• Tidak ada hasil yang ditemukan

Paradoks Filosofi Positivisme dalam Nega

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Paradoks Filosofi Positivisme dalam Nega"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Paradoks Filosofi Positivisme dalam Negara Hukum yang Demokratis

Rido Pradana1

Email : ridopradana@gmail.com Phone number: 081281988772

Kasus Fidelis Ari Sudarwoto, seorang suami yang mengobati istrinya dengan menggunakan ganja ditangkap dengan alasan menanam dan menyalahgunakan ganja untuk istrinya sendiri. Dengan ditangkapnya Fidelis Ari Sudarwoto, istrinya yang sedang sakit dan membutuhkan obat meninggal dunia akibat tidak ada lagi ganja yang dikonsumsi. Atas peristiwa tersebut, publik pun menaruh simpati kepada Fidelis Ari Sudarwoto dan menuntut supaya Badan Narkotika Nasional (BNN) membebaskan ia karena dinilai tidak menyalahgunakan ganja yang ditanamnya.

Namun sungguh ironi para penegak hukum tidak mempedulikan respon publik.

Bahkan Budi Waseso sebagai Kepala BNN malah membalas respon publik dengan kalimat “Kita negara hukum, ada undang-undang yang atur itu semua. Jadi kan tidak bisa undang-undang dilanggar seolah-olah dengan alasan kemanusiaan dan pengobatan".2 Pada akhirnya Fidelis tetap di proses secara hukum dan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sanggau memutus kasus Fidelis dengan pidana penjara 8 bulan ditambah denda 1 milyar rupiah subsider 1 bulan penjara.3

Dari cuplikan peristiwa tersebut, setidaknya ada beberapa isu penting yang sangat penting dibahas untuk memberi jawaban atas peristiwa tersebut. Barangkali kasus tersebut bukanlah hal yang langka dan pertama terjadi di Indonesia, namun setidaknya dapat merefleksikan para penegak hukum untuk memaknai hukum itu sendiri. Peristiwa tersebut membuktikan bahwa penegak hukum di Indonesia adalah

1 Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia

2 Willem Jonata, Ganja untuk Pengobatan Istri dalam Kasus Fidelis, Kepala BNN: Tidak Masuk

Akal”,

http://www.tribunnews.com/nasional/2017/04/06/ganja-untuk-pengobatan-istri-dalam-kasus-fidelis-kepala-bnn-tidak-masuk-akal, diakses 7 Agustus 2017.

3 Ihsanuddin, Berani Terobos Angka Pidana Minimum, Hakim Kasus Fidelis Diapresiasi”,

(2)

seorang robot yang menegakkan hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan tanpa memperhatikan living law itu sendiri dalam masyarakat. Dengan alasan tersebut, pertanyaan pun muncul apakah benar dalam sebuah konstruksi negara hukum yang positivis seperti Indonesia nilai-nilai moralitas dikesampingkan atas dasar menjalankan peraturan perundang-undangan?

Jika ditelusuri sejarah perkembangan hukum di Indonesia, maka pengaruh dari Eropa Kontinental (Civil Law) yang berbentuk rechtsaat sangat dominan. Hal ini tidak lepas dari pengaruh kolonialisme terutama Belanda dalam memperkenalkan hukum-hukum tertulis di Indonesia dalam konstruksi sebuah negara. Dari pengaruh itulah teori hukum di Indonesia beralih dari natural law berdasarkan nilai keagamaan, moral dan adat menjadi sangat positivis berdasarkan konsep negara hukum hingga sekarang.

