• Tidak ada hasil yang ditemukan

Surga Dunia dalam Imaji

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Surga Dunia dalam Imaji"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

Backpackin’

fun, relax, low budget Edisi 2 / Maret - April 2010

Jalan Jaksa

400m untuk seluruh Dunia

Segara

Anakan

Surga Dunia dalam Imaji

Keliling Eropa dalam 6 bulan hanya dengan

1000 Dollar + Pertemanan

31 Mei Frankfurt 14 Juni Moscow 10 Juli Helsinki 14 Juli Stockholm 23 Juli Oslo

(2)

George Santayana dalam Philosophy of Travel menulis, “Kita butuh waktu untuk pergi merasakan kesunyian sejati, ek-sistensi tanpa tujuan, beberapa tindakan berbahaya guna memaknai hari libur dan menguji batas kemampuan kita, demi mencicipi kesusahan.” Sepaham! Kami seirama dengan George.

Pun dengan Backpackin’ edisi kedua ini. Kami menyuguhkan cerita kesusa-han demi kesenangan tak berbentuk dalam Catper Ciregal dan petualangan

Marina menjelajah Eropa dengan uang minim.

Segara Anakan

21

Jalan JAKSA

29

PASUKAN BACKPACKIN’

CIRE GAL 23

Tamah Bumi ala Back-packer 11

Salam Ransel !

Memaknai Tiap Rupiah

Resensi

Travelling in Blog

Aksesori

Memasak Praktis di Alam

2

17

19

1000 Dollar + Pertemanan = EROPA 6 Bulan!

3

Camping Bareng Anak-Anak 39

Nancy Margaretha 35

Pimpinan Umum Jeremy Gemarista Pemimpin Redaksi Ambar Arum Tim Redaksi Adi Widiyanto, Hana Ariesta, Muhammad Iqbal, Nizar Wogan, Sri Anindiaty Nursastri, Suci Humaira Sophia, Yeni Diah W Tim Produksi Aditya Hadi Pratama, Ricky Akbar

Galeri

Imaji indah Segara Anakan

Info BI

Launching Backpacker Indonesia

21

41

Memaknai

Tiap

Rupiah

Menyenangkan jika tiap rupiah yang kita keluarkan punya tutur. Apalagi secara tidak langsung, bisa ikut mendamaikan dunia, simak cerita ten-tang pengawinan backpacker dengan isu perdamaian dunia di rubrik Bu-lok. Sekaligus kami suguhkan bincang-bincang dengan Nancy Margare-tha, Ambassador Country for Indonesia untuk CouchSurfing, komunitas backpacker yang sedang naik daun di Indonesia.

Kami rasa, cerita Jalan Jaksa bisa turut memeriahkan pemaknaan rupi-ah, terutama di Jakarta. Jalan pendek yang punya cerita panjang sampai telinga manusia Eropa.

Beberapa rubrik baru turut kami perkenalkan, seperti Tips, Aksesori, Re-sensi, dan Galeri. Semua demi kesegaran pembaca sekalian. Beberapa saran dari pembaca juga coba kami akomodir, termasuk penambahan halaman. Tidak akan pernah kami lepaskan gendang telinga dari kritikan pembaca.

Sambutan dari para pembaca atas terbitnya Backpackin’ edisi pertama kemarin sungguh memicu semangat kami untuk terus memberikan yang terbaik. Terima kasih dan selamat menikmati Backpackin’ edisi kedua ini.

Redaksi

Salam Ransel !

(3)

Perjalanan bisa diminimalisir ber-kat beberapa temanku di Eropa, dan yang paling membantu adalah jaringan hospitality di dunia maya. Aku bergabung dengan hospitali-tyclub.org dan mendapatkan yang aku perlukan untuk backpacking disana: host! Host adalah orang yang bersedia menerima kita di rumahnya, sekaligus mengajak kita mengenal negaranya dengan lebih dalam. Bagiku ini merupakan salah satu cara yang efektif untuk mempromosikan pariwisata suatu negara.

Oke! Langsung saja kuceritakan pengala-manku selama 6 bu-lan disana. Sebagai keterangan: aku me-nambahkan inisial HC dibelakang nama host yang kukenal lewat hospitalityclub.org, dan aku memisahkan

rin-cian biaya transport di akhir tulisan.

31 Mei – 14 Juni 20066

Jerman: Frankfurt – Munich – Ber-lin (30 euro)

Host: Okan (Frankfurt), Ninit dan Daniel HC (Munich), Sara (Berlin)

Kunjunganku ke Munich bertepa-tan dengan pembukaan World Cup 2006 yang berlangsung di Jerman. Pada pembukaan ini, tim Jerman tanding lawan Costa Rica. Jerman

Catper

4

1000 Dollar +Pertemanan

= EROPA 6 Bulan!

P

erjalanan ini sudah kurencanakan sejak 2 tahun

sebelum keberangkatanku. Selama itu pula aku

menabung, cari-cari informasi sekaligus

mem-persiapkan keberangkatan. Fiuh! Akhirnya

kesa-mpaian juga pergi ke Eropa tahun 2006! 1000 dollar yang

aku punya setelah dikonversi ke euro, jadinya dapet 700

euro. Uang segitulah yang aku bawa ke Eropa. Ternyata

masih ada sisanya pas pulang! Haha!!

pun heboh! Penduduk memenuhi jalanan, dan bendera Jerman dima-na-mana! Akupun ikut larut dalam euforia tersebut bersama ribuan penduduk lain di depan big screen Olympia Stadium. Jerman menang 4 – 2!

14 Juni – 10 Juli 2006

Rusia: Moscow – St. Petersburg – Vyborg (1 euro)

Host: Fr. Timothi, Sr, Nadezha, Marina (Moscow), Father Lavr dan keluarga (Vyborg)

Aku datang kesini karena undangan dari Father Timothy yang kutemui tiga ta-hun yang lalu di In-dia. Ternyata disana sedang berlangsung dialog antar agama dengan seorang guru Sikh, Mr Manjit. Dari sini aku tahu sejarah Sikhisme yang berasal dari seorang saint di India bernama Guru Nanak. Ditengah konflik antar agama pada jamannya, beliau

memberi ajaran yang mengejutkan bahwa semua agama itu benar, asal para pengikutnya menyelamin-ya dalam-dalam.

Lalu aku ke Red Square! Melihat langsung bangunan unik warna-warni yang sangat terkenal di se-luruh dunia itu. Disini aku hanya menghabiskan 1 euro buat beli es

(4)

krim ketika eropa sedang panas-panasnya.

10 -14 Juli 2006

Finlandia: Helsinki (0 euro) Host: Piia HC

Inilah kota dengan predikat World’s Best Place to Live In (PBB). Memang benar! Alamnya sangat terjaga, masyarakatnya terbiasa dengan budaya daur

ulang, anti rasis, dan menjalankan fair trade. Akupun dibuat terpeso-na dengan Suomenlinterpeso-na, benteng di kepulauan yang lokasinya tidak jauh dari pusat kota Helsinki.

14 – 23 Juli 2006

Swedia: Stockholm (0 euro, malah nambah 50 euro!)

Host: Tobias HC dan John

Kali ini host ku, Tobias, adalah seorang pemain Saksofon jazz. Ia membawaku ke sebuah pulau bernama Gamla Stan yang berisi bangunan-bangunan abad perten-gahan. Ajaib! Seiring dengan mela-junya kapal feri menuju pulau itu, aku merasa waktu semakin mun-dur dengan cepat ke beratus-ratus tahun yang lalu. Disana Tobias manggung dengan sebuah band bernama Hermann’s Cafe. Keren! Pengalaman menarik lainnya ada-lah ketika bersama host ku satunya lagi, John, seorang manajer McD di Stockholm. Aku mendapat kes-empatan untuk part-time di McD!

5

Hasilnya? 50 euro, cukup sampai Perancis! Hahaha...

23 Juli – 1 Agustus 2006

Norwegia: Trondheim – Oslo (3 euro)

Host: Lisa (Trondheim)

Norwegia adalah negara termahal di Eropa, dan negara termahal ked-ua di dunia setelah Jepang. Tapi disini pengeluaranku cuma 3 euro! Semua itu berkat Lisa, host ku yang baik banget! Aku juga dapet tiket gratis nonton festival musik karena aku bersedia jadi sukarela-wan cleaning service di acara itu. Lumayan, bisa liat The Cardigans manggung secara langsung.

1 – 5 Agustus 2006

Denmark: Kopenhagen (0 euro)

Host: Bryan HC

Disini pengeluaranku nol. Seben-ernya perlu buat ongkos disana, tapi ajaibnya ada seorang imigran Afghanistan yang ngasih 23 krone saat di kereta. Padahal waktu itu aku cuma nanya apakah money changer di Kopenhagen buka malam apa ga..

5 – 10 Agutus 2006

Belgia: Ghent – Brugge – Brussels (1 euro)

Host: Charlotte HC (Ghent), Dirk & Luc (Brugge), Pavel HC (Brussels)

Ketika sedang terpesona dengan katedral di Brugge, tiba-tiba

se-orang kakek menyapaku. ”Kau tahu siapa mereka?” tanyanya sambil menunjuk deretan patung ksatria di langit-langit. Aku menggeleng.

”Freemasons” ujarnya kemudian. Namanya Dirk. Lalu ia memanduku keliling sana sekaligus mentraktir makan. Ternyata Dirk adalah seja-rahwan seni yang senang berbagi cerita. Selanjutnya Pavel men-emaniku selama di Brussels, kota yang penuh dengan gerai-gerai cokelat lengkap dengan tester grat-isnya!

10 – 13 Agustus 2006

Luxemburg (0 euro, malah dapet 30 euro dari host!)

