping kemiskinan, kesenjangan tingkat kesejahteraan antar negara

juga menyebabkan perdagangan orang.88

Kemiskinan bukan satu-satunya indikator kerentanan seseorang terhadap

perdagangan orang. Karena masih ada jutaan penduduk Indonesia yang hidup

dalam kemiskinan tidak terjadi korban perdagangan orang, akan tetapi ada

penduduk yang relatif lebih baik dan tidak hidup dalam kemiskinan malah

menjadi korban perdagangan orang. Hal ini disebabkan mereka bermigrasi untuk

mencari pekerjaan bukan semata karena tidak mempunyai uang, tetapi mereka

ingin memperbaiki keadaan ekonomi serta menambah kekayaan materiil, kembali

lagi dengan sifat manusia pada dasarnya yang tidak pernah puas akan apa yang

telah dia miliki (matreralisme). Kenyataan ini didukung oleh media yang Negara-negara yang tercatat sebagai

penerima para korban perdagangan orang dari Indonesia relatif lebih kaya dari

indonesia seperti Malaysia, Singapura, Taiwan, dan Saudi Arabia. Ini karena

mereka memiliki harapan akan lebih sejahtera jika bermigrasi ke negara lain.

88

(26)

menyajikan tontonan yang glamour dan konsumsif, sehingga membentuk gaya

hidup yang materialisme dan konsumsif. Materialis adalah stereotip yang selalu

ditujukan kepada mereka yang memiliki sifat menjadikan materi sebagai orientasi

atau tujuan hidup.89

2. Faktor Sosial Budaya

Dengan demikian, pengaruh kemiskinan dan kemakmuran dapat

merupakan salah satu faktor terjadinya perdagangan orang. Oleh karena itu,

kemiskinan dan keinginan untuk memperbaiki keadaan ekonomi seseorang masih

menjadi faktor yang perlu dipertimbangkan oleh pemerintah dalam rangka

meminimalisir angka kemiskinan dan dampaknya terhadap TPPO.

Dalam sisi manapun faktor sosial budaya sangatlah berdampak, baik

dalam pembangunan perekonomian suatu negara, peningkatan sumber daya

manusia (SDM), pemberlakuan supermasi hukum dan sebagainya. Hal serupa

juga terjadi dalam tindak pidana perdagangan orang. Faktor Sosial Budaya

memberikan pengaruh atau peluang terjadinya TPPO, baik secara langsung

maupun tidak langsung. Oleh karna itu penulis menguraikan dampak dari faktor

sosial budaya dalam berbagai sudut pandang sebagai berikut :

a. Ketidakadaan Keseteraan Gender

Hal tersebut merupakan suatu cerminan nilai sosial budaya patriarki yang

kuat ini menempatkan laki-laki dan perempuan pada kedudukan dan peran yang

berbeda dan tidak setara walaupun pada era modren saat ini selalu diangkat

89

(27)

kepermukaan tentang emansipasi wanita. Hal ini ditandai dengan adanya

pembakuan peran, yaitu sebagai istri, sebagai ibu, pengelola rumah tangga, dan

pendidikan anak-anak di rumah, serta pencari nafkah tambahan dan jenis

pekerjaannya pun serupa dengan tugas di dalam rumah tangga, misalnya menjadi

pembantu rumah tangga dan pengasuh anak. Selain peran perempuan tersebut,

perempuan juga mempunyai peran beban ganda subordinasi, marjinalisasi, dan

kekerasan terhadap perempuan90

Kenyataan lain adanya ketidaksetaraan relasi antara laki-laki dan

perempuan yang membuat perempuan terpojok dan terjebak pada persoalan

perdagangan orang. Hal ini terjadi misalnya pada perempuan yang mengalami

perkosaan dan biasanya sikap atau respon masyarakat umumnya tidak berpihak

pada mereka. Perlakuan masyarakat itu yang mendorong perempuan yang

memasuki dunia eksploitasi seksual komersial.

