• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH HUKUM TANAH ADAT ADAT SUKU BALI (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MAKALAH HUKUM TANAH ADAT ADAT SUKU BALI (1)"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH HUKUM TANAH ADAT

ADAT SUKU BALI

Untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Agraria yang dibimbing oleh :

Muhammad Ridho Wikanarpati

Disusun oleh :

Zakie Muhammad

2302160004

PRODI D III PBB / PENILAI

JURUSAN PERPAJAKAN

POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur yang kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat ilmu dan nikmat sehat kepada saya sehingga saya dapat meyelesaikan penulisan makalah ini tepat waktu. Makalah saya yang berjudul “Makalah Hukum Tanah Adat: Adat Suku Bali” membahas tentang Pelaksanaan Hukum Tanah Adat Bali yang diterapkan di wilayah masyarakat adat di Bali, baik secara teknis maupun kelembagaan, serta mengulas Pewarisan Tanah serta Penyelesaian Masalah Agraria berdasarkan Hukum Adat Tanah Bali.

Dalam penulisan ini saya mendapat banyak bantuan. Oleh karna itu sudah selayaknya saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu saya dalam penulisan makalah saya, khususnya kepada Bapak Muhammad Ridho Wikanarpati, S.H. M.Kn. selaku dosen mata kuliah hukum agraria yang telah membimbing saya dalam penulisan makalah ini.

Saya sadar dalam makalah ini masih banyak kekurangan oleh karna itu saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca, sehingga kedepannya saya dapat membuat makalah yang lebih baik lagi.

Tangerang Selatan, 5 Juli 2017

(3)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...i

KATA PENGANTAR...ii

DAFTAR ISI ...iii

BAB I PENDAHULUAN...1

A.

Latar Belakang...1

B.

Rumusan Masalah...4

C.

Tujuan ...4

BAB II PEMBAHASAN...5

A. Pengertian Hukum Adat...5

B. Hukum Adat dalam Perundang-undangan...7

C. Tinjauan Umum mengenai Hukum Tanah Adat Bali serta Pelaksanaan

Hukum Tanah Adat Bali...9

1. Pengertian

Desa Adat, Lembaga Hukum Adat, dan Hukum Waris Adat...9

2. Sejarah dan Pengertian Desa Pakraman/Desa Adat di Bali...11

3.

Awig-awig

dan

Perarem

dalam Hukum Tanah Adat Bali...13

4. Struktur Kelembagaan Desa Pakraman...15

5. Penanganan Konflik Pertanahan Adat dalam Hukum Tanah Adat Bali...16

6. Pewarisan Tanah dalam Hukum Tanah Adat Bali...18

BAB III PENUTUP...23

A.

Kesimpulan...23

B.

Saran ...24

(4)

Bab I

Pendahuluan

A.

Latar Belakang

Indonesia adalah negara yang terdiri dari berbagai macam adat dan budaya. Adat dan budaya tersebut memiliki aturan tersendiri yang digunakan untuk mengatur kehidupan masyarakat adatnya. Dengan banyaknya adat dan budaya tersebut, pemerintah Indonesia bermaksud untuk menasionalisasikan suatu aturan agar tidak terdapat perbedaan yang mengakibatkan perpecahan, salah satunya dengan dibentuknya UU No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria atau yang sering dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang mengatur tentang unifikasi aturan mengenai pertanahan. Berlakunya UUPA merupakan perubahan yang mendasar dalam Hukum Tanah (Hukum Agraria) Indonesia.

Hukum tanah merupakan hukum positif Negara Indonesia yang mengatur tentang pertanahan di Indonesia, yang dalam penerapannya akan mencapai tujuannya jika memenuhi 3 aspek, antara lain : bernilai filosofis, yuridis, dan sosiologis. Pertama, aspek yang bernilai filosofis berartikan bahwa hukum itu harus berdasarkan pada pancasila. Kedua, aspek yang bernilai yuridis memiliki arti bahwa hukum itu diatur dalam bentuk suatu peraturan perundang-undangan untuk mencapai kepastian hukum. Ketiga, aspek yang bernilai sosiologis memiliki arti bahwa hukum itu harus mengandung nilai-nilai yang ada dalam masyarakat agar suatu hukum itu dapat diterima oleh masyarakat.

(5)

Ketentuan UUPA yang mengatur kedudukan hukum adat, selain ketentuan hukum tersebut diatas dapat dilihat dalam bagian lain sebagai berikut :

Konsiderans Bagian Berpendapat A, UUPA

a) Bahwa berhubung dengan apa yang tersebut dalam pertimbangan diatas perlu adanya hukum Agraria nasional, yang berdasarkan hukum adat tentang tanah, yang sederhana yang menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia, dengan tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.

b) Pasal 2 ayat (4) : Hak menguasai dari negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasai kepada Daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.

c) Pasal 3 : Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan Hak Ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan lain yang lebih tinggi.

d) Penjelasan Pasal 5 : Penegasan hukum adat dijadikan dasar dari hukum Agraria yang baru. Selanjutnya lihat Penjelasan Umum (III angka 1).