Host: Carla & Jean Luc HC

Selama disini Carla dan Jean Luc benar-benar memanjakanku! Bayangkan, ditraktir makan di resto Italia mewah yang harga sepiring-nya 50 euro, diajak nonton bio-skop yang harga tiketnya 20 euro, dikasih parfum Guerlain asli karena

’sudah tidak ada tempat lagi di kamar mandi’, dan dibekali 250 krones Swedia! Luxemburg.. kota ini tidak memiliki sumber alam, tapi masyarakatnya sangat mak-mur seperti Carla dan Jean Luc. ”Kami sebuah negara yang berdiri makmur hanya karena permainan ekonomi... Kami melakukan apa pun agar uang mengalir ke sini,” Carla menjawab keherananku. Kemudian sambil menyajikan keju berkualitas tinggi di atas meja, ia menjelaskan tentang negaranya: penurunan pajak, network yang sangat luas, dan keterbukaannya

(5)

pada imigran. ”Tidak ada masalah antara pendatang dan penduduk asli, karena mereka (pemerintah, red) tahu mereka tidak dapat hidup tanpa orang lain.” Aku hanya bisa terdiam.

13 – 20 Agustus 2006

Perancis: Paris (15,5 euro) Host: Cindy

Cindy adalah teman sekampusku yang kuliah S2 di Paris. Namun ketika aku sampai di Paris, dia lagi balik ke Indonesia. Jadi flatnya pin -dah tangan ke aku 100%. Aku pun mengeluarkan sekitar 7 euro untuk belanja makanan selama seming-gu. Flatnya Cindy ada di area Ger-main des-Pres, cuma 10 menit dari Louvre, tempat berdirinya piramida kaca yang sangat terkenal itu!

20 – 23 Agustus 2006

Spanyol: Barcelona – Lienza (0 euro)

Host: Clara (Barcelona), Cathar Community (Lienza)

Perjalananku ke Barcelona sebe-narnya berkat Pavel HC (host ku di Brussels) yang berteman dengan Clara di Barcelona. Pavel menitip-kan salep bayi buat anak pertama Clara yang baru lahir. Namun ke-tika aku ke Barcelona, Clara tidak ada. Maka flatnya pun aku tinggali dengan asistensi Oriol, adiknya Clara.

Aku dan Oriol menghabiskan waktu

bersama dengan sangat seru kar-ena kami sama-sama suka U2! Kamipun nonton DVD ”U2 Live in Chicago” dan bernyanyi bersama. ”Bayangkan jika dunia suatu saat bisa bernyanyi bersama begini! Habislah semua masalah di dunia ini! Kau tahu, masalah di dunia ini memang hanya batas-batas neg-ara!. Jika tidak ada itu, tidak akan ada negara-negara yang harus di-bela melawan yang lainnya!” Lagu One pun mengiringi pembicaraan kami. ”One is not uniformity. Kita ini ’harus’ berbeda-beda. Kalau tidak, bagaimana bisa carry each other?” Wow!

23 – 24 Agustus 2006

Perancis (2): Nice (0 euro) Host: Michel HC

Di sini aku bermalam di apartemen mewah French Riviera milik Michel yang cuma perlu jalan kaki 3 me-nit untuk sampai ke pinggir pantai Nice. Setelah 3 menit itu aku lalui, kini laut Mediterania terbentang luas dihadapanku. Michel mengam-bil batu ceper diantara kerikil, ke-mudian melemparkan batu tersebut ke laut, membentuk tiga pantulan diatasnya. ”Wow, aku selalu ingin bisa melakukannya! Bisakah kau mengajariku?” Michel pun mem-berikan tips-tips nya. Namun tetap saja, batu yang kulempar langsung tenggelam. Tak apalah, laut Medit-erania ini saja sudah cukup

menye-garkan mataku...

24 – 30 Agustus 2006

Italia: Florence – Roma – Venice (2,5 euro)

Host: Nicola HC (Florence), Maria, Luigi dan Maurizio (Roma), Tom HC (Venice)

Italia... tidak perlu kujelaskan lagi, keindahan kotanya luar biasa! Her-an, hampir segala hal di Italia

be-gitu indah: Fashion? Semua model ingin masuk Vogue. Lukisan? ada Leonardo da Vinci. Film? Godfa-ther. Musik? Madonna pun ketu-runan Italia! Makanan? Favorit di seluruh Eropa hingga ke Bandung! Bola? Baru saja menang di Piala Dunia kemarin. ”Apa sih rahasian-ya?” tanyaku pada Nicola. ”Oh.. Ada yang bilang kami selalu mem-berikan 110% pada apa yang kami

(6)

genal masyarakat yang tinggal ber-sama alam mereka, kota mereka, dan matahari dari sudut pandang mereka. Peluang yang jika tidak kau ambil, maka kita telah kehilan-gan separuh jiwa para pelancong yaitu : saling berbagi!

kerjakan.” ”Apa 10% nya?” ”Pas-sion,” jawabnya santai. Oh begitu...

30 Agustus – 1 September 2006

Austria: Wina (0 euro) Host: Fabian HC

Pusat kota Wina sangat kental bau sejarahnya. Semua bangunan dira-wat dengan baik, seakan tidak ter-makan usia. Bunyi tapal kuda yang melintas pun menyempurnakan nuansa sejarah tersebut. Lagi-lagi aku tidak mengerluarkan uang sep-erserpun disini. Wina dapat dikelil-ingi dengan berjalan kaki saja, sedangkan makanan sepenuhnya bareng host.

1 September – 16 Oktober 2006

Ceko: Praha – Cheb – Karlovy Vary – Ceske Budejovice – Cesky Krum-lov – Brno (0 euro)

Host: Ludek dkk, Pavel HC, para mahasiswi Malaysia (Praha), Olga (Brno), Milan HC (Ceske Budejov-ice)

Disinilah aku mengalami hari-hari yang campur aduk: ga sengaja

ketemu para mahasiswi Malaysia di mesjid dan diajak tinggal di asrama meraka, ketemu lagi dengan Pavel HC yang sedang pulang kampung dari Brussels, terpesona dengan

Pengeluaran hidup selama di Eropa 83 euro

* Dikasih uang saku sama host 80 euro -3 euro! Pengeluaran transportasi selama di Eropa * Frankfurt – Munich – Berlin

30 euro

* Berlin – Moscow 135 euro

* Moscow – Helsinki 0 euro (dibayarin orang Rusia yang terharu kar-ena

saya bela-belain ke negara dia. Hihihi...)

* Helsinki – Wina 345 euro

(10 negara dari Finlandia sampai Austria)

* Wina – Praha 10 euro

* Praha – Koln 21,5 euro

* Koln – Frankfurt 30 euro

TOTAL = 574,5 EURO!!

Cheb karena bangunan-bangunan-nya yang kuno tapi memiliki warna pastel yang imut-imut, dan yang paling ajaib, disapa Dalai Lama ketika aku menghadiri Forum Poli-tik Tahunan di Praha!! Aaahhh!! Rasanya bisa aku buat satu buku khusus tentang perjalananku di negeri ini saja!

16 – 29 Oktober 2006

Austria (2): Guntramsdorf – Baden – Modling – Grossgmain – Salz-burg – Wina (10 euro)

Host: Henning dan Helgard (Gun-tramsdorf), Alice (Groggsmain), Fabian (Wina)

Warga Austria sangat suka menda-ki gunung. Akupun memilimenda-ki kesem-patan pergi hiking ke pegunungan Rex. Gunungnya bersih, sejuk dan indah... tak heran gunung ini men-jadi tempat pelarian nomor satu orang Wina dari segala kepenatan kota.

29 Oktober – 5 November 2006

Jerman (2): Munich – Bonn – Num-berg – Koln (0 euro)

Host: Nico dan Thomas(Munich), Margaret (Bonn)

Ini adalah kota terakhirku di Eropa, setelah itu aku akan meluncur ke bandara Frankfurt untuk kemudian singgah di Kuala Lumpur sebelum kembali ke Indonesia. 6 jam sebe-lum check-in di Bandara Frankfurt, aku sempatkan diri menikmati

pe-mandangan terindah di Eropa: Kat-edral Koln. Tinggiannya setara den-gan tinggi gedung pencakar langit. Aku tak habis pikir, bagaimana cara mereka membangun katedral dengan detil yang sangat indah seperti ini, ketika dulu teknologinya belum secanggih sekarang? Per-tanyaanku tidak terjawab, namun mataku terpuaskan dengan arsitek-turnya yang mempesona.

Demikian kisahku di Eropa. Tera-khir aku keluar 20 euro untuk biaya penggantian tanggal keberang-katan dari Frankfurt menjadi 5 November 2006. Di KL nya gratis berkat host Shirhan HC yang baik banget!

Semua pengalaman itu membuatku yakin akan satu hal: bahwa back-packing tidak hanya tentang alam-alam indah yang akan kita susuri, tidak hanya tentang kota-kota me-nawan yang akan kita lewati, tidak hanya tentang sunset dan sunrise yang selalu diburu, tidak hanya itu! Backpacking merupakan pe-luang bagi kita untuk dapat

men-9

(7)

Tamah Bumi ala

A C K P A C K E R

Wajar sekali perjalanan jauh membuat peluh berbiak dengan produktif. Hal yang biasa dialami backpacker. Saking biasanya, kenestapaan itu terkadang bukan menjadi gangguan yang berarti lagi. Tapi ada hal lain yang cukup mengganggu dan menjadi

pe-mikiran para petualang. Bagaimana mendapatkan keamanan dan ka-lau bisa kenyamanan dalam tidur malam ini? Tidur menjadi sangat penting karena perjalanan belum berakhir di titik ini, masih ada be-sok dan bebe-soknya.

