• Tidak ada hasil yang ditemukan

1 TANAH DI KERATON SURAKARTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "1 TANAH DI KERATON SURAKARTA"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

TANAH DI KERATON SURAKARTA

(Studi Sosiologi Mengenai Konflik Atas Kepemilikan dan Penguasaan Tanah di Lingkungan Keraton Surakarta )

Disusun Oleh: Rizko Kurniawan (0710013029)

Abstract

This study discusses the conflict between Keraton with the impact of migrants from the region occupied the Keraton within the Baluwarti walls by immigrant communities. The purpose of this study was to determine how the dispute over the ownership and control of land in the Keraton Surakarta, namely Baluwarti. The benefit of this research is to increase knowledge about the form of land tenure and land ownership in the Keraton Surakarta, besides the benefits that can be gained is to get the right solution and not ignore the history and culture of the former kingdom lands in Indonesia.

These results indicate that the Keraton Surakarta is one kingdom that has an arrangement of land patterns are very interesting classification of land, while the land in question is paringan dalem ground, palilah anggaduh hereditary ground, palilah anggaduh soil, and mangersari soil. when independent Indonesia abolished the monarchy and became the residency, as well as land tenure turned into an autonomous state controlled. The settings contained in the Basic Agrarian Law of 1960. This law was strengthened with the release of Presidential Decree No. 23 in 1988, which declared Sultan granted the right to run the government while only limited within the palace walls. In terms of land ownership within the palace walls can not be transferred to another person or taken over by the government, for allegedly going against the laws and policies that are protected by the law itself. Such authority is owned by Keraton Surakarta as the theory proposed by Ralf Dahrendorf. However, conflicts over land occurred in the Surakarta Palace this occurs because each "claim" proof of ownership issued by the palace and residents Baluwarti. This is what is being debated within the Baluwarti.

1. Pengantar

Tanah merupakan modal dasar bagi kehidupan manusia. Sebagai sebuah modal dasar, maka tanah memiliki dua fungsi: fungsi produksi dan fungsi non produksi. Kebutuhan akan penggunaan tanah tersebut seringkali berbenturan, mengingat bahwa terdapatnya jumlah luas tanah yang terbatas, pada sisi yang lain terdapat ledakan pertumbuhan penduduk.

Tanah menjadi sangat penting ketika terdapat dua makna atas arti penting tanah.

Tanah dapat diartikan sebagai nilai ekonomi, pada sisi yang lain tanah diartikan memiliki kegunaan non ekonomi (nilai religio-magis tanah). Pada saat itulah memunculkan konflik tanah yang tampaknya tidak mudah untuk dipecahkan.

(2)

merupakan sebuah domein negara. Tanah menjadi sumber bagi pencapaian kemakmuran sebuah bangsa, dan ketika berbicara bangsa maka negara berperan secara aktif dalam pengelolaan dan pemanfaatan tanah. Pasal 33 (3) UUD 1945 memberikan landasan juridis atas penguasaan sumber daya alam, dimana salah satunya adalah tanah. Tanah harus digunakan untuk mencapai sebuah taraf kemakmuran bagi rakyat Indonesia, akan tetapi pada tataran praktik yang terjadi banyak muncul konflik tanah.

Konflik tanah tidak mudah untuk diselesaikan. Hal ini dapat difahami mengingat menguasai tanah bukan sekedar penguasaan atas sebidang objek fisik berupa tanah, melainkan sebuah keyakinan bahwa tanah mengandung nilai religio magis yang kuat di kalangan masyarakat. Masuknya investasi yang memandang tanah sebagai sebuah objek fisik bernilai ekonomi akan berhadapan dengan masyarakat yang masih memandang bahwa tanah tidak sekedar bernilai ekonomis tetapi mengandung nilai sakral, karena di tanah tersebut ia dilahirkan, orang tua dimakamkan, harga diri dimunculkan dalam bentuk penguasaan atas tanah.

Benturan makna atas tanah muncul ketika saling berhadapannyaipso jure versus ipso facto. Ipso jure yang berasal dari konsep hukum barat berhadapan dengan ipso facto yang berasal dari konsep hukum adat. Secara juridis (ipso jure); masyarakat dianggap sebagai pemilik sah atas tanah jika ia sebagai subjek hukum dapat membuktikannya dengan alat bukti hukum berupa surat sertifikat. Tetapi secara ipso facto, masyarakat menganggap bahwa ia memiliki sebidang tanah tidak dibuktikan melalui ada atau tidak adanya surat bukti kepemilikan berupa sertifikat tanah, tetapi dari hubungan intensitas yang terjadi antara manusia dengan tanah, semakin intens ia

berhubungan dengan tanah, maka pengakuan atas kepemilikan tanah tersebut akan semakin kuat. Tidak heran jika di masyarakat seperti di lingkungan Keraton Surakarta tidak memiliki sertifikat kepemilikan atas tanah karena merasa telah memiliki tanah tersebut secara turun-temurun. Turun-temurun menempati sebidang tanah menjadi bukti pengakuan atas kepemilikan tanah.

Dalam hal demikian, maka terjadinya konflik tanah dapat kita sederhanakan penyebabnya: adanya perbedaan pemahaman konsep kepemilikan dan adanya perbedaan makna penggunaan tanah, serta terdapatnya ketimpangan persediaan luas tanah apabila dibandingkan dengan laju pertumbuhan jumlah penduduk. Hal ini lah yang terjadi di Keraton Surakarta, dimana terdapat perbedaan pandangan antara pihak keraton selaku pemilik tanah dan masyarakat pendatang yang menghuni kawasan Keraton Surakarta.

Sebelum kemerdekaan Indonesia, pemerintahan yang ada di Surakarta berbentuk kerajaan. Pada setiap daerah kerajaan tersebut, tanah dianggap milik raja, sementara rakyat hanya memakainya (Anggaduh). Untuk tanah-tanah yang dikuasai dan dipergunakan oleh rakyat, pihak Keraton mengeluarkan peraturan-peraturan. Peraturan yang dikeluarkan oleh pihak Keraton dalam bentuk Rijksblad (Rijksblad Surakarta, tahun 1938 no. 11) yang dalam bahasa jawa disebut “Layang Kabar Nagoro”. (Hardiyanto, 1997: 10)

(3)

penetapan pemerintah no.16/SD/1948 yang berisi tentang pembekuan pemerintah Keraton Surakarta menjadi satu keresidenan. Mulai saat itu tidak ada pemerintah Keraton atau daerah swapraja, yang ada hanya penyebutan bekas swapraja. Demikian pula tanah yang dulu dikuasai oleh Keraton Surakarta berubah menjadi tanah bekas swapraja (Bambang Hardiyanto, 1997: 43,44).

Komplek Baluwarti pada awalnya hanya didiami oleh para pangeran (putra dalem), kerabat Keraton (sentana dalem), dan para abdi dalem baik pria maupun wanita, tetapi pada perkembangan selanjutnya terjadi perubahan dengan banyaknya pendatang yang menjadi penduduk bukan menjadi abdi dalem Keraton dan tidak ada kaitan sama sekali dengan Keraton (masyarakat pendatang).

Dari permasalahan konflik tanah yang dikemukakan tersebut, konflik tanah di lingkungan Keraton Surakarta terjadi karena tidak adanya kepastian hukum atas tanah tersebut, sehingga antara masyarakat dengan Keraton saling “mengklaim” kepemilikan tanah tersebut. Kepemilikan tanah inilah yang memunculkan konflik antara Keraton Surakarta dengan masyarakat pendatang di kawasan Baluwarti. Inti permasalahannya adalah “sertifikat tanah sebagai bukti kepemilikan yang sah” atas tanah di Baluwarti.

Jika Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 yang dijadikan pedoman dalam melihat kasus ini, maka dengan jelas disebutkan bahwa kawasan Baluwarti adalah milik Keraton Surakarta, karena secara adat dan budaya kawasan Baluwarti berada di dalam tembok Keraton Surakarta, yang setelah kemerdekaan Republik Indonesia dan dihapuskannya sistem kerajaan di Indonesia Keraton Surakarta diberikan otonomi khusus untuk tetap memerintah, namun hanya sebatas

kawasan didalam tembok Keraton Surakarta yang berarti mencangkup kawasan Baluwarti.

Namun dalam pelaksanaannya Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 tidak dijalankan secara tegas oleh pemerintah kota Surakarta, karena pada kenyataannya kawasan Baluwarti termasuk dalam 51 kecamatan yang ada di kota Surakarta, sehingga kondisi dilapangan yang terjadi adalah dualisme kepemimpinan,1 yaitu Pemerintah dan Keraton. Dualisme inilah yang menyebabkan “kebingungan” bagi masyarakat Baluwarti, karena tanah yang mereka tempati telah dikeluarkan bukti kepemilikannya oleh pemerintah Surakarta sehingga mereka telah membayarkan Pajak Bumi dan Bangunan. Akan tetapi bagi pihak Keraton tanah tersebut tetap bersifat magersari, sehingga masyarakat juga diharuskan membayar pajak pada Keraton. Hal inilah yang menjadi konflik Keraton dengan warga di Baluwarti.