(6)

pembentukan UUPA pada hakekatya adalah merupakan pengakuan terhadap eksistensi hukum adat yaitu : Pengakuan dan penegasan sebagai dasar hukum berlakunya hukum adat : Pengakuan terhadap Hukum-hukum adat merupakan posisi dasar berlakunya hukum adat. Hukum adat yang dimaksudkan UUPA adalah hukum adat hukum aslinya golongan rakyat pribumi yang merupakan hukum yang hidup dalam bentuk tidak tertulis dan mengandung unsur-unsur nasional yang asli, yaitu sifat kemasyarakatan dan kekeluargaan yang berdasrkan keseimbangan serta diliputi oleh suasana keagamaan atau prinsip nasionalitas, Pro kepentingan negara, Pro kepentingan bangsa, Pro Pancasila tidak bertentangan dengan Undang-undang/peraturan perundangan yang lebih tinggi dan ditambah unsur agama. Karena itu memberlakukan hukum adat dengan disertai dengan persyaratan, bahwa hukum adat itu tidak boleh bertentangan dengan :

- Kepentingan nasionalisme dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa. - Sosialisme Indonesia

- Peraturan-peraturan yang tercantum dalam UUPA - Peraturan-peraturan Perundangan lainnya.

- Unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama

Pembatasan-pembatasan bagi berlakunya hukum adat tidaklah mengurangi arti ketentuan pokok dalam UUPA, bahwa hukum Agraria memakai hukum adat sebagai dasar dan sumber utama pembangunannya. Pengakuan hukum adat merupakan perlindungan hukum masyarakat adat. Pengakuan hukum adat sebagaimana disebutkan dalam pasal 5 UUPA merupakan suatu bentuk keragu-raguan, terutama mengenai kemampuan hukum adat dalam memenuhi tuntutan masyarakat modern. Hal ini terutama dilontarkan oleh penganut paham kodifikasi yang intinya hukum adat tidak menjamin kepastian hukum.

(7)

nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, dan secara tidak langsung UUPA telah mengakui keberadaan Hukum Tanah Adat di Desa Adat utamanya Bali.

Lalu bagaimanakah Eksistensi dan Pelaksanaan Hukum Tanah Adat Bali di Lingkungan Desa Adat di Bali?

B. Rumusan Masalah

1. Apa saja yang diatur dalam Hukum Tanah Adat khususnya yang diterapkan pada Desa Adat yang ada di Bali?

2. Bagaimana penerapan serta pelaksanaan Hukum Tanah Adat Bali di Lingkungan Desa Adat di Bali?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui apa saja yang diatur dalam Hukum Tanah Adat khususnya yang diterapkan pada Desa Adat yang ada di Bali.

2. Untuk mengetahui penerapan serta pelaksanaan Hukum Tanah Adat Bali di Lngkungan Desa Adat di Bali.

Bab II

Pembahasan

A. Pengertian Hukum Adat

Hukum adat merupakan istilah teknis ilmiah, yang menunjukkan aturan-aturan kebiasaan yang berlaku di kalangan masyarakat yang tidak berbentuk peraturan perundangan yang dibentuk oleh penguasa pemerintahan. Beberapa definisi hukum adat yang dikemukakan para ahli hukum, antara lain sebagai berikut:

(8)

Vallenhoven dimaksud memang cocok untuk mendeskripsikan apa yang dinamakan Adat Recht pada jaman tersebut bukan untuk Hukum Adat pada masa kini.

2. Prof. Soepomo, merumuskan Hukum Adat: Hukum adat adalah synomim dari hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan legislative (statuary law), hukum yang hidup sebagai konvensi di badan-badan hukum Negara (Parlemen, Dewan Propinsi dan sebagainya), hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang dipertahankan di dalam pergaulan hidup, baik di kota maupun di desa-desa.

3. Prof. Soekanto, merumuskan hukum adat: Komplek adat adat inilah yang kebanyakan tidak dikitabkan, tidak dikodifikasikan dan bersifat paksaan mempunyai sanksi (dari itu hukum), jadi mempunyai akibat hukum, komplek ini disebut Hukum Adat

4. Prof. Soeripto: Hukum adat adalah semua aturan-aturan/ peraturan-peraturan adat tingkah laku yang bersifat hukum di segala kehidupan orang Indonesia, yang pada umumnya tidak tertulis yang oleh masyarakat dianggap patut dan mengikat para anggota masyarakat, yang bersifat hukum oleh karena ada kesadaran keadilan umum, bahwa aturan-aturan/ peraturan itu harus dipertahankan oleh petugas hukum dan petugas masyarakat dengan upaya paksa atau ancaman hukuman (sanksi).

5. Hardjito Notopuro: Hukum Adat adalah hukum tidak tertulis, hukum kebiasaan dengan ciri khas yang merupakan pedoman kehidupan rakyat dalam menyelenggarakan tata kedilan dan kesejahteran masyarakat dan bersifat kekeluargaan.

6. Suroyo Wignjodipuro: Hukum adat adalah suatu kompleks norma-norma yang bersumber apada perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang serta meliputi peraturan tingkat laku manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, sebagian besar tidak tertulis, karena mempunyai akibat hukum (sanksi). 7. Seminar Hukum Adat dan pembinaan Hukum Nasional: Hukum adat diartikan

(9)

8. Sudjito Sastrodiharjo menegaskan: Ilmu hukum bukan hanya mempelajari apa yang disebut das sollen, tetapi pertama kali harus mengingat das sein. Hukum adat merupakan species dari hukum tidak tertulis, yang merupakan genusnya.

Selanjutnya dalam memahami perkembangan hukum adat dalam masyarakat, maka Prof. Van Vallenhoven merumuskan: Jikalau dari atas (penguasa) telah diputuskan untuk mempertahankan Hukum Adat padahal hukum itu sudah mati, maka penetapan itu akan sia-sia belaka. Sebaliknya seandainya telah diputuskan dari atas bahwa Hukum Adat harus diganti, padahal di desa-desa, di ladang-ladang dan di pasar-pasar hukum itu masih kokoh dan kuat, maka hakim-pun akan sia-sia belaka. Dengan kata lain memahami hukum adat harus dilakukan secara dinamik, dan selaras antara atas – yang memutuskan – dan bawah yang menggunakan - agar dapat diketahui dan dipahami perkembangannya.