Budaya Lokal

11

M

ungkin

semangat

Gandhi

tersebut

yang juga

menggam-barkan cita-cita para

backpacker

pulu-han tahun yang

lalu. Canggihnya

teknologi

men-dorong hal

terse-but semakin kuat. Maka

sekarang bukan hal yang aneh

kalau orang dari puluhan ribu

kilometer sana bisa langsung

akrab dan berbagi banyak hal

ketika pertama kali bertemu di

lingkungan kita, di rumah kita.

Beberapa backpacker mengam-bil inisiatif untuk beramah tamah dengan warga sekitar. Membicara-kan banyak hal agar dapat akrab dengan warga. Satu misi penting: malam ini bisa tidur di rumah warga tersebut. Banyak motif di belakang-nya, bisa karena ingin menekan anggaran, atau karena memang ingin mengetahui banyak tentang kebiasaan, budaya, dan cara pan-dang masyarakat di daerah yang dia kunjungi.

Hal ini kurang lebih mirip dengan cikal bakal terbentuknya Servas dulu, pada tahun 1949. Servas adalah sebuah lembaga

Interna-sional non profit non pemerintahan

yang punya misi perdamaian dunia. Bersama Servas, para petualang punya kesempatan berkecim-pung di kehidupan sang tuan ru-mah selama 2 hari. Bob Luitweiler membentuk Servas Internasional dengan fondasinya berupa saling pengertian, toleransi, dan cita-cita yang sama. Ia juga dikenal sebagai seorang penggerak perdamaian.

Bob gencar mempromosikan jarin-gan dan cita-cita yang ingin dicapa-inya ke khalayak. Sebetulnya dari gerakan tersebut bukanlah ter-bentuk simbiosis parasitisme yang merugikan satu pihak. Tapi justru mutualisme. Pihak yang, katakan-lah dikunjungi, bisa mengambil

manfaat dari kedatangan tamunya tersebut. Dia bisa mengeksplorasi budaya dan segala hal di daerah asal si tamu. Dari situ diharapkan kadar toleransi semakin pekat. Se-cara tidak langsung berkontribusi positif pada perdamaian dunia. Perjuangan Bob menarik minat banyak orang yang punya cita-cita sama. Terus berkembang sampai sekarang Servas punya hubungan yang cukup baik dengan PBB, se-bagai salah satu konsultan di bi-dang ekonomi dan sosial.

Namun, ada prosedur yang harus dilalui untuk masuk dalam jaringan Servas. Interview dengan National Secretary (NS) di negara masing-masing wajib dilewati untuk menda-patkan “lisensi” menginap di rumah anggota Servas lain. Sebetulnya prosedur ini bukan mempersulit tapi justru memperlancar keber-langsungan sistem, untuk menyortir orang-orang yang punya isi kepala tidak baik.

Setelah lolos interview, anggota akan mendapatkan Letter of In-troduction atau lebih dikenal LOI, semacam surat pengantar yang ditandatangani. Juga paspor yang distempel khas Servas. Katakanlah sebagai bukti konkret sudah men-jadi anggota.

With every true friendship we build

more firmly the foundations on which

the peace of the whole world rests

-Mahatma

(8)

begitulah yang tertera di halaman sign up nya. Setelah mengisi form pertanyaan data diri standar, maka tunailah urusan “administrasi”. Hari itu juga sudah sah dikatakan ang-gota CS.

Enam tahun kemudian, didukung teknologi informasi yang semakin mengakar rumput, maka mem-bludaklah anggota CS. Tercatat 1.630.188 couchsurfer dari 234 negara di 69.246 kota. Dalam wak-tu sesingkat iwak-tu, CS berhasil mem-buat 1.895.658 persahabatan dan menerbitkan 3.027.834 pengala-man positif. Itu yang tercatat, sep-ertinya masih banyak yang belum tercatat.

14

Cap itulah yang menjadi bukti sah masuk ke rumah 13 ribu ang-gotanya di lebih dari 100 negara, tentunya dengan persetujuan sebe-lumnya dari sang empunya rumah. Italia adalah negara yang memiliki anggota terbanyak, hampir 2 ribu orang. Indonesia hanya 43 orang. Pemutakhiran host list cukup rutin dilakukan yang kemudian disebar-kan ke seluruh anggota sebagai pegangan untuk mempermudah menapak sudut bumi lain. Kalau mau pergi ke kota di negara ter-tentu, tinggal cari anggota Servas yang ada di kota itu lalu

men-ghubunginya terlebih dahulu.

Puluhan tahun berlalu. Banyak anggota di dalamnya yang sudah semakin dekat sehingga saling berbagi cita. Mereka berpikir untuk tidak hanya berbagi atap dan ma-kanan ke sesama anggota. Maka

aktiflah mereka di beberapa kegia -tan sosial, sebut saja penggalan-gan dana untuk korban gempa di Kashmir pada 2005 oleh anggota-anggota Servas Pakistan.

Rasa Baru

Jaringan Servas sudah cukup be-sar, tapi sepertinya orang-orang baru yang ingin masuk Servas merasa rumit dengan persyaratan yang dimintai Servas. Belum lagi kewajiban memberikan laporan

singkat ke NS sekembalinya ke negara asal.

Maka sejak 2004 lahirlah Couch

Surfing (CS). Tidak banyak ber -beda tentang dasar pemikiran dan cita-citanya. Hanya saja persyara-tan untuk menjadi anggota tidak serumit Servas, tidak perlu inter-view, tidak perlu cap, dan tidak diwajibkan memberikan laporan singkat. Cukup buka website-nya

di www.couchsurfing.org kemudian

sign up.

“You don’t need a couch to join! As long as you anticipate sharing your couch sometime in your lifetime, or have already shared it, you’re 100% welcome here! Cheers!”

Lalu muncul pertanyaan, dengan demikian mudahnya menjadi ang-gota CS, apa aman menjadi host atau traveler di komunitas CS? Nah, ini perbedaan yang cukup

sig-nifikan antara CS dan Servas.

CS membebankan tanggung jawab tersebut sepenuhnya pada anggota sedangkan Servas punya sortiran awal di sesi interview. Anggota CS sendiri yang harus

melaku-kan verifikasi apa betul niat orang

yang akan mengunjunginya atau dikunjunginya sesuai dengan yang di-cita-citakan. Bisa dilakukan

den-gan melihat profil orang tersebut di

website CS. Di situ juga tertulis ko-mentar anggota lain tentang orang tersebut. Muncullah penilaian. Ka-lau tidak sesuai, hak besar untuk menolaknya. Fakta bahwa 99,6% anggota mempunyai pengalaman positif mungkin bisa membuat se-muanya jauh lebih tenang.

Pengalaman menarik dialami Wahyudi Panggabean, salah satu anggota CS. Ia termasuk anggota baru, bergabung pada September 2009. Tamu pertamanya cukup membuat kaget, seorang ambassa-dor CS dari Spanyol. Ambassaambassa-dor bisa dikatakan sebagai pemegang keputusan tertinggi di negaranya untuk perihal CS.

(9)

15

16

Tidak mengapa bagi Wahyu, me-mang ia terbiasa menerima tamu asing sejak sebelum masuk CS. Servis yang diwajibkan pada host hanyalah tempat yang cukup un-tuk tidur. Wahyu menerabasnya. Ia memberikan jasa penjemputan dari bandara, kamar ber-AC, makan seadanya, ajakan keliling Jakarta, bahkan sampai PC lengkap dengan jaringan internetnya. Semuanya gratis!

Kala Backpackin’ tanya, “Kenapa sampai segitunya?” Dia cuma jawab, karena ingin

berbagi. “Bonusnya, saya jadi tahu orang Spanyol itu juga ma-kan nasi dan dia pu-nya grammer bahasa yang paling susah di dunia. Sekaligus saya dapat bonus latihan Bahasa Inggris gratis, hehe, pengaruh banget loh….” Bahkan, Wahyu mengaku, dia bisa

sekaligus mengamati perbedaan logat Bahasa Inggris dari berbagai negara.

Baru beberapa bulan saja, Wahyu bisa punya kenalan dari Spanyol, New York, Perancis, dan Kanada, tepat di bawah atap rumahnya sendiri. Sekali waktu, Wahyu mem-perkenalkan Steve, tamunya dari

Kanada, kepada kru Backpackin’. Steve menjual rumah, mobil, dan seluruh hartanya untuk keliling dun-ia selama beberapa tahun. Sangat menyenangkan mengenal budaya dan cara pemikiran yang letaknya puluhan ribu kilometer dari Indo-nesia walau hanya dua jam. Bisa dibayangkan pengalaman yang didapat Wahyu setelah menerima sekian banyak tamu.

Saudara Tua

Satu komunitas serupa yang juga cukup happening di Indonesia adalah Hospitality Club (HC). Usianya sedikit lebih tua dari CS. Awal ter-bentuknya cukup untuk membuat sumringah kita, warga Indonesia. Pada tahun 2000, Veit, seorang pemuda umur 22 tahun mendapatkan inspirasi mendirikan HC setelah menghisap ROKOK KRETEK INDONESIA. Empat adiknya yang kesemuanya mengikuti pertukaran pelajar AFS mendukung Veit sepenuhnya.

Maka semakin muluslah perjalanan HC.