Permasalahan ini menjadi menarik karena lingkungan Keraton yang bernama Baluwarti ini dulunya sengaja dibangun Susuhunan Paku Buwono II sebagai kawasan tempat tinggal para putra raja, kerabat kerajaan, dan abdi dalem Keraton Surakarta, tapi seiring menyusutnya kekuasaan Keraton Surakarta, saat ini banyak rumah tinggal di lingkungan Keraton (Baluwarti) yang beralih kepemilikan kepada masyarakat pendatang, dalam pembahasan ini peneliti ingin

1Dualisme kepemimpinan ini dapat dilihat dari juga

(4)

mengemukakan bagaimana proses masyarakat pendatang bisa tinggal di kawasan Baluwarti yang seyogyanya merupakan kawasan tempat tinggal kerabat kerajaan berada dalam tembok Keraton Surakarta, serta bagaimana pandangan masyarakat pendatang terhadap kekuasaan Keraton Surakarta terhadap tempat tinggal mereka.

Masalah inilah yang menarik untuk dikaji lebih lanjut. Melalui penelitian yang akan dilakukan ini, peneliti ingin mengkaji masalah konflik tanah di lingkungan Keraton Surakarta. untuk itu penelitian ini berjudul “TANAH DI KERATON SURAKARTA (Studi Sosiologi Mengenai Konflik Atas Kepemilikan dan Penguasaan Tanah di Lingkungan Keraton Surakarta)”.

II. Permasalahan

Berdasarkan paparan yang telah dikemukakan di atas, maka masalah kepemilikan dan penguasaan tanah di lingkungan Keraton Surakarta sangat menarik untuk diteliti. Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana bentuk penguasaan tanah di Keraton Surakarta dan proses konflik kepentingan atas tanah di lingkungan Keraton Surakarta.

III. Hasil dan Pembahasan

Pandangan Budaya Jawa terhadap Kekuasaan Raja

Keraton Surakarta merupakan bentuk pemerintahan feodal yang dikuasai oleh seorang raja. Kedudukan raja dalam konsep kekuasaan Jawa berawal sejak kebudayaan Hindu masuk dan berkembang di Indonesia. Konsep kekuasaan raja di Jawa dikembangkan dalam konsep kekuasaan Jawa. Dalam Babad Tanah Jawi, dapat kita

temukan gambaran apa dan siapakah raja sebagaimana dikemukakan oleh Pangeran Puger (Paku Buwono I). Segala sesuatu ditanah Jawa, bumi tempat kita hidup, air yang kita minum, rumput dan daun dan lain-lain yang ada di atas bumi adalah milik raja. Lebih lanjut Pangeran Puger menjelaskan bahwa raja adalah “warananing Allah” (wakil, proyeksi atau layar atau penjelmaan Tuhan). Berdasarkan uraian tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa raja memegang seluruh kekuasaan negara secara mutlak. Kekuasaan raja adalah proyeksi kekuasaan Allah, sehingga sudah sepantasnya bahwa sifat-sifat Allah yang lain sebagai serba kebaikan harus dapat dirasakan oleh manusia melalui rajanya tersebut.2

Kekuasaan raja menurut konsep Jawa adalah absolut (mutlak), yang dalam bahasa pedalangan dikatakan “gung binathara bau dhendha nyakrawati” (sebesar kekuasaan dewa, pemelihara hukum, dan penguasa dunia). Dalam konsep kekuasaan Jawa tersebut, pemberian kekuasaan yang besar kepada raja diimbangi dengan ketentuan bahwa raja harus bijaksana. Seorang raja harus bersifat “berbudi bawa leksana, ambeg adil para marta” (meluap budi luhur mulia dan sifat adilnya terhadap sesama). Selain itu, tugas raja adalah“anjaga tata titi tentreming praja”, yakni menjaga keteraturan dan ketentraman hidup rakyat demi tercapainya suasana “karta tuwin raharja”(aman dan sejahtera).3

Konsep kekuasaan Jawa, disebut juga doktrin ajaran keagungan binatharaan. Apabila kekuasaan dan tugas raja yang termuat dalam ajaran tersebut dipraktekkan secara tepat, maka orang-orang tidak akan 2 Metamorphose, Nji. 2010. Konsep Kekuasaan

Jawa. Diakses pada world wide web

http://njimetamorphose.blogspot.com/2010/03/konse p-kekuasaan-jawa.html [25 September 2011 10.50 PM]

(5)

mempersoalkan kekuasaan raja yang besar itu pantas atau tidak. Bagi orang Jawa yang menganut konsep tersebut, tidak ada pilihan lain sikap yang harus diambil kecuali “ndherek ngarsa dalem”(terserah kehendak raja).4

Seorang raja yang berkuasa, belum sepenuhnya yakin bahwa rakyatnya akan menaati segala perintahnya. Oleh karena itu perlu ditemukan hal-hal yang dapat mendukung kedudukan mulia dan kekuasaan besar yang dipegangnya. Hal-hal yang dapat mendukung kekuasaan dapat bermacam-macam bentuknya, antara lain keajaiban yang terjadi misalnya, petir disiang hari yang cerah pada pemunculan raja yang pertama, atau restu dari para leluhur, misalnya Ratu Pantai Selatan Pelindung Surgawi dari Gunung Merapi dan Gunung Lawu atau leluhur lainnya.5

Untuk lebih meyakinkan diri bahwa kedudukannya sah, sehingga aman dari ancaman, raja perlu menunjukkan pusaka yang ada padanya sebagai sumber kasekten (kesaktian) bagi dirinya dan kewibawaan bagi pemerintahannya. Bagi masyarakat Jawa, tidak dapat dipahami kalau seorang raja sampai tidak mempunyai pusaka. Karena tanpa pusaka, sulit bagi rakyat untuk mendukung (menjadi pengikutnya), sebab pusaka itu menjadi salah satu sumber kasaktian raja. Dengan menguasai berbagai sumber kasekten, raja akan mampu mengumpulkan begitu banyak kasekten untuk mewujudkan kesejahteran rakyat yang menjadi kawulanya. Orang-orang Jawa beranggapan bahwa kanggonan pusaka (ketempatan pusaka) berarti kanggonan pangkat (untuk memperoleh kedudukan tinggi) dan kanggonan panguwasa (memegang kekuasaan). Demikian itulah gambaran tentang raja dimata orang Jawa, khususnya Mataram. Raja bukan lagi orang

4Ibid, 5Ibid,

biasa, melainkan orang yang terpilih, orang yang unggul, orang yang derajatnya diatas orang kebanyakan ataupidak padarakan.

Atas dasar inilah menurut Dahrendorf adanya pihak yang berkuasa dan ada juga pihak yang dikuasai. Dimana yang berkuasa memegang kendali atas kekuasaan yang dimilikinya, sementara yang dikuasai akan tunduk terhadap kekuasaan tersebut. Menurut peneliti, kepemilikan dan penguasaan terhadap sumber daya kehidupan, seperti tanah, kedudukan, politik, dan budaya menjadikan Keraton Surakarta memiliki otoritas dalam mengendalikan dan mengatur wilayah kekuasaannya, melalui aturan dan budaya tersebutlah rakyatnya tunduk pada segala aturan yang dibuat Keraton.

Kedudukan Rakyat Dalam Konsep

Kekuasaan Jawa

(6)

Pola Penguasaan dan Kepemilikan Tanah di Keraton Surakarta

Berdasarkan sejarahnya, Keraton Surakarta Hadiningrat adalah sebuah negara berbentuk kerajaan berdaulat, dan wilayah kerajaannya meliputi hampir tiga perempat dari Pulau Jawa. Keraton Surakarta Hadiningrat merupakan kelanjutan Kerajaan Mataram, yaitu kerajaan pribumi yang pemerintahannya dijalankan dengan sistem tradisional Jawa. Keraton Surakarta berdiri pada tahun 1745 sebagai pengganti Keraton Kartasura yang hancur akibat pemberontakan orang-orang Cina atau yang lebih dikenal dengan nama “Geger Pecinan”. Berdasarkan sistem ini, kekuasaan pemerintahan negara didasarkan pada pemilikan raja atas tanah kerajaan yang pada tahun 1918-an, di wilayah kerajaan Yogyakarta dan Surakarta dilancarkan Reorganisasi Agraria, yaitu kebijaksanaan penataan kembali sistem pemilikan tanah, yang menghasilkan aturan-aturan baru berupa penghapusan sistem apanage (lungguh); pembentukan kelurahan-kelurahan baru dan dibagikannya lahan tanah untuk penduduk desa. Sebelum kebijaksanaan itu dilakukan, hukum pertanahan menentukan bahwa tanah di seluruh wilayah kerajaan adalah “mutlak milik Raja”. Akan tetapi sesungguhnya, pernyataan yang tidak tertulis ini semata-mata ditujukan untuk menghormati dan menjunjung raja. Raja sendiri tidak menganggap dirinya sebagai tuan tanah dalam arti luas, melainkan hanya meminta sebagian hasil bumi sebagai suatu cara memungut pajak.6

6 Utomo, Tri Widodo W. 2010. Pengaruh

Sistem Pemilikan Tanah Terhadap Struktur Sosial.