Menurut Soepomo, Hukum adat adalah suatu hukum yang hidup karena ia menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat. Dalam berbagai seminar, maka berkembang kemudian hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) yang lazim dipergunakan untuk, menunjukkan berbagai macam hukum yang tumbuh dan berkembang dengan sendirinya di dalam masyarakat, yang menurut Satjipto Raharjo, akan tetap ada sebagai kelengkapan dari Hukum Nasional. Penyebutan Hukum Adat untuk hukum yang tidak tertulis tidak mengurangi peranannya dalam memberikan penyaluran dari kebiasaan, kepentingan-kepentingan yang tidak terucapkan dalam hukum tertulis.

B. Hukum Adat dalam Peraturan Perundang-undangan

Pada tahun 2000 MPR melakukan amandemen II terhadap UUD 1945 dan pengaturan tentang keberadaan MHA (Masyarakat Hukum Adat) yang keberadaannya diatur di dalam Pasal 18 B ayat (2) dalam bab tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 28 l ayat (3) dalam bab tentang Hak Asasi Manusia. Adapun bunyi lengkap kedua pasal tersebut adalah sebagai berikut:

(10)

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta

hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat

dan prinsip Negara Keratuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.

Pasal 28 l ayat (3):

“Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan

zaman dan peradaban”.

Berbeda dengan perumusan Pasal 18 Undang Undang Dasar 1945 lama, dalam perumusan Pasal 18 B ayat (2) Undang Undang Dasar 1945 hasil amandemen tersebut dicantumkan sejumlah persyaratan terhadap pengakuan dan penghormatan atas keberadaan kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat tersebut. Asal-usul dan kedudukan istimewa yang dimiliki daerah-daerah tersebut sebagaimana diakui oleh Pasal 18 Undang Undang Dasar 1945 lama tidak lagi diakui, sehingga harus dihapuskan dengan tidak dicantumkannya kembali dalam U.U.D 1945 amandemen II.

Pengakuan terhadap hukum adat atau hak-hak adat khususnya dalam bidang pertanahan salah satunya diatur dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dan peraturan di bawahnya. Dalam Penjelasan Umum angka III Undang-Undang Pokok Agraria dinyatakan, bahwa : “Dengan sendirinya Hukum Agraria yang baru itu harus sesuai dengan kesadaran hukum daripada rakyat banyak, oleh

karena rakyat Indonesia sebagian besar tunduk pada hukum adat, maka hukum agraria baru

tersebut akan didasarkan pula pada ketentuan-ketentuan hukum adat itu, sebagai hukum

yang asli, yang disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam

negara yang modern dalam hubungannya dengan dunia internasional serta disesuaikan

dengan sosialisme Indonesia. Sebagaimana dimaklumi maka Hukum Adat dalam

pertumbuhannya tidak terlepas pula dari pengaruh politik dan masyarakat kolonial yang

(11)

Dalam pasal 5 dinyatakan bahwa, “Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah Hukum Adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan

nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia

serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini (UUPA) dan

dengan peraturan-peraturan lainnya, segala sesuatu mengindahkan unsur-unsur yang

bersandar pada hukum agama”. Selanjutnya dalam penjelasan pasal 16 dinyatakan bahwa, Pasal ini adalah pelaksanaan daripada ketentuan dalam pasal 4. Sesuai dengan asas yang diletakkan dalam pasal 5, bahwa Hukum Pertanahan yang Nasional didasarkan atas Hukum Adat, maka penentuan hak-hak atas tanah dan air dalam pasal ini didasarkan pula atas sistematik dari Hukum Adat.

Dalam pada itu hak guna usaha dan hak guna usaha bangunan diadakan untuk memenuhi keperluan masyarakat modern dewasa ini, perlu kiranya ditegaskan bahwa hak guna usaha bukan hak erepacht dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dan hak guna bangunan bukan hak opstal. Lembaga erepacht dan opstal ditiadakan dengan dicabutnya ketentuan-ketentuan dalam buku ke II Kitab Undang-undang Hukum Perdata.Dalam pada itu, hak-hak adat yang bersifat bertentangan dengan Undang-undang ini tetapi berhubungan dengan keadaan masyarakat sekarang ini belum dapat dihapuskan, diberi sifat sementara dan akan diatur.Pasal 56 juga menjelaskan bahwa, Selama undang-undang mengenai hak milik sebagai tersebut dalam pasal 50 ayat 1 belum terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan Hukum Adat setempat. Sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan undang-undang ini (UUPA).

C. Tinjauan Umum mengenai Hukum Tanah Adat Bali serta Pelaksanaan Hukum

Tanah Adat Bali.

1. Pengertian Desa Adat, Lembaga Hukum Adat, dan Hukum Waris Adat.

(12)

menetapkan unit sosial masyarakat hukum adat seperti nagari, huta, kampong, mukim dan lain-lain sebagai badan hukum publik. Selanjutnya Pasal 103 UU Nomor 6 tahun 2014, Desa adat sebagai badan hukum publik mempunyai kewenangan tertentu berdasarkan hak asal usul, yaitu :

1. Pengaturan dan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan susunan asli atau dengan kata lain pemerintahan berdasarkan struktur dan kelembagaan asli, seperti nagari, huta, marga dan lain-lain,

2. Pengaturan dan pengurusan ulayat atau wilayah adat, Pelestarian nilai sosial dan budaya adat, Penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di desa adat yang selaras dengan Hak Asasi Manusia,

3. Penyelenggaraan sidang perdamaian desa adat yang sesuai dengan UU yang berlaku, Pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban masyarakat desa adat berdasarkan hukum adat, dan

4. Pengembangan kehidupan hukum adat.

Selain menjalankan tugas kewenangan berdasarkan hak asal usul diatas, desa adat juga menjalankan kewenangan yang dilimpahkan pemerintah pusat dan daerah. Sehingga desa adat adalah perpaduan unit sosial masyarakat adat dengan unit pemerintahan. Dalam konteks ini, desa adat adalah kuasi-negara (State Auxalary Bodies).

