5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Drainase Jalan
Drainase yang berasal dari bahasa Inggris yaitu drainage mempunyai arti mengalirkan, menguras, membuang, atau mengalihkan air. Secara umum dapat diartikan bahwa drainase adalah mengalirkan, menguras, membuang, atau mengalirkan air limpasan hujan baik di jalan dan di kawasan. Jaringan drainase sebagai serangkai saluran dan bangunan air yang berfungsi untuk mengurangi dan membuang kelebihan air dari suatu kawasan atau lahan, sehingga lahan dapat difungsikan secara optimal.
Drainase jalan mengandung pengertian membuang atau mengalirkan air (air hujan, air limbah, atau air tanah) ke tempat pembuangan yang telah ditentukan dengan cara gravitasi atau menggunakan sistem pemompaan. Secara umum dikenal adanya 2 (dua) sistem drainase yaitu sistem drainase permukaan dan sistem drainase bawah permukaan. Kedua sistem tersebut direncanakan dengan maksud untuk menyelamatkan lapis-lapis perkerasan jalan dan subgrade dari pengaruh air yang merugikan (Modul RDE 07 : Dasar Dasar Perencanaan Drainase Jalan, 2005)
Dalam hal ini drainase jalan perlu direncanakan untuk dapat melewatkan debit rencana dengan aman serta tata guna lahan dapat dioptimalkan dan juga memperkurang kerusakan pada struktur tanah untuk jalan dan bangunan lainnya. Perencanaan saluran drainase meliputi beberapa tahapan yaitu menentukan jalur saluran, menentukan debit rencana, merencanakan profil memanjang saluran, merencanakan penampang melintang saluran, mengatur dan merencanakan bangunan-bangunan sistem drainase.
2.2. Analisis Hidrologi
Hidrologi adalah ilmu tentang seluk beluk air di bumi, kejadiannya, peredarannya dan distribusinya, sifat alam dan kimianya, serta reaksinya terhadap lingkungan
6
dan hubungan dengan kehidupan" (Federal Council for Science and Technology, USA, 1959 dalam Varshney, Varshney, 1977).
Curah hujan yang diperlukan untuk pembuatan rancangan dan rencana (perhitungan potongan melintang dan lain-lain) adalah curah hujan jangka waktu yang pendek dan bukan curah hujan jangka waktu yang panjang seperti curah hujan tahunan atau bulanan. Curah hujan tersebut berdasarkan volume debit (yang disebabkan oleh curah hujan) dari daerah pengaliran yang kecil seperti perhitungan debit banjir, rencana peluap suatu bendungan, gorong-gorong melintasi jalan dan saluran, selokan-selokan samping. (Sostrodarsono; Takeda, 1976).
Menurut Departemen Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (2010), data yang meliputi kriteria perancangan hidrologi adalah dengan perkiraan hujan rencana, analisis frekuensi terhadap curah hujan menggunakan metode-metode yang mengacu pada tata cara perhitungan debit desain saluran.
2.2.1. Curah Hujan Rerata
Curah hujan adalah ketinggian air hujan yang terkumpul dalam penakar hujan pada tempat yang datar, tidak menyerap, tidak meresap dan tidak mengalir (BMKG, 2016). Menurut Triatmodjo (2008), stasiun penakar hujan hanya memberikan kedalaman hujan di titik dimana stasiun berada, sehingga hujan pada suatu luasan harus diperkirakan dari titik pengukuran tersebut. Apabila pada suatu daerah terdapat lebih dari stasiun pengukuran yang ditempatkan secara terpencar, hujan yang tercatat di masing-masing stasiun dapat tidak sama.
Dalam analisis hidrologi sering diperlukan untuk menentukan hujan rerata pada daerah tersebut, yang dapat dilakukan dengan tiga metode berikut yaitu:
1. Metode Rerata Aritmatik
Metode Aljabar ini adalah metode mencari rerata suatu stasiun hujan seperti pada Gambar 2.1. di bawah ini:
7
Gambar 2.1. Stasiun Hujan Di Suatu DAS Sumber: Triatmodjo, 2008
Metode ini adalah yang paling sederhana untuk menghitung hujan rerata pada suatu daerah. Pengukuran dilakukan di beberapa stasiun dalam waktu yang bersamaan dijumlahkan dan kemudian dibagi dengan jumlah stasiun. Stasiun hujan yang digunakan dalam hitungan biasanya adalah yang berada di dalam DAS, tetapi stasiun di luar DAS yang masih berdekatan juga bisa diperhitungkan.