Diakses pada waorld wide web

http://triwidodowutomo.blogspot.com/2010/05/penga ruh-sistem-pemilikan-tanah.html [5 Maret 2011, pukul 14.42 PM ]

Berdasarkan penguasaanya, tanah-tanah yang ada diseluruh wilayah kerajaan dapat dikelompokkan menjadi dua golongan. Golongan pertama adalah tanah-tanah yang dikuasai secara langsung oleh raja. Golongan kedua dalah tanah-tanah yang diberikan kepadasentana(kerabat kerajaan). Tanah-tanah itu diberikan kepada sentana selama mereka mempunyai hubungan kekerabatan yang dekat dengan raja, dan selama mereka masih menduduki jabatan dalam kerajaan. Dengan demikian, jika hubungan kekerabatan mereka terputus serta tidak lagi menjabat sebagai “birokrat”, maka tanah yang dikuasainya akan kembali kepada Raja.

Keraton Surakarta merupakan sistem kemasyarakatan feodal. Feodalisme merupakan sistem kemasyarakatan yang didasarkan pada kekuasaan seorang penguasa (raja atau ratu) yang dianggap memiliki kekuatan adikodrati. Kekuasaan didapatkan dari “atas”, dari kekuatan-kekuatan adikodrati atau “supernatural”, bukan dari ‘bawah” atas dasar dukungan rakyatnya. Raja merupakan utusan atau wakil dari sebuah kekuasaan Ilahi atau Dewa yang menciptakan perdamaian dan kemakmuran di seluruh alam semesta. Kalau raja ini ditentang maka ketentraman alam semesta akan terganggu. Feodalisme selalu erat hubungannya dengan agama atau kepercayaan yang menyerupai agama.

Sri Susuhunan sebagai raja Keraton Surakarta diberi “kekuasaan” oleh pemerintah untuk mempunyai hak milik atas tanah Baluwarti dengan pertimbangan sebagai berikut.

(7)

sebagai kepala adat, untuk melaksanakan tugas Keraton Surakarta sebagai sumber kebudayaan Jawa, dan mengadakan upacara-upacara adat, harus membayar gaji pegawai, sentana, serta pemeliharaan bangunan-bangunan Keraton dan makam leluhur, membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dengan status hukum kawasan cagar budaya Baluwarti adalah Hak Milik atas nama Sri Susuhunan PB XIII, memungkinkan Sinuhun untuk :

• Memberikan tempat tinggal bagi sentono (kerabat kerajaan) dan abdi dalem dengan hak magersari, hak anggaduh, hak sewa atas bangunan dan haknenggo.

• Memberikan bagian dari tanah Baluwarti kepada masyarakat Baluwarti dengan HGB (Hak Guna Bangunan) dan hak pakai.

• Memanfaatkan bangunan kuno dan kawasan bersejarah dalam kawasan cagar budaya Baluwarti untuk industri pariwisata dalam rangka pelestarian benda cagar budaya. Hal ini dapat meningkatkan taraf hidup sentono dan abdi dalem pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya. Kegiatan pariwisata mampu menimbulkan daya rangsang kegiatan perekonomian wilayah dan menciptakan efek ganda dari kegiatan ekonomi tersebut kepada wilayah dan masyarakat pada umumnya.

Kedua, antara hak atas tanah dan penggunaannya tidak dapat dipisahkan. Sehingga dalam penentuan status hukum tanah Baluwarti harus dikaitkan dengan penggunaan tanah Baluwarti. Menurut Perda Kotamadya Dati II Surakarta No. 8 tahun 1993 tentang Rencana Umum Tata Ruang Kota Kotamadya Dati II Surakarta tahun 1993-2013, kalurahan Baluwarti ditetapkan

sebagai kawasan kebudayaan. Baluwarti adalah milik Sri Susuhunan PB XIII sebagai kepala istana dan pimpinan kerabat Keraton Surakarta. Hal ini berarti Sri Susuhunan PB XIII berhak melaksanakan pengelolaan, pengampuan (membimbing) atau tindakan sejenis terhadap benda cagar budaya tersebut.

Adapun pengelompokkan hak atas tanah di Keraton Surakarta adalah sebagai berikut:

a. Hak atas tanah milik Sri Susuhunan yang bersumber pada hak bangsa yang diberikan oleh negara.

b. Hak atas tanah yang bersumber pada hak milik Sri Susuhunan (Hak Guna Bangunan, hak pakai, magersari, anggaduh, kontrak dannenggo).

Budaya hukum Keraton ini menunjukkan bahwa keratonlah yang memegang otoritas terhadap kepemilikan dan menguasaana tanah di wilayah Kota Surakarta. Begitu juga dengan kawasan Baluwarti yang seyogyanya merupakan bagian dari pusat pemerintahan Keraton Surakarta itu sendiri.

Status Tanah di Keraton Surakarta Menurut Budaya Jawa

(8)

Tanah di Keraton Surakarta Hadiningrat, berfungsi sebagai sarana legitimasi kekuasaan raja dan sebagai penunjang kebutuhan ekonominya. Menurut Roll (dalam Karjoko, 2005:2), pada hukum tanah yang berlaku sejak zaman kolonial di kerajaan Surakarta, raja yang dianggap sebagai perantara antara Tuhan dengan rakyat, adalah pemilik satu-satunya dari seluruh areal tanah yang terletak dalam wilayah kekuasaan kerajaan.

Mertokusumo (dalam Karjoko, 2005:2), tanah yang langsung dikuasai oleh raja namanya ampilan dalem. Sebagian tanah lainnya, dinamakan tanah gaduhan atau tanah lungguh atau tanah apanage, dipergunakan untuk menjamin kebutuhan keluarga raja, atau untuk menggaji para abdi dalem. Tanah-tanah ini oleh raja lalu diberikan kepada angggota-anggota keluarganya atau kepada abdi dalem. Rakyat hanya sebagai penggarap (hak usaha, mengerjakan, menggarap) tanpa mempunyai hak milik atas tanah.

Menurut Roll (dalam Karjoko, 2005:3), hak milik tanah tersebut berada di tangan raja demi kepentingan umum. yaitude facto hak-hak ini dimaksud untuk kepentingan raja. Menurut fungsinya tanah-tanah di Keraton Surakarta dibedakan menjadi dua, yaitu :

1. Tanah Narawita (Tanah Ampilan Dalem), yaitu tanah yang langsung dikuasai raja dan menghasilkan sesuatu (barang) yang ditentukan dan diperlukan oleh raja. Tanah-tanah ini terdiri dari :

a. Tanah Pamajegan, yang menghasilkan pajak uang. b. Tanah Pangrambe, yang khusus

ditanami padi dan tanaman lain untuk keperluan istana.

c. Tanah Gladhag, yaitu tanah-tanah yang penduduknya diberi tugas transportasi.

2. TanahLungguh atau tanah Apanage, yaitu tanah yang dipergunakan untuk menjamin kebutuhan para sentana dan untuk menggaji abdi dalem. Tanah-tanah apanage oleh raja diberikan kepada para sentana selama mereka mempunyai hubungan kekerabatan yang dekat dengan raja, dan kepada abdi dalem selama mereka mesih menduduki jabatan dalam pemerintahan.

Menurut Hukum Swapraja

Status tanah di Keraton Surakarta juga dapat dilihat berdasarkan ketetapan hukun Swapraja, karena Keraton Surakarta termasuk salah satu daerah Swapraja yang ada di Indonesia (selain Yogyakarta, Banten dan Deli). Menurut Handayaninggrat (dalam Wahyudi, 2005:11) Swapraja adalah kerajaan asli yang terdapat di Indonesia yang telah ditetapkan dan telah mendapat pengakuan dari Pemerintah Hindia Belanda. Daerah Swapraja merupakan daerah yang diberikan kewenangan untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengatur rumah tangganya sendiri yang dipimpin oleh seorang raja.

Menurut Wahyudi (2005:11 daerah Swapraja merupakan sebutan untuk daerah yang pernah diperintah oleh pemerintah Hindia Belanda sekitar abat ke 17 M. Secara de factodaerahSwapraja merupakan daerah kerajaan yang ada di Indonesia, begitu juga dengan kota Surakarta karena merupakan bagian dari kerajaan Mataram atau dikenal juga dengan nama Keraton Surakarta. Akan tetapi secara de yure daerah Swapraja ini berada dibawah kekuasaan Pemerintahan Belanda.7

7Dikatakan bahawa daerah Swapraja berada dibawah

(9)

Menurut Kusnadi (dalam Wahyudi, 2005:12), maka untuk menunjang berdirinya sebuah kerajaan, pihak Belanda memberikan tanah kepada kerajaan-kerajaan yang diakui dan ditetapkan oleh Pemerintah Belanda. Kekuasaan atas tanah-tanah tersebut diberikan kepada raja, sedangkan rakyat hanya boleh menggunakan tapi tidak berhak memiliki. Atas penggunaan tanah tersebut pihak Keraton Surakarta memberikan semacam surat bukti atas penggunaan tanah. Di Keraton Surakarta bukti ini dinamakan Pikukuh, sedangkan menurut hukum Swapraja dinamakan Rijksblad Surakarta No.( Tahun 1938), seperti yang dikemukakan oleh Harditanto (dalam Wahyudi, 2005:16) mengenai kewenangan Keraton Surakarta atas tanah, yaitu sebagai berikut:

1. Wewenang Anggaduh, yaitu hak atas tanah yang diberikan kepada rakyat swapraja.

2. Wewenang Anggaduh Run Temurun, yaitu hak atas tanah yang diberikan kepada rakyat swaparaja secara turun temurun, sejak berlakunya Rijksblad Surakarta no.9 tahun 1938 hak Anggaduh Run Temurunmenjadi hak andarbeni.

