• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Persetubuhan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Persetubuhan"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum, sehingga setiap kegiatan manusia atau masyarakat yang menjalankan aktivitas kehidupannya harus berdasarkan pada peraturan yang ada dan norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat. Prilaku yang tidak sesuai dengan norma/penyelewengan terhadap norma inilah yang dapat menimbulkan permasalahan di bidang hukum dan merugikan masyarakat. Penyelewengan demikian biasanya oleh masyarakat dicap sebagai suatu pelanggaran, bahkan sebagai suatu kejahatan.1

Secara umum, kejahatan adalah perbuatan atau tindakan yang jahat yang dilakukan oleh manusia yang dinilai tidak baik, tercela, dan tidak patut dilakukan. Siapapun dapat menjadi pelaku dari kejahatan, apakah pelakunya masih anak-anak, anak remaja, orang dewasa, atau orang yang berusia lanjut, baik laki-laki maupun perempuan.

Menurut Van Bemmelen, kejahatan adalah “tiap kelakuan yang bersifat tindak susila yang merugikan dan menimbulkan begitu banyak ketidaktenangan dalam suatu masyarakat tertentu. Sehingga masyarakat itu berhak mencelanya dan

1

(2)

menyatakan penolakannya atas kelakuan itu dalam bentuk nestapa dengan sengaja diberikan karena kelakuan tersebut.”2

Kejahatan telah terjadi hampir merata baik di lingkungan kehidupan pedesaan, maupun di lingkungan kawasan kumuh dan elit di perkotaan. Hal ini dapat dijumpai berdasarkan informasi di berbagai media massa, baik media cetak maupun media elektronik, yang menunjukkan adanya peningkatan tingkat kriminalitas di Indonesia.

Salah satu persoalan kejahatan yang sering muncul dalam kehidupan masyarakat adalah tentang kejahatan kesusilaan atau tindak pidana kesusilaan, seperti persetubuhan, pemerkosaan, pencabulan, dan lain-lain yang sangat meresahkan serta merugikan bagi masyarakat terutama bagi kaum perempuan dan orang tua. Menurut Bonger, “Setiap kejahatan bertentangan dengan kesusilaan, kesusilaan berakar, dalam rasa sosial dan lebih dalam tertanam daripada agama, kesusilaan merupakan salah satu kaidah pergaulan3

Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia, merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa. Selain itu, anak sebagai bagian dari keluarga, merupakan buah hati, penerus, dan harapan Ironisnya kejahatan kesusilaan ini tidak hanya menimpa perempuan dewasa, tetapi juga menimpa anak-anak di bawah umur dan dilakukan juga oleh anak yang juga sama-sama membutuhkan perlindungan hukum hak-hak atas anak.

2

B.Simandjuntak mengutip kutipan Van Bemmelen dalam buku Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial. 1981. Bandung: Tarsito, hlm. 71

3 Ibid

(3)

keluarga.4

Kenakalan remaja juga semakin meningkat baik secara kualitas maupun kuantitasnya. Yang memprihatinkan lagi kenakalan yang dilakukan oleh remaja tersebut bukanlah kenakalan biasa, tetapi cenderung mengarah pada tindakan kriminal yang tidak sesuai dengan norma yang berlaku dalam masyarakat.

Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan mata rantai awal yang penting dan menentukan dalam upaya menyiapkan dan mewujudkan masa depan bangsa dan negara. Namun apabila anak kurang mendapatkan perhatian dari lingkungan terdekatnya maka mudah baginya untuk melakukan perbuatan yang menyimpang dari norma hukum yang berlaku di masyarakat.

Menurut Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Pasal 1 Ayat (2) butir (a) dan (b) anak nakal adalah :

a. Anak yang melakukan tindak pidana;

b. Anak yang melakukan perbuatan yang terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.5

Banyak faktor yang membuat sikap dan prilaku anak, khususnya remaja menjadi salah asuhan sehingga menyebabkan anak menjadi nakal. Antara lain teknologi yang berkembang pesat di sekitar kita, baik media massa maupun media sosial yang mengubah prilaku remaja menjadi bebas dan tidak terkontrol yang menjurus amoral.