(13)

3. Menurut Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat adalah hukum adat yang memuat garis-garis ketentuan-ketentuan tentang sistem dan azas-azas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan ahli waris serta cara bagaimana harta warisan, itu dialihkan penguasaan dan kepemilikannya dari kepada ahli waris. Hukum Waris Adat di dalamnya terdapat adanya kesatuan dan berjenis-jenis dalam Hukum Adat Indonesia, dapat disusun aturan-aturan pokok dan asas-asas yang sangat umum berlakunya, tetapi tidak dapat disusun suatu aturan yang di semua lingkungan hukum berperangai lahir yang sama. Dalam Hukum Adat ini para ahli waris tidak dapat ditetapkan, karena di berbagai daerah itu terdapat bermacam-macam sistem kekeluargaan. Jadi para ahli warisnya digolongkan berdasar sifat kekeluargaan masing-masing. Tetapi yang pasti menjadi ahli waris adalah anak.

2.

Sejarah dan Pengertian Desa Pakraman/Desa Adat di Bali

(14)

dan diberi tanggungjawab mengurus anggotanya berdasarkan peraturan yang disepakati bersama.

Istilah desa pakraman sendiri diperkirakan berasal dari kata karaman yang ditemukan dalam prasasti nomor 303 Bwahan (916 Saka) yang dikeluarkan Raja Udayana dan Ratu Gunapriyadharmapatni, karaman I wingkang ranu Bwahan (artinya masyarakat di bintang danu yaitu Bwahan). Menurut Goris dan Soekarto, karaman diartikan menjadi desa sebagai suatu kesatuan hukum atau suatu wilayah tertentu yang diperintah oleh sejumlah rama. Rama sendiri berasal dari kata ama yang berarti ayah yang kemudian mendapat awalan ra. Dari penguraian kata pakraman ini kemudian lahir pengertian tempat berkumpulnya para tetua yang merupakan tokoh adat atau tokoh agama.

Konsep desa yang dibentuk Rsi Markandya terus disempurnakan, termasuk pada masa kedatangan Mpu Kuturan yang menambahkan tentang Tri Kahyangan, yakni tiga Pura yang harus dimiliki desa, Pura Desa, Pura Puseh, dan Pura Dalem.14 Ketiga Pura (Kahyangan Tiga) ini menjadi simbol pemujaan Tri Murti yakni Dewa Brahma (Pura Desa), Dewa Wisnu (Pura Puseh), dan Dewa Siwa (Pura Dalem). Kahyangan Tiga ini juga sebagai implementasi dari konsep Tri Hita Karana.

Perkembangan selanjutnya menunjukkan ada dua tipe desa di Bali, yakni desa apanaga dan desa Bali Aga. Desa apanaga adalah desa-desa yang memakai sistem kemasyarakatan mengikuti pola tata kemasyarakatan Majapahit. Desa-desa ini sebagian besar berada di Bali dataran. Desa Bali Aga (Bali Mula) adalah desa-desa tua yang masih kuat memegang sistem adat istiadat dan tidak atau sedikit kena pengaruh Majapahit. Desa-desa ini kebanyakan berada di pegunungan. Ada juga yang menyebutkan tipe desa baru, yakni desa-desa yang timbul akibat perpindahan penduduk yang didorong oleh keinginan untuk mendapatkan lapangan penghidupan. Secara umum desa-desa di Bali memiliki tata cara dan sistemnya sendiri yang disebut desa mawacara.

(15)

gambaran tentang desa-desa tua yang hidup homogen dan dipimpin para tetuanya. Ia menyebut desa di Bali sesungguhnya merupakan republik kecil yang memiliki hukum atau aturan adat dan tradisi sendiri. Meskipun muncul raja-raja penakluk, desa di Bali termasuk sukses melindungi dirinya dari dominasi bangsawan penakluk, sebagai republik kecil, yang egaliter dan otonom. Susunan pemerintahan republik kecil ini sangat demokratis dan masingmasing anggota memiliki hak-hak hukum yang sama. Orang yang dipilih menjadi pemimpinan adalah orang yang paling lama menjadi anggota (dalam hal ini tetua). Jika terjadi perbedaan pendapat di kalangan anggota, bisa dilakukan pemungutan suara.

Dalam politiknya, Liefrinck menginginkan Bali sebagai daerah yang tak tersentuh, daerah yang tidak mudah dipengaruhi budaya luar serta sistem tradisinya bisa dimanfaatkan untuk kepentingan administrasi pemerintahan kolonial. Namun, Gubernur Jenderal Van Heutsz berpendapat lain. Sebagai Gubernur Jenderal, ia ingin membangun Bali memasuki era modern. Dari sinilah muncul dua sudut pandang yang berbeda yang mempengaruhi wujud desa di Bali. Agama disamakan dengan aturanaturan tradisi (adat) sedangkan administrasi masuk dalam domain negara kolonial Dari pendekatan ini kemudian muncul istilah desa adat dan desa administrasi (desa dinas yang berasal dari Bahasa Belanda, diens).

Penelitian selanjutnya dilakukan V.E. Korn yang memberi legitimasi hasil penelitian Liefrinck mengenai desa-desa Bali yang bersifat otonom. Korn melakukan studi hukum adat di Bali dan menghasilkan buku “Adatrecht van Bali” (1932) yang membuat desa terkenal dengan hukum adatnya. Korn menemukan tiap desa di Bali memiliki awig-awig yang membuat desa lebih mandiri dan otonom.