Dasar pemikiran dan cita-cita yang digarap tidak berbeda jauh dengan

Servas dan CS. Masuk menjadi salah satu tamu Wahyudi

Steve

Pada tahun 2000,

Veit, seorang

pemuda umur 22

tahun mendapatkan

inspirasi mendirikan

HC setelah

menghisap

ROKOK KRETEK

INDONESIA.

oleh : Muhammad Iqbal foto : Wahyudi Panggabean

anggota HC hampir semudah CS, cukup mengisi form ringkas. Lalu sang pengatur di balik layar HC akan menilainya, apakah calon anggota itu layak dijadikan ang-gota. Tahap itulah yang membeda-kannya dengan CS. Setelah dirasa sesuai dengan cita bersama, Voila, silakan langsung menikmati keang-gotaan.

(10)

Alamat: www.travelblog.org

Di dalam blog yang bersifat open source ini kita dapat melihat ber-bagai kisah dan foto dari berber-bagai negara. Kita bisa memiliki teman yang bercerita tentang bagaimana ia menelusuri sungai Mekong dan tertawa melihat anak-anak kecil yang sedang berenang di sana. Ada juga yang bertutur tentang perjalanan panjangnya dari Beijing menuju Ulan Bator, ibukota

Mon-Alamat: www.naked-traveler.com

Tentu nama Trinity dan buku Naked Traveler karyanya sudah familiar bagi petualang Indonesia. Di situs ini, kita akan menemukan berbagai tulisannya yang dimutakhirkan se-cara berkala. Sama seperti tulisan-tulisan di dalam bukunya, dalam blog ini pun Trinity menceritakan berbagai pengalamannya selama bertualang, mulai dari pandangan-nya secara umum tentang suatu

Resensi

17

Menelanjangi Sang ’Naked Traveler’

Travel Blog: Mata – Mata Dunia golia. Ketika dia serasa akan gila karena bosan karena harus duduk

di kereta selama 30 jam!

Sistem navigasi sederhana yang ada di dalamnya mudah dimengerti dan sangat spesifik. Kota Solo pun memiliki kategori sendiri yang di dalamnya terdapat tiga belas tu-lisan perjalanan. Akan mudah men-emukan teman yang bercerita ten-tang kisahnya di tempat tujuan kita. Selain catatan perjalanan, situs ini memberikan informasi hotel, hostel, dan penerbangan. Ambil contoh hostel. Sebutlah Bali, ada 45 Hos-tel yang punya keterangan lengkap fasilitas apa saja yang ada di sana, tuntunan menuju ke penginapan itu dari bandara, sampai bisa cek harganya pada tanggal yang kita inginkan. Ada 21 kota di Indonesia dan 182 negara yang punya pen-jabaran sama baiknya.

destinasi sampai hal-hal kecil yang menarik perhatian, seperti pen-galamannya dengan berbagai jenis pengemis di India.

Trinity membuka kesempatan bagi penulis setipe untuk berkontribusi dalam blog ini. Tentu ada syarat-syarat tertentu. Terbuka kemungki-nan tulisan itu akan masuk dalam bukunya berikutnya.

Ada satu kelebihan dari blog ini yang tidak akan kita dapatkan dari buku yang telah kita baca tersebut, yaitu interaksi. Ketika

menjela-jahi dunia Naked Traveler di dunia maya, lalu kita akan membaca se-suatu yang menarik hati kita, maka mudah saja berkomentar.

Trinity cukup sering mengunjungi blog ini untuk sekedar membalas komentar-komentar pembacanya. Terkadang, ia membahas beberapa pertanyaan juga. Mungkin lewat blog ini kita benar-benar dapat me-nelanjangi sang ’Naked Traveler’.

(11)

M

emasak di alam menjadi ritual wajib para back-packer ketika menjalankan ak-sinya terutama di gunung. Peralatan seperti

nest-ing dan kompor sudah pasti ada dalam daftar bawaan para backpacker. Banyak pilihan kompor yang dapat dipilih, seperti kompor parafin, kompor gas, dll.

Namun kini sudah ada kom-por camping dari Trangia yang lengkap dan praktis. Trangia memiliki dimensi antara 25x 15 cm. wujudnya seperti nesting namun ber-bentuk bulat. Didalamnya

lengkap memuat peralatan memasak ala pelancong sep-erti kompor, teko, pengg-orengan, penahan angin, serta nesting itu sendiri yang dapat berfungsi seba-gai panci.

Kompor Trangia menggunakan spiritus. Api dapat meny-ala nonstop selama kurang lebih 40 menit. Setelah itu, wadah kompor dapat diisi lagi dengan spiritus untuk melanjutkan penggu-naan kompor.

Umumnya, para pengguna Trangia membawa spiritus dalam wadah botol air min-eral bekas sesuai kebutu-han. Setelah spiritus di-gunakan, botol air mineral dapat dipepatkan sehingga mengurangi beban dan ruang barang bawaan. Ini lebih praktis ketimbang botol gas yang tetap lebih be-rat dan lebih menghabiskan ruang sekalipun gas sudah habis, padahal kita akan tetap membawa botol terse-but hingga kita menuruni gunung dan menemukan tem-pat sampah.

Memasak Praktis

di Alam

Ini dia yang namanya Trangia!

Aksesori

Trangia juga dilengkapi dengan penahan angin yang sangat bermanfaat mengin-gat kita akan memasak di alam terbuka yang tidak memberikan kesempatan un-tuk memprediksi kedatan-gan dan kekencankedatan-gan angin. Dengan demikian nyala api dapat lebih stabil. Hal ini juga membuat Trangia aman untuk digunakan di dalam tenda, apabila cuaca sedang tidak memungkinkan untuk memasak di luar ten-da, misalnya sedang hujan. Di Indonesia Trangia da-pat dibeli dengan kisaran harga di atas Rp400 ribu. Memang cukup mahal, tapi sangat layak dan berguna untuk dimiliki para pe-cinta alam. Trangia bisa didapatkan di toko-toko outdoor di kota besar sep-erti Jakarta dan di be-berapa online shop yang menjual khusus peralatan camping.

Tips: berikan tanda khusus pada botol wadah spiritus untuk membedakannya dari botol minuman lainnya. Karena warna air

spiri-tus sama seperti air minum biasa. Apabila ceroboh, maka air spiritus dapat

terminum. Ini berbahaya. Salah satu cara memberi tanda adalah dengan me-masukan daun ke dalam bot-ol wadah spiritus sehingga

warna air spiritus berubah menjadi hijau.

Keterangan: 1. panci

2. penggorengan 3. stik

4. teko 5. kompor

6. tali pengaman 7. penahan angin

(12)

GALERI

P

ulau Sempu berada di Jawa Timur, tepatnya di Kota Malang. Perjalanan menuju pulau yang diklaim menjadi salah satu pu-lau yang masih virgin di Indonesia ini membutuhkan waktu sekitar empat jam dari pusat Kota Malang dengan mengguna-kan jalan darat. Sebelum menuju Pulau Sempu, kita harus mendarat ter-lebih di desa Sendang Biru. Perjalanan dari Sendang Biru ke bibir pantai Pulau Sempu membutuhkan waktu sekitar sepuluh menit dengan meng-gunakan kapal motor berkapasitas sembilan orang. Tiba di bibir pantai, kita masih melanjutkan perjalanan dengan tracking yang akan mema-kan waktu selama satu setengah jam. Tracking amema-kan dihiasi riuh rendah kicau burung, teriakan monyet, dan pohon tumbang di sana-sini yang membuat tracking menuju Pulau Sempu jadi tidak terasa berat. Tiba di lokasi kita akan mendapat sajian pancaran cahaya dari Karang Bolong, pasir putih, dan hijau tosca air laut yang membuat suasana Pulau Sem-pu semakin eksotis.

Karang Bolong

Segara Anakan dari atas tebing karang sunrise di Pulau Sempu

(13)

Arum Tegal. Satu var-ian kereta ekonomi yang baru pertama kunaiki. Beranjak dari Pasar Senen (Jakarta) pukul 15:19, menuju Tegal di akhir Desem-ber 2009. Empat be-las ribu rupiah. Aku pesan turun di Cire-bon Prujakan, lebih murah seribu menjadi

13 ribu. Pecahan dua puluh ribuanku ditu-kar dengan sebuah tiket, sebuah kupon PMI, dan uang 6 ribu. Petugas memperkosa seribuku tanpa izin, disumbangkan ke PMI. Setelah berlalu, Aku baru sadar kupon PMI hanya senilai lima ra-tus. Berarti lima ratus

lagi raib. Diperkosa dua kali.

Ada beberapa cara menuju Cirebon. Per-tama dengan bus, setahuku ada yang dari Pulogadung. Ong-kosnya sekitar 30an ribu (tergantung kelas), perjalanan selama

empat jam. Kedua, menggunakan kereta Cirebon Ekspres (Ek-sekutif dan Bisnis) bisa sampai dengan tiga jam saja, tapi biayanya 80 ribu! Itupun baru kelas bisnis. Tentu Aku lebih memilih Arum Tegal, walau mungkin lebih tidak nyaman tapi jauh lebih murah. Itulah enaknya sering berkunjung ke website KAI dan punya banyak teman di banyak daer-ah, jadi bisa mendapat banyak pilihan.

Tepat empat jam Aku sampai Cirebon. Aldi, kawanku, sudah siap dengan motornya di depan stasiun. Sebe-lumnya memang Aku minta tolong untuk dijemput, selain kar-ena sudah malam dan tidak hapal daerah

Cirebon dan Tegal memang

bu-kan menjadi tempat tujuan utama

backpacker. Namun keterbatasan

dana menjadi tantangan tersendiri

yang membuat trip biasa jadi

leb-ih seru. Hanya dengan 186 ribu

saja sudah cukup mengarungi 3

Keraton di Cirebon, Pantai Alam

Indah dan Guci di Tegal, serta

menjelajahi kehidupan dua kota

tersebut selama 3 hari.

Catper

C I R E

G A L

23

Cirebon, juga untuk pengiritan, hihi.