Hujan rerata pada seluruh DAS diberikan oleh persamaan: P = P1P2P3
n ... (2.1) Dengan :
P : Hujan rerata kawasan (mm)
P1,P2,P3,...,Pn : Hujan di stasiun 1,2,3,...,n (mm)
n : Jumlah stasiun
2. Metode Poligon Thiessen
Gambar 2.2. Metode Poligon Thiessen Sumber: Triatmodjo, 2008
8
Metode ini memperhitungkan bobot dari masing-masing stasiun yang mewakili luasan disekitarnya. Pada suatu luasan di dalam DAS dianggap bahwa hujan adalah sama dengan yang terjadi pada stasiun terdekat, sehingga hujan yang tercatat pada suatu stasiun mewakili luasan tersebut. Metode ini digunakan apabila penyebaran stasiun hujan di daerah yang ditinjau tidak merata. Perhitungan Poligon Thiessen seperti pada persamaan di bawah ini: P = A1P1+A2P2+...+AnPn
A1A2+...+An ... (2.2) Dengan :
P : Hujan rerata kawasan (mm)
P1,P2,...,Pn : Hujan pada stasiun (mm)
A1,A2,...,An : Luasan daerah tiap-tiap stasiun (km²)
3. Metode Isohyet
Gambar 2.3. Metode Ishoyet Sumber: Triatmodjo, 2008
Isohyet adalah garis yang menghubungkan titik-titik dengan kedalaman hujan yang sama. Pada metode Isohyet, dianggap bahwa hujan pada suatu daerah di antara dua garis Isohyet adalah merata dan sama dengan nilai rerata dari kedua garis Isohyet tersebut. Metode Isohyet merupakan cara paling teliti untuk menghitung kedalaman hujan rerata di suatu daerah, tetapi cara ini membutuhkan pekerjaan dan perhatian yang lebih banyak dibandingkan dengan dua metode sebelumnya. Secara matematis hujan rerata tersebut dapat ditulis seperti pada persamaan berikut :
P = A1. I1+I2 2 +A2. I2+I3 2 +...+An−1. In−1+In 2 A1+A2+...+An ... (2.3)
9 Dengan :
P : Hujan rerata kawasan (mm)
I1,I2,...,In : Tinggi hujan antara garis Isohyet (mm)
A1,A2,...,An : Luas daerah yang dibatasi oleh Isohyet (km²)
2.2.2.Analisis Frekuensi
Dalam melakukan analisis hidrologi sering dihadapkan pada kejadian ekstrim seperti banjir dan kekeringan. Banjir mempengaruhi bangunan-bangunan air seperti bendung, tanggul, jembatan, dsb. Bangunan-bangunan tersebut harus direncanakan untuk dapat melewatkan debit banjir maksimum yang mungkin terjadi (Triadmodjo, 2009). Untuk mengetahui hubungan antara besaran kejadian ekstrem dan frekuensi kemungkinan terjadinya kejadian tersebut, maka diperlukan suatu analisis frekuensi. Menurut Ponce (1989), terdapat beberapa metode untuk mendistribusikan data-data yang ada sehingga diketahui besaran peluang terjadinya setiap nilai pada data hidrologi tersebut. Analisis frekuensi untuk curah hujan secara umum dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa jenis distribusi probabilitas kontinu antara lain:
1. Distribusi Normal
Distribusi normal disebut pula distribusi Gauss. Secara sederhana, persamaan distribusi normal dapat ditulis sebagai berikut:
XT = X̅ + KT x S ... (2.4)
Dengan :
XT : Perkiraan nilai yang diharapkan terjadi dengan periode ulang
T-tahunan X
̅ : Nilai rata-rata hitung varian S : Deviasi standar nilai varian
KT : Faktor frekuensi, merupakan fungsi dari peluang atau periode ulang. Nilai KT dapat dilihat pada tabel nilai variabel reduksi Gauss.
10
Tabel 2.1. Nilai variabel reduksi Gauss
(Sumber: Bonnier, 1980) 2. Distribusi Log Normal
Distribusi Log Normal Jika variabel acak Y = log X terdistribusi secara normal, maka X dikatakan mengikuti distribusi Log Normal. Persamaan distribusi log normal dapat ditulis dengan:
YT = Y̅ + KT x S ... (2.5) Dimana :
YT : Perkiraan nilai yang diharapkan terjadi dengan periode ulang T-tahunan
Y = Log X ... (2.6) Y
̅ : Nilai rata-rata hitung varian S : Deviasi standar nilai varian
KT : Faktor frekuensi, merupakan fungsi dari peluang atau periode ulang. Nilai KT dapat dilihat pada Tabel 2.1. nilai variabel
reduksi Gauss.
No. Periode Ulang Peluang 𝐊𝐓
1 1,001 0,999 -3,05 2 1,005 0,995 -2,58 3 1,010 0,990 -2,33 4 1,050 0,950 -1,64 5 1,110 0,900 -1,28 6 1,250 0,800 -0,84 7 1,330 0,750 -0,67 8 1,430 0,700 -0,52 9 1,670 0,600 -0,25 10 2,000 0,500 0 11 2,500 0,400 0,25 12 3,330 0,300 0,52 13 4,000 0,250 0,67 14 5,000 0,200 0,84 15 10,000 0,100 1,28 16 20,000 0,050 1,64 17 50,000 0,020 2,05 18 100,000 0,010 2,33 19 200,000 0,005 2,58 20 500,000 0,002 2,88 21 1000,000 0,001 3,09
11 3. Distribusi Log-Person III
Persamaan distribusi Log-Person III hampir sama dengan persamaan distribusi Log Normal, yaitu sama-sama mengkonversi ke dalam bentuk logaritma.
YT = Y̅ + KT x S ... (2.7) Dimana besarnya nilai KT tergantung dari koefisien kemencengan Cs. Tabel 2.2. memperlihatkan harga KT untuk berbagai nilai kemencengan Cs. Jika nilai Cs sama dengan nol, distribusi kembali ke distribusi Log Normal.