Paham positivisme merupakan aliran filsafat yang berkembang di Eropa Kontinental khususnya di Perancis dengan beberapa eksponen yang terkenal khususnya Henry Saint Simon (1760-1825) dan August Comte (1798-1857). Paham ini didasarkan atas empiricist epistemology bersumber dari pengalaman, tidak

dalam akal maupun pemikiran seperti natural law. Selain itu beberapa teori yang didasarkan atas empiriscist epistemology ini adalah the Histrical theories, the Sociological theories, the Psychological theory, the American Realist theories, the Scandinavian Realist theories, and the Phenomenoligical theories. Sementara yang kontemporer melliputi the Critical Legal Studies, the Feminist Jurisprudence dan the Critical Race theory.4

Positivisme merupakan paham yang menganut agar setiap metodologi yang dipikirkan untuk menemukan kebenaran hendaklah memperlakukan realitas sebagai sesuatu yang eksis, sebagai sesuatu objek, yang harus dilepaskan dari sembarang macam pra-konsepsi metafisis yang subjektif sifatnya. Diaplikasikan ke dalam pemikiran tentang hukum, positivisme menghendaki dilepaskannya pemikiran metayuridis mengenai hukum, sebagaimana dianut pemikir hukum kodrat. Karena itu setiap norma hukum harus eksis dalam alamnya yang objektif

4 Surya Prakash Sinha, Jurisprudence Legal Philosophy, (St. Paul: West Publishing Co., 1993),

(3)

sebagai norma-norma yang positif, ditegaskan sebagai wujud kesepakatan kontraktual yang kongkrit antara warga masyarakat (wakil-wakilnya). Hukum tidak lagi dikonsepsikan sebagai asas moral metayuridis yang abtrak tentang hakikat keadilan, melainkan ius yang telah mengalami positivisasi sebagai lege atau lex.5

Dalam positivisme hukum ini juga melihat bahwa yang terutama dalam melihat hukum adalah fakta bahwa hukum diciptakan dan diberlakukan oleh orang-orang tertentu di dalam masyarakat yang mempunyai kewenangan untuk membuat hukum. Sumber dan validitas norma hukum bersumber pada kewenangan tersebut.6Lahirnya hukum disini merupakan suatu fakta yang empiris yang ilmiah dalam hal menjawab kritikan terhadap natural law yang dianggap tidak mampu menjawab permasalahan dalam masyarakat karena dianggap terlalu abstrak. Dalam positive law nilai-nilai moral terpisahkan yang mana dalam natural law sebagai kesatuan yang tidak terpisahkan7. Walaupun demikian dalam positive law tetap merupakan suatu produk dari permasalahan yang diwujudkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang diciptakan oleh legislator dan ahli hukum.

Berkembangnya teori ini hingga sekarang masih mendapat berbagai macam

kritikan dan masukan yang pada dasarnya belum mampu menjawab permasalahan sosial. Doktrin-doktrin dari teori yang mengharuskan suatu peraturan perundang-undangan yang berbentuk lege atau lex tersebut menimbulkan suatu konsekuensi terhadap nilai-nilai moral. Tujuan dan pemaknaan hukum pun sepenuhnya kadangkala mengesampingkan nilai-nilai moral dalam masyarakat karena pada dasarnya teori ini menolak sesuatu yang abstrak namun ke sesuatu yang empiris dan faktual untuk menjawab permasalahan dalam masyarakat yaitu peraturan perundang-undangan itu sendiri.

Di Amerika Serikat, Skandinavia, dan Polandia, munculnya pandangan-pandangan hukum yang bersifat sosiologis (sosiologi hukum) selalu berkaitan erat dengan siatuasi konflik yang menjadi latar belakangnya, yaitu semacam bentuk perlawanan

5 Otje Salman dan Anton F. Susanto, Teori Hukum : Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka

Kembali, (Bandung: Refika Aditama, 2004), hlm.79-80.

6 Antonius Cahyadi dan E. Fernando E. Manullang, Pengantar ke Filsafat Hukum,

(Jakarta:Prenadamedia Group, 2015), hlm.58.