Menginap di rumah Aldi juga termasuk pengiritan, apalagi makan malam dan makan pagi keesokan harinya pun disediakan oleh keluarganya. Bah-kan Aku diantar dari rumahnya ke keraton yang akan kukunjungi. Merasa tidak enak, kuisikan bensin mo-tornya, sepuluh ribu rupiah.

Ada tiga keraton di ko-tamadya Cirebon, yaitu Kacirebonan, Kasepu-han, dan Kanoman. Letak ketiganya sal-ing berdekatan, hanya berselang sekitar 1 km.

Kacirebonan yang ku-kunjungi pertama. Sepi sekali. Aku adalah

pengunjung satu-sat-unya.

Se-orang Ibu tua sedikit kata

mengham-piriku dan mengajak masuk ke dalam ru-angan ge-lap

berde-bu dengan foto raja nyengir. Kalau tidak ada plang Keraton, tempat itu lebih mirip rumah hantu. Perabot-perabot tua sudah duduk manis di teras dan di dinding. Ibu tua tersebut bisa dibilang

kuncen keraton. Dia membuka setiap ruan-gan yang ingin kulihat. Banyak kursi antik

terlihat, satu lemari kaca, ada kumpulan uang ru-piah zaman dulu yang masih menggunakan satuan sen, baik kertas maupun logam. Salah satu ruangan memuat perabot musik. Namun yang kukenal cuma gamelan, selebihnya masih alat musik

pu-“Dulu, orang yang

sudah dibunuh

dengan keris ini

rambutnya dipotong

sebagian untuk

ditempel di pangkal

keris.”

Guci dari atas bukit

24

tulisan dan foto : Muhammad Iqbal

(14)

meneruskan budaya musik lokal.

Menjelang pulang, Aku diminta mengisi buku tamu. Ibu tua tadi memberikan selembar kertas tentang sejarah Keraton Kacirebonan. Kutanya, “Untukku?” Dia mengangguk. Aku selipkan 6 ribu rupiah di buku tersebut. Sep-ertinya Ibu itu cukup senang menerimanya. Tidak seperti Kacire-bonan, Keraton

Kasepuhan punya tarif khusus. Tiga ribu rupi-ah untuk manusia dan dua ribu rupiah untuk kamera. Tempatnya cukup ramai, rapi, dan luas. Wajar kalau tarif ditetapkan.

Beruntung, waktu itu

Aku datang ketika ker-is-keris koleksi keraton sedang dibersihkan. Ada kemenyan beras-ap dan potongan-po-tongan jeruk nipis yang bertaburan di sekeliling mereka yang sedang membersihkan. Ada satu keris yang pada pangkal bawahnya ada juntaian rambut. Aku tanya, “Itu apa mas?” Dijawab, “Dulu, orang yang sudah dibunuh dengan keris ini ram-butnya dipotong se-bagian untuk ditempel di pangkal keris.” Kok terdengar sarkastik ya?

Rehat sejenak, Aku menuju ke tempat re-komendasi kawanku, kumpulan kios untuk

“moci”. Moci adalah budaya minum teh dari Tegal. Teh yang di-gunakan jenis tubruk. Dimasukkan dalam poci dari tanah liat. Tahukah kawan, poci yang digunakan tidak pernah dicuci! Sambil meracik, penjual teh poci itu berkomentar “Makin berkerak hitam makin nikmat mas.” Memang betul, bagian dalam poci itu kelam stadium empat!

Gula yang digunakan adalah gula batu. Baru kali ini Aku melihat ada jenis gula ini. Ben-tuknya seperti bong-kahan kristal sebesar telur puyuh, memenuhi gelas yang juga dari tanah liat. Gelas itu tak lebih besar dari gelas belimbing. Kalau kebi-asaannya begini, hati-hati diabetes kawan. Satu poci berharga lima ribu rupiah. Cu-kup menyenangkan rehat sambil moci. Aromanya, rasanya, menenangkan sekali. Orang Tegal akrab dengan teh Wasgitel: wangi, sedap, legi,

25

Mudi-mudi berlatih musik tradisional di Keraton Kacirebonan

kentel.

Lanjut ke Keraton Ka-noman. Letaknya di tengah-tengah pasar Kanoman. Bayangkan keraton di tengah-tengah pasar! Betul, sangat tidak nyaman. Tempatnya juga kotor, kurang terawat. Kolek-sinya tidak terlalu ban-yak. Tidak ada alasan kuat untuk berlama-lama di dalamnya. Sudah sore, dalam itinerary-ku, malam ini sudah harus sampai Tegal. Segera berge-gas membeli 2 kg jeruk untuk oleh-oleh Aldi dan keluarga, lalu beranjak menuju termi-nal Cirebon.

Pengamen di terminal Cirebon menyebal-kan. Selama bus nge-tem sekitar setengah jam, ada sekitar 10 pengamen. Naik tu-run tanpa jeda. Minta dengan memaksa. Dia colek-colek. Calo bus pun tak jelas, tarif ber-beda tiap penumpang. Tadinya Aku ditembak dua puluh ribu untuk sampai Tegal. Kuta-war, akhirnya sampai

di angka sebelas ribu. Perjalanan bus tidak sampai dua jam. Sebelumnya, Aku su-dah janjian dengan kawanku untuk dijem-put di halte depan Mal Pacific, mal paling besar di Tegal. Aku diajak tidur di masjid. Tapi sebelum tidur, Aku mampir di war-ung terdekat untuk makan nasi Lengko, makanan khas Tegal. Semacam pecel, tapi unsur sayurannya leb-ih sedikit. Cuma ada tahu, tempe, dan tauge yang dibaluri bumbu kacang. Ditemani mi-numan jeruk hangat Aku cukup membayar tujuh ribu.

Sebelum matahari bersinar gagah kee-sokan harinya, Aku sudah keluar menuju pasar pagi untuk hunt-ing teh tubruk tradis-ional. Merk-merk Poci, Tong Tji, Guji, Gopek, Pecco, 2 Tang dapat dengan mudah ditemu-kan. Kalau di Jakarta sulit sekali mencarin-ya. Sekali lagi dengan bendera pengiritan,

Aku memilih jalan kaki. Walau berjarak 2 km menuju pasar ini, tak apalah. Kalau naik be-cak akan kena sekitar 10 ribu. Sayang. Hehe. Menuju Pantai Alam Indah (PAI) Aku juga berjalan kaki, sekitar 2 km lagi dari pasar pagi. PAI adalah pan-tai yang paling bagus di Tegal. Tapi biasa-biasa saja menurutku. Cuma ada satu yang spesial, yaitu restoran di tengah pantai, di atas kapal besar. Tapi sekarang, pukul dela-pan pagi, belum buka. Menuju kapal terse-but, ada jalan khusus yang terbuat dari kayu, panjangnya sekitar 100 meter menuju laut. Di ujung jalan ini angin cukup kencang. Lampu-lampu antik di-pajang di pinggir jalan tersebut, berderet rapi. Sepertinya indah kalau malam.

Satu tempat yang ka-tanya jadi objek wisata andalan di Tegal: Guci. Merupakan nama satu wilayah 40 km di se-latan Tegal,

(15)

Keris berbulu

di Keraton Kasepuhan

anya gunung Slamet. Menuju ke Guci, per-tama dengan bus kecil tujuan Bumiayu turun di Yomani. Busnya aneh, hanya enam be-las tempat duduk. Se-bagai perbandingan, Metro Mini punya lebih dari dua puluh tempat duduk. Tarifnya lima ribu rupiah dengan lama perjalanan satu jam.

Dari Yomani, lanjut dengan bus macam itu lagi, menuju Tu-wel. Perjalanan seten-gah sampai satu jam. Jalannya menanjak, menyenangkan sekali. Jalannya sudah as-pal mulus, dua jalur. Kanan kiri jalan selalu menghidangkan pepo-honan dan gunung. Sesekali saja bata dan beton.

Di Tegal, jarang yang menggunakan Bahasa Indonesia. Bahasa Tegal adalah bahasa Jawa blekok-blekok, istilahku. Banyak ter-dengar huruf “k” yang di-qolqolah-kan dan banyak apostrof. Se-tiap kalimat bagiku

selalu terdengar meng-gantung, seperti belum habis terucap.

Di perut bus, kondektur bicara padaku setelah kuberi lima ribu, “bla bla…blekok-blekok…. bla bla...PITUNGEWU MAS…

blekok-blekok…” Cuma dua kata yang kutangkap, PITUNGEWU MAS. Untungnya ini terden-gar seperti inti kalimat-nya. Aku ingat wong pitu. Tujuh. Mungkin tujuh ribu. Kujawab, ”Limangewuooo.” Agak ragu, apa lima dalam bahasa Jawa lima juga ya? Di akhir kalimat, Aku panjangkan den-gan lambaian “ooo”. Demikian yang sering kudengar dari Falakh, kawan kuliahku yang dari Tegal. Kuikuti saja.

Tuwel adalah titik tera-khir sebelum mengga-pai Guci. Satu-satunya transportasi umum yang bisa dipakai ada-lah pick up. Warga Guci dan sekitarnya mengandalkan per-tanian sebagai motor ekonominya. Pick up

mereka gunakan un-tuk mengangkut hasil pertaniannya. Jangan heran kalau tiap lima menit ada pick up yang lewat sehingga dijadi-kan alat transportasi umum, walaupun plat hitam.

Ongkos pick up Tuwel-Guci sebesar sepuluh ribu. Tak perlu bayar tiket masuk Guci lagi. Jaraknya sekitar 6 kilo. Kacang tanah, wor-tel, dan kol melambai sepanjang perjalan-an. Gunung Slamet mengintip lewat kabut tebal di sebelah kiri. Gunung Traju di sebe-lah kanan. Aku babak belur diberikan pe-mandangan hijau me-nenangkan.