Tabel 2.2. Nilai KT untuk Distribusi Log-Person III Koef
G
Interval Kejadian (Periode Ulang)
1,0101 1,2500 2 5 10 25 50 100
Persentase Peluang Terlampaui
99 80 50 20 10 4 2 1 3,0 -0,667 -0,636 -0,396 0,420 1,180 2,278 3,152 4,051 2,8 -0,714 -0,666 -0,384 0,460 1,210 2,275 3,114 3,973 2,6 -0,769 -0,696 -0,368 0,499 1,238 2,267 3,071 2,889 2,4 -0,832 -0,725 -0,351 0,537 1,262 2,256 3,023 3,800 2,2 -0,905 -0,752 -0,330 0,574 1,284 2,240 2,970 3,705 2,0 -0,990 -0,777 -0,307 0,609 1,302 2,219 2,892 3,605 1,8 -1,087 -0,799 -0,282 0,643 1,318 2,193 2,848 3,499 1,6 -1,197 -0,817 -0,254 0,675 1,329 2,163 2,780 3,388 1,4 -1,318 -0,832 -0,225 0,705 1,337 2,128 2,706 3,271 1,2 -1,449 -0,844 -0,195 0,732 1,340 2,087 2,626 3,149 1,0 -1,588 -0,852 -0,164 0,758 1,340 2,043 2,542 3,022 0,8 -1,733 -0,856 -0,132 0,78 1,336 1,993 2,453 2,891 0,6 -1,880 -0,857 -0,099 0,800 1,328 1,939 2,359 2,755 0,4 -2,029 -0,855 -0,066 0,816 1,317 1,880 2,261 2,615 0,2 -2,178 -0,850 -0,033 0,830 1,301 1,818 2,159 2,472 0,0 -2,326 -0,842 0,000 0,842 1,282 1,751 2,051 2,326 -0,2 -2,472 -0,830 0,033 0,850 1,258 1,680 1,945 2,178 -0,4 -2,615 -0,816 0,066 0,855 1,231 1,606 1,834 2,029 -0,6 -2,755 -0,800 0,099 0,857 1,200 1,528 1,720 1,880 -0,8 -2,891 -0,780 0,132 0,856 1,166 1,448 1,606 1,733 -1,0 -3,022 -0,758 0,164 0,852 1,128 1,366 1,492 1,588 -1,2 -2,149 -0,732 0,195 0,844 1,086 1,282 1,379 1,449 -1,4 -2,271 -0,705 0,225 0,832 1,041 1,198 1,270 1,318 -1,6 -2,388 -0,675 0,254 0,817 0,994 1,116 1,166 1,197 -1,8 -3,499 -0,643 0,282 0,799 0,945 1,035 1,069 1,087 -2,0 -3,605 -0,609 0,307 0,777 0,895 0,959 0,980 0,990 -2,2 -3,705 -0,574 0,330 0,752 0,844 0,888 0,900 0,905 -2,4 -3,800 -0,537 0,351 0,725 0,795 0,823 0,830 0,832 -2,6 -3,889 -0,490 0,368 0,696 0,747 0,764 0,768 0,769
12 Koef
G
Interval Kejadian (Periode Ulang)
1,0101 1,2500 2 5 10 25 50 100
Persentase Peluang Terlampaui
99 80 50 20 10 4 2 1
-2,8 -3,973 -0,469 0,384 0,666 0,702 0,712 0,714 0,714 -3,0 -7,051 -0,420 0,396 0,636 0,660 0,666 0,666 0,667 (Sumber: Suripin, 2003)
4. Distribusi Gumbel
Bentuk dari persamaan distribusi Gumbel dapat ditulis sebagai berikut: Rt = Xr + K x S ... (2.8) Besarnya faktor frekuensi dapat ditentukan dengan rumus berikut:
K =
YTr−YnSn ... (2.9)
Dengan:
Rt : besarnya curah hujan untuk periode tahun berulang Tr tahun (mm)
Tr : periode tahun berulang (return period) (tahun)
Xr : curah hujan maksimum rata-rata selama tahun pengamatan (mm) S : standard deviasi
K : faktor frekuensi YTr : reduced variate
Yn : reduced mean
Sn : reduced standard deviation
Besarnya nilai Sn, Yn, dan YTr dapat dilihat dalam Tabel 2.3. untuk nilai Yn,
Tabel 2.4. untuk nilai Sn, dan Tabel 2.5. untuk nilai YTr di bawah ini:
Tabel 2.3. Reduced Mean
N 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 0,4952 0,4996 0,5035 0,5070 0,5100 0,5128 0,5157 0,5181 0,5202 0,5220 20 0,5236 0,5252 0,5268 0,5283 0,5296 0,5309 0,5320 0,5332 0,5343 0,5353 30 0,5362 0,5371 0,5380 0,5388 0,5396 0,5403 0,5410 0,5418 0,5424 0,5436 40 0,5436 0,5442 0,5448 0,5453 0,5458 0,5463 0,5466 0,5473 0,5477 0,5481 50 0,5485 0,5489 0,5493 0,5497 0,5501 0,5504 0,5508 0,5511 0,5515 0,5518 60 0,5521 0,5524 0,5527 0,5530 0,5533 0,5535 0,5538 0,5540 0,5543 0,5545 70 0,5548 0,5550 0,5552 0,5555 0,5557 0,5559 0,5561 0,5563 0,5565 0,5567 80 0,5569 0,5570 0,5572 0,5574 0,5576 0,5578 0,5580 0,5581 0,5583 0,5585 90 0,5586 0,5587 0,5589 0,5591 0,5592 0,5593 0,5595 0,5596 0,5598 0,5599 100 0,5600 0,5602 0,5603 0,5604 0,5606 0,5607 0,5608 0,5609 0,5610 0,5611 (Sumber: Suripin, 2003)
13 Tabel 2.4. Reduced Standard Deviation
N 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 0,9496 0,9676 0,9833 0,9971 1,0095 1,0206 1,0316 1,0411 1,0493 1,0565 20 1,0628 1,0696 1,0754 1,0811 1,0864 1,0915 1,0961 1,1004 1,1047 1,1080 30 1,1124 1,1159 1,1193 1,1226 1,1255 1,1285 1,1313 1,1339 1,1363 1,1388 40 1,1413 1,1436 1,1458 1,1480 1,1499 1,1519 1,1538 1,1557 1,1574 1,1590 50 1,1607 1,1623 1,1638 1,1658 1,1667 1,1681 1,1696 1,1708 1,1721 1,1734 60 1,1747 1,1759 1,1770 1,1782 1,1793 1,1803 1,1814 1,1824 1,1834 1,1844 70 1,1854 1,1863 1,1873 1,1881 1,1890 1,1898 1,1906 1,1915 1,1923 1,1930 80 1,1938 1,1945 1,1953 1,1959 1,1967 1,1973 1,1980 1,1987 1,1994 1,2001 90 1,2007 1,2013 1,2020 1,2026 1,2032 1,2038 1,2044 1,2049 1,2055 1,2060 100 1,2065 1,2069 1,2073 1,2077 1,2081 1,2084 1,2087 1,2090 1,2093 1,2096 (Sumber: Suripin, 2003)
Tabel 2.5. Reduced Variate
Periode Ulang Tr (tahun) Reduced Variate (𝐘𝐓𝐫)
2 0,3668 5 1,5004 10 2,251 20 2,9709 25 3,1993 50 3,9028 75 4,3117 100 4,6012 200 5,2969 250 5,5206 500 6,2149 1000 6,9087 5000 8,5188 10000 9,2121 (Sumber: Suripin, 2003)
Sebelum menganalisis data hujan dengan salah satu distribusi di atas, perlu pendekatan dengan parameter-parameter statistik untuk menentukan distribusi yang tepat digunakan. Parameter-parameter tersebut meliputi:
1. Rata-rata (X̅) = 1
n ∑ Xi n
i=1 ... (2.10)
2. Simpangan Baku (S) =
√
n ∑ (Xi−X̅)2 n i=1 (n−1) ... (2.11) 3. Koefisien Variasi (Cv) = S x ... (2.12) 4. Koefisien Skewness (Cs) = n ∑ (Xi−X̅)
3 n i=1 (n−1)(n−2)xS3 ... (2.13) 5. Koefisien Ketajaman (Ck) = n 2 ∑(Xi−X̅)4 (n−1)(n−2)(n−3)xS4 ... (2.14)
14 Tabel 2.6. Karakteristik Distribusi Frekuensi
Jenis Distribusi Frekuensi Syarat Distribusi Distribusi Normal Cs ≈ 0 dan Ck = 3
Distribusi Log Normal Cs ≈ 3Cv + Cv2 = 3 dan Ck = 5,383 Distribusi Gumbel Cs ≤ 1,1396 dan Ck ≤ 5,4002 Distribusi Log-Person III Cs ≠ 0
(Sumber: Subarkah, 1980)
2.2.3.Uji Kecocokan Sebaran
Uji kecocokan sebaran dilakukan untuk mengetahui jenis sebaran yang paling sesuai dengan data hujan. Uji sebaran dilakukan dengan uji kecocokan distribusi yang dimaksudkan untuk menentukan apakah persamaan sebaran peluang yang telah dipilih dapat menggambarkan atau mewakili dari sebaran statistik sampel data yang dianalisis. Ada dua jenis uji distribusi yaitu uji chi-kuadrat dan Smirnov‐Kolmogorof.