, yang kesemuanya itu berawal dari diskriminasi

terhadap perempuan yang menyebabkan mereka tidak atau kurang memiliki akses,

kesempatan dan kontrol atas pembangunan, serta tidak atau kurang memperoleh

manfaat pembangunan yang adil dan setara dengan laki-laki.

91

Sebenarnya, keberadaan

perempuan di dunia eksploitasi seksual komersial lebih banyak bukan karena

kemauan sendiri, tetapi kondisi lingkungan sosial budaya dimana perempuan itu

berasal sangat kuat mempengaruhi mereka terjun ke dunia eksploitasi sosial

terutama untuk dikirim ke kota-kota besar.92

90

Liza Hadiz, Ideologi Jender di Balik Defenisi Legal-Formal : Analisis Sosiologis Tehadap Defenisi Perrkosaan didalam hukum, hukum dan pembangunan No 1 Tahun XXIII Pebruari 1993, hlm 13.

91

Hamim, Anis dan Agustinanto, Op cit, hlm 64. 92

(28)

Dengan demikian, ketimpangan gender dalam masyarakat cukup tinggi.

Dalam studi yang dilakukan Bappenas dan Unicef dinyatakan bahwa kemauan

politis untuk mengimplementasikan isu-isu yang berkaitan dengan gender masih

sangat lemah. Banyaknya kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga yang

berbagai macam bentuknya merupakan isu yang sangat membutuhkan perhatian

serius. Di samping itu, dengan masih berlangsung di dunia termasuk Indonesia

bahwa pandangan laki-laki hanya melihat perempuan sebagai objek pemenuhan

nafsu seksual laki-laki93

b. Kebiasaan terhadap peran anak dalam keluarga

, semakin menempatkan perempuan dalam posisi yang

sangat rentan terhadap eksploitasi seksual oleh laki-laki.

Sudah hal yang wajar bila mana kepatutan terhadap orang tua dan

kewajiban untuk membantu keluarga merupakan hal yang seharusnya dilakukan

oleh seorang anak, namun yang sering terjadi kewajiban tersebut membuat

anak-anak rentan terhadap perdagangan (trafficking). Dalam prateknya anak-anak memenuhi

kewajibannya dengan menjadi buruh atau pekerja anak, dengan cara mencari

pekerjaan didalam negeri dan juga bermigrasi. Hal serupa juga terjadi akibat

jeratan hutang sehingga dianggap sebagai strategi-strategi keuangan keluarga

yang dapat diterima untuk dapat menopang kehidupan keuangan keluarga.

Praktek menyewakan tenaga anak atau anggota keluarga untuk melunasi

pinjaman merupakan strategi penopang kehidupan keluarga yang dapat diterima

oleh masyarakat khususnya para korban. Anak yang ditempatkan sebagai buruh

93

(29)

karena jeratan hutang, rentan terhadap kondisi-kondisi yang sewenang-wenang

dan kondisi yang mirip dengan perbudakan.94

c. Perkawinan Dini

Perkawinan dini mempunyai implikasi yang serius bagi para anak

perempuan termasuk bahaya kesehatan, putus sekolah, kesempatan ekonomi yang

terbatas, gangguan perkembangan pribadi. Mengawinkan anak dalam usia muda

telah mendorong anak memasuki eksploitasi seksual komersial, karena tingkat

kegagalan pernikahan semacam ini sangat tinggi, sehingga terjadi perceraian dan

rentan terhadap perdagangan orang. Setelah bercerai harus menghidupi diri sendiri

walaupun mereka masih tergolong anak-anak.95

94

Ibid, hlm 21.

Pendidikan rendah karena setelah berhenti sekolah dan rendahnya

keterampilan mengakibatkan tidak banyak pilihan yang tersedia dan segi mental,

ekonomi dan sosial tidak siap untuk hidup mandiri, sehingga cendereng memasuki

dunia pelacuran sebagai salah satu cara yang paling potensial untuk

mempertahankan hidup.Pernikahan dini seringkali mengakibatkan ketidaksiapan

anak menjadi orang tua, sehingga anak yang dilahirkan rentan untuk tidak

mendapat perlindungan dan seringkali berakhir pula dengan masuknya anak ke

dalam dunia eksploitasi seksual komersial.

