• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tumbuhan - Uji Efek Ekstrak Etanol Majakani (Quercus infectoria G. Olivier) Terhadap Penurunan Kadar Glukosa Darah Tikus Putih Yang Diinduksi Aloksan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tumbuhan - Uji Efek Ekstrak Etanol Majakani (Quercus infectoria G. Olivier) Terhadap Penurunan Kadar Glukosa Darah Tikus Putih Yang Diinduksi Aloksan"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

  BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Uraian Tumbuhan

Tumbuhan majakani pada dasarnya berasal dari Turki, juga ditemukan di Syria, Iran, Cyprus, dan Yunani dan di daerah-daerah zona 6 lainnya (Rangari, 2007; Claus, 1962).

Majakani bukan merupakan jenis buah-buahan atau bagian tumbuhan lainnya tetapi merupakan pertumbuhan abnormal (pembesaran menjadi bongkol) dari ranting tumbuhan Quercus infectoria G. Olivier atau disebut majakani.

Sinonim : Nutgall, Aleppo gall, Smyrna gall, Turkey gall, Oak warts, Mad-Apple, Dead Sea-Apple,

Apple of Sodom, Dyers’ Oak.

Tumbuhan asli : Quercus infectoria G.Olivier

Famili : Fagaceae

Bagian yang digunakan : gal yang diperoleh dari ranting muda (Rangari, 2007) dan disebut juga “cecidia” atau “galla” (Tjitrosoepomo, 1994).

2.1.1 Proses pembentukkan gal

Gal merupakan perkembangan patologi yang dibentuk pada ranting pohon. Gal timbul sebagai reaksi akibat tusukan serangga kecil pada kulit rantingnya (Claus, 1962). Serangga tersebut adalah Cynips tinctoria atau Adleria galae tinctoriae Olivier, famili Cynipidae (Rangari, 2007).

(2)

  Tahap pembentukkan gal :

 Pada awal musim semi, serangga meletakkan telur-telurnya pada ranting.

 Larva menetas dari telur dan berkembang yang menghasilkan sejumlah pati besar pati.

 Pada tahap kepompong, pati digantikan oleh asam galat dan sejumlah asam tanat.

 Setelah serangga berkembang dan mempunyai sayap, hampir semua sel mengandung asam tanat dan sejumlah kecil asam galat.

 Serangga yang dewasa kemudian melubangi gal dan keluar dari gal.

 Setelah serangga keluar, kandungan asam tanatnya menurun karena oksigen dan kelembaban udara mempunyai akses langsung dengan jaringan gal sebelah dalam dan menyebabkan hidrolisis asam tanat, sehingga terjadi peningkatan jumlah asam galat (Claus, 1962).

2.1.2Karakteristik makroskopik gal

Bentuk gal bulat dan berdiameter 10-25 mm, memiliki tangkai yang pendek, batang bebentuk basal, dan mempunyai banyak tonjolan pada permukaanya. Gal ini berat dan biasanya tenggelam dalam air. Memiliki lubang yang bulat untuk serangga keluar (Trease dan Evans, 1983).

2.1.3 Karakteristik mikoskopik gal

Penampang melintang gal menunjukkan parenkim berdinding tipis di sebelah luar yang lebih besar dibandingkan sebelah dalam. Setelah parenkim, kemudian diikuti oleh sebuah cincin sklerenkim yang terdiri atas satu atau dua lapis sel. Bagian dalam terdiri atas parenkim berdinding tebal yang

(3)

 

mengelilingi rongga tengah. Sel parenkim menunjukkan adanya sejumlah besar pati, sekelompok kalsium oksalat, dan tanin (Rangari, 2007).

2.1.4 Kandungan kimia majakani

Gal terdiri atas 50 – 70% tanin terutama asam galotanin yang merupakan asam tanat. Selain itu juga terdapat 2 – 4% asam galat, asam elagat, resin dan pati (Claus, 1962).

Gambar rumus struktur :

OH 2.1.5Kegunaan majakani

Secara tradisional majakani (Quercus infectoria G. Olivier) digunakan sebagai bahan astringen alami yang mengandung komponen antiseptik dan antioksidan (Pratt dan Youngken, 1956). Beberapa penelitian juga telah membuktikan beberapa efek farmakologinya seperti sebagai antidiabetes (Hwang, et al., 2000), antitremorin (Dar, et al., 1976), anastetik lokal, antivirus (Hussein, et al., 2000), antibakteri (Fatima, et al., 2001), antijamur (Digraki, et al., 1999) dan antiinflamasi (Redwane, et al., 2002).