3. Tanah Lungguh, yaitu hak atas tanah yang diberikan sebagai gaji kepada abdi dalem, lurah desa beserta bawahannya.

4. Tanah Pituwas, yaitu hak atas tanah yang diberikan kepada lurah beserta bawahannya yang sudah pensiun. Apabila lurah atau bawahannya tersebut meningggal dunia, maka tanah tersebut kembali ke kas desa. 5. Tanah Kas Desa, yaitu keseluruhan

tanah sawah dan tegalan serta tanah pekarangan yang bukan untuk

kedaulatan Pemerintahan Kerajaan Belanda dan bersumpah kepada Ratu Belanda (lih:Sarjita, Sandi edisi XXII Oktober 2005:22)

Lungguh, Pituwas, dan bukan untuk diberikan turun temurun. Tanah kas desa diberikan untuk keperluan penghasilan desa.

Sedangkan untuk hak-hak atas tanah yang pernah diberikan oleh pihak Keraton Kasunanan Surakarta yang berada di dalam tembok Keraton Kasunanan Surakarta adalah :

1. Wewenang Anggaduh, yaitu hak atas tanah yang diberikan kepada abdi dalem yang tidak bersifat turun temurun.

2. Wewenang Anggaduh Run Temurun, yaitu hak atas tanah yang diberikan kepada abdi dalem yang dapat dipakai secara turun temurun.

3. Paringan Dalem, yaitu hak atas tanah yang diberikan kepada anak raja yang sudah dewasa.

Pembagian Tanah di Keraton Surakarta

Tanah-tanah di kawasan Keraton Surakarta di bagi dalam lima kelompok yaitu:

a. Domein Recht Karaton Surakarta (DRS), yaitu tanah Karaton yang statusnya di bawah kekuasaan Karaton Surakarta yang tersebar di wilayah kekuasaan Karaton Surakarta.

b. Domein Karaton Surakarta (DKS), yaitu tanah yang menjadi milik Karaton Surakarta, misalnya Alun-Alun Utara, Alun-Alun-Alun-Alun Selatan, dan Baluwarti.

c. Sunan Grond (SG),yaitu tanah yang menjadi milik Sinuhun.

(10)

tanah pesanggrahan, petilasan-petilasan, dan makam-makam. e. Tanah Recht Van Eigendom (RVE),

yaitu tanah milik Karaton Surakarta yang disewakan, misalnya kepada Belanda dan pengusaha perkebunan.

Pengaturan Terhadap Tanah di

Baluwarti

Pengelolaan tanah dan bangunan sejak dimulai adanya Keppres no.23 tahun 1988 berada di tangan Pengageng Parentah Karaton Surakarta Hadiningrat, namun sejak pemerintahan Paku Buwono XIII pengelolaan tanah dan bangunan berada di Pengageng Pasiten.8

Palilah Griya Pasiten adalah suatu bentuk perizinan yang dikeluarkan oleh raja untuk penggunaan tanah dan bangunan milik Karaton Surakarta Hadiningrat.9 Tanah dan bangunan yang dimiliki oleh Keraton itu diizinkan untuk digunakan oleh seseorang dengan berbagai ketentuan seperti sentana dalem dan abdi dalem Karaton. Saat ini semakin banyak orang yang bertempat tinggal di wilayah Baluwarti, karena dulunya diajak teman atau saudara untuk bekerja di Karaton sebagai abdi dalem

8 Pengageng Pasiten adalah suatu lembaga

adaministrasi yang berada dibawah struktur pemerintahan Keraton Surakarta. Tugasnya adalah sebagai lembaga tata usaha Keraton yang mengurus pengelolaan pasiten, yaitu asset tanah dan bangunan-bangunan rumah milik Keraton Surakarta, baik yang berada didalam tembok Keraton maupun yang berada diluar tembok Keraton. Misalanya seperti makam, pesanggrahan, dan lain sebagainya.

9 Dalam memenuhi tertib administrasi pengelolaan

tanah dan bangunan, Karaton Surakarta Hadiningrat mengeluarkan palilah yang diberi nama Palilah Griya Pasiten. Sampai sekarang ini Karaton Surakarta Hadiningrat mengeluarkan Palilah Griya Pasiten dengan bermacam-macam bentuk status tanah, yaitu hak anggadhuh, hak magersari, dan hak tenggan, serta perjanjian kontrak.

Karaton dan ini sudah berlangsung sangat lama dan banyak abdi dalem yang merasa mempunyai hubungan istimewa dengan Keraton. Sebagai balas jasa atau hadiah untuk abdi dalem, maka Keraton mengizinkan para abdi dalem dan sanak saudaranya tinggal di lingkungan Karaton sampai sekarang.

Pembagian tanah tersebut kemudian dibagi menjadi lima bentuk status tanah, yang dibagi berdasarkan peruntukannya, yaitu sebagai berikut:

1. Tanah Paringan Dalem,yaitu tanah yang diberikan kepada pangeran atau putra raja. Tanah itu diberikan atau dipinjamkan selama pangeran itu hidup dan masih membutuhkan. Bila sudah tidak membutuhkan, tanah harus dikembalikan kepada raja. 2. Tanah Palilah Anggadhuh

Turun-temurun, yaitu tanah yang diberikan kepada abdi dalem(kawula Karaton) yang bersifat turun temurun, tetapi biasanya yang masih ada garis keturunan.

3. Tanah Palilah Anggadhuh, yaitu tanah yang diberikan kepada abdi dalem yang mengabdi untuk Karaton dan tidak bersifat turun temurun. 4. Tanah Palilah Magersari, yaitu

tanah yang diberikan kepada abdi dalem Karaton atau abdi dalem para pangeran (sentana dalem) dan bertempat tinggal di pekarangan yang sama.

5. Tanah Tenggan, yaitu tanah yang diberikan kepada seseorang yang dipercaya untuk menjaga suatu wilayah misalnya juru junci.

(11)

diintensifkan lagi pada tahun 2000-2001 oleh bagian Pasiten. Pasiten (siti artinya tanah) di Karaton Surakarta Hadiningrat adalah bagian (lembaga) yang berwenang mengurusi pertanahan milik Karaton Surakarta Hadiningrat. Lembaga Pasiten ini telah ada sejak zaman dahulu, bersamaan dengan berdirinya Karaton Surakarta Hadiningrat. Adapun tugas Bagian Pasiten adalah:

a. Mengurusi masalah pertanahan dan bangunan milik Karaton Surakarta Hadiningrat.

b. Mengurusi permohonan ijin-ijin yang berkaitan dengan pemanfaatan tanah dan bangunan milik Karaton Surakarta Hadiningrat.

c. Menerima pembayaran uang sewa tanah dan bangunan milik Karaton Surakarta Hadiningrat.

Pada era Paku Buwono XIII, Pengageng Pasiten mempunyai wewenang langsung terhadap urusan pertanahan yang menjadi milik Karaton Surakarta Hadiningrat. Adapun wewenang Pengageng Pasiten meliputi:

a. Tanah milik Karaton Surakarta Hadiningrat.

b. Rumah (dalem) milik Karaton Surakarta Hadiningrat.

c. Pesanggrahan milik Karaton Surakarta Hadiningrat, antara lain: Langenarjo, Paras (Pracimoharjo di Boyolali), dan Ngendromarto (Boyolali, Selo). Makam-makam, antara lain: Imogiri, Kotagede, Laweyan, Ngenden, Bekas Keraton Kartasura, Makam Haji, Ki Ageng Selo (Grobogan, Purwodadi), Ki Ageng Tarub (Purwodadi), dan Tegal Arum (Tegal).

Proses Mulai Dihuninya Kawasan

Baluwarti oleh Masyarakat Pendatang

Dari hasil pengamatan dan wawancara peneliti di lapangan, masyarakat tertarik untuk tinggal di kawasan Baluwarti adalah karena lokasi Baluwarti yang strategis. Posisi strategis ini karena Baluwarti tedapat dalam tembok Keraton. Sebagai pusat pemerintahan dan kekuasaan Keraton dikelilingi oleh kawasan pemerintahan dan pusat perekonomian. Keraton dikelilingi empat pasar besar yang menjadi jantung perekonomian kota Surakarta. Pasar tersebut yaitu, sebelah Utara terdapat Pasar Gede Harjanagara, di sebelah Selatan terdapat Pasar Gading, di sebelah Timur terdapat Pasar Kliwon, dan Sebelah Barat terdapat Pasar Klewer.