(30)

d. Kehancuran Keluarga

Keluarga yang hancur (broken home) dan tidak memiliki fungsi serta

tujuan keluarga sebagai mana mestinya merupakan salah satu penyebab tindak

pidana perdagangan orang.96 Kekerasan dalam keluarga, kehancuran akibat

perceraian, kesibukan dunia pekerjaan sehingga hanya menyisihkan waktu sedikit

untuk keluarga merupakan hal yang mendorong maraknya keluarga diambang

kehancuran. Ketiadaan fungsi keluarga sebagai lahan perhatian dan kasih sayang

yang selayaknya didapatkan hilang begitu saja, akbitnya membuat anak ataupun

anggota keluarga mencari perhatian dan kasih sayang tersebut diluar pagar

keluarga, dimana menurutnya aman bagi dirinya dan dapat menghindar dari

semua masalah yang dialaminya.97

3. Faktor Pendidikan yang minim dan tingkat buta huruf tinggi

Pendidikan merupakan hal yang penting diera modren saat ini, ketika kita

tidak dapat bersaing dalam ilmu pengetahuan dan teknologi maka sudah sangat

jelas kita akan ketinggalan dan perubahan akan kesejahteraan hidup sangatlah

lambat. Kaitannya dalam perdagangan orang dimana dengan pendidikan yang

terbatas atau buta aksara kemungkinan besar akan menderita keterbatasan

ekonomi dan mereka juga tidak akan mempunyai pengetahuan serta kepercayaan

diri untuk mengajukan pertanyaan tentang ketentuan-ketentuan dalam kontrak dan

kondisi kerja mereka.98

Selain itu, mereka akan sulit mencari pertolongan ketika

97

Kuntjoro, Op cit, hlm 13. 98

(31)

mereka kesulitan saat berimigrasi ataupun mencari pekerjaan. Kesulitan

mengakses sumber daya yang tersedia, tidak dapat membaca atau mengerti brosur

iklan. Orang dengan pendidikan yang terbatas memiliki lebih sedikit keahlian

(skill) dan kesempatan kerja dan mereka lebih mudah ditrafik karena mereka

bermigrasi mencari pekerjaan yang tidak membutuhkan keahlian.

Dampak lain yang ditimbulkan misalnya, seorang pekerja migran yang

tidak dapat membaca atau buta huruf, dalam melakukan perjanjian kerja sering

kali dibacakan secara lisan, dalam pembacaan tersebut berbeda dengan apa yang

ada lama perjanjian kerja (contract) dimana secara lisan dijanjikan akan mendapat

jenis pekerjaan atau jumlah gaji tertentu oleh seorang agen, namun kontrak yang

mereka tanda tangani mencantumkan ketentuan kerja serta kompensasi yang jauh

berbeda, bahkan sering kali mengarah ke eksploitasi.99

4. Faktor Penegakan Hukum

Hal yang ingin dicapai dalam penegakan hukum terletak pada kegiatan

menyerasikan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah atau

tatanan-tatanan sosial masyarakat kedalam aturan-aturan hukum yang ada atau aturan

hukum yang telah terkodifikasikan, yang bersumber dari norma-norma dan

tatanan-tatanan sosial mayarakat. Sehingga menciptakan rasa aman dan teratur

dalam masyarakat. Dimana hal ini tidak terlepas dari fungsi dasar hukum pada

(32)

umumnya yaitu memberikan Keadilan, Kepastian Hukum, serta Kemanfaatan

Hukum.100

a. Akibat Hukumnya Sendiri

Penegakan hukum terangkat kepermukaan akibat ketidakserasian antara

nilai-nilai, kaidah-kaidah, tatanan-tatanan sosial dan pola perilaku masyarakat.

Sehingga pengaturan yang bertendensi penegakan hukum diperlukan untuk

mewujudkan keserasian tersebut. Namun dalam melakukan penegakan hukum

tidaklah selayaknya membalikkan telapak tangan dengan mudahnya. Banyak

faktor-faktor yang mengahambat dan mempengaruhi penegakan hukum sulit

untuk mencapai pada titik pencapaian yang telah ditentukan atau dihapkan. Dalam

hal ini penegakan hukum yang dimaksud berhubungan dengan tindak pidana

perdagangan orang.