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk menguji manfaat majakani (Quercus infectoria G. Olivier), seperti khasiatnya sebagai obat luka bakar (Umachigi, et al., 2008) dan penelitian tentang daya antibakteri ekstrak alkohol

(4)

 

majakani terhadap bakteri gram positif dan gram negatif (Leela dan Satirapipathkul., 2011), efek kemopreventif terhadap toksisitas ginjal dan karsinogenesis (Rehman, et al., 2012), efek sitotoksik terhadap sel kanker serviks (Hasmah, et al., 2010), dan tentang hepatoprotektif terhadap kerusakan hati pada tikus (Lodhi, et al., 2012).

2.2Simplisia dan Ekstrak

2.2.1 Simplisia

Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dikatakan lain, berupa bahan yang telah dikeringkan. Simplisia dibedakan simplisia nabati, simplisia hewani dan simplisia pelikan (mineral). Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tumbuhan utuh, bagian tumbuhan atau eksudat tumbuhan (Depkes, 2000).

2.2.2 Ekstrak

Ekstrak adalah sediaan kental, cair dan kering yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian sehingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Depkes, 2000).

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan zat aktif dengan menggunakan pelarut yang sesuai. Metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut dapat dibagi kedalam dua cara yaitu:

(5)

  a. Cara dingin:

1. Maserasi adalah proses penyarian simplisia dengan cara perendaman menggunakan pelarut dengan sesekali pengadukan pada temperatur kamar. Maserasi yang dilakukan pengadukan secara terus-menerus disebut maserasi kinetik sedangkan yang dilakukan pengulangan panambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan terhadap maserat pertama dan seterusnya disebut remaserasi.

2. Perkolasi adalah proses penyarian simplisia dengan pelarut yang selalu baru sampai terjadi penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur kamar. Proses perkolasi terdiri dari tahap pelembaban bahan, tahap perendaman antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak) terus-menerus sampai diperoleh perkolat yang jumlahnya 1-5 kali bahan.

b. Cara Panas

1. Refluks adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan alat pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. 2. Sokletasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut yang

selalu baru, dilakukan dengan menggunakan alat soklet sehingga menjadi ekstraksi kontinu dengan pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

(6)

 

3. Digesti adalah proses penyarian dengan pengadukan kontinu pada temperatur lebih tinggi dari pada temperatur ruangan, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50oC.

4. Infus adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada temperatur 90oC selama 15 menit.

5. Dekok adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada temperatur 90oC selama 30 menit(Depkes, 2000).

2.3 Diabetes Mellitus

2.3.1 Pengertian diabetes mellitus

Diabetes mellitus (DM) berasal dari kata Yunani, diabetes artinya mengalir terus, mellitus berarti madu atau manis. Istilah tersebut menunjukkan tentang keadaan tubuh penderita, yaitu adanya cairan manis yang terus mengalir (Dalimartha, 2007). Diabetes mellitus adalah gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat. Jika berkembang penuh secara klinis, maka diabetes mellitus ditandai dengan hiperglikemia puasa dan postprandial, aterosklerotik dan penyakit vaskular mikroangiopati dan neuropati. Penderita dengan kelainan toleransi glukosa ringan (gangguan glukosa puasa dan gangguan toleransi glukosa) dapat tetap beresiko mengalami komplikasi metabolik diabetes (Price dan Wilson, 1986).

2.3.2 Penyebab penyakit diabetes mellitus

Terjadinya penyakit diabetes mellitus disebabkan terganggunya keseimbangan tubuh mengendalikan tingkat gula (glukosa) dalam darahnya.

(7)

 

Penderita tidak mampu memproduksi insulin dalam jumlah cukup, sehingga terjadi kelebihan gula dalam tubuh. Ketidakseimbangan dalam sistem metabolisme tubuh inilah yang dapat menimbulkan penyakit. Sebagaimana Dalimartha (2007) melaporkan bahwa meningkatnya penderita penyakit degeneratif seperti diabetes mellitus salah satunya disebabkan pola makan yang tidak seimbang. Pola makan yang tidak seimbang atau berlebihan akan menyebabkan obesitas. Obesitas inilah yang akan menimbulkan penyakit degeneratif seperti diabetes mellitus, jantung koroner, hipertensi dan lain-lain. Ada beberapa faktor yang menyebabkan diabetes mellitus, yaitu:

a. Faktor turunan

Para ahli menyatakan bahwa faktor turunan adalah salah satu penyebab utama diabetes mellitus. Pada perbandingan keluarga diabetes mellitus dengan keluarga sehat, ternyata angka kejangkitan keluarga diabetes mencapai 8,33% dan 5,33% bila dibandingkan dengan keluarga sehat yang memperlihatkan angka hanya 1,96% dan 0,61% (Ranakusuma, 1992).

b. Virus dan bakteri

Virus yang menyebabkan diabetes mellitus adalah rubella, mumps dan human coxsackie virus B4, suatu kerusakan genetis yang mendasari

yang berhubungan dengan replikasi atau fungsi sel β pankreas dapat menyebabkan predisposisi terjadinya kegagalan sel β setelah infeksi virus. Kemungkinan gen-gen khusus yang diduga meningkatkan kerentanan terhadap virus diabetogenik atau dikaitkan dengan gen-gen