Sayang tidak kuta-war lebih jauh. Geram sekali mendengar in-formasi warga bahwa tarif pick up itu stan-darnya 3 ribu saja. Terakhir Aku baru tahu, masalah tawar-menawar, dengan orang Tegal, jangan tanggung-tanggung. Jangan percaya orang yang baru dikenal,

coba konfirmasikan dengan orang lain. Sampai di Guci, ra-mai sekali. Kebetulan memang sedang libur natal. Aku cuma mer-endam kaki setengah betis, rileks, layaknya diurut. Sensasi kon-trakafein terpapar ke seluruh tubuh meresap sampai ke jaringan saraf. Air yang lewat tidak satu suhu. Ka-dang dingin, kaKa-dang hangat, tapi tidak per-nah panas.

Merasa tidak puas hanya merendam be-tis, Aku menuju bukit, hanya jalan setapak kecil yang tersedia. Menanjak sekitar 300 meter dari pemandian air panas yang jenuh

manusia itu. Lebih nikmat menikmati Guci dari atas sini. Tanam-tanaman warga ber-deret rapi. Syahdu luar biasa.

Kembali ke Tegal. Malamnya Aku ber-jalan menuju alun-alun. Di manapun itu, yang namanya alun-alun selalu ra-mai lancar. Seluruh iklan di sekelilingnya adalah iklan teh.

Bah-punya fasilitas moci. Di Tegal, teh jauh lebih favorit daripada kopi. Gula batunya betul-betul eksotis. Teh yang dimasukkan ke

da-lam gelas makin da-lama makin manis seiring larutnya gula. Mung-kin mirip perjuangan hidup, pahit di awal, (semoga) manis di akhir…=)

27

Pengeluaran:

Arum Tegal (Senen-Prujakan) 14.000

Bensin 10.000

Sumbangan di Kacirebonan 6.000 Tarif 1 orang+ 1 kamera 5.000

Jeruk 2 kg 20.000

Angkot (Kanoman-rumah Aldi) 3.000 Angkot (rumah Aldi-terminal Cirebon) 2.000 Bus Cirebon-Tegal 11.000

kan ada yang na-manya Taman Poci. Sebegitu cintanya masyarakat Tegal dengan teh.

Jangan pernah lewatkan moci di malam hari. Di jalan Ahmad Yani, setiap malam berjamuran lapak kaki lima. Sekitar 30% nya

28

(16)

Hari ini pukul 8 pagi, Jakarta telah ramai dengan kesibukannya. Wilayah Sudirman – Thamrin sebagai pusat kegiatan bisnis Ibukota pun telah memulai

perputaran uangnya. Namun, coba lihat sebuah jalan yang mendunia, jalan sepi yang padat ketika matahari tergelincir, Jalan Sabang namanya.

Bangkok punya Khao San Road. Bali punya Jalan Kuta. Jakarta tidak akan pernah mau kalah, ada pula yang namanya Jalan Jaksa. Na-mun, ehem, mungkin pernyataan dari seorang blogger asing berikut agak membuat dagu kita menun-duk:

“On Khao San, you can’t escape the neon signs and seizure-induc-ing strobe lights. On Jalan Jaksa, all they have is one sad looking banner spelling out the name of the street in sagging and half burnt-out Christmas lights. On Khao San, everyone drinks like it’s New Year’s. On Jalan Jaksa, everyone drinks because if they stop drinking, they’ll remember they’re on Jalan Jaksa.”

Haha. Agak menggelikan. Tapi, su-dahlah, mungkin penulisnya orang Jerman yang hobi mabuk. Kita

bu-kan bangsa pemabuk, bubu-kan?

Jalan Jaksa terletak tepat di jantung kota, dekat dengan pusat perbelan-jaan Sarinah. Cukup berjalan kaki 5 menit dari Stasiun Gondangdia. Juga tidak jauh dari Stasiun Gam-bir, salah satu stasiun terbesar di Indonesia. Bertetangga dengan Pusat Jajanan Jakarta: Jalan Sa-bang.

Apabila kita menelusuri Jalan Jak-sa, kita tidak akan menemui banyak perbedaan dengan jalan-jalan lain-nya, terutama di siang hari. Kec-uali, kita akan sesekali berpapasan dengan ‘bule’ di trotoar dan melihat beberapa dari mereka sedang asyik membaca Jakarta Post dan memi-num secangkir kopi di dalam kafe sepanjang Jalan Jaksa.

Selain di Jalan Sabang, Jalan Jak-sa sendiri juga memberikan banyak pilihan makanan, mulai dari indomie

On The Spot

Jalan Jaksa

:

400m untuk Seluruh Dunia

rebus dan nasi uduk dengan harga Rp5 ribu sampai rumah makan yang harganya berkisar Rp15-25 ribu. Harga yang sangat masuk akal dan ter-jangkau. Apalagi untuk sebuah daerah yang menjadi kawasan wisatawan mancane-gara (wisman).

Sebuah gedung yang lebih mirip rumah dengan bilboard besar bertu-liskan “Media of Tourism’s” bisa menjadi sumber informasi bagi se-luruh wisman. Gedung tersebut ada berkat kerja sama

empat perusahaan wisata. Segala jenis informasi wisata ada di situ. Penerban-gan domestik dan paket dari Travel Agent bisa deal di tempat itu juga. Telepon umum dan warnet pastinya juga ada. Standar tarif warnet di Jalan Jaksa adalah Rp10 ribu per jam.

Jaksa Cinthiya Book menjadi salah satu ciri khas Jalan Sabang. Walau tidak semegah Gramedia, tapi

mungkin koleksi buku dari Inggris, Belanda, Jerman, Swedia, dan

ban-yak negara lain lebih lengkap dari koleksi Gramedia Matraman seka-lipun. Beberapa buku yang tampak, yaitu The Fight Club karya Chuck Palahuik, Love in The Time of

Chol-era karya Gabriel Garcia Marquetz. Mudah menemukan buku-buku berba-hasa selain Baberba-hasa Indonesia dan Ba-hasa Inggris. Uniknya lagi, buku yang dibeli di toko ini bisa di-jual kembali dengan harga 50% dari pem-belian. Barter buku merupakan hal yang

wajar di sini.

Sejarah Jalan Jaksa

Disebut Jalan Jaksa karena jalan tersebut adalah tempat tinggal siswa-siswa sekolah hukum (Re-chts Hogeschool) pada masa

ko-Kisah Jalan Jaksa yang

sebenarnya dimulai pada

tahun 1968. Seorang

pria bernama Nathanael

Lawalata yang menjabat

sebagai Sekjen Indonesia

Youth Hostel Association

membangun beberapa

kamar di rumah yang

mereka tinggali untuk

disewakan.

30

29

(17)

lonial. Namun, kisah Jalan Jaksa yang sebenarnya dimulai pada ta-hun 1968. Seorang pria bernama Nathanael Lawalata yang menjabat sebagai Sekjen Indonesia Youth Hostel Association membangun beberapa kamar di rumah yang mereka tinggali untuk disewakan. Hostel itu adalah penginapan per-tama yang berdiri di Jalan Jaksa, namanya Wisma Delima.

Tamu pertama dari Wisma Delima adalah sepasang backpacker yang mengetahui tempat tersebut dari database International Youth Hostel Association. Padahal pada saat itu Wisma Delima masih dalam tahap pembangunan dan belum ada ka-mar yang siap untuk menampung mereka. Tapi kedua backpacker tersebut berkata bahwa mereka hanya butuh lantai untuk tidur. Itu-lah kisah awal dari jalan Jaksa yang kita kenal sampai saat ini.

Kisah Backpacker di Jalan Jaksa

Backpackin’ mencoba mendalami opini seorang wisman yang sedang bertempat di Jalan Jaksa. Gadis berkebangsaan Jerman itu berna-ma Katrina. Suatu hari dia melaku-kan sebuah perjalanan ke Kuba dan bertemu dengan seorang pria dari Spanyol bernama Ruben. Mer-eka pun berjanji untuk melakukan perjalanan bersama mengelilingi Asia Tenggara suatu hari nanti. Petualangan dimulai. Saat Back-packin’ menemui mereka, pada awal 2010 kemarin, telah empat bu-lan mereka melintasi negara-nega-ra anggota ASEAN. Laos, Vietnam, dan Thailand telah mereka jelajahi. Hari itu mereka baru saja tiba di Jakarta dari Phuket.

Tak langsung memutari jalan Jaksa untuk mencari tempat menginap, dengan memanggul ransel besar di punggungnya, mereka mencari tempat duduk di kafe untuk

ma-kan. Katrina menunggu selama Ruben mencari pengi-napan.

Sebenarnya tidak sulit un-tuk mencari penginapan yang murah di tempat itu, hanya ber-jalan sepuluh sampai lima

Katrina: Kami rasa tidak terlalu bagus. Sebagai contoh di Laos dan Vietnam, dengan 8 Euro (setara dengan Rp100 ribu), kami menda-pat kamar dengan fasilitas yang bagus dan tempat yang bersih. Sedangkan disini dengan harga yang sama, kamarnya tidak terlalu nyaman karena kotor dan tidak pu-nya fasilitas yang memadai seperti lemari pakaian.

Ruben di dalam kamar sederhananya,

belas menit pun kita sudah dapat menemukan beberapa tempat yang menyediakan kamar. Tapi entah kenapa Ruben selalu keluar dari penginapan dengan muka kecewa. Berikut wawancara singkat Back-packin’ dengan mereka:

Backpackin’ (BP): Bagaimana menurut kalian tentang kualitas penginapan di Indonesia?