(16)

dengan cara sederhana pula. Permasalahan ini diselesaikan prajuru (pimpinan) desa adat berdasarkan asas desa mawacara. Desa mawacara diartikan bahwa tiap desa adat memiliki adat kebiasaan atau awig-awig dan perarem sendiri untuk mengatur kehidupan di desanya.

3.

Awig-awig dan Perarem dalam Hukum Tanah Adat Bali

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, setiap Desa Pakraman di Bali memiliki tatanan hukum sosial adat berupa Awig-awig yang berbeda satu sama lainnya. Awig-awig merupakan tata dalam hidup bermasyarakat. Masyarakat sendiri ditandai oleh beberapa ciri, seperti adanya interaksi, ikatan, pola tingkah laku yang khas dalam semua aspek kehidupan yang bersifat mantap dan kontinyu, serta adanya rasa identitas terhadap kelompok dimana individu yang bersangkutan menjadi anggotanya. Dalam kehidupan bermasyarakat, manusia akan senantiasa berhadapan dengan kekuatan-kekuatan manusia lainnya, sehingga diperlukan adanya norma-norma dan aturan-aturan yang menentukan tindakan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dilakukan.

Awig-awig yang dijadikan pegangan oleh prajuru desa pakraman dalam mengemban kewajibannya, dibuat sesuai dengan situasi dan kondisi objektif masing-masing desa pakraman. Hal ini menyebabkan adanya perbedaan antar awig-awig desa pakraman yang satu dengan yang lainnya walaupun secara geografis letaknya berdekatan. Perbedaan ini dianggap normal dan lumrah sesuai dengan asas desa mawacara.

Dalam pasal 1 angka (11) Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman menyebutkan, awig-awig adalah aturan yang dibuat oleh krama desa pakraman dan atau krama banjar pakraman yang dipakai sebagai pedoman dalam pelaksanaan Tri Hita Karana, sesuai dengan desa mawacara dan dharma agama desa pakraman/banjar pakraman masing-masing.

Dalam Bab VII tentang Awig-awig Desa Pakraman mengatur tentang Pasal 11

(1) Setiap desa pakraman menyuratkan awig-awig-nya.

(2) Awig-awig desa pakraman tidak boleh bertentangan dengan agama, Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, dan hak asasi manusia.

(17)

(1) Awig-awig desa pakraman dibuat dan disahkan oleh kraman desa pakraman melalui paruman desa pakraman.

(2) Awig-awig desa pakraman dicatatkan di kantor Bupati/Wali Kota masing-masing. Substansi awig-awig garis besarnya berisi Murdha Citta, Pamikukuh, Petitis, asas-asas, norma atau kaidah, dan sanksi. Asas-asas misalnya gotong royong, tolong menolong, musyawarah mufakat, saling asah saling asih saling asuh, paras paros, rukun laras patut. Norma/kaidah dirumuskan dalam bentuk larangan, perintah, dan kebolehan. Hal-hal yang dilarang, diperintahkan, dan dibolehkan harus mengacu pada pamikukuh dan petitis yang telah ditetapkan. Norma-norma yang berupa perintah dan larangan, rumusannya disertai sanksi yang jelas. Norma-norma yang berisi kebolehan, rumusannya tidak disertai sanksi.

Isi awig-awig di bagian norma harus bersifat moderat dan fleksibel. Hal ini bertujuan mengakomodir kebutuhan perkembangan zaman terutama yang berkaitan dengan kependudukan, kebersihan lingkungan, kesejahteraan, dll. Umumnya awig-awig tertulis hanya memuat pokok-pokok mengenai kehidupan desa pakraman.

Aturan pelaksanaan yang lebih rinci dituangkan dalam bentuk keputusan rapat desa yang disebut perarem. Perarem memiliki kekuatan mengikat yang secara substansi bisa dikelompokkan menjadi tiga, perarem penyahcah awig, perarem ngele/lepas, dan perarem penepas wicara. Perarem penyahcah awig artinya aturan pelaksanaan dari awig-awig tertulis yang sudah ada. Perarem ngele berupa keputusan paruman yang merupakan aturan hukum baru yang tidak ada landasannya dalam awig-awig tertulis. Hal ini biasanya dipakai untuk mengakomodir kebutuhan hukum baru untuk mengikuti perkembangan masyarakat. Perarem penepas wicara merupakan keputusan paruman mengenai suatu wicara (perkara) yang berupa persoalan hukum seperti sengketa maupun pelanggaran hukum.

4.

Struktur Kelembagaan Desa Pakraman

Saat ini secara terpusat di Bali, terdapat tiga bagian desa pakraman secara berurut yaitu : 1 Desa Adat Agung (Tingkat Propinsi), 9 Desa Adat Madya (Tingkat Kabupaten), Desa Adat Pakraman (Tingkat Kecamatan / Kelurahan / Desa).

(18)

beberapa kelompok wilayah tempat tinggal dengan berpedoman pada mata angin yang dinamakan tempekan yang diketuai oleh seorang Kelihan Tempek. Kelihan Desa dibantu oleh beberapa orang pengurus yang disebut prajuru desa adat yang terdiri dari Penyarikan (sekretaris), Petengen (bendahara), KesinomanDesa (Juru arah) dan prajuru lainnya yang diadakan sesuai kebutuhan desa, serta Kelihan Banjar.