(8)

 

yang merangsang sistem imun tertentu yang menyebabkan terjadinya predisposisi pada pasien sehingga terjadi respon autoimun terhadap sel-sel pulau langerhans sendiri (Katzung, 2002)

c. Nutrisi

Nutrisi yang berlebihan merupakan faktor risiko pertama yang diketahui menyebabkan diabetes mellitus. Semakin lama dan semakin berat obesitas akibat nutrisi berlebihan semakin besar kemungkinan terjangkitnya penyakit diabetes mellitus. Bila konsumsi makanan lebih banyak dari kebutuhan kalori sehari, maka makanan ini akan ditimbun dalam bentuk glikogen dan lemak. Apabila sel β tidak mampu lagi memproduksi insulin sesuai dengan jumlah makanan yang masuk, maka akan menyebabkan dekompensasi pada sel β yang akhirnya menimbulkan diabetes mellitus (Ranakusuma, 1992).

d. Bahan toksik atau beracun

Beberapa bahan toksik yang dapat merusak sel β secara langsung yaitu alloxan, pyrinuron (rodentisida), streptozotocin (produk dari sejenis jamur) dan glikosida sianogenik yang terdapat pada singkong. Penelitian menunjukkan bahwa sianida yang dilepaskan oleh glikosida sianogenik dapat menyebabkan kerusakan pankreas yang dapat menimbulkan gejala diabetes jika disertai kekurangan protein (Utami, 2003).

(9)

  2.3.3 Pankreas

Pankreas adalah suatu organ lonjong, kira-kira 15 cm, yang terletak di belakang lambung dan sebagian di belakang hati. Dalam pankreas terdapat 4 jenis sel endokrin, yakni:

a. sel alfa (α), yang memproduksi hormon glukagon, proglucagon, glucagon-like peptides (GLP)

b. sel-beta (β), yang memproduksi hormon insulin, C-peptide, proinsulin, amylin, γ-aminobutyric acid (GABA)

c. sel-D (δ), yang memproduksi somatostatin

d. sel-PP (Sel-F), yang memproduksi pancreatic polypeptide (PP), yang mungkin berperan pada penghambatan sekresi endokrin dan empedu (Tan, dan Rahardja, 2002).

2.3.4 Patogenesis diabetes mellitus

Diabetes mellitus tipe 1 atau dikenal dengan nama Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM), terjadi karena adanya kerusakan sel pankreas

(reaksi autoimun) menyebabkan defisiensi absolut fungsi sel beta pankreas. Bila kerusakan sel beta telah mencapai 80-90% maka gejala diabetes mellitus mulai muncul. Kerusakan sel beta ini lebih cepat terjadi pada anak-anak dari pada orang dewasa. Sebagian besar penderita diabetes mellitus tipe 1 mempunyai antibodi yang menunjukkan adanya proses autoimun, dan sebagian kecil tidak terjadi proses autoimun. Kondisi ini digolongkan sebagai type 1 idiopathic. Sebagian besar (75%) kasus terjadi < 20 tahun, tetapi dapat juga

(10)

 

terjadi pada setiap usia. Prevalensi diabetes mellitus tipe 1 ini masih sedikit dalam populasi (Triplitt, et al., 2008).

Diabetes mellitus tipe 2 merupakan 90% dari kasus diabetes mellitus dikenal sebagai Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM). Pada diabetes ini terjadi penurunan kemampuan insulin bekerja di jaringan perifer (insulin resistance) dan disfungsi sel beta. Akibatnya, pankreas tidak mampu memproduksi insulin yang cukup untuk mengkompensasi insulin resistance. Kedua hal ini menyebabkan terjadinya defisiensi insulin relatif. Diabetes mellitus tipe 2 ini sering dijumpai pada individu yang obesitas. Kasus ini umumnya dijumpai pada usia > 30 tahun (Triplitt, et al., 2008).

2.3.5 Klasifikasi diabetes mellitus 2.3.5.1 Diabetes mellitus tipe 1

Diabetes tipe ini sering disebut Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) atau juvenile onset diabetes (Tan dan Rahardja, 2002). Penyebab utamanya karena kerusakan autoimun dari sel β pankreas. Tanda dari kerusakan sel β yang ada pada saat dilakukan diagnosis dari 90% individu dan termasuk sel islet antibodi, antibodi terhadap dekarboksilasi asam glutamat, dan antibodi terhadap insulin (Triplitt, et al., 2008). Pada kondisi ini, insulin di dalam sirkulasi tidak ada, glukagon plasma meningkat, dan sel β pankreas gagal merespon terhadap semua rangsangan insulinogenik. Oleh karena itu, diperlukan insulin eksogen untuk memperbaiki kondisi katabolik, mencegah ketosis, dan mengurangi hiperglukagonemia serta peningkatan kadar glukosa darah (Katzung, 2002).