Dari uraian singkat diatas, tergambarkan betapa pentingnya penegakan

hukum bagi kelangsungan hidup manusia khususnya dalam tindak pidana

perdagangan orang. Oleh karna itu penulis menguraikan hal-hal yang

mempengaruhi penegakan hukum dari berbagai sudut pandang, sebagai berikut :

Sebelum disahkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, tidak ada peraturan

perundang-undangan yang dengan tegas mengatur hal ini. Kebanyakan pelaku

perdagangan orang yang tertangkap pun tidak semuanya dijatuhi hukuman yang

setimpal dengan jenis dan akibat kejahatan tersebut, akibat lemahnya piranti atau

100

(33)

payung hukum yang tersedia. Selama itu ketentuan hukum positif yang mengatur

tentang larangan perdagangan orang tersebar dalam berbagai peraturan

perundang-undangan seperti Pasal 297 KUHP.101

Adapun asas Hukum Pidana menentukan bahwa Hukum Pidana menganut

sistem interprestasi negatif yang berarti tidak boleh ada interprestasi lain selain

yang ada dalam KUHP itu sendiri. Pasal ini juga bersifat umum, sehingga tidak Pasal tersebut tidak menyebutkan dengan jelas tentang defenisi

perdagangan orang, sehingga tidak dapat dirumuskan dengan jelas unsur-unsur

tindak pidana yang dapat digunakan penegak hukum untuk melakukan penuntutan

dan pembuktian adanya tindak pidana. Pasal ini dapat dikatakan mengandung

diskriminasi terhadap jenis kelamin karena pasal ini menyebutkan hanya wanita

dan anak laki-laki di bawah umur, artinya hanya perempuan dewasa dan anak

laki-laki yang masih di bawah umur yang mendapat perlindungan hukum.

Juga inteprestasi hukum yang berkembang terhadap Pasal 297 KUHP

menyempitkan makna tindak pidana tentang perdagangan orang, khusus

perempuan dan anak. Dengan tidak jelasnya definisi tentang perdagangan orang

dakam Pasal 297 KUHP, maka terjadi interprestasi hukum yang sempit.

Sebagaimana disebutkan dalam penjelasan KUHP yang disusun R. Sugandhi,

yang menyatakan bahwa perdagangan wanita dan ank laki-laki di bawah umur

hanya sebatas pada eksploitasi pelacuran dan pelacuran paksa. Akan tetapi,

interprestasi ini adalah interprestasi tiak resmi. Berarti penjelasan ini bukan

penjelasan dari negara yang merupakan penjelasan dari KUHP.

101

(34)

mampu mewadahi kasus yang sifatnya lebih spesifik, karena di lapangan banyak

ditemukan bentuk-bentuk kejahatan lebih spesifik yang tidak mampu dijerat oleh

pasal tersebut. Contohnya adalah modus jeratan utang. Banyak perempuan dan

anak harus menjadi pekerja seks komersial karena terjerat utang pada majikan

atau germo.

Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia102 juga terkait dengan perdagangan manusia. Ketentuan hukum dalam

undang-undang ini menunjukkan kemajuan ketentuan pidana dengan mengikut

perkembangan kejahatan dan pelanggaran hak asasi manusia dalam masyarakat

dan tidak ada diskriminasi perlindungan hukum dari tindak pidana terhadap jenis

kelamin atau usia, karena perdagangan manusia mencakup semua orang termasuk

laki-laki dan anak meliputi anak laki-laki dan perempuan. Ketentuan dalam

undang-undang ini juga memberikan ruang lingkup perlindungan yang lebih luas

terhadap segala bentuk tindak pidana yang biasanya merupakan bagian eksploitasi

dalam perdagangan orang seperti penyekapan. Tetapi definisi perdagangan orang

dalam undang-undang ini tidak ada.103

Disahkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak Pasal 83 telah mencantumkan larangan memperdagangkan, menjual, atau

menculik anak untuk diri sendiri atau dijual. Akan tetapi, undang-undang ini juga

sama seperti halnya dalam KUHP tidak merinci apa yang dimaksud dengan

perdagangan anak dan untuk tujuan apa anak itu dijual. Namun demikian,

102

Lihat UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM.