4

Waluyo, Bambang. Op.Cit , hlm. 103

5

(4)

Kondisi globalisasi informasi dan komunikasi yang semakin canggih ini dapat membawa dampak negatif dalam perkembangan fisik dan mental anak remaja, sehingga anak dapat saja meniru apa yang dilihatnya untuk melakukan tindak pidana, khususnya persetubuhan, pemerkosaan, dan pencabulan.

Kurangnya perhatian keluarga, tekanan ekonomi keluarga, pendidikan budi pekerti yang minim dalam kurikulum sekolah, pendidikan agama yang kurang, mudahnya mengakses blue film yang tidak layak ditonton oleh anak via handphone, televisi, dan internet, merebaknya pergaulan bebas di kos-kosan pelajar dan mahasiswa, hingga prostitusi yang terdapat di perkotaan maupun daerah pinggir kota merupakan penyebab terjadinya banyak kasus tindak pidana kesusilaan yang dilakukan oleh anak remaja yang terdapat di dalam masyarakat dewasa ini. Sikap yang mudah terpengaruh ini tidak terlepas dari perkembangan pribadi remaja.6

Proses peradilan pidana anak dan pidana dewasa sangatlah berbeda, mengingat ciri dan sifat anak-anak yang khas. Anak yang terlibat tindak pidana yang sedang menghadapi dan menjalani proses peradilan haruslah diingat bahwa seorang anak memiliki sifat dan ciri-cirinya yang khusus sehingga penanganan anak dalam proses hukumnya memerlukan pendekatan, pelayanan, perlakuan, Hal tersebut banyak dijumpai dalam pergaulan anak remaja yang tidak lagi berbeda di kawasan perkotaan bahkan telah merambah hingga di pedesaan saat ini. Perbuatan sebatas kenakalan remaja hingga akhirnya menjurus pada perbuatan kriminal ini membutuhkan penanganan hukum secara serius yang memberikan perlindungan hak-hak anak dalam proses peradilan pidana.

6

(5)

perawatan serta perlindungan yang khusus. Dengan demikian konsep perlindungan hukum terhadap anak akan berpijak pada konsep kesejaahteraan anak dan kepentingan anak tersebut.

Perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum harus lebih mengedepankan pembinaan dan pemulihan hak-hak mereka tanpa harus dikenai hukuman yang berlebihan, sehingga anak masih memiliki harapan untuk menatap masa depan mereka tanpa harus terhambat dengan penderitaan trauma masa lalunya yang pernah mengalami tindakan hukum berlebihan di pengadilan. Menjadi persoalan yang rumit dari sisi keadilan apabila konflik hukum terjadi bukan karena sekedar anak dengan negara atau masyarakat, akan tetapi konflik hukum itu terjadi juga dalam relasi antar anak yang sama-sama punya hak mendapat perlindungan.

Berdasarkan Pasal 67 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, maka Pasal 45, 46, dan 47 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dinyatakan tidak berlaku lagi. Agar terdapat pembedaan perlakuan dan ancaman yang diatur dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak dimaksudkan untuk lebih melindungi dan mengayomi anak sehingga dapat menyongsong masa depannya yang masih panjang.

(6)

Para pelaku persetubuhan, perkosaan dan pencabulan anak pada umumnya melanggar pasal 81 Ayat (1) dan (2), serta pasal 82 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang diancam pidana penjara maksimal 15 (lima belas) tahun, atau minimal 3 (tiga) tahun, serta denda paling banyak Rp. 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000 (enam puluh juta rupiah).

Salah satu kasus tindak pidana yang dilakukan oleh anak di bawah umur (17 tahun) dalam kasus tindak pidana persetubuhan adalah merupakan pelajar SMA di Desa Saentis Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang, dimana korbannya adalah anak perempuan berusia 15 (lima belas) tahun. Perbuatan pidana yang dilakukan adalah membujuk anak untuk melakukan tindak pidana persetubuhan dengannya.

Kasus ini telah divonis oleh hakim Pengadilan Negeri Lubuk Pakam yang menyatakan bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah dalam melakukan tindak pidana pencabulan, yaitu dengan sengaja membujuk anak untuk melakukan persetubuhan dengannya. Hakim menjatuhkan pidana 4 (empat) tahun 8 (delapan) bulan penjara dikurangi selama ditahan, denda Rp. 60.000.000 (enam puluh juta rupiah) atau pidana 2 (dua) bulan kurungan dan membayar ongkos perkara yang dibebankan kepada pelaku anak.