(11)

  2.3.5.2 Diabetes mellitus tipe 2

Diabetes ini sering disebut Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM), dimana penyakit ini dikarakteristikkan oleh adanya resistensi insulin atau kurangnya sekresi insulin. Kurangnya sekresi insulin postprandial disebabkan gangguan fungsi sel β pankreas dan kurangnya rangsangan untuk mensekresi insulin dari hormon usus (Triplitt, et al., 2008). Pada kondisi seperti ini, pasien dapat diobati dengan antidiabetika oral dan tidak menyebabkan terjadinya asidosis. Sekitar 70-80% dari pasien diabetes yang tergolong jenis ini dikarenakan faktor keturunan yang berperan besar. Jika terjadi resistesi insulin, hal itu biasanya diakibatkan oleh makan terlalu banyak dibandingkan dengan kebutuhan individualnya, seperti lazimnya pada orang gemuk (Tan dan Rahardja, 2002).

2.3.5.3 Diabetes mellitus gestasional

Diabetes tipe ini terjadi sebagai akibat intoleransi glukosa yang didapat selama masa kehamilan. Deteksi klinis diperlukan sebagai terapi untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas janin (Triplitt, et al., 2008). Kebanyakan wanita yang menderita diabetes gestasional memiliki homeostatis glukosa yang normal selama bulan pertama sampai bulan ketiga kehamilan. Pada bulan keempat dan kelima mengalami defisiensi insulin relatif. Pada umumnya kadar glukosa darah kembali normal setelah melahirkan (Amma, 2009). Penyebab diabetes gestasional dianggap berkaitan dengan peningkatan kebutuhan energi dan kadar estrogen serta hormon pertumbuhan yang terus-menerus tinggi selama masa kehamilan. Hormon pertumbuhan dan estrogen menstimulasi

(12)

 

pelepasan insulin yang berlebihan mengakibatkan penurunan responsifitas seluler. Hormon pertumbuhan juga memiliki beberapa efek anti insulin, misalnya perangsangan glukogenolisis dan stimulasi jaringan adipose (Corwin, 2009).

2.3.5.4 Diabetes mellitus tipe lain

Tipe ini disebabkan oleh faktor lain, seperti efek genetis pada fungsi sel β pankreas pada kerja insulin, penyakit pankreas eksokrin, atau akibat penggunaan obat-obatan (Triplitt, et al., 2008).

2.3.6 Diagnosis diabetes mellitus

Diagnosa diabetes mellitus harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah. Pemeriksaan glukosa darah dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Langkah-langkah untuk menegakkan diagnosa diabetes mellitus dan gangguan toleransi glukosa dapat juga dilihat dari keluhan khas diabetes mellitus berupa poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan (Sudoyo, dkk., 2009).

Selain itu juga terdapat nilai atau indeks diagnostik tambahan yang dibagi atas 2 bagian, yakni:

a. Indeks penentuan derajat kerusakan sel beta

Hal ini dapat dinilai dengan pemeriksaan kadar insulin, pro-insulin, dan C-peptide, serta nilai HbA1C ‘Glycosylated hemoglobin’. WHO memakai istilah ‘Glyclated hemoglobin’ (Sudoyo, dkk., 2009).

(13)

  b. Indeks proses diabetogenik

Untuk penilaian proses diabetogenik dilakukan dengan penentuan tipe dan sub-tipe HLA (Human Leucocyte Antigen), seperti adanya tipe atau titer antibodi yang ditujukan pada sel islet pankreas (islet cell antibodies, ICA), insulin autoantibodi (IAA), anti GAD (Glutamic Acid Decarboxylase). ICA bereaksi dengan antigen yang ada di sitoplasma sel-sel endokrin pada pulau-pulau pankreas dan menyebabkan kerusakan sel. GAD adalah enzim yang dibutuhkan untuk memproduksi neurotransmiter g-aminobutyric acid (GABA). Adanya ICA, IAA, dan anti GAD ini menunjukkan risiko tinggi berkembangnya penyakit ke arah DM tipe 1 (Sudoyo, dkk., 2009).

2.3.7 Gejala penyakit diabetes mellitus

Penyakit diabetes melitus ditandai gejala 3P, yaitu poliuria (banyak berkemih), polidipsia (banyak minum), dan polifagia (banyak makan). Di samping naiknya kadar gula darah, diabetes bercirikan adanya “gula” dalam kemih (glycosuria) dan banyak berkemih karena glukosa yang diekskresikan mengikat banyak air. Akibatnya timbul rasa sangat haus, kehilangan energi, turunnya berat badan serta rasa letih. Tubuh mulai membakar lemak untuk memenuhi kebutuhan energi, yang disertai pembentukan zat-zat perombakan, antara lain aseton, asam hidoksi butirat dan diasetat, yang membuat darah menjadi asam (ketoasidosis). Keadaan ini amat berbahaya karena akhirnya dapat menyebabkan pingsan (coma diabeticum) (Tan dan Rahardja, 2002).