Hal inilah yang menjadikan banyak pihak berlomba-lomba memiliki tanah yang seyogyanya menjadi milik keraton. secara ekonomis tentunya harga jual tanah akan menjadi meningkat setiap tahunnya. Disamping itu juga menjadi incaran bagi masyarakat untuk menghuni kawasan Baluwarti karena pada kenyataannya kawasan Baluwati memiliki akses yang dekat dengan kawasan pemerintahan dan pendidikan. Dari segi lalu lintas pun Baluwarti merupakan jalur utama yang menghubungkan berbagai penjuru di kota Surakarta, apalagi sejak dibukanya pintu Kori Brajalana untuk umum10.

10Wilayah ini mempunyai dua buah pintu, yaitu Kori

(12)

Awal mula masyarakat tinggal di Baluwarti adalah dengan sistem kontrak rumah. Masyarakat mengontrak rumah kepada para abdi dalem, namun setelah sekian lama tinggal di Baluwarti rumah tersebut akhirnya menjadi hak milik perorangan.

Latar belakang dan alasan masyarakat memilih tinggal di Kawasan Baluwarti. Namun, yang sangat disayangkan adalah kebutuhan akan tanah dan tempat tinggal ini mengakibatkan semacam “lapar lahan”. Masyarakat sebenarnya mengetahui bahwa tanah tesebut merupakan tanah keraton, tapi mereka mengabaikan hal tersebut. Dalam hal ini peneliti memiliki pendapat sebagai berikut:

1. Masyarakat harusnya meminta izin dan mengikuti peraturan Keraton terhadap penggunaan tanah di kawasan Baluwarti, ini tentunya juga akan menjamin kenyamanan mereka dalam bertempat tinggal di kawasan Baluwarti tersebut.

2. Ini sebenarnya bukan pembiaran, akan tetapi lebih kepada lemahnya kewenangan Keraton dalam mengatur dan mengelola tanah-tanah tersebut. Meskipun luas kawasan Baluwarti merupakan kawasan administrasi Keraton dan yang tinggal di sana juga adalah kerabat dan abdi dalam keraton, sehingga tidak sulit sebenarnya jika Keraton ingin melakukan pendataan dan menertibkan penggunaan tanah tersebut.

3. Jika kita mengkaji dari sudut pandang budaya maupun hukum dan peraturan yang berlaku, harusnya pemerintah kota Surakarta selaku pembuat kebijakan dapat menyediakan kawasan yang layak untuk tempat tinggal

kedhaton. Pintu ini kemudian dibuka untuk umum pada pukul 05.00-23.00 WIB.

masyarakat, sehingga penyerobotan lahan tidak terjadi. Maksud peneliti bukan karena akan mengganggu pihak Keraton, namun lebih kepada menjaga kelestarian budaya dan mentaati peraturan pemerintah sendiri, karena Keraton statusnya adalah daerah keresidenan yang diberikan hak istimewa untuk mengatur pemerintahannya sendiri, termasuk didalammnya Baluwarti sebagai kawasan yang berada dalam tembok Keraton.

Penyebab Konflik

Dalam pelaksanaannya peneliti menemukan kejanggalan atau hal-hal yang menyebabkan konflik antara pihak Keraton Surakarta. Konflik ini terjadi karena dalam Palilah Griya Pasiten yang dikeluarkan oleh Parentah Keraton Surakarta Hadiningrat dengan jelas tertulis tidak boleh melaksanakan jual beli atau sewa menyewa baik sebagian atau seluruhnya atas bangunan. Akan tetapi dalam prakteknya, ada yang melakukan jual beli atau disewakan baik sebagian atau seluruhnya. Bahkan ada juga, prakteknya jual beli dilaksanakan di depan notaris yang dilakukan oleh para pihak antara penjual dan pembeli.

Adapun beberapa fakta yang peneliti temui di lapangan adalah sebagai berikut:

(13)

yang mengontrakkan menarik bayaran sesuai dengan harga pasar dan tidak melaporkan kepada Bagian Pasiten. Seperti contohnya peneliti sendiri selama melakukan penelitian tinggal dikawasan Baluwarti dengan menyewa kamar di rumah warga. Perjanjian sewa hanya antara peneliti dengan pihak pemilik rumah tanpa sepengetahuan pihak Keraton. Selain itu peneliti juga mencoba menggunakan cara yang berbeda untuk masuk dan tinggal di kawasan Baluwati, yaitu dengan meminta izin langsung kepada pengageng Sasono Wilopo Keraton Surakarta Hadiningrat. Peneliti tinggal ditempat yang direkomendasikan oleh Keraton. Dengan demikian ternyata uang sewa pun berbeda antara satu dan lainnya. Hal inilah yang menjadikan mengapa dengan mudah masyarakat bisa menghuni kawasan Baluwarti.

2. Masyarakat yang tidak mempunyai buku Palilah Griya Pasiten tidak membayaruang duduk lumpur kepada Karaton Surakarta Hadiningrat dan bisa jadi juga mereka tidak membayar PBB (Pajak Bumi Bangunan) yang ditarik dan ditetapkan oleh pemerintah. Inilah yang menjadi perdebatan di wilayah Baluwarti yakni mengenai status tanah Baluwarti sebagai tanah negara atau tanah milik Karaton Surakarta Hadiningrat. Hal Sebenarnya hak pengelolaan karaton didasarkan kepada hak adat karaton atas tanah yang dipunyai karaton secara sah sejak berdirinya karaton seperti yang telah peneliti jelaskan diatas. Tapi dalam prakteknya dan yang terjadi sekarang karena pemerintah juga turut campur dalam pengaturan pengelolaan tanah, dan ini juga di sebutkan Keraton dalam

peraturan kontraknya bahwa “masyarakat bersedia membayar PBB jika diminta oleh pemerintah”11.

Isu Konflik yang Berkembang

Adapun isu yang menjadi permasalahan disini adalah sebagai berikut:

1. Adanya isu yang menyatakan bahwa terdapat warga di Baluwarti yang telah memiliki setifikat hak milik yang dikeluarkan oleh BPN Surakarta, meskipun kenyataan dilapangan tidak ditemukan bukti sertifikat yang di isukan tersebut.

2. Adanya anggapan dari warga di Baluwarti bahwa telah terjadi pajak berganda yang mereka bayarkan kepada Negara berupa PBB dan pajak kepada Keraton berupa uang duduk lumpur melalui pengaturan tanah Keraton yang diatur dalam palilah pasiten, yang dikelola oleh kantor pertanahan Keraton Surakarta. adanya pajak ganda ini memunculkan pertanyaan dari warga Baluwarti, siapa sebenarnya yang memiliki dan berkuasa atas tanah yang mereka tempati, sehingga warga mulai mendesak KEraton Surakarta menunjukkan bukti kepemilikan tanah. Padahal secara hukum pertanahan KEraton tidak memiliki bukti yang kuat mengenai kepemilikan tanah, karena tanah-tanah di Keraton tidak dapat disertifikatkan karena Keraton bukan meruakan badan hukum

11Lihatpalilah pasitenperjanjiananggaduh, tenggan,

(14)

Perkembangan Pengaturan Pertanahan di Keraton Surakarta

Secara historis perkembangan hukum pertanahan di Keraton Surakarta dapat digambarkan sebagai berikut, sebelum berdirinya Kasunanan Surakarta dan lebih jauh lagi sebelum terbentuknya Kerajaan Mataram, masyarakat Jawa belum mengenal konsep hak milik perseorangan atas tanah. Tanah-tanah yang terletak disuatu wilayah dikuasai oleh desa sebagai hak ulayat. Adapun kepada warga desa diberikan beberapa hak antara lain hak pakai atau menggarap, hak wenang pilih atau mendahului, hak imbalan jabatan dan sebagainya. Kalaupun ada yang diberikan sebagai hak milik tidak dapat dikatakan sebagai pemilik yang sah karena hak milik tersebut mengandung aspek kepentingan umum dalam arti bila tidak digarap lagi, maka hak milik akan dicabut dan diberikan kepada warga lain yang lebih membutuhkan. Setelah munculnya institusi poitik berbentuk kerajaan terjadi pergeseran dalam sistem pemilikan tanah. Dalam peraturan yang diciptakan sendiri, raja mengklaim bahwa seluruh tanah diwilayahnya adalah milik mutlak raja, sebagian diantaranya diberikan kepada kerabat raja dan pejabat Keraton sebagai tanah lungguh, sedangkan rakyat hanya memiliki hak anggaduh (meminjam) dan menggarapnya.

Pada zaman kolonial Keraton Surakarta adalah salah satu kesunanan yang memiliki wilayah kekuasaan, rakyat dan birokrasi pemerintahan. Sebagai Kesunanan, Keraton Surakarta diakui sebagai satu kesatuan pemerintahan pribumi yang menguasai dan memiliki tanah dalam wilayah pemerintahannya. Karena pada masa kolonial, tanah merupakan sumber pendapatan, dimana raja adalah satu-satunya pemilik tanah yang berkuasa penuh atas tanah-tanah di wilayah kerajaanya.