(7)

Pelaku Tindak Pidana Persetubuhan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam Nomor 117/Pid.B/P.A/2013/PN.LP)”

B. RUMUSAN MASALAH

Penulis perlu merumuskan masalah yang akan diteliti secara sistematis kedalam suatu rumusan masalah agar dapat memberikan gambaran dan penafsiran yang jelas. Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka dapat diberikan rumusan masalah dalam penelitian dan pembahasan ini sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pengaturan perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana persetubuhan di dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia?

(8)

C. TUJUAN PENULISAN

Setiap usaha maupun kegiatan sudah dapat dipastikan mempunyai tujuan yang hendak dicapai, karena tujuan akan memberikan manfaat dan penyelesaian dari penelitian yang akan dilaksanakan. Adapun tujuan dari penulisan ini adalah:

1. Untuk mengetahui pengaturan tentang perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku kasus tindak pidana persetubuhan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.

2. Untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana persetubuhan yang terdapat di dalam Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No. 117/Pid.B/P.A/2013/PN.LP.

D. MANFAAT PENULISAN

Hasil penulisan ide pembahasan ini memiliki manfaat teoritis dan manfaat praktis sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

1) Penulisan ini dapat menambah referensi atau khasanah kepustakaan bagi mahasiswa lain di bidang hukum pidana yang ingin melakukan penelitian dan penulisan lebih lanjut terhadap kasus yang sama.

(9)

2. Manfaat Praktis

1) Hasil penulisan ini dapat menjadi salah satu sumber informasi bagi masyarakat untuk memahami pengaturan perlindungan hukum dalam perundang-undangan terhadap kasus tindak pidana persetubuhan yang dilakukan oleh anak di bawah umur dan korbannya juga adalah anak di bawah umur.

2) Dapat memberikan gambaran secara jelas tentang bentuk-bentuk perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana persetubuhan khususnya dalam putusan perkara Pengadilan Negeri Lubuk Pakam.

E. KEASLIAN PENULISAN

Proses penyusunan skripsi ini pada prinsipnya dengan melihat dasar-dasar yang telah ada baik melalui literatur yang penulis peroleh dari perpustakaan dan dari media massa baik cetak maupun elektronik yang akhirnya penulis tuangkan dalam penelitian ini serta ditambah lagi dengan riset penulis ke lapangan dan penulis langsung melakukan wawancara dengan pihak yang berkompeten.

(10)

Nama : Prinst Rayenda Giovani NIM : 080200112

Judul : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Kejahatan Perkosaan dalam Pemberitaan Media Massa

Judul maupun permasalahan yang penulis bahas dalam penelitian ini berbeda dengan yang telah ada sebelumnya, sehingga penulis menyatakan bahwa skripsi dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Persetubuhan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No. 117/Pid.B/P.A/2013/PN.LP)” adalah asli tulisan penulis.

F. TINJAUAN KEPUSTAKAAN

1. Pengertian Tindak Pidana

Kata “Tindak Pidana” yang dipergunakan oleh ahli hukum pidana di Indonesia adalah bermacam-macam antara lain tindak pidana, perbuatan pidana, peristiwa pidana, perbuatan kriminal, dan tindak kriminal. Dari berbagai pengertian tersebut ada beberapa ahli hukum pidana yang merumuskan pengertian yang bervariasi terhadap pengertian tindak pidana tersebut.

Tindak pidana dalam Bahasa Belanda Strafbaarfeit, atau dalam Bahasa Inggris delict, berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai hukuman pidana, dan pelaku ini dapat dikatakan subjek tindak pidana.7

7

(11)

Menurut Pompe, tindak pidana adalah suatu pelanggaran norma terhadap hukum yang dengan sengaja atau tidak sengaja oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan pidana terhadap pelaku tersebut adalah demi terpeliharanya tertib hukum dan kepentingan umum.8

Menurut Moeljatno, tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut. Terdapat 3 (tiga) hal yang perlu diperhatikan, yaitu:

a) Perbuatan pidana adalah perbuatan oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana;

b) Larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu;

c) Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu ada hubungan erat pula. Kejadian tidak dapat dilarang jika yang menimbulkan bukan orang, dan orang tidak dapat diancam pidana jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya.