(14)

  2.3.8 Komplikasi diabetes mellitus

Komplikasi diabetes melitus (DM) mengakibatkan peningkatan morbiditas dan mortalitas, demikian juga dihubungkan dengan kerusakan ataupun kegagalan fungsi beberapa organ vital tubuh seperti pada mata maupun ginjal serta sistem saraf. Penderita DM juga berisiko tinggi mengalami percepatan timbulnya aterosklerosis, yang selanjutnya akan menderita penyakit jantung koroner, penyakit vaskuler perifer dan stroke, serta kemungkinan besar menderita hipertensi ataupun dislipidemia maupun obesitas. Banyak faktor risiko yang berperan dalam mekanisme terjadinya komplikasi kardiovaskuler ini, diantaranya hiperglikemia, hipertensi, dislipidemia, dan hiperinsulinemia. Hiperglikemia merupakan salah satu faktor terpenting dalam patogenesis komplikasi kronik, khususnya vaskuler diabetik. Hiperglikemia memperantarai efek merugikan melalui banyak mekanisme, karena glukosa dan metabolitnya banyak digunakan dalam sejumlah jalur metabolisme (Hardiman, 2006).

2.3.9 Manajemen pengobatan diabetes mellitus

Tujuan terapi dari manajemen DM ini adalah mengurangi risiko terjadinya komplikasi penyakit mikrovaskular (seperti neuropati, retinopati, dan nefropati) dan makrovaskular (seperti hipertensi, jantung koroner, stroke), mengurangi mortalitas, dan meningkatkan kualitas hidup (Triplitt, et al., 2008). Langkah pertama dalam mengelola diabetes mellitus selalu dimulai dengan pendekatan non farmakologi, yaitu berupa perencanaan makan/terapi nutrisi medik, olahraga, dan penurunan berat badan. Bila dengan langkah tersebut sasaran terapi pengendalian DM belum tercapai, maka dilanjutkan

(15)

 

dengan penggunaan obat atau intervensi farmakologis. Dalam melakukan pemilihan intervensi farmakologis perlu diperhatikan titik kerja obat sesuai dengan macam penyebab terjadinya hiperglikemia (Sudoyo, dkk., 2009).

Obat antidibetika oral dibagi dalam 6 kelompok, sebagai berikut:

1. Sulfonilurea (misalnya: tolbutamid, klorpropamida, glibenklamida, gliklazida, glipizida, glikidon dan glimepirida)

Mekanisme kerja sulfonilurea dengan menstimulasi insulin dari sel beta-pankreas. Sulfonilurea berikatan dengan reseptor sulfonilurea yang memiliki afinitas tinggi yang berkaitan dengan saluran K-ATP pada sel β-pankreas, akan menghambat effluks kalium sehingga terjadi depolarisasi kemudian membuka saluran Ca dan menyebabkan influks Ca sehingga meningkatkan pelepasan insulin. Di samping itu, sulfonilurea juga dapat meningkatkan kepekaan reseptor terhadap insulin di hati dan di perifer.

2. Kalium-channel blockers (misalnya: repaglinida, nateglinida)

Golongan ini mempunyai mekanisme kerja yang sama dengan sulfonilurea, hanya pengikatan reseptornya terjadi di tempat lain dan kerjanya lebih singkat.

3. Biguanida (misalnya: metformin)

Dapat menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat selular, distal dari reseptor insulin juga pada efeknya menurunkan produksi glukosa hati. Metformin juga meningkatkan pemakaian glukosa oleh sel usus sehingga menurunkan

(16)

 

glukosa darah dan menghambat absorpsi glukosa dari usus setelah makan (Waspadji, 1996).

Zat ini juga menekan nafsu makan sehingga berat badan tidak meningkat, maka dapat diberikan pada penderita yang kegemukan. Penderita ini biasanya mengalami resitensi insulin, sehingga sulfonilurea kurang efektif.

Mekanisme kerjanya yaitu dengan meningkatkan kemampuan insulin untuk memindahkan glukosa ke dalam sel (insulin sensitizers).

4. Glukosidase-inhibitors (misalnya: akarbose dan miglitol)

Obat golongan ini bekerja dengan merintangi enzim alfa-glukosidase di mukosa duodenum, sehingga reaksi penguraian polisakarida menjadi monosakarida terhambat. Dengan demikian glukosa dilepaskan lebih lambat dan absorpsinya ke dalam darah juga kurang cepat, lebih rendah dan merata, sehingga puncak kadar gula darah dapat dihindarkan. 5. Thiazolidindion (misalnya: rosiglitazon dan pioglitazon)

Obat golongan ini bekerja dengan mengurangi resistensi insulin dan meningkatkan sensitivitas jaringan perifer untuk insulin (insulin sensitizers).