Pemilihan Prajuru, Kelihan Banjar, dan Kelihan Tempek ini juga dilakukan melalui sangkepan desa. Desa pakraman dalam kelangsungan kehidupannya, memerlukan saranasarana penunjang. Adapun yang merupakan unsur-unsur utama di desa pakraman ialah Bala (unsur warga atau krama desa), Wahana (tempat untuk merencanakan, mengkoordinir dan menuntun segala kegiatan warga) dan Kosa (perlengkapan, dana dan fasilitas yang akan digunakan di semua kegiatan krama dalam mewujudkan cita-citanya).

5.

Penanganan Konflik Pertanahan Adat dalam Hukum Tanah Adat Bali

Penyelesaian sengketa di luar pengadilan baik dengan cara negosiasi atau mediasi diselesaikan melalui musyawarah dan mufakat. Mengenai musyawarah mufakat ini Koesnoe mengemukakan :

Di dalam masyarakat adat, istilah ini mengandung suatu pengertian yang isinya primair sebagai suatu tindakan seseorang bersama orang-orang lain untuk menyusun suatu pendapat bersama yang bulat atas sesuatu permasalahan yang dihadapi oleh seluruh masyarakatnya. Dari itu musyawarah selalu menyangkut soal hidupnya masyarakat yang bersangkutan. Sebagai suatu ajaran musyawarah menegaskan bahwa di dalam hidup bermasyarakat, segala persoalan yang menyangkut hajat hidup dan kesejahteraan bersama harus dipecahkan bersama sama oleh para anggota-anggotanya atas dasar kebulatan kehendak mereka bersama (Moh. Koesnoe, 1979: 45).

Apabila penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berhasil maka desa pakraman dapat menyelesaikannya melalui pengadilan. Pada sidang pertama di pengadilan maka agenda yang dilakukan adalah mediasi.

(19)

merupakan implementasi dari otonomi desa pakraman. Wirtha Griadhi dan Widnyana mengemukakan bahwa otonomi desa pakraman meliputi:

(1) Kewenangan menetapkan aturan hukumnya sendiri yang disebut awig-awig;

(2) Kewenangan menyelenggarakan pemerintahan desa pakraman secara mandiri; serta (3) Mempunyai kewenangan persoalan-persoalan hukum (wicara) yang terjadi di lingkungan wilayahnya, baik yang berupa pelanggaran hukum maupun sengketa (I Ketut Sudantra dan AA Gede Oka Parwata (ed), tanpa tahun edisi:

Pendekatan antara prajuru desa ini merupakan kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat adat. Dilihat dari karakteristik sengketa pun, sengketa adat lebih efektif jika diselesaikan melalui hukum adat. Dibandingkan hukum nasional yang state law itu, hukum lokal yang folklaw itu memang tak mempunyai struktur-strukturnya yang politik, namun kekuatan dan kewibawaannya memang tidak tergantung dari struktur-struktur yang politik itu melainkan dari imperativa-imperativanya yang moral dan kultural.

Selain itu, terdapat pula sistem sanksi hukum adat dalam awig-awig desa pakraman. Sanksi dalam awig-awig disebut dengan istilah pamidanda, mempunyai tujuan untuk mengembalikan keseimbangan apabila terjadi gangguan keseimbangan hubungan dalam aspek-aspek hubungan kewilayahan (palemahan), kemasyarakatan (pawongan), d keagamaan (parhyangan). Pamidanda ini dalam literature hukum ataupun dalam pemahaman masyarakat umum lazim dikenal sebagai sanksi adat.

(20)

kasepekang (dikucilkan) dan kanorayang makrama (dipecat sebagai kerama desa). Bentuk sanksi dari golongan panyangaskara danda, misalnya adalah kewajiban nyarunin desa (melakukan upacara korban suci untuk mengembalikan kesucian desa). Mekanisme penjatuha sanksi umumnya di lakukan oleh desa pakraman secara berjenjang melalui prajuru sesuai dengan tingkatannya (mulai dari prajuru banjar sampai prajuru desa) dan disesuaikan dengan berat ringannya kesalahan atau akibat yang ditimbulkan (masor singgih manut kasisipanya). Walaupun di sana-sini terjadi perlawanan dari kerama dalam penerapan awig-awig (penjatuhan sanksi) sehingga muncul menjadi kasus yang dimuat di media massa, secara umum awig-awig dan sanksi adat ditaati oleh kerama desa. Ketaatan kerama desa terhadap awig-awig disebabkan awig-awig tersebut mempunyai legitimasi sekala dan niskala. Secara sekala (alam nyata) awig-awig diterima dan ditatati karena merupakan kesepakan bersama, dibuat secara demokratis melalui rapat (paruman) desa, pada suatu forum dimana semua kerama desa mempunyai hak suara yang sama. Secara niskala, awig-awig ditaati karena dianggap mempunyai tuah atau kekuatan gaib sebab awig-awig baru diberlakukan setelah diadakan upacara pasupati atau pemelaspasan.

6.

Pewarisan Tanah dalam Hukum Tanah Adat Bali

Setiap keluarga Hindu Bali mempunyai harta / kekayaan keluarga berupa harta benda baik yang mempunyai nilai-nilai magis religius yaitu yang ada hubungannya dengan keagamaan / upacara-upacara keagamaan dan harta tidak mempunyai nilai magis religius antara lain: harta akas kaya, harta jiwa dana, harta druwe gabro.

Ditinjau dari macamnya, harta warisan menurut hukum adat dapat dibedakan menjadi:

1) Harta Pusaka

(21)

keagamaan dan bukan untuk kepentingan lain. Hal ini mengingat masyarakat Bali yang mayoritas menganut agama Hindu. Adapun yang termasuk jenis harta pusaka di Bali adalah sanggah, keris pengentas, alat-alat upacara, tanah bukti pemerajaan, laba pura dan druwe tengah.