Pengertian tindak pidana merupakan suatu dasar hukum dalam ilmu hukum terutama hukum pidana yang dimana ditujukan sebagai suatu istilah

8

(12)

perbuatan yang melangar norma-norma atau aturan hukum yang berlaku di suatu negara. Tindak pidana harus memenuhi syarat-syarat seperti:

a) Harus ada perbuatan, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang;

b) Perbuatan harus sesuai sebagaimana yang dirumuskan dalam undang-undang. Pelakunya harus telah melakukan suatu kesalahan dan harus mempertanggungjawabkannya;

c) Harus ada kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan. Jadi perbuatan itu memang dapat dibuktikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar kesatuan hukum;

d) Harus ada ancaman hukumannya. Dengan kata lain, ketentuan hukum yang dilanggar itu mencantumkan sanksinya.9

2. Tindak Pidana Persetubuhan

Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern mengartikan kata “bersetubuh” sebagai berikut :

“berhubungan badan, hubungan intim, kontak badan (hubungan suami istri, hubungan sepasang manusia)”

Kamus Bahasa Indonesia Inggris adalah sebagai berikut :

“copulation, have sexual intercourse, copulate with person, with a body certain characteristics”.

9

(13)

Menurut Yan Pramadya Puspa dalam Kamus Hukum menambahkan arti kata persetubuhan “coitus” atau “coiton” adalah suatu proses bersetubuh antara laki-laki dan perempuan.

Tindak pidana persetubuhan dirumuskan dalam Pasal 81 Undang-undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 sebagai berikut :

1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Apabila rumusan di atas dirinci, maka terdapat unsur-unsur sebagai berikut :

Unsur-unsur Objektif :

a) Sengaja melakukan kekerasan atau ancaman; b) Memaksa;

c) Melakukan tipu daya :

d) Serangkaian kebohongan; atau

(14)

Unsur Subjektif a) Barangsiapa

Tindak pidana persetubuhan pada Pasal 81 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak hampir sama dengan tindak pidana persetubuhan menurut KUH Pidana, hanya dalam Pasal 81 di atas dikhususkan pada anak yang berusia 18 (delapan belas) tahun sebagai korban tindak pidana persetubuhan tersebut.

3. Pengertian Anak

Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya.10

Menurut Pasal 1 dalam Konvensi tentang Hak-hak Anak tahun 1990, pengertian anak yaitu:

Anak juga merupakan potensi bagi kemajuan generasi penerus bangsa yang berperan serta dalam menentukan sejarah bangsa di masa mendatang. Pengertian anak memiliki aspek yang sangat luas dikarenakan adanya sejumlah undang-undang yang mengatur status dan perlakuan terhadap anak sehingga terdapat perbedaan mengenai batasan atau definisi usia yang dikategorikan sebagai anak.

Setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia anak dicapai lebih awal.

Pasal 45 KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) mengatakan anak sebagai anak apabila belum berusia 16 (enam belas) tahun. Lalu dalam Pasal

10

(15)

330 KUHPerdata (Kitab Undang-undang Hukum Perdata) dikatakan bahwa orang yang belum dewasa adalah mereka yang belum berusia genap 21 (dua puluh satu) tahun dan belum kawin.

Hukum Islam menyebutkan anak di bawah umur dengan orang yang belum baliq atau belum berakal karena belum cakap untuk berbuat atau bertindak.

Pasal 1 Ayat (5) Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pengertian anak yaitu :

Anak adalah setiap manusia yang berusia 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.11

Pasal 1 Ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pengertian anak yaitu :

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.12

Pasal tersebut menjelaskan bahwa yang dikategorikan sebagai Anak adalah seseorang yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun, sekalipun anak tersebut masih di dalam kandungan.

Menurut Pasal 1 Ayat (2) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, pengertian tentang anak adalah :

Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.13

11

Pasal 1 Ayat (5) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia.

12

Pasal 1 Ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

13

(16)

Menurut Pasal 1 Ayat (4) Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, pengertian tentang anak adalah :

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun. 14

Kategori usia seorang anak dalam undang-undang ini adalah seorang anak yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun.