(35)

undang ini cukup melindungi anak dari ancaman penjualan anak dengan

memberikan sanksi yang lebih berat dibandingkan dengan KUHP yang

ancamannya 0-6 tahun penjara, sedangkan Undang-Undang Perlindungan Anak

mengancam pelaku kejahatan perdagangan anak 3-15 tahun penjara dan denda

antara Rp 60 juta sampai Rp 300 juta. Undang-Undang ini sering digunakan

sebagai dasar untuk menangkap pelaku perdagangan orang. Penerapan pasal-pasal

tersebut bukan berarti secara otomatis menyelesaikan masalah. Sejumlah

kekurangan yang terkandung dalam pasal-pasal tersebut tidak jarang membuat

para pelaku perdagangan manusia lolos dari hukum yang seharusnya diterima.

b. Akibat Penegak Hukum

Penegakan hukum di dalam masyarakat selain dipengaruhi oleh peraturan

atau kaidah-kaidah, juga ditentukan oleh para penegak hukum atau pengembala

hukum104

Terjadinya korupsi dalam pengurusan-pengurusan dokumen misalnya

pemalsuan informasi pada dokumen-dokumen resmi seperti KTP, akta kelahiran,

dan paspor. Akibatnya anak maupun orang dewasa yang tidak terdaftar serta tidak

memiliki akta kelahiran amat rentan terhadap eksploitasi. Orang yang tidak dapat

memperlihatkan akta kelahirannya sering kali kehilangan perlindungan yang

diberi hukum karena dimata negara secara teknis mereka tidak ada. Rendahnya

registrasi kelahiran, khususnya di kalangan masyarakat desa, memfasilitasi , sering terjadi beberapa peraturan tidak dapat terlaksana dengan baik

karena ada penegak hukum yang tidak melaksanakan suatu peraturan dengan cara

sebagaimana mestinya.

104

(36)

perdagangan manusia. Agen dan pelaku perdagangan memanfaatkan ketiadaan

akta kelahiran asli untuk memalsukan umur khususnya bagi perempuan yang

belum cukup umur agar mereka dapat bekerja di luar negeri.

Selain pemalsuan dokumen para korban, tindak pidana perdagangan orang

juga rentang terjadi akibat para penegak hukum korupsi dalam menjalani tugas

dan wewenangnya. Sebagai mana kita ketahui pada saat ini masalah utama di

setiap jenjang adalah korupsi (corruption), yang mana kerap terjadi di lingkungan

pegawai negeri, kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.

Misalnya yang berhubungan dengan kepolisian, seperti diberikan perihal

tugas polisi yang menolak memulai penyidikan atau menghentikan penyidikan

setelah menerima uang, perlakuan buruk petugas polisi kepada korban, serta

keterlibatan polisi dalam praktik-praktik perdagangan orang dan pemerasan

pengelola rumah pelacuran atau bordil, mucikari, dan para pelacur oleh polisi.105

Hal yang sama juga terjadi di lembaga peradilan, dimana masih hangatnya

kasus Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, yang tersandung kasus korupsi.

Walaupun tidak ada kaitannya dalam kasus perdagangan orang, namun dapat

tergambarkan bahwa kurangnya kesadaran hakim akan tugas dan wewenangnya Adapun berkenaan dengan kejaksaan, seperti yang diberikan mencakup

informasi tentang jaksa yang menghentikan proses penuntutan, mengajukan

dakwaan dengan menggunakan ketentuan pidana dengan ancaman yang lebih

rendah dari yang sebenarnya dapat diajukan, menuntut penjatuhan pidana yang

lebih rendah dalam persidangan.