a. Uji Chi-kuadrat
Prinsip pengujian dengan metode chi-kuadrat didasarkan pada jumlah pengamatan yang diharapkan pada pembagian kelas, dan ditentukan terhadap jumlah data pengamatan yang terbaca didalam kelas tersebut. Atau bisa juga dengan membandingkan nilai chi- kuadrat (X²) dengan chi-kuadrat kritis (X²Cr). Dimana langkah-langkah perhitungan sebaran data curah hujan sebagai berikut:
1. Hitung jumlah kelas (K)
K = 1+3,322 log n ... (2.15) Dimana:
K = Jumlah kelas n = Jumlah data
2. Hitung Derajat Kebebasan (DK)
DK = K – (P + 1) ... (2.16) Dimana:
DK = Derajat Kebebasan P = Parameter hujan (P=1)
15
3. Mencari harga X²Cr dilihat dari derajat kebebasan (DK) dan taraf signifikasi (X), dilihat pada Tabel 2.7.
4. Hitung nilai yang diharapkan (EF) EF = n
K ... (2.17) Dimana:
EF = Nilai yang diharapkan 5. Hitung X²Cr
X2Cr = ∑(EF−OF)2
EF ... (2.18)
Dimana:
EF = Nilai yang diharapkan OF = Nilai yang diamati Cr = Koefisien skewness X = Taraf signifikasi
Adapun kriteria penilaian hasil dari uji Chi-kuadrat adalah:
- Apabila peluang lebih besar dari 5%, maka persamaan distribusi teoritis yang digunakan dapat diterima;
- Apabila peluang lebih kecil 1%, maka persamaan distribusi teoritis yang digunakan tidak dapat diterima;
- Apabila peluang berada diantara 1-5% adalah tidak mungkin mengambil keputusan, misal perlu penambahan data.
Tabel 2.7. Nilai Kritis untuk Distribusi Chi Kuadrat
α (Derajat Kepercayaan) dk 0,995 0,990 0,975 0,950 0,050 0,025 0,010 0,005 1 0,0000393 0,000157 0,000982 0,00393 3,841 5,024 6,635 7,879 2 0,0100 0,0201 0,0506 0,103 5,991 7,378 9,210 10,597 3 0,0717 0,1150 0,2160 0,352 7,815 9,348 11,345 12,838 4 0,2070 0,2970 0,4840 0,711 9,488 11,143 13,277 14,860 5 0,4120 0,5540 0,8310 1,145 11,070 12,832 15,086 16,750 6 0,676 0,872 1,237 1,635 12,592 14,449 16,812 18,548 7 0,989 1,239 1,690 2,167 14,067 16,013 18,475 20,278 8 1,344 1,646 2,180 2,733 15,507 17,535 20,090 21,955 9 1,735 2,088 2,700 3,325 16,919 19,023 21,666 23,589 10 2,156 2,558 3,247 3,940 18,307 20,483 23,209 25,188
16 α (Derajat Kepercayaan) dk 0,995 0,990 0,975 0,950 0,050 0,025 0,010 0,005 11 2,603 3,053 3,816 4,575 19,675 21,920 24,725 26,757 12 3,074 3,571 4,404 5,226 21,026 23,337 26,217 28,300 13 3,565 4,107 5,009 5,892 22,362 24,736 27,688 29,819 14 4,075 4,660 5,629 6,571 23,685 26,119 29,141 31,319 15 4,601 5,229 6,262 7,261 24,996 27,488 30,578 32,801 16 5,142 5,812 6,908 7,962 26,296 28,845 32,000 34,267 17 5,697 6,408 7,564 8,672 27,587 30,191 33,400 35,718 18 6,265 7,015 8,231 9,390 28,869 31,526 34,805 37,156 19 6,844 7,633 8,907 10,117 30,144 32,852 36,191 38,582 20 7,434 8,260 9,891 10,851 31,410 34,170 37,566 39,997 21 8,034 8,897 10,283 11,591 32,671 35,479 38,932 41,401 22 8,643 9,542 10,982 12,338 33,924 36,781 40,289 42,796 23 9,260 10,196 11,689 13,091 36,172 38,076 41,638 44,181 24 9,886 10,856 12,401 13,848 36,415 39,364 42,980 45,558 25 10,520 11,524 13,120 14,611 37,652 40,646 44,314 46,928 26 11,160 12,198 13,844 15,379 38,885 41,923 45,642 48,290 27 22,808 12,879 14,573 16,151 40,113 43,194 46,963 49,645 28 12,461 13,565 15,308 16,928 41,337 44,461 48,278 50,993 29 13,121 14,256 16,047 17,708 42,557 45,722 49,588 52,336 30 13,787 14,953 16,791 18,493 43,773 46,979 50,892 53,672 (Sumber: Soewarno, 1995) b. Uji Smirnov-Kolmogorov
Uji Smirnov-Kolmogorov sering juga disebut juga uji kecocokan non parametik, karena pengujiannya tidak menggunakan fungsi distribusi tertentu. Prosedur pelaksanaannya adalah sebagai berikut:
1. Urutkan data (dari besar ke kecil atau sebaliknya) dan tentukan besarnya peluang dari masing-masing data tersebut.
X1 = P(X1)
X2 = P(X2)
X3 = P(X3) dan seterusnya.
2. Urutkan nilai masing-masing peluang teoritis dari hasil pengambaran data (persamaan distribusinya).
X1 = P’(X1)
X2 = P’(X2)
17
3. Dari kedua nilai peluang tersebut, tentukan selisih terbesarnya antar peluang pengamatan dengan peluang teoritis.
Dmaksimum = P(Xn) –P’(Xn)
4. Berdasarkan tabel nilai kritis (Smirnov-Kolmogorov test) tentukan harga Do.
Tabel 2.8. Nilai kritis Do untuk uji Smirnov-Kolmogorov
N Derajat Kepercayaan (α) 0,20 0,10 0,05 0,01 5 0,45 0,51 0,56 0,67 10 0,32 0,37 0,41 0,49 15 0,27 0,30 0,34 0,40 20 0,23 0,26 0,29 0,36 25 0,21 0,24 0,27 0,32 30 0,19 0,22 0,24 0,29 35 0,18 0,20 0,23 0,27 40 0,17 0,19 0,21 0,25 45 0,16 0,18 0,20 0,24 50 0,15 0,17 0,19 0,23 N > 50 1,07 N0,5 1,22 N0,5 1,36 N0,5 1,63 N0,5
(Sumber: Bonnier, 1980 dalam Suripin, 2004)
Apabila nilai Dmaksimum lebih kecil dari Do, maka distribusi teoritis yang
digunakan untuk menentukan persamaan distribusi dapat diterima. Apabila Dmaksimum lebih besar dari Do, maka secara teoritis pula distribusi yang
digunakan tidak dapat diterima.
2.2.4.Intensitas Curah Hujan
Intensitas curah hujan yang tinggi pada umumnya berlangsung dengan durasi pendek dan meliputi daerah yang tidak luas. Hujan yang meliputi daerah luas, jarang sekali dengan intensitas tinggi, tetapi dapat berlangsung dengan durasi cukup panjang. Kombinasi dari intensitas hujan yang tinggi dengan durasi panjang jarang terjadi, tetapi apabila terjadi berarti sejumlah besar volume air bagaikan ditumpahkan dari langit. Adapun jenis-jenis hujan berdasarkan besarnya curah hujan (definisi BMKG), diantaranya yaitu hujan kecil antara 0 – 21 mm per hari, hujan sedang antara 21 – 50 mm per hari dan hujan besar atau lebat di atas
18
50 mm per hari. Terdapat beberapa metode untuk menentukan nilai intensitas curah hujan, diantaranya metode Mononobe, Talbot, Sherman, Ishiguro, Van Breen.
1. Metode Mononobe
Untuk menghitung hujan rencana dengan rumus mononobe harus tersedia data hujan harian. Bentuk umum dari rumus mononobe adalah:
I = 𝑅24 24
(
24 𝑡)
2 3 ... (2.19) Dimana :I : Intensitas curah hujan
R24 : Curah hujan maksimum harian (selama 24 jam) (mm)
t : Lamanya hujan (24 jam) 2. Metode Talbot
Persamaan ini banyak digunakan karena mudah diterapkan dan tetapan-tetapan a dan b ditentukan dengan harga-harga terukur.
I = 𝑎
𝑡+𝑏 ... (2.20) Dimana :
I : Intensitas curah hujan (mm/jam)
t : Lamanya curah hujan / durasi curah hujan (jam)
a dan b : Konstanta yang tergantung pada lamanya curah hujan yang terjadi di suatu wilayah
Dengan : a = Σ[𝐼.𝑡]Σ[𝐼 2]−Σ[𝐼2.𝑡]Σ[𝐼] 𝑛Σ[𝐼2]−Σ[𝐼][𝐼] ... (2.21) b =Σ[𝐼]Σ[𝐼.𝑡]−𝑛Σ[𝐼 2.𝑡] 𝑛Σ[𝐼2]−Σ[𝐼][𝐼] ... (2.22)
n : Jumlah durasi curah hujan sampel 3. Metode Sherman
Persamaan ini mungkin cocok untuk jangka waktu curah hujan yang lamanya lebih dari 2 jam.
I = 𝑎
19 Dimana :
I : Intensitas curah hujan (mm/jam)
t : Lamanya curah hujan / durasi curah hujan (jam) a dan n : konstanta
Dengan :
Log 𝑎 = Σ[log I]Σ[(log)
2]−Σ[log t.log I]Σ[log t]
NΣ[(log t)2]−Σ[log t][log t] ... (2.24) 𝑛 =Σ[log I]Σ[log t]−NΣ[log t.log 𝐼]
NΣ[(log t)2]−Σ[log t][log t] ... (2.25)
n : Jumlah durasi curah hujan sampel 4. Metode Ishiguro
Metode ini diciptakan oleh Prof. Ishiguro dari Jepang. Persamaan metode ini dinyatakan dengan rumus :
I = 𝑎
√𝑡+𝑏 ... (2.26) Dimana :
I : Intensitas curah hujan (mm/jam)
t : Lamanya curah hujan / durasi curah hujan (jam) a dan b : Konstanta Dengan : 𝑎 =Σ[𝐼.√𝑡]Σ[𝐼 2]−Σ[𝐼2.√𝑡]Σ[I] 𝑛Σ[𝐼2]−Σ[I][I] ... (2.27) 𝑏 =Σ[I]Σ[I.√t]−nΣ[𝐼 2.√𝑡] 𝑛Σ[𝐼2]−Σ[I][I] ... (2.28) Dimana :
n : Jumlah durasi curah hujan sampel [ ] : Jumlah angka-angka dalam tiap suku 5. Metode Van Breen
Berdasarkan penelitian Ir. Van Breen di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, curah hujan terkonsentrasi selama 4 jam dengan jumlah curah hujan sebesar 90% dari jumlah curah hujan selama 24 jam (Anonim dalam Melinda, 2007).