(18)

BP: Ruben, kenapa sih sulit sekali buat kamu untuk menemukan ka-mar? Walaupun sebenarnya harga tidak terlalu bermasalah bukan?

Ruben: Hmmm.... tidak bagus. Karena selain tempatnya yang ko-tor, saya merasa tempatnya kurang nyaman dan aman. Selain paka-ian, di dalam ransel ini pun terdapat notebook dan beberapa benda ber-harga lainnya. Saya ingin tempat yang saya tinggali bisa membuat saya merasa aman dan nyaman. Mungkin kalau saya hanya tinggal selama satu atau dua hari di sini, saya tidak akan bermasalah den-gan kualitas penginapan tersebut. Tetapi saya akan tinggal di sini se-lama beberapa hari dan saya mau penginapan itu... yaaa tau lah.

BP: Dan kamu tidak merasa kalau penginapan – penginapan di jalan Jaksa bisa memberikan hal terse-but?

Ruben: Hmmmm... Tidak.

Rp20 Ribu per Malam

Berani mengatakan pusat men-daratnya backpacker dunia, be-rarti berani memberikan fasilitas penginapan murah. Sepanjang jalan, ada lima hotel dan delapan hostel/wisma. Tiga yang akan diba-has sekilas: Wisma Delima, Nick’s Hostel,d an Tator Hotel.

Wisma Delima bisa dibilang menja-di yang paling menja-dikenal menja-di Jalan Jak-sa. Wajar saja, karena wisma inilah yang menawarkan jasa akomodasi pertama kali bagi wisatawan asing di Jalan Jaksa, seperti dijelaskan di atas. Empat belas kamar tersedia di dalamnya. Kamar dengan dua ka-sur dihargai Rp50 ribu sedangkan kamar satu kasur Rp30 ribu.

Nick’s Hostel punya harga yang cukup bersaing. Kamar dengan kipas angin dan kamar mandi da-lam dibandrol Rp65-70 ribu. Kamar ber-AC dengan kamar mandi di luar dibandrol Rp70 ribu. Kalau mau pengiritan, bisa menyewa kamar dengan 4 kasur, kipas angin, dan kamar mandi dalam, per orang han-ya Rp20 ribu.

Menarik memasuki Tator Hotel. Tator adalah singkatan dari Ta-nah Toraja yang terkenal dengan kuburan batunya itu. Kamar dengan fasilitas kasur besar, AC, kamar mandi dengan air panas dihargai Rp110 ribu. Berkurang Rp5 ribu kalau fasilitas air panasnya dihilan-gkan. Kamar standar dengan ka-sur besar, kipas angin, dan kamar mandi dihargai Rp90 ribu. Dengan fasilitas sama, kalau kasur single, harganya menjadi Rp70 ribu.

Penyejuk udara menjadi fasilitas wajib di Jalan Jaksa. Mungkin kare-na kebanyakan wisman berasal dari

negeri empat musim. Kalau kita bermain ke blog wisman yang ber-bicara tentang Jalan Jaksa, dengan mudah kita akan temukan ke-luhan panas begitu mengganggu. Juga keluhan tikus dan ke-coa yang berkeliaran di waktu malam.

Festival Jalan Jaksa

Sudah menjadi agenda tahunan, Pemerintah Kota Jakarta mengada-kan festival di sepa-njang Jalan Jaksa. Biasanya berlangsung berhari-hari. Di dalam-nya, kita bisa melihat seni dan kebudayaan Betawi, mulai dari tari bandar Jakarta, wayang barata, hingga layar tancap. Kata “Gratis” menjadi gula

bagi warga Jakarta untuk menikma-ti fesmenikma-tival ini. Para backpacker tentu tidak akan melewatkannya.

Lonely Planet Indonesia menye-butkan festival ini selalu ada tiap bulan Agustus. Namun, tahun 2009 kemarin, festival berlangsung sejak pertengahan Juli. Gubernur diberi kesempatan untuk menyampaikan sambutannya dalam pembukaan

34

33

Wisma Delima, wisma per-tama di Jalan Jaksa,

(19)

dengan orang yang sama sekali asing (saya).

Kalau tamu luar kebanyakan dari Eropa. Tamu dari dalam biasanya seputaran Jawa dan Sumatra.

BP: Seru nih kalau bisa dengar pengalaman paling menyenang-kan dan menyebalmenyenang-kan selama jadi host?

NM: Menyenangkan ketika saya duduk di teras rumah, minum teh dengan 10 tamu berbeda ketika berbicara tentang satu negara/tem-pat yang sama. Keragaman infor-masi dan pengalaman mereka lebih hebat daripada Google atau Lonely Planet sekalipun. Dan itu gratis :) Yang menyebalkan kalau lihat tamu yang datang dan berharap konsep jaringan silaturahmi seperti hotel service. Terutama traveller barat yang memandang keramahan Asia seperti penyembahan dan perbu-dakan. Susahnya, orang Indonesia punya budaya ‘tamu adalah raja’.

BP: Kalau selama jadi traveler? Pernah ada host yang servis ha-bis-habisan mungkin?

NM: Tahun 2007 awal saya di jem-put dengan Porsche dari Munich Jerman dengan host saya yang tinggal di Innsburck Austria. Itu sama dengan jauh-jauh di jemput dari airport changi di Singapura ke

Jakarta. Saya cuma melongok ng-gak percaya.

BP: Gimana ceritanya bisa terpil-ih jadi Country Ambassador CS?

NM: Tahun 2007, ada pengalaman menarik di Italia yang menginspira-si saya membangun jaringan menginspira- sila-turahmi di Indonesia. Iseng-iseng saya melamar jadi City Ambassa-dor (duta nusa). Saya percaya kon-sep every member is an ambassa-dor of any organisation, jadi tanpa status ambassador pun saya sudah berniat jadi sukarelawan.

Di akhir 2007, saat sedang melaku-kan trip sepanjang jalur selatan Australia, saya mendapat berita pengajuan lamaran saya diterima dan sepulang ke rumah (2008) saya belajar tentang menjadi duta nusa lalu mengadakan acara si-laturahmi resmi CS pertama yang sesuai konsep CS (open house) di tempat saya sendiri.

BP: Di Indonesia, peningkatan jumlah anggota CS seperti apa?

NM: Sejak tahun 2005 jaringan silaturahmi Indonesia bisa dibilang mati. Host-nya itu-itu saja dan tamu tidak bergerak dari statistik 200-300 member lokal dengan 100-an traveller (tamu).

Pertengahan 2008, Marina Silvia K mengeluarkan buku Euro Back

36

Dua wadah berbagi komunitas backpacker dunia yang paling hap-pening sekarang, yaitu Couch Surf-ing (CS) dan Hospitality Club (HC) tentunya punya semacam perwaki-lan di tiap negara. Pun untuk In-donesia. Nancy Margaretha diper-cayakan dalam keduanya, menjadi satu-satunya Country Ambassador for Indonesia untuk CS dan satu dari dua Local Coordinator Vol-unteer (LCV) untuk HC. Pastinya banyak cerita dari Nancy tentang jaringan silaturahmi di Indonesia dan dunia. Maka Backpackin’ me-madatkannya dalam perbincangan berikut:

Backpackin (BP): Sampai punya jabatan segitu tingginya, pasti sudah banyak orang yang da-tang berkunjung ke rumah?

Nancy Margaretha (NM): Rekor saya menerima tamu itu di awal 2009 dengan 3 hari berturut-turut kurang lebih 130 tamu datang dan pergi dari dalam dan luar negeri. Waktu itu saya memang membuka rumah karena tradisi open house awal tahun.

Waktu open house itu, ada yang bikin saya terharu biru menangis. Seorang anggota dari Sulawesi mampir ke rumah karena mau had-ir. Butuh tekat kuat buat anggota Indonesia bisa menyebrang lautan hanya karena ingin bersilaturahmi

Nancy Margaretha

CS Melebihi

Google dan

Lonely

Planet

Tokoh

(20)

oleh Muhammad Iqbal

sumber foto: Nancy Margaretha Pack Backpacking Eropa 6 bulan

dengan 1.000 dollar sebagai tulisan pertama berbentuk buku yang men-gulas jaringan silaturahmi. Padahal cuma satu kata CouchSurfing.com dari ratusan halaman bukunya, tapi dampaknya luar biasa. Kami, para duta, dibanjiri ribuan anggota baru. Tahun 2009, bersama sukarelawan lainnya, formula-formula pengem-bangan komunitas sudah berjalan sendiri. Akhir tahun 2009 malah kompas mengulas satu halaman penuh ttg CS.

BP: Begitu gampangnya masuk jadi anggota CS dan HC, jangan-jangan di dalamnya jadi ajang cari kawan?

NM: CS memang ajang cari kawan atau teman seperjalanan. Yang perlu diketahui, pertama, CS bukan komunitas Friendster atau Face-book yang menunjukkan keabsa-han Anda memiliki teman TANPA Anda pernah bertemu secara lang-sung.

Jadi nggak ada tuh yang namanya punya friendlist puluhan ribu sam-pai harus pakai account Nancy satu, Nancy dua…. Kalau ada yang begitu berarti bohong besar. Admin CS biasanya menyelidiki keabsa-han profil seperti ini di CS.

Yang kedua, CS bukan website biro jodoh. Terus terang saya bi-lang, kalau cuma mau cari bule

untuk dikawinin lewat CS, silakan berhadapan keras dengan saya. Saya tidak setuju misi-misi tersem-bunyi yang hanya mempermalukan derajat bangsa seperti itu.