105

(37)

sebagai penegak hukum, pengambil kuputusan, dan Tuhan bagi mereka yang

diputuskan bersalah di pengadilan. Kasus lain yang sering kita dengar seperti

hakim yang membebaskan atau melepas terdakwa ataupun menjatuhkan pidana

lebih rendah tergantung pada bayaran yang diterima.

Seakan-akan tidak mau kalah pegawai negeri sipil dilingkungan tertentu

juga ikut berperan untuk korupsi sebagaimana diurai sebelumnya didalam

pembuatan dokumen-dokumen penting. Namun tidak hanya itu kasus lain

misalnya pemerasan buruh migran yang mendarat di terminal 3 bandara

Soekarno-Hatta Cengkareng, sejumlah LSM mengungkap kecurigaan akan adanya

kolusi antara pegawai-pegawai Departemen Tenaga Kerja dengan Perusahan

Penyalur Jasa Tenaga Kerja.

Dari penjelasan diatas tergambarkan bahwa masih kurangnya penegakan

hukum dilembaga-lembaga negara, kurangnya asas tranparansi berkenaan dengan

aturan-aturan serta prosedur yang berlaku, termasuk juga tidak adanya

akuntabilitas dari pejabat negara khususnya dilingkungan penegak hukum serta

petugas lainnya, dimana hal ini tercermin dengan tidak tersedianya mekanisme

kontrol, pengawasan, dan penerimaan pengaduan baik internal maupun eksternal.

Akibatnya, banyak korban yang tidak mau menyelesaikan masalah melalui proses

hukum. Hal ini memberikan peluang terhadap praktik pedagangan orang (human

trafficking) yang semakin meningkat.

5. Faktor Sarana dan Koordinasi

Sarana atau fasilitas juga mempengaruhi penegak hukum, hal ini terlihat

(38)

dan fasilitas. Sarana yang penulis maksud disini selain gedung, peralatan,

teknologi, kendaraan dan sebagainya yang paling penting adalah sumber daya

manusia (SDM) yang memiliki kemampuan berpendidikan dan terampil,

organisasi yang baik, teguh terhadap kode etik, keagamaan yang tinggi, dan

bijaksana. Bilamana SDM yang direkrut memenuhi kriteria tersebut untuk jadi

penegak hukum alhasil negara ini akan terlepas dari kemiskinan.106

Koordinasi juga sangat menentukan penegakan hukum dapat terwujud

dengan baik107

, bila mana kordinasi kurang antar lembaga negara khususnya

lembaga penegak hukum maka yang terjadi seperti halnya perbedaan interpretasi

para penegak hukum tentang defenisi perdagangan orang, dimana hal tersebut

sangat berpengaruh terhadap penuntutan, pembuktian, dan penghukuman. Dan

sering terjadi kasus kejahatan perdagangan orang lepas dari penuntutan karena

adanya perbedaan interpretasi. Hal tersebut terjadi karena kurangnya pemahaman

dan keahlian penegak hukum dalam menangani kasus perdagangan manusia,

sehingga berdampak luas dalam memprosesnya. Lemahnya koordinasi antar

penegak hukum, seperti halnya polisi kurangnya keinginan untuk mengetahui

hasil putusan hakim sehubungan dengan kasus-kasus yang diajukannya ke

kejaksaan dan pengadilan dan untuk melakukan upaya hukum tinggi. Demikian

juga kejaksaan kurangnya rasa keinginan untuk mengetahui dan menganalisis

kembali putusan pengadilan, seakan-akan setiap putusan pengadilan diterima

107

(39)

bulat-bulat walaupun berbeda didalam tuntutan. Keadaan ini sangat menghambat

proses monitoring dan evaluasi penegakan hukum.108

6. Faktor Media Massa (press)

Dalam pemberantasan tindak pidana perdagangan orang seharusnya media

massa memberikan kontribusi yang siknifikan dan transparansi terhadap

kasus-kasus perdagangan orang. Namun sangat disayangkan dimana media massa pada

saat ini masih belum memberikan perhatian yang penuh terhadap berita dan

informasi yang lengkap tentang human trafficking dan belum memberikan

kontribusi yang optimal dalam upaya pencegahan maupun penghapusannya.