2) Harta bawaan

Harta bawaan adalah harta warisan yang asalnya bukan didapat karena jerih payah bekerja sendiri dalam perkawinan melainkan merupakan pemberian karena hubungan cinta kasih, balas jasa atau karena sesuatu tujuan. Pemberian ini dapat terjadi dalam bentuk benda tetap atau barang bergerak. Di Bali harta bawaan ini disebut harta bebaktan yang terdiri dari :

a) Harta akas kaya yaitu harta yang diperoleh suami / istri masing-masing atas jerih payah sendiri sebelum masuk jenjang perkawinan. Setelah kawin dan mereka hidup rukun sebagai suami istri, maka harta akas kaya ini jadi harta bersama / druwe gabro.

b) Harta jiwa dana yaitu pemberian secara tulus ikhlas dari orang tua kepada anaknya baik laki-laki maupun wanita sebelum masuk perkawinan. Pemberian jiwa dana ini bersifat mutlak dan berlaku seketika, ini berarti bahwa penerima jiwa dana dapat memindahtangankan harta tersebut tanpa meminta izin dari saudara-saudaranya. Begitu pula apabila anak wanita yang kawin keluar, istri yang cerai dari suamnya, ia tetap berhak membawa harta jiwa dana tersebut.

3) Harta bersama

(22)

Menurut hukum adat anak-anak dan si peninggal warisan merupakan golongan ahli waris yang terpenting. Oleh karena mereka pada hakikatnya merupakan satu-satunya golongan ahli waris, sebab lain-lain anggota keluarga tidak mejadi ahli waris, apabila si peninggal warisan meninggalkan anak-anak. Jadi dengan adanya anak-anak, maka kemungkinan lain-lain anggota keluarga dari si peninggal warisan untuk menjadi ahli waris tertutup.

Menurut hukum adat Bali yang menganut sistem kekeluargaan patrilineal maka yang menjadi ahli waris adalah anak laki-laki, sedangkan anak perempuan tidak sebagai ahli waris. Sebagai pengecualian dari sistem patrilineal dalam hukum kekeluargaan Bali, apabila pewaris hanya mempunyai anak perempuan maka si anak dapat dijadikan sentana rajeg (ahli waris) dengan melakukan perkawinan nyeburin yaitu di wanita kawin dengan si laki-laki dengan menaik laki-laki itu ke alam keluarganya. Di sini si wanita menjadi berkedudukan sebagai laki-laki, sedangkan si laki-laki berkedudukan sebagai perempuan. Bagi si wanita akan berlaku hukum kewarisan yang lazim berlaku untuk laki-laki di keluarga itu. Bagi laki-laki yang kawin nyeburin, kedudukannya dalam warisan adalah sebagai wanita.

Apabila pewaris tidak mempunyai keturunan sama sekali, maka pewaris mengangkat anak laki-laki dari saudara kandung lelaki tersebut, demikian seterusnya sehingga hanya anak laki-laki yang jadi ahli waris dan terhadap segala sesuatu harus didasarkan atas musyawarah dan mufakat para anggota kerabat. Di Bali akibat dari pengangkatan anak (Adopsi) dalam hukum adat adalah bahwa anak itu mempunyai kedudukan sebagai anak yang lahir dari perkawinan suami istri yang mengangkatnya sama seperti anak kandung dan hubungan dengan keluarga asal jadi putus. Demikian halnya dengan kedudukan anak angkat di Bali pada umumnya anak sentana memperoleh kedudukan dan hak (antara lain hak waris) yang sama dengan seorang anak kandung.

(23)

Secara umum menurut ketentuan hukum waris adat bahwa untuk menentukan siapa yang menjadi ahli waris digunakan dua garis pokok keutamaan dan garis pokok penggantian.

Garis pokok keutamaan merupakan suatu garis hukum yang menentukan urutan keutamaan di antara golongan-golongan dalam keluarga pewaris, dengan pengertian bahwa golongan yang satu lebih diutamakan yaitu yang pertama adalah keturunan pewaris (anak-anak pewaris), yang kedua orang tua pewaris, yang ketiga saudara pewaris beserta keturunannya dan yang keempat kakek nenek pewaris.

Adapun garis pokok penggantian merupakan garis hukum yang bertujuan untuk menentukan siapakah di antara orang di dalam kelompok keutamaan tertentu. karena garis hukumnya menyatakan bahwa janda bukan ahli waris (almarhum) suaminya. Sehingga dapat disimpulkan sebagai berikut :

1) Janda berhak akan jaminan nafkah seumur hidupnya, baik dari barang gono gini mapun dari hasil barang asal suami, jangan sampai terlantar selanjutnya sesudah suaminya meninggal dunia.

2) Janda berhak menguasai harta peninggalan suaminya, untuk menarik penghasilan dari barang-barang itu, lebih-lebih jika mempunyai anak. Harta itu tetap merupakan kesatuan di bawah asuhan yang tidak dibagi-bagi;

3) Janda berhak menahan barang asal suaminya, jikalau dan sekedar harta selama barang asal itu sungguh-sungguh diperlukan olehnya, untuk keperluan nafkahnya ;

(24)

Bab III

Penutup

A.

Kesimpulan

(25)

adat merupakan posisi dasar berlakunya hukum adat. Hukum adat yang dimaksudkan UUPA adalah hukum adat hukum aslinya golongan rakyat pribumi yang merupakan hukum yang hidup dalam bentuk tidak tertulis dan mengandung unsur-unsur nasional yang asli, yaitu sifat kemasyarakatan dan kekeluargaan yang berdasrkan keseimbangan serta diliputi oleh suasana keagamaan atau prinsip nasionalitas.