6. Penghambat DPP-4 (dipeptidylpeptidase-4 blockers)

Obat golongan baru ini bekerja dengan menghambat enzim DPP-4 sehingga produksi hormon incretin tidak menurun. Adanya hormon incretin berperan utama dalam produksi insulin di pankreas dan pembentukan hormon GLP-1 (glukagon-like peptide-1) dan GIP

(17)

 

(glucose-dependent insulinotropic polypeptide) di saluran cerna yang juga berperan dalam produksi insulin. Dengan penghambatan enzim DPP-4 akan mengurangi penguraian dan inaktivasi incretin, GLP-1 dan GIP, sehingga kadar insulin akan meningkat (Tan dan Rahardja, 2002). 2.4 Kadar Glukosa Darah

Kadar glukosa darah merupakan parameter utama untuk menilai metabolisme karbohidrat. Contoh khas adalah penyakit diabetes melitus di mana terjadi gangguan metabolisme karbohidrat sehingga kadar glukosa meningkat melebihi ambang normal (Henry dan Howanitz, 1996).

Kadar glukosa serum puasa dalam keadaan normal adalah 70-110 mg/dl. Didefinisikan sebagai hiperglikemia jika kadar glukosa serum puasa lebih tinggi dari 110 mg/dl, sedangkan hipoglikemia jika kadarnya kurang dari 70 mg/dl. Diagnosis DM dapat ditegakkan apabila kadar glukosa darah sewaktu plasma vena atau darah kapiler ≥ 200 mg/dl, kadar glukosa darah puasa plasma vena ≥ 126 mg/dl atau kadar glukosa darah puasa darah kapiler ≥ 110 mg/dl (Gustaviani, 2007).

2.4.1 Sumber glukosa darah

a) Karbohidrat dalam makanan (glukosa, galaktosa, fruktosa)

Karbohidrat dalam makanan terdapat dalam bentuk polisakarida, disakarida, dan monosakarida. Karbohidrat dipecah oleh ptyalin dalam saliva di dalam mulut. Enzim ini bekerja optimum pada pH 6,7 sehingga akan dihambat oleh getah lambung ketika makanan sudah sampai di lambung. Dalam usus halus, amilase pankreas yang kuat juga bekerja atas polisakarida

(18)

 

yang dimakan. Ptyalin saliva dan amilase pankreas menghidrolisis polisakarida menjadi hasil akhir berupa disakarida, laktosa, maltosa dan sukrosa.

Laktosa akan diubah menjadi glukosa dan galaktosa dengan bantuan enzim laktase. Glukosa dan fruktosa dihasilkan dari pemecahan sukrosa oleh enzim sukrase. Sedangkan enzim maltase akan mengubah maltosa menjadi 2 molekul glukosa. Monosakarida akan masuk melalui sel mukosa dan kapiler darah untuk diabsorbsi di intestinum. Masuknya glukosa ke dalam epitel usus tergantung konsentrasi tinggi Na+ di atas permukaan mukosa sel.

Glukosa diangkut oleh mekanisme ko-transpor aktif natrium- glukosa di mana transpor aktif natrium menyediakan energi untuk mengabsorbsi glukosa melawan suatu perbedaan konsentrasi. Mekanisme di atas juga berlaku untuk galaktosa. Pengangkutan fruktosa menggunakan mekanisme yang berbeda yaitu dengan mekanisme difusi fasilitasi (Ganong, 2003). Unsur-unsur gizi tersebut diangkut ke dalam hepar lewat vena porta hati. Galaktosa dan fruktosa segera dikonversi menjadi glukosa di dalam hepar (Murray, et al., 2003).

b) Glukoneogenesis

Glukoneogenesis merupakan istilah yang digunakan untuk semua mekanisme dan lintasan yang bertanggung jawab atas perubahan senyawa non karbohidrat menjadi glukosa atau glikogen. Proses ini memenuhi kebutuhan tubuh atas glukosa pada saat karbohidrat tidak tersedia dengan jumlah yang cukup di dalam makanan. Substrat utama bagi glukoneogenesis adalah asam amino glukogenik, laktat, gliserol, dan propionat. Hepar dan ginjal merupakan

(19)

 

jaringan utama yang terlibat karena kedua organ tersebut mengandung komplemen lengkap enzim-enzim yang diperlukan (Murray, et al., 2003). c) Glikogenolisis

Mekanisme penguraian glikogen menjadi glukosa yang dikatalisasi oleh enzim fosforilase dikenal sebagai glikogenolisis. Glikogen yang mengalami glikogenolisis terutama simpanan di hati, sedang glikogen otot akan mengalami deplesi yang berarti setelah seseorang melakukan olahraga yang berat dan lama. Di hepar dan ginjal terdapat enzim glukosa 6-fosfatase, yang membuang gugus fosfat dari glukosa 6-fosfat sehingga memudahkan glukosa untuk dibentuk dan berdifusi dari sel ke dalam darah (Murray, et al., 2003).