20
Perhitungan intensitas curah hujan dengan menggunakan Metode Van Breen adalah sebagai berikut:
𝐼𝑇 =
54𝑅𝑇+0,07𝑅𝑇2
𝑡𝑐+0,3𝑅𝑇
... (2.29) Dimana :
IT : Intensitas curah hujan pada suatu periode ulang ( T tahun)
RT : Tinggi curah hujan pada periode ulang T tahun (mm/hari)
2.2.5.Waktu Konsentrasi
Waktu konsentrasi suatu DAS didefinisikan sebagai waktu yang diperlukan air hujan yang jatuh dititik terjauh dari suatu daerah aliran untuk mencapai titik tinjau (outlet). Lama waktu konsentrasi sangat tergantung pada ciri-ciri daerah aliran, terutama jarak yang harus ditempuh oleh air hujan yang jatuh ditempat terjauh dari titik tinjau. Mengasumsi bahwa banjir maksimum akan terjadi jika hujan berlangsung selama waktu konsentrasi atau melebihi waktu konsentrasi menyebabkan parameter waktu konsentrasi menjadi penting dianalisis. Waktu konsentrasi pada saluran terbuka dihitung dengan rumus sebagai berikut:
tc = t0+ td ... (2.30) t0 = [2 3 x 3,28 x L x n √S ] ... (2.31) td = LS 60 x V ... (2.32) Dimana:
tc : Waktu konsentrasi (menit)
t0 : Waktu untuk mencapai awal saluran dari titik terjauh (menit)
td : Waktu alir dalam saluran sepanjang L dari ujung saluran (menit)
LS : Panjang lintasan aliran di dalam saluran (m)
L : Panjang lintasan aliran di atas permukaan lahan (m) n : angka kekasaran Manning
S : kemiringan lahan
21
Tabel 2.9. Kecepatan aliran air yang diijinkan berdasarkan jenis material
No. Jenis Bahan Kecepatan aliran air yang diijinkan (m/detik)
1 Pasir halus 0,45 2 Lempung kepasiran 0,50 3 Lanau aluvial 0,60 4 Kerikil halus 0,75 5 Lempung kokoh 0,75 6 Lempung padat 1,10 7 Kerikil dasar 1,20 8 Batu-batu dasar 1,50 9 Pasangan batu 1,50 10 Beton 1,50 11 Beton bertulang 1,50
(Sumber: Perencanaan Sistem Drainase Jalan, 2006) Tabel 2.10.Angka Kekasaran Manning
No. Tipe Saluran Baik
Sekali Baik Sedang Jelek
SALURAN BUATAN
1 Saluran tanah, lurus teratur 0,017 0,02 0,023 0,025 2 Saluran tanah yang dibuat dengan excavator 0,023 0,028 0,03 0,04 3 Saluran pada dinding batuan, lurus, teratur 0,02 0,03 0,033 0,035 4 Saluran pada dinding batuan, tidak lurus, tidak teratur 0,035 0,04 0,045 0,045 5 Saluran batuan yang diledakan, ada tumbuh-tumbuhan 0,025 0,03 0,035 0,04 6 Dasar saluran dari tanah, sisi saluran berbatu 0,028 0,03 0,033 0,035 7 Saluran lengkung, dengan kecepatan aliran rendah 0,02 0,025 0,028 0,03 SALURAN ALAM
8 Bersih, lurus, tidak berpasir dan tidak berlubang 0,025 0,028 0,03 0,033 9 Seperti no. 8 tapi ada timbunan atau kerikil 0,03 0,033 0,035 0,04 10 Melengkung, bersih, berlubang dan berdinding pasir 0,03 0,035 0,04 0,045 11 Seperti no. 10, dangkal, tidak teratur 0,04 0,045 0,05 0,055 12 Seperti no. 10, berbatu dan ada tumbu-tumbuhan 0,035 0,04 0,045 0,05 13 Seperti no. 11, sebagian berbatu 0,045 0,05 0,055 0,06 14 Aliran pelan, banyak tumbuh-tumbuhan dan berlubang 0,05 0,06 0,07 0,08 15 Banyak tumbuh-tumbuhan 0,075 0,1 0,125 0,15
SALURAN BUTAAN, BETON, ATAU BATU KALI
16 Saluran pasangan batu, tanpa penyelesaian 0,025 0,03 0,033 0,035 17 Seperti no. 16, tapi dengan penyelesaian 0,017 0,02 0,025 0,03 18 Saluran beton 0,014 0,016 0,019 0,021
SALURAN BUTAAN, BETON, ATAU BATU KALI
19 Saluran beton halus dan rata 0,01 0,011 0,012 0,013 20 Saluran beton pracetak dengan acuan baja 0,013 0,014 0,014 0,015 21 Saluran beton pracetak dengan acuan kayu 0,015 0,016 0,016 0,018 (Sumber: Perencanaan Sistem Drainase Jalan, 2006)
22 2.2.6.Koefisien Aliran Permukaan
Koefisien aliran permukaan merepresentasikan efek daerah puncak aliran permukaan terhadap intensitas hujan. Faktor utama yang mempengaruhi koefisien adalah laju infiltrasi tanah, kemiringan lahan, tanaman penutup tanah, dan intensitas hujan. Selain itu juga tergantung pada sifat dan kondisi tanah, air tanah, derajat kepadatan tanah, porositas tanah, dan simpanan depresi. Pada tabel 2.9. dapat dilihat nilai koefisien aliran permukaan. Koefisien aliran permukaan yang digunakan dihitung dari hasil Ckomposit sebagai berikut:
Ckomposit =(A1x C1)+(A2x C2)+⋯+(Anx Cn)
A1+A2+⋯+An ... (2.33)
Dimana :
Ckomposit : Koefisien limpasan komposit
A1, A2,…, An : Luas sub area
C1, C2,…, Cn : Koefisien pengaliran untuk setiap sub area
Tabel 2.11. Koefisien Aliran Untuk Metode Rasional