Beberapa negara memberikan definisi seseorang dikatakan anak atau dewasa dilihat dari umur dan aktifitas atau kemampuan berpikirnya. Di negara Inggris, pertanggungjawaban pidana diberikan kepada anak berusia 10 (sepuluh) tahun tetapi tidak untuk keikutsertaan dalam politik. Anak baru dapat ikut atau mempunyai hak politik apabila telah berusia di atas 18 (delapan belas) tahun.15

Negara Inggris mendefinisikan anak dari 0 (nol) tahun sampai 18 (delapan belas) tahun dengan asumsi dalam interval usia tersebut terdapat perbedaan aktifitas dan pola pikir anak-anak (childhood) dan dewasa (adulthood). Interval tertentu terjadi perkembangan fisik, emosional, dan intelektual termasuk kemampuan (skill) dan kompetensi yang menuju pada kemantapan pada saat kedewasaan (childhood).16

Perbedaan pengertian anak pada setiap negara, dikarenakan adanya perbedaan pengaruh sosial perkembangan anak di setiap negara. Aktifitas sosial

14

Pasal 1 Ayat (4) UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.

15

Marlina. 2009. Peradilan Pidana Anak Di Indonesia Pengembangan Konsep Diversi Dan Restorative Justice, Bandung: Refki Aditama, Hlm. 34-35

16 Ibid

(17)

dan budaya serta ekonomi di sebuah negara mempunyai pengaruh yang besar terhadap tingkat kedewasaan seorang anak.17

Menurut Nicholas McBala dalam Bukunya Juvenile Justice System mengatakan anak yaitu periode diantara kelahiran dan permulaan kedewasaan. Masa ini merupakan masa perkembangan hidup, juga masa dalam keterbatasan kemampuan termasuk untuk membahayakan orang lain.18

Mengenai pengertian anak yang belum dewasa menurut perundang-undangan yang berlaku berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, maka dapatlah dikatakan bahwa pengertian anak yang belum dewasa adalah seseorang yang berada di bawah usia 18 (delapan belas) tahun serta termasuk anak yang masih dalam kandungan dan belum pernah menikah.

4. Perlindungan Hukum

Perlindungan hukum merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi hukum untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum, yakni keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan kepada subyek hukum sesuai dengan aturan hukum, baik itu yang bersifat preventif (pencegahan) maupun dalam bentuk yang bersifat represif (pemaksaan), baik yang secara tertulis, maupun tidak tertulis dalam rangka menegakkan peraturan hukum.19

17 Ibid

, Hlm. 36

18 Ibid 19

Perlindungan Hukum,

(18)

Setiap orang berhak mendapatkan perlindungan dari hukum pada hakekatnya. Hampir seluruh hubungan hukum harus mendapat perlindungan dari hukum. Oleh karena itu terdapat banyak macam perlindungan hukum. Dari sekian banyak jenis dan macam perlindungan hukum, terdapat beberapa diantaranya yang cukup populer dan telah akrab di telinga kita, seperti perlindungan hukum terhadap pelaku tindak pidana.

Ruang lingkup perlindungan hukum yang akan dibahas dalam penulisan ini adalah perlindungan yang diberikan oleh Pemerintah melalui perangkat hukumnya seperti peraturan perundang-undangan terhadap anak yang menjadi pelaku tindak pidana. Perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana ini telah diatur dalam Undang-undang tentang Perlindungan Anak dan Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak yang pengaturannya mencakup segala hal yang menjadi hak dan kewajiban anak yang menjadi pelaku tindak pidana.

Menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pengertian perlindungan anak adalah :

“Segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”

Anak yang berhadapan dengan hukum haruslah mendapat perlindungan khusus, yang dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, perlindungan khusus adalah :

(19)

dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.”

Perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar baik fisik, mental, dan sosial.20

Perlindungan hukum anak dapat diartikan sebagai upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak (fundamental rights and freedoms of children) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak.

Adapun perlindungan anak merupakan cerminan dari adanya keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum dalam suatu masyarakat.

21

Perlindungan anak merupakan usaha dan kegiatan seluruh lapisan masyarakat dalam berbagai kedudukan dan peranan, yang menyadari pentingnya anak bagi nusa dan bangsa di kemudian hari. Jika mereka telah tumbuh secara fisik ataupun mental dan sosialnya, maka tiba saatnya menggantikan generasi terdahulu.