2.4.2 Faktor yang mempengaruhi kadar glukosa darah

 Enzim

Glukokinase penting dalam pengaturan glukosa darah setelah makan (Murray, et al., 2003).

 Hormon

Insulin bersifat menurunkan kadar glukosa darah. Glukagon, GH, ACTH, glukokortikoid, epinefrin, dan hormon tiroid cenderung menaikkan kadar gula darah, dengan demikian mengantagonis kerja insulin (Murray, et al., 2003).

 Sistem gastrointestinal

Gangguan pada sistem gastrointestinal dapat mengurangi absorbsi karbohidrat di usus dan menurunkan glukosa darah (Sherwood, 1996).

(20)

 

 Stres

Hampir semua jenis stres akan meningkatkan sekresi ACTH oleh kelenjar hipofise anterior. ACTH merangsang korteks adrenal untuk mengeluarkan kortisol. Kortisol ini yang akan meningkatkan pembentukan glukosa (Guyton dan Hall, 1997).

 Asupan karbohidrat

Penurunan dan peningkatan asupan karbohidrat (pati) mempengaruhi kadar gula dalam darah (Sherwood, 1996).

2.5. Insulin

Insulin merupakan hormon polipeptida yang dihasilkan oleh sel-β dari pulau Langerhans dan merupakan kelompok sel yang terdiri dari 1% massa pankreas. Insulin adalah salah satu hormon terpenting yang mengkoordinasikan penggunaan energi oleh jaringan. Secara fisiologis, fungsi utama insulin adalah menstimulasi masuknya glukosa ke dalam sel-sel otot dan hati untuk digunakan sebagai sumber energi atau disimpan dalam bentuk glikogen. Selain itu insulin juga berperan dalam sintesis protein dan lemak serta menekan produksi glukosa hepatik. Dalam pengelolaan DM, insulin digunakan untuk terapi penderita DM tipe-1 tetapi juga tidak jarang digunakan untuk penderita DM tipe-2.

Mekanisme kerja insulin ialah insulin berikatan dengan reseptor spesifik yang memiliki reaktivitas tinggi pada membran sel kebanyakan jaringan, termasuk hati, otot dan adiposa. Ini merupakan tahap pertama aliran reaksi yang akhirnya menuju kepada susunan aksi biologis yang

(21)
(22)

 

selektif merusak sel beta dari pulau langerhans dalam pankreas yang mensekresikan hormon insulin.

Aloksan merupakan bahan kimia yang digunakan untuk menginduksi diabetes pada binatang percobaan. Efek diabetogennya bersifat antagonis dengan glutation yang bereaksi dengan gugus Sh-nya. Beberapa hipotesis tentang mekanisme aksi yang telah diajukan antara lain: pembentukan khelat terhadap Zn, interferensi dengan enzim-enzim sel beta serta deaminasi dan dekarboksilasi asam amino. Penelitian terhadap mekanisme kerja aloksan secara invitro menunjukkan bahwa aloksan menginduksi pengeluaran ion kalsium dari mitokondria yang mengakibatkan proses oksidasi terganggu. Keluarnya ion kalsium dari mitokondria ini mengakibatkan ganguan homeostasis yang merupakan awal dari matinya sel (Gutteridge dan Halliwell, 1994 dalam Kumalasari, 2005).

Aloksan dapat diberikan secara parenteral seperti intravena, intraperitoneal atau subkutan pada hewan percobaan. Dosis aloksan yang diperlukan untuk menginduksi diabetes tergantung pada jenis spesies, status gizi dan jalur pemberian. Pemberian dosis secara intavena yang biasa digunakan untuk menginduksi diabetes pada tikus adalah 65 mg/kg BB, sedangkan secara intraperitoneal atau subkutan dosis efektifnya harus 2-3 kali lebih tinggi. Pemberian dosis secara intraperitoneal di bawah 150 mg/kg BB mungkin sudah cukup untuk menginduksi diabetes pada tikus (Szkudelski, 2001).

(23)

 

Hal ini juga harus ditekankan bahwa kisaran dosis diabetogenik dari aloksan cukup sempit dan apabila overdosis dapat menjadi toksik dapat menyebabkan kematian banyak hewan. Kematian yang terjadi kemungkinan besar karena toksisitas nekrotik sel tubular ginjal, khususnya ketika dosis aloksan terlalu tinggi diberikan (Szkudelski, 2001).