, 7 Agus Brotosusilo dan Antonious Cahyadi, Philosophy of Law, (Jakarta: Universitas Indonesia,

(4)

terhadap domain hukum yang cenderung positivist. Amerika serikat misalnya, mulai memasuki kajian sosiologis terhadap hukum sekitar tahun 30-an. Suasana krisis muncul sehubungan dengan perkembangan ekonomi yang berjalan sangat pesat menimbulkan problem-problem sosial yang serius serta konflik-konflik baru, yang sebelumnya tidak ada padanannya. Hukum dan analisis hukum tradisional yang bertumpu pada peraturan perundang-undangan, doktrin, dan logika, tidak mampu lagi menampung, melayani dan memecahkan problem-problem yang timbul secara memuaskan. Muncul suatu “social movement in law” dalam wujud

“social realism” (Rescoe Pound) dan apa yang disebut “American Legal Realism” (Jerome Frank, Karl Llewellyn). Di Skandinavia keadannya sama saja, yaitu munculnya suasana krisis dan konflik yang ditimbulkan oleh peradilan kepada sistem sosialis.8

Munculnya aliran atau gerakan “Critical Legal Studies”, yaitu sebuah payung bagi satu aliran pemikiran hukum di kalangan ahli hukum di Amerika Serikat sekitar tahun 80-an merupakan bentuk yang sama dari rasa tidak puas dan menantang

paradigma hukum liberak yang sudah sangat mapan dalam studi-studi hukum atau jurisprudence, bukan berada di medan kajian-kajian sosial tentang hukum atau

sociology of law. Dengan demikian kehendak mengubah apa yang disebut jurisprudence menjadi legal science.9

Di Indonesia sendiri penerapan teori positivis sangat kaku dan baku. Walaupun banyak sistem hukum yang berlaku, namun hukum nasional yaitu hukum yang dibuat oleh negara dalam bentuk peraturan perundang-undangan sebagai suatu supremasi yang tinggi dari sistem hukum yang lainnya. Pemberlakuan dari sistem hukum yang lain seperti sistem hukum Islam maupun adat pun harus dinyatakan secara tegas dalam undang-undang bahwa hukum ini diakui dan dapat diterapkan dalam masyarakat. Singkatnya dalam penegakan hukum di Indonesia adalah

8 Satjipto Rahardjo, Sambutan pada Pembukaan Seminar dan Kongres Asosiasi Sosiologi Huku

Indonesia, (Semarang, 15 April 1998), hlm.2. Lihat dalam Anthon Freddy Susanto, Wajah Peradilan Kita : Konstruksi Sosial Tentang Penyimpangan, Mekanisme Kontrol dan Akuntabilitas Peradilan Pidana, (Bandung: Refika Aditama, 2004), hlm.43.

9 Untuk lebih jelas memahmi secraa ringkas mengenai kemunculan gerakan ini, bisa dilihat pada

(5)

menjalankan undang-undang sebagai kewajiban dan amanat dari konstitusi bahwa Indonesia adalah negara hukum berdasarkan prinsip legalitas.

Konsekuensi logis terhadap pandangan ini tentunya mempengaruhi paradigma aparatur penegak hukum di Indonesia. Para aparatur penegak hukum di Indoensia hanya menjalankkan hukum tanpa memaknai lebih jauh dari peraturan perundang-undangan yang ditegakkan itu. Masalah inilah yang mendapat kritikan dari Paul Scholten, seorang Guru Besar Belanda, hukum memang dalam undang-undang, tetapi masih harus ditemukan.10 Sebagai seorang Guru Besar Belanda yang mempengaruhi sistem hukum Indonesia, beliau pun sangat mengkritik bahwa undang-undang itu tidak dilaksanakan secara mentah namun dimaknai secara jauh apa makna penting dari undang-undang tersebut. Penegak hukum harus mampu menemukan dan mencari bahwa hukum itu tidak semata-mata menjalankan undang-undang namun yang lebih utama adalah menciptakan ketertiban dan ketentraman dalam masyarakat.