Hanya raja yang berhak sepenuhnya atas tanah-tanah tersebut, sedangkan rakyat hanya sebagai pemakai saja. Jadi menurut sejarah tanah di wilayah Keraton Surakarta adalah milik raja yang berhak penuh atas tanah, rakyat hanya diberikan wewenang anggaduh “meminjam tanah dan dikenakan kewajiban untuk memberikan hasil garap kepada raja”.12

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 menjadikan Indonesia sebagai sebuah Negara merdeka yang berdaulat. Inilah yang menjadi awal pengaturan Tata Negara Indonesia, yang turut mengubah prinsip hukum yang berlaku di Indonesia. Hal ini berarti daerah-daerah kesunanan sudah menggabungkan diri menjadi satu kesatuan menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tidak ada lagi hukum kerajaan yang tunduk pada hukum Hindia Belanda, yang terjadi adalah Kesunanan dihapuskan dan tunduk pada hukum Negara Indonesia. Kemudian daerah-daerah kesunanan ini dinamakan daerah-daerah bekas swapraja (tidak disebutkan dengan jelas apakah daerah bekas swapraja ini apakah menjadi pemerintahan swapraja atau daerah sawpraja, karena hanya dikatakan daerah bekas swapraja).13

Karena persoalan inilah menimbulkan pertanyaan, bagaimana status dan kedudukan pemerintahan daerah kesunanan setelah kemerdekaan Indonesia, maka pada tanggal 23 September 1960, pemerintah mengeluarkan Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar pokok-pokok

12

Hal ini menunjukkan bahwa Keraton Surakarta sudah memiliki sistem pemerintahan yang mengatur kepemilikan dan penguasaan tanah di wilayah kekuasaan Keraton Surakarta, jauh sebelum Indonesia merdeka. Sistem pengaturan inilah yang kemudian dipertahankan oleh Keraton Surakarta untuk menyikapi kedudukan Keraton Surakarta pada saat ini.

13 Mertokusumo, Sudiko. 1988.

(15)

Agraria (UUPA). Berlakunya UUPA ini, maka dinyatakan bahwa tanah-tanah yang menjadi wewenang daerah swapraja atau bekas swapraja dengan sendirinya sudah dihapuskan dan dikuasai oleh Negara. Menurut UUPA, maka segala penataan, penguasaan, pemilikan dan penggunaan tanah diatur oleh Negara. Status tanah sebagai tanah kerajaan berubah menjadi tanah Negara. Namun bagi Keraton Surakarta pada waktu itu UUPA belum dapat diberlakukan karena merasa tidak adil bagi Keraton. Sebelum UUPA dikeluarkan, pengaturan tanah di Keraton adalah dalam bentuk rijsblad-rijskblad dan peraturan-peraturan daerah.

Namun pada kenyataannya saat ini kasultanan Keraton Surakarta masih mempunyai dan menjalankan kewenangan-kewenangan atas tanah-tanah yang dipunyai dan dimilikinya yang tersebar diberbagai wilayah di Kota Surakarta, terutama di kawasan Keraton Surakarta dan didalam tembok Baluwarti.

Pengaturan Penguasaan dan Kepemilikan Tanah di Keraton Surakarta

Keberagaman peraturan yang mengatur pertanahan di Keraton Surakarta menimbulkan suatu kondisi yang mengarah pada situasi ketidakpastian hukum. Ketidakpastian hukum tersebut terutama terlihat pada konflik yang terjadi, yaitu berkembangnya isu kepemilikan sertifikat atas tanah-tanah yang dikuasai oleh Keraton Surakarta, termasuk tanah didalam kawasan tembok Keraton Surakarta sendiri, yaitu kawasan Baluwarti.

Menurut peneliti masalah atas penguasaan dan kepemilikan tanah di Keraton Surakarta ini memerlukan penelitian dan kajian lebih mendalam terhadap pemberlakukan dan pelaksanaan ketentuan hukum yang telah berlaku selama

ini. Masalah tanah ini menurut peneliti, tidak hanya menyangkut hubungan antara kelompok-kelompok masyarakat dalam kawasan Baluwarti selaku pengguna tanah dengan pihak Keraton Surakarta yang menguasai dan memberikan izin atas penggunaan tanah dalam kawasan wilayah pemerinahanya, masalah ini juga menyangkut dan terkait dengan aspek politis. Bagaimanapun satu hal yang tidak dapat dipungkiri oleh berbagai pihak, karena secara politis Keraton Surakarta masih memiliki pengaruh dalam kepemimpinan dan pemerintahan di kawasan Keraton Surakarta, tampa mengesampingkan peran Keraton Surakarta secara historis terhadap kemerdekaan Indonesia.

Hubungan Keraton dengan warga masyarakat di dalam kawasan Baluwarti secara hukum ketentuan pertanahan Keraton adalah dilindungi oleh hukum yang jelas, seperti: anggaduh, mangersari, persewaan/kontrak. Dengan kata lain sebenarnya pihak Keraton Surakarta sendiri sampai saat ini tetap menjalankan perannya sebagai pihak yang berwenang atas tanah-tanah yang sekarang dibermasalahkan warga kepemilikannya. Penguasaan dan kepemilikan atas tanah di wilayah Keraton dan dalam tembok Baluwarti tetap berlangsung hingga saat ini. Inilah yang dinamakan Dahrendorf sebagai otoritas, yaitu ada pihak yang menguasai dan ada pihak yang dikuasai. Penguasaan dan kepemilikan tanah oleh Keraton Surakarta terhadap masyarakat Baluwarti, didalamnya terjalin hubungan pemilik dengan penyewa, apalagi diperkuat dengan adanya peraturan sewa/kontrak terhadap tanahdi Baluwarti. Otoritas kepemilikan tanah inilah yang kemudian diwarisi oleh Keraton Surakarta hingga saat ini.

(16)

walaupun setelah berlakunya UUPA. Hal ini juga telah diperkuat lagi dengan Kepres No. 23 tahun 1988 telah ditetapkannya keberadaan Keraton Surakarta sebagai cagar budaya, yang terus dijaga dan dipelihara keberadaannya hingga saat ini. Menyikapi permasalahan yang terjadi, peneliti menyarankan hendaknya warga, Keraton, pemerintah menyamakan presepsi mengenai tanah-tanah keraton(Sunan Ground).

Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa jauh sebelum UUPA lahir dan Kepers No. 23 tahun 1988, pertanahan di Keraton Surakarta sudah diatur dalam rijksblad dimana tanah adalah milik Keraton Surakarta.

Pembahasan

Peneliti menganalisis permasalahan konflik atas kepemilikan dan penguasaan tanah di Keraton Surakarta ini menggunakan teori yang dikemukakan oleh Dahrendorf. Dari permasalahan konflik tanah yang dikemukakan tersebut, konflik tanah di lingkungan Keraton Surakarta terjadi karena tidak adanya kepastian hukum atas tanah tersebut, sehingga antara masyarakat dengan Keraton saling “mengklaim” kepemilikan tanah tersebut. Kepemilikan tanah inilah yang memunculkan konflik antara Keraton Surakarta dengan masyarakat pendatang di kawasan Baluwarti. Inti permasalahannya adalah “sertifikat tanah sebagai bukti kepemilikan yang sah” atas tanah di Baluwarti.

Jika Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 yang dijadikan pedoman dalam melihat kasus ini, maka dengan jelas disebutkan bahwa kawasan Baluwarti adalah milik Keraton Surakarta, karena secara adat dan budaya kawasan Baluwarti berada di dalam tembok Keraton Surakarta, yang setelah kemerdekaan Republik Indonesia dan dihapuskannya

sistem kerajaan di Indonesia Keraton Surakarta diberikan otonomi khusus untuk tetap memerintah, namun hanya sebatas kawasan didalam tembok Keraton Surakarta yang berarti mencakup kawasan Baluwarti.

Namun dalam pelaksanaannya Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 tidak dijalankan secara tegas oleh pemerintah kota Surakarta, karena pada kenyataannya kawasan Baluwarti termasuk dalam 51 kecamatan yang ada di kota Surakarta, sehingga kondisi dilapangan yang terjadi adalah dualisme kepemimpinan,14 yaitu Pemerintah dan Keraton. Dualisme inilah yang menyebabkan “kebingungan” bagi masyarakat Baluwarti, karena tanah yang mereka tempati telah dikeluarkan bukti kepemilikannya oleh pemerintah Surakarta sehingga mereka telah membayarkan Pajak Bumi dan Bangunan. Akan tetapi bagi pihak Keraton tanah tersebut tetap bersifat magersari, sehingga masyarakat juga diharuskan membayar pajak pada Keraton. Hal inilah yang menjadi konflik Keraton dengan warga di Baluwarti.

Berdasarkan konsep kekuasaan yang dikemukakan oleh Dahrendorf yang menyebutkan bahwa kekuasaan merupakan hubungan antara yang berkuasa dan yang dikuasai, melalui kewenangan yang dimiliki. Dahrendorf menyebutkan jika kekuasaan tersebut dijalankan, maka perlu dilihat bentuk pendistribusianya, dan mengapa seseorang atau kelompok tertentu (dalam hal ini Keraton Surakarta) memiliki kekuasaan

14Dualisme kepemimpinan ini dapat dilihat dari juga

(17)

yang lebih besar dalam kondisi tertentu untuk mempengaruhi mereka yang lainnya, yaitu dengan cara sebagai berikut:

Keraton Surakarta memiliki sumber daya kekuasaan yang menjadi sarana paksaan fisik, modal ekonomi, dan status sosial,yaitu tanah. Berdasarkan stratifikasi sosial masyarakat Jawa, kita mengenal istilah tuan tanah dan penggarap. Dalam hal ini keraton memiliki sumber daya kuasa yang utama yaitu tanah, karena Keraton Surakarta menguasai tanah-tanah di wilayahnya. Selain itu kedudukan sebagai seorang raja juga memperkuat sumber daya kuasa yang dimiliki oleh Keraton Surakarta. sebagai yang berkuasa tentunya seorang raja memiliki kewenangan untuk mengatur, sehingga raja juga memiliki pengaruh yang kuat atas masyarakatnya.