Hukum adat merupakan istilah teknis ilmiah, yang menunjukkan aturan-aturan kebiasaan yang berlaku di kalangan masyarakat yang tidak berbentuk peraturan perundangan yang dibentuk oleh penguasa pemerintahan. Sesuai dengan asas yang diletakkan dalam pasal 5 UUPA, bahwa Hukum Pertanahan yang Nasional didasarkan atas Hukum Adat, maka penentuan hak-hak atas tanah dan air dalam pasal ini didasarkan pula atas sistematik dari Hukum Adat.

Menurut Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014, Desa Adat adalah pengakuan masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum dalam sistem pemerintahan, yaitu menetapkan unit sosial masyarakat hukum adat seperti nagari, huta, kampong, mukim dan lain-lain sebagai badan hukum publik. Desa Adat atau di Bali disebut Desa Pakraman memiliki adat atau hukum-hukum tradisi sebagai pedoman bermasyarakat. Istilah desa adat pun muncul sebagai hasil dari penelitian-penelitian terhadap desa yang memiliki hukum adat dan hidup dengan semangat otonomi. Ini membuat istilah desa adat muncul sebagai hasil studi kolonial. Permasalahan yang muncul di desa adat ketika itu masih sederhana dan dapat diselesaikan dengan cara sederhana pula. Permasalahan ini diselesaikan prajuru (pimpinan) desa adat berdasarkan asas desa mawacara. Desa mawacara diartikan bahwa tiap desa adat memiliki adat kebiasaan atau awig-awig dan perarem sendiri untuk mengatur kehidupan di desanya.

(26)

menarik laki-laki itu ke alam keluarganya. Di sini si wanita menjadi berkedudukan sebagai laki-laki, sedangkan si laki-laki berkedudukan sebagai perempuan. Bagi si wanita akan berlaku hukum kewarisan yang lazim berlaku untuk laki-laki di keluarga itu. Bagi laki-laki yang kawin nyeburin, kedudukannya dalam warisan adalah sebagai wanita.

B.

Saran

1. Perlu disahkan dengan segera Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat (PPMA), sesuai yang diamanatkan pada Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 sebagai hasil amandemen kedua pada tahun 2000 yang berbunyi: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.” Diharapkan dari sahnya RUU PPMA menjadi UU, persoalan konflik yang terjadi antara masyarakat adat, baik dengan pemerintah atau swasta terkait pengelolaan sumber daya alam, tanah dan lainnya bisa terselesaikan secara hukum dan tidak mengabaikan hak-hak masyarakat adat sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

(27)

DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA)

(28)

Hendriatiningsih, S. Budiartha, Agus. Hernandi, Andri. 2008. Masyarakat dan Tanah Adat di Bali: Studi Kasus Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali, Jurnal Sosioteknologi ITB, Institut Teknologi Bandung, Bandung.

Soearningsih, Luh Gede. 2015. Tesis Penyelesaian Sengketa Tanah Adat yang dijadikan Tempat Pendidikan Oleh Pemerintah Daerah : Studi Kasus Di Desa Pakraman Bale Agung Tenaon,

Alasangker Kecamatan Buleleng Kabupaten Buleleng. Tesis Program Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar.

Paramartha, I Gusti Ngurah Budi. 2015. Landasan Yuridis dan Makna Pengukuhan Awig-Awig Desa Pakraman Oleh Bupati/Wali Kota. Tesis Program Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar.

Priyanto, I Made Dedi. Suandi, I Wayan. Bunga, Dewi. Purwanto, I Wayan Novy. Peranan Prajuru Desa dalam Penyelesaian Sengketa Perebutan Tanah Kuburan (Setra):Studi Kasus Di Desa

Pakraman Kerobokan dan Desa Pakraman Padang Sambian.Jurnal Ilmu Komunikasi Universitas Jendral Soedirman, Universitas Jendral Soedirman, Purwokerto.

Beni, I Wayan. 1988.Warisan adat Bali, Tabanan:Agung Dharma Putra

Hadikusuma, Hilman.2003.Hukum Waris Adat, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti

Panetje, I Gede.1986.Aneka Catatan Tentang Hukum Adat Bali,Cetakan I,Denpasar:Kayumas

http://legal-community.blogspot.co.id/2011/08/hukum-adat-dalam-uupa.html

Referensi

Dokumen terkait

pembelian tiket penerbangan domestik pada saat hari weekday Ordinal Payment Method Pembeli mengambil keputusan mengenai metode pembayaran yang akan mereka pilih pada

Berdasarkan latar belakang masalah serta masalah-masalah lain yang telah dikenalpasti, penulis ingin membangunkan satu laman web bercirikan Pembelajaran Berbantukan

Sehingga dapat dirumuskan pengertian pendidikan menurut Al-Ghazali adalah proses transformasi dan internalisasi ilmu pengetahuan dan nilai-nilai pada diri anak didik

Hasil estimasi menunjukkan bahwa PDRB Perkapita dan pertumbuhan ekonomi berpengaruh dan signifikan terhadap pendapatan asli daerah di Provinsi Jambi tahun 2000-2014.Hasil uji

Secara umum, yang dimaksud dengan pekerja anak atau buruh anak adalah anak-anak yang melakukan pekerjaan secara rutin untuk orang tuanya, untuk.. orang lain, atau untuk dirinya

Gagasan islamisasi ilmu pengetahuan muncul sebagai respon atas dikotomi antara ilmu agama dan sains yang dimasukkan Barat sekuler dan budaya masyarakat modern

menggantungkan sepenuhnya dari sumber-sumber kepustakaan, sedangkan penelitian lapangan adalah penelitian yang berbasis pada data lapangan (sosial masyarakat). Kedua ranah

Tujuan khusus yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah mendeskripsikan: Hasil belajar siswa sebelum dan sesudah diterapkan model pembelajaran berbasis