Hal ini sejalan dengan seorang tokoh hukum progresif di Indonesia yaitu Prof. Satjipto Rahardjo. Menurut beliau, seorang pejabat publik tidak hanya

melaksanakan “perintah-perintah tertulis hitam-putih”, melainkan selalu bertanya

“apakah yang saya lakukan ini sudah baik untuk rakyat, sudah optimal untuk rakyat?’ seorang hakim, jaksa, advokat, bukan mesin tomat undnag-undang dan prosedur, tetapi selalu dihantui keinginan untuk memberikan keadilan kepada rakyat (bringing justice to the people) sehingga pengadilan menjadi pengadilan yang memiliki nurani (court with conscience).11Gagasan bernegara hukum, menjalankan hukum, janganlah direduksi dan dipersempit menjadi praktik menjalankan undang-undang secara hitam-putih atau menurut kalimat dan pasa undang-undang belaka. Negara hukum juga jangan direduksi menjadi negara prosedur hukum. Namun negara hukum sebagai kendaraan bangsa Indonesia menuju kepada kesejahteraan dan kebahagian.12

10Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006), hlm.20. 11Ibid.,hlm.32.

(6)

Prof. Satjipto Raharjo juga menyatakan bahwa selama ini kita hidup dengan undang-undang secara terlalu primitif dan hukum tidak dijalankan secara bermakna. Ini tampak dalam banyak proses hukum selama ini yang hanya berpegang pada kulit undang-undang, prosedur, asas, doktrin, dan lain kelengkapan hukum.13

Menurut beliau hukum itu adalah :

Hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya,.. dan hukum itu tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas, yaitu ... untuk harga diri manusia, kebahagian, kesejahteraan, dan kemuliaan manusia14

Hal ini sejalan dengan salah satu tokoh yang memperkenalkan aliran positivis yaitu Jeremy Bentham yang menyatakan bahwa hukum adalah untuk mencapai the greatest happiness for the greatest number of people (Bentham, 1997:83). Namun untuk mencapai tujuan itu belum sepenuhnya bisa dicapai karena aliran positivis memisahkan nilai-nilai moral dalam hukum itu sendiri. Hal ini dilatarbelakangi karena nilai moral itu sendiri meurpakan hukum tersendiri yang sangat abstrak untuk diterapkan dan belum mampu menjawab dari permasalahan sosial.

Berdasarkan pemaparan teori-teori diatas, jika kembali pada kasus kasus Fidelis Ari Sudarwoto yang ditangkap karena menaman ganja untuk pengobatan istrinya oleh BNN serta menjawab pernyataan dari ketua BNN Budi Waseso“Kita negara

hukum, ada undang yang atur itu semua. Jadi kan tidak bisa undang-undang dilanggar seolah-olah dengan alasan kemanusiaan dan pengobatan". Setidaknya ada tiga hal yang harus dipehami oleh semua aparat penegak hukum di

Indonesia dan secara umum untuk semua warga negara Indonesia.

Pertama, bahwa benar Indonesia negara hukum sesuai yang diamanatkan oleh Pasal 1 ayat 3 UUD RI 1945. Namun yang perlu dipahami bahwa negara hukum bukan berarti harus menghukum semua orang yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal yang penting dalam pemaknaan ini adalah bahwa negara hukum bertujuan untuk mencapai suatu keamanan, ketertiban dan ketentraman

13 Ibid.,hlm.51.

14Sajipto Raharjo, “Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan” (edisi perdana Majalah Hukum

(7)

dalam masyarakat. Tujuan inilah yang akan mewujudkan tujuan dari negara Indonesia sebagai suatu negara yang sejahtera dan makmur.

Kedua, bahwa benar peraturan perundang-undangan merupakan suatu peraturan tertulis yang mengandung command dan sanction seperti yang dikemukan oleh Austin. Namun perlu dipahami bahwa dalam setiap unsur pasal itu ada karena bertujuan untuk menjaga kepentingan umum. Artinya jika setiap pelanggaran tidak melanggar ketertiban dan kepentingan umum, tentunya harus dipertimbangkan bahwa perbuatannya itu tidak sepenuhnya harus dipertanggungjawabkan karena pertanggungjawaban Fidelis Ari Sudarwoto untuk mengobati istrinya lebih besar daripada untuk mempertanggungjawabkan undang-undang. Dalam hukum pidana pun dikenal dengan ultimum remedium yang mempunyai makna bahwa hukum pidana itu adalah jalan terakhir digunakan jika cara-cara lain tidak mampu lagi untuk mengatasinya.