Ralf Dahrendorf mempunyai pandangan lain dalam melihat konflik sosial. Bagi Dahrendorf, konflik di masyarakat disebabkan oleh berbagai aspek sosial, tidak hanya terjadi karena permasalahan ekonomi. Aspek-aspek sosial yang ada di masyarakat ini kemudian terwujud dalam bentuk teratur dalam organisasi sosial. Konflik sosial merupakan sesuatu yang endemik dalam pandangan Dahrendorf. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori konflik Dahrendorf dimana manusia adalah makhluk sosial yang mempunyai andil dalam terjadinya disintegrasi dan perubahan sosial. Masyarakat selalu dalam keadaan konflik menuju proses perubahan. Masyarakat dalam berkelompok dan hubungan sosial didasarkan atas dasar dominasi yang menguasai orang atau kelompok yang tidak mendominasi. Teori konflik Dahrendorf memandang masyarakat disatukan oleh ketidakbebasan yang dipaksakan. Dengan demikian, posisi tertentu di dalam masyarakat mendelegasikan kekuasaan dan otoritas terhadap posisi yang lain. Fakta kehidupan sosial ini mengarahkan

Dahrendorf kepada tesis sentralnya bahwa perbedaan distribusi otoritas selalu menjadi faktor yang menentukan konflik sosial sistematis. Dahrendorf memusatkan perhatian pada struktur sosial yang lebih luas. Dahrendorf menyebut otoritas tidak terletak dalam individu tapi dalam posisi atau status. Sumber struktur konflik harus dicari dalam tatanan peran sosial yang berpotensi untuk mendominasi atau ditundukkan. Menurut Dahrendorf, tugas pertama analisis konflik adalah mengidentifikasi berbagai peran otoritas di dalam masyarakat. Otoritas yang melekat pada posisi adalah unsur kunci adalam analisis Dahrendorf. Otoritas secara tersirat menyatakan superordinasi dan subordinasi. Mereka yang menduduki posisi otoritas diharapkan mengendalikan bawahan. Artinya, mereka berkuasa karena harapan dari orang yang berada disekitar mereka, bukan karena ciri-cri psikologis mereka sendiri. Otoritas bukanlah fenomena sosial yang umum, mereka tunduk pada kontrol dan mereka yang dibebaskan dari kontrol ditentukan di dalam masyarakat. Terakhir, karena otoritas adalah absah, sanksi dapat dijatuhkan pada pihak yang menentang. Saat kekuasaan merupakan tekanan (coersive) satu sama lain, kekuasaan dalam hubungan kelompok-kelompok terkoordinasi ini memeliharanya menjadi legitimate dan oleh sebab itu dapat dilihat sebagai hubungan authority, dimana beberapa posisi mempunyai hak normatif untuk menentukan atau memperlakukan yang lang lain.

(18)

itu, Keraton Surakarta memiliki kekuasaan dan otoritas. Maka dari itu, Keraton Surakarta memiliki kewenangan untuk mengelola tanah yang merupakan sumber kekuasaan Keraton. Berdasarkan kasus konflik warga Baluwarti dengan Keraton Surakarta, peneliti melihat adanya pemaksaan perlakuan yang dilakukan Keraton Surakarta terhadap warga Baluwarti. Pemaksaan ini dijalankan melalui bentuk yang lebih halus tidak berupa paksaan fisik, namun lebih bersifat cultural, yaitu dengan peraturan pertanahan yang dipegang oleh kantor pasiten Keraton Surakarta. Paksaan ini seperti izin tempat tinggal, sisitem magersari, sistem kontrak atau sewa, pungutan pajak, dan peraturan lainnya atas penggunaan tanah Keraton Surakarta yaitu kawasan Baluwarti. Walaupun demikian, otoritas yang dimiliki oleh keraton Surakarta tidak sepenuhnya berjalan karena terdapat otoritas lain yang menghalangi keraton untuk sepenuhnya mengatur dan menguasai pengelolaan tanah di wilayah Baluwarti yakni otoritas pemerintah. sehingga semakin menimbulkan pertentangan dalam masyarakat baluwarti karena dipaksa oleh dua otoritas yang menguasai mereka seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa adanya dualisme pemerintahan yang merugikan warga dengan pajak ganda yang harus dibayarkan yaitu PBB kepada pemerintah,dan Palilah Pasiten kepada keraton Surakarta yang disebabkan karena ketidakjelasan status tanah di wilayah Baluwarti apakah milik Negara ataukah milik keraton Surakarta.

Konflik terjadi ketika tujuan masyarakat tidak sejalan. Penyebab konflik menurut Dahrendorf adalah kepemilikan wewenang (otoritas) dalam kelompok yang beragam. Jadi, konflik bukan hanya materi (ekonomi saja). Dahrendorf memandang bahwa konflik hanya muncul melalui

relasi-relasi sosial dalam sistem. Setiap individu atau kelompok yang tidak terhubung dalam sistem tidak akan mungkin terlibat konflik. Maka dari itu, unit analisis konflik adalah keterpaksaan yang menciptakan organisasi-organisasi sosial bisa bersama sebagai sistem sosial. Dahrendorf menyimpulkan bahwa konflik timbul karena ketidakseimbangan antara hubungan-hubungan itu. Dahrendorf memahami relasi-relasi dalam struktur sosial ditentukan oleh kekuasaan. Ia mendefinisikan kekuasaan menjadi penyebab timbulnya perlawanan. Esensi kekuasaan yang dimaksud oleh Dahrendorf adalah kekuasaan kontrol dan sanksi sehingga memungkinkan mereka yang memiliki kekuasaan memberi berbagai perintah dan mendapatkan apa yang mereka inginkan dari mereka yang tidak memiliki kekuasaan. Jadi, konfik kepentingan menjadi fakta tidak terhindarkan dari mereka yang memiliki kekuasaan dan tidak memiliki kekuasaan.

(19)

Keraton Surakarta. Adapun tanah yang dimaksud adalah sebagai berikut: (1) tanah milik kesunanan, yaitu tanah bekas kekuasaan Susuhunan Paku Buwono seperti pesanggarahan, makam, hutan, dan lain sebagainya (2) tanah milik Keraton,yaitu tanah yang didiami oleh Susuhunan sebagai kawasan tempat tinggal dan kawasan pemerintahan keraton, yaitu menyangkut Keraton Surakarta, Baluwarti, alun-alun, benteng, dan lain sebagainya (3) tanah Sunan Prive, yaitu tanah yang diatasnya terdapat gedung-gedung milik Keraton Surakarta.

Atas permasalahan ini, kemudian pemerintah mengaturnya dalam Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960, yang tujuannya adalah mengatur tanah-tanah bekas pemerintahan kesunanan atau tanah yang dinamakan bekas swapraja. Hanya saja pada realitanya bertolak belakang terhadap permasalahan yang terjadi di Keraton Surakarta saaat ini. Karena kenyataannya pemerintahan Keraton Surakarta secara de facto masih berlangsung hingga saat ini dan dilindungi oleh hukum yang berlaku yaitu UUPA 1960 dan Kepres No 23 tahun 1988, yang menyatakan Keraton Surakarta diberikan hak untuk menjalankan pemerintahannya dan mengelola hak miliknya walau hanya sebatas didalam tembok Baluwarti. Dalam artian kepemilikan tanah di Keraton Surakarta tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau diambil alih oleh pemerintah, karena ditenggarai akan menentang hukum dan kebijakan yang dilindungi oleh undang-undang itu sendiri.

Jika kita menguraikan Kepres Nomor 23 tahun 1988, pasal 1 ayat 1 menyebutkan bahwa “Tanah dan Bangunan Keraton Surakarta berikut segala kelengkapan didalamnya adalah milik Kasunanan Surakarta Hadingingrat yang perlu dilestarikan sebagai peninggalan budaya

bangsa.” Apa yang dinyatakan dalam Keppres ini tenyata menimbulkan polimik yang semakin berlaru-larut hingga saat ini bagi warga di Baluwarti, warga bingung apakah Kepres tersebut menyatakan tanah dan bangunan di Keraton saja, ataukan menyangkut seluruh tanah dan bangunan di kompleks Keraton yaitu Baluwarti.

Menurut peneliti sebenarnya konflik yang terjadi adalah akibat dari adanya benturan kepentingan dari berbagai pihak, yaitu:

1. Pertama, benturan kepentingan dari pihak keluarga Keraton Surakarta itu sendiri, yang beranggapan bahwa Keraton adalah milik mereka yang merupakan warisan budaya dari masa kerajaan yang masih terus memimpin hingga saat ini, oleh sebab itu pihak keluarga berkeinginan melestarikan warisan budaya leluhur mereka.