Bahkan tidak sedikit justru memberitakan yang kurang mendidik dan bersifat

pornografis yang mendorong menguatnya kegiatan human trafficking dan

kejahatan susila lainnya.

7. Faktor Masyarakat

Kesadaran masyarakat terhadap hukum belum terbangun dengan baik.

Disamping itu, sebagian masyarakat masih mengalami krisis kepercayaan kepada

hukum dan aparat penegak hukum.109

108

Mudjiono, Sistem hukum dan tata Hukum Indonesia, Yogyakarta : Liberty, 1997, hlm 24.

109

Ibid, hlm 26.

Hal tersebut sangat berpengaruh terhadap

ketaatan dalam hukum dan jaminan pelaksanaan hak asasi manusia khususnya

dalam pencegahan dan penanggulangan tindak kejahatan perdagangan orang

terutama perempuan dan anak. Pemahaman masyarakat tentang tindak pidana

(40)

mereka lakukan termasuk dalam kategori tindak pidana perdagangan orang

mereka tidak menyadarinya ataupun seseorang yang mengetahui tentang itu tidak

melaporkannya, demikian pulak telah menjadi korban namun tidak

melaporkannya. Hal ini semua terjadi akibat kurangnya pemahaman masyarakat

akan tindak pidana perdagangan orang, yang selayaknya dilindungi oleh hukum.

Faktor-faktor yang diuraikan diatas merupakan faktor-faktor terjadinya

perdagangan orang, namun perlu diketahui bahwa faktor-faktor tersebut tidak

berdiri sendiri. Dengan kata lain , faktor-faktor yang berhubungan dengan faktor

lain akan menghasilkan kejahatan. Satu sama lain akan selalu berkaitan, seperti

halnya sebab dari suatu akibat yang disebut multifactor theory. Sebagai contoh

faktor ekonomi dengan faktor penegakan hukum, sebagai masyarakat yang

berkekurangan dibidang ekonomi akan berusaha untuk memperbaiki kondisi

keuangannya, sebagian masyarakat memilih untuk bekerja di luar negeri untuk

jadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) namun dengan menjadi TKI banyak

dokumen-dokumen yang harus dilengkapi, ketika dokemun tersebut dalam pengurusannya

tidak sesuai dengan aturan hukum yang dilakukan oleh penyalur tenaga kerja,

maka berakibat pada penyimpangan-penyimpangan, yang memberikan peluang

terjadinya tindak pidana perdagangan orang110

110

Chairul Bariah Mozasa, Op cit, hlm 9.

. Seperti halnya dengan

Referensi

Dokumen terkait

Dalam melakukan analisis pemeringkatan website PT Lion Air, PT Garuda Indonesia dan PT Sriwijaya Air, penulis menggunakan tools pemeringkatan web yaitu Alexa Rank untuk

Variabel Usia Kawin Pertama (X1) memiliki pengaruh positif dan tidak signifikan terhadap fertilitas. (Y) pada wanita pekerja di kota Palangka Raya dalam hal

Histon adalah protein yang mempunyai sifat basa dan dapat larut

JUDUL : JAMUR PENUNJANG HARAPAN HIDUP PASIEN KANKER HATI. MEDIA : HARIAN JOGJA TANGGAL : 29

Menurut British Standard BS EN ISO 7730, kenyamanan termal merupakan suatu kondisi dari pikiran manusia yang menunjukkan kepuasan dengan lingkungan termal.Definisi yang

Berdasarkan hasil pengujian johansen (lampiran 4),ternyata pada level signifikansi lima persen bahwa pendapatan nasional dan konsumsi rumah tangga saling berkointegrasi

According to Kasmir and Jakfar (2014:130), debt to asset ratio is a ratio used to measure a comparison between the total debt (debt short term and long term) with

Dengan bekal pendidikan dan pengetahuan yang didapat dari proses belajar-mengajar secara Islami diharapkan akan terbentuk muslim yang lebih tangguh, berpengetahuan luas dan yakin