Deskripsi Lahan/Karakter Permukaan Koefisien Aliran (C)
Business Perkotaan 0,70 - 0,95 Pinggiran 0,50 - 0,70 Perumahan Rumah Tunggal 0,30 - 0,50 Multiunit, terpisah 0,40 - 0,60 Multiunit, tergabung 0,60 - 0,75 Perkampungan 0,25 - 0,40 Apartemen 0,50 - 0,70 Industri Ringan 0,50 - 0,80 Berat 0,60 - 0,90 Perkerasan
Aspal dan beton 0,70 - 0,95
Batu bata, paving 0,50 - 0,70
Atap 0,75 - 0,95
Halaman, tanah berpasir
Datar, 2% 0,05 - 0,10
Rata-rata 2-7% 0,10 - 0,15
Curam, 7% 0,15 - 0,20
Halaman, tanah berat
Datar, 2% 0,13 - 0,17
23
Deskripsi Lahan/Karakter Permukaan Koefisien Aliran (C)
Curam, 7% 0,25 - 0,35
Halaman kereta api 0,10 - 0,35
Taman tempat bermain 0,20 - 0,35
Taman, perkuburan 0,10 - 0,25
Hutan
Datar, 0-5% 0,10 - 0,40
Rata-rata 5-10% 0,25 - 0,50
Curam, 10-30% 0,30 - 0,60
(Sumber: McGuen, 1989 dalam Suripin, 2004)
2.2.7.Debit Hujan
Metode Rasional USSCS (1973) adalah metode untuk memperkirakan debit aliran permukaan puncak yang umum dipakai. Model ini sangat simpel dan mudah dalam penggunaannya, namun penggunaannya terbatas untuk DAS-DAS dengan ukuran kecil kurang dari 300 ha. Model ini tidak dapat menerangkan hubungan curah hujan dan aliran permukaan dalam bentuk hidrograf. Metode Rasional dikembangkan berdasarkan asumsi bahwa curah hujan yang terjadi mempunyai intensitas seragam dan merata di seluruh daerah pengaliran selama paling sedikit sama dengan waktu konsentrasi (tc). Persamaan metode rasional dapat ditulis
dalam bentuk:
𝑄 = 0,278 𝐶 𝑥 𝐼 𝑥 𝐴 ... (2.34) Dimana:
Q : laju aliran permukaan (debit) puncak (m³/dt) C : koefisien aliran permukaan (0 ≤ C ≤ 1) I : intensitas hujan (mm/jam)
A : luas DAS (km²)
2.3. Analisis Hidrolika
Menurut Departemen Pekerjaan Umum (2010), ketentuan kriteria perencanaan hidrolika meliputi kapasitas perhitungan saluran dengan parameter berbagai hal seperti parameter genangan, tinggi genangan, luas genangan dan lamanya genangan terjadi. Selain itu juga diperhitungkan parameter frekuensi terjadinya genangan setiap tahunnya.
24 2.3.1.Debit Saluran
Pada perhitungan debit saluran digunakan persamaan kontinuitas yang dimana persamaannya yaitu:
Q = V x A ... (2.35) Dimana:
Q : Debit aliran air (m³/dt) V : Kecepatan aliran (m/dt) A : luas daerah layanan (km²)
Menghitung kecepatan aliran pada saluran drainase dengan menggunakan persamaan Mannning sebagai berikut:
V =1 nx R 2 3 x S 1 2 ... (2.36) Dimana: V : Kecepatan aliran (m/dt) R : Jari-jari hidrolis saluran S : Kemiringan dasar saluran n : Koefisien Manning
2.3.2.Pola Aliran Drainase
Pola aliran drainase diperlukan dalam perencanaan drainase karena pada pembuatan saluran drainase harus disesuaikan dengan keadaan lahan dan lingkungan yang ada. Berikut terdapat macam-macam pola aliran drainase antara lain yaitu:
a. Pola Aliran Drainase Siku
Pola aliran yang terdapat pada daerah yang mempunyai topografi sedikit lebih tinggi dari pada sungai. Sungai sebagai saluran pembuangan akhir berada pada kota.
25
Gambar 2.4. Pola Aliran Drainase Siku b. Pola Aliran Drainase Paralel
Pada pola aliran ini saluran utama terletak sejajar dengan saluran cabang. Dengan saluran cabang (sekunder) yang cukup banyak dan pendek-pendek, apabila terjadi perkembangan kota, saluran-saluran akan dapat menyesuaikan diri.
Gambar 2.5. Pola Aliran Drainase Paralel c. Pola Aliran Drainase Grid Iron
Pola aliran untuk daerah dimana sungainya terletak di pinggir kota, sehingga saluran-saluran cabang dikumpulkan dulu pada saluran pengumpul.
Gambar 2.6. Pola Aliran Drainase Grid Iron d. Pola Aliran Drainase Alamiah
Pola aliran ini sama seperti pola aliran siku, akan tetapi hanya beban sungai pada pola alamiah jauh lebih besar dari pola aliran siku.
26
Gambar 2.7. Pola Aliran Drainase Alamiah e. Pola Aliran Drainase Radial
Pola aliran ini terdapat pada daerah berbukit, sehingga pada polanya saluran memencar ke segala arah.
Gambar 2.8. Pola Aliran Drainase Radial
2.3.3.Kriteria Penampang Saluran
Kriteria penampang saluran yang paling ekonomis adalah saluran yang dapat melewati debit maksimum untuk luas penampang basah, kekasaran, dan kemiringan dasar tertentu. Di bawah ini adalah kriteria penampang saluran terbuka drainase.