Ketiga, dalam konteks negara hukum yang demokratis hukum lahir dari living law yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Peraturan perundang-undangan adalah bentuk formal yang tertulis yang dibuat oleh pemerintah sebagai wakil

rakyat dalam sebuah negara demokratis. Hukum dalam sebuah negara hukum yang demokratis merupakan hasil dari aspirasi dan keinginan rakyat bukan rekayasa dari wakil rakyat untuk kepentingannya. Nilai-nilai dari hukum itu sendiri harus sesuai dengan nilai-nilai Pancasila mulai dari nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah dan keadilan.

(8)

Daftar Pustaka

Brotosusilo, Agus dan Antonious Cahyadi. Philosophy of Law. Jakarta: Universitas Indonesia, 2017.

Cahyadi, Antonius dan E. Fernando E. Manullang. Pengantar ke Filsafat Hukum. Jakarta:Prenadamedia Group, 2015.

Freddy Susanto, Anthon.Wajah Peradilan Kita : Konstruksi Sosial Tentang Penyimpangan, Mekanisme Kontrol dan Akuntabilitas Peradilan Pidana. Bandung: Refika Aditama, 2004.

Rahardjo, Satjipto. Membedah Hukum Progresif. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006.

Raharjo,Satjipto. “Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan”. Edisi Perdana

Majalah Hukum Progresif Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, 2005.

Salman, Otje dan Anton F. Susanto. Teori Hukum : Mengingat, Mengumpulkan dan

Membuka Kembali. Bandung: Refika Aditama, 2004.

Sinha, Surya Prakash Sinha. Jurisprudence Legal Philosophy. St. Paul: West Publishing Co., 1993.

Jonata, Willem. “Ganja untuk Pengobatan Istri dalam Kasus Fidelis, Kepala BNN: Tidak Masuk Akal”. http://www.tribunnews.com/nasional/2017/04/06/ganja-untuk-pengobatan-istri-dalam-kasus-fidelis-kepala-bnn-tidak-masuk-akal, diakses 7 Agustus 2017.

Referensi

Dokumen terkait

Dilihat dari data yang diangkat, sejalan dengan permasalahan yang dihadapi, maka kedua data tersebut diarahkan untuk mengetahui prestasi belajar siswa pada Mata Pelajaran

Dari penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa sumber magnet permanen menghasilkan medan magnet yang lebih stabil yang dapat dilihat dari hasil pengukuran

Komersial, ukuran umum 60cm; tertangkap dengan alat tangkap Gill Nets, Seines, Perangkap dan Trawls; habitat: di Pantai, termasuk Perairan Payau(Ref. 12743); makanan: ikan-ikan

a) kemasan bagian luar harus lulus pengujian sesuai dengan 4.3 dengan kemasan bagian dalam yang rapuh (misalnya kaca) yang berisi cairan dengan ketinggian jatuh

1) Kejadian osteoporosis meningkat postmenopause. 2) Wanita yang mengalami ooforektomi bilateral memperlihatkan gejala osteoporosis lebih dini dan hebat. 3) Penderita yang

Dari temuan tersebut penulis menduga menurunnya intensi konsumen untuk membeli dipengaruhi oleh kualitas service yang buruk di dalam website yang secara tidak langsung

a) Department Store , adalah retailer yang memiliki banyak jenis dan kategori dari barang dagangannya, menyediakan pelayanan pelanggan, dan mengatur toko mereka

Apabila pada suatu daerah terdapat lebih dari stasiun pengukuran yang ditempatkan secara terpencar, hujan yang tercatat di masing-masing stasiun dapat tidak sama.. Dalam analisis