2. Kedua, sedangkan warga Baluwarti yang merupakan abdi dalem Keraton yang secara turun temurun telah menempati kawasan Baluwarti juga menginginkan adanya jaminan dan kepastian hukum dengan menuntut status hak atas tanah yang telah mereka diami dan tempati selama ini. 3. Ketiga, inilah yang menurut peneliti

sangat menarik yaitu adanya kepentingan dari warga pendatang yang juga menginginkan adanya jaminan dan kepastian hukum dengan menuntut status hak atas tanah yang telah mereka diami dan tempati selama ini.

(20)

persepsi dari semua pihak menyangkut konsep kepemilikan dan penguasaan atas tanah di Keraton Surakarta. Dari uraian penjelasan diatas, maka hasil penelitian ini dapat peneliti gambarkan melalui konsep berikut ini:

Penutup

Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa jauh sebelum Undang-undang Pokok Agraria lahir, Keraton Surakarta sudah mempunyai pengaturan pertanahan yang diatur melalui kantor pertahanan Keraton Surakarta Hadiningrat, yaitu melalui kantor Pasiten.

Sebagai kerajaan yang besar, keraton Surakarta seharusnya memiliki ketegasan terhadap wilayah kekuasaannya dalam hal ini baluwarti. Telah dikeluarkannya keputusan presiden nomor 23 tahun 1988 tentang hak pengelolaan tanah dan bangunan didalam tembok keraton Surakarta seharusnya dapat digunakan keraton Surakarta untuk menegaskan kekuasannya atas wilayah baluwarti sehingga tidak ada lagi warga yang mempertanyakan tentang status tanah yang mereka tempati, karena keraton memiliki dasar yang kuat sebagai pemilik tanah di baluwarti dengan berpatokan pada sejarah keraton, hukum swapraja ketika masa pemerntahan belanda, dan terakhir keppres nomor 23 tahun 1988.

Masih rancunya pemaknaan terhadap keppres tersebut karena terdapat dua bentuk kepemimpinan di wilayah baluwarti yang dapat dilihat dengan adanya Kelurahan di baluwarti yang menandakan masih ada kekuasaan Negara di baluwarti, dan hal ini harus dipertanyakan kembali tentang hak dan kekuasaan keraton atas baluwarti agar pihak keraton benar-benar bisa mengelola dan menguasai wilayah baluwarti sebagaimana mestinya hukum keraton

Surakarta. Namun peneliti sangat menyadari tentunya ini adalah persoalan yang sangat sulit bagi Keraton Surakarta, wewenang kekuasaan dan pemerintahannya tidak berjalan sebagaimana mestinya, karena kurangnya dukungan dari pemerintah kota Surakarta. Bahkan untuk mengatur pengaturan tanah di Baluwarti, nampaknya keraton tidak bisa berbuat banyak karena pada kenyataannya di Baluwarti juga terdapat pemerintahan Negara, yang ditandai dengan adanya kelurahan Baluwarti Kecamatan pasar kliwon kota Surakarta, sehingga memunculkan dualisme kepemimpinan. Hal ini tentunya menjadi sesuatu yang membingungkan karena menjadikan keraton Surakarta tidak memiliki kewenangan “didalam rumahnya sendiri”.

(21)

pemerintahannya sendiri, walaupun hanya sebatas didalam tembok Baluwarti.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Budiarjo, Miriam. 2005. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Budiman, Arief. 1996. Teori Negara. Jakarta: Gramedia.

Burger, D.H. 1983. Perubahan Struktur dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Bharata Karya Aksara.

Herusatoto, Budiono. 1987. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita.

Laksono, P.M. 1985.Tradisi dalam Struktur Masyarakat Jawa: Kerajaan dan Pedesaan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Magnis Suseno, Fransz. 2001. Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafati tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa.Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Mertokusumo, Sudikno. 1988. Perundang-undangan Agraria Indonesia. Yogyakarta: Liberry

Punto, Hendro G Eko. 2001. Kraton Yogyakarta Dalam Balutan Hindu. Semarang: Bendera.

Soeratma, Daristi. 2000. Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939. Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia.

Suseno, Magniz Franz. 1999, Etika Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu

Politik. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.

Yosodipuro. 1982. Kebudayaan Jawi Keraton Surakarta. Sasono Pustoko Keraton Surakarta Hadiningrat.

TESIS

Isbandiyah, Koes. 2008. Kebijakan Keraton Surakarta Hadiningrat dalam Pengelolaan Tanah dan Bangunan Setelah Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 1988 Tentang Status dan Pengelolaan Keraton Kesunanan Surakarta di Kelurahan Baluwarti Kota Surakarta. Tesis Program Studi Magister Kenotariatan, Universitas Diponegoro, Semarang. Karjoko, Lego. 2005. Budaya Hukum Keraton Surakarta Dalam Pengaturan Tanah Baluwarti Sebagai Kawasan Cagar Budaya. Tesis Program Magister Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang.

Sriyani, Fitria. 2010. Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Hak Atas Tanah Bekas Konflik Antara Suku Dayak dan Madura di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Tesis Program Magister Kenotariatan, Universitas Diponegoro, Semarang.

Wahyudi, Bayu. 2005. Implementasi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Terhadap Tanah-Tanah Bekas Swapraja di Kota Surakarta. Tesis. Program Studi Magister Ilmu Hukum. Program Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah, Surakarta.

JURNAL

(22)

INTERNET

Anonymous. 2011. Online.

http://junsu.blog.fisip.uns.ac.id/2011/03/25/ pokok-pikiran-ralf-dahrendorf/ diakses pada [Kamis 6 Desember 2012, pukul 10.57 PM] Anonymous. 2011. Online.

http://mbegedut.blogspot.com/2011/07/teori-konflik-ralf-dahrendorf-sosiologi.html

diakses pada [Kamis, 6 Desember 2012, Pukul 10.56 PM]

Anonymous. 2010. Online.

http://www.skbsurakarta.com/skb/2010-02-11/sekilas-kota-surakarta/ diakses pada [13 Agustus 2010, pukul 13:51:04 AM]

Anonymous. 2007. Online.

http://www.suaramerdeka.com/harian/0404/

07/slo3.htm diakses pada [16 mei 2011,

pukul 17.29 PM]

Anonymous. 2002. Online.

http://www.suaramerdeka.com/harian/0404/

02/slo9.htm diakses pada [16 Mei 2011,

pukul 17.42 PM]

Metamorphose, Nji. 2010. Konsep

Kekuasaan Jawa.

http://njimetamorphose.blogspot.com/2010/

03/konsep-kekuasaan-jawa.html diakses

pada [25September 2011 10.50 PM]

Utomo, Tri Widodo W. 2010. Pengaruh Sistem Pemilikan Tanah Terhadap Struktur Sosial. Diakses pada waorld wide web

http://triwidodowutomo.blogspot.com/2010/ 05/pengaruh-sistem-pemilikan-tanah.html

diakses pada [5 Maret 2011, pukul 14.42 PM ]

PERUNDANG-UNDANGAN

Keputusan Presiden No 23 Tahun 1988 tentang Status dan Pengelolaan Keraton Kasunanan Surakarta

Penetapan Pemerintah Nomor 16/SD Tahun 1964 tertanggal 15 Juli 1946 yang menetapkan, bahwa daerah Kesunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegara untuk sementara sebagai Keresidenan yang dikepalai oleh seorang Residen

Rejkblad No. 13 Tahun 1938

Referensi

Dokumen terkait

Perjanjian jual beli tanah harus dilakukan secara tertulis dihadapan Pejabat yang berwenang untuk itu yakni PPAT (Pejabat Pembuat Akte Tanah). Di Desa Tanjung Pauh Mudik

Pada 10 MSI, dosis iradiasi 10 Gy tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata terhadap kontrol, namun berbeda nyata dengan perlakuan dosis iradiasi yang lebih tinggi dimana

WAV adalah standar audio yang dikembangkan oleh Microsoft dan IBM, WAV ini adalah format utama untuk menyimpan data audio mentah pada Windows dan menggunakan metode

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pinjaman dana bergulir dari Dinas Koperasi dan Usaha Mikro Kota Semarang dapat membantu meningkatkan produk, omzet penjualan,

Pemberian perlakuan frekuensi pakan hijauan perhari meningkat, menjadikan produksi susu kambing penelitian meningkat pula, yang mana peningkatan produksi susu

Nilai impor Sulawesi Tenggara pada bulan Mei 2015 tercatat US$ 36,66 juta atau mengalami peningkatan sebesar 52,24 persen dibanding impor April 2015 yang tercatat US$ 24,08

Zhang (2007) mengajukan model pertumbuhan ekonomi dua sektor dalam waktu diskret, di mana dalam sistem produksi, produsen akan menghasilkan dua output (dua jenis produk)

Pengaruh jumlah NaOH dan waktu pengadukan terhadap kadar alkali bebas yang terdapat pada sabun padat yang dihasilkan dari minyak goreng bekas.. Tabel 4.Pengaruh