Yang ketiga, CS itu bukan komuni-tas monetary exchange. Ini organ-isasi nirlaba. Apapun bentuk peni-puan dan komersialisme yang tidak sejalan dengan konsep jaringan silaturahmi di CS pasti ketahuan dan kami sudah ada aturan khusus dengan pelanggaran komersialisme dalam komunitas. Saya rasa justru inilah yang membuat CS di percaya bertahun-tahun di seluruh dunia.

BP: Saya dengar, ada rencana mau menerbitkan buku ya?

NM: Betul, saya sedang persiap-kan buku traveling keliling Eropa dengan budget 500 ribuan/bulan. Ini bukan buku traveling yang men-ceritakan tempat dan seterusnya. Lebih kepada motivational book bahwa segalanya mungkin. Dalam buku ini, konsep jaringan silatur-ahmi cukup lengkap saya tuliskan, termasuk yang ada dalam pertan-yaan di wawancara ini.

BP: Wah, menarik banget. Kami tunggu jatah untuk medianya, hehe.

(21)

”Apa ngga ribet tuh? Kan mereka masih kecil?” ”Kepengen sih, tapi gimana caranya ya? Kan mereka udah kebiasaan dilayanin kalo nga-pa-ngapain. Apa bisa ajak mereka jalan jauh dan masak sendiri?”

Jawabannya, bisa! Se-bagian orang merasa kalau sudah memi-liki anak akan ribet melakukan aktifitas backpacking. Padahal sesungguhnya, berpet-ualang dengan anak-anak di alam bebas

justru akan menjadi pengalaman yang me-nyenangkan, berman-faat, dan anak-anak pasti menyukainya! Meskipun harus ber-jalan lebih jauh dari biasanya, dan

mem-Camping Bareng

Anak-Anak

bawa barang lebih berat dari biasanya, anak-anak memiliki semangat yang sangat tinggi untuk berpetu-alang. Apalagi kalau dilakukan di alam be-bas yang belum per-nah mereka kunjungi sebelumnya. Anak-anak selalu suka den-gan hal-hal yang baru. Hutan, pohon, rumput, air terjun, semua itu akan menjadi taman bermain baginya, me-nyehatkan bukan?

Berikut ini adalah hal-hal yang perlu diperha-tikan ketika mengajak anak-anak backpack-ing (untuk usia 6 – 16 tahun):

1. Lakukan latihan sederhana sebelum berangkat, seperti membiasakan anak jalan kaki dengan jarak

yang jauh, membawa tas ransel sendiri, dll.

2. Bangun tenda di halaman rumah atau di dalam rumah dan ajak anak Anda untuk tidur di sana agar ia terbiasa dengan ‘tem-pat tidur’ barunya di alam bebas nanti.

3. Biarkan anak-anak melakukan apa yang Anda lakukan ketika backpacking, seperti membawa ranselnya sendiri (dengan berat yang wajar tentunya), mendaki sendiri, ikut membangun tenda, dan lain sebagainya. Membatas-batasi mer-eka hanya akan mem-buat anak jadi manja dan Andapun jadi re-pot. Hanya saja ber-siaplah untuk istirahat lebih lama dan lebih sering ketika

melaku-Lakukan latihan sederhana sebelum berangkat

Bangun tenda di halaman rumah dan ajak anak

Anda untuk tidur di sana

Biarkan anak-anak melaku -kan apa yang Anda laku-kan Tularkan semangat ke anak Libatkan anak-anak dalam mengambil keputusan

Sumber:

http://www.rei.com/expertadvice/articles/backpacking+kids.html

Tips

39

kan perjalanan jauh. Berikan anak Anda waktu yang cukup untuk istirahat ketika mereka merasa lelah.

4. Bersemangatlah!

Tularkan juga seman-gat itu ke anak seh-ingga rasa lelah akan terlupakan oleh mere-ka. Persilakan mereka untuk mengajak teman jika mereka mau. Te-man akan dapat mem-buat perjalanan jadi lebih bersemangat dan tidak membosankan bagi mereka.

5. Libatkan anak-anak dalam mengam-bil keputusan. Seperti menentukan barang apa saja yang akan dibawa ketika packing, memilih tempat untuk membangun tenda, dll. Dengarkan pendapat mereka.

Mengajak anak-anak camping bersama memiliki banyak sekali manfaat. Selain mem-pererat hubungan antara Anda seke-luarga dengan alam,

aktifitas ini juga dapat melatih kemandirian dan kepercayaan diri anak. Berpetualang di alam juga baik untuk kesehatan, sekaligus menambah wawasan dan menumbuhkan rasa cinta akan alam sejak dini. Jadi, tunggu apa lagi? Ayo ajak anak anda kemping bersama!

Beberapa rekomen-dasi tempat untuk kemping sekeluarga: 1. Lido, Sukabumi 2. Taman Nasional Gunung Halimun 3. Sukamantri, Bogor

(22)

Seorang pramusaji sigap merapikan meja panjang di lan-tai dua Rumah Ma-kan Warung Desa Dua deret bangku berjejer rapi. Di atas meja sudah tersedia makan malam peng-gugah selera: kakap asam-manis, sayur kangkung, gurame goreng, juga bebera-pa mahluk laut lain-nya. Para pemang-sanya adalah kami, para anggota Back-packer Indonesia (BI). Ini kali kesekian BI mengadakan kum-pul-kumpul di Jalan Sabang, Jakarta.

M

akan-ma-kan pada rembulan 22 Desem-ber kali ini bukannya tanpa tujuan. Kami di sini untuk meresmikan Backpackin, sebuah

majalah elektronik godokan BI. Lima ger-hana kami habiskan untuk mengonsepnya semenarik dan seinfor-matif mungkin.

Ide majalah ini terce-tus oleh Jeremy Ge-marista. Kemudian tak perlu ia susah-susah menggaet tim redaksi, karena tak sedikit yang ingin menyum-bangkan tulisannya ke Backpackin’. Tim redaksi lalu terisi oleh 12 orang. Sudah ada pembagian tugas yang jelas di dalamnya.

Lalu di sinilah kami sekarang, membukti-kan bahwa kami bisa. Backpackin muncul

Info BI

dengan wujud PDF, agar mudah diunduh. Tiga puluh dua kepala hadir malam ini. Pu-kul 20.00 WIB acara dimulai, telat satu jam karena asyiknya ber-cengkrama satu sama lain. Tawa terdengar dari sana-sini. Yang di ujung sana berteriak pada yang di ujung sini. Namun, semuan-ya memperhatikan ketika Jeremy memulai acara dengan perke-nalan E-Zine (electron-ic magazine) kami.

Sebuah LCD besar di dinding memperli-hatkan satu per satu halaman E-Zine. Mulai dari Cover, Editorial,

Meresmikan

Backpackin’

Catper, sampai Info. Sebelum itu, Jeremy juga memperkenalkan masing-masing ang-gota redaksi. Air muka kami sangat menun-jukkan kelegaan. Se-nyum selalu tersung-ging dan wajah kami sumringah.

Perkenalan E-Zine disambut cukup baik. Support dari kawan-kawan lainnya serasa oase bagi kami. Set-elah itu, acara diambil alih oleh Nizar. Nizar adalah salah satu ang-gota tim redaksi. Acara ini dijadikannya ajang perpisahan karena dirinya akan pindah ke negeri adidaya nun jauh di sana. Tanpan-ya, tak akan ada acara makan-makan enak, hihi.

Menyadari kenyataan akan berpisah dengan Nizar, kami bukannya menunjukkan wajah sedih. Beberapa orang mulai ber-shalawat dan kami mulai berba-ris. Bersalam-salaman ala hari raya Idul Fitri!

Nizar yang awalnya memasang raut kes-edihan, seketika terta-wa. Walaupun terpisah jauh, kami yakin akan bertemu lagi dengan Nizar.

Perpisahan Nizar di-akhiri dengan bunyi piring yang recok den-gan sendok-garpu. Beberapa kali tambah es teh manis. Suasana terasa sungguh han-gat. Dua jam terasa terlampau cepat. Tepat pukul 22.00 kami be-ranjak pulang, berkata pada yang lain jangan lupa memberi kabar. Aku, memberi selamat pada diri sendiri kar-ena satu tahap telah terselesaikan.

42

41

oleh :Sri Anindiaty Nursastri

(23)

=

of

Unknown

-,

, and

Camping The Art

Nature

Cold

Beverages

Hot Shower Flush Toilet

getting closer to

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Hardjowigeno (2007), permeabilitas adalah kecepatan laju air dalam medium massa tanah. Sifat ini penting artinya dalam keperluan drainase dan tata air tanah.

Hasil karakterisasi asam humat hasil ekstraksi cair-cair tanah gambut fibrik dan hemik dengan menggunakan FTIR menunjukkan adanya kesamaan gugus fungsi dengan asam

Kecuali apa yang dinyatakan oleh saya di perenggan 3 hingga 4, pada pendapat saya, Penyata Kewangan ini memberi gambaran yang benar dan saksama terhadap kedudukan

(4) Penentuan masa manfaat Aset Tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan berpedoman pada masa manfaat Aset Tetap yang disajikan dalam tabel masa

Wawancara dipergunakan untuk menggali secara meluas dan mendalam data atau informasi yang diperlukan mengenai komunikasi interpersonal yang dilakukan antara orang tua dengan

Dari fenomena tersebut penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut tentang simbol-simbol agama Hindu yang ada di Candi Sukuh tersebut, yang nanti dapat diketahui apa dan

LAILATUR ROFI'AH SURABAYA. 818201427

Masyarakat sepakbola kota Semarang, khususnya yang tergabung dalam fans club Panser Biru, pasti memiliki penilaian atau persepsi tersendiri terhadap pelatih yang pantas untuk