1. Penampang saluran berbentuk Persegi.
Gambar 2.9. Saluran Bentuk Persegi Dimana:
Luas (A) : b x h ... (2.37) Keliling basah (P) : b + 2h ... (2.38)
27 Jari-jari Hidrolik (R) : b x h
b + 2h ... (2.39) Tinggi jagaan (W) : 25%h ... (2.40) 2. Penampang saluran berbentuk Trapesium.
Gambar 2.10. Saluran Bentuk Trapesium Dimana: Luas (A) : (b + zh)h ... (2.41) Keliling basah (P) : b + 2h√1 + 𝑧2 ... (2.42) Jari-jari Hidrolik (R) : (b+zh)h b+2h √1+𝑧2 ... (2.43) Lebar Puncak (T) : b + 2zh ... (2.44) Kedalaman Hidrolik (D) : (b+zh)h b+2zh ... (2.45) Tinggi jagaan (W) : 25%h ... (2.46) Pada saluran tertutup drainase digunakan gorong-gorong (box culvert) sebagai saluran tertutup drainase yang dapat mengalirkan air melewati jalan raya sehingga memberikan jalan kepada air untuk melintasi jalan. Dibawah ini adalah kriteria penampang melintang saluran tertutup (gorong-gorong) drainase.
1. Lingkaran (circular)
- Bentuk ini paling sering dipakai;
- Ditinjau dari segi struktur, relatif efisien untuk kebanyakan kondisi muatan;
- Bisa dibuat dari beton tulang (antara lain 60 cm, 80 cm, 100 cm, 120 cm, 140 cm) atau dari baja (corrugated metal pipe < 2 m).
28
Gambar 2.11. Saluran Bentuk Lingkaran 2. Box (rectangular)
- Direncanakan untuk menampung debit yang relatif besar;
- Bentuk ini biasanya paling cocok digunakan jika posisi tinggi muka air yang diijinkan (allowable headwater depth) rendah.
Gambar 2.12.Saluran Bentuk Box
2.3.4.Bak Kontrol
Bak Kontrol adalah komponen penting pada saluran drainase yang merupakan tempat masuknya air dan menampung aliran permukaan yang akan disalurkan ke sistem drainase saluran tertutup serta untuk pemeliharaan. Kegunaan dari bak kontrol yaitu untuk mencegah terjadinya penyumbatan pada saluran drainase akibat dari endapan kotoran.
Pada bak kontrol ukuran yang digunakan dapat menyesuaikan dengan kondisi lapangan dan juga mudah (bak kontrol mudah dibuka dan ditutup), aman dalam melakukan inspeksi dan pemeliharaan rutin serta aman bagi pengguna jalan.
Gambar 2.13. Tampak Atas Bak Kontrol Sumber: Perencanaan Sistem Drainase Jalan, 2006
29
Gambar 2.14. Potongan Melintang Bak Kontrol Sumber: Perencanaan Sistem Drainase Jalan, 2006
Gambar 2.15. Potongan Memanjang Bak Kontrol Sumber: Perencanaan Sistem Drainase Jalan, 2006
2.4. HEC-RAS
Hydrologic Engineering Center - River Analysis System (HEC-RAS) merupakan aplikasi program dari USACE (US Army Corps of Engineer). Aplikasi ini memiliki empat komponen hitungan hidrolika, yaitu: hitungan profil muka air aliran permanen, hitungan simulasi aliran tak permanen, hitungan transpor sedimen, serta hitungan kualitas air. HEC-RAS merupakan program aplikasi yang memakai data geometri yang sama, hitungan hidraulika yang sama, serta beberapa fitur desain hidraulik yang dapat diakses setelah hitungan profil muka air berhasil dilakukan.
Dalam penelitian ini HEC-RAS digunakan untuk mengetahui pola aliran yang masuk dan keluar pada saluran. Dalam menganalisis pola aliran, data yang dibutuhkan pada aplikasi HEC-RAS yaitu data debit, cross section, serta elevasi muka air. Adapun beberapa tahapan dalam menganalisis pola aliran dengan aplikasi HEC-RAS dapat dilihat pada Gambar 2.16. sebagai berikut:
30
Gambar 2.16. Skema Analisis Pola Aliran HEC-RAS
2.5. Rencana Anggaran Biaya (RAB)
Rencana Anggaran Biaya (RAB) adalah suatu rencana anggaran biaya yang akan dikeluarkan pada suatu proyek dimana hal itu didasarkan pada gambar kerja dalam perencanaan. Rencana Anggaran Biaya ini berada pada proposal biaya di luar proposal teknis yang merupakan kelengkapan administrasi sebuah perusahaan jasa konstruksi. Selain itu juga RAB merupakan perkiraan yang dibuat sebelum pelaksanaan suatu proyek fisik dimulai.
Tujuan pembuatan RAB adalah sebagai berikut:
1. Agar biaya pembangunan yang dibutuhkan dapat diketahui sebelumnya 2. Untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya kemacetan dalam proses
pembangunan.
3. Untuk mencegah terjadinya pemborosan dalam penggunaan sumber daya biaya.
RAB = ∑ (Volume x Harga Satuan Pekerjaan) ... (2.47) Dimana:
Harga Satuan Pekerjaan = Bahan + Upah + Alat
Bahan = Harga satuan bahan x koefisien analisis bahan Upah = Harga satuan upah x koefisien analisis upah Alat = Harga satuan alat x koefisien analisis alat
Dalam menyusun Rencana Anggaran Biaya (RAB) setidaknya secara sederhana dapat dipilah menjadi dua langkah, yakni tahap persiapan dan tahap penyusunan RAB itu sendiri. Hal tersebut dikarenakan bahwa dalam penyusunan RAB ada dua faktor utama yang senantiasa dipadukan yakni faktor pengalaman dan faktor analisis biaya konstruksi (meliputi alat, upah tenaga kerja dan bahan) secara ringkas proses penyusunan anggaran biaya drainase dapat dilihat pada Gambar 2.17.
31