Flekel (1994) dan Prabowo (1997) menambahkan bahwa Peningkatan kadar gula darah akibat pemberian aloksan, bekerja langsung pada sel beta pankreas yang merangsang terbentuknya H2O2, merusak lisosom sel dan dapat

menyebabkan degenerasi dan reabsorbsi sel pankreas sehingga dapat terjadi defisiensi insulin.

Aloksan dapat menyebabkan pembentukan senyawa oksigen reaktif yang berasal dari O2, oksigen yang bermanfaat untuk pembentukan ATP juga

dapat bersifat toksik sehingga menyebabkan kematian sel, senyawa oksigen reaktif yang dihasilkan antara lain: superoksida (O2

_

), radikal bebas hidroksil (OH_) dan hidrogen peroksida (H2O2) (Kumalasari, 2005).

Pembentukan senyawa oksigen reaktif didahului oleh reduksi aloksan, dalam sel beta pankreas. Reaksi reduksi ini terjadi dengan adanya agen pereduksi yang berbeda, sejak itu aloksan menampakkan afinitas yang tinggi pada senyawa seluler yang mengandung gugus SH (Sulfilhydril) yang direduksi oleh gluthation (GSH), sistein dan ikatan protein pada kelompok SH yang sangat mudah terkena reaksinya. Walaupun demikian, senyawa pereduksi yang lain seperti askorbat mungkin berperan serta dalam reduksi ini. Diketahui bahwa senyawa penting yang mengandung gugus SH untuk glukosa

(24)

 

merangsang pelepasan insulin adalah glukokinase yang menjadi sangat rentan terhadap aloksan. Aloksan bereaksi dengan 2 gugus SH yang terdapat pada sisi ikatan gula glukokinase menghasilkan bentuk ikatan disulfida dan enzim yang inaktif. Glukosa bisa melindungi glukokinase menghalangi jalan masuk aloksan pada sisi SH dari enzim ini. Asam dialurik dibentuk dari hasil reduksi aloksan. Asam dialurik dioksidasi kembali menjadi aloksan melalui siklus redoks untuk membentuk radikal superoksida. Reaksi antara aloksan dan asam dialurik merupakan suatu proses dimana radikal aloksan (HA_) dibentuk ketika aloksan direduksi oleh GSH. Radikal superoksida dapat membebaskan ion ferric dan feritin dan mereduksinya menjadi ion ferro (Fe2

+

). Fe3 +

juga bisa dioksidasi oleh radikal aloksan (Szkudelski, 2001)

Kerusakan sel beta pankreas akibat dari induksi aloksan dikarenakan aloksan merupakan penghasil radikal yang menginduksi kerusakan sel beta melalui pembentukan senyawa oksigen reaktif (ROS) selama metabolisme aloksan. Aloksan direduksi menjadi asam dialurik senyawa oksigen reaktif yang dibentuk selama metabolisme aloksan melalui autooksidasi membentuk asam dialurik menjadi aloksan kembali. Aloksan dan hasil reduksinya (asam dialurik) mengalami siklus redoks dengan membentuk superoksida (O2

_

) yang kemudian superoksida ini dapat mengawali pembentukan senyawa oksigen reaktif (ROS) lain seperti hidrogen peroksida (H2O2) dan radikal bebas

hidroksil (OH_) melalui reaksi fenton. Senyawa oksigen reaktif yang paling berbahaya bagi organ adalah radikal bebas hidroksil (OH_) karena senyawa ini yang paling reaktif menyerang molekul biologis, karena adanya serangan

(25)

 

senyawa oksigen reaktif yang berasal dari aloksan inilah maka sel-sel beta pankreas mengalami kerusakan dan berdampak pada penurunan insulin sehingga kadar glukosa dalam darah meningkat (hiperglikemia) karena tidak ada yang merubah glukosa menjadi glikogen (Kumalasari, 2005).

Referensi

Dokumen terkait

Pembuatan kurva selisih serapan - (AA) terhadap panjang gelombang- untuk penentuan panjang gelombang terpilih Teofilina dan Fenobarbi­ tal .... Penentuan nilai selisih kpefisien

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai hubungan pemberian ASI Eksklusif dengan status gizi balita usia 12

dirongga paru, penurunan ekspansi paru, yang kedua Resiko hipotermi berhubungan dengan jaringan subkotis tipis, yang ketiga Ketidakefektifan nutrisi : kurang dari

Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis tertarik untuk meneliti pengaruh yang ditimbulkan terhadap return saham, yang kemudian dituangkan dalam sebuah

Harbinsn di Desa Raws Denok, Depok, Jaws Barat Nama Mahasiswa Syaiful Jamal.. Nomor Pokok

Yang dimaksud hadiah dalam Pasal 12 a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Wawancara dengan guru dilakukan untuk mengetahui potensi dan tantangan apa saja yang didapat ketika pada saat proses pembelajaran menggunakan sarana ICT yang

Dengan cluster_n adalah banyaknya  cluster, center adalah matrix akhir pusat  cluster,