20

Gultom, Maldin. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia. 2008. Bandung : Refika Aditama, Hlm. 33

21

(20)

G. METODE PENELITIAN

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif (penelitian hukum doktriner)22

2. Sumber Data

, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bagian pustaka atau data sekunder. Penelitian yuridis normatif disebut juga sebagai penelitian kepustakaan atau studi dokumen. Penelitian yuridis normatif disebut penelitian hukum doktriner karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau badan hukum yang lain. Penelitian hukum ini juga disebut sebagai penelitian kepustakaan ataupun studi dokumen disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan.

Sumber penelitian ini didapat melalui data sekunder. Sumber data sekunder yang terdiri dari :

a. Bahan Hukum Primer

Bahan Hukum Primer adalah bahan hukum yang mengikat terdiri dari peraturan perundang-undangan yang berlaku atau ketentuan-ketentuan yang berlaku. Sehubungan dengan itu, maka bahan hukum primer yang digunakan adalah :

1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

2) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

22

(21)

3) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

4) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan sekunder yang digunakan untuk mendukung bahan hukum primer diantaranya berasal dari karya para sarjana, jurnal, data yang diperoleh dari instansi atau lembaga, serta buku-buku kepustakaan yang dijadikan refrensi yang dapat menunjang penelitian ini.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan Hukum Tersier adalah bahan hukum yang mendukung bahan hukum sekunder yang berasal dari kamus, internet, dan lain-lain.

3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah ini adalah melalui studi dokumen dengan penelusuran kepustakaan (library research), yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai literatur yang relevan dengan permasalahan skripsi ini seperti, buku-buku, makalah, artikel, dan berita yang diperoleh penulis dari internet yang bertujuan untuk mencari atau memperoleh konsepsi-konsepsi, teori-teori, atau bahan-bahan yang berkenan dengan perlindungan hukum pelaku anak.

4. Analisis Data

(22)

yang dikemukakan, sehingga dari teori-teori tersebut dapat ditarik beberapa hal yang dapat dijadikan kesimpulan dari pembahasan skripsi ini.

H. SISTEMATIKA PENULISAN

Penulisan skripsi ini dibuat secara terperinci dan sistematis agar memberikan kemudahan bagi pembacanya dalam memahami makna dan dapat pula memperoleh manfaatnya. Keseluruhan sistematika ini merupakan satu kesatuan yang sangat berhubungan antara satu dengan yang lain yang dapat dilihat sebagai berikut :

BAB I : Bab ini merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain memuat Latar Belakang, Pokok Permasalahan, Keaslian Penulisan, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

(23)

BAB III : Bab ini akan membahas tentang bentuk perlindungan hukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana persetubuhan yang terdapat di dalam putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No. 117/Pid.B/P.A/2013/PN.LP, yang isi di dalamnya antara lain memuat Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No. 117/Pid.B/P.A/2013/PN.LP, serta bentuk perlindungan hukum terhadap pelaku anak yang terdapat di dalam Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No. 117/Pid.B/P.A/2013/PN.LP.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil perhitungan nilai payback period dari usaha abon jantung pisang dengan penambahan keluwih adalah selama 3,9 bulan atau 3 bulan.

• Usaha-usaha yang dilakukan sejak lahir sampai dewasa tersebut mengindikasikan bahwa mereka telah melakukan sebuah proses yaitu proses pendidikan, dari cara yang sangat

Dalam menyelesaikan masalah ini Linier programming menggunakan model matematis, caranya adalah dengan menggunakan tabel keputusan agar didapat jumlah barang yang diproses dan

Faktanya, banyak negara Islam (atau yang mayoritas berpenduduk muslim) di berbagai belahan dunia menganut faham kemodernan ala Barat, yang mewarnai kebijakan-kebijakan perekonomian,

Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat nilai R sebesar 0.553 dan bernilai positif yang berarti terdapat pengaruh positif keadilan organisasi terhadap organizational

Di dalam metode penelitian ini menjelaskan mengenai kesimpulan dari hasil analisis data, kemudian keterbatasan penelitian serta saran untuk peneliti selanjutnya yang diharapkan

[r]

The objective is to combine the benefits of case study method of teaching with online discussion forum to enhance the quality of learning while